Anda di halaman 1dari 17

PEMBAGIAN STRUKTUR HUKUM ADAT

TUGAS

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT MATAKULIAH

HUKUM ADAT

DISUSUN OLEH :

Laura Frantina Lova 23610078


Lexcika Dwi Amanda 23610079
M.Rizky Aditya 23610090
M.Rio Saputra 23610098
Muhammad Rizki 23610101
Nurani Melinda Aditya 23610118

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MAHALAYATI

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayat – Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kami yang berjudul “ Ciri-Ciri Hukum Adat, Sistem
Hukum Adat, Wilayah Hukum Adat, dan Tata susunan persekutuan Hukum Dalam Wilayah
Hukum Adat ” dengan tepat waktu. Adapun tujuan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
yang telah diberikan oleh Ibu Evi Susilawati, S.Sos., S.H.,M.Kn. selaku dosen pengampun pada
mata kuliah Hukum Adat.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Evi Susilawati, S.Sos., S.H.,M.Kn. selaku
Dosen Pengampu Mata Kuliah Hukum Adat yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kami sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami
juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam meyusun makalah ini
dan juga telah membagi sebagian pengetahunnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 23 Maret 2024

Penulis

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................................iii

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................

1.3 Tujuan...............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................

2.1 Ciri-Ciri Hukum Adat.......................................................................................................

2.2 Sistem Hukum Adat..........................................................................................................

2.3 Wilayah Hukum Adat.......................................................................................................

2.4 Tata Susunan Persekutuan Hukum Dalam Wilayah Hukum Adat....................................

BAB III PENUTUP ....................................................................................................................

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................

3.2 Saran..................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ciri-ciri Hukum Adat Dalam hal ini di artikan sebagai tanda-tanda yang terdapat
dalam bagian lahir dari sesuatu yang dapat memberikan petunjuk yang berlainan dari
sesuatu yang lain.

Adapun ciri-ciri hukum adat adalah sebagai berikut.

1.Hukum Adat umumnya merupakan hukum yang tidak tertulis.


2.Norma-norma hukum adat tertuang dalam petuah-petuah yang memuat asas-asas
prikehidupan dalam masyarakat.
3.Asas-asas itu di rumuskan dalam bentuk pepatah-pepatah, seloka-seloka, cerita-cerita,
dan perumpamaan.
4. Kepala adat selalu dimungkinkan ikut campur tangan dalam segala urusan.
5. Faktor-faktor dari segala kepercayaan atau agama sering tidak dapat dipisahkan karena
erat terjalin dalam segi hukum dalam arti yang sempit.
6. Faktor pamrih sukar dilepaskan dari faktor bukan pamrih.
7. Ketaatan dalam melaksanakannya lebih didasarkan pada rasa harga diri setiap anggota
masyarakat hukum.

Sistem-Sistem Hukum Adat adalah bahwa peraturan-peraturan dari hukum itu


merupakan suatu lebulatan berdasar atas kesatuan alam pikiran (atau satu sama lain saling
berhubungan secaa logis). Alam pikiran sistem hukum barat berlainan dengan alam
pikiran sistem hukum adat. Alam pikiran sistem hukum barat dikuasai oleh
individualisme, sedangkan alam pikiran sistem hukum adat adalah kolektik.

Wilayah adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, atau perairan beserta
sumber daya alam yang ada diatasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki,
dimanfaatkan, dan dilestarikan secara turun temurun dan secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur
mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.

Tata susunan persekutuan hukum dalam wilayah hukum adat.


Van Vollenhoven dalam bukunya “adatrecht” menguraikan tentang tata persekutuan
hukum dari masing-masing wilayah hukum menurut bentuk susunan masyarakat yang
hidup di daerah daerah, yaitu:
1.semua persekutuan hukum di pimpin oleh rakyat/desa
2.sifat dan susunan itu erat hubungannya dengan sifat serta susunan tiap tiap jenis badan
persekutuan yang bersangkutan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini sebagai berikut:

1. Menjelaskan apa saja Ciri-Ciri Hukum Adat ?


2. Apa yang dimaksud dengan Sistem Hukum Adat ?
3. Menjelaskan bagaimana Pembagian Wilayah dan Tata Susunan Persekutuan Hukum
dalam Wilayah Hukum Adat?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui tentang Ciri-Ciri Dalam Hukum Adat.


2. Mengetahui apa saja Sistem Hukum Adat.
3. Mengetahui Tentang Pembagian Wilayah dan Tata Susunan Persekutuan Hukum
dalam Wilayah Hukum Adat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ciri-Ciri Hukum Adat

Ciri-ciri Hukum Adat Dalam hal ini di artikan sebagai tanda-tanda yang terdapat dalam
bagian lahir dari sesuatu yang dapat memberikan petunjuk yang berlainan dari sesuatu yang
lain. Adapun ciri-ciri hukum adat adalah sebagai berikut.

1. Hukum Adat umumnya merupakan hukum yang tidak tertulis;


Hukum Adat itu sebagai secara langsung merupakan pernyataan rasa keadilan dan
kepatutan yag hidup di sanubari masyarakat. Oleh sebab itu hukum adat tidal pernah
tertulis seperti Undang-Undang. Hal ini akan berdampak pada pusat perkembangan
hukum adat yang terletak pada masyarakat sendiri dan tidak pada teknik Perundang-
undangan.

2. Norma-Norma Hukum Adat tertuang dalam petuah-petuah yang memuat asas-asas


perkehidupan dalam masyarakat;
Terdapat pengertian bahwa hukum adat sebagai hukum yang memberi pedoman tentang
perbuatan manusia dalam pergaulan masyarakat. Pedoman mana adalah bersifat garis
besarnya saja yang disebut dengan asas-asas. Hal ini disebabkan karena para pelasana
hukum yang memberikan, melaksanakan perinciannya dalam kenyataan kehidupan
sehari-hari.

3. Asas-asas itu dirumuskan dalam bentuk pepatah-pepatah, cerita-cerita dan perumpamaan;


Mengandung pengertian bahwa Hukum Adat itu sebagai hukum yang bersumber dari
kehidupan masyarakat itu sendiri, maka perumusan asas-asas (Hukum Adat) dirumuskan
dalam bentuk yang mudah diingat, diketahui, dan dipahami oleh masyarakat dengan
tujuan agar dalam mengimplementasikan asas-asas itu mudah diresapi dan diamalkan
dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari.

4. Kepala adat selalu dimungkinkan ikut campur tangan dalam segala urusan;
Terdapat pengertian bahwa hukum adat itu sebagai hukum yang hanya memuat asas-asas
saja, Sehingga diperlukan adanya seorang ahli yang bisa memberikan penjelasan dari isi
yang terkandung dalam asas-asas hukum tersebut. Jika setiap orang memberikan
penafsiran sendiri-sendiri maka dapat menimbulkan suatu penafsiran yang tidak sesuai.
Oleh karena itu, kepala adat memiliki peranan yang besar dan ikut campurnya kepala adat
selalu dimungkinkan untuk memberikan penafsiran yang benar manakala isi dari asas-
asas hukum adat itu kurang dipahami.
5. Faktor-faktor dari segala kepercayaan atau agama sering tidak dapat dipisahkan karena
erat terjalin dengan segi hukum dalam arti yang sempit;
Dalam lembaga-lembaga hukum adat seperti dalam pelaksanaan perkawinan terdapat
unsur-unsur yang berasal dari alam kepercayaan dan demikian pula dalam hal
pemindahan barang karena jual beli terhadap hal-hal yang mengandung unsur
kepercayaan. Unsur-unsur seperti ini sering kali diidentifikasi kan sebagai hukum adat.

6. Faktor pamrih sukar dilepaskan dari faktor bukan pamrih ;


Terdapat penafsiran bahwa hukum adat itu sebagai hukum yang bersumber dan berakar
dalam kehidupan masyarakat yang dalam pelaksanaannya sering kali dipengaruhi faktor
pamrih dan tidak pamrih. Hal ini karena kehidupan masyarakat pada umumnya tidak
mengenai perbedaan secara tegas antara hubungan pamrih dan hubungan tidak pamrih
tersebut.

7. Ketaatan dalam melaksanakannya lebih didasarkan pada rasa harga diri setiap anggota
masyarakat.
Hukum adat sebagai hukum didalam pelaksanaan pada umumnya ditaati oleh masyarakat
tanpa ada paksaan. Hal itu disebabkan karena didalam masyarakat adat yang tradisional
ada keharusan untuk mengindahkan dan menaati hukum adat itu sejak kecil sebagai
bagian dalam pendidikan bagi setiap warga masyarakat guna menuju cita hukum
masyarakat itu sendiri. Pada umumnya, paksaan dari msayarakat baru muncul jika terjadi
hal-hal atau kejadian-kejadian yang mengancam seluruh kelembagaan adat, tatanan
kemasyarakatan dan kelangsungan kehidupan masyarakat.

Menurut prof.koesnoe, Hukum adat mempunyai 4 sifat sebagai berikut ;

1. Bersifat tradisional, Hal ini mempunyai pengertian bahwa setiap ketentuan-ketentuan


dalam hukum adat ini selalu ada hubungannya dimasa lampau yang dapat diketahui
secara berurutan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan-keterangan pandai adat yang
menyatakan bahwa tidak ada suatu ketentuan yang tidak berpangkal pada sebuah
dongeng dimasa lampau. Dongeng semacam itu mempunyai sifat pembenar terhadap
suatu ketentuan hukum adat tersebut. Dikarenakan faktor ini lah hukum adat sering kali
ditafsirkan sebagai suatu kekolotan yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman.

2. Bersifat suka pamor yang keramat, pengertiannya yaitu ketentuan hukum adat
mempunyai sifat pamor yang keramat karena unsur-unsur yang berasal dari bidang
kepercayaan memegang peranan penting didalam ketentuan-ketentuan hukum adat
tersebut. Sifat pamor keramat ini sebenarnya bukanlah suatu hal yang dipandang
mempunyai sanksi roh-roh nenek moyang atau ketentuan-ketentuan gaib, akan tetapi
menurut prof.koesnoe, sifat pamor keramat ini lebih menitik beratkan kepada wibawa
yang dalam ekspresi lahiriah nya berupa kekuatan kekeramatan.

3. Bersifat luwes, bahwa ketentuan-ketentuan hukum adat sebagai hukum yang bersumber
dalam kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan masyarakat yang
bersangkutan. Hal ini dimungkinkan karena hukum adat itu hanya memuat asas-asas nya
saja tidak memberikan perincian yang mendetail. Dengan sifatnya yang luwes, hukum
adat dapat lekas menyesuaikan diri pada permintaan masyarakat pada suatu waktu
tertentu maupun tempat tanpa mengubah sistem dan lembaganya. Keluwesan tesebut
dilihat dari pekembangan hukum adat dengan pengaruh-pengaruh Islam, Kristen, Hindu
dan Buddha serta pengaruh-pengaruh kerajaan, maka hukum adat tidak pernah
menunjukkan pertentangan dengan berbagai pengaruh dari luar.

4. Bersifat dinamis, Adat itu dalam perkembangannya sejalan dan seirama dengan
perkembangan yang terjadi didalam kehidupan masyarakat. Sifat dinamis dalam hukum
adat tidak berarti bahwa hukum adat berkembang secara liar tanpa memperhatikan asas
yang ada dan mengabaikan begitu saja segala sesuatu dari masa yang silam. Disisi lain
perubahan dan perkembangan selalu dilakukan dengan kebijaksanaan dan kewaspadaan
melalui penelitian-penelitian secara kritis.

F.D.Hollemann dlam pidatonya De Commune Trek in het Indonesische Rechtsleven


mengemukakan ada empat corak hukum adat yang merupakan satu kesatuan sebagai berikut:

1. Magis religius (Magisch – Religieus)

Sifat ini diartikan sebagai pola pikir yang didasarkan pada religiusitas, yakni keyakinan
masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sacral. Sebelum masyarakat adat mengenal
agama, sifat religius ini diwujudkan dalam cara berpikir yag tidak logis, animisme dan
kepercayaan pada hal-hal yang bersifat gaib. Menurut kepercayaan masyarakat pada masa itu
bahwa dialam semesta ini benda-benda itu serba berjiwa (animisme), benda-benda itu punya
daya gerak (dinamisme), disekitar kehidupan manusia ada roh-roh halus yang mengawasi
kehidupan manusia dan alam itu ada karena ada yang menciptakan, yaitu yang Maha
pencipta. Sifat magis religius ini merupakan kepercayaan masyarakat yang tidak mengenal
pemisahan dunia lahir (fakta) dengan dunia goib. Setelah masyarakat adat mengenal agama
maka sifat religius tersebut diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan yang Maha
Kuasa. Masyarakat mulai mempercayai bahwa setiap perilaku akan ada imbalan dan
hukuman dari Tuhan. Kepercayaan itu terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat
modern. Sebagai gambaran dapat dilihat pada setiap keputusan badan peradilan yang selalu
mencantumkan klasul “demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Komunal (Kebersamaa)

Menurut pandangan hukum adat setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian
integral dari masyarakat secara keseluruhan. Hubungan antara anggota masyarakat yang satu
dengan yang lain didasar kan oleh rasa kebersamaan. Kekeluargaan, tolong menolong, dan
gotong royong. Masyarakat hukum adat meyakini bahwa setiap kepentingan individu
sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang
terlepas dari masyarakat nya.

3.Konkret (visual)

Sifat yang konkret artinya jelas, nyata. Berwujud dan visual artinya dapat terlihat, tampak,
terbuka, tidak tersembunyi. Hal ini mengartikan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi
didalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam. Contoh jual beli, selalu memperlihatkan
adanya perbuatan nyata, yakni dengan pemindahan benda objek perjanjian. Berbeda dengan
halnya hukum barat yang mengenal perbedaan antara benda bergerak dengan benda tidak
bergerak, dimana didalam perjanjian jual beli, tanggung jawab atas suatu barang telah beralih
kepada pembeli walaupun barang tersebut masih ada ditangan penjual.

4. Kontan (tunai)

Sifat ini mempunyai makna bahwa suatu perbuatan selalu diliputi oleh suasana yang serba
konkret terutama dalam hal pemenuhan prestasi. Bahwa setiap pemenuhan prestasi selalu diiringi
dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta merta. Presetasi dan kontra prestasi dilakukan
secara bersama sama pada waktu itu juga. Dalam hukum adat segala sesuatu terjadi sebelum dan
sesudah timbang terima secara kontan adalah diluar akibat hukum, perbuatan hukum telah selesai
seketika itu juga.

2.2 Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat merupakan sistem hukum khas yang bersifat religiomagis,
komunal, kontan, dan konkret. Bersdasarkan struktur pikiran tersebut, maka sistem
hukum adat tidak memerlukan kodifikasi, mengatur secara garis besar saja tidak di buat
aturan terlebih dahulu karna yang di atur adalah hal-hal umum untuk kepentingan
bersama, tidak di bedakan dengan atas benda tetap dan bergerak, serta hak kebendaan dan
perorangan juga tidak di bedakan antara hukum public dan privat, sebab hukum adat
tidak membedakan kedudukan antara penguasa dan rakyat.

Apabila sistem hukum adat di perbandingkan dengan sistem hukum barat, maka tampak
perbedaan pokok sebagai berikut:

Sistem hukum barat:


1.Menjujung tinggi nilai kodifikasi.

2.Memuat peraturan yang merinci.

3.Hukum terikat penetapan dan kodifikasi.

Hakim diberikan tugas mencocokan perkara yang di hadapi dengan penetepan yang
pracexistence karana hukum pasif.

4.Mengenal hak-hak kebendaan yaitu hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang dan
hak-hak perorangan yaitu hak-hak atas suatu objek yang hanya berlaku terhadap orang
tertentu.

5.Terdapat pembagian hukum dalam hukum privat dan hukum public.

6.Dikenal perbendaan benda dalam benda tetap dan bergerak.

7.Perlu adanya sanksi sebagai jaminan terlaksananya penertiban.

Sistem hukum adat:

1.Tidak mengenal kodifikasi.

2.Menyandarkan pada asas-asas hukum saja artinya hanya mengatur dalam garis besar.

3.Karna tidak adanya penetapan yang pracexistence maka hakim di berikan kebebasan
leluasa dalam mewujudkan keadilan yang hidup dalam masyarakat karna nya hakim aktif.

4.Hak-hak kebendaan dan perorangan seperi itu tidak dikenal dalam hukum adat.

5.Tidak dikenal pembagian hukum public dan privat.

6.Hukum adat tidak mengenal perbedaan benda.

7.Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang harus di sertai syarat yang menjamin
terlaksananya ketertiban dengan jalan memprgunakan sanksi.Hukuman adat tidak
merupakan hukuman tapi hanyalah upaya adat untuk mengembalikan keseimbangan.

Secara fundamental maka perbedaan dalam sistem ini pada hakekatnya adalah:

1. Corak serta sifat yang berlainan antara Hukum Adat dan Hukum Barat, Hukum Adat
bersifat komunal sedangkan Hukum Barat Individual.

2. Pandangan hidup yang berlainan.


Aliran Barat bersifat liberalistis dan bercorak rasionalistis entelektualistis. Alira timur
bersifat kosmis, tidak ada pembatasan dunia lahir dan goib, manusia berhubungan
erat dengan segala yang hdup dialam ini.
Sistem hukum adat, terdiri atas unsur-unsur pokok:

1. Kepercayaan
2. Perasaan
3. Tujuan
4. Kaidah
5. Kedudukan, peranan dan pelaksanaan peranan
6. Tingkatan atau jenjang
7. Sanksi
8. Kekuasaan, dan
9. Fasilitas (suerjono soekamto, 2012: 132)

Sistem Hukum Adat sumbernya berasal dari hukum Indonesia asli, sistem common law
sumbernya banyak unsur-unsur hukum romawi kuno.

Yang dimaksud dengan sistem ialah bahwa peraturan-peraturan dari hukum itu
merupakan suatu kebulatan berdasar atas kesatuan alam pikiran. Alam pikiran sistem
hukum barat dikuasai oleh alam individualisme, sedang alam pikiran sistem hukum adat
adalah kolektif. Untuk memperoleh gambaran yang jelas, kita memakai metode
perbandingan. Pada pokoknya sistem itu dapat kita nyatakan sebagai berikut ;

1. Sistem pertama ialah bahwa hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hak zakelijk
dengan hak personlijk.
Hak zakelijk (Hak perdata) keseluruhan hak yang ada pada seseorang untuk langsung
menguasai suatu benda. Hak ini berlaku terhadap siapa pun dan melekat dimana pun
benda itu berada, misalnya hak milik. Sedangkan hak personlijk (hak orang) yaitu hak
yang ada pada seseorang agar orang lain berbuat. Hak ini hanya berlaku terhadap
seseorang atau beberapa orang tertentu saja. Dalam sistem hukum barat dua hak itu
dibedakan dengan tegas dan perlindungan kedua macam hak-hak itu juga tidak sama
Dalam sistem hukum adat perlindungan terhadap kedua macam hak itu semata-mata
digantungkan kepada tangan hakim (Adat). Bila timbul sengketa dimuka pengadilan,
hakim dalam hal ini hanya menimbang berat ringannya kepentingan hukum yang
berlainan itu, jika bukan karena hak yang satu harus dilindungi sedemikian rupa.
Dengan singkat segala peristiwa itu diserahkan kepada kepala adat, yang
pertimbangannya didasarkan atas rasa keadilan dan kepatutan.

2. Sistem kedua dari hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hukum public
deangan hukum privat.
Jikalau terdapat perbedaan yang demikian itu maka batas-batasnya berbeda dengan
batas-batas yang dlakukan oleh sistem hukum barat. Sistem hukum barat dengan tegas
membedakan lapangan hukum public dan hukum privat.
3. Sistem ketiga adalah hukum adat tidak membagi-bagi pelanggaran hukum dalam
kelompok yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana dan
pelanggaran yang bersifat perdata yang harus diadili oleh hakim perdata sebagaimana
yang tersebut dalam sistem hukum barat.

4. Sistem keempat dari hukum adat ialah segala perbuatan-perbuatan ataupun keadaan-
keadaan yang didalamnya terdapat sifat-sifat yang sama, maka diberi perbuatan yang
sama pula tanpa memandang apakah perbuatan (keadaan itu mengenai orang atau
barang).

5. Sistem kelima ialah adanya perbuatan hukum disyaratkan agar terang, artinta segala
perbuatan hukum tanpa suaytu tanda yang konkrit diterima sebagai sesuatu yang tidak
mengikat.

6. Sistem keenam ialah bahwa segala perbuatan hukum yang bersifat memindahkan
tanah kepada orang lain bersifat kontan, artinya dilakukan dengan serentak oleh kedua
belah pihak. Sistem yang keenam ini kadang-kadang menimbulkan kesalah pahaman
dikalangan para sarjana hukum bangsa belanda yang masih belum mengetahui dengan
tepat maknannya. Sehingga seing sesuatu istilah hukum adat disalin begitu saja
kedalam bahasa belanda.

7. Sistem ketujuh yaitu bahwa perumusan dalam suatu masalah sering kali dilakukan
secara poetez. Poetez artinya perbuatan hukum yang kurang patut apabila dinyatakan
secara langsung, sehingga perumusan sesuatu masalah dinyatakan secaara yang dapat
diterima dengan patut, jadi dengan cara sindiran atau pura-pura.

2.3 Wilayah Hukum Adat

Wilayah Hukum Adat merupakan ruang kehidupan, tempat dari kesatuan masyarakat yang
adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Wilayah adat memerlukan batas-batas untuk menjamin kepastian spasial dan juga kepastian
hukum apabila terjadi sengketa berkitan dengan wilayah adat. Oleh karena itu diperlukan batas-
batas wilayah adat baik alam maupun batas dengan komunitas lainnya. Batas-batas wilayah adat
tersebut dapat dipetakan atas prakarsa kesatuan masyarakat hukum adat atau oleh dinas atau
instansi terkait bersama, terorganisir berdasarkan norma adat dimana penguasaan, penggunaan
dan pengelolaannya dilaksankan menurut hukum adat. Tanah adat, hutan adat, perairan
tangkapan ikan (sungai, danau, pesisir, dan laut) ada didalam wilayah adat dimana
pengaturannya ditentukan menurut hukum adat. Hutan adat yang sekarang menjadi tren diskusi
dan advokasi sudah jelas berada didalam wilayah adat. Pada wilayah adat itu hidup hak ulayat.
Hak ulayat merupakan penegasan hak yang strategis dalam membangun kehidupan masyarakat
hukum adat. Undang-Udang Pokok Agraria (UUPA) menyediakan pasal untuk pendelegasiaan
wewenang agrarian dari negara pada masyarakat hukum adat yang sedimikian rupa ada dan
dapat dibuktikan untuk menguasai wilayah adat. Ini wujud pengaturan pengakuan negara atas
masyarakat adat. Sedangkan dari sisi internal masyarakat hukum adat, hak ulayat adalah wujud
kedaulatan masyarakat hukum adat untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri.
Kepentingan negara dan masyarakat hukum adat (sebagai rakyat) bersatu untuk mewujudkan
perekonomian bangsa yang adil, makmur dan mensejahterakan seperti yang dituangkan dalam
pasal 33 UUD 1945.

Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat
hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum sama dengan kesatuan masyarakat hukum adat.

Wilayah hukum adat atau lingkungan hukum adat atau kukuban hukum adat sangat erat
kaitannya dengan persekutuan hukum adat atau masyarakat hukum adat. Van Vollenhoven
membagi atau mengelompokkan wilayah Indonesia dalam 19 Lingkungan Hukum Adat (adat
rechtkringen). Pembagian tersebut didasarkan atas pengklafisikasian berdasarkan bahasa-bahasa
yang digunakan berbagai daerah yang ada di Indonesia. Ke-19 Lingkungan Hukum Adat itu
sebagai berikut.

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Simeulue).

2. Gayo, Alas, dan Batak:

a) Tanah Gayo (Gayo Lueus).


b) Tanah Alas.
c) Tanah Batak (Tapanuli).
1) Tapanuli Utara.
a) Pakpak-Batak (Barus).
b) Karo-Batak.
c) Simalungun-Batak.
d) Toba-Batak (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Julu).
2) Tapanuli Selatan.
a) Padang Lawas (Tano Sepanjng).
b) Angkola.
c) Mandailing (Sayurmatinggi).

3. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Daerah Kampar,
Kerinci).
4. Sumatera Selatan.

a. Bengkulu (Rejang).
b. Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulangbawang).
c. Palembang (Anak-Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasema, Semendo).

5. Daerah Melayu (Lingga Riau, Indragiri, Pantai Timur Sumatera Utara, orang-orang Banjar).

6. Bangka dan Belitung.

7. Kalimantan (Dayak, Bagian Barat Kalimantan, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam
Hulu, Pasi, Dayak Kenya, Dayak Klementen, Dayak Landak dan Tayan, Dayak-Lawang, Lepo-
Alim, Lepo-Timei, Long Glatt, DayakMaanyan-Pantai, Dayak Maan Siung, Dayak-Ngaju,
Dayak-Ot-Danum, DayakPenyabung Punan).

8. Minahasa (Manado).

9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo).

10. Daerah/Tanah Toraja (Sulawesi bagian Tengah, Toraja, orang Toraja berbahasa Baree,
Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai).

11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Selayar, Muna).

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Pulau Sula).

13. Maluku-Ambon (Ambon, Banda, orang Uliaser, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Kai,
Kepulauan Aru, Kisar).

14. Irian.

15. Kepulauan Timor (kelompok Timor, Timur, Bagian tengah Timor, Mollo, Sumba, Bagian
tengah Sumba, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Savu Bima).

16. Bali dan Lombok (Bali, Tangan Parigsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Jembarana,
Lombok, Sumbawa).

17. Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Madura (Jawa bagian tengah, Kedu, Purworejo,
Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura).

18. Daerah Kerajaan (Solo-Yogyakarta).

19. Jawa Barat (Parahyangan, Tanah Sunda, Jakarta, Banten).

Ke-19 wilayah hukum adat yang diklasifikasikan oleh Van Vollenhoven tersebut memberikan
gambaran tentang keberagaman bentuk masyarakat hukum adat dan keberagaman hukum adat
yang berlaku yang berbeda-beda di masing-masing wilayah hukum adat dan pembagian
Lingkungan Hukum Adat tersebut di atas berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ditemukan di
masyarakat

2.4 Tata Susunan Persekutuan Hukum Dalam Wilayah Hukum Adat

Tata Susunan Persekutuan Hukum Dalam Wilayah Hukum Adat Van Vollenhoven dalam
bukunya “Adatrecht-I” menguraikan tentang Tata Persekutuan Hukum dari masing-masing
wilayah hukum menurut bentuk susunan masyarakat yang hidup di daerah-daerah, yaitu:

1. Semua persekutuan hukum dipimpin oleh kepala rakyat/desa;

2. Sifat dan susunan itu erat hubungannya dengan sifat serta susunan tiap-tiap jenis badan
persekutuan yang bersangkutan sebagai gambaran diuraikan beberapa contoh sebagai berikut.

1. Di Daerah Tapanuli

Persekutuan daerah tersebut disebut ‘negeri’, di sebelah selatan disebut ‘kuria’, sedangkan di
Padanglawas disebut ‘luhas’. Di tiap-tiap persekutuan daerah tersebut terdapat persekutuan
hukum yang disebut ‘huta’. Yang menjadi kepala ‘negeri’/‘kuria’/’luhas’ dan kepala ‘huta’
seseorang dari marga asal, yaitu seorang keturunan seorang pembuka tanah dan pembuka
‘huta’ di dalam daerah yang bersangkutan. Kepala ‘negeri’/’kuria’/’luhas’ disebut Raja
Panusunan. Marga-marga lain yang ikut bertempat tinggal di daerah tersebut atau di ‘huta’
itu mempunyai seorang wakil di dalam pimpinan daerah dan pimpinan ‘huta’ yang diambil
dari marga rakyat masing-masing.

2. Di Daerah Minangkabau

Persekutuan hukum disebut ‘nagari’ yang terdiri atas famili-famili yang masingmasing
dikepalai oleh ‘Penghulu Andiko’ (laki-laki tertua dari ‘jurai’ atau bagian famili yang tertua).
Tiap ‘jurai’ diketuai oleh orang tua-orang tuanya sendiri yang bernama ‘mamak kepala
waris’ atau ‘tungganai’. Famili-famili dalam suatu ‘nagari masingmasing masuk clan yang
lebih besar disebut ‘suku’. Tiap ‘suku’ mempunyai nama sendiri-sendiri dan tersebar di
seluruh daerah Minangkabau.

3. Di Pulau Ambon

Para famili di daerah Ambon disebut ‘rumah’ atau ‘tau’ dipimpin oleh seorang kepala famili,
terikat dalam golongan famili yang besar (clan) yang dikepalai oleh kepala golongan besar.
Beberapa clan terikat dalam perikatan yang lebih besar dipimpin oleh kepala clan yang
disebut ‘latu’.

4. Di Daerah Bolaang Mongondow


Persekutuan teritorial yang disebut ‘desa’ dikepalai oleh seorang kepala desa yang disebut
kimelaha, beberapa pembantu disebut ‘probis’ dan anggota-anggota famili disebut
‘gihangia’.

5. Di Daerah Banten

Persekutuan teritorial (desa) terdiri atas beberapa ‘ampian’ atau kampung yang dikepalai oleh
‘Kokolot’ atau Tua-Tua, dan Kepala desa disebut Jaro. Di samping perkembangan
masyarakat yang begitu cepat, juga terjadi perubahan peraturan negara sehingga pembagian
lingkungan hukum adat sebagaimana dikemukakan di atas sudah tidak sesuai lagi mengalami
pergeseran atau perubahan-perubahan yang terjadi karena perpindahan penduduk dari desa ke
kota (urbanisasi), terjadinya percampuran penduduk (karena perkawinan) yang kemudian
menetap di wilayah yang berbeda dengan wilayah hukum adat asalnya. Banyak hal yang
menjadikan perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakat sehingga pembagian 19
Lingkungan Hukum.

Anda mungkin juga menyukai