Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT SARAF

SINDROM GUILLAIN–BARRE

Disusun oleh:
Amanda Tanasia / 01073180014
Gerald Reinaldi / 01073190032
Jeremy Jovanie Owen / 01073180101

Pembimbing:
dr. Vonny F. Goenawan, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
PERIODE 8 JUNI – 20 JUNI 2020
TANGERANG
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. G
Jenis Kelamin : Laki – laki
Usia : 40 tahun
Pekerjaan : Guru

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Senin, 15 Juni 2020 pukul 18.00
WIB.

Keluhan Utama
Kelemahan pada kedua tungkai sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan lemah pada kedua tungkai sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Kelemahan dirasa hanya pada kaki pasien, tangan nya masih dirasa
normal. Awalnya, pasien saat bangun tidur langsung merasa kedua kaki nya lemah.
Pasien merasa lemah di seluruh kaki. Di hari sebelumnya pasien masih sempat bisa
berjalan dengan normal, namun hari ini sulit untuk berjalan dan harus dipapah.
Kelemahan kedua tungkai ini tidak dipengaruhi oleh aktivitas, dan tidak membaik saat
istirahat.. Nyeri pada kedua kaki disangkal oleh pasien. Selain itu, pasien mengeluhkan
rasa kesemutan di kedua kakinya yang muncul bersamaan dengan kelemahan. Dua
minggu yang lalu, pasien sempat mengalami diare, namun sekarang sudah sembuh.
Pasien menyangkal adanya mual dan muntah. Nyeri kepala, pusing, dan sensasi
berputar disangkal oleh pasien. Riwayat trauma, demam, pingsan, gangguan menelan,
gangguan penglihatan, gangguan bicara, batuk, keringat malam, dan sesak disangkal
oleh pasien. Riwayat darah tinggi, kolesterol, kencing manis, stroke, keganasan,
penurunan berat badan yang signifikan disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa.

1
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa seperti pasien.

Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mengonsumsi obat – obatan rutin.

Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, dan tidak menggunakan
NAPZA. Nutrisi pasien cukup baik.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Pernapasan : 16 x/menit
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5OC

Status Generalis
Kepala • Tidak ada massa, scar, dan lesi
Wajah • Tampak tidak pucat
Kepala, • Tidak ada massa, scar, dan lesi
Wajah, dan Leher • Tidak ada massa, scar, dan lesi
Leher • Tidak ada pembesaran, benjolan, dan nyeri
tekan pada kelenjar getah bening.
• Tidak ada deviasi trakea
• Konjungtiva tidak anemis pada kedua mata, sklera tidak
Mata
ikterik pada kedua mata.
• Cavum nasi di tengah.
Hidung
• Tidak ada luka, perdarahan, sekret, hiperemis.
• Bibir tidak kering.
Mulut • Tidak ada sianosis, perdarahan, lesi ulkus.
• Arkus faring di tengah, uvula di tengah.
• Kedua telinga simeris.
• Tidak ada edema, luka, perdarahan, sekret, hiperemis pada
Telinga
kedua telinga.
• Tidak ada nyeri tekan angkat dan tragus pada kedua telinga.

2
Thorax
Inspeksi Bentuk dada normal, ictus cordis tidak terlihat, tidak
ada deformitas, tidak ada massa, tidak ada luka dan
bekas operasi. Tidak ada barrel chest, pectus
excavatum, pectus karinatum.
Palpasi Ictus cordis tidak teraba
Perkusi Perkusi jantung dalam batas normal:
• Batas kanan jantung terletak di ICS 4 garis
Jantung
parasternal dekstra
• Batas kiri jantung terletak di ICS 4 garis
parasternal sinistra
• Batas atas jantung terletak di ICS 2 garis
parasternal sinistra
Auskultasi Bunyi jantung S1S2 reguler, tidak ada murmur, tidak
ada gallop.
Inspeksi Gerakan kedua paru simetris saat bernapas.
Palpasi Ekspansi dada kanan dan kiri simetris ketika pasien
menarik dan membuang napas. Taktil fremitus simetris
Paru kanan dan kiri.
Perkusi Sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi Suara nafas vesikuler, tidak ada rhonki, tidak ada
wheezing.
Inspeksi Datar, tidak ada bekas luka dan operasi, tidak ada caput
medusae.
Auskultasi Bising usus 8 kali per menit, tidak ada mettalic sound.
Palapasi Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hepar,
Abdomen tidak ada pembesaran lien, tidak ada asites. Tidak ada
murphy’s sign, McBurney’s sign.
Perkusi Timpani pada seluruh regio abdomen. Tidak ada nyeri
ketok CVA.
Ekstremitas Tidak ada sianosis, akral hangat, CRT <2 detik.

Meningeal Sign
Kaku kuduk (-)
Tanda lasegue (-)
Tanda kernigue (-)
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)

3
Saraf Kranialis
Saraf Kranial Kanan Kiri
Nervus I
Kemampuan menghidu + +
Nervus II
Visus 6/6 6/6
Lapang pandang (Tes
Normal Normal
konfrontasi)
Fundus Papil berbentuk lonjong, Papil berbentuk lonjong,
berwarna jingga muda, berwarna jingga muda,
perbandingan besar arteri perbandingan besar arteri
dan vena 2:3 dan vena 2:3
Nervus III, IV, VI
Sikap bola mata Ortoforia Ortoforia
Celah palpebra Normal Normal
Inspeksi Ptosis (-) Ptosis (-)
Pupil: ukuran, bentuk 3mm, isokor 3mm, isokor
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak
- -
langsung
Nistagmus - -
Pergerakkan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Nervus V
Motorik
Tidak ada deviasi, kontur Tidak ada deviasi, kontur
Inspeksi
simetris simetris
Palpasi Normotonus Normotonus
Membuka mulut + +
Gerakan rahang + +
Sensorik
Sensorik V1 + +
Sensorik V2 + +
Sensorik V3 + +
Refleks kornea + +
Nervus VII
Sikap mulut istirahat Simetris
Angkat alis, kerut dahi,
tutup mata dengan kuat / Normal Normal
kembung pipi
Menyeringai Normal Normal
Rasa kecap 2/3 anterior
Normal Normal
lidah

4
Nervus VIII
Nervus Cochlearis
Rinne + +
Webber + +
Schwabach + +
Nervus Vestibularis
Nistagmus - -
Berdiri dengan satu kaki:
Mata tertutup Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Mata terbuka
Berdiri dengan dua kaki:
Mata tertutup Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Mata terbuka
Berjalan tandem, fukuda
stepping test, Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
past pointing test
Nervus IX, X
Arkus faring Simetris
Uvula Intak di tengah Intak di tengah
Disfoni - -
Disfagia - -
Gag reflex - -
Nervus XI
Sternocleidomastoideus Normal Normal
Trapezius Normal Normal
Nervus XII
Sikap lidah dalam mulut Simetris
Deviasi - -
Atrofi - -
Fasikulasi - -
Tremor - -
Menjulurkan lidah + +
Kekuatan lidah Normal Normal

Pemeriksaan Motorik & Refleks


Pemeriksaan Kanan Kiri
Ekstremitas Atas
Tidak ada atrofi dan Tidak ada atrofi dan
Inspeksi
fasikulasi fasikulasi
Palpasi
Normotonus Normotonus

5
Kekuatan:
Sendi bahu 5 5
Biceps 5 5
Triceps 5 5
Pergelangan tangan 5 5
Ekstensi jari 5 5
Menggenggam 5 5
Gerakan involunter - -
Ekstremitas Bawah
Inspeksi Tidak ada atrofi dan Tidak ada atrofi dan
fasikulasi fasikulasi
Palpasi Normotonus Normotonus
Kekuatan:
Gluteus 4 4
Hip flexor 4 4
Kuadriseps hemstring 4 4
Ankle dorsi fleksi 3 3
Gastroknemius 3 3
Gerakan involunter - -
Refleks Fisiologis
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Brachioradialis ++ ++
KPR + +
APR + +
Refleks Patologis
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaffer - -
Hoffman Trommer - -

Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan Kanan Kiri
Eksteroseptif
Penurunan sensasi pada Penurunan sensasi pada
bagian distal ekstremitas bagian distal ekstremitas
Raba
bawah bawah
(hipestesi inferior distal) (hipestesi inferior distal)

6
Penurunan sensasi pada Penurunan sensasi pada
bagian distal ekstremitas bagian distal ekstremitas
Nyeri
bawah bawah
(hipestesi inferior distal) (hipestesi inferior distal)
Penurunan sensasi pada Penurunan sensasi pada
bagian distal ekstremitas bagian distal ekstremitas
Suhu
bawah bawah
(hipestesi inferior distal) (hipestesi inferior distal)
Propioseptif
Posisi Sendi + +
Getaran + +

Pemeriksaan Koordinasi
Tes tunjuk-hidung Normal
Tes tumit-lutut Tidak dapat dinilai
Disdiadokokinesis Normal

Pemeriksaan Otonom
Miksi Normal
Defekasi Normal
Sekresi keringat Normal

Fungsi Luhur
MMSE Normal

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Dilakukan : tidak ada
Saran : Complete blood count, gula darah sewaktu, elektrolit, EMG, EKG,

1.5 Resume
Pasien datang dengan keluhan lemah pada tungkai bawah sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Kelemahan dirasakan pada seluruh tungkai bawah pasien. Pasien
merasakan kelemahan tungkai tersebut secara mendadak saat bangun pagi, hingga sulit
untuk berjalan dan harus dipapah. Pada hari sebelumnya pasien masih berjalan dengan
normal. Pasien juga mengalami keluhan lain yaitu rasa kesemutan pada kedua kakinya

7
bersamaan dengan kelemahan tersebut. Dua minggu lalu pasien sempat mengalami
diare dan sekarang sudah sembuh.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan paraparese inferior distal dengan kekuatan 3
lebih berat daripada proksimal dengan kekuatan 4, hipestesi pada kedua telapak kaki,
serta KPR dan APR bilateral menurun.

1.6 Diagnosis
Klinis : Paraparese inferior, paraparestesi inferior, hipestesi inferior distal
bilateral, hiporefleks inferior bilateral.
Topis : Saraf perifer
Etiologi : Autoimun
Patologis : Demielinasi

1.7 Diagnosis Kerja


Paraparese inferior et causa suspek sindrom guillain barre

1.8 Diagnosis Banding


Neuropati diabetes
Sindrom cauda equina
Mielitis transversa
Hipokalemia

1.9 Tatalaksana
Non Medikamentosa
• Perhatikan jalan napas dan pernapasan dari pasien (airway dan breathing)
• Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, laju nadi, laju pernapasan, saturasi
oksigen)
Medikamentosa
• Plasma exchange dengan dosis 50ml plasma/kgBB/kali selama 5 kali dalam
periode 2 minggu.
• Imunoglobulin 0,4gr/kgBB/hari IV selama 5 hari.

8
1.10 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
kelemahan anggota gerak flasid simetris dikarenakan sistem kekebalan tubuh seseorang
menyerang sistem saraf tepi. Secara klinis, sindorm guillain barre sering disebut acute
inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) atau post infectious polyneuritis
yang dapat diartikan sebagai suatu kelainan sistem saraf yang akut atau difus, mengenai
radiks spinalis, saraf perifer, dan terkadang saraf kranialis setelah terjadi suatu infeksi.
Umumnya, progresivitas penyakit ini berlangsung tidak lebih dari empat minggu.1,2

2.2 Epidemiologi
SGB merupakan penyakit yang cukup langka. Insidensi di negara barat berkisar
antara 0,89 – 1,89 kasus per 100.000 penduduk per tahun nya. Perbandingan terjadinya
SGB antara pria dan wanita adalah 1,78.
Berdasarkan suatu penelitan yang lain, insidensi di Eropa dan Amerika Utara
sebanyak 1,2 – 1,9 kasus per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan secara global
dilaporkan 0,6 – 4 kasus per 100.000 penduduk. Pada bidang neurologi, SGB
menyebabkan peningkatan frekuensi dari akut flasid paralisis di seluruh dunia dan
mendasari satu dari keadaan darurat yang serius. 20% pasien akan berkembang menjadi
kelumpuhan yang berat dan kira-kira 5% pasien akan meninggal.2,3,4

2.3 Etiologi
Sampai saat ini, belum ada etiologi yang jelas dan akurat yang mengindikasikan
penyebabnya adalah inflamasi autoimun neuropati perifer, yang dipicu oleh berbagai
faktor seperti infeksi bakteri, infeksi virus, maupun vaksinasi. Sekitar 60% dari kasus
SGB didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Berdasarkan suatu penelitian, infeksi citomegelovirus, Epstein-Barr virus, dan
HIV atau infeksi bakteri seperti mycoplasma pneumoni dan lyme disease merupakan
penyebab dari SGB. Campylobacter jejuni (30%) dan infeksi citomegalovirus (10%)
merupakan infeksi yang paling banyak dihubungkan dan teridentifikasi dengan SGB.

10
Aktivitas penyakit ini terlihat berkorelasi dengan adanya antibodi serum pada
myelin saraf perifer, meskipun tidak terdapat bukti sensitisasi antigen virus maupun
bakteri pada manusia dengan SGB spontan. Hal ini menyebabkan terjadinya
peradangan dan kerusakan mielin.2,5

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari SGB adalah saat antigen kontak dengan mielin akan terjadi
infiltrasi sel-sel inflamasi (terutama sel T dan makrofag) dan demielinisasi area
segmental saraf, sering juga dihubungkan dengan tanda degenerasi akson sekunder
yang mana dapat dideteksi pada akar spinal sama halnya pada saraf sensorik-motorik
kecil maupun besar. Sel T yang teraktivasi di perifer, akan mengindikasikan terjadinya
perubahan ekspresi antigen, major histocompatibility complex (MHC) kelas II dan ko-
stimulatori faktor, berbagai sitokin proinflamasi seperti interferon gama (IFN) dan
tumor necrosis factor alpha (TNF α) dan reseptor sitokin. Ini akan mengawali aktivasi
daripada komplemen, ikatan antibodi terikat pada permukaan sel schwaan dan memulai
terjadinya vesikulasi dari myelin. Satu minggu sesudah kerusakkan myelin akan terjadi
inavasi makrofag.
Pada neuropati aksonal motorik akut, IgG dan aktivasi komplemen berikatan
dengan aksolema pada serat motorik dari nodus ranvier, diikuti oleh pembentukkan
kompleks membrane-attack. Selanjutnya diikuti dengan degenerasi akson dari serat
motorik tanpa adanya inflamasi limfosit maupun demielinisasi.2

Gambar 1. Patogenesis dari SGB2

11
2.5 Klasifikasi SGB
Sindrome Guillain Barre terbagi menjadi beberapa subtipe, yaitu Acute
Inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), acute motor axonal
neuropathy (AMAN), acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN), Miller
Fisher syndrome dan acute panautonomic neuropathy.6
Subtipe AIDP terjadi sekitar 97% dari keseluruhan kasus sindrom Guillain
Barre di Amerika Utara dan Eropa, dimana insiden kasus ini sekitar 0,6-1,9 kasus per
100.000 orang. Laki-laki lebih cenderung terkena dibandingkan perempuan dengan
perbandingan 1,4:1. 60% kasus dari AIDP didahului oleh infeksi virus maupun bakteri,
biasanya pada saluran pernafasan, atau saluran cerna (Campylobacter jejuni) yang
terjadi sekitar 4 minggu sebelum onset. Penyakit lain yang berhubungan dengan
kejadian AIDP yaitu infeksi pada Hepatitis B, Epstein-Barr virus, Cytomegalovirus,
dan toxoplasmosis, infeksi HIV, Hodgkin’s disease, non-Hodgkin lympoma dan
systemic lupus erythematous (SLE). Pada kasus AIDP, terjadi proses demieliniasi dan
remielinisasi. Proses demielinisasi terjadi karena infiltrasi dari sel limfositik
mononuclear dan makrofag yang merusak serabut mielin pada akson sehingga akson
tidak terselubung. Setelah 3-4 bulan biasanya terjadi proses remielinisasi dan gejala
akan memmbaik seiring dengan terjadinya remielinisasi.7,8
Subtipe AMAN merupakan kelainan neuropati motorik murni, yang seringkali
terjadi pada usia anak-anak. Ditemukan juga subtipe AMAN, bersama dengan AMSAN
seringkali terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami infeksi C.jejuni
dibandingkan dengan pada AIDP, dimana 60-70% pasien seropositive dari infeksi
campylobacteriosis. Pada subtipe ini, terjadi degenerasi aksonal primer, dimana
makrofag menginvasi nodus ranvier, masuk diantara akson dan aksonlemma sel
Schwann sehingga selubung mielin tetap intak. Degenerasi aksonal terjadi pada
persarafan motorik dan tidak terdapat kelainan sensorik pada subtipe ini. Onset pada
AMAN terjadi secara mendadak dengan progresivitas yang cepat dimana seringkali
menyebabkan pasien mengalami gangguan pernafasan hingga membutuhkan ventilasi
beberapa hari setelah onset gejala.9,10
Subtipe AMSAN sendiri memiliki kesamaan dengan AMAN, hanya saja pada
subtipe AMSAN serabut sensorik juga terlibat. Sama hal nya dengan AMAN, terjadi
degenerasi primer aksonal, tetapi dengan keterlibatan jaras ventral maupun dorsal.
Subtipe AMSAN lebih cenderung terjadi pada orang dewasa, berbeda dengan AMAN
dimana seringkali terjadi pada anak-anak. Subtipe ini juga memiliki prognosis yang

12
lebih buruk dibandingkan AMAN, dimana subtipe ini menyebabkan sakit yang lebih
parah.6,10
Miller Fisher Syndrome (MFS) yang merupakan subtipe lainnya dari GBS yang
merupakan penyakit yang jarang, dimana terjadi sekitar 5% dari kasus di Eropa Barat.
MFS memiliki gejala klasik yaitu ataksia, arefleksia, dan eksternal oftalmoplegia. MFS
ini sendiri dapat menimbulkan gejala lain selain gejala klasik diatas yang melibatkan
gangguan pada nervus kranialis seperti kelemahan pada otot-otot wajah, kelemahan
orofaring, oftalmoparesis internal, hingga dapat melibatkan sistem saraf pusat. Dapat
juga ditemukan penurunan atau hilangnya aksi potensial saraf sensorik, dan penurunan
reflex tibial H. Anti-GQ1b antibodi ditemukan pada 95% kasus sindrom Miller Fisher
ini sehingga antibodi tersebut mendefinisikan sindrom ini. Perbaikan pada sindrom ini
biasa terjadi dalam 1-3 bulan.4,6,10
Subtipe Acute Panautonomic Neuropathy merupakan subtipe GBS dengan
kasus yang paling jarang. Karakteristik dari subtipe ini yaitu melibatkan gangguan
simpatetik dan parasimpatetik dengan fungsi sensorik dan motorik yang cenderung
baik. Pasien pada subtipe ini seringkali mengalami gangguan kardiovaskular, seperti
hipotensi postural yang berat, takikardia, hipertensi ataupun disritmia. Dapat juga
terjadi anhidrosis, maupun kelainan sekresi dari lakrimasi. Pasien biasanya mengalami
perbaikan yang cenderung lambat dan tidak sempurna.6,11

2.6 Manifestasi Klinis


Pasien dengan sindrom Guillain Barre pada awalnya mengalami paresthesia
secara simetris, dengan onset yang mendadak. Gangguan sensorik tersebut biasanya
bersamaan atau diikuti oleh keluhan kelemahan tungkai yang progresif. Pasien
seringkali dapat mengenali waktu onset dari keluhan motorik dan sennsorik.
Kelemahan tungkai sendiri berprogresi secara simetris dengan “ascending pattern”.
Pada pemeriksaan neurologis, ditemukan kelemahan bagian distal yang simetris.
Kelemahan bagian proximal juga sering ditemukan. Arefleksia atau hiporefleks dapat
muncul sejak hari pertama onset dari kelemahan tungkai atau dapat baru muncul setelah
satu minggu lebih. Progresi pada GBS terbilang cepat, dimana 50% pasien mengalami
gejala hingga yang paling buruk dalam 2 minggu. Fase progresif ini sendiri terjadi dari
hari hingga waktu empat minggu. Fase progresif lalu akan diikuti fase plateau, dimana
gejala konsisten dan tidak terdapat perubahan. Perbaikan juga akan mulai beberapa hari
pada masa plateau.6,8

13
Presentasi gejala dengan pola “descending” dengan onset kelamahan pada
wajah ataupun tungkai atas jarang ditemukan, dimana lebih cenderung mengarah
kepaada botulism. Pada kasus GBS juga sangat jarang ditemukan pada gejala awal
oftalmoplegia ataupun ptosis, dimana kedua gejala tersebut cenderung mengarah
kepada penyakit botulism atau myasthenia gravis.9
Kelemahan pada nervus kranialis seringkali muncul, yaitu dalam bentuk
kelemahan otot wajah atau kelemahan faring. Seringkali juga terjadi kelemahan otot
diafragma karena keterlibatan dari saraf phrenic. 1/3 pasien GBS membutuhkan
ventilasi mekanik dalam hitungan jam hingga minggu dikarenakan kelemahan otot
pernafasan atau kelemahan otot faring. Gangguan saraf autonom (dysautonomia)
terjadi pada sekitar 50% kasus. Keluhan yang paling sering muncul adalah takikardia.
Keluhan lain dapat muncul seperti bradikardia, hipotensi, hipertensi, aritmia, hingga
gangguan dismotilitas gastrointestinal (konstipasi, ileus, distensi lambung, diare, fecal
incontinence).6,8,9

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan pada diagnosis dari sindrom Guillain
Barre yaitu pemeriksaan darah lengkap, analisa CSF, studi elektrodiagnostik, dan juga
MRI.
2.7.1 Pemeriksaan Darah Lengkap
Pada pasien dengan GBS, pemeriksaan darah lengkap sendiri dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan penyakit lainnya seperti
pemeriksaan kadar elektrolit, ataupun kadar creatine phosphokinase.8
2.7.2 Analisa LCS
Pada Analisa LCS pada pasien sindrom Guillain Barre, ditemukan
disosiasi sitoalbumin, yaitu adanya peningkatan nilai protein (>0,55 g/dl)
dengan tidak adanya pleocytosis ( peningkatan nilai hitung sel dalam LCS [10
atau kurang]). Nilai normal pada protein LCS tidak menyingkirkan sindrom
Guillain Barre, khususnya jika pemeriksaan dilakukan pada minggu pertama
setelah onset penyakit karena peningkatan baru terjadi saat setelah sekitar 1
minggu setelah onset(4,6,9). Adanya peningkatan nilai sel darah putih pada
LCS (10 – 100/mm3) pada pasien dengan gejala seperti GBS meningkatan
kemungkinan penyakit lain seperti Lyme disease, neoplasia, infeksi HIV dan
penyakit lainnya.6

14
2.7.3 Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik sendiri dapat menggunakan
Elektroneuromiografi (ENMG), untuk mendukung dari diagnosis GBS, dan
juga membedakan antara subtipe aksonal atau demielinisasi yang berhubungan
dengan prognosis pasien. Seperti pada pasien dengan subtipe AIDP, seringkali
ditemukan ciri khas pada demielinisasi, yaitu penurunan kecepatan konduksi
saraf, dispersi temporal, dan konduksi blok. Sedangkan pada GBS subtipe
aksonal dapat ditemukan seperti adanya penurunan amplitude motor, sensorik,
ataupun keduanya.9,10
2.7.4 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI pada bagian tulang belakang ataupun otak dapat dilakukan untuk
menyingkirkan gejala yang menyerupai GBS, seperti adanya myelopathy, atau
adanya penyebab infiltratif atau kompresif yang menyebabkan
poliradikuloneuropati. Selain itu, MRI juga dapat menyingkirkan kemungkinan
seperti infeksi pada batang otak, stroke, inflamasi pada medulla spinalis ataupun
sel hornu anterior medulla spinalis. Pada pasien GBS, MRI dengan Gadolinium
dapat menemukan kelainan seperti penebalan dari radiks, dimana tidak spesifik
tetapi sensitif pada pasien GBS dan dapat mendukung diagnosis dari GBS
sendiri.6,12

2.8 Diagnosis
Diagnosis SGB ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda kelemahan akut progresif
pada ekstremitas bawah dan atas disertai arefleksia atau hiporefleksia. Sampai saat ini
belum ada uji diagnostik yang spesifik untuk SGB, namun dapat menggunakan kriteria
diagnostik SGB oleh National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS)
sebagai berikut:13,14
Tanda minimum untuk penegakan diagnosis:
1. Kelemahan progresif pada lebih dari 1 ekstremitas (dapat dimulai dari
ekstremitas bawah)
2. Arefleksia distal dengan arefleksia atau hiporefleksia proksimal

Tanda yang memperkuat diagnosis:


1. Perburukan gejala yang mencapai titik nadir kurang atau sama dengan 28 hari
(4 minggu)

15
2. Pola distribusi defisit neurologis yang simetris
3. Gangguan sensorik minimal
4. Gangguan nervus kranial, terutama kelemahan otot fasialis bilateral
5. Disfungsi saraf autonom
6. Nyeri tungkai atau otot atau punggung radikular
7. Peningkatan protein pada cairan serebrospinal (CSS) setelah 1 minggu (≤10/µL)
8. Gambaran elektrodiagnostik khas yang sesuai dengan kriteria SGB (konduksi
saraf melambat atau terhambat dalam beberapa minggu)

Tanda yang meragukan diagnosis:


1. Disfungsi pernapasan berat lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas
pada awal onset
2. Gangguan sensorik lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas pada awal
onset
3. Gangguan BAK atau BAB pada awal onset
4. Demam pada awal onset
5. Defisit sensorik berbatas tegas
6. Progresifitas lambat dengan gangguan motorik minimal tanpa keterlibatan
sistem pernapasan (lebih sesuai dengan subacute atau chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy)
7. Kelemahan asimetris persisten
8. Gangguan BAK atau BAB persisten
9. Peningkatan jumlah sel mononuclear atau polimorfonuklear pada CSS >50/µL
10. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS

Disfungsi saraf otonom sering ditemukan hingga dua pertiga kasus SGB dengan
manifestasi berupa aritmia, fluktuasi tekanan darah, respons emodinamik yang
abnormal terhadap pengobatan, serta gangguan miksi, defekasi dan berkeringat.
Kriteria Brighton menentukan kepastian diagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kriteria ini terdiri dari level 1 (level
kepastian diagnosis tertinggi) sampai level 4 (yang dilaporkan sebagai SBG dengan
kemungkinan karena data insufisien untuk klasfikasi selanjutnya).15

16
Tabel 1. Kriteria Folkke15

Guillan – Barre Syndrome Disability Scale (GBS Disability Scale) atau Hughes
score merupakan sistem penilaian status fungsional untuk evaluasi dan pemantauan
derajat keparahan penyakit yang ditunjukkan pada table berikut.13

Tabel 2. Guillan – Barre Syndrome Disability Scale16


Skor Deskripsi
0 Status sehat
1 Gejala minor dan dapat berlari
2 Dapat berjalan 10 meter atau lebih tanpa bantuan, tetapi tidak dapat
berlari
3 Dapat berjalan 10 meter atau lebih tanpa bantuan
4 Terbaring atau duduk
5 Memerlukan ventilasi mekanik
6 Meninggal

2.9 Tatalaksana
Prinsip tatalaksana SGB adalah diagnosis dini dan tatalaksana multidisiplin yang
tepat, yang melibatkan perawatan medis umum dan tatalaksana imunologis.
2.9.1 Perawatan medis umum
Pemantauan fungsi hemodinamik, respirasi dan jantung diperlukan
untuk prevensi atau mengendalikan komplikasi. Dalam perawatan medis umum
yang dilakukan adalah profilaksis deep vein thrombosis, menatalaksana
disfungsi kandung kemih dan pencernaan, fisioterapi dan rehabilitasi dini,
tatalaksana nyeri, serta dukungan psikososial.17

17
a. Pemantauan fungsi paru dilakukan setiap 1 – 4 jam untuk meminimalkan risiko
gagal napas. Komponen yang perlu dievaluasi adalah frekuensi napas,
kedalaman napas, kapasitas vital paru-paru, dan kemampuan refleks batuk.
Indikasi pemasangan alat bantu napas pada SGB adalah setidaknya 1 dari
kriteria mayor atau 2 kriteria minor, sebagai berikut:
i. Kriteria mayor adalah hiperkarbia (tekanan parsial karbon dioksida
arterial >6,4 kPa [48 mmHg]), hipoksemia (tekanan parsial oksigen
arterial pada saat bernafas udara ruangan <7,5 kPa [56 mmHg]),
kapasitas vital kurang dari 15ml/kg.
ii. Kriteria minor adalah batuk tidak efisien, gangguan menelan, dan
atelectasis.
b. Pemantauan kardiovaskular
Pemasangan monitor kardiovaskular diperlukan dalam identifikasi dan
antisipasi disfungsi autonom. Disfungsi autonom dapat berupa bradiaritmia dan
hipertensi atau hipotensi ekstrim (variasi tekanan sistolik >85 mmHg). Maka
perlu dipasangkan alat pacu jantung sementara atau diberikan atropin.2,13
c. Pencegahan deep vein thrombosis dengan profilaksis heparin subkutan dan
kompresi menggunakan stocking direkomendasikan pada pasien dewasa yang
tidak dapat berjalan.2
d. Tatalaksana disfungsi kandung kemih dan pencernaan
Gangguan miksi dapat ditatalaksana dengan pemasangan kateter. Gangguan
defekasi dapat diatasi dengan pemberian laksatif.2
e. Tatalaksana nyeri
Tatalaksana nyeri dapat diberikan berupa penggunaan obat anti nyeri neuropatik
berupa gabapentin atau carbamazepine.18

2.9.2 Tatalaksana imunologis


Terapi imunomodulasi seperti imunoglobulin intravena dan
plasmaferesis dibuktikan sama efektif dalam perbaikan kekuatan motorik
pasien, peningkatan GBS Disability Score, dan penurunan kebutuhan
penggunaan ventilator pada pasien gagal napas.13 Keduanya perlu dilakukan
seawal mungkin, sebelum terjadinya kerusakan saraf ireversibel.17
Terapi imunomodulasi dimulai pada saat pasien tidak dapat berjalan
secara independen sejak 10 meter, pada pasien yang masih dapat berjalan tetapi

18
memiliki kelemahan berprogresif cepat, atau gejala berat lainnya seperti
disfungsi otonom, insufisiensi pernapasan. Beberapa penelitian menemukan
bahwa terapi immunoglobulin intravena paling efektif jika dimulai dalam waktu
2 minggu pertama onset dan dalam 4 minggu pertama untuk plasmaferesis.
Setelah periode waktu ini, bukti menunjukkan efektifitas yang menurun.12
Plasmaferesis (PE) dengan dosis 200 – 250 ml plasma/kg diberikan
untuk 5 sesi selama 2 minggu. Immunoglobulin Intravena (IVIg) 0.4 g/kg/hari
diberikan selama 5 hari. Kombinasi kedua terapi ini tidak direkomendasi,
karena tidak ada bukti yang menunjukkan kombinasi terapi PE dan IVIg lebih
baik daripada terapi dengan salah satu PE atau IVIg.2,13
Angka putus berobat pada PE lebih tinggi daripada IVIg. Cara
pemberian IVIg lebih mudah daripada PE dan tersedia lebih banyak, sehingga
IVIg menjadi terapi pilihan meskipun harganya lebih mahal.12
2.9.3 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral maupun intravena tidak memberikan
manfaat pada kasus SGB.12,13

2.10 Diagnosis banding


2.10.1 Mielitis transversa
Mielitis transversa adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh
peradangan di kedua sisi dari satu tingkat, atau segmen dari sum-sum tulang
belakang. Gejala dan tandanya berupa nyeri lokal punggung bawah, paresthesia
(sensasi abnormal seperti terbakar, menggelitik, menusuk atau kesemutan) di
kaki, hilangnya sensorik, kelumpuhan parsial kaki, serta disfungsi pencernaan
dan kandung kemih. Analisa cairan serebrospinal terdapat kadar glukosa rendah
dan adanya sel radang. MRI dengan gadolinium menunjukkan lesi medulla
spinalis.19

2.10.2 Sindrom cauda equina


Sindrom cauda equina adalah kondisi neurologis yang disebabkan oleh
kompresi medulla spinalis dan nervus atau radiks dari level L1 – L5. Etiologi
antara lain adalah abses epidural, herniasi diskus intervertebralis lumbar, spinal
hematoma epidural, diskitis, tumor, trauma (terutama bila ada fragmen tulang

19
yang fraktur), stenosis spinal, dan obstruksi aorta. Gejalanya berupa nyeri
punggung dan siatika, kelemahan dan gangguan sensasi pada ekstremitas
bawah, disfungsi kandung kemih dan pencernaan, anestesi saddle atau
penurunan sensasi pada perineum, dan disfungsi seksual. Pada pemeriksaan
neurologis didapatkan deficit motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah,
biasanya bilateral, tanda lesi lower motor neuron, saddle anesthesia, tonus
rektum dan refleks bulbokavernosus menurun atau hilang, serta kandung kemih
dapat teraba yang mengindikasikan adanya retensi urin.20

2.10.3 Neuropati diabetes


Diabetes mellitus merupakan salah satu penyebab terbanyak neuropati
perifer di dunia. Lebih dari setengah pasien diabetes mengalami neuropati, dan
setengah orang yang memiliki neuropati adalah pasien diabetes.13 Beberapa hal
penting yang harus diperhatikan dalam diagnosis neuropati diabetika yaitu
pasien merupakan penderita diabetes mellitus, tidak ada kelainan atau penyakit
lain yang menyebabkan gejala neurologis kecuali diabetes mellitus, gejala
simetris (nyeri spontan, paresthesia,hipestesia, anesthesia), penurunan refleks
achilles atau patella, pallestesia (kelainan sensasi getar), hasil pemeriksaan
elektrofiosiologi abnormal, dan adanya gejala neuropati otonom.19

2.10.4 Hipokalemia periodik paralisis


Pada hipokalemia periodik paralisis terdapat gangguan pada kanal
kalsium, yang bermanifestasi mirip dengan SGB. Serangan paralisis ini
biasanya mulai dari usia remaja dan diperberat dengan olahraga, makanan yang
mengandung tinggi karbohidrat dan sodium, atau perubahan suhu secara tiba-
tiba. Kelemahan terjadi secara cepat dalam hitungan menit sampai beberapa
jam. Ekstremitas bawah lebih banyak terlibat dan biasanya proksimal. Refleks
deep tendon dapat normal, menurun, atau hilang. Refleks Achilles biasanya
normal meskipun pada saat puncak kelemahan. Pada pemeriksaan elektrolit
serum, didapatkan kadar kalium serum yang rendah.16

2.10.5 Poliomielitis
Infeksi virus Polio adalah salah satu penyebab paralisis muscular akut
yang mengenai sel pada kornu anterior. Poliomyelitis adalah penyakit yang

20
sangat infeksius disebabkan oleh virus dari keluarga Picornaviridae.
Manifestasi klinis dapat berupa gejala respirasi ringan, gastroenteritis, malaise,
sampai paralisis berat. Penyakit ini dikategorikan sebagai asimtomatik (90-95%
kasus), poliomyelitis ringan (4-8%), meningitis aseptik (1-5%), dan
poliomyelitis paralitik (0,1-2%). Polimielitis paralitik adalah tipe yang paling
berat dengan episode nyeri punggung dan ekstremitas bawah, diikuti dengan
kelemahan motorik. Kelemahannya terjadi secara akut atau gradual, asimetris,
predominan proksimal, terutama ekstremitas bawah diikuti otot lengan,
abdomen, toraks atau bulbar. Gagal napas dapat terjadi disebabkan oleh
keterlibatan medulla atau paralisis nervus frenikus atau interkostalis. Perbaikan
klinis dapat terjadi secara sempurna tetapi apabila kelemahan motorik bertahan
lebih dari 1 tahun, dapat berlangsung terus seumur hidup.16

2.10.6 Mielopati akut


Cedera medulla spinalis perlu dipikirkan bila tanda dan gejala hanya
pada ekstremitas. Gangguan medulla spinalis dapat menyebabkan gangguan
motorik, sensorik, dan atau sfingter. Apabila lesi di bawah T1, maka akan
melibatkan ekstremitas bawah.21 Pada lesi medulla spinalis gangguan berkemih
muncul lebih awal dan defisit sensorik yang ada mempunyai batas yang tegas.13
Pada kasus ini akan ditemukan spastisitas yang menunjukkan lesi upper motor
neuron. Pemeriksaan penunjang radiologi yang dapat dilakukan adalah foto
polos vertebra, dan CT scan atau MRI vertebra untuk melihat kesejajaran
vertebra, fraktur, dan soft tissue swelling.21

2.11 Prognosis
SGB adalah penyakit monofasik, tetapi perburukan sekunder dapat terjadi setelah
stabilisasi atau perbaikan awal pada 5 – 10% pasien SGB yang dirawat. Mayoritas
pasien dengan SGB, fungsinya akan kembali lagi menjadi normal. Setelah progresi
penyakit berhenti, gejala biasanya membaik secara perlahan selama 2 – 4 minggu
sampai sembuh.22
Kebanyakan pasien dengan SGB, bahkan yang tetraplegia pada awal atau
memerlukan ventilasi mekanik selama periode waktu yang lama, menunjukkan
kesembuhan terutama 1 tahun setelah onset penyakit. Sekitar 80% dapat berjalan
kembali pada bulan ke 6 setelah onset penyakit. Akan tetapi, 3 – 10% kasus kematian

21
terjadi karena komplikasi kardiovaskular dan respirasi. Gejala residual juga dapat
bertahan lama seperti nyeri neuropatik dan kelemahan.12
Prognosis pasien SGB dapat berjalan mandiri 6 bulan setelah onset dapat
ditentukan berdasarkan Erasmus GBS Outcome Score (EGOS) yang ditunjukkan pada
tabel berikut.. Semakin besar jumlah nilainya, maka semakin kecil kemungkinan pasien
dapat berjalan mandiri setelah 6 bulan dari onset.13

Tabel 3. Erasmus GBS Outcome Score (EGOS)16


Pengukuran Kategori Skor
Usia pada onset (tahun) >60 1
41 – 60 0,5
≤40 0
Diare (≤4 minggu) Ada 1
Tidak ada 0
GBS disability score (2 minggu setelah masuk 0 atau 1 1
rumah sakit)
2 2
3 3
4 4
5 5
Erasmus GBS outcome score 1–7

Pasien dengan SBG paraparetik akan sembuh lebih cepat dan sepenuhnya
daripada pasien dengan SBG kuadriparesis. 22

22
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien datang dengan keluhan lemah pada kedua tungkai sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan pasien dirasakan tiba-tiba setelah bangun tidur. Satu hari yang lalu saat
keluhan muncul, pasien masih dapat berjalan, berbeda dengan keluhan hari ini dimana pasien
tidak bisa berjalan sendiri dan butuh bantuan. Berdasarkan awitan, pasien ini mengalami
keluhan dengan awitan akut, dimana keluhan baru muncul sejak 1 hari. Keluhan pasien muncul
pada kedua tungkai bawah pasien, yang berarti pada pasien ini keluhan terjadi secara simetris.
Selain itu, pasien juga saat keluhan baru muncul, pasien masih dapat berjalan, berbeda dengan
hari sebelum masuk rumah sakit, dimana pasien tidak bisa berjalan sendiri dan butuh untuk
dipapah. Hal ini menunjukan bahwa keluhan pada pasien bersifat progresif. Dari hal diatas,
dapat disimpulkan dimana pasien mengalami keluhan kelemahan tungkai bawah dengan
awitan akut bersifat simetris dan bersifat progresif.
Selain kelemahan tungkai, pasien juga mengeluhkan rasa kesemutan dan kehilangan
sensasi pada kedua telapak kaki. Hal ini merujuk pada Guillain Barre Syndrome, neuropati
diabetes, sindrom cauda equina, mielitis transversa, dan hipokalemia.
Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran, gangguan nervus kranialis, dan fungsi
eksekutif, sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan gangguan saraf pusat. Selain itu, pasien
juga harus dipastikan mengenai sifat dari kelemahan anggota geraknya, apakah tipe spastik
atau flasid, karena hal ini akan menentukan letak lesi, yaitu dapat pada upper motor neuron
(UMN) atau lower motor neuron (LMN). Pada pemeriksaan fisik, ditemukan tanda-tanda lesi
lower motor neuron, yaitu hiporefleks, KPR dan APR bilateral menurun, dan tanda babinski
negatif. Sehingga diagnosis banding mielitis transversa dapat disingkirkan. Ditambah dengan
tidak adanya disfungsi pencernaan dan kandung kemih dapat menyingkirkan mielitis
transversa dan sindrom cauda equina.
Nilai pemeriksaan motorik pada tungkai distal 3/3 dan pada tungkai proksimal 4/4,
yang berarti paraparese inferior distal lebih berat dari pada proksimal. Pada pemeriksaan
sensorik juga ditemukan adanya hipestesi pada kedua tungkai. Kedua hal ini menunjukan pola
keluhan yaitu “Ascending pattern”. Hal ini dapat merujuk pada Guillain Barre Syndrome dan
neuropati diabetes. Ditambah dengan riwayat diare 2 minggu sebelum onset kelemahan, hal ini
berhubungan dengan patogenesis dari SGB.
Keluhan pada pasien yang bersifat akut, kelemahan simetris bilateral pada tungkai
bawah, dan progresif merujuk pada diagnosis Guillain Barre Syndrome. Pada pasien ini juga

23
terdapat keluhan parestesia pada bagian telapak kaki yang terjadi bersamaan dengan kelemahan
tungkai bawah, dimana seringkali terjadi pada pasien SGB. Pada SGB, keluhan awal yang
sering muncul adalah parestesia, dimana dapat muncul lebih dahulu dibandingkan dengan
keluhan motorik ataupun bersamaan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kekuatan motorik
tungkai bawah distal lebih lemah dibandingkan dengan kekuatan motorik tungkai bawah
proksimal. Hal ini menandakan ascending pattern pada keluhan motorik yang biasa ditemui
pada pasien dengan SGB. Pada pasien juga ditemukan KPR dan APR bilateral menurun dan
tanda babinski negatif, yang menunjukan lesi LMN.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien memenuhi kriteria diagnosis GBS yang
berupa kelemahan progresif pada lebih dari 1 ekstremitas, hiporefleksia proksimal dan distal,
pola distribusi defisit neurologis yang simetris, dan gangguan sensorik minimal. Diagnosis
metabolik seperti diabetes, hipokalemia belum dapat disingkirkan. Maka untuk menyingkirkan
diagnosis banding neuropati diabetes dan hipokalemia, dapat dilakukan pemeriksaan gula
darah sewaktu, serum elektrolit. Untuk menunjang diagnosis GBS dapat dilakukan lumbal
pungsi untuk analisa cairan serebrospinal dan elektroneuromiografi. MRI dapat dilakukan pada
pasien dengan GBS untuk menyingkirkan diagnosis lain seperti adanya lesi pada medulla
spinalis, baik dikarenakan adanya inflamasi (mielitis transversa), trauma (Mielopati akut),
massa, herniasi pada diskus, hematoma dan lainnya.
Diagnosa banding dari kasus ini adalah neuropati diabetes. Diabetes mellitus
merupakan salah satu penyebab terbanyak neuropati perifer di dunia. Beberapa hal penting
yang harus diperhatikan dalam diagnosis neuropati diabetika yaitu pasien merupakan penderita
diabetes mellitus, tidak ada kelainan atau penyakit lain yang menyebabkan gejala neurologis
kecuali diabetes mellitus, gejala simetris (nyeri spontan, paresthesia, hipestesia, anestesia),
penurunan refleks achilles atau patella, pallestesia (kelainan sensasi getar), hasil pemeriksaan
elektrofisiologi abnormal, dan adanya gejala neuropati otonom. Pada pasien ini terdapat
paresthesia yang simetris, penurunan KPR dan APR. Pasien mengaku bahwa ia tidak ada
riwayat diabetes melitus, namun belum dilakukan pemeriksaan GDS. Pada pasien ini juga
awitan kelemahan nya akut dan ada riwayat diare 2 minggu lalu, dimana neuropati diabetes
awitan nya lebih ke arah subakut dan tanpa riwayat infeksi. Maka dari itu, neuropati diabetes
dapat disingkirkan.
Diagnosis banding lain pada kasus ini adalah sindrom kauda equina. Sindrom kauda
equina sendiri dapat menimbulkan gejala paraparesis bilateral, dengan adanya gangguan
sensorik, menyerupai dari GBS. Hanya saja, pada sindrom kauda equina seringkali
menyebabkan gejala lainnya yang jarang ditemukan pada pasien dengan GBS, seperti nyeri

24
punggung dan siatika, disfungsi kandung kemih dan pencernaan, serta saddle anesthesia dan
penurunan sensasi pada perineum dan disfungsi seksual.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien dibagi menjadi tatalaksana umum dan khusus.
Tatalaksana umum yang dapat diberikan penanganan airway, breathing, dan circulation,
monitor tanda-tanda vital, memeriksa apakah adanya gangguan fungsi menelan, dan
pencegahan komplikasi. Tatalaksana khusus dapat dilakukan plasmapheresis atau pemberian
immunotherapy. Plasma exchange mempercepat perbaikan dengan cara menghilangkan
antibodi dan komplemen. Dosis yang diberikan 50ml plasma/kgBB/kali diberikan sebanyak 5
kali dalam periode 2 minggu. Immunoglobulin intravena juga memberikan efikasi yang sama
seperti plasma exchange. Dosis yang diberikan 0,4gr/kgBB/hari selama 5 hari.
Prognosis pada pasien ini dapat dihitung dengan Erasmus GBS Outcome Score
(EGOS). Penilaian EGOS paling kecil 1 dan paling besar 7. Semakin besar jumlah nilai EGOS,
maka semakin kecil kemungkinan pasien dapat berjalan mandiri setelah 6 bulan dari awitan.
Jumlah nilai EGOS pada pasien ini adalah 5. Maka prognosis pasien ini dubia ad bonam. Pasien
dengan SBG paraparetik akan sembuh lebih cepat dan sepenuhnya.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktis Klinis Neurologi.


Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2016; 1. h213-15.
2. Yuki, N. dan Hartung H-P. Guillain-barre syndrome. New England Journal of
Medicine. 2012;366:h2294-304
3. Pithadia AB dan Kakadia N. Guillain-barré syndrome (GBS). Pharmacological
Reports. 2010;62:h220-232.
4. Willson HJ, Jacobs BC, Doorn PA. Guillain-Barré syndrome. Lancet.
2016;388:h717–27.
5. Shahrizaila N dan Yuki N. Guillain-Barré syndrome, Fisher syndrome and Bickerstaff
brainstem encephalitis: Understanding the pathogenesis. Neurology Asia.
2010;15(3):h203–209.
6. Therapeutics, P. Guillain-Barre Syndrome. 2016;69(10), 2405–2411.
7. Albers, J. W. Inflammatory Demyelinating Polyneuropathies. In Office Practice of
Neurology: Second Edition (Second Edition). Elsevier Inc. 2003
https://doi.org/10.1016/B0-44-306557-8/50094-0
8. Dimachkie, M. M., & Barohn, R. J. Guillain-Barré syndrome and variants. Neurologic
Clinics. 2013; 31(2), 491–510. https://doi.org/10.1016/j.ncl.2013.01.005
9. Burns, T. M. Guillain-Barré syndrome. Seminars in Neurology. 2008; 28(2), 152–167.
https://doi.org/10.1055/s-2008-1062261
10. Kedokteran, F., & Lampung, U. Guillain-Barré Syndrome : Penyakit Langka
Beronset Akut yang Mengancam Nyawa Fadlan Fadilah Wahyu Guillain-Barré
Syndrome : Life-threatening Rare Disease with Acute-onset. 8(April) 2018; 112–116.
11. Low, P. A., Dyck, P. J., Lambert, E. H., Brimijoin, W. S., Trautmann, J. C.,
Malagelada, J. R., Fealey, R. D., & Barrett, D. M. Acute panautonomic neuropathy.
Annals of Neurology. 1983; 13(4), 412–417. https://doi.org/10.1002/ana.410130407

12. Leonhard SE, Mandarakas MR, Gondim FAA, Bateman K, Ferreira MLB, Cornblath
DR, et al. Diagnosis and management of guillain-barre syndrome in ten steps.
Neurology Nature Reviews. 2019;671-81.
13. Safri AY. Sindrom guillain-barre. In: Aninditha T, Wiratman W, editors. Buku ajar
neurologi. 1st ed. Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017. p. 682-6.

26
14. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Sensory disorders. In: Clinical neurology. 9th
ed. New York: McGraw Hill Education; 2015. p. 287.
15. Folkke C, Berg B, Drenthen J, Walgaard C, Doorn PA, Jacobs BC. Diagnosis of
guillain-barre syndrome and validation of Brighton criteria. Brain. 2014;137;33-43.
16. Nayak R. Practical approach to the patient with acute neuromuscular weakness. World
J Clin Cases. 2017; 5(7):270-9
17. Esposito S, Longo MR. Guillain-barre syndrome. Autoimmunity reviews. 2017;96-
101.
18. Doets AY, Jacobs BC, Doorn PA. Advances in management of guillain-barre
syndrome. Curr Opin Neurol. 2018;31;541-50.
19. Kurniawan H, Suharjanti I, Pinzon RT. Panduan praktik klinis neurologi. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2016.
20. Rider IS, Marra EM. Cauda equina and conus medullaris syndromes. StatPearls. 2020.
21. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Motor disorders. In: Clinical neurology. 9th
ed. New York: McGraw Hill Education; 2015. p. 231-9.
22. Berg B, Fokke C, Doorn PA. Paraparetic guillain-barre syndrome. American Academy
of Neurology. 2014;82;1984-9.

27

Anda mungkin juga menyukai