Anda di halaman 1dari 25

1

FILSAFAT ILMU

DASAR-DASAR PENGETAHUAN

Dosen Pengampu:

Hafiz, M.Pd

Disusun Oleh:
KELOMPOK II
1 . Juli Agustina : PI01.222.50035
2 . Suci Ulandari: PI01.222.50017

YAYASAN NURUL ISLAM


INSTITUR AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MUARA BUNGO
2024
ii

KATA PENGANTAR

Sujud syukur kita hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan

kepada penyusun makalah untuk dapat menyelesikan makalah filsafat ilmu yang diampu

oleh bapak Hafiz, M.Pd yang berjudul dasar- dasar penegtahuan Sesungguhnya kejayaan

dan kebahagiaan manusia ada di dalam agama Islam yang Kaffah dengan taat kepada

Allah SWT serta mengikuti cara Rasulullah SAW dan para sahabatnya hingga hari

kiamat.Penyusun menyadari tentunya dalam penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini karena terbatasnya pengetahuan

dan kemampuan penyusun.

Kritik dan saran dari pembaca sangatkami harapkan. Mudah-mudahan makalah

ini dapat memberikan manfaat bagipenyususn dan semua pihak yang membacanya.

Dengan segala kerendahan hati, peyusun menyampaikan penghargaan danucapan terima

kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan baik moril

maupun materil. Semua pihak yang telah berjasa danmembantu dalam menyelesaikan

makalah ini. Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan selalu melimpahkan karunia dan

rahmat-Nya kepada kita semua atassegala amal sholeh yang kita perbuat dan mendapat

balasan yang berlipat gandadari-Nya. Amin.

MUARA BUNGO, 2024

Penulis
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB 1. PENDAHULUAN

A . Latar Belakang................................................................................ 1
B . Rumusan Masalah............................................................................ 1
C . Tujuan .............................................................................................. 1

BAB II. PEMBAHASAN................................................................................ 3

A. Pengetahuan........................................................................................... 4

B. Manusia................................................................................................... 5

C. Penalaran................................................................................................ 8

D. Logika.....................................................................................................15

E. Kebenaran............................................................................................... 20

BAB III. PENUTUP........................................................................................ 23

A . Kesimpulan ......................................................................................... 23
B . Saran ................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25


1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang berpikir, merasa, mengindera: dan
totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut, disamping wahyu
yang merupakan komunikasai Sang Pencipta dengan makhluknya. Manusia
memiliki sifat yang berbeda dengan makhluk lain, yaitu sifat ingin tahu yang
tinggi sehingga semakin hari keingintahuan tersebut akan semakin bertambah.
Oleh sebab itu manusia dikatakan sebagai makhluk yang mengembangkan
pengetahuannya secara sungguh-sungguh.
Binatang juga memiliki pengetahuan, namun pengetahuannya hanya
terbatas untuk kelangsungan hidupnya. Sedangkan manusia mengembangkan
pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan hidupnya dan mengembangkan hal-
hal baru. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dalam hidupnya tidak sekedar
mengatasi kebutuhan hidupnya namun memiliki tujuan tertentu yang lebih tinggi
dari pada itu.
Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diperoleh manusia melalui
sebuah pengamatan. Saat seseorang mengamati suatu hal dan dia memperoleh
sesuatu dari pengamatannya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut
memperoleh sebuah pengetahuan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan
dalam makalah ini adalah :
1. Jelaskan apa yang dimaksud penalaran?
2. Jelaskan apa yang dimaksud logika?
3. Jelaskan apa yang dimaksud sumber pengetahuan?
4. Jelaskan apa yang dimaksud kriteria kebenaran?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah yang bertema tentang Dasar-Dasar
Pengetahuan ini adalah:
1. Mengetahui apa yang dimaksud Penalaran.

1
2

2. Mengetahui apa yang dimaksud Logika.


3. Mengetahui apa yang dimaksud Sumber Pengetahuan.
4. Mengetahui apa yang dimaksud Kriteria kebenaran.
3

BAB II
DASAR DASAR PENGETAHUAN

A. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia. Suatu hal
yang menjadi pengetahuan selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang
diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahui. Karena itu
pengetahuan menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran untuk
mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya
sebagai hal yang ingin diketahuinya.
Dalam kitab klasik ilmu logika, pengetahuan itu didefinisikan sebagai suatu
gambaran objek-objek eksternal yang hadir dalam pikiran manusia. Definisi ini
juga disepakati oleh sebelas orang filosof dan ilmuwan Rusia.
Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan
tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai.
Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran (Gazalba, 1992, dalam
Bakhtiar, 2004).
Pengetahuan dalam kamus filsafat adalah proses kehidupan yang diketahui
manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini, yang
mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri
sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada
dirinya sendiri dalam kesatuan aktif .1
Pengetahuan dalam arti luas adalah semua kehadiran internasional objek
dalam subjek, namun dalam arti sempit pengetahuan adalah kebenaran atau
kepastian (Bakhtiar, 2004).
1. Jenis Pengetahuan
Burhanuddin Salam (1997) dalam Bakhtiar (2004) mengemukakan bahwa
pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu :2
a. Pengetahuan Biasa
Pengetahuan biasa dalam ilmu filsafat dikatakan dengan istilah common
sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu
1
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu. (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004) h.1
2
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu. (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004) h.140

3
4

di mana ia menerima secara baik. Semua orang menyebut sesuatu itu merah
karena memang itu merah, benda itu panas karena memang dirasakan panas dan
sebagainya.
b. Pengetahuan Ilmu
Pengetahuan ilmu adalah ilmu, terjemahan dari science , yang secara sempit
diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif
dan objektif. Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara objektif yang
tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual.
Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melalui observasi,
eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu objektif dan menyampingkan unsur
pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh
sesuatu yang bersifat subjektif, karena dimulai dengan fakta. Ilmu merupakan
lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang
dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati
pancaindera manusia.
c. Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran
yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan
pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu . Kalau ilmu hanya pada
satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih
luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan
kritis sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar
kembali.
d. Pengetahuan agama
Pengetahuan agama yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan
lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini
oleh para pemeluk agama. Pengetahuan agama mengandung beberapa hal yang
pokok yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga
disebut dengan hubungan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia,
yang sering juga disebut dengan hubungan horizontal

2. Hakikat Pengetahuan
5

Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state).


Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek atau
menyusun gambaran tentang fakta yang ada di luar akal.
Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan menurut Bakhtiar
(2004) yaitu :3
a. Realisme
Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya
dari apa yang ada dalam alam nyata atau fakta. Pengetahuan atau gambaran yang
ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Dengan demikian,
realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai
dengan kenyataan.
b. Idealisme
Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-
proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Subjektif dipandang
sebagai suatu yang mengetahui, yaitu orang yang membuat gambaran tersebut.
Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat
kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat
atau penglihatan orang yang mengetahui (subjek).
Realisme dan idealisme memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Realisme
tidak mementingkan subjek sebagai penilai tetapi hanya memfokuskan pada objek
yang dinilai, sementara subjek yang menilai memiliki peran penting dalam
menghubungkan antar objek dengan ungkapan tentang objek tersebut. Idealisme
menimbulkan kebenaran yang relatif karena setiap individu berhak menolak
kebenaran yang datang dari luar dirinya. Akibatnya, kebenaran yang bersifat
universal tidak diakui. Idealisme juga terlalu mengutamakan subjek sebagai si
penilai dengan merendahkan objek yang dinilai sementara subjek yang menilai
kadangkala berada pada keadaan yang berubah-ubah seperti sedang marah dan
gembira .4
3
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu. (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004)
h.145
4
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu. (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004)
h. 12
6

3. Sumber Pengetahuan
Pengetahuan yang ada pada manusia diperoleh dengan menggunakan
berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada
beberapa teori tentang sumber pengetahuan antara lain :

a. Empirisme
Empirisme menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi John
Locke mengemukakan bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari
pengetahuan, kemudian pengalamannya mengisi jiwa yang kosong, dan akhirnya
ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana,
lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan yang berarti.
David Hume mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah pengamatan.
Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (impressions) dan pengerian-
pengertian atau ide-ide (ideas). Kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang
diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Ide adalah
gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan
merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari
pengalaman.
b. Rasionalisme
Rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar dari kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia
memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Rasionalisme tidak
mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman
indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang
menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya manusia pada kebenaran
adalah semata-mata akal.5
Dari aliran emprisme dan rasionalisme, lahirlah metode ilmiah atau
pengetahuan sains. Dalam hal ini, pancaindera mengumpulkan data-data,
sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip universal, yang
kemudian disebut universal.

5
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu. (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004) h.145
7

c. Intuisi
Intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini
mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya.
Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya
dalam menetukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan.
d. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia
lewat perantaraan nabiNya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan
mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada saat
manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang berada di
luar kemampuan manusia.
B. Manusia
Mahluk hidup ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan mahluk
hidup yang lain (hewan dan tumbuhan). Manusia memerlukan pengetahuan
karena :
1) Manusia mempunyai sifat rasa ingin tahu tentang sesuatu, dan rasa ingin
tahu itu selalu berkembang dari waktu ke waktu .
2) Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang selalu berubah dan
meningkat dari waktu kewaktu.
Unsur yang dapat membantu manusia untuk memiliki pengetahuan dalam
hidupnya :
1) Pengalaman
Hal yang pertama dan paling utama yang mendasarkan pengetahuan adalah
pengalaman. Pengalaman adalah keseluruhan peristiwa yang terjadi dalam diri
manusia dalam interaksinya dengan alam, lingkungan dan kenyataan, termasuk
Yang Ilahi. Pengalaman terbagi menjadi dua, yakni :
a. Pengalaman primer, yaitu pengalaman langsung akan persentuhan indrawi
dengan benda-benda konkret di luar manusia dan peristiwa yang
disaksikan sendiri;
b. Pengalaman sekunder, yaitu pengalaman tak langsung atau reflektif
mengenai pengalaman primer. Contoh, saya dapat melihat teman-teman
dengan kedua mata saya dan saya dapat mendengar komentar teman-teman
8

dengan kedua telinga saya. Inilah pengalaman primer. Adapun


pengalaman sekunder, saya sadar akan apa yang saya lihat dengan kedua
mata saya dan sadar akan apa yang saya dengar dengan kedua telinga saya.
Terdapat tiga ciri pokok pengalaman manusia, yakni :
1. Pengalaman manusia yang beraneka ragam.
2. Pengalaman yang berkaitan dengan objek-objek tertentu di luar diri kita
sebagai subjek.
3. Pengalaman manusia selalu bertambah seiring dengan pertambahan usia,
kesempatan, dan kedewasaan.
2) Ingatan
Pengetahuan manusia juga didasarkan pada ingatan sebagai kelanjutan dari
pengalaman. Tanpa ingatan, pengalaman indrawi tidak akan bertumbuh menjadi
pengetahuan. Ingatan mengandalkan pengalaman indrawi sebagai sandaran
ataupun rujukan. Kita hanya dapat mengingat apa yang sebelumnya telah kita
alami. Kendati ingatan sering kabur dan tidak tepat, namun kita dalam kehidupan
sehari-hari selalu mendasarkan pengetahuan kita pada ingatan baik secara teoritis
dan praktis. Seandainya ingatan tak dapat kita andalkan maka kita tak dapat
melakukan tugas sehari-hari seperti mengenal sahabat, pacar, dan lain-lain. Tanpa
ingatan, kegiatan penalaran kita menjadi mustahil. Karena untuk bernalar dan
menarik kesimpulan dalam premis-premisnya kita menggunakan nalar.
Ingatan tidak selalu benar dan karenanya tidak selalu merupakan bentuk
pengetahuan. Agar ingatan dapat dijadikan rujukan dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya bagi pengetahuan, setidaknya ada dua
syarat yang harus dipenuhi yakni kesaksian dan konsisten.
3) Kesaksian
‘Kesaksian’ dimaksudkan untuk penegasan sesuatu sebagai benar oleh
seorang saksi kejadian atau peristiwa, dan diajukan kepada orang lain untuk
dipercaya. ‘Percaya’ dimaksudkan untuk menerima sesuatu sebagai benar yang
didasarkan pada keyakinan dan kewenangan atau jaminan otoritas orang yang
memberi kesaksian.
Dalam mempercayai suatu kesaksian, kita tidak memiliki cukup bukti
intrinsik untuk kebenarannya. Yang kita miliki hanyalah bukti ekstrinsik. Menurut
9

Descartes, beberapa pemikir menolak kesaksian sebagai salah satu dasar dan
sumber pengetahuan karena kesaksian bisa keliru dan bersifat menipu. Walaupun
demikian, ada beberapa pengetahuan yang kebenarannya dirujukkan kepada
kesaksian seperti sejarah, hukum, dan agama secara metodologis.6
4) Minat dan Rasa Ingin Tahu
Tidak semua pengalaman dapat dijadikan pengetahuan atau tidak semua
pengalaman berkembang menjadi pengetahuan. Untuk berkembang menjadi
pengetahuan subjek yang mengalami harus memiliki minat dan rasa ingin tahu.
Minat mengarahkan perhatian ke hal-hal yang dialami dan dianggap penting untuk
diperhatikan. Ini berarti bahwa dalam kegiatan mengetahui terdapat unsur
penilaian. Orang akan memperhatikan dan mengetahui apa apa yang ia anggap
bernilai. Dan rasa ingin tahu mendorong untuk bertanya dan menyelidiki apa yang
dialaminya dan menarik minatnya. Inilah yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya.
Rasa ingin tahu terkait erat dengan pengalaman mengagumkan dan
mengesankan dengan keheranan yang dialami. Mengajukan pertanyaan yang tepat
mengandaikan bahwa orang tahu di mana ia tahu dan di mana ia tidak tahu. Maka,
mengajukan pertanyaan yang tepat adalah langkah pertama untuk memperoleh
jawaban yang tepat.
5) Pikiran dan Penalaran
Kegiatan pokok pikiran dalam mencari kebenaran dalam pengetahuan
adalah penalaran. Bagi seorang guru, nalar adalah latihan intelektual untuk
meningkatkan akal budi anak didik. Bagi seorang advokat, nalar adalah cara
membela dan menyanggah kesaksian. Bagi ekonom, nalar adalah sarana membagi
sumber daya untuk meningkatkan efisiensi, daya guna, dan kemakmuran. Sedang,
bagi ilmuwan, nalar adalah metode merancang percobaan untuk memeriksa
hipotesis. Nalar dalam kehidupan kita sehari-hari selalu diartikan rasionalitas.
Nicholas Rescher mengatakan, “Bersikap rasional berarti menggunakan
kecerdasan untuk menentukan tindakan terbaik dalam suatu keadaan.” Ini definisi
kasar, tapi berguna sebagai landasan untuk membangun suatu argumen.

6
Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.,
(cet.22, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2017). h. 124
10

Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan dari hal-hal yang telah


diketahui sebelumnya. Setidaknya ada tiga metode dalam proses penalaran.
Pertama, induksi yakni penalaran yang menarik kesimpulan umum (universal)
dari kasus-kasus tertentu (partikular). Kedua, deduksi yakni penalaran untuk
merumuskan sebuah hipotesis berupa pernyataan umum yang kemungkinan
pernyataannya masih perlu untuk diuji coba.
6) Logika
Logika didefenisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara shahih. Ada
dua cara penarikan kesimpulan, yaitu logika deduktif dan logika induktif. Logika
deduktif adalah terkait dengan penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum
menjadi kasus yang bersifat individual (khusus). Penarikan kesimpulan secara
deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogisme.
Logika Induktif erat kaitannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-
kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Logika secara
induktif memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah
pada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental.7
7) Bahasa
Di samping logika penalaran juga mengandaikan bahasa. Tanpa bahasa
manusia tidak dapat mengungkapkan pengetahuannya. Dalam eksperimen antara
bayi dan anak kera yang lahir secara bersama waktunya, pada awalnya keduanya
berkembang hampir sejajar. Tapi seorang anak mulai bisa berbahasa, daya
nalarnya menjadi amat berekembang dan pengetahuan tentang diri sendiri serta
lingkungannya menjadi jauh melampaui kera seusianya.
8) Kebutuhan Hidup Manusia
Dalam interaksinya dengan dunia dan lingkungannya manusia
membutuhkan pengetahuan. Maka, kebutuhan manusia juga dapat mendasari dan
mendorong manusia untuk mengembangkan pengetahuannya. Berbeda dengan
binatang, manusia memperoleh pengetahuan tidak hanya didasarkan pada
instingtif tapi juga kreatif. Manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan
alat, memiliki strategi, dan kebijaksanaan dalam bertindak.

7
Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.,
(cet.22, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2017). h. 124
11

Walaupun kebutuhan manusia yang mendasari pengetahuan termasuk ke


dalam dimensi pragmatis pengetahuan, tapi juga terdorong oleh rasa
keingintahuan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
C. Penalaran
Manusia mampu mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi
kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Pengetahuan ini mampu dikembangkan
manusia disebabkan dua hal. Pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu
menhgkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi
informasi tersebut. Kedua , manusia mampu menembangkan pengetahuannya
dengan cepat dan mantap, dengan kemampuan berpikir menurut suatu alur
kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti inilah yang
disebut penalaran.
1. Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sebuah
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan
makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Penalaran menghasilkan
pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan,
meskipun seperti yang dikatakan Pascal bahwa hati pun mempunyai logika
tersendiri. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai
karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran (pengetahuan).
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Apa yang disebut benar bagi setiap orang itu berbeda-beda sehingga
kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga
berbeda-beda. Oleh sebab itu, cara berpikir mempunyai kriteria kebenaran yang
digunakan sebagai landasan untuk menemukan kebenaran. Penalaran merupakan
suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai
kriteria kebenarannya masing-masing. Penalaran sebagai suatu kegiatan berpikir
mempunyai ciri-ciri:
1) Adanya suatu pola berpikir yang secara luas bisa disebut logika. Artinya setiap
penalaran merupakan proses berpikir yang logis menurut pola tertentu yang
tidak akan menimbulkan kekacauan karena tidak konsistennya penggunaan
pola berpikir.
12

2) Bersifat analitik dari proses berpikir. Penalaran merupakan kegiatan berpikir


analitik yang menggunakan logika ilmiah yang merupakan kegiatan berpikir
berdasarkan langkah-lanhkah tertentu. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi
dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Akan tetapi, tidak semua kegiatan
berpikir menggunakan langkah-langkah tertentu dan bersifat logis dan analistis.
Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan
penalaran. Contohnya intuisi yang merupakan suatu kegiatan berpikir yang non
analitik (tidak mendasarkan diri pada suatu pola berpikir tertentu). Berpikir
intuitif memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang berpikiran non
analitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan.
Di samping itu masih terdapat bentuk lain dalam usaha manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yakni wahyu. Wahyu diberikan Tuhan lewat malaikat-
malaikat dan nabi-nabinya ada yang percaya dan ada yang tidak. Dengan wahyu
kita mendapatkan keyakinan meskipun kegiatan berpikirnya tidak menggunakan
logika serta bersifat intuitif. Dalam hal ini, manusia bersifat pasif sebagai
penerima pemberitaan tersebut, yang kemudian dipercaya atau tidak
tergangantung dari keyakinan masing-masing.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dapat
ditinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Panalaran, intuisi,
dan wahyu adalah sumber pengetahuan. Akan tetapi, penalaran merupakan cara
berpikir dengan pola tertentu yang disertai analisis. Sedangkan intuisi dan wahyu
merupakan sumber pengetahuan implisit yang tidak didasarkan pada pola berpikir
tertentu, hanya berdasarkan perasaan dan keyakinan.8

a. Logika
Logika diturunkan dari kata “logie” bahasa Yunani, yang berhubungan
dengan kata “logos”, yang berarti fikiran atau perkataan sebagai pernyataan
fikiran itu. Secara etimologi, logika adalah bidang penyelidikan yang membahas
fikiran, yang dinyatakan dalam bahasa. 9

8
Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.,
(cet.22, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2017). h. 124
9
Burhanuddin salam , Pengantar Filsafat, (cet. 4. Jakarta: Bina Aksara.
2014) h.45
13

Menurut Anne, logika merupakan pengkajian berpikir shahih. Logika


merupakan pertimbangan akal pikiran supaya berpikir secara lurus, tepat dan
sistematis, yang kemudian dinyatakan lewat bahasa lisan atau tulisan. Secara luas
dapat dikatakan bahwa logika adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip-
prinsip dan norma-norma penyimpulan yang sah.
Logika dibagi dalam dua cabang pokok, yakni logika deduktif dan logika
induktif (Suriasumantri, 2017)10
1) Logika Deduktif
Logika deduktif merupakan penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat
umum menjadi khusus yang bersifat individual. Penarikan kesimpulan secara
deduktif, menggunakan pola berpikir silogismus yang disusun oleh dua
pernyataan dan satu kesimpulan. Dalam silogisme dibedakan adanya dua premis,
yaitu premis mayor dan premis minor serta adanya kesimpulan yang merupakan
pengetahuan yang didapat dari kedua premis tersebut.
Contoh:
Semua mahluk mempunyai mata (Premis Mayor)
Si polan adalah seorang makhluk (Premis Minor)
Jadi BSi Polan mempunyai mata (Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan di atas, merupakan penarikan yang sah menurut
logika deduktif. Akan tetapi, kesimpulan tidak selalu benar walaupun premisnya
benar, sehingga penarikanya tidak sah. Ketepatan kesimpulan tergantung tiga hal
yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan
pengambilan kesimpulan. Apabila ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
penarikan kesimpulan dapat dikatan tidak sah. Ilmu yang disusun secara deduktif
contohnya adalah matematika.
2) Logika Induktif
Penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum dari kasus yang
bersifat individual. Misalnya, kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata,
singa mempunyai mata dan hewan lain juga mempunyai mata. Dari fakta-fakta
tersebut dapat disimpulkan bahwa semua hewan mempunyai mata. Kesimpulan

10
Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.,
(cet.22, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2017). h. 124
14

yang bersifat umum ini mempunyai dua keuntungan yaitu, bersifat ekonomis dan
dapat diproses lebih lanjut dengan menggunakan pemikiran induktif dan deduktif.

D. Kriteria Kebenaran
Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya.
Kebenaran menurut setiap individu relatif berbeda-beda, sehingga setiap jenis
pengetahuan mempunyai kriteria kebenaran yang tidak sama. Hal ini disebabkan
oleh watak pengetahuan yang berbeda.
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain.
Karena itu, kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang
benar itu atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama
kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda.
Pengetahuan alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang
alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis
dari bidang pengetahuan.
Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya
epistemologi. Telaah epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada
sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu
kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantic. Kebenaran
epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia,
kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat
pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti
semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan
bahasa.
1. Jenis dan Teori Kebenaran
Ada tiga jenis kebenaran, yakni:
a. Kebenaran Epistimologis
Kebenaran epistimologis disebut juga kebenaran logis. Kebenaran
epistimologis merupakan kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan
manusia. Sebuah pengetahuan disebut benar dan kapan pengetahuan disebut benar
apabila apa yang terdapat dalam pikiran subjek sesuai dengan apa yang ada dalam
objek.
15

b. Kebenaran Ontologis
Kebenaran ontologis berkaitan dengan sifat dasar atau kodrat dari obyek.
Kebenaran ontologis merupakan kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada
hakikat segala sesuatu yang ada.
c. Kebenaran Semantik
Kebenaran semantik merupakan kebenaran yang terdapat dan melekat
dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran ini berkaitan dengan pemakaian bahasa.
Bahasa merupakan ungkapan dari kebenaran.
Teori yang menjelaskan epistemologis (Suriasumantri, 2017)adalah
sebagai berikut :
1) Teori Korespondensi
Menurut teori korespondensi, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian,
kebenaran epistemologis adalah kemanunggalan antara subjek dan objek.
Pengetahuan ini dikatakan benar apabila didalam kemanunggalan yang
sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang
ada di dalam objek. Hal itu karena puncak dari proses kognitif manusia terdapat di
dalam budi pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam Suatu
proposisi atau pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang
diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Kebenaran itu adalah
yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang serasi
dengan situasi aktual11.
Dengan demikian, kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada
realitas objektif . yaitu, suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu
yang selaras dengan situasi. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan
mengenai fakta dengan fakta aktual: atau antara putusan dengan situasi seputar
yang diberi interpretasi.
Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai
berikut :

11
Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.,
(cet.22, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2017). h. 124
16

Dua hal yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu pernyataan dan kenyataan.
Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyatan tentang sesuatu
dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Sebagaimana contoh dapat dikemukakan : «
Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia ». pernyataan ini disebut benar karena
kenyataannya Jakarta memang ibukota Republik Indonesia. Kebenarannta terletak
pada hubungan antara pernyataan dengan kenyataan. Adapun jika dikatakan
Bandung adalah ibukota Republik Indonesia, pernyataan itu salah karena tidak
sesuai antara pernyataan dengan kenyataan.
Suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu saling
berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang
dikandung oleh proposisi yang saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Kepastian mengenai kebenaran sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian,
dimana satu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya, sehingga disebut
pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian
yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak
dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan dalam
pembicaraan umum, dimana hal itu diartikan sebagai kepastian yang yang
didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan atau dianggap salah.12
Misalnya jika seseorang mengatakan bahwa, “ITB berada di kota Bandung,”
maka pernyataan tersebut adalah benar, sebab pernyataan itu dengan objek yang
bersifat faktual yakni Bandung, memang kota dimana ITB berada. Apabila ada
orang lain yang menyatakan bahwa “ITB berada di kota Medan,” maka
pernyataan itu adalah tidak benar, sebab tidak terdapat obyek yang dengan
pernyataan tersebut. Dalam hal ini, maka secara faktual, “ITB bukan berada di
kota Medan, melainkan Bandung.”
Misalnya lagi, seseorang mengatakan, “wah lagi hujan nih!” bisa jadi benar,
jika pernyataan itu berhubungan dengan realitasnya. Tapi terkadang maksud
pernyataannya lebih kepada sindiran, godaan atau yang bersifat menyesatkan.
Sehingga secara semantik, pernyataan ini dapat menjadi benar atau salah. Dalam
hal ini, yang menjadi tolak ukur kebenarannya, suatu pernyataan haruslah objektif

12
Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.,
(cet.22, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2017). h. 124
17

(seperti yang sudah dijelaskan tadi, sesuai dengan realitasnya), misalnya, “wah
lagi hujan nih!” memang pernyataan yang berhubungan dengan cuaca pada saat
itu, dan bebas dari pikiran seseorang. Misalnya pernyataan “wah lagi hujan nih!”
diucapkan sebagai sindiran atas orang yang suka berbicara sambil menyemburkan
sedikit liur.
Dua kesukaran utama yang didapatkan dari teori korespondensi adalah:
(1) Teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang
terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau
kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak
pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang
kepercayaannya masing-masing.
Misalnya William, si penulis buku Introduction to Philosophy, dapat
mengatakan bahwa pernyataan, “wah lagi hujan nih!” dapat tidak sesuai
dengan realitas karena pernyataan tersebut tidak cocok dengan pernyataan
lain yang ia anggap benar, misalnya: “jika lagi hujan, dan saya diluar, pasti
saya kebasahan.”; tetapi nyatanya ia diluar; dan ia tidak kebasahan.
(2) Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu
kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah
pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu
bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit
untuk dilakukan.
2) Teori Pragmatisme Tentang kebenaran
Pragmatisme berasal dari bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan,
yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan
oleh Wiliam James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini benar tidaknya suatu
ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu
dianggap benar jika mendatangkan manfaat.
Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat
yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai
18

praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat-
akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
Misalnya ada orang yang menyatakan sebuah teori A dalam komunikasi,
dan dengan teori A tersebut dikembangkan teknik B dalam meningkatkan
efektivitas komunikasi, maka teori A itu dianggap benar, sebab teori A ini adalah
fungsional atau mempunyai kegunaan.
Evaluasi dari pragmatisme: pragmatisme memang benar untuk
menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif
manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari
keseluruhan teori. Untuk sesaat, penganut pragmatis mengatakan bahwa suatu
pernyataan itu benar karena dipercayai sebagai sesuatu yang pragmatik, yang
terbuka bagi penganut teori korespondensi. Contoh nyatanya adalah peta.
Penganut pragmatis akan berkata bahwa peta adalah gambaran yang akurat
mengenai realitas, karena dapat berguna untuk menunjukkan jalan; sedangkan
penganut teori korespondensi berkata bahwa kita dapat menggunakan peta untuk
menunjukkan jalan karena peta merupakan gambaran dari realitas.
John H. Randall, Jr dan Justus Buchler memberikan kritik pada teori ini:
bahwa istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar. Lalu
A.C. Ewing juga memberikan kritik bahwa apa yang berlaku bagi seseorang
mungkin saja tidak berlaku bagi orang lainnya; bahkan apa yang berlaku bagi
seseorang di waktu tertentu, mungkin saja tidak berlaku bagi dirinya sendiri di
waktu yang lain. Misalnya kepercayaan akan adanya Tuhan.
3) Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas
dibandingkan teori korespondensi. Plato (427-347 S.M.) dan Aristoteles (384-322
S.M.) mengembangkan teroi koherensi berdasarkan pola pemikiran yang
dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. Teori koherensi ini
berkembang dengan baik pada abad 19 dibawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh
pengikut mazhab idealisme (misal: F.H Bradley). Pandangan idealisme adalah
bahwa objek pengetahuan tidaklah berwujud terlepas dari kesadaran tentang objek
tersebut (subjektivisme).
19

Bagi penganut teori koherensi, maka suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar.
Misalnya bila kita menganggap bahwa, “semua manusia akan mati.” Adalah
sebagai pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “Tamara Bleszinsky
adalah seorang manusia, dan si Tamara Bleszinsky pasti akan mati” adalah benar
pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama.
Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-
acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten
dengan kepercayaan saya.
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan
pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika disusun diatas
beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma). Dengan
mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Dan diatas
teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara
keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten.
Dua kesukaran yang didapatkan dari teori koherensi adalah:
(1) Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak
tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga
tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara
pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-
acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang
merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja.
(2) Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan
realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi
diantara semua pernyataan yang benar.
Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk
menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan
karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang
dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang tuhan. Kalau
ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan
20

reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber
dari tuhan.13
Suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau
wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Oleh karena itu, sangat wajar ketika
Imam al-Ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemua akalnya dalam
mencari suatu kebenaran. Akhirnya al-Ghazali sampai pada kebenaran yang
kemudian dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang panjang. Tasawuf lah
yang menghilangkan keragu-raguan tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut
agama inilah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai kebenaran multak; yaitu
kebenaran yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi. Namun al-Ghazali tetap
merasa kesulitan menentukan kriteria kebenaran. Akhirnya kebenaran yang
didapat adalah kebenaran sujektif atau inter-subjektif.

13
Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.,
(cet.22, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2017). h. 156
21

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan dalam makalah ini ialah :


1. Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia atau hasil
pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf,
mengerti dan pandai.
2. Sumber pengetahuan meliputi empirisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu
3. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sebuah kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk
menemukan pengetahuan yang benar, dengan ciri-ciri adanya suatu pola
berpikir yang secara luas (logika) dan bersifat analitik.
4. Logika merupakan pengkajian berpikir shahih atau pertimbangan akal pikiran
supaya berpikir secara lurus, tepat dan sistematis, yang kemudian dinyatakan
lewat bahasa lisan atau tulisan. Logika dibagi dalam dua cabang pokok, yakni
logika deduktif dan logika induktif
5. Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Ada tiga
jenis kebenaran, yakni kebenaran epistimologis, kebenaran ontologism dan
kebenaran semantik. Teori yang menjelaskan epistemologis kebenaran terdiri
atas teori korespondensi, teori pragmatisme dan teori koherensi.
6. Agama sebagai teori kebenaran adalah uatu hal itu dianggap benar apabila
sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.

21
22

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. (2004). Filsafat Ilmu. Jakarta : RajaGrafindo Persada

Gazalba, Sidi. 1992. Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori Pengetahuan.


Buku II, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang.

Salam, Burhanuddin. 2000. Pengantar Filsafat, cet. 4. Jakarta: Bina Aksara.

Suriasumantri, Jujun S. (2017). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer., cet.22,


Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Anda mungkin juga menyukai