Anda di halaman 1dari 9

PROUDLY PRESENT

PREAMBULE
1. Kumpulan Aturan Pidana:
Pidana kodifikasi mencakup seluruh norma hukum pidana yang mengatur perilaku pidana, termasuk definisi delik, unsur-unsur pidana,
dan sanksi hukum yang diberlakukan.
2. Struktur Terorganisir:
Sistem ini mengorganisir norma-norma hukum pidana ke dalam struktur yang terorganisir dan sistematis. Ini memungkinkan
pemahaman yang lebih baik dan penerapan yang lebih konsisten.
3. Satu atau Beberapa Undang-Undang:
Pidana kodifikasi dapat terdiri dari satu undang-undang atau serangkaian undang-undang yang terkait satu sama lain. Tujuannya adalah
untuk menyajikan hukum pidana dalam format yang mudah diakses dan dipahami.
4. Menggantikan Hukum Pidana Tertulis Lainnya:
Pidana kodifikasi seringkali menggantikan aturan-aturan pidana yang tersebar dan tidak terstruktur sebelumnya. Ini bisa termasuk
hukum adat atau hukum pidana yang berbasis pada tradisi tertentu.
5. Konsistensi dan Kejelasan:
Salah satu tujuan utama dari pidana kodifikasi adalah menciptakan konsistensi dan kejelasan dalam penerapan hukum pidana. Hal ini
dapat membantu mencegah penafsiran yang berlebihan atau diskresi yang tidak konsisten.
6. Kemajuan Hukum Pidana:
Pidana kodifikasi mencerminkan kemajuan dalam pemikiran hukum pidana dan dapat menyesuaikan hukum dengan perubahan-
perubahan sosial dan nilai-nilai masyarakat.
7. Memudahkan Pemahaman dan Penegakan Hukum:
Dengan merinci norma-norma pidana, pidana kodifikasi bertujuan untuk memudahkan pemahaman hukum oleh masyarakat umum dan
memfasilitasi penegakan hukum yang efektif.
SOEROSO,Tujuan dari kodifikasi hukum adalah agar didapat suatu rechtseenheid (kesatuan hukum) dan rechts-
zakerheid (kepastian hukum)
Satjipto Rahardjo : Untuk membuat kumpulan peraturan-undangan itu menjadi sederhana dan mudah dikuasai,
tersusun secara logis, serasi, dan pasti.
1. Kepastian Hukum:
Pidana kodifikasi menyajikan aturan hukum pidana dalam satu dokumen atau serangkaian undang-undang, menciptakan kepastian hukum. Ini membantu mengurangi ketidakjelasan dan meningkatkan
pemahaman terhadap norma-norma pidana.
2. Konsistensi dalam Penerapan Hukum:
Dengan menyusun peraturan-peraturan pidana secara terstruktur, pidana kodifikasi membantu menciptakan konsistensi dalam penerapan hukum. Hal ini dapat mengurangi potensi ketidaksetaraan dan
penafsiran yang berbeda-beda.
3. Efisiensi Sistem Peradilan:
Struktur yang terorganisir dari pidana kodifikasi dapat meningkatkan efisiensi sistem peradilan. Hakim, pengacara, dan pihak terlibat lainnya dapat lebih mudah menemukan dan memahami aturan hukum
pidana.
4. Peningkatan Aksesibilitas Hukum:
Pidana kodifikasi membuat hukum pidana lebih mudah diakses oleh masyarakat umum. Dengan norma-norma yang terorganisir, individu dapat lebih mudah memahami hak dan kewajiban mereka, serta
konsekuensi hukum yang mungkin dihadapi.
5. Pembaruan dan Penyesuaian Lebih Mudah:
Sistem pidana kodifikasi memfasilitasi pembaruan dan penyesuaian hukum dengan perubahan zaman, nilai-nilai masyarakat, dan perkembangan sosial. Proses perubahan hukum dapat dilakukan lebih
terstruktur dan responsif.
6. Pencegahan Penyalahgunaan Hukum:
Dengan aturan yang jelas dan terstruktur, pidana kodifikasi dapat membantu mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau interpretasi hukum yang sewenang-wenang. Hal ini dapat memberikan perlindungan
terhadap hak individu.
7. Meminimalkan Diskresi yang Tidak Terkendali:
Pidana kodifikasi dapat membantu meminimalkan diskresi yang tidak terkendali dalam penerapan hukum. Dengan aturan yang jelas, batas-batas kebijakan hukum dapat lebih jelas ditetapkan.
8. Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat:
Kepastian hukum dan konsistensi dalam penerapan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Masyarakat akan merasa bahwa hukum diterapkan dengan adil dan setara.
SEJARAH KODIFIKASI...
1. Kode Hammurabi (Abad ke-18 SM):
Sejarah pidana kodifikasi dapat ditelusuri kembali ke Kode Hammurabi, yang disusun oleh Raja Hammurabi dari Babilonia pada sekitar abad ke-18 SM.
Kode ini merupakan satu set hukum tertulis pertama yang mencakup aturan pidana dan perdata.
2. Kode Napoleon (1804):
Salah satu tonggak penting dalam sejarah pidana kodifikasi adalah Kode Napoleon atau Code Civil yang disusun di Prancis pada tahun 1804 oleh
Napoleon Bonaparte. Kode ini mencakup regulasi hukum pidana dan perdata, serta menjadi model bagi banyak negara Eropa dan di luar Eropa.
3. Zaakboekje (Buku Kasus) Belanda (1838):
Di Belanda, pada tahun 1838, diperkenalkan "Zaakboekje" atau "Buku Kasus," yang menciptakan sistem pidana yang terstruktur dengan menyusun daftar
delik-delik pidana beserta sanksi yang sesuai.
4. Hukum Pidana Jerman (1871):
Seiring dengan penyatuan Jerman pada tahun 1871, sistem hukum pidana Jerman mengalami kodifikasi yang signifikan. Ini diwujudkan dalam
Bürgerliches Gesetzbuch (BGB) atau Kitab Undang-Undang Sipil, termasuk bagian yang mengatur hukum pidana.
5. Hukum Pidana Italia (1930):
Italia mengadopsi kode pidana baru pada tahun 1930 yang menggantikan Kode Zanardelli. Kode ini mencerminkan perkembangan hukum pidana dan
perubahan sosial di Italia.
6. Kode Pidana Indonesia (KUHP) (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) (1930):
Indonesia, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, mengadopsi KUHP pada tahun 1930. KUHP menciptakan kerangka hukum pidana yang umumnya
diwarisi dan diubah oleh Indonesia setelah merdeka.
7. Hukum Pidana Sipil Prancis (1994):
Prancis melakukan reformasi besar-besaran pada sistem hukum pidananya pada tahun 1994, yang dikenal sebagai reformasi "Loi Guigou." Reformasi ini
mencakup perubahan signifikan dalam definisi delik dan sanksi.
8. Perkembangan Kontemporer:
Beberapa negara terus melakukan revisi dan reformasi hukum pidananya untuk mengakomodasi perubahan sosial, teknologi, dan nilai-nilai masyarakat
yang berkembang.
HUKUM PIDANA LAMA-
HUKUM PIDANA TERBARU

Anda mungkin juga menyukai