Anda di halaman 1dari 58

TERORISME… BUKAN dari ISLAM (bag.

1/6)
Posted on 7 September 2010 by agusisdiyanto| 5 Komentar

(Jawaban Ilmiah terhadap Pilar-pilar Terorisme)


(Oleh: Dr. Kholid bin Muflih Abdulloh alu Hamid)

Bismillaahirrohmaanirrohiim… Segala puji bagi Alloh, kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, dan
memohon petunjuk-Nya, sebagaimana kami memohon perlindungan pada-Nya dari kejelekan diri dan
perbuatan kami… Barangsiapa yang ditunjuki-Nya, maka tiada seorang pun yg mampu menyesatkannya…
Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tiada seorang pun yang dapat menunjuki-Nya.
Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah, melainkan Alloh semata, yang tiada sekutu bagi-Nya.
Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rosul-Nya, semoga Alloh mencurahkan sholawat
dan salam yang melimpah kepada beliau, beserta keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du:

Sungguh, beberapa kasus pemboman dan kezholiman yang meletus di negara ini pada tahun-tahun lalu,
mengharuskan kita merenung panjang, untuk mengetahui apa yang mendasari mereka melakukan perbuatan
itu. Kita juga patut bertanya-tanya:
Bagaimana jalan ke Neraka, bisa dipahami oleh mereka bahwa itulah jalan menuju Surga?!

Bagaimana tindakan mengkhianati janji, pengrusakan di atas muka bumi, dan menyulut api peperangan itu
menjadi suatu keuntungan?! Padahal Alloh telah berfirman:

(Orang-orang yang fasik adalah) mereka yang melanggar perjanjian Alloh setelah perjanjian itu diteguhkan,
memutuskan apa yang diperintahkan Alloh untuk disambungkan, dan berbuat kerusakan di muka bumi…
Mereka itulah orang-orang yang merugi. (al-Baqoroh: 27)

Orang-orang yang melanggar janji Alloh setelah diikrarkannya, memutuskan apa yang diperintahkan Alloh
agar disambungkan, dan berbuat kerusakan di muka bumi, mereka itulah orang-orang yang mendapat laknat
(kutukan), dan bagi mereka pula tempat tinggal yang buruk (jahannam). (ar-Ro’d: 25)

Bukankah Rosul -alaihish sholatu wassallam- juga telah bersabda:


“Barangsiapa membunuh orang kafir yang ada ikatan perjanjian, maka ia tidak akan mencium bau Surga”
(HR. Bukhori)?!
Lalu bagaimana mereka memahaminya, bahwa siapa yang melakukan hal itu, niscaya akan masuk surga
dengan terhormat?!
Bagaimana mereka membaca firman Alloh ta’ala ini:

Janganlah kalian membunuh diri kalian! Karena sesungguhnya Alloh maha menyayangi kalian… Dan
barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zhalim, maka Kami akan memasukkannya
ke Neraka… Yang demikian itu, adalah mudah bagi Alloh… (an-Nisa’ 29-30)

Begitu pula sabda beliau -shollallohu alaihi wassalam-:


“Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, maka di neraka nanti besi itu akan berada di tangannya, dan dia
menusuk-nusukkan ke perutnya untuk selama-lamanya… Barangsiapa yang minum racun hingga membunuh
dirinya, maka -di neraka nanti- ia akan meneguk racun itu untuk selama-lamanya… Dan barangsiapa yang
menjatuhkan dirinya dari tebing hingga membunuh dirinya, maka -di neraka nanti- ia akan menjatuhkan
dirinya (dari tebing) untuk selama-lamanya”. (HR. Bukhori Muslim)

“Barangsiapa bunuh diri dengan sesuatu di dunia, maka ia akan disiksa dengannya pada hari kiamat”. (HR.
Bukhori Muslim)

“Orang yang menyembelih dirinya (di dunia ini), maka ia nantinya akan menyembelih dirinya di Neraka…
Dan orang yang menusuk dirinya (di dunia ini), maka ia nantinya akan menusuk dirinya di Neraka”. (HR.
Bukhori 1365)
Lalu setelah tahu itu semua, mereka malah mengatakan: “Sungguh, ini semua adalah jalan paling cepat menuju
Surga!!!

Bagaimana mereka membaca Firman Alloh ini:

“Barangsiapa membunuh orang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya adalah Neraka Jahannam,
dia kekal di dalamnya, Alloh murka padanya, melaknatnya, dan menyediakan adzab yang besar baginya” (an-
Nisa’ 93)
Kemudian dipahami mereka, itu dibolehkan karena keadaan yang darurat!!!

Bagaimana bisa, bunuh diri menjadi mati syahid di jalan Alloh?!

Bagaimana bisa, membunuh orang (tanpa hak) -yang diharamkan Alloh- menjadi jalan menuju Surga?!

Bagaimana bisa, menaruh bom dan bahan peledak di rumah-rumah dan restoran-restoran yang dipenuhi
banyak wanita, orang tua, dan anak, menjadi jihad di jalan Alloh?!
Bagaimana bisa, meledakkan pesawat yang ditumpangi banyak orang yang tak bersalah, menjadi amalan
jihad?!

Bagaimana bisa, dua tanah suci -yang menjadi pusat Islam- menjadi tempat praktek tindakan bunuh diri?!

Dan terakhir… Apakah mereka melakukan praktek-praktek itu tanpa ada tujuan?!

Tentunya tidak… mereka melakukan itu semua karena tujuan yang mulia, masuk surga! Mereka juga punya
banyak alasan dan dalil-dalil dari syariat yang membolehkan tindakan mereka, bahkan mereka tidak ragu sama
sekali dengan keyakinan itu.

Alasan dan dalil mereka banyak yang disebarkan lewat berbagai media, tapi jawaban dari dalil-dalil itu
terkesan kurang memuaskan bagi banyak orang, karena hanya berupa dalil-dalil umum, tanpa jawaban ilmiah
yang terperinci dan dilandasi oleh pembahasan mendasar tentangnya.

Sungguh dalam mengatasi masalah ini, tidaklah cukup dengan kita puas bahwa tindakan itu salah, tapi
harusnya kita juga berusaha memuaskan orang lain yang meyakini benarnya tindakan itu dengan dalil-dalil
syar’i yang jelas, disertai jawaban dan keterangan tentang syubhat-syubhat mereka. Karena, sungguh jika saja
mereka tahu bahwa amalan-amalan itu akan menjerumuskan mereka ke Neraka, tentulah mereka tidak akan
melakukannya.
Atas dasar kewajiban untuk menasehati saudara seiman, penulis ingin memberikan sumbangsih untuk
menjelaskan kebenaran yang saya yakini dan juga diyakini oleh sebagian besar kaum muslimin… kebenaran
yang ditutup-tutupi oleh para musuh Islam, dan disamarkan dengan banyak syubhat, sehinggasyubhat itu
banyak mengelabui para pengikut hawa nafsu, dan orang awam… bahkan sebagian orang yang
mengaku alim juga turut membantu menyebarkansyubhat-syubhat itu… sehingga bercampurlah antara
kebenaran dan kebatilan… Tapi, kebenaran sangatlah jelas bagi siapapun yang menghendakinya…
Memang sangat sulit menghadapi orang yang buta hatinya, karena sebab pengikutannya terhadap hawa nafsu,
minimnya ilmu, ataupun kebodohan yang sudah parah… tapi hal itu tidak menjadikan kita menyerah dengan
kenyataan dan acuh tak acuh terhadap tanggung jawab, sebaliknya hendaknya kita berusaha semampu kita
untuk sedikit demi sedikit merubah dan memperbaikinya.

Saling menasehati antara kaum muslimin, hanyalah dengan kebenaran… dan kebenaran merupakan buruan
utama setiap insan yg beriman, dan akan diambil dari mana pun datangnya… Di sisi lain, menjadi keharusan
bagi setiap muslim yg mumpuni ilmunya untuk membantah setiap kebatilan, dari siapa pun datangnya…
TERORISME… BUKAN dari ISLAM (bag.2/6)
Posted on 7 September 2010 by agusisdiyanto| 5 Komentar

(AQIDAH WALA’ WAL BARO’…. kepada siapa LOYALITAS diberikan )

Bahasan kita kali ini, tentang masalah AQIDAH WALA’ WAL BARO’… Hal ini sangat erat kaitannya dg
praktek terorisme yg dilakukan oleh kelompok yg mengaku sedang “memperjuangkan Islam” dg praktek
membuang bom di sembarang tempat, padahal hasil akhirnya sangat merugikan Islam, dan mencoreng wajah
Islam yg mulia…

Bermula dari kesalahan dalam memahami akidah wala’ wal baro’ inilah, mereka kemudian mudah
mengafirkan saudaranya sesama muslim… mulai dari mengafirkan penguasanya, lalu mengafirkan mereka yg
mendukungnya, lalu mengafirkan mereka yg tidak mengingkarinya… Kemudian mereka menghalalkan darah
dan harta orang yg mereka anggap telah kafir… Dan akhirnya banyak dari mereka yg terjerumus dalam
praktek terorisme… Sungguh suatu amalan yg sangat buruk dan keji, tapi hal itu mereka anggap sebagai
amalan ibadah yg memiliki kedudukan tinggi… mereka menganggapnya sebagai amalan jihad fisabilillah, dan
menjadi syahid orang mati karenanya…
Wajar saja, jika setan lebih menyenangi bid’ah daripada maksiat… Karena dengan bid’ah, setan bisa
menjerumuskan seseorang ke dalam suatu dosa -betapapun besarnya- tanpa menimbulkan rasa bersalah dari
pelakunya… Dengan demikian, ia tidak akan istighfar dan taubat dari dosanya, karena ia menganggap amalan
dosanya sebagai ketaatan bukan kemaksiatan… Adapun maksiat, meski setan banyak menjerumuskan
seseorang ke dalamnya, tp karena pelakunya masih menganggapnya dosa dan kesalahan, maka banyak sekali
dari mereka yg akhirnya istighfar dan taubat, hingga mendapat ampunan dari-Nya… Padahal Rosul -
shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda: “Orang yg bertaubat dari dosa, itu seperti orang yg tidak ada dosa
padanya”…

Telah banyak contoh dalam sejarah Islam, lihatlah bagaimana para pembunuh kholifah ketiga Utsman bin
Affan menganggap amalan mereka itu sebagai ibadah… Lihat pula bagaimana pembunuh kholifah keempat
Ali bin Abi Tholib, menganggap amalannya (membunuh menantu Nabi -shollallohu alaihi wasallam-) dapat
mendekatkan dirinya kepada Alloh… dan sejarah akan terus mengulang dirinya…

Bahasan masalah ini, merupakan pembahasan yg sangat penting dan juga sangat berbahaya… Oleh karenanya
kami juga sangat berhati-hati dalam memilih rujukannya… Tulisan ini sebenarnya, terjemahan bebas dari
ceramah yg disampaikan oleh Syeikh Dr. Sulaiman Ar-Ruhaili Al-Ushuli, di Kota Madinah, tepatnya di Masjid
Quba’… Beliau adalah seorang ulama Ahlussunnah ternama di Kota Madinah, sangat terkenal dg
kepakarannya dalam bidang fikih, ushul fikih, dan ilmu syariat lainnya… Semoga sedikit sumbangsih ini,
dapat diambil manfaat oleh segenap kaum muslimin, amin…
Selanjutnya kami persilahkan anda menikmati uraian ilmiah dari beliau -hafizhohullohu ta’ala-

Bismillahirrohmanirrohim…

Segala puji bagi Alloh… Kita memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, dan memohon ampunan-Nya… Kita
juga berlindung pada Alloh dari segala keburukan diri kita dan kejelekan amal kita… Barangsiapa diberi
petunjuk oleh-Nya, maka tiada seorang pun yg mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan-Nya,
maka tidak ada seorang pun yg mampu memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yg berhak disembah melainkan Alloh semata, yg tiada sekutu bagi-Nya… Dan
aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya…

“Wahai orang-orang yg beriman, bertakwalah kalian kepada Alloh dg sebenar-benar takwa, dan janganlah
kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian, yang menciptakan kalian dari diri yg satu (Adam), dan
juga menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya, kemudian dari keduanya Alloh mengembangkan menjadi
laki-laki dan perempuan yg banyak. Bertakwalah kepada Alloh yg dengan (nama) itu kalian meminta, dan
(peliharalah) hubungan kekerabatan. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kalian”

“Wahai orang-orang yg beriman, bertakwalah kepada Alloh dan ucapkanlah perkataan yg benar. Niscaya Dia
akan memperbaiki amal-amal kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian. Barangsiapa taat kepada Alloh dan
Rosul-Nya, maka sungguh ia telah menang dg kemenagan yg agung” Amma ba’du:

Sungguh sebaik-baik ucapan adalah Kitabulloh, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -
shollallohu alaihi wasallam-… Sedang sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yg baru (dalam agama), dan setiap
perkara yg baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di Neraka.

Para pembaca yg kami hormati…

Pembahasan kita kali ini mengenai masalah yg sangat agung kedudukannya, jelas dalilnya, dan hanya satu
kebenaran di dalamnya… Kebenaran dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan
sikap menyepelekan… Masalah ini begitu terang dan tidak ada kesamaran di dalamnya… Itulah aqidah
WALA’ WAL BARO’…
Para pembaca yg kami hormati…

Sungguh Agama Islam adalah agama yg sempurna… Agama ini telah disempurnakan oleh Tuhan yg
Mahabijaksana dan Mahamengetahui… Tuhan yg tahu apapun yg telah terjadi, akan terjadi, dan yg tidak
terjadi bagaimana seandainya ia terjadi…

Alloh telah menganugerahkan pd kita kesempurnaan Agama Islam ini, sebagai bentuk pemberian dan nikmat
yg sangat besar dan agung, Dia berfirman:

“Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama kalian untuk kalian, Aku telah melengkapkan nikmat-Ku untuk
kalian, dan Aku telah meridloi Islam sebagai agama kalian”…

Alloh jg telah memberi jaminan untuk menjaga keotentikan agama ini, meski zaman dan tempat terus berubah,
sebagaimana firman-Nya:

“Sungguh kami telah menurunkan adz-Dzikr (Alqur’an), dan kami jugalah yg akan menjaganya”.

Alloh telah meletakkan seluruh kebaikan dalam agama ini… sehingga tiada kebaikan, melainkan telah
ditunjukkan dan diperintahkan oleh Nabi-Nya -shollallohu alaihi wasallam-… Sebaliknya tiada keburukan,
melainkan telah diterangkan dan diperingatkan oleh Nabi-Nya -shollallohu alaihi wasallam-… Dialah Agama
yg seluruhnya adalah kebaikan…

Dan diantara masalah yg urgen dan menjadi kebaikan yg agung dalam Islam adalah, adanya aturan tentang
bagaimana seorang muslim bergaul dg orang yg hidup bersamanya di muka bumi ini, baik jaraknya jauh
ataupun dekat… Lihatlah bagaimana Islam telah mengatur hubungan muslim dg kedua orang tuanya, dg
kerabatnya, dg keluarganya, dg tetangganya, dg muslim lain yg taat maupun yg ahli maksiat, bahkan dg non
muslim… Islam telah mengatur semuanya dg sangat rapi, dan sangat sempurna… Islam telah menunjukkan
kepada muslim jalan yg jelas dan terang di dalamnya… Jika seorang muslim menetapinya, ia akan menjadi
baik jalannya, diridloi Tuhannya, tenang hatinya, bahagia jiwanya, jelas tujuannya, serta baik dan makmur
buminya…

Diantara aturan yg agung dalam hubungan antara manusia, adalah aturan wala’ wal baro’… Inti dari aturan ini
adalah kecintaan dan kebencian… Tidak diragukan lagi, masalah wala’ wal baro’ ini, mempunyai kedudukan
yg tinggi, bahkan para ulama islam menggolongkannya dalam masalah-masalah agama yg inti dan agung.
Meski masalah ini tinggi kedudukannya dan jelas dalilnya, tp masih saja ada sebagian Kaum Muslimin yg
salah dalam memahaminya… Apalagi di zaman ini… Disaat banyak orang membicarakan hal ini atas nama
Islam, dan banyak dari mereka yg sembrono membicarakan sesuatu yg sangat komplek hukumnya, seakan-
akan mereka itu para imam yg sangat tinggi ilmunya.

Karena banyaknya orang yg bicara dalam masalah ini, hingga sebagian Kaum Muslimin menjadi bingung, dan
sebagian lagi termakan ajakan para penyesat… jadilah sebagian mereka jatuh dalam sikap berlebihan, dan
sebagian lagi jatuh dalam sikap menyepelekan.

Kalian bisa melihat bagaimana sebagian Kaum Muslimin berlebihan dalam masalah wala’ wal baro’ ini,
hingga mereka memasukkan di dalamnya hal-hal yg tidak ada hubungan dengannya… Sebagai imbasnya
mereka tidak segan-segan mengharamkan yg mubah, memvonis buruk pelakunya, dan menyerang Kaum
Muslimin dg lisan dan badannya… Kemudian hal itu menggiring mereka kepada tindakan memvonis orang
lain menjadi ahli bid’ah, fasik, dan kafir, dg dalih wala’ wal baro’… dan mungkin saja hal itu akan menggiring
mereka, kepada tindakan penghancuran dan pemboman dg dalih wala’ wal baro’…

Sebagian lagi, ada yg menjadikan wala’ wal baro’ ini sebagai tunggangan hawa nafsunya, jika ia cocok dg
hawa nafsunya, maka ia berlebihan dalam menerapkannya… tp jika ia menyelisihi hawa nafsunya, maka ia
sepelekan dan ia buang sejauh-jauhnya.

Kalian juga bisa melihat, bagaimana sebagian Kaum Muslimin yg lain menyepelekan masalah wala’ wal baro’
ini, hingga mereka membencinya dan membenci pembicaraan tentangnya… bahkan mereka memeranginya
dan memerangi penyerunya, meski org yg menyerukannya bercahayakan Alqur’an dan sunnah…

Kalian akan melihat dari sebagian Kaum Muslimin, tiada lagi perbedaan antara hubungan mereka dg sesama
muslim dan hubungan mereka dg non muslim, bahkan kadang hubungan mereka dg non muslim lebih baik dan
lebih sempurna, daripada hubungan mereka dg sesama muslim… Kalian juga akan melihat dari sebagian kaum
muslimin, tiada lagi perbedaan antara hubungan mereka dg muslim yg taat dan hubungan mereka dg muslim
yg ahli maksiat, bahkan kadang hubungan mereka dg muslim yg ahli maksiat lebih baik dan lebih sempurna,
daripada hubungan mereka dg muslim yg taat.

Para pembaca yg kami hormati…

Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan bagi Kaum Muslimin untuk memahami dasar agama yg agung
ini… dan menjadi kewajiban bagi para “penuntut ilmu” untuk menjelaskan dasar agama ini, dg berlandaskan
Alqur’an dan Sunnah sesuai Pemahaman Para Salaful Ummah… Para Salaful Ummah-lah yg telah memahami
dasar agama ini dg benar dan merekalah yg telah berjalan dg lurus di atasnya… Sehingga jadilah mereka
generasi yg paling menyayangi makhluk-Nya, bahkan merekalah generasi yg paling menyayangi non muslim,
hingga para kafir dzimmi dulu lebih senang menetap di bawah kekuasaan kaum muslimin, daripada menetap di
bawah kekuasaan golongan dan pengikut agama mereka sendiri.

Para pembaca yg kami hormati…

Dalam tulisan ini, kita akan mengemukakan kajian ilmiah tentang poin-poin inti mengenai dasar agama yg
agung ini, kita akan membahas tentang:

Apa hakekat wala’ wal baro’?

Berapakah golongan manusia dari sudut pandang ini?

Dan apa saja kaidah dalam interaksi antara muslim dg non muslim?

Para pembaca yg kami hormati…

Kata Wala’, secara bahasa menunjukkan arti: kedekatan terhadap sesuatu, pertolongan, kecintaan dan
pengikutan.

Sedangkan secara istilah, kata wala’ berarti: Mencintai Alloh dan Rosul-Nya, serta mencintai Agama Islam
dan para pemeluknya.

Kata Wal, adalah kata penghubung yg berarti: dan

Adapun kata Baro’, secara bahasa ia menunjukkan arti: jauh, permusuhan, dan penghindaran dari sesuatu yg
dibenci.

Sedangkan secara istilah, Baro’ berarti: membenci dan memusuhi apapun yg disembah selain Alloh, membenci
dan memusuhi setiap bentuk kekufuran dan para pengikutnya, serta membenci dan memusuhi para ahli maksiat
sesuai dg kadar kemaksiatannya.
Untuk lebih mudahnya, kami terjemahkan istilah wala’ wal baro’ ini dg redaksi: “sikap loyal dan sikap
berlepas diri”, yakni sikap loyal kepada Islam beserta pemeluknya, dan sikap berlepas diri dari kekafiran
beserta pengikutnya.

Para pembaca yg kami hormati…

Dari sini muncul pembahasan penting, yg bisa menjelaskan inti masalah wala’ wal baro’; Adakah hubungan
antara rasa cinta dan rasa benci dg masalah wala’ wal baro’?

Tidak ada keraguan lagi, bahwa rasa cinta dan rasa benci, adalah inti dari sikap muwalah (wala’) dan mu’adah
(baro’). Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- mengatakan:

“Inti dari sikap muwalah adalah rasa cinta, sebagaimana inti dari sikap mu’adah adalah rasa benci… Karena
rasa saling mencintai akan menimbulkan kedekatan dan persamaan, sedang rasa saling membenci akan
menimbulkan kejauhan dan perbedaan”

Dari sinilah, muncul pertanyaan besar… Apakah setiap kecintaan pada orang kafir, merupakan sikap wala’ yg
dapat merusak keislaman seseorang?! Seperti diterapkan oleh sebagian Kaum Muslimin, jika melihat
seseorang menyatakan atau menampakkan kecintaan pada orang kafir, maka mereka langsung mengatakan: “ia
telah berwala’ padanya dan menjadi kafir, karena telah menghancurkan keislamannya dan meruntuhkan pilar-
pilar agamanya”.

Para pembaca yg kami hormati…

Jawaban yg benar dari pertanyaan di atas adalah: Tidak setiap kecintaan kepada orang kafir menyebabkan
seorang muslim menjadi kafir, tapi harus ada pemilahan yg jelas sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil
syar’i dan telah diterapkan oleh para Ulama Islam… Karena kecintaan hati kepada non muslim tidaklah satu,
akan tetapi:

(1) Ada kalanya kecintaan itu menafikan sikap baro’, sehingga menjadikan kafir pelakunya.

(2) Ada kalanya kecintaan itu hanya mengurangi kualitas sikap baro’, dan tidak menjadikan kafir pelakunya…
Ia termasuk maksiat yg dapat mengurangi keimanan, tapi tidak menafikannya.

(3) Dan ada kalanya kecintaan itu tidak mengurangi kesempurnaan iman dan sikap baro’ sama sekali, karena
seorang hamba tidak dicela karenanya.
Adapun kecintaan kepada kafir yg dapat menafikan sikap baro’ dan menjadikan kafir pelakunya adalah:
kecintaan pada orang kafir karena kekufurannya, karena hal itu jelas menafikan keimanan seseorang… Alloh
ta’ala berfirman:

“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapati suatu kaum yg beriman kepada Alloh dan hari akhir, saling
berkasih sayang dg orang-orang yg menentang Alloh dan Rosul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya,
anaknya, saudaranya, atau keluarga… Mereka itulah orang-orang yg telah Alloh tanamkan dalam hati mereka
keimanan, dan menguatkan mereka dg pertolongan yg datang dari-Nya. Lalu Dia memasukkan mereka ke
dalam surga yg mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan mereka kekal di dalamnya. Alloh meridloi mereka,
dan mereka pun ridlo terhadap-Nya… Merekalah golongan Alloh, dan ingatlah, sesungguhnya golongan Alloh
itulah yg beruntung”.

Adapun kecintaan kepada kafir yg hanya mengurangi kualitas sikap baro’, dan tidak sampai menafikan
keimanan adalah: kecintaan muslim kepada orang lain karena kefasikannya, atau karena maksiat yg
dilakukannya… seperti: mencintai orang kafir karena ia seorang penyanyi, atau semisalnya… Maka tidak
diragukan, ini merupakan dosa, tapi tidak sampai pada derajat kekufuran, karena ia tidak menafikan inti iman,
karena sejak dahulu ada saja sebagian Kaum Muslimin yg mencintai maksiat dan pelakunya, tp tidak
seorangpun dari Ahlussunnah mengafirkan mereka…

Termasuk jenis ini, adalah apa yg banyak terjadi sekarang ini; mencintai orang kafir karena maslahat dan
urusan duniawi… seperti: mencintai orang kafir karena ia menjadi partner kerjanya, atau karena ia pandai main
sepakbola, atau semisalnya, meski ia membenci agamanya… ini adalah bentuk kemaksiatan yg tidak sampai
pada derajat kekufuran…

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- mengatakan: “Dan kadangkala, ada rasa cinta (kepada kafir) yg
timbul karena ikatan kerabat atau kepentingan. Ini merupakan dosa yg dapat mengurangi keimanannya, tp
tidak menjadikannya kafir, sebagaimana hal ini terjadi pada seorang sahabat yg bernama Hatib bin Abi
Balta’ah, ketika ia membeberkan kepada Kaum Musyrikin sebagian rahasia Nabi -shollallohu alaihi wasallam-,
hingga Alloh menurunkan ayat:

“Wahai orang-orang yg beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-
teman setia, hingga kalian sampaikan kepada mereka (rahasia-rahasia Muhammad) karena dorongan kasih
sayang”…

Sebagaimana pula terjadi pada seorang sahabat yg bernama Sa’d bin Ubadah ketika membela Ibnu Ubay dalam
kasus “Tuduhan zina terhadap Aisyah (Istri Nabi -shollallohu alaihi wasallam-)”, ia mengatakan kepada Sa’d
bin Mu’adz: “Sungguh -demi Alloh- kamu salah, jangan bunuh dia, kamu takkan mampu membunuhnya”.
Aisyah mengatakan: “Sa’d bin Ubadah adalah seorang yg sholih, tp saat itu ada kepentingan yg mendesaknya
(melakukan hal itu)”…

Karena syubhat inilah, Sahabat Umar bin Khottob menyebut Sahabat Hatib sebagai munafik dan mengatakan:
“Ya Rosululloh, biarkan aku tebas leher si munafik ini”, lalu beliau -shollallohu alaihi wasallam-
menjawabnya: “(Jangan), karena dia telah ikut dalam Perang Badar”…

Sahabat Umar menamainya munafik, karena adanya syubhat dalam tindakannya, dan hal itu tidak disetujui
oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-… Hal yg sama juga dikatakan Sahabat Usaid bin Khudloir terhadap
Sahabat Sa’d bin Ubadah: “Kamulah yg salah. Demi Alloh, aku benar-benar akan membunuhnya, kamu
hanyalah seorang munafik yg membela-bela Kaum Munafikin”.

Adapun kecintaan yg seseorang tidak dicela sama sekali, dan bukan termasuk maksiat, adalah: kecintaan
manusiawi yg telah ada sejak awal penciptaan manusia… Kecintaan yg ada dalam hati manusia, karena
keberadaannya sebagai manusia dan ia takkan dapat menghilangkannya dg kehendaknya, tentunya harus tetap
ada kebencian terhadap kekufuran dalam hatinya… Maka, seorang hamba tidaklah dicela dg kecintaan yg
seperti ini, karena ia merupakan kecintaan yg manusiawi, sedang yg dilarang adalah kecintaan yg berhubungan
dg agama…

Contoh kecintaan ini adalah: Cinta seorang ayah terhadap anaknya yg kafir, sebagaimana dikisahkan dalam
Aqur’an:

“(Nabi) Nuh memohon kepada Tuhannya, sambil berkata: Ya Tuhanku, (selamatkanlah anakku),
sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, sedang janjimu (untuk menyelamatkan aku dan keluargaku) itu
pasti benar, dan Engkaulah hakim yg paling adil”

Contohnya lagi adalah: kecintaan anak terhadap kedua orang tuanya yg kafir, seperti kecintaan Nabi Ibrohim -
alaihissalam- kepada ayahnya, dan kecintaan Nabi kita -shollallohu alaihi wasallam- kepada ibunya.

Alloh ta’ala berfirman:

“Ibrohim berkata: ‘Wahai ayahku, sungguh aku khawatir engkau akan ditimpa adzab dari Tuhanku Yang
Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi temannya setan’… ayahnya menjawab: ‘Ya ibrohim, bencikah kau
pada tuhan-tuhanku?! Jika tidak berhenti (dari tindakanmu itu, sungguh) aku akan merajammu. Maka
tinggalkanlah aku untuk waktu yg lama’… Ibrohim pun menjawab: ‘Semoga keselamatan dilimpahkan
padamu (ayah), aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku, karena sesungguhnya Dia sangat
baik terhadapku’”

Dalam hadits yg diriwayatkan oleh Abu Huroiroh, Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

“(Suatu hari) Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- mendatangi makam ibunya, lalu beliau menangis, dan
membuat orang disekitarnya ikut menangis… Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- lalu berkata: ‘Aku telah
minta izin kepada Tuhanku untuk memintakan ampun ibuku, tapi Dia tidak mengizinkanku, maka aku pun
minta izin untuk menziarahi makamnya, dan Dia mengizinkanku”.

Contohnya lagi adalah: kecintaan suami pada istrinya yg kafir ahli kitab, atau kecintaan seseorang pada orang
lain yg berbuat baik dan membantu urusannya… Kecintaan seperti ini tidaklah dicela, selama tidak
mempengaruhi kebenciannya terhadap kekafirannya. Adapun jika kecintaan itu mempengaruhi kebenciannya
terhadap kekafirannya, maka hukum kecintaan ini, kembali pada kecintaan jenis pertama dan kedua dg semua
perinciannya.

Saudaraku seiman, para pembaca yg kami hormati…

Dalil bahwa kecintaan manusiawi kepada kafir tidak mempengaruhi kesempurnaan iman dan sama sekali tidak
dicela adalah, firman Alloh ta’ala ketika mengisahkan sikap Nabi-Nya terhadap pamanya yg mati dalam
keadaan kafir:

“Sungguh, engkau (Muhammad) takkan mampu memberi petunjuk kepada orang yg engkau cintai, tetapi
Alloh-lah yg mampu memberi petunjuk kepada siapapun yg dikehendaki”

Imamnya para pakar tafsir, Ibnu Jarir ath-Thobari -rohimahulloh- mengatakan: “Seandainya ada yg
mengatakan makna ayat ini: ‘Sungguh engkau (Muhammad) tidak akan mampu memberi petunjuk kepada
orang yg engkau cintai dari kerabatmu, tetapi Alloh-lah yg mampu memberi petunjuk kepada siapapun yg
dikehendaki’, maka sungguh itu suatu madzhab (penafsiran yg tepat)”.

Adapun Ibnu Katsir, beliau mengatakan: “Telah valid dalam Kitab Shohih Bukhori dan Shohih Muslim, bahwa
ayat ini diturunkan untuk paman Nabi -shollallohu alaihi wasallam- Abu Tholib, yg dulunya melindungi,
menolong, dan berdiri di barisan beliau, yg beliau sangat mencintainya dg kecintaan manusiawi, bukan dg
kecintaan yg berhubungan dg agama”…
Di ayat ini Alloh menetapkan kecintaan Nabi-Nya terhadap pamanya yg kafir, dan Dia tidak mencelanya… Ini
menunjukkan bahwa kecintaan ini tidaklah merusak kesempurnaan iman… Bagaimana mungkin hal itu
merusak kesempurnaan iman, sedang ia telah terjadi pada diri Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, Sang
Tauladan yg paling sempurna imannya?!”…

Diantara dalilnya lagi adalah: bolehnya muslim menikahi wanita kafir dari ahli kitab, padahal sudah jelas akan
timbul kecintaan manusiawi antara keduanya, sebagaimana firman-Nya:

“Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah, Ia menciptakan pasangan-pasangan untuk kalian dari jenis
kalian sendiri, agar kalian merasa tentram kepadanya. Lalu Ia menjadikan diantara kalian rasa cinta dan kasih.
Sungguh, pada yg demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Alloh bagi kaum yg berpikir”
(Azzumar: 21)

Diantara dalilnya lagi adalah: karena kecintaan yg bersifat manusiawi tidak akan bisa ditolak oleh manusia,
padahal Alloh azza wajall telah berfirman:

“Alloh tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dg kemampuannya… dia pasti akan mendapatkan
pahala dari kebajikan yg dikerjakannya, dan dia pasti akan menuai siksa dari keburukan yg diperbuatnya”.
(Albaqoroh: 286)

Saudaraku, yg kami hormati…

Di sini, Ada poin yg sangat penting untuk diketahui, yaitu bahwa patokan hukum dalam masalah wala’ wal
baro’ dan amalan yg berhubungan dengannya adalah hati, dan kecintaan hati itu ada banyak macamnya
sebagaimana telah lalu.

Membantu orang kafir untuk melawan muslim misalnya, ada banyak jenisnya:

- Jika membantu kafir untuk melawan muslim karena tujuan menghindari ancaman besar dari si kafir, dan
membantu si kafir saat itu menjadi satu-satunya jalan untuk menghindari ancaman tersebut, maka
membantunya dalam hal ini diperintah oleh syariat dan tidak dilarang.

- Jika membantu kafir untuk melawan muslim, karena kepentingan duniawi, maka ini termasuk maksiat
sebagaimana perbuatan maksiat lainnya.
- Dan jika membantu kafir untuk melawan muslim, karena mencintai agama si kafir, atau membenci agama
seorang muslim, maka ini termasuk amalan kufur… -kita berlindung kepada Alloh dari terjerumus dalam hal
ini-.

Adapun meminta bantuan kepada orang kafir, untuk memerangi muslim atau non muslim, maka para ulama
berbeda pendapat dalam masalah ini… Tetapi pendapat yg benar adalah, dikembalikannya masalah ini kepada
kebijakan penguasa, jika ia melihat ada maslahatnya, maka ia boleh melakukannya, tapi jika tidak, maka ia
harus meninggalkannya.

Diantara dalil yg paling jelas dalam masalah yg agung ini adalah: Kisah Hatib bin Abi Balta’ah -rodliallohu
anhu- ketika ia secara diam-diam menulis surat kepada Kaum Kuffar Makkah, memberitahu mereka kabar
rahasia tentang keinginan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- untuk memerangi mereka… Lihatlah kasus
besar yg terjadi pada Hatib bin Abi Balta’ah ini, yg di dalamnya ada tindakan membantu Kaum Kuffar…

Hatib ketika itu menulis surat kepada Kaum Kuffar, untuk memberitahu mereka tentang rencana Nabi -
shollallohu alaihi wasallam- menyerang mereka. Lalu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mendapat wahyu
tentang pengiriman suratnya… setelah beliau mengetahuinya, beliau mengirimkan sahabatnya untuk
mengambil surat itu, dari orang suruhan Hatib yg keluar menuju Kaum Kuffar Mekkah… Setelah itu, Beliau
memanggil Hatib dan mengatakan padanya: “Wahai hatib, apa (yg kau lakukan) ini?!”

Renungkanlah wahai saudaraku… tindakannya telah terbukti di depan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-
melalui wahyu dan fakta… Meski demikian, Nabi -shollallohu alaihi wasallam- tidak langsung
mengafirkannya… Andai saja tindakan itu otomatis menjadikannya kafir, maka harusnya Nabi -shollallohu
alaihi wasallam- tidak menanyakan perincian maksud tindakannya… Tapi Nabi Pembawa Rahmat, Nabi
Pembawa Kebenaran, dan Nabi Pembawa Petunjuk meminta perincian dari Hatib, Beliau menanyakan: “Apa
(yg kau lakukan) ini?!”.

Maka Hatib menjawab: “Jangan tergesa-gesa padaku ya Rosululloh, sesungguhnya aku adalah seorang
pendatang di Kabilah Quroisy, sedang Kaum Muhajirin yg bersamamu sekarang ini, mereka mempunyai
kerabat yg mampu melindungi keluarga mereka di Makkah. Oleh karena aku tidak memiliki nasab
sebagaimana mereka, maka aku ingin mengambil simpati mereka untuk melindungi kerabatku di sana, aku
tidak melakukan ini karena kekufuran, bukan pula karena murtad dari agamaku, dan bukan pula karena rela dg
kekufuran setelah aku masuk islam.

Wahai saudaraku yg kami cintai… Renungkanlah ucapan sahabat yg mulia ini, orang yg mengetahui
kebenaran dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, apa yg dia katakana?! Ia mengatakan: “aku tidak
melakukan hal ini karena kekufuran”, ini menunjukkan bahwa para sahabat -rodliallohu anhum- benar-benar
tahu, bahwa tindakan itu sendiri bukanlah penyebab kekufuran…

Ia mengatakan lagi “bukan pula karena murtad dari agamaku, dan bukan pula karena rela dg kekufuran setelah
aku masuk islam”… Dia di sini menjelaskan patokan kufur dalam tindakan membantu kaum kuffar, yaitu rela
dg kekufuran setelah memeluk islam.

Lalu bagaimana Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menyikapinya?! Beliau mengatakan: “dia benar”.

Kemudian Umar berkata: “Ya Rosululloh, biarkan aku tebas leher si munafik ini!”.

Maka Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menjawab: “Jangan, karena ia telah ikut dalam perang badar,
dari mana kamu tahu (hal itu), mungkin saja Alloh telah melihat mereka yg ikut Perang Badar, hingga Dia
mengatakan: ‘kerjakanlah apa yg kalian kehendaki, karena aku telah mengampuni kalian’”.

Para ulama’ telah menjelaskan bahwa apa yg terjadi pada Hatib -rodliallohu Anhu- adalah tindakan maksiat,
bukan kekufuran, karena Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan pada Umar: “dari mana kamu tahu
(hal itu), mungkin saja Alloh telah melihat mereka yg ikut perang badar, hingga mengatakan: ‘kerjakanlah apa
yg kalian kehendaki, karena aku telah mengampuni kalian’”, dan ampunan tidak ada kecuali dari dosa, maka
itu menunjukkan bahwa apa yg dilakukannya adalah tindakan maksiat… Seandainya itu kufur, tentunya tidak
akan diampuni hanya karena ada keutamaan dari pelakunya, karena kekufuran tidak bisa terampuni kecuali dg
meninggalkannya dan taubat darinya.

Jika ada yg mengatakan: “Hukum ini hanya cocok untuk Hatib -rodliallohu anhu- karena ia termasuk orang yg
ikut dalam perang badar”, maka kita katakan: “Seandainya itu kekufuran, tentunya tidak ada seorang pun yg
dikecualikan, karena kekufuran tidak akan diampuni dg amalan ikut-serta di perang badar atau dg amalan
lainnya”… Dengan demikian, tetaplah bahwa hadits ini, menunjukkan kaidah dasar yg telah ditetapkan oleh
para Ulama’ Islam.

Diantara dalilnya lagi adalah: Kisah Sahal bin Baidlo’… Dia dulunya adalah seorang muslim yg berada di
Makkah, tp ketika itu ia menyembunyikan keislamannya… Kemudian ia keluar bersama Kaum Musyrikin di
Perang Badar… Tentunya dalam tindakannya ini, ia membantu Kaum Kuffar menyerang Kaum Muslimin…
Lalu jatuhlah dia di tangan Kaum Muslimin sebagai tawanan, padahal Nabi -shollallohu alaihi wasallam-
ketika itu telah menyabdakan: “Jangan sampai ada tawanan yg lepas, kecuali dg tebusan atau dibunuh”…
Maka Ibnu Mas’ud -rodliallohu anhu- mengatakan: “Ya Rosululloh, kecualikanlah Sahl Bin Baidlo’, karena
aku telah mendengarnya masuk Islam!”…
Apa jawaban Nabi -shollallohu alaihi wasallam-?! Apa beliau menjawab: “Tidak, karena ia telah keluar
bersama Kaum Kuffar menyerang kita dan membantu mereka menyerbu kita, maka ia kafir karenanya?!…
Tidak, Beliau tidak mengatakan itu… tp Beliau diam sejenak, lalu mengatakan: “Kecuali Sahl bin Baidlo’,
kecuali Sahl bin Baidlo’”

TERORISME… BUKAN dari ISLAM (bag.3/6)


Posted on 7 September 2010 by agusisdiyanto| 5 Komentar

(lanjutan dari artikel ”Aqidah Wala’ wal Baro’)

Para pembaca yg kami hormat, Selanjutnya, kita hendaknya tahu, bahwa manusia dipandang dari sudut wala’
wal baro’ ada beberapa golongan. Syaikhul Islam ibnu taimiyah -rohimahulloh- mengatakan: “Pujian dan
celaan, kecintaan dan kebencian, keloyalan dan permusuhan, itu harus sesuai dg apa yg diturunkan oleh Alloh
dalam kitab-Nya. Oleh karenanya, siapa pun yg mukmin wajib diloyali, dari golongan manapun dia, dan
siapapun yg kafir wajib dimusuhi, dari golongan manapun dia.

Alloh ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya pelindungmu hanyalah Alloh, Rosul-Nya, dan kaum mukminin yg melaksanakan sholat dan
menunaikan zakat seraya tunduk kepada-Nya. Barangsiapa menjadikan Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang yg
beriman sebagai penolongnya, maka sungguh pengikut (Agama) Alloh itulah yg pasti menang”. (al-Ma’idah
55-56).
Alloh juga berfirman:

“Wahai orang-orang yg beriman, janganlah kalian menjadikan Kaum Yahudi dan Nasrani sebagai pelindung.
Karena sebagian mereka itu adalah pelindung bagi sebagian yg lain”.

Alloh juga berfirman:

“Kaum Mukminin, yg laki-laki maupun yg wanita, sebagian dari mereka adalah pelindung bagi sebagian yg
lain”…

Adapun mereka yg berkumpul padanya keimanan dan kemaksiatan, maka untuknya; keloyalan sesuai dg kadar
imannya dan permusuhan sesuai dg kadar maksiatnya. Ia tidak boleh dianggap murtad hanya karena dosa dan
maksiatnya, sebagaimana dikatakan oleh Kaum Khowarij dan Mu’tazilah. Dan (sebaliknya) tidaklah para nabi,
para shiddiqin, para syuhada’, dan para sholihin itu bisa disamakan dg para fussaq (ahli maksiat) dalam
keimanan dan agamanya, dalam keloyalan dan permusuhannya (sebagaimana dikatakan oleh Kaum Murji’ah)

Alloh ta’ala berfirman:

“Dan apabila ada dua golongan dari Kaum Mukminin berperang, maka damaikanlah antara keduanya’…
hingga firman-Nya: “Sesungguhnya Kaum Mukminin itu bersaudara”…

Lihatlah, dalam ayat ini Alloh tetap menganggap mereka bersaudara, meski telah terjadi perselisihan dan
pertikaian diantara mereka”.

Dalam kesempatan lain Syaikhul Islam juga mengatakan:

“Oleh karena itu, Generasi Salaf dahulu -meski ada pertikaian- mereka tetap saling loyal diantara mereka di
bawah naungan agama, dan tidak saling memusuhi sebagaimana permusuhan mereka terhadap kaum kuffar.
Mereka tetap saling menerima persaksian diantara mereka, tetap saling mengambil ilmu diantara mereka, tetap
saling mewarisi harta, tetap saling menjalin hubungan nikah, dan tetap saling menjalin hubungan sebagai
seorang muslim, meski telah terjadi peperangan, saling melaknat, dan yg semisalnya diantara mereka”.

Para Pembaca yg kami hormati…

Jadi, dari sudut pandang wala’ wal baro’ ini, manusia terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama: Orang yg dicintai dengan kecintaan yg murni, sehingga tidak ada nilai permusuhan dan kebencian
padanya.

Mereka adalah Kaum Mukminin yg murni, dari kalangan Para Nabi, Para Shiddiqin, Para Syuhada’, Dan Para
sholihin… Dan yg terdepan adalah Rosul kita Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, Oleh karena itu,
beliau itu harus dicintai dengan kecintaan yg lebih agung daripada kecintaan terhadap diri sendiri, anak, orang
tua, dan manusia seluruhnya… Kemudian Para Istrinya, ibunda kaum mukminin… Kemudian Para Ahlul
Baitnya yg suci, dan Para Sahabatnya yg mulia… Kemudian Para Tabi’in, generasi yg hidup di masa
keemasan, Para Salaf, dan Para Imamnya umat ini, Alloh ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yg datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yg telah beriman mendahului kami… dan janganlah Engkau
tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yg beriman… Ya tuhan kami, sungguh Engkau
Maha Penyantun, lagi Maha Penyayang”. (al-Hasyr: 10)

Kedua: Orang yg dibenci & dimusuhi dg kebencian & permusuhan yg murni, tidak ada kecintaan dan
keloyalan padanya.

Mereka adalah para kuffar yg murni, seperti Kaum Kuffar, Kaum Musyrikin, Kaum munafiqin, Kaum
murtaddin, dan Kaum atheis, dg berbagai jenisnya. Maka, loyal terhadap mereka yg non muslim itu
diharamkan secara mutlak, dan berlepas diri dari mereka itu diwajibkan secara mutlak, sebagaimana Tuhan
kita menfirmankan:

“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yg beriman kepada Alloh dan hari kiamat, saling
mengasihi orang-orang yg menentang Alloh dan Rosul-nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya,
saudaranya, atau keluarganya”.

Dia juga berfirman ketika mencela bani isro’il:

“Kamu akan melihat banyak diantara mereka (Bani Isro’il) yg tolong menolong dg orang-orang kafir.
Sungguh sangat buruk apa yg mereka lakukan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Alloh, dan mereka
akan kekal dalam azab-Nya… Dan sekiranya mereka beriman kepada Alloh, Nabi (Muhammad), dan apa yg
diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan menjadikan orang kafir itu sebagai teman setia. Tetapi
banyak diantara mereka itu, adalah orang-orang yg fasik”.

Dia juga berfirman:

“Wahai orang-orang yg beriman, janganlah kalian menjadikan Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani sebagai
pelindung, karena sebagian dari mereka itu adalah pelindung bagi sebagian yg lain… Barangsiapa diantara
kalian menjadikan mereka pelindung, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka, Sungguh Alloh
tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yg zholim”. Dan dalil-dalil dalam hal ini dari kitab dan
sunnah sangatlah banyak.

Ketiga: Orang yg dicintai dari satu sisi, tp dimusuhi dari sisi yg lain, yakni orang yg berkumpul padanya
kecintaan dan permusuhan.

Mereka adalah Kaum mukminin yg ahli maksiat, mereka dicintai karena keimanan yg ada pada mereka, dan
dimusuhi karena adanya kemaksiatan -yg masih di bawah kekufuran dan kesyirikan- yg ada pada mereka.
Karena barangsiapa telah tetap keislamannya, maka tetap pula kecintaan padanya, kemudian kadar itu akan
berkurang sesuai kadar maksiatnya, dan bertambah sesuai kadar keta’atannya.

Kecintaan terhadap kaum muslimin yg ahli maksiat, itu menuntut sikap untuk menasehati mereka dan
mengingkari tindakan mereka… Maka, tidaklah boleh mendiamkan kemaksiatan mereka, tapi seharusnya
mereka diingkari, diperintah kepada yg ma’ruf, dan dicegah dari yg mungkar… Dan harusnya ditetapkan
hukuman hudud dan ta’zir, sehingga mereka berhenti dari maksiatnya dan bertaubat dari keburukannya…
Akan tetapi, mereka tidak boleh dimusuhi dg permusuhan yg murni, dan kita tidak boleh berlepas diri (seratus
persen) darinya, sebagaimana dilakukan oleh Kaum Khowarij terhadap para pelaku dosa besar, yg masih
dibawah kesyirikan… Di sisi lain, mereka juga tidak dicintai dan diloyali dengan kecintaan dan keloyalan yg
murni, sebagaimana dilakukan oleh Kaum Murji’ah… Akan tetapi, kita harusnya seimbang dalam menyikapi
mereka, sebagaimana madzhabnya Ahlus sunnah wal jama’ah.

Dalam keadaan ini, bisa jadi sikap wala’ lebih dominan daripada sikap baro’, dan bisa jadi sikap baro’ lebih
dominan daripada sikap wala’, sesuai dengan sebab yg dominan dari keduanya… Dan sikap yg kita tampakkan
pada anggota badan harus sesuai dengan mana yg lebih dominan dari penyebab sikap wala’ atau baro’,
disamping juga harus sesuai dengan maslahat syar’iyyah… Di sini kita harus melihat kepada maslahat agama,
maslahat sunnah, maslahat orang yg menghajr, dan maslahat orang yg dihajr. Semua itu ditimbang dg
timbangan syar’i yg detil, sehingga akan tampak sikap yg sesuai dg maslahat syar’iyah.

Ibnu Abil Izz mengatakan: “Kecintaan dan permusuhan itu harusnya disesuaikan dengan kadar kebaikan dan
keburukan yg ada pada mereka, karena bisa saja terkumpul pada seorang hamba sebab keloyalan dan sebab
permusuhan, sehingga ia dicintai dari satu sisi, dan dimusuhi dari sisi yg lain, dan hukum itu sesuai dg apa yg
dominan padanya”.

Di sini ada hal yg penting yg bersangkutan dengan sikap baro’ terhadap seorang muslim; bahwa sikap baro’
terhadap muslim, bisa jadi terhadap perbuatannya, bukan terhadap orangnya. Yaitu, jika ia melakukan amalan
yg tidak dibenarkan, tapi ada sesuatu yg menghalangi kita untuk berlepas diri darinya. Misalnya, jika ia
(terjerumus dalam kesalahan) karena telah berijtihad dg ijtihad yg syar’i, dan telah bertakwa kepada Alloh
semampunya dalam ijtihadnya.

Diantara contohnya adalah apa yg diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari Ibnu Umar -rodliallohu anhuma- ia
mengatakan: “Nabi -shollallohu alaihi wasallam- suatu hari mengutus Kholid bin Walid kepada Bani
Judzaimah. Lalu (ketika ingin masuk islam), mereka tidak tahu untuk mengucapkan “kami telah masuk Agama
Islam”, mereka malah mengatakan: “kami telah masuk Agama Shobi’ah”, sehingga Kholid membunuh dan
menawan mereka, lalu ia menyerahkan tawanan kepada setiap pasukannya, dan menyuruh kepada kita (sbg
pasukannya) untuk membunuh tawanan masing-masing.

Aku (Ibnu Umar) mengatakan: “Aku tidak akan membunuh tawananku, dan para sahabatku juga tidak boleh
membunuh tawanannya”, karena jelas baginya bahwa itu adalah maksiat.

Ibnu Umar mengatakan: “lalu kami mengisahkan hal itu kepada Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, maka
beliau mengatakan: ‘Ya Alloh, aku berlepas diri pada-Mu, dari apa yg dilakukan oleh Kholid Bin Walid’,
(beliau mengatakannya sebanyak) dua kali”.

Adz-Dzahabi mengomentari kisah ini dg mengatakan: “Kholid tidak berdosa dalam ijtihadnya, oleh karena itu
Nabi -shollallohu alaihi wasallam- tidak menuntut diyat mereka kepadanya”.

Ibnu Hajar juga mengatakan: “Yg jelas, berlepas diri dari perbuatan seseorang, tidak berarti menunjukkan dosa
pelakunya, jika tidak demikian, maka harusnya ia dituntut denda, karena dosanya orang yg salah itu diangkat
(diampuni), meski amalannya tidak terpuji”. Setiap perkara itu ada hukumnya, dan satiap sesuatu ada
tempatnya, sebagaimana kurma tidak boleh diletakkan di tempat bara, dan sebaliknya bara tidak boleh
diletakkan di tempat kurma.

URGENSI AKIDAH WALA’ WAL BARO’

Para pembaca yg kami hormati…

Berdasarkan prinsip ini, maka wajib bagi setiap mukmin untuk meyakini wala’ dan baro’ dan
menerapkannya… Bagaimana tidak, sedangkan wala’ wal baro’ adalah makna dari Syahadat Laa ilaaha
illaah… Karena makna Syahadat Laa ilaaha illaah adalah persaksian tidak adanya sesuatu yg berhak disembah
melainkan Alloh, yaitu dg memurnikan ibadah hanya untuk Alloh semata, dan berlepas diri dari kesyirikan dan
para pelakunya, Alloh ta’ala berfirman:

“Maka, barangsiapa yg mengingkari thoghut dan mengimani Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang
teguh pada tali yg sangat kuat, yang takkan putus. Dan Alloh itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Dan ini menunjukkan kepada kita perkara yg agung, dan wajib kita pegang-teguh dalam masalah wala’ wal
baro’… yaitu, bahwa wala’ wal baro’ itu berdiri di atas perwujudan syahadat Laa ilaaha illaah… Maka,
seharusnya dalam masalah wala’ wal baro’ itu kita harus melihat perkara yg agung ini, bahwa ia berdiri di atas
syariat Tuhan alam semesta ini… Sikap wala’ wal baro’ bukanlah didasarkan pada fanatisme tempat, fanatisme
bangsa, fanatisme partai, fanatisme kelompok, karena hawa nafsu, atau karena hal lainnya… Akan tetapi
timbangan wala’ wal baro’ bagi setiap muslim adalah syariat Tuhan alam semesta ini.

Wala’ wal baro’ adalah syarat dalam iman, Alloh ta’ala berfirman:

“Kamu akan melihat banyak diantara mereka (Bani Isro’il) yg tolong menolong dg orang-orang kafir.
Sungguh sangat buruk apa yg mereka lakukan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Alloh, dan mereka
akan kekal dalam azab-Nya… Dan sekiranya mereka beriman kepada Alloh, Nabi (Muhammad), dan apa yg
diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan menjadikan orang kafir itu sebagai teman setia. Tetapi
banyak diantara mereka itu, adalah orang-orang yg fasik”.

Syaikhul Islam mengatakan ketika menjelaskan ayat ini: “Maka Dia menyebutkan Jumlah Syarthiyyah dengan
huruf “lau“, itu berarti jika syarat-nya ada, maka otomatis masyrut-nya juga harus ada, sebaliknya jika syarat-
nya tidak ada, maka masyrut-nya juga harus tidak ada… Ia menfirmankan: “Dan seandainya mereka beriman
kepada Alloh, Nabi, dan apa yg diturunkan padanya, niscaya mereka tidak menjadikan mereka sebagai
pelindung (teman setia)”, ini menunjukkan bahwa iman tersebut menafikan sikap mereka sebagai pelindung
(teman setia). Dan tidaklah dapat berkumpul antara iman dan sikap menjadikan mereka sebagai pelindung
(teman setia) dalam hati… Ini menunjukkan, bahwa siapa yg menjadikan mereka sebagai pelindung (teman
setia), berarti ia tidak melakukan iman yg wajib dari iman kepada Alloh, Nabi, dan apa yg diturunkan
padanya”.

Wala’ wal baro’ adalah tali iman yg paling kuat, sebagaimana hadits berikut:

dari Ibnu Abbas -rodliallohu anhuma- mengatakan: “Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan
kepada Abu Dzar: “Apakah tali utama iman yg paling kuat?”. Ia menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu”.
Beliau menimpali: “Dialah bersikap loyal karena Alloh dan memusuhi karena Alloh, serta mencintai karena
Alloh dan membenci karena Alloh”.

Dari Anas bin Malik -rodliallohu anhu- mengatakan: “Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Ada
tiga perkara, yg barangsiapa hal itu ada padanya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: (1) Mencintai
Alloh dan Rosul-Nya melebihi yg lainnya. (2) Mencintai seseorang hanya karena Alloh. (3) Dan membenci
menjadi kafir lagi sebagaimana ia membenci dimasukkan Neraka.

Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah membaiat para sahabatnya untuk mewujudkan dasar yg agung ini.
Sebagaimana hadits berikut:
Dari Jarir bin Abdulloh al-Bajali -rodliallohu anhu- ia mengatakan: “Aku pernah mendatangi Nabi -shollallohu
alaihi wasallam- ketika beliau sedang membai’at, aku mengatakan: “Wahai Rosululloh, bukalah tanganmu
hingga aku membaiatmu, dan berikanlah syarat padaku, karena engkaulah yg lebih tahu”. Maka beliau -
shollallohu alaihi wasallam- mengatakan: “Aku membaiatmu untuk menyembah Alloh, mendirikan sholat,
menunaikan zakat, menasehati kaum muslimin, dan memisahkan diri dari kaum musyrikin”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Sesungguhnya mewujudkan syahadat Laa Ilaaha Illallaah,
menuntut seseorang untuk tidak mencintai kecuali karena Alloh, tidak membenci kecuali karena Alloh, tidak
loyal kecuali karena Alloh, tidak memusuhi kecuali karena Alloh, mencintai apa yg dicintai Alloh, dan
membenci apa yg dibenci Alloh”.

Syaikh Abdurrozzaq Afifi mengatakan tentang wala’ wal baro’: “Keduanya adalah termasuk diantara tanda
murninya kecintaan seseorang kepada Alloh, kemudian kepada Para Nabi-Nya, dan Kaum Mukminin. dan
Sikap baro’, adalah termasuk diantara tanda-tanda kebencian seseorang terhadap kebatilan (kekafiran) dan para
pengikutnya. Dan ini semua termasuk diantara dasar-dasar keimanan.

Jika kita telah mengetahui hal ini, maka seharusnya Kaum Mukiminin itu saling loyal diantara mereka, dan ini
merupakan kewajiban yg syar’i atas mereka, Alloh ta’ala berfirman:

“Kaum Mukminin, yg laki-laki maupun yg wanita, sebagian dari mereka adalah pelindung (penolong) bagi
sebagian yg lain”.

Alloh juga berfirman:

“Sesungguhnya pelindungmu hanyalah Alloh, Rosul-Nya, dan kaum mukminin yg melaksanakan sholat dan
menunaikan zakat seraya tunduk kepada-Nya. Barangsiapa menjadikan Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang yg
beriman sebagai penolongnya, maka sungguh pengikut (Agama) Alloh itulah yg pasti menang”. (al-Ma’idah
55-56).

Oleh karena itu, Kaum Mukminin adalah saudara seagama dan seakidah, meski nasab mereka jauh, negara
mereka berbeda, dan zaman mereka berlainan. Alloh ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yg datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yg telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah engkau
tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang yg beriman. Ya tuhan kami, sungguh Engkau maha
penyantun, lagi maha penyayang’”.
Maka harusnya diantara kaum mukminin, ada sikap loyal diantara mereka, dan berusaha mewujudkannya
dengan saling bertemu, mengisi, dan menunaikan hak masing-masing. Sebagaimana Kaum Muslimin juga
harusnya berlepas diri dari Kaum Kuffar, dengan cara yg disyariatkan Alloh azza wajall… yg itu merupakan
kewajiban yg agung diwajibkan atas Kaum Mukminin.

Syaikh Hamd bin Ali bin Atiq mengatakan: “Adapun memusuhi Kaum Kuffar dan Kaum Musyrikin, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh ta’ala mewajibkan itu semua, dan menegaskan kewajibannya, serta
mengharamkan bersikap loyal kepada mereka dan menegaskan larangan itu… hingga tidak ada hukum di
dalam Alqur’an yg dalilnya lebih banyak dan lebih jelas dari pada hukum ini, setelah wajibnya bertauhid dan
haramnya berbuat syirik… Maka wajib bagi Kaum Mukminin untuk berlepas diri dari Kaum Kuffar dengan
meninggalkan pengikutan mereka terhadap keinginan Kaum Kuffar, tidak menyandarkan diri kepada mereka,
tidak basa basi dalam agama Alloh, dan tidak tasyabbuh dengan mereka baik dalam amalan yg lahir maupun
yg batin… Sebagaimana wajib bagi Kaum Mukminin untuk benar-benar menjauhi tindakan menjadikan Kaum
Kuffar sebagai teman khusus mereka, dan menyebarkan rahasia kepada mereka… Karena tidak dibolehkan
bagi seorang muslim menjadikan orang kafir sebagai teman khususnya dan menyebarkan rahasia-rahasia
Kaum Mukminin”.

KAIDAH-KAIDAH DALAM BERMU’AMALAH DENGAN NON MUSLIM

Para pembaca yg kami hormati…

Jika kita telah mengetahui hal ini, maka selanjutnya yg penting kita ketahui adalah: “Kaidah-kaidah dalam
bermu’amalah dg non muslim”. Tidak lain tujuannya, agar kita tidak terjatuh dalam kesalahan atau
penyelewengan dari dasar (wala’ wal baro’) yg agung ini… Sungguh kami telah melihat banyak dari pemuda
yg ngawur dalam menerapkan wala’ wal baro’ ini, sehingga mereka terjatuh dalam banyak kesalahan. Itu
semua disebabkan ketidak-tahuan mereka terhadap kaidah-kaidah yg ada… Diantaranya adalah:

Kaidah Pertama: Membalas kebaikan dari Kafir Non Harbi itu dibolehkan, & bersikap baik dg mereka itu
disyariatkan.

Alloh ta’ala berfirman:

“Alloh tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yg tidak memerangi
kalian dalam urusan agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian, karena Sesungguhnya
Alloh itu mencintai orang-orang yg berlaku adil”.
Ini artinya, Kaum Kuffar yg tidak menyakiti Kaum Muslimin, tidak memerangi Kaum Muslimin, dan tidak
mengeluarkan mereka dari kampung halaman mereka, maka Kaum Muslimin boleh membalasnya dg kebaikan,
dan bersikap adil terhadap mereka dalam muamalah duniawi… Tp tidak mencintai mereka dg hati, karena
Alloh berfirman: “Agar kalian berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka”, Dia tidak menfirmankan:
“Agar kalian bersikap loyal dan mencintai mereka”.

Senada dengan ini, firman Alloh ta’ala tentang kedua orang tua yg kafir:

“Dan jika kedua (orang tua) itu memaksamu untuk mempersekutukan Aku dg sesuatu yg engkau tidak
mempunyai ilmu tentangnya, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dg
baik, serta ikultilah jalan orang yg kembali kepada-Ku”.

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Ibunya Asma’ -ketika masih kafir- datang kepada Asma’ untuk
memintanya menyambung tali silaturrahim, maka Asma’ meminta izin Rosululloh -shollalohu alaihi wasallam-
untuk itu, lalu beliau mengatakan: “Sambunglah tali silaturrahim dengan ibumu”. Dan (jangan lupa bahwa)
Alloh telah berfirman: “Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum -yg beriman kepada Alloh
dan hari akhir- saling berkasih sayang dengan orang yg menentang Alloh dan Rosul-Nya”.

Lihatlah -dalam kisah ini- beliau melarang mencintainya, tp mengizinkan untuk berbakti dan membalas
kebaikannya. Maka, tidaklah sama antara menyambung tali silaturrahim dan membalas kebaikan, dengan sikap
berkasih sayang.

Maka terhadap orang kafir yg berdamai dan tidak mengganggu, Kaum Muslimin boleh menyikapinya dengan
yg lebih baik, membalas kebaikan mereka, dan menasehati mereka… Meski hal itu dengan memberi hadiah
dan sedekah kepada mereka yg membutuhkan… Karena dengan menyambung tali silaturrahim dan baiknya
mu’amalah, akan mendorong mereka untuk masuk Islam… maka keduanya termasuk diantara sarana
mendakwahi mereka.

Allajnah Adda’imah mengatakan: “Balaslah kebaikan orang yg berbuat baik pada kalian, meski mereka
beragama Nasrani. Dan apabila mereka memberi hadiah yg mubah pada kalian, maka balaslah kebaikan
mereka itu, lihatlah bagaimana Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mau menerima hadiah dari Raja Romawi
padahal ia Nasrani, beliau juga pernah menerima hadiah dari Yahudi.

Alhafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Sikap berbakti, menjalin silaturrahim, dan membalas kebaikan, tidak berarti
menunjukkan sikap mencintai dan mengasihi yg dilarang”.
Ibnul Jauzi mengatakan: “Ayat ini merupakan keringanan dalam masalah bolehnya menjalin silaturrahim
terhadap orang yg tidak memerangi Kaum Muslimin, dan bolehnya membalas kebaikan mereka, meski tidak
ada sikap wala’ terhadap mereka”.

Imam alqorofi ketika menjelaskan dasar yg agung dalam masalah ini mengatakan: “Bersikap baik kepada
mereka (Kaum Kuffar Non Harbi) yg diperintah (dalam syari’at) adalah dengan tanpa kecintaan batin, seperti
mengasihi mereka yg lemah, mencukupi kebutuhan mereka yg fakir, memberi makanan mereka yg kelaparan,
memberi pakaian mereka yg kurang pakaian, berkata halus kepada mereka -karena ingin mengasihi dan
menyayangi mereka bukan karena takut dan merasa rendah terhadap mereka-, bersabar dg gangguan mereka
dalam bertetangga meski kita mampu menghilangkannya -karena sayangnya kita kepada mereka, bukan karena
takut dan memuliakan mereka-, mendoakan mereka dg hidayah dan menjadi orang yg bahagia di akhirat,
menasehati mereka dalam semua urusan mereka -baik dalam urusan dunia maupun akhirat-, menjaga
kehormatan mereka ketika mereka tidak ada -saat ada orang yg mencoba mengganggu mereka-, menjaga harta,
keluarga, kehormatan, semua hak dan kemaslahatan mereka, serta membantu mereka dalam menolak
kezholiman”…

Kemudian beliau meneruskan ucapannya dg mengatakan: “Dan hendaklah kita menghadirkan dalam hati kita,
apa yg ada dalam hati mereka, -berupa: kebencian mereka terhadap kita… pendustaan mereka terhadap Nabi
kita -shollallohu alaihi wasallam-… bahwa jika mereka mampu mengalahkan kita tentu mereka akan
menghabisi kita, serta menguasai darah dan harta kita… dan bahwa mereka termasuk orang yg paling besar
maksiatnya kepada tuhan dan raja kita azza wa jall”.

Kita menghadirkan ini dalam hati kita, meski kita menggauli mereka dengan baik, kemudia beliau meneruskan
lagi ucapannya: “Kemudian kita menggauli mereka dengan apa yg telah lalu, dan kita tidak menampakkan
pengaruh dari apa yg kita hadirkan dalam hati kita berupa sifat-sifat mereka yg buruk, karena adanya
perjanjian damai melarang kita dari itu… Maka kita menghadirkan itu, agar mencegah kita dari kecintaan batin
terhadap mereka yg diharamkan atas kita”.

Sungguh ini adalah perkara agung, yg hendaknya diperhatikan oleh Kaum Muslimin… Jika ada Kafir Non
Harbi berbuat baik pada kita, maka hendaknya kita tidak lupa dengan hati kita, hendaknya kita mengingat
kembali permusuhan mereka terhadap kita, kekufuran mereka, dan perbedaan mereka dengan kita dalam
agama.
Para pembaca yg kami hormati…

Jika kita mengetahui hal ini, kita juga akan tahu tentang bolehnya seorang seorang muslim mengajak mereka
makan bersama, dan bergaul dengan mereka dg apa yg mendorong mereka masuk Islam, dg syarat aman dari
fitnah dan tanpa rasa cinta. Allajnah adda’imah mengatakan: “Anda dibolehkan untuk makan makanan yg
dihidangkan oleh teman anda yg nasrani, baik itu di rumahnya atau di tempat lain, jika jelas bagi anda bahwa
makanan ini tidak diharamkan, atau tidak diketahui keadaannya, karena hukum asal hal itu adalah dibolehkan
hingga ada dalil yg melarang”.

Seorang muslim juga dibolehkan menziarahi seorang Kafir Non Harbi di rumahnya, dan mengizinkannya
menziarahi rumahnya. Allajnah addaimah mengatakan: “Kita dibolehkan mengizinkan mereka untuk
menziarahi rumah kita, dg syarat aman dari fitnah, dan tetap menjaga kehormatan keluarga, selagi dalam hal
ini dapat menundukkan hati mereka, menasehati dan menunjukkan mereka… Dengan harapan dalam baiknya
pergaulan kita dan adab ziarah ini, mereka menemukan ramahnya Islam, sehingga mereka menerima nasehat
untuk masuk Islam.

Kaidah kedua: Boleh melakukan pertukaran manfaat yg mubah dg Kaum Kuffar.

Maka, boleh bagi seorang muslim berjual-beli dg Kaum Kuffar, saling tukar manfaat yg mubah, dan
mengambil ilmu dunia yg bermanfaat dari mereka… Imam Bukhori telah memberi judul dalam salah satu bab
dari kitab shohih-nya dg nama: “(Bolehnya) berjual beli dengan Kaum Musyrikin dan Ahli Harb”, beliau
menyebutkan di dalamnya:

Dari Abdurrohman bin Abi Bakr -rodliallohu anhuma- mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi -shollallohu
alaihi wasallam-, lalu datang seorang musyrik musy’an yg tinggi dg kambing yg digelandangnya, maka nabi -
shollallohu alaihi wasallam- mengatakan padanya: “ini untuk dijual atau diberikan?”, maksudnya: Apakah saya
mengambil dari anda dengan akad jual beli atau akad hibah?. Dia menjawab: “Tidak, akan tetapi dg akad jual
beli”, kemudian beliau membeli kambing itu darinya.

Para sahabat -ridlwanullohi alaihim- juga banyak yg menjalin hubungan dagang dg Kaum Kuffar, mereka juga
menjalin hubungan dagang dengan Kaum Yahudi dan Nasrani tanpa ada pengingkaran… Itu semua
menunjukkan benarnya kaidah yg agung ini.

Kaidah Ketiga: Seorang muslim boleh menampakkan sikap loyal terhadap orang kafir saat keadaan darurat, tp
dg hati yg tetap (dalam keimanan). Alloh ta’ala berfirman:
“…Kecuali seorang yg dipaksa (untuk mengatakan kekufuran), sedang hatinya masih tetap dalam keimanan”.

Alloh jg berfirman:

“Janganlah Kaum Mukminin mengambil pemimpin dari kaum kafirin, barangsiapa berbuat demikian, niscaya
dia tidak akan memperoleh apa pun dari Alloh, kecuali karena siasat menjaga diri dari sesuatu yg kalian takuti
dari mereka. Dan Alloh memperingatkan kalian akan diri-Nya, dan hanya kepada Alloh tempat kembali”.

Ibnu Abbas mengatakan: Alloh -subhanah- melarang Kaum Mukminin untuk bersikap halus Kaum Kuffar atau
menjadikan mereka pelindung, kecuali jika kaum kuffar itu mengalahkan mereka, maka kaum muslimin boleh
menampakkan kehalusan dengan tetap menyelisihi mereka dalam agama, itulah firmannya: “Kecuali karena
siasat menjaga diri dari sesuatu yg kalian takuti dari mereka”, dan maksud dari kata “tuqoh” adalah
mengucapkan dengan lisan sedang hatinya tetap menetapi keimanan.

Ibnu Jarir mengatakan: Firman-Nya “Kecuali karena siasat menjaga diri dari sesuatu yg kalian takuti dari
mereka”, maksudnya: Kecuali jika kalian dalam kekuasaan mereka, hingga kalian takut kepada mereka atas
diri kalian, maka kalian boleh menampakkan sikap loyal dengan lisan kalian, tapi dg tetap menyimpan sikap
permusuhan, dan jangan mengikuti tindakan mereka yg kufur, serta jangan membantu mereka melawan Kaum
Muslimin dengan tindakan.

Ibnu Katsir mengatakan: firman-Nya “Kecuali karena siasat menjaga diri dari sesuatu yg kalian takuti dari
mereka”, yakni siapa yg takut dengan keburukan mereka di suatu tempat dan waktu, maka boleh baginya
berlindung dg amal lahirnya, tidak dg amal batin dan niatnya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Bukhori:
“Dari Abu Darda’ -rodliallohu anhu-, ia mengatakan: ‘Sungguh kami bisa benar-benar bermuka manis di
wajah suatu kaum, padahal hati kami melaknat mereka’”.

Kaidah Keempat: Menjaga perjanjian -yg ada diantara kita dg kaum kuffar- diwajibkan oleh Syari’at, selama
mereka masih menjaga perjanjian dan kewajibannya. Alloh ta’ala berfirman:

“Kecuali orang-orang musyrik yg telah mengadakan perjanjian dengan kalian, lalu mereka tidak sedikitpun
mengurangi isi perjanjian dan tidak pula mereka membantu seorang pun yg memusuhi kalian, maka terhadap
mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sungguh Alloh itu menyukai orang-orang yg bertakwa”.

Dan dari Abu rofi’ rodliallohu anhu -yg dulunya adalah seorang Kafir Qibti- ia mengatkan: “Aku pernah diutus
oleh Kafir Quraisy kepada rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-… Ketika aku melihat rosululloh -
shollallohu alaihi wasallam-, tertancaplah dalam hatiku Agama Islam, maka aku mengatakan: ‘Wahai
Rosululloh, sungguh aku selamanya tidak akan kembali kepada mereka’. Maka rosululloh -shollallohu alaihi
wasallam- mengatakan: ‘Sungguh aku tidak akan mengkhianati perjanjian, dan aku tidak akan menahan
seorang utusan, akan tetapi kembalilah! Jika nanti masih ada sesuatu yg ada dalam hatimu sekarang ini, maka
kembalilah!”… Lalu akupun pergi, kemudian aku mendatangi Nabi -shollallohu alaihi wasallam- lagi, lalu aku
masuk Islam”.

Ibnu Hazm mengatakan: “Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa menepati perjanjian (damai) yg disebutkan
oleh Alqur’an dan Sunnah -kebolehan dan kewajibannya, dg sifat dan namanya- dan Umat Islam juga telah
sepakat tentang kewajiban dan kebolehannya, maka sesungguhnya menepati perjanjian (damai) tersebut
menjadi wajib, dan menunaikannya diperbolehkan”.

Kaidah Kelima: Darahnya orang Kafir Ahli Dzimmi dan mereka yg terikat perjanjian harus dijaga, selama
mereka masih menunaikan kewajiban dan perjanjian mereka.

Sehingga tidak boleh menzholimi darah orang yg terikat perjanjian atau keamanan atau dzimmah. Nabi -
shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

“Barangsiapa membunuh orang yg terikat janji, niscaya ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya bisa
tercium hingga jarak 40 tahun”.

Beliau -shollallohu alaihi wasallam- juga bersabda:

“Siapapun yg memberikan jaminan keamanan terhadap darah seseorang, kemudian ia membunuhnya, maka
Aku berlepas diri dari pembunuhnya, meski yg dibunuh itu orang kafir”.

Sungguh, betapa besar dan agungnya tanggung-jawab dan kewajiban ini.

Kaidah Keenam: Bersikap adil adalah hak yg wajib ditunaikan untuk semua orang, bahkan kepada orang yg
berhak kita benci, seperti Kaum Kuffar yg memusuhi dan memerangi kita, karena kezholiman itu diharamkan
oleh Syariat kita secara mutlak. Alloh ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yg beriman, jadilah kalian penegak keadilan karena alloh -ketika menjadi saksi- dg adil.
Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil… Berlaku
adillah!, karena itu lebih dekat kepada ketakwaan… Dan bertakwalah kepada Alloh, sungguh Alloh maha
mengetahui apa yg kalian kerjakan”.
Alloh juga berfirman:

“Perangilah -di jalan Alloh- mereka yg memerangi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas, karena
sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang yg melampaui batas”.

Oleh karena itu, tidak boleh bagi kita mengkhianati orang yg mengkhianati kita, karena khianat dan melanggar
janji bukanlah keadilan dan bukan pula merupakan jalan kita, beliau -shollallohu alaihi wasallam- telah
bersabda:

“Sampaikanlah amanah kepada orangnya, dan janganlah mengkhianati orang yg mengkhianatimu”.

Oleh karena itu, Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah memperingatkan dari do’a orang yg dizholimi meski
ia orang kafir, yaitu dalam sabdanya:

“Takutlah dari doa orang yg terzholimi -meski ia kafir-, karena doanya itu tidak ada penghalangnya”.

Dengan itu, islam menegaskan wajibnya bersikap adil terhadap non muslim dg penegasan yg paling kuat, dan
keadilan adalah puncak dari kemuliaan, dan pemeluk Agama Islam adalah pemilik seluruh kemuliaan.

Para pembaca yg kami hormati…

Apa yg kami terangkan adalah sikap yg wajib diyakini dan diamalkan oleh seorang muslim. Namun, ada
sebagian muslim yg menyelisihi apa yg telah lalu, sehingga mereka mengambil sikap yg berlebihan atau malah
menyepelekan.

Sikap berlebihan dalam bab wala’ wal baro’ banyak bentuknya, tapi secara global kembali kepada dua ciri
utama:

Ciri Pertama: Memvonis kafir karena sebab amalan lahir yg menyelisihi tuntutan sikap wala’ wal baro’.
Tindakan mereka itu, bisa jadi karena meraka tidak memahami illat takfir dalam wala’ wal baro’, atau bisa jadi
karena maksud yg buruk dari tukang vonisnya -wal iyadzu billah-.

Telah kita singgung di depan, bahwa illat takfir dalam wala’ wal baro’ adalah amalan hati… Mencintai orang
kafir tidaklah berada dalam satu tingkatan. Begitu pula membantu orang kafir untuk menyerang Kaum
Muslimin tidaklah dalam satu tingkatan… Dan apabila terjadi keraguan, apakah ia termasuk dalam tingkatan
yg mengafirkan atau tidak, maka harusnya dibawa kepada tingkatan yang tidak mengafirkan. Dan ini,
merupakah kaidah syar’i dalam setiap hal yg memiliki lebih dari satu kemungkinan…

Karena pada asalnya seorang muslim adalah tetap dalam keislamannya… dan barangsiapa telah tetap
keislamannya dg yakin, maka keislaman tersebut tidak boleh dihilangkan kecuali dg sesuatu yakin pula… Dan
pencari kebenaran, tentunya akan senang dan berharap seorang muslim tetap dalam keislamannya, sebaliknya
ia akan sangat bersedih apabila saudaranya itu menjadi kafir… Adapun penganut hawa nafsu -wal iyadzu
billah-, ia akan sedih jika orang yg dibencinya tetap dalam keislamannya, sebaliknya ia akan senang dg orang
yg mengeluarkannya dari islam. Dan anda akan mendapati orang tersebut mencari pembenaran dari kanan dan
kiri, agar ia dapat mengeluarkan orang yg dibencinya itu dari lingkaran Islam -wal iyadzu billah-.

Ciri Kedua: Pemahaman yg keliru tentang sikap berlepas diri dari Kaum Kuffar, lalu salah salah dalam
penerapannya, sehingga terjerumus dalam ketidak-adilan, kelaliman, dan pengrusakan… Seperti:
Menghalalkan darah para Kafir Dzimmi atau mereka yg terikat perjanjian… menghalalkan harta mereka…
memperlakukan mereka dengan kasar dan arogan tanpa ada sebab yg mendorong hal itu, dengan dalih itulah
konsekuensi dari wala’ wal baro’… Dan tidak adil dalam memvonis Kaum Muslimin dg dalih wala’ wal
baro’…

Sungguh, kami telah menyaksikan orang yg berani menggunakan lisannya untuk mencela ulama kibar kami yg
mulia dan terhormat dg dalih wala’ wal baro’… Kami juga telah melihat orang yg menggunakan lisannya
untuk mengafirkan para penguasa Kaum Muslimin, terutama penguasa kami di negeri (Saudi) ini, yg
menyuarakan syariat islam, menegakkannya, dan bangga dengannya, dg dalih wala’ wal baro’… Itu semua
adalah imbas dari pemahaman yg salah, atau karena adanya tujuan yg buruk dari pelakunya -wal iyadzu
billah-.

Sedang sikap menyepelekan dan meremehkan wala’ wal baro’ itu memiliki dua ciri utama:

Ciri Pertama: Memerangi akidah wala’ wal baro’, dan menuntut untuk menghapuskannya, sebagaimana kita
saksikan sekarang ini di banyak media informasi, dg dalih bahwa ia yg mendasari pandangan kebencian
terhadap golongan lain, dan menyulut api radikalisme dan sikap berlebihan…

Jika yg diinginkan mereka adalah wala’ wal baro’ yg diterangkan dalam Alqur’an, Hadits, dan ijma’nya para
ulama, serta termasuk dalam perkara yg agama yg diketahui dg darurat, maka itu termasuk kekufuran yg nyata
-wal iyadzu billah-, sudah seharusnya seorang muslim takut terjerumus di dalamnya, dan berusaha
menjauhinya.
Adapun jika yg diinginkan mereka adalah pemahaman dan penerapan yg salah dari wala’ wal baro’, maka
harusnya mereka menerangkan maksud mereka itu dan memperjelas istilah-istilah yg mereka lontarkan,
sehingga tidak sampai mencampur adukkan pemahaman.

Sungguh pengingkaran mereka itu, tidak boleh ditujukan kepada wala’ wal baro’ yg shohih dan syar’i -yg
merupakan ajaran agama yg takkan berubah- hanya karena kesalahan yg dilakukan oleh orang salah di
dalamnya… Dan tidak boleh pula, membalas sikap berlebihan mereka (yg salah dalam penerapan wala’ wal
baro’) dg sikap berlebihan pada sisi lain, karena sesuatu yg najis tidaklah bisa dihilangkan dg hal lain yg sama
najisnya.

Ciri Kedua: Memerangi penerapan wala’ wal baro’ yg benar dan syar’i, dan berusaha untuk mencemarkannya,
serta menjadikan orang lain lari darinya dengan berbagai cara.

Tidak diragukan lagi, sikap berlebihan dan menyepelekan dalam dasar yg agung ini termasuk kemungkaran yg
sangat besar, dan termasuk diantara sebab kerusakan yg nyata… Maka sudah seharusnya Kaum Muslimin
bertakwa kepada Alloh… Sudah seharusnya mereka mengenali keutamaan dan kedudukan dasar agama ini,
serta menempatkannya pada tempat yg pantas baginya… dan sudah seharusnya mereka mengamalkannya
sesuai keinginan Alloh dan Rosul-Nya -shollallohu alaihi wasallam- sebagaimana dipahami oleh Para Salaful
Ummah, tanpa sikap berlebihan ataupun menyepelekan.

Para pembaca yg kami hormati…

Demikian yg dapat kami sampaikan pada kesempatan ini, sungguh kami telah membuang banyak hal yg
semula ingin kami sampaikan, dan kami mencukupkan diri dg garis besarnya saja… Aku memohon pada Alloh
azza wajall dengan nama-nama-Nya yg baik, dan sifatnya yg mulia, agar Dia memahamkan kita dalam agama-
Nya, dan menjadikan kita termasuk orang yg mendengarkan ucapan dan menerapkan yg terbaik darinya…

Ya Alloh, Ya Robbana… Kepada mereka yg Engkau tahu telah bersalah, baik dari: ulama umat ini.. para da’i
kami.. generasi muda kami.. ataupun para wanita kami.. kembalikanlah mereka kepada jalan kebenaran dg cara
yg baik…

Ya Alloh, kumpulkan hati Kaum Muslimin di atas kecintaan, petunjuk, dan sunnah, Ya Robbal Alamin.

Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yg mendahului kami dg keimanan. Janganlah
Engkau jadikan dihati kami kedengkian terhadap orang-orang yg beriman…
Ya Alloh, ampunilah dosa-dosa kami… Ya Alloh, tunjukilah hati-hati kami, Ya Robbal Alamin…

Ya Alloh, janganlah Engkau jadikan dosa kami kecuali engkau ampuni… 3x

Ya Alloh Yang Maha Menutupi, tutupilah kami (saat masih) di atas bumi, tutupilah kami (saat sudah) di bawah
bumi, dan tutupilah kami pada hari ditampakkannya amalan kami, serta janganlah Engkau permalukan kami dg
dosa-dosa kami pada hari ditampakkannya amal kami di haribaan-Mu…

Dan Semoga sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan para
sahabatnya…

TERORISME… BUKAN dari ISLAM (bag.4/6)


Posted on 7 September 2010 by agusisdiyanto| 4 Komentar

(KAIDAH-KAIDAH DALAM MENJATUHKAN VONIS KAFIR … bukan hal yang sederhana)

Bismillah, walhamdulillah, wash sholatu wassalamu ala rosulillah wa ala alihi wa shohbihi wa man waalah…
Pada kesempatan kali ini, kami ketengahkan artikel tentang kaidah dalam menjatuhkan vonis kafir… Masalah
ini sangat erat dg isu terorisme, karena biasanya orang yg terjerumus dalam tindakan terorisme, sebelumnya
telah salah langkah dan bermudah-mudahan dalam menyematkan “pangkat” kafir kepada orang yg berada di
sekitarnya… Sehingga ia tidak lagi merasa berdosa membunuh mereka, karena dalam pikirannya semua orang
itu telah kafir dan pantas untuk diperangi dengan jalan apapun…
Oleh karena itulah artikel ini menjadi sangat penting, paling tidak untuk mengingatkan orang yg mau
membuka pikiran jernihnya, agar ektra hati-hati dalam masalah ini, sehingga tidak mudah terjerumus dalam
tindakan yg tidak baik akibatnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat yg hidup di sekitarnya, baik bagi
hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak…

KAIDAH-KAIDAH DALAM MENJATUHKAN VONIS KAFIR


Pembahasan mengenai kaidah takfir (baca: menjatuhkan vonis kafir) sangatlah penting, apalagi di zaman ini,
saat dimana kita mendapati banyak Kaum Muslimin -yg memiliki kebaikan dan mendambakan kejayaan islam-
terjerumus dalam penyelewengan, karena jahilnya mereka dalam masalah ini.
Betapa banyak pemuda yg terbakar karena jahilnya mereka terhadap masalah ini… Betapa banyak hati seorang
bapak dan ibu terbakar, karena kejahilan anaknya terhadap masalah ini… Dan betapa banyak Kaum Muslimin
yg terbunuh oleh tangan Kaum Muslimin sendiri, karena ketidak-tahuan mereka terhadap masalah ini…
Karena itulah, pada kesempatan ini kami akan membahas sebagian hukum yg berhubungan dengan masalah
ini, dan kami akan mengurutkannya dalam beberapa poin berikut:
Poin pertama: Apakah maksud dari takfir (menjatuhkan vonis kafir)?
Takfir adalah: Melekatkan sifat kafir kepada seorang muslim… Yakni melekatkan sifat kafir kepada orang yg
sebelumnya telah memeluk Islam.

Poin kedua: Bahaya takfir.


Mengapa Ahlussunnah wal jama’ah sangat memperhatikan bab takfir?… Karena bahaya takfir sangatlah besar,
baik bagi orang yg men-takfir maupun bagi orang yg di-takfir.
Bahaya takfir bagi orang yg men-takfir
Ada banyak nash yg memperingatkan kita untuk tidak tergesa-gesa dalam men-takfir, diantaranya sabda Nabi -
shollallohu alaihi wasallam-:
Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya ‘wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah
satunya”. [Muttafaqun Alaih]

Begitu pula sabda beliau -shollallohu alaihi wasallam-:

“Tidaklah seseorang menuduh kafir orang lain, kecuali tuduhan itu akan kembali padanya, jika ternyata
sahabatnya tidak seperti tuduhannya. [Muttafaqun Alaih]

Ibnu Abdil Barr -rohimahulloh- mengatakan: “Maksud (hadits ini), bahwa orang yg mentakfir itu akan
kembali dg membawa dosa besar dan ia harus menanggungnya, disebabkan ucapan ‘wahai kafir’ yg
dilontarkannya kepada saudaranya… Sungguh, ini merupakan peringatan dan larangan yg sangat keras
terhadap ucapan tersebut, dan juga terhadap tindakan mengatakan ‘wahai kafir’ kepada salah seorang dari ahli
kiblat”.
Alhafizh Ibnu Daqiq al-Id -rohimahulloh- mengatakan: “Hadits ini merupakan ancaman keras bagi orang yg
men-takfir seseorang dari Kaum Muslimin, padahal ia tidak seperti yg dituduhkan, tp (sayangnya) banyak
orang terjatuh dalam kesalahan besar ini”.
Alhafizh Ibnu Hajar -rohimahulloh- mengatakan: “Yang tepat adalah bahwa hadits itu maksudkan untuk
memperingatkan seorang muslim agar ia tidak melontarkan perkataan itu kepada saudaranya sesama muslim…
Makna hadits itu adalah: ‘Maka tuduhan takfir itu akan kembali kepadanya’, (intinya) yg kembali adalah
tuduhan takfir-nya bukan kekafirannya” (Lihat Kitab Fathul Bari)… Harus dipahami di sini, bahwa yg kembali
adalah tuduhan takfir-nya -yakni keburukan tindakannya-, bukan kekafirannya, jadi bukan berarti (akibat
tindakan takfir-nya itu) penuduhnya menjadi kafir.
Alqurthubi -rohimahulloh- mengatakan: “Intinya, jika orang yg dituduh itu benar-benar kafir menurut syariat,
maka si penuduh itu benar dan ucapan itu sampai kepadanya. Adapun jika tidak demikian, maka keburukan
dan dosa ucapan itu akan kembali padanya”.
Dalam hadits lain, Nabi -shollallohu alaihi wasallam- juga mengatakan:
“Barangsiapa menuduh seorang mukmin dg kekafiran maka ia seperti membunuhnya. (HR. Bukhori)
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan: “Jadi, Alqur’an dan sunnah telah melarang untuk mentakfir seorang
muslim kecuali dg bukti yg tidak ada masalah padanya”.
Karena berat dan sangat berbahayanya masalah takfir ini, sehingga para sahabat nabi -shollallohu alaihi
wasallam- dahulu tidak berkenan men-takfir Ahli Kiblat kecuali dg sesuatu yg jelas dan tak menyisakan
keraguan… Ibnu Abdil meriwayatkan dari Abu shofyan, ia mengatakan: “Aku telah bertanya kepada Jabir -
rodliallohu anhu-: ‘Apakah kalian pernah menuduh kafir kepada salah seorang dari Ahli Kiblat?’. Ia
menjawab: ‘Tidak’. Aku bertanya lagi: ‘Apa kalian pernah mengatakan musyrik kepada mereka?’ Ia
mengatakan: ‘Aku berlindung kepada Alloh dari hal seperti itu’. Lalu ia pergi”… Ini menunjukkan bahwa
mereka tidak tergesa-gesa dalam melepaskan kata-kata.
Oleh karena itulah, para ulama kita memberikan peringatan keras terhadap tindakan meremehkan dan tergesa-
gesa dalam mengeluarkan vonis kafir.

Imam syaukani -rohimahulloh- mengatakan: “Ketahuilah, bahwa tidaklah pantas bagi seorang muslim -yg
beriman kepada Alloh dan hari akhir- untuk memvonis muslim lain dg mengeluarkannya dari Agama Islam
dan memasukkannya dalam kekafiran, kecuali dg bukti yg lebih jelas dari matahari di waktu siang”…
Saudaraku… Dg ini kita tahu, bahwa tindakan takfir itu sangat berbahaya bagi orang yg men-takfir.
Bahaya takfir bagi orang yg di-takfir
Tindakan takfir juga sangat bahaya bg orang yg di-takfir, karena takfir -sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul
Islam- adalah hukum syariat yg ujung-ujungnya adalah halalnya harta, darah, dan kekalnya seseorang di
neraka, dan masing-masing dari tiga hal ini lebih besar dari sekedar gunung yg menjulang.
Menjatuhkan vonis kafir berarti menetapkan perkara-perkara yg berbahaya… Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -
rohimahulloh- mengatakan: “Jika hal ini jelas, maka ketahuilah bahwa masalah-masalah takfir (menjatuhkan
vonis kafir) dan tafsiq(menjatuhkan vonis fasik) adalah termasuk dalam pembahasan ‘istilah dan hukum’ yg
berhubungan dg janji dan ancaman Alloh di akhirat kelak… Ia juga berhubungan dg rasa cinta dan
permusuhan, haram dan halalnya darah seseorang, dan hukum-hukum lainnya di dunia ini”.
Saudaraku… takfir sangatlah berbahaya bagi orang yg ditakfir, karena:
- Istrinya tidak boleh lagi tetap bersamanya, bahkan wajib dipisahkan antara keduanya, karena seorang
muslimah tidaklah halal untuk orang kafir…

- Anaknya tidak boleh tetap di bawah wilayahnya, karena orang yg muslim tidak boleh di bawah wilayah
orang kafir.

- Ia berubah status menjadi musuh yg nyata, padahal sebelumnya seorang pelindung dan penolong baginya.

- Wajib dihakimi untuk diterapkan hukum murtad padanya, setelah diminta bertaubat.
- Jika ia mati, tidak boleh diterapkan hukum Kaum Muslimin padanya, sehingga ia tidak dimandikan, tidak
disholati, tidak dikuburkan di pemakaman Kaum Muslimin, tidak diwarisi, mendapatkan laknat alloh dan jauh
dari rahmat-Nya, serta akan kekal selamanya di neraka jahannam.

Ini semua adalah imbas dari vonis kafir yg sangat berbahaya… Sudah semestinya hal ini dapat
memperingatkan seorang mukmin agar tidak tergesa-gesa dalam melepaskan vonis kafirnya. Oleh karena itu,
jika tindakan menjatuhkan vonis kafir terlihat menyenangkan di mata seseorang, maka hendaklah ia mengingat
kembali bahaya-bahaya ini, dan hendaklah ia ingat bahwa sebenarnya ia saat itu sedang berdiri di pintu
bahaya, yg bisa jd imbas buruknya malah kembali padanya dg dosa besar.

Poin ketiga: Vonis kafir adalah hukum syar’i.


Oleh karena itu, ia tidak boleh dijatuhkan kecuali kepada sesuatu yg disebut kafir oleh Alqur’an dan Assunnah,
sesuai dg maksud Alqur’an dan Assunnah… Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- mengatakan:
“Kafir adalah hukum syariat, yg (hanya) boleh diambil dari pemilik syariat”
Kata “kufur” dalam alqur’an dan Assunnah memiliki dua pemakaian:
(1) Kadang dipakai untuk menyebut “kufur akbar” yg dapat mengeluarkan seseorang dari islam.

(2) Kadang dipakai untuk menyebut “kufur ashghor” yg tidak sampai pada derajat “kufur akbar”.

Diantara contoh pemakaian yg kedua adalah sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-:
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, sedang memeranginya adalah kekufuran”.

Dan tidak diragukan lagi bahwa kata “kufur” di sini tidak dimaksudkan “kufur akbar” yg dapat mengeluarkan
seseorang dari keislaman, tapi maksudnya adalah untuk menerangkan bahwa perbuatan itu merupakan dosa
besar, dan di sini Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menegaskan peringatannya itu dg menggunakan kata
“kufur” tersebut.
Jadi, wajib bagi seorang mukmin untuk mengambil hukum vonis kafir ini dari Alqur’an dan Assunnah dg
pemahaman para salaful ummah… Sungguh siapapun yg meneliti Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dari dulu
hingga sekarang, ia akan menemukan bahwa mereka memiliki kaidah yg bisa menjaga umat ini dari bahaya
takfir, yg semuanya diambil dari Alqur’an dan Assunnah… Sungguh demi Alloh, semua kebaikan umat islam
ini adalah dg mengambil apa yg dirumuskan oleh para salaf dalam semua bab agama, yg diantaranya adalah
bab (takfir) ini.
Dan di sini, saya akan menyebutkan beberapa kaidah itu, beserta ucapan para imam yg menguatkannya.
Kaidah pertama:
Keislaman itu tetap dg adanya dua syahadat, tanpa melihat adanya tanda-tanda lain yg mungkin bisa
dipahami ketidak-jujuran orang yg melafalkannya.
Oleh karena itu, bila seseorang telah melafalkan dua syahadat, otomatis sifat Islam itu tetap padanya, meski
orang lain melihat adanya tanda-tanda yg mungkin menunjukkan ketidak-jujurannya saat melafalkannya…
Ada banyak dalil yg menunjukkan kaidah ini, diantaranya hadits Usamah bin Zaid berikut ini:

Usamah bin Zaid -rodliallohu anhu- mengatakan: “Suatu saat Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-
mengirim kami ke daerah khuroqoh, lalu paginya kami menyerang penduduknya dan dapat menaklukkan
mereka… Ketika itu saya bersama teman dari Kaum Anshor menangkap salah seorang dari mereka, dan saat
kami telah menghunuskan pedang padanya, ia mengatakan: ‘laa ilaaha illalloh’… hingga temanku dari kaum
anshor itu menghentikan serangannya”.
Usamah -rodliallohuma- mengatakan: “Lalu aku pun menusuknya dg tombakku hingga aku membunuhnya.
Ketika kami sampai di madinah, kabar ini pun sampai kepada Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, beliau
mengatakan padaku: ‘Wahai Usamah, apa kau tetap membunuhnya setelah ia mengatakan: laa ilaaha
illallooh?!’. Aku menjawab: “Ya Rosululloh, ia mengucapkan kalimat itu hanya untuk melindungi dirinya
saja!”. Usamah mengatakan: “Tapi beliau terus mengulang kata-katanya itu, hingga aku berharap bukan
sebagai muslim sebelum hari itu”. (Muttafaqun Alaih)
Dalam riwayat lain dg redaksi seperti ini:

Beliau -shollallohu alaihi wasallam- menanyakan pada Usamah: “Mengapa kamu tetap membunuhnya?!”. Ia
beralasan: “Ya rosululloh, ia telah banyak melukai Kaum Muslimin, ia telah membunuh si fulan, si fulan,… -
dan ia menyebut banyak orang yg dibunuh lelaki itu-… Kemudian aku (akhirnya) dapat mengalahkannya.
Ketika ia melihat pedangku (mengarah padanya) ia mengatakan: laa ilaaha illallooh“…
Beliau bertanya: Apa kau tetap membunuhnya?!… Ia menjawab: “Ya”.

Beliau bertanya: “Lalu apa yg kan kau perbuat menghadapi kalimat ‘laa ilaaha illallooh’ pada hari kiamat
nanti?!… Ia mengatakan: “Ya Rosululloh, mohonkanlah ampunan untukku!”
Beliau mengatakan: “Lalu apa yg kan kau perbuat menghadapi kalimat ‘laa ilaaha illallooh’ pada hari kiamat
nanti?!… Ia mengatakan: “Beliau tidak menambahi ucapannya, selain terus mengatakan: ‘Lalu apa yg kan kau
perbuat menghadapi kalimat ‘laa ilaaha illallooh’ pada hari kiamat nanti?!’…
Lihatlah bagaimana sahabat yg mulia ini, Usamah bin Zaid -rodliallohu anhuma-… (ia adalah orang kecintaan
beliau, sekaligus putra dari orang kecintaan beliau)… Ia telah berijtihad dalam langkahnya membunuh orang
yg mengatakan ‘laa ilaaha illallooh’, karena telah jelas baginya tanda-tanda yg menunjukkan ketidak-
jujurannya, tapi Nabi -shollallohu alaihi wasallam- tidak membenarkan tindakannya.
Senada dengan ini, Hadits Miqdad bin Aswad, ketika ia bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi
wasallam-:
“Bagaimana menurutmu, jika seandainya aku berhadapan dg salah seorang dari Kaum Kuffar, lalu kami saling
menyerang, dan ia berhasil menyabet salah satu tanganku dg pedang hingga putus, kemudian ia melindungi
dirinya dari seranganku dg pohon, dan mengatakan: ‘Aku sekarang masuk Islam karena Alloh’… Ya
Rosululloh apa boleh aku membunuhnya setelah ia mengucapkan kalimat itu?”… Beliau menjawab: “Jangan
bunuh dia!”.
Ia mengatakan lagi: “Ya Rosululloh, ia telah memutus salah satu tanganku, lalu baru mengucapkan kalimat
itu?!”… Beliau menjawab lagi: “Jangan bunuh dia, karena jika kau tetap membunuhnya, maka sungguh ia itu
sepertimu sebelum kau membunuhnya, dan sungguh kau itu seperti dia sebelum ia mengucapkan kalimat yg
dikatakannya”.

Maksud sabda beliau: “Jangan bunuh dia, karena jika kau tetap membunuhnya, maka sungguh ia itu sepertimu
sebelum kau membunuhnya”, yakni bahwa darahnya telah terlindungi dg kalimat ‘laa ilaaha
illallooh’ sebagaimana darah kamu juga sebelumnya terlindungi.
Sedang maksud sabda beliau: “Dan sungguh kau itu seperti dia sebelum ia mengucapkan kalimat yg
dikatakannya” yakni: bahwa darahmu tidaklah terlindungi lagi disebabkan pembunuhanmu itu seandainya
kamu tidak punya ta’wil… jika saja bukan karena adanya ta’wil maka harusnya kau dibunuh dan darahmu
menjadi halal.

Kaidah kedua:
Barangsiapa telah tetap islamnya dg yakin, maka keislaman itu tidak boleh dihilangkan kecuali dg
sesuatu yg yakin pula.
Maka, Barangsiapa telah tetap islamnya dg dua kalimat syahadat, ia tidak boleh dikeluarkan darinya kecuali dg
keyakinan yg sebanding dgnya… Misalnya dg adanya ijma’ atas kekufurannya, atau dg adanya nash shorih yg
menunjukkan kafirnya orang tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- mengatakan: “Tidak boleh seorang pun mengafirkan
seseorang dari Kaum Muslimin -meski ia jatuh dalam kesalahan dan dosa-, hingga ditegakkan hujjah padanya
dan hujjah itu (benar-benar) dipahami olehnya… Barangsiapa telah tetap imannya dg yakin, maka iman itu
tidak akan hilang dg keraguan… Bahkan iman tersebut tidak boleh dihilangkan kecuali setelah tegaknya hujjah
dan hilang pula syubhat darinya”.
Alhafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan: Dipandang dari sisi logika -yg shohih dan tidak bisa diganggu gugat
lagi-, bahwa siapapun yg telah disepakati Kaum Muslimin keislamannya, lalu ia melakukan dosa atau ta’wil,
kemudian merekakhilaf tentang keluarnya orang ini dari Islam, maka khilaf ini tidaklah ada artinya, karena
sebelumnya telah ada ijma’ (kesepakatan) yg mewajibkan hujjah (atas keislaman orang tersebut), dan
seseorang tidak boleh dikeluarkan dari keislamannya yg telah disepakati sebelumnya, kecuali dg kesepakatan
lain atau dg sunnah yg shohih dan tidak ada yg menyelisinya.
Beliau mengatakan lagi: “Ahlussunnah wal jama’ah -yg mereka adalah para ahli fikih dan atsar- telah sepakat
bahwa siapapun tidak boleh dikeluarkan dari Islam karena dosa, betapapun besarnya dosa tersebut.
Beliau juga mengatakan: “Maka yg wajib (diikuti) berdasarkan logika adalah, tidak bolehnya seseorang
dikafirkan kecuali; orang itu telah disepakati kekafirannya, atau ada dalil dari kitab dan sunnah -yg tidak bisa
diganggu gugat lagi- yg menunjukkan kekafirannya”.

Kaidah ketiga:
Jika ada keraguan tentang kafirnya seorang muslim, maka orang itu harus tetap dihukumi sebagai
muslim.
Kaidah ini adalah cabang dari kaidah sebelumnya, karena keyakinan (dalam masalah ini) adalah pada
keislamannya, maka keislaman orang itu tidak boleh dihilangkan dg keraguan. Intinya, jika masalahnya
berkisar antara keislaman dan kekafiran orang tersebut, maka harusnya yg dimenangkan adalah keislamannya,
(karena keislaman orang tersebut telah diyakini ketetapannya, sedang kekafirannya masih diperselisihkan).

Misalnya: kita mengatakan bahwa berhukum dg selain hukum Alloh itu ada perinciannya, bisa jadi pelakunya
kafir, bisa jadi tidak… nah, bila hukum kafir orang tersebut samar bagi kita, maka kita harus tetap
menganggapnya muslim, dan kita tidak boleh menetapkan kekafirannya kecuali dg keyakinan. Selama masih
ada keraguan maka orang tersebut berarti masih dalam keislamannya.

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: “Orang yg masih diperselisihkan oleh para ulama
tentang kekufurannya, maka termasuk perbuatan hati-hati dalam agama adalah dg tawaqquf dan tidak
melangkah (untuk memvonisnya dg kekafiran), selagi tidak ada nash shorih dalam masalah itu”.

Sebagian pakar fikih menyebutkan, bahwa hendaknya seorang mukmin menghindari takfir selagi masih ada
jalan untuk menghindar darinya, karena menghalalkan darah dan hartanya orang yg sholatnya menghadap
kiblat dan jelas-jelas mengatakan ‘laa ilaaha illallooh muhammadur rosululloh’ adalah bahaya besar… Dan
salah dalam memberikan kesempatan hidup bagi 1000 org kafir itu lebih ringan daripada salah dalam
mengucurkan setetes darah dari seorang muslim. Sungguh, ini merupakan pemahaman yg sangat mendalam,
karena satu orang muslim itu lebih berharga daripada seluruh Kuffar.
Seandainya saja para generasi muda dan saudara kita memahami ini..!

Betapa banyak mereka telah mengucurkan darah seorang muslim, meski dgsyubhat yg paling kecil… Cobalah
tanya negara kalian… Negara Jazair… Negara Sudan… dan Negara Saudi ini… bagaimana ia menjerit,
mengeluh, menderita, dan menjadi korban penduduknya sendiri, karena ketidak-tahuan mereka terhadap
kaidah ini..!
Kaidah keempat:
Perbuatan yg disifati kufur, tdk otomatis menunjukkan pelakunya kafir
Jadi harus dibedakan antara takfir mutlak dg takfir mu’ayyan, karena bisa jadi suatu ucapan atau perbuatan
disifati kufur, tapi si pengucap atau pelakunya tidak disifati sebagai kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -
rohimahulloh- mengatakan: “wajib dibedakan antara (takfir) yg mutlak dg (takfir) yg mu’ayyan”.
Yang menjadi dasar kaidah ini adalah kisah orang yg dicambuk Nabi -shollallohu alaihi wasallam- karena
minum khomr beberapa kali… Suatu hari ia didatangkan kepada beliau, dan beliau memerintahkan untuk
mencambuknya, lalu ada seseorang mengatakan: “Ya Alloh laknatlah dia, betapa seringnya ia didatangkan
untuk dicambuk”… mendengar itu, Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan padanya: “Jangan kau
laknat dia, karena -sungguh demi Alloh- aku tidak mengetahuinya kecuali ia mencintai Alloh dan Rosul-Nya.
(HR. Bukhori)
Saudaraku, cobalah renungkan!… Beliau disini mengingkari orang yg melaknat peminum khomr itu, Padahal
Beliau sendiri telah melaknat sepuluh oknum dalam khomr: (1) Pemerasnya, (2) Orang yg minta diperaskan,
(3) Peminumnya, (4) Pembawanya, (5) Orang yg dibawakan, (6) Penyajinya, (7) Pembelinya, (8) Pemakan
harganya, (9) Pembelinya, dan (10) Orang yg dibelikan. (HR. Imam Ahmad, dan Ibnu Majah, dishohihkan oleh
Albani).

Mengapa demikian? karena orang tersebut telah menerapkan laknat kepada individu tertentu yg belum tentu
pantas untuk dilaknat, sedang Beliau dalam haditsnya melaknat peminum khomr secara umum… Dari sini kita
tahu, bahwa harus dibedakan antara menerapkan laknat kepada pelaku secara umum dg menerapkan laknat
kepada individu tertentu.

Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- mengatakan: “Telah valid dalam kitab shohih,
bahwa dahulu di zaman Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ada orang yg dijuluki himar, dia sering minum
khomr, dan setiap kali didatangkan kepada Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ia dicambuk dg hadd… Karena
hal itu sering terjadi padanya, ia pun sering didatangkan, dan beliau selalu memerintahkan untuk
mencambuknya… Saat itulah ada orang yg melaknatnya, maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam-
menegurnya: ‘Jangan kau melaknatnya, karena sungguh ia mencintai Alloh dan rosul-Nya’… Di sini, beliau
melarang untuk melaknatnya… padahal beliau -shollallohu alaihi wasallam- telah melaknat sepuluh oknum
dalam khomr… Tapi laknat yg mutlak(global) tidak otomatis menunjukkan laknat kepada mu’ayyan (individu
tertentu) yg ada penghalang padanya dari sampainya laknat tersebut kepadanya…. Begitu pula takfir dan
ancaman yg mutlak… Oleh karena itu, ancaman yg mutlak dalam alqur’an dan sunnah, itu harus dg
terpenuhinya syarat dan tidak adanya penghalang (jika diterapkan pada individu tertentu).
Beliau juga mengatakan: “Takfir mu’ayyan terhadap para jahil dan orang yg seperti mereka… tidaklah boleh
dilakukan terhadap setiap individunya, kecuali setelah tegaknya hujjah pada mereka, (hingga mereka sadar)
bahwa mereka telah menyelisihi para rosul”.
Perkataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- dalam masalah ini sangatlah banyak, tp cukuplah apa
yg kami sebutkan sebagai isyarat untuk ucapannya yg lain.

Lalu adakah dalil yg menunjukkan tidak bolehnya menyematkan vonis kafir kepada individu tertentu meski ia
berkata atau berbuat kufur?!

Kita katakan, ada banyak dalil dalam masalah ini, diantaranya:

(1) Hadits yg ada dalam kitab shohih, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- masuk menemui paman
beliau “Hamzah” di rumahnya bersama para sahabatnya -sebelum diharamkannya khomr-… Saat itu mereka
telah minum khomr dan mabuk, lalu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mengajaknya bicara tentang perkara
yg diadukan oleh keponakan beliau “Ali”… Ketika itu Hamzah malah mengatakan kepada beliau dan Ali:
“Kalian itu hanyalah budak kecilnya bapakku?!”… Sungguh, ini merupakan celaan kepada Nabi -shollallohu
alaihi wasallam-, dan itu adalah ucapan kufur… Tapi lihatlah apa yg dikatakan oleh si perowi kisah ini, ia
mengatakan: “Maka beliaupun tahu bahwa ia sudah mabuk, lalu beliau meninggalkannya dan keluar. Itulah
langkah akhir yg dilakukan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-“.
(2) Ibunda kita Aisyah -rodliallohu anha-, pernah mengatakan kepada Nabi -shollallohu alaihi wasallam-:
“Ya Rosululloh, apa benar apapun yg disembunyikan Manusia itu diketahui oleh Alloh?!” Beliau menjawab:
“Ya”. (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan bagaimana beliau mengajari Aisyah dan tidak mencelanya, padahal pertanyaan itu
mengisyaratkan ketidak-tahuannya tentang sifat ilmu bagi Alloh.

Ketika mengomentari hadits di atas, Ibnu Taimiyah -rohimahulloh-mengatakan: Ini menunjukkan bahwa dia
(Aisyah) sebelumnya tidak tahu akan hal itu… Dan sebelum ia tahu bahwa Alloh maha tahu atas segala
sesuatu yg disembunyikan manusia, dia tidaklah kafir, meski ia mengikrarkan hal itu… Dengan begitu, jelaslah
bahwa perkataan ini adalah perkataan kufur, tapi si pengucapnya tidak boleh dihukumi kafir sehingga sampai
padanya ilmu yg dapat menegakkan hujjah atasnya.
(3) Dalam kitab shohihain dikisahkan: “Ada orang yg terlalu banyak melakukan dosa, dan ketika ajal akan
menjemputnya, ia berwasiat kepada anak-anaknya seraya mengatakan: ‘Bila aku mati, bakarlah jasadku,
kemudian tumbuklah, dan tebarkanlah di laut, karena -sungguh demi Alloh- jika saja Tuhanku bisa
menemukanku, tentu ia akan menyiksaku dengan siksaan yg tidak ada bandingannya… Maka ketika ia mati,
dikerjakanlah perintah itu… Kemudian Alloh memerintahkan bumi untuk mengumpulkan jasadnya, maka
bumi melakukannya, sehingga tiba-tiba ia berdiri, dan Alloh mengatakan pada orang itu: ‘Apa yg membuatmu
mengatakan wasiat itu?’. Ia menjawab: ‘Karena aku takut kepada-Mu wahai Tuhanku’, maka Dia pun
mengampuninya”.
Mengomentari hadits ini, Ibnu Qutaibah -rohimahulloh- mengatakan: “Ini adalah orang yg beriman kepada
Alloh, mengikrarkan-Nya, takut kepada-Nya, tapi ia tidak tahu tentang salah satu dari sifat-sifatnya, ia mengira
jika jasadnya dibakar dan dibawa angin, Alloh tidak tidak akan mampu menemukannya, tapi Alloh kemudian
mengampuninya karena pengetahuan-Nya tentang apa yg ada dalam hatinya.
Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- mengatakan: ini adalah orang yg ragu dg kekuasaan Alloh dan ragu akan
kemampuan Alloh untuk mengembalikannya jika telah dibawa angin, bahkan ia yakin bahwa jasadnya tidak
mungkin lagi kembali, dan ini merupakan kufur sebagaimana disepakati oleh Kaum Muslimin, tapi karena ia
jahil dan tidak tahu -sedang ia masih beriman dan takut kepada Alloh jika menyiksanya-, maka ia pun
mendapatkan ampunan karenanya.
(4) Ada juga kisah yg terjadi dg Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ketika beliau mengutus Abu Jahm bin
Hudzaifah untuk mengambil zakat… Karena ada seseorang yg membangkang dalam zakatnya, maka Abu
Jahm pun memukulnya hingga melukai wajahnya.
Kemudian mereka menghadap Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dan mengatakan: “Ya Rosululloh, kami
menuntut tebusan (dari tindakannya itu)!”
Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan: “Baiklah, kalian akan kuberi ini dan itu”, tp mereka
belum puas.
Beliau mengatakan lagi: “Kalian akan kuberi ini dan itu”.

Karena mereka belum jg puas, beliau pun menawarkan lagi: “Kalian akan kuberi ini dan itu”, dan akhirnya
mereka pun puas dan setuju.

Kemudian Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan: “Sungguh aku akan kabarkan hal ini kepada
khalayak, sekaligus mengabarkan kepada mereka tentang kerelaan kalian”. Mereka menjawab: ya.
Maka, beliau pun berkhutbah dan mengatakan: “Sungguh mereka -kaumallaitsiyyin- telah datang padaku untuk
menuntut tebusan, dan aku telah tawarkan kepada mereka ini dan itu, sehingga mereka setuju, bukankah kalian
telah setuju?!”… Mereka menjawab: “Tidak”.
Maka Kaum Muhajirin bergegas ingin menyerang mereka, tp Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-
meminta mereka untuk menahan diri, dan mereka pun mau menahan diri… Kemudian beliau memanggil
mereka lagi, dan menambah bagiannya. Lalu beliau mengatakan: “Apa kalian sudah puas?!” Mereka
menjawab: “Ya”.
Beliau mengatakan lagi: “Sungguh aku akan kabarkan hal ini kepada khalayak, sekaligus mengabarkan kepada
mereka tentang kerelaan kalian”. Mereka menjawab: “Ya”.

Maka beliau pun berkhutbah dan mengatakan: “Bukankah kalian setuju?”. Mereka mengatakan: “Ya”. (HR.
Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishohihkan oleh Albani)

Lihatlah kejadian dalam kisah ini, mulanya mereka telah mengabarkan kepada Nabi bahwa mereka telah
setuju, tetapi ketika beliau menanyakan kepada mereka: “Apa kalian sudah setuju?” -yakni bukankah
perkataanku benar?!- mereka mengatakan: tidak… Sungguh ini merupakan tindakan mendustakan kabar yg
disampaikan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-.
Mengomentari hadits di atas, Ibnu Hazm -rohimahulloh- mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat pelajaran
untuk memberi udzur terhadap seorang yg jahil, dan bahwa orang yg jahil itu tidak boleh dikeluarkan dari
islam, meski dg tindakan yg jika dilakukan oleh seorang yg alim -yg telah tegak hujjah padanya- ia akan
menjadi kafir.
Syaikhul islam ibnu taimiyah -rohimahulloh- mengatakan: “Ada banyak orang yg hidupnya di daerah atau
waktu yg sebagian besar ilmu kenabian telah hilang, hingga tidak lagi tersisa orang yg menyampaikan
kepadanya ajaran Alloh dan rosul-Nya dari kitab dan sunnah, makanya ia tidak tahu banyak tentang ajaran
tersebut… Orang yg seperti ini tidak boleh dikafirkan… Oleh karena itu, para imam telah sepakat, bahwa
orang yg hidupnya di daerah yg jauh dari ahli ilmu dan iman serta baru masuk islam, lalu mengingkari
sebagian hukum-hukum yg jelas dan mutawatir, maka ia tidak boleh dihukumi kafir sampai disampaikan
padanya ajaran yg dibawa oleh Rosul -shollallohu alaihi wasallam-”.
Kaidah kelima:
Pada dasarnya tidak ada yg boleh membicarakan hal ini kecuali ahli ilmu.
Mengeluarkan vonis kafir, bukanlah hak setiap orang, tapi ia hanya untuk ulama’ yg mumpuni, merekalah
ulama’ ahlussunnah yg robbani, dan tepercaya ilmu dan hikmahnya… Abdulloh bin Muhammad bin Abdul
wahhab mengatakan: “Ringkasnya, wajib bagi orang yg ingin menasehati dirinya, agar ia tidak berbicara
dalam masalah ini, kecuali dg ilmu dan dalil dari Alloh.

Dan pada asalnya ilmu itu diambil dari ulama besar, apalagi tentang masalah yg agung ini, Nabi -shollallohu
alaihi wasallam- bersabda: “Sesungguhnya tanda-tanda hari kiamat adalah dituntutnya ilmu dari orang-orang
kecil”. (HR. Thobaroni, dishohihkan oleh Albani).
Jadi, diantara tanda kiamat adalah dg ditinggalkannya ilmu dari ulama besar, sebaliknya ilmu itu banyak
diambil dari para yuniornya… ucapan ulama kibar ditentang, sebagaimana terjadi pada banyak generasi muda
sekarang ini… Padahal menolak ucapan ulama besar dg ucapan orang kecil, termasuk jenis menolak nash
yg muhkam (jelas petunjuknya) dg nash yg mutasyabih (samar petunjuknya).
Ibnu Qutaibah -rohimahulloh- mengatakan: “Manusia akan terus dalam kebaikan selama ulama mereka dari
orang yg tua, bukan dari orang-orang muda… Karena orang yg tua, telah hilang darinya kekerasan,
kenikmatan, dan ketergesa-gesaan yg ada pada generasi muda… Orang yg tua umurnya telah banyak memiliki
pengalaman dalam hidupnya, sehingga tidak masuk syubhat dalam ilmunya, tidak tergoda oleh hawa nafsunya,
dan tidak digelincirkan oleh setan karenanya. Sedang orang muda, bisa jadi dimasuki oleh hal-hal ini, yg telah
aman darinya orang yg sudah tua”.
Sungguh, masalah ini adalah masalah yg pantas untuk masuk pertama kali dalam firman Alloh azza wajall:
“Apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka langsung
menyiarkannya, padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rosul dan Ulil Amri diantara mereka,
tentulah orang-orang yg ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka”.
Ilmu tentang takfir ini, harusnya diambil dari ulama dari dua sisi:
Pertama: Apakah ucapan atau perbuatan itu benar-benar perbuatan kufur?

Kedua: Apakah si fulan yg mengucapkan atau melakukannya itu bisa dihukumi kafir?

Kedua sisi ini harus diambil dari ahli ilmu yg senior dan mumpuni ilmunya, dan tidak boleh disamakan (atau
dikiaskan) antara individu yg satu dg yg lain… Janganlah fatwa seorang ulama besar pada orang tertentu
engkau terapkan kepada orang lain, karena fatwa-fatwa semacam ini adalah fatwa yg berlaku khusus, tidak
boleh dialihkan kepada orang tertentu lainnya… Karena bisa jadi syarat-syarat takfir terpenuhi dan tidak ada
penghalang pada orang tertentu, tp syarat-syarat itu tidak terpenuhi pada orang lain yg mengatakan seperti
ucapannya, atau berbuat seperti perbuatannya… Jadi, dalam masalah ini semuanya harus dikembalikan kepada
ulama besar yg robbani, karena masalahtakfir ini adalah masalah yg kompleks, ia mempunyai banyak
konsekuensi besar, dan ia membutuhkan pengetahuan tentang terpenuhinya syarat-syarat takfir pada orang
tersebut, sekaligus tidak adanya penghalang pada orang tersebut untuk dikafirkan.
Kaidah keenam:
Tatsabbut dalam menyikapi kabar, terutama dalam masalah takfir adalah sebuah keniscayaan.
Hal ini dikarenakan adanya banyak konsekuensi yg berbahaya dari masalah ini. Ucapan dan perbuatan kufur
tidak boleh dinisbatkan kepada muslim kecuali dgtatsabbut. Jika sebuah kabar belum terbukti secara nyata,
maka kabar itu harus ditolak dan tidak boleh didengarkan.
Kaidah ketujuh:
Ketika seorang muslim meyakini suatu hukum mengenai orang lain, bukan berarti ia harus
mengatakannya dg lisannya.
Misalnya: Jika ada seorang penuntut ilmu telah menanyakan kepada seorang alim besar yg mu’tabar tentang
seorang individu tertentu, dan orang alim ini mengatakan padanya bahwa individu tersebut kafir, lalu ia
meyakini kekafirannya, apakah ia wajib mengatakan dan memberitahukan kepada orang-orang bahwa orang
itu kafir? Kita katakan “tidak“, akan tetapi ia baru boleh mengatakan hal itu dengan lisannya jika ada maslahat
syar’iyah yg menuntutnya.
Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dahulu memberitahukan nama-nama munafiqin, dan beliau berkeyakinan
bahwa mereka nantinya di lembah neraka yg paling bawah… Tp apakah beliau memberitahukan nama-nama
mereka?!… Beliau tidak memberitahukan hal itu kecuali kepada Hudzaifah -rodliallohu anhu-, itupun dg
syarat dia akan merahasiakannya… Dan Hudzaifah tidak memberitahukan hal itu kecuali kepada Umar -
rodliallohu anhu-, itupun dg hanya mengatakan bahwa ia bukan termasuk deretan nama orang-orang munafik
yg disebutkan oleh Beliau -shollallohu alaihi wasallam-… Padahal pengetahuan Kaum Muslimin tentang
nama-nama para munafiqin bisa saja mendatangkan banyak maslahat, diantaranya: agar mereka tidak disholati,
tidak dimintakan ampunan, dan agar diwaspadai keburukan dan makar mereka… Tp Beliau tidak
memberitahukan hal itu karena di sana ada maslahat lain yg lebih besar.
Oleh karena itu, bisa saja engkau meyakini bahwa seseorang itu ahli bid’ah, atau fasik, atau kafir, tp kamu
tidak mengatakannya dg lisanmu, karena untuk mengatakan hal itu harus ada maslahat syar’iyyah yg
menuntunya… Jika ada maslahat syar’iyyah dalam mengatakan dan menyebarkannya maka kamu boleh
melakukannya, tp jika tidak ada maslahat syar’iyyah dalam mengatakan dan menyebarkannya maka hendaknya
kamu mencegah lisanmu agar tidak membukannya.

Inilah beberapa poin yg ingin saya sampaikan, meski sebenarnya saya telah mengumpulkan banyak ucapan
ahlussunnah wal jama’ah dalam masalah ini, tapi waktu kita hanya cukup untuk menyebutkan apa yg telah
saya sebutkan di atas, semoga itu sudah cukup menjelaskan masalah yg agung ini.

Sekian keterangan yg disampaikan oleh Syeikh Sulaiman Arruhaili dalam salah satu majlisnya di Masjid
Nabawi -tentunya dg beberapa penyesuaian redaksi-… Semoga bisa memberikan manfa’at untuk para
pembaca… amin.

TERORISME… BUKAN dari ISLAM (bag.5/6)


Posted on 7 September 2010 by agusisdiyanto| 5 Komentar

(Wajibnya berhukum dengan Hukum Alloh)


Alhamdulillah, segala puji bagi-Nya… dan Sholawat dan Salam semoga tercurahkan kepada Rosul-Nya…
Sebelum kita menginjak pada masalah “Berhukum dg selain Hukum Alloh”, ada baiknya kita menelaah dulu
pesan Syeikh Binbaz -rohimahulloh- berikut ini, tentang “Wajibnya berhukum dg Hukum Alloh”… Beliau
mengatakan:
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam… Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yg berhak disembah selain Allah
semata yg tiada sekutu bagi-Nya, Ilah-Nya mereka yg datang di awal maupun di akhir zaman, Tuhan segenap
manusia, Yang Maha diraja, Yang maha esa, Yang maha satu, Yang maha sendiri, Yang maha kaya, Yang
tidak melahirkan, Yang tidak dilahirkan, dan Tidak ada sesuatupun yg menyamai-Nya… Aku juga bersaksi
bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rosul-Nya, semoga sholawat dan salam Allah tercurahkan padanya,
beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad dg sebenar-benarnya, dan meninggalkan
umatnya dalam keadaan bersinar terang, malamnya seperti siangnya, tidak ada yg menyeleweng darinya
kecuali akan binasa… amma ba’du:
Ini adalah pesan singkat dan nasehat tentang harusnya berhukum dg syari’at Allah, dan peringatan untuk tidak
berhukum kepada yg lainnya. Aku goreskan pesan ini, karena aku lihat sebagian orang di zaman ini terjatuh
dalam tindakan berhukum dg selain syariat Allah dan kepada selain Alqur’an dan Sunnah, -seperti kepada para
peramal, para dukun, para pemimpin kabilah, para pembuat undang-undang hasil tangan manusia, dan yg
seperti mereka-… ada yg karena mereka tidak tahu hukum tindakan yg dilakukannya, ada juga yg karena
menentang dan memusuhi Allah dan Rosul-Nya… Aku berharap nasehat ini menjadi pelajaran bagi mereka yg
tidak tahu, pengingat bagi mereka yg lalai, dan menjadi sebab kembalinya para hamba Allah ke jalan yg lurus,
sebagaimana firman-Nya:

Berilah peringatan, karena peringatan itu akan memberikan manfaat bagi kaum mukminin.
Dan juga firman-Nya:

Ingatlah ketika Allah mengambil janji kepada Kaum Ahli Kitab, agar kalian benar-benar menerangkan isi
alkitab kepada segenap manusia, dan kalian tidak menyembunyikannya dari mereka.
Hanya Alloh-lah tempat aku memohon agar menjadikan pesan ini bermanfaat dan memberikan taufiq-Nya
kepada segenap kaum muslimin untuk menetapi syari’at-Nya, dan menerapkan hukum Alqur’an dan Sunnah
Nabi-Nya Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-.

Faslun
Alloh menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah pada-Nya, Dia berfirman:

Aku tidak ciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah padaku
Dia juga berfirman:

Rabb-mu telah memutuskan agar kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya dan berbuat baik kepada kedua
orang tua.
Dia juga berfirman:

Sembahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dg apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua
orang tua.
Dan diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal -rodliallohu anhu-, ia mengatakan: “Aku pernah menemani Nabi -
shollallohu alaihi wasallam- di atas himar, beliau mengatakan: ‘Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah
dari para hamba-Nya, dan apa hak para hamba dari Alloh?’. Aku mengatakan: ‘Allah dan Rosul-Nya lebih
mengetahuinya’. Beliau mengatakan: ‘Hak Allah dari para hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan
tidak menyekutukan-nya dg sesuatu apapun, sedang hak para hamba dari-Nya adalah Dia tidak menyiksa
siapapun yg tidak menyekutukan-Nya dg sesuatu apapun’. Aku bertanya: ‘Wahai Rosululloh, tidakkah aku
sampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?!’. Beliau menjawab: ‘Jangan kau sampaikan kabar gembira
ini kepada mereka, karena mereka nanti akan bersandar padanya’. (HR. Bukhori dan Muslim).

Para Ulama telah mendefinisikan kata Ibadah dg banyak definisi yg saling berdekatan, diantara yg paling
mencakup adalah definisi yg dikemukakan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh-: “Ibadah adalah
kata yg mencakup seluruh ucapan dan amalan yg dicintai Allah, baik yg lahir maupun yg batin.
Ini menunjukkan bahwa ibadah menuntut seseorang untuk mematuhi seluruh yg datang dari Allah ta’ala, baik
perintah-Nya maupun larangan-Nya, baik dalam hal keyakinan, ucapan, maupun amalannya… disamping juga
menuntut seseorang agar hidupnya tegak di atas syari’at Allah, menghalalkan apa yg dihalalkan-Nya dan
mengharamkan apa yg diharamkan-Nya, menyesuaikan seluruh tindakannya, amalannya, dan gerak-geriknya
dg syari’at Allah, dg melepaskan keinginan hati dan ajakan hawa nasfunya… dan ini berlaku sama bagi
semuanya, baik bagi individu maupun bagi jama’ah, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan… Oleh
karena itu, tidak pantas disebut penyembah Alloh, orang yg mematuhi Tuhannya dalam satu sisi kehidupan,
kemudian mematuhi para makhluk-Nya dalam sisi kehidupan yg lain.

Makna ini diperkuat oleh firman Allah ta’ala:

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim
dalam perkara yg mereka perselisihkan, (hingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yg engkau berikan dan mereka menerima dg sepenuhnya.
Begitu pula firman-Nya:

Apakah hukum jahiliyyah yg mereka kehendaki?! Padahal hukum siapakah yg lebih baik daripada hukum
Allah bagi kaum yg meyakini (agama-Nya)?!
Begitu pula sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-:

Tidaklah beriman seseorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya megikuti syari’at yg aku bawa.
Maka tidaklah sempurna iman seorang hamba kecuali jika ia beriman kepada Allah, rela dg hukum-Nya baik
dalam hal yg kecil maupun dalam hal yg besar, kembali kepada syari’at-Nya dalam segala urusan hidupnya,
baik dalam urusan jiwa, harta, dan kehormatan… jika tidak demikian, berarti (sejatinya) ia menyembah kepada
selain-Nya, sebagaimana firman-Nya:

Kami telah mengutus Rosul kepada setiap umat, agar mereka menyembah Allah dan menjauhi para thoghut.
Oleh karena itu, barangsiapa yg tunduk kepada Allah -subhanah-, mena’atinya, dan berhukum dg wahyu-Nya,
maka berarti ia menyembah-Nya, sedang barangsiapa tunduk kepada selain-Nya dan berhukum dg selain
syari’at-Nya, maka berarti ia telah menyembah dan patuh kepada Thoghut, sebagaimana firman Alloh ta’ala:

Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yg mengaku bahwa mereka telah beriman kepada
apa yg diturunkan kepadamu dan kepada apa yg diturunkan sebelummu, tetapi mereka masih menginginkan
ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thoghut itu. Dan
setan itu bermaksud menyesatkan mereka dg kesesatan yg jauh.
Penyembahan, semata-mata hanyalah untuk Alloh dan pembebasan diri dari menyembah dan berhukum
kepada thoghut adalah konsekuensi dari dua kalimat syahat… karena Allah -subhanah- adalah Tuhan dan Ilah
manusia, Yg menciptakan mereka, Yg menyuruh dan melarang mereka, Yg menghidupkan dan mematikan
mereka, Yang menuntut perhitungan dan membalas mereka, dan Dialah yg berhak untuk diibadahi, bukan yg
selain-Nya… Allah ta’ala berfirman:
Ingatlah, bahwa hanya bagi-Nya segala penciptaan dan perintah.
Maka sebagaimana Dia adalah satu-satunya pencipta, maka dialah satu-satunya pemberi perintah, dan wajib
bagi kita untuk mena’ati perintah-Nya.

Allah telah mengisahkan tentang Kaum Yahudi dan Nasrani, yg menjadikan para Habar dan Rahib (pemuka
agama mereka) sebagai tuhan yg disembah selain Allah, yaitu disaat kaum itu mematuhi mereka dalam
menghalalkan yg haram, dan mengharamkan yg halal, sebagaimana difirmankan Allah:

Mereka (Kaum Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan para habar dan rahib serta Almasih Isa bin Maryam
sebagai tuhan selain Allah, padahal mereka tidak diperintah kecuali menyembah Ilah yg satu, tidak ada Ilah
yg berhak disembah melainkan Dia, maha suci Dia dari apa yg mereka persekutukan.
Telah diriwayatkan dari Adiy bin Hatim -rodliallohu anhu-, dahulu ia mengira bahwa menyembah para habar
dan rahib itu hanya dg cara menyembelih, bernadzar, bersujud, ruku’, dan sejenisnya kepada mereka. Lalu
ketika Adiy datang kepada Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dalam keadaan islam, dan mendengar ayat di
atas, ia mengatakan: “Wahai Rosululloh, sungguh kami tidak menyembah mereka”, -yg dia maksud adalah
kaum nasrani, karena sebelum masuk islam ia beragama nasrani-. Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam-
mengatakan: “Bukankah mereka mengharamkan apa yg dihalalkan Alloh lalu kalian ikut mengharamkannya,
dan mereka menghalalkan apa yg diharamkan Alloah lalu kalian ikut menghalalkannya?!”. Dia menjawab:
“Benar”. Beliau menimpali: “Itulah bentuk penyembahan kalian kepada mereka”. (HR. Ahmad, dan Tirmidzi
dan dia meng-hasankan-nya)

Alhafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: Oleh karenanya Allah ta’ala berfirman: “Mereka tidaklah
diperintah kecuali untuk menyembah Ilah yg satu”, maksudnya Ilah yg jika Ia mengharamkan sesuatu maka
hal itu jadi haram, apa yg dihalalkannya maka hal itu menjadi halal, apa yg disyariatkannya diikuti, dan apa yg
menjadi hukumnya dijalankan… Firmannya: “Tidak ada Ilah yg berhak disembah melainkan Dia, maha suci
Dia dari apa yg mereka persekutukan”, maksudnya: maha tinggi, maha agung, dan maha suci Dia dari para
sekutu, saingan, pembantu, saingan, dan anak, tiada Ilah yg berhak selain Dia, dan tiada Robb yg hak selain
Dia.

Faslun
Jika telah jelas bahwa berhukum dg syariat Alloh adalah termasuk diantara konsekuensi dua kalimat syahadat,
maka sesungguhnya berhukum dg hukumnya para thoghut, para pemimpin, para peramal, dan yg semacamnya,
itu menafikan iman kepada Alloh azza wajall, dan tindakan itu merupakan tindakan kufur dan fasiq, Alloh
ta’ala berfirman:

Barangsiapa tidak berhukum dg apa yg diturunkan Alloh maka mereka itulah orang-orang kafir.
Dia juga berfirman:

Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (taurat) bahwa nyawa dibalas dg nyawa, mata dg mata,
hidung dg hidung, telinga dg telinga, gigi dg gigi, dan luka luka pun ada qishohnya. Barangsiapa melepaskan
hak qishoshnya maka itu menjadi penebus dosa baginya. Dan barangsiapa tidak berhukum dg apa yg
diturunkan Alloh, maka mereka itulah orang-orang zholim.
Begitu pula firman-Nya:

Dan hendaklah pengikut Injil berhukum menurut apa yg diturunkan Alloh di dalamnya (Injil). Dan
barangsiapa tidak berhukum dg apa yg diturunkan Alloh, maka mereka itulah orang-orang yg fasiq.
Alloh jg ta’ala telah menjelaskan bahwa selain hukum yg diturunkan-Nya adalah hukumnya para jahilin, dan
berpaling dari hukum Alloh ta’ala adalah sebab turunnya siksa dan adzab yg takkan bisa dielakkan dari kaum
yg zholim, sebagaimana firman-Nya:

Hendaklah engkau (wahai Muhammad) menghukumi mereka dg apa yg diturunkan Alloh, dan janganlah
engkau mengikuti keinginan mereka, serta janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-
hatilah kamu terhadap, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yg telah diturunkan Alloh
kepadamu. Maka jika mereka berpaling dari hukum yg telah diturunkan Alloh, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Alloh menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa
mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yg fasik. Apakah hukum jahiliyyah yg
mereka kehendaki?! Hukum siapakah yg lebih baik daripada hukum Alloh bagi orang-orang yg meyakini
(kebenaran Hukum-Nya)?!
Sungguh orang yg benar-benar menelaah dan merenungi ayat ini, tentu ia akan tahu bahwa perintah berhukum
dg apa yg diturunkan Alloh di sini telah dikuatkan dg 8 metode penegasan:

Pertama: Perintah untuk menerapkannya, yaitu dalam firman-Nya: “Hendaklah engkau berhukum untuk
mereka dg apa yg diturunkan Alloh”.
Kedua: Peringatan agar keinginan dan hawa nafsu manusia tidak menghalangi penerapan hukum Alloh
apapun keadaannya, yaitu dalam firman-Nya: “Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka”.
Ketiga: Peringatan agar tidak meninggalkan berhukum dg syari’at Alloh, baik dalam hal sedikit ataupun
banyak, baik dalam hal yg kecil maupun yg besar, yaitu dalam firman-Nya: “Dan berhati-hatilah kamu
terhadap, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yg telah diturunkan Alloh kepadamu”.
Keempat: Pemberitahuan bahwa tindakan berpaling dan menolak hukum Alloh adalah dosa besar yg dapat
mendatangkan hukuman yg pedih, yaitu dalam firman-Nya: ”Maka jika mereka berpaling dari hukum yg telah
diturunkan Alloh, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh menghendaki akan menimpakan musibah
kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka”.
Kelima: Peringatan untuk tidak terkecoh dg kenyataan banyaknya orang yg berpaling dari Hukum Alloh,
karena sedikitnya hamba Alloh yg banyak bersyukur, yaitu dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yg fasik”.
Keenam: Penyebutan bahwa selain hukum Alloh adalah hukum jahiliyyah, yaitu dalam firman-Nya: “Apakah
hukum jahiliyyah yg mereka kehendaki?!”
Ketujuh: Peneguhan terhadap makna yg agung; bahwa Hukum Alloh merupakan hukum yg paling baik dan
paling adil, yaitu dalam firman-Nya: “Hukum siapakah yg lebih baik daripada hukum Alloh”.
Kedelapan: Pemberitahuan bahwa konsekuensi dari keyakinan (seorang mukmin) adalah pengetahuan bahwa
Hukum Alloh adalah hukum yg paling baik, paling lengkap, paling sempurna, dan paling adil, serta kewajiban
mematuhinya dg kerelaan dan penerimaan yg utuh. Renungkanlah firman-Nya: “Hukum siapakah yg lebih
baik daripada hukum Alloh bagi orang-orang yg meyakini (kebenaran Hukum-Nya)?!”.
Semua makna-makna diatas juga terdapat dalam banyak nash syariat; baik dalam ayat Alqur’an maupun dalam
sabda-sabda dan perbuatan Rosul -shollallohu alaihi wasallam-. Diantaranya:

Firman Alloh ta’ala:

Maka hendaklah orang yg menyalahi perintah Rosul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yg
pedih.
Firman Alloh ta’ala:

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim
dalam perkara yg mereka perselisihkan.
Firman Alloh ta’ala:

Ikutilah apa yg diturunkan Tuhan kalian kepada kalian


Firman Alloh ta’ala:

Tidaklah pantas bagi seorang mukmin -baik laki-laki maupun perempuan-, jika mereka masih memiliki pilihan
(yg lain) dalam urusan mereka, padahal Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan sesuatu keputusan (tertentu).
Diantaranya juga sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-:

Tidaklah beriman seseorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya megikuti syari’at yg aku bawa.
Mengomentari hadits ini, Imam Nawawi mengatakan: “Ini adalah hadits shohih, kami telah meriwayatkannya
dalam kitab hujjah dg sanad yg shohih”.

Diriwayatkan pula bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- berkata kepada sahabatnya -yg mantan nasrani-
bernama Adiy bin Hatim: “Bukankah mereka mengharamkan apa yg dihalalkan Alloh lalu kalian ikut
mengharamkannya, dan mereka menghalalkan apa yg diharamkan Alloah lalu kalian ikut menghalalkannya?!”.
Dia menjawab: “Benar”. Beliau menimpali: “Itulah bentuk penyembahan kalian kepada mereka”.

Begitu pula ucapan Ibnu Abbas terhadap salah seorang yg mendebatnya dalam sebagian masalah:

Hampir saja dihujamkan batu dari langit atas kalian, aku mengatakan: “Rosululloh mengatakan (demikian)”,
tapi kalian malah mengatakan: “Abu Bakar dan Umar berkata (demikian)”?!
Ini artinya wajib bagi seorang hamba untuk patuh penuh terhadap Firman Alloh dan Sabda Rosul-Nya, serta
mendahulukannya atas perkataan siapapun, dan hal ini adalah perkara agama yg bisa diketahui oleh setiap
mukmin.

Faslun
Jika konsekuensi dari sifat rahmat (Maha Penyayang) dan hikmat (Maha Bijaksana) Alloh -subhanahu
wata’ala- adalah dg diterapkannya syariat dan wahyu-Nya diantara para hamba-Nya, itu karena Dia tersucikan
dari apa yg menimpa manusia, seperti: kelemahan, hawa nafsu, ketidak-mampuan, dan kebodohan. Sungguh
Dia itu Maha Bijaksana, Maha Tahu, Maha Lembut, dan Maha Megetahui segala sesuatu secara detil. Dialah
yg mengetahui keadaan para hamba-Nya, apa yg dapat memperbaiki mereka, dan apa yg cocok untuk mereka
baik untuk masa kini maupun masa depan…

Dan termasuk kesempurnaan kasih sayang-Nya kepada para hamba-Nya adalah dg adanya aturan dari-Nya
dalam masalah pertikaian, perselisihan, dan seluruh masalah kehidupan, agar tercipta keadilan, kebaikan, dan
kebahagiaan bagi mereka, bahkan akan tercipta pula kerelaan, ketentraman jiwa, dan ketenangan hati.

Itu karena, jika seorang hamba tahu bahwa hukum yg ada dalam masalahnya adalah hukumnya Alloh yg Maha
Pencipta, Maha Tahu, dan Maha Teliti, ia tentunya akan rela dan menerimanya, meskipun hukum yg ada tidak
sesuai dg keinginannya. Berbeda jika ia tahu bahwa hukum yg ada itu dari sekelompok manusia seperti dia -yg
juga memiliki hawa nafsu dan syahwat-, tentunya ia tidak akan rela dan akan terus mengajukan tuntutan dan
perlawanan, sehingga pertikaian tidak hilang dan perselisihan akan terus ada.
Dan ketika Alloh mewajibkan kepada para hamba-Nya untuk menerapkan wahyu-Nya -sebagai bentuk rasa
kasih sayang dan kebaikan-Nya kepada mereka-, Dia juga telah menjelaskan dg sejelas-jelasnya cara global
untuk mewujudkan hal itu, yaitu dalam firman-Nya:

Sungguh, Alloh menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yg berhak menerimanya. Apabila
kalian menghakimi manusia maka hakimilah dg adil. Sungguh, Alloh sebaik-baik yang memberi pengajaran
kepada kalian. Sungguh, Alloh Maha Mendengar lagi Maha melihat… Wahai orang-orang yg beriman,
taatilah Alloh, dan taatilah Rosul dan ulil amri kalian. Lalu jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Alloh (Alqur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika memang kalian beriman kepada
Alloh dan Hari Akhir. Yang demikian itu, lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Dan ayat ini, disamping berisi arahan umum untuk hakim, yg dihakimi, penguasa, dan rakyatnya, ia juga berisi
arahan bagi para qodli agar adil dalam memberikan keputusan. Dia juga memerintah Kaum Mukminin untuk
menerima keputusan yg ada itu, yg itu semua sesuai dg syariat Alloh yg diturunkan kepada Rosul-Nya. Dia
juga memerintah mereka semua untuk mengembalikan segala perkara kepada Alloh dan Rosul-nya ketika
terjadi sengketa dan perselisihan.

Penutup
Dari uraian di atas, jelaslah bagimu -wahai muslim- bahwa menerapkan Syariat Alloh dan kembali padanya
adalah perkara yg diwajibkan Alloh dan Rosul-Nya, ia jg merupakan konsekuensi dari penghambaan kita
kepada Alloh, dan persaksian kita atas kerasulan Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-. Jelas pula
bahwa berpaling dari seluruh hukum Alloh atau sebagiannya akan mendatangkan adzab dan siksaan-Nya.

Dan ini semua berlaku sama, baik untuk negara dalam memperlakukan rakyatnya, atau untuk kelompok kaum
muslimin, di manapun tempatnya dan kapanpun waktunya… Baik pada perselisihan dan pertikaian yg bersifat
pribadi maupun yg menyangkut orang banyak, baik antara satu negara dg negara lain, atau antara kelompok yg
satu dg kelompok yg lain, atau antara individu muslim yg satu dg individu muslim lainnya… Mereka semua
sama (harus tunduk di bawah Hukum Alloh)… karena Alloh-lah Yang memiliki penciptaan dan perintah, Dia-
lah hakim yg paling adil… Dan tidaklah beriman, orang yg meyakini bahwa hukum dan pendapat manusia
lebih baik, atau menyamai, atau menyerupai Hukum Alloh dan Rosul-Nya. Dan tidaklah beriman orang yg
membolehkan untuk menggantinya dg undang-undang buatan tangan manusia, meskipun ia meyakini bahwa
hukum-hukum Alloh itu lebih baik, lebih sempurna, dan lebih adil.

Maka, wajib atas seluruh Kaum Muslimin, para penguasanya, para hakimnya, dan para dewan perwakilannya
untuk:

- Bertakwa (takut) kepada Alloh azza wajall.


- Menerapkan syariat-Nya di negara mereka dan seluruh urusan hidup mereka.

- Melindungi diri dan mereka yg ada di bawahnya dari adzab Alloh di dunia dan akhirat.

- Mengambil pelajaran dari musibah yg menimpa negara-negara lain -yg tidak menerapkan Hukum Alloh, dan
berjalan di atas jalannya mereka yg mengekor dan bertaklid kepada orang-orang barat-, seperti banyaknya
perselisihan, perpecahan, cobaan, sedikitnya keberkahan, dan saling bunuh membunuh yg terjadi pada
rakyatnya. Sungguh selamanya mereka akan terus berada dalam kesulitan. Keadaan mereka tidak akan
membaik dan kekuasaan para musuh Islam kepada mereka -baik di bidang politik maupun pemikiran- tidak
akan hilang, kecuali jika mereka kembali kepada Alloh ta’ala, dan meniti jalan lurus-Nya yg diridloinya,
diperintahkannya, dan dijanjikannya surga darinya.

Sungguh maha benar Alloh ketika menfirmankan:

Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh ia akan menjalani kehidupan yg sempit, dan kami
akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah dia: “Ya Tuhanku, mengapa
Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?”. Dia (Alloh) menjawab:
“Demikianlah, karena dahulu telah datang kepadamu Ayat-ayat Kami, tapi kamu mengabaikannya, sehingga
hari ini kamu juga diabaikan”.
Aku memohon kepada Alloh, semoga menjadikan pesanku ini sebagai pengingat bagi kaum (penguasa),
semoga pesan ini dapat membangunkan mereka untuk memikirkan keadaan mereka, dan merenungi apa yg
dilakukakan mereka terhadap diri dan rakyatnya, hingga mereka nantinya kembali ke jalan yg lurus, dan
menerapkan Kitabulloh dan Sunnah Rosul-Nya -shollallohu alaihi wasallam-… sehingga mereka termasuk
Umat Muhammad yg hakiki, dan nama mereka harum di mata rakyatnya, sebagaimana harumnya nama para
salaf dan generasi termulia umat ini, hingga mereka dapat menguasai bumi dan memimpin dunia, serta didekati
para hamba… itu semua karena pertolongan Alloh yg menolong para hamba-Nya yg beriman yg mematuhi-
Nya dan mematuhi Rosul-Nya… Seandainya saja mereka (para penguasa sekarang) mengetahui hal ini…
Sungguh betapa banyak harta simpanan yg mereka sia-siakan dan betapa banyak kejahatan yg mereka lakukan,
belum lagi banyaknya musibah dan bala’ yg ditimpakan kepada rakyatnya… Alloh ta’ala berfirman:

Sungguh, ia benar-benar suatu peringatan bagimu dan bagi kaummu, dan kelak kamu akan diminta
pertanggungan jawaban.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan yg maknanya, bahwa Alqur’an di akhir zaman nanti akan diangkat dari
mushaf dan dada orang yg menghafalnya, yaitu ketika mereka meninggalkannya, dan tidak menggunakannya
untuk dibaca dan dijadikan sebagai pedoman hukum… Maka, waspadalah dan waspadalah, jangan sampai
Kaum Muslimin tertimpa musibah ini, baik generasi ini maupun generasi mendatang, karena perbuatan
mereka… Fa innaalillaah wa innaa ilaihi roji’uun…
Aku juga tujukan nasehatku ini, kepada sekelompok orang dari kaum muslimin, mereka hidup ditengah kaum
muslimin dan mengetahui tentang agama dan syariat Alloh, tapi tetap saja ketika terjadi sengketa mereka
kembali kepada oknum-oknum yg menghukumi mereka berdasarkan hukum adat dan budaya masyarakat, lalu
mendamaikan mereka dengan kalimat-kalimat yg bersajak. Apa yg mereka lakukan itu mirip dg kebiasaan
kaum jahiliyyah dulu.

Aku berharap kepada orang yg sampai kepadanya pesanku ini, agar ia bertaubat kepada Alloh, dan
menghentikan perbuatan-perbuatan yg haram itu, dan memohon ampun kepada Alloh, serta menyesali
perbuatannya yg lain. Hendaklah ia saling mengingatkan saudaranya untuk menghilangkan setiap adat
jahiliyyah, atau kebiasaan yg menyelisihi syari’at Alloh, karena taubat akan menghapuskan dosa sebelumnya,
dan orang yg bertaubat dari dosa itu seperti orang yg tidak memiliki dosa.

Dan diwajibkan para penguasa mereka dan orang yg seperti mereka, untuk terus mengingatkan, menasehati,
dan menjelaskan al-haq kepada mereka. Begitu pula mengirim para hakim yg sholih kepada mereka, agar
tumbuh kebaikan -bi idznillah- dan dapat mencegah para hamba Alloh dari tindakan menentang dan
bermaksiat kepada-Nya… sungguh betapa butuhnya Kaum Muslimin sekarang ini kepada rahmat (kasih
sayang) Tuhan mereka, yg dengan rahmat tersebut Alloh mengubah keadaan mereka, dan mengangkat mereka
dari kehinaan dan kenistaan menuju kekuatan dan kemuliaan.

Aku memohon kepada Alloh dg Nama-namaNya yg indah, dan sifat-sifatNya yg mulia, semoga Dia membuka
hati-hati Kaum Muslimin hingga mereka dapat memahami kalamNya, mereka kembali kepada-Nya,
mengamalkan syariat-Nya, berpaling dari apa yg menyelisihinya, dan menerapkan hukum-Nya, sebagai bentuk
penerapan firman Alloh azza wajall:

Keputusan itu hanyalah milik Alloh, Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah kecuali kepada-
Nya, Itulah agama yg lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Semoga sholawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada kelurganya, para sahabatnya,
dan orang-orang yg mengikutinya dg baik hingga hari akhir.
TERORISME… BUKAN dari ISLAM (6/tammat)
Posted on 7 September 2010 by agusisdiyanto| 5 Komentar

(Berhukum dengan Selain Hukum Alloh)


(Syeikh Sulaiman Arruhailiy -hafizhohulloh-)
Berhukum dg Hukum Islam yg diturunkan Alloh merupakan kewajiban yg pasti bagi Kaum Muslimin, maka
sudah seharusnya setiap muslim meyakini hal itu… Sudah seharusnya mereka meyakini bahwa Hukum Alloh-
lah yg dapat mewujudkan keadilan… Dan sudah seharusnya mereka meyakini bahwa tiada undang-undang lain
yg mendekatinya, apalagi menyamainya… Ini merupakan masalah syariat yg pasti, dan salah satu masalah
agama yg telah diketahui secara aksiomatis.
Kewajiban menerapkan hukum Alloh merupakan kewajiban bagi setiap muslim… Saya, anda, zaid, dan
siapapun yg muslim diharuskan untuk menerapkan hukum Alloh… Sungguh banyak dari Kaum Muslimin,
ketika mereka mendengar tentang wajibnya penerapan Hukum Alloh, pikirannya terbang menuju para
penguasa dan melalaikan dirinya… Anda mungkin mendapatinya tidak menerapkan Hukum Alloh pada
dirinya, tapi ia tidak memikirkan dirinya… Anda mungkin mendapatinya tidak menerapkan Hukum Alloh di
rumahnya, tapi ia tidak memikirkan dirinya… Anda mungkin mendapatinya tidak menerapkan Hukum Alloh
terhadap tetangganya, tapi ia tidak memikirkan dirinya… ia mengira bahwa perintah berhukum dg Hukum
Alloh hanyalah untuk para penguasa.

Tak diragukan, para penguasa termasuk sasaran perintah itu… tapi apakah itu berarti selain mereka tidak
diperintah menjalankan Hukum Alloh?! Tentunya tidak!… Saya, Anda, Zaid, dan Amr juga diperintah
menjalankan Hukum Alloh… misalnya dg beribadah sesuai Alqur’an dan Sunnah, dg tidak menolak dalil yg
shohih dan valid karena ucapan manusia siapapun orangnya, dg tidak mendahulukan hukum adat ataupun
hukum seorang tokoh atas hukum yg ditetapkan Alloh dalam Alqur’an dan Sunnah… dst.

Tak diragukan pula, bahwa berhukum dg selain Hukum Alloh adalah musibah besar, dan pelakunya
merupakan thoghut, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
mereka masih tetap menginginkan putusan hukum dari Thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk
mengingkarinya
Lihatlah bagaimana Alloh menjadikan sikap meminta keputusan dg selain hukum Alloh sebagai tindakan
meminta keputusan kepada thoghut. Ayat ini turun karena adanya seorang munafiq dari Madinah yg
bersengketa dg seorang yahudi, maka si yahudi mengatakan: “Kita akan minta keputusan kepada
Muhammad!”, -si yahudi ini tidak beriman kepada Beliau, tp ia tahu bahwa Beliau seorang hakim yg adil,
tidak menerima suap, dan takkan menzholimi orang lain-… Maka si munafiq menjawab: “Tidak, kita akan
meminta keputusan kepada orang yahudi!”, -si munafik ini mengaku beriman kepada Beliau, tapi ia masih
ingin meminta keputusan kepada orang yahudi, krn ia tahu orang yahudi mau mengambil suap dan mau
berbuat zholim dalam keputusannya, sehingga masih ada celah baginya untuk mengambil hak orang lain secara
batil-… Lalu turunlah ayat ini:
Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yg mengaku bahwa mereka telah beriman kepada
apa yg diturunkan kepadamu dan kepada apa yg diturunkan sebelummu, tetapi mereka masih tetap
menginginkan putusan hukum dari Thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya?!
Kita perlu tahu, bahwa tidak semua undang-undang buatan manusia, jika berhukum dengannya berarti
berhukum kepada Thoghut, akan tetapi undang-undang itu ada dua macam:
Pertama: undang-undang yg mendatangkan maslahat untuk manusia dan tidak bertentangan dg Alqur’an dan
Sunnah… Ini merupakan hal yg baik, bahkan waliyyul amri wajib menyusunnya… Hal ini bisa dicontohkan
dg: undang-undang lalu lintas, penentuan isyarat jalan, tata tertib kerja, sekolah, dan yg semisalnya. Semua itu
undang-undang buatan manusia, tapi tidak menyelisihi Alqur’an dan Sunnah, maka menerapkannya dan
berhukum dengannya bukanlah termasuk berhukum kepada Thoghut.
Kedua: Undang-undang yg bertentangan dg Syari’at, seperti perkataan mereka: Jika wanitanya rela dg zina,
maka tidak boleh ditegakkan hukuman zina baginya, karena ia berhak dg kebebasan itu, selagi ia tidak
melakukannya di jalanan… Atau seperti ucapan mereka: bagi pencuri yg memenuhi syarat hukuman potong
tangan, maka hukumannya penjara satu bulan atau dua bulan atau semisalnya, dan tidak boleh dipotong
tangannya karena hal itu tidak manusiawi… Inilah yg dimaksud dg masalah berhukum dg selain Hukum Alloh,
dan ini pula yg disebut dg berhukum kepada Thoghut.
Jika kita tahu bahwa berhukum dg selain Hukum Alloh termasuk berhukum kepada thoghut, lalu
bagaimana dg si pelaku? Bagaimana status orang yg berhukum dg selain hukum Alloh, baik ia penguasa
ataupun rakyat biasa?
Setelah menelaah perkataan para ulama, saya berkesimpulan, bahwa status orang yg berhukum dg selain
Hukum Alloh, itu berbeda-beda sesuai keadaannya, sebagaimana firman Alloh azza wajall:
Barangsiapa tidak berhukum dg apa yg diturunkan Alloh, mereka itulah orang-orang kafir… Barangsiapa
tidak berhukum dg apa yg diturunkan Alloh, mereka itulah orang-orang zholim… Barangsiapa tidak
berhukum dg apa yg diturunkan Alloh, mereka itulah orang-orang fasiq…
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- mengatakan: “Ibnu Abbas dan para sahabatnya mengatakan:
(maksud ayat itu adalah) kufur (ashghor) yg derajatnya di bawah kufur (akbar), kezholiman (ashghor) yg
derajatnya di bawah kezholiman (akbar), dan kefasikan (ashghor) yg derajatnya di bawah kefasikan (akbar).
Demikian pula dikatakan oleh Golongan Ahlussunnah, seperti Imam Ahmad dan yg lainnya”.
Beliau juga mengatakan: “Ibnu Abbas dan yg lainnya dari generasi salaf mengatakan: (maksud ayat itu
adalah) kufur (ashghor) yg derajatnya di bawah kufur (akbar), kefasikan (ashghor) yg derajatnya di bawah
kefasikan (akbar), dan kezholiman (ashghor) yg derajatnya di bawah kezholiman (akbar). Hal ini telah
dikemukakan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhori, dan para imam lainnya”.
Orang yg berhukum dg selain Hukum Alloh memiliki banyak keadaan:
Pertama: Barangsiapa berhukum dg selain Hukum Alloh karena ia mengingkarinya, maka ia kafir.
Ibnu Jarir -rohimahulloh- mengatakan: “Sungguh, Alloh ta’ala di sini mengabarkan tentang suatu kaum yg
mengingkari hukum-Nya yg terdapat di dalam kitab-Nya. Dia memberitahu bahwa mereka menjadi kafir
disebabkan tindakan mereka meninggalkan Hukum Alloh dg jalan mengingkarinya… Demikian juga status
setiap orang yg tidak berhukum dg apa yg diturunkan Alloh karena pengingkaran, dia menjadi kafir terhadap
Alloh, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas… Karena pengingkarannya terhadap hukum Alloh setelah ia
tahu keberadaan hukum itu di kitab-Nya, sama dg pengingkarannya terhadap kenabian para nabi setelah ia tahu
kenabian mereka”.
Kedua: Barangsiapa berhukum dg selain hukum Alloh, bukan karena mengingkarinya, tp karena ia
menganggap bahwa selain hukum Alloh-lah yg dapat mewujudkan keadilan. Adapun hukum Alloh, ia sudah
tidak pantas lagi untuk diterapkan. Maka orang ini juga kafir.
Dan ini bisa terjadi meski hanya sebatas keyakinan saja, meskipun ia belum berhukum dg selain hukum
Alloh… Seperti seorang yg hidup di Negara Saudi, dan negara ini -alhamdulillah- berhukum dg Syariat Alloh,
bila ia meyakini dalam hatinya bahwa undang-undang Negara Perancis -misalnya- lebih baik dan lebih adil
daripada Hukum Alloh, maka ia berhak dg kekafiran, meski belum berhukum dengannya.
Ketiga: Barangsiapa berhukum dg selain hukum Alloh, karena ia melihat hukum itu lebih baik dan lebih cocok
daripada Hukum Alloh, maka orang ini juga kafir sebagaimana disepakati oleh para ulama’… Pada keadaan
ini, ia dikatakan kafir karena keyakinanya bahwa selain hukum Alloh itu lebih baik daripada Hukum Alloh,
meski ia masih meyakini bahwa hukum Alloh jg baik.
Keempat: Barangsiapa berhukum dg selain Hukum Alloh, karena ia melihat hukum itu sama dg hukum Alloh,
ia menganggap kedua hukum itu sama baiknya dan sama saja adilnya, jika memakai hukum ini maka
tercapailah keadilan dan jika memakai hukum itu tercapai juga keadilan, maka orang ini juga kafir.
Semua hukum yg telah kami sebutkan di atas merupakan Ijma’ (kesepakatan) para ulama’ dan tidak ada
perselisihan diantara mereka dalam masalah-masalah tersebut.

Kelima: Barangsiapa berhukum dg selain hukum Alloh karena godaan dunia, padahal ia meyakini wajibnya
menerapkan Hukum Alloh, dan bahwa hukum Alloh itu lebih baik dan lebih bermanfaat, maka orang ini
berada dalam bahaya dan dosa besar, tp ia tidak-lah kafir dg kekafiran yg dapat mengeluarkannya dari Islam,
selama ia masih meyakini wajibnya menerapkan Hukum Alloh, dan bahwa syariat Alloh itu lebih baik dan
lebih bermanfaat… Dan keadaan ini terbagi menjadi dua:
1. Orang yg menerapkan selain hukum Alloh karena adanya suatu hal dan tidak terus-menerus, seperti
memutuskan dg selain hukum Alloh dalam suatu kasus karena suap yg diterimanya. Maka orang ini
adalah orang yg fasik dan ia telah terjerumus dalam dosa besar.
2. Orang yg menerapkan selain hukum Alloh secara terus menerus, bisa jadi karena takut kepada atasan,
atau karena menjaga perasaan orang lain, atau karena sebab duniawi lainnya. Maka orang ini tidaklah
kafir, akan tetapi kejahatannya lebih berat dan lebih buruk daripada orang pertama, keadaannya jauh
lebih berbahaya daripada orang pertama, dan dia adalah orang yg berbuat zholim terhadap dirinya dan
orang lain. Alloh ta’ala berfirman:“Barangsiapa tidak berhukum dg apa yg diturunkan Alloh, mereka
itulah orang-orang zholim”… Sungguh perbuatan ini merupakan kezholiman, dan kezholiman orang yg
seperti ini bertingkat-tingkat, sehingga bahaya yg ditanggung akibat tindakannya juga tidak sama.
Perincian seperti inilah yg datang dari Para Salaf -sebatas pengetahuan kami-, hal ini telah disebutkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim, Syaikh Albani, dan Syeikh
Binbaz rohimahumulloh… Bahkan telah dilakukan penelitian terhadap perkataan para salaf dalam masalah ini,
dan terbukti perincian ini disebutkan oleh lebih dari 50 ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dan saya juga telah mencari-cari sebisa mungkin perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah dari ulama terdahulu yg
tidak menyebutkan perincian ini, tapi saya tidak menemukannya, yg saya dapatkan dari ulama terdahulu adalah
perincian yg kita sebutkan di atas.

Pakar tafsir Ibnul Arobiy Alqur’thubiy -rohimahulloh- mengatakan: “Thowus dan yg lainnya mengatakan:
(berhukum dg selain hukum Alloh) itu bukanlah kafir yg mengeluarkan seseorang dari Islam, akan tetapi itu
adalah kufur (ashghor) yg derajatnya di bawah kufur (akbar). Dan ini berbeda-beda hukumnya, jika ia
berhukum dg hukum yg ia buat sendiri lalu ia menjadikannya hukum Alloh, maka itu adalah tindakan merubah
Hukum Alloh yg menjadikannya kafir… Tp jika berhukum dg selain Hukum Alloh karena dorongan hawa
nafsu dan maksiat, maka itu adalah dosa yg bisa dihapus dg ampunan-Nya, sebagaimana asas akidah
Ahlussunnah dalam masalah bolehnya ampunan diberikan kepada para pelaku dosa”.
Syeikh Binbaz -rohimahulloh- mengatakan: “(Berhukum dg selain hukum Alloh itu) ada perinciannya, yaitu
dg mengatakan:
(a) Barangsiapa menerapkan selain Hukum Alloh padahal ia tahu wajibnya menerapkan hukum Alloh, dan
bahwa ia telah menyelisihi syariat, akan tetapi ia menganggap bolehnya berhukum dg selain Syariat Alloh, dan
menganggap tidak ada masalah jika melakukannya, maka ia telah kafir dg kufur akbar menurut seluruh
ulama’… Seperti jika menerapkan undang-undang yg dibuat oleh orang-orang Nasrani, atau Yahudi, dan selain
mereka yg membolehkan berhukum dengannya, atau mengira hukum itu lebih baik daripada Hukum Alloh,
atau mengira hukum itu menyamai Hukum Alloh -sehingga seseorang bisa memilih, jika menghendaki ia boleh
berhukum dg Alqur’an dan Sunnah, dan jika menghendaki ia boleh berhukum dg hukum buatan itu-. Orang yg
meyakini ini adalah kafir sebagaimana disepakati oleh para ulama’…

(b) Adapun orang yg menerapkan selain hukum Alloh karena dorongan hawa nafsu atau godaan dunia, sedang
ia menyadari bahwa ia bermaksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya, bahwa ia melakukan kemungkaran yg agung,
dan bahwa kewajibannya adalah berhukum dg hukum Alloh, maka ia tidaklah kafir dg kufur akbar karenanya,
akan tetapi ia telah melakukan kemungkaran yg agung, dosa yg besar, dan kufur yg asghor, sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan para ulama lainnya… Sungguh ia telah melakukan kufur
(ashghor) yg derajatnya di bawah kufur (akbar), kezholiman (ashghor) yg derajatnya di bawah kezholiman
(akbar), dan kefasikan (ashghor) yg derajatnya di bawah kefasikan (akbar), dan itu bukanlah kufur akbar…
Inilah perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah. [Majmu' Fatawa Ibnu Baz]
Saya ingin tutup pembahasan ini dg pesan berharga dari Syeikh Binbaz -rohimahulloh-, beliau mengatakan:
“Maka wajib bagi setiap muslim -terutama para ulama’- untuk tatsabbut (men-validkan berita) dalam segala
hal, lalu menghukuminya dg Alqur’an dan Sunnah sesuai metode para salaful ummah… Hendaklah waspada
terhadap jalan bahaya yg dititi oleh banyak orang dg mengglobalkan vonis hukum tanpa memerincinya
(padahal keadaan menuntut untuk memerincinya)… Hendaklah para ulama menaruh perhatiannya untuk
berdakwah kepada Alloh dg terperinci, menjelaskan Islam kepada masyarakat beserta dalilnya dari Alqur’an
dan Sunnah, serta mendorong mereka untuk istiqomah dan saling menasehati di dalamnya, disamping jg
memberi peringatan dari setiap hal yg menyelisihi hukum-hukum Islam”.
Demikianlah uraian tentang masalah ini, semoga bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan seluruh Kaum
Muslimin, amin.

Wa subhaanakalloohumma wa bihamdik, asyhadu alla ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaiik,
walhamdulillahi robbil alamin.
Catatan: Para pembaca yg dirahmati Alloh, saya ingin menekankan di sini, bahwa semua vonis kafir yg ada
dalam tulisan ini, adalah vonis kafir yg bersifat mutlak (yakni obyek personnya tidak tertentu)… Hal itu tidak
bisa diterapkan kepada individu tertentu kecuali setelah terpenuhinya syarat-syarat takfir mu’ayyan dan tidak
adanya penghalang… Dan hal ini telah saya singgung pada tulisan sebelumnya “Kaidah-kaidah dalam
menjatuhkan vonis kafir”… Bagi yg ingin, silahkan merujuknya kembali… wallohu a’lam.
sumber :http://addariny.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai