Anda di halaman 1dari 13

TAUHID, NALAR FILOSOFIS, NALAR TEOLOGIS, DAN NALAR TEOSOFI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah: Ilmu Tauhid

Dosen Pengampu:
EDI SAHPUTRA SIREGAR, M.Ag.

Disusun Oleh:
Kelompok II

1. Amalia Zahria : 22170011


2. Munawir Ahmad Rangkuti : 22170015

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
TA. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul:
Landasan Tauhid, Nalar Filosofis, Nalar Teologis, dan Nalar Teosofi, dengan lancar.
Makalah ini disusun dengan maksud dan tujuan agar penulis dapat mendalami
materi yang telah penulis terima di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing
Natal. Dengan penyusunan makalah ini, penulis berharap dapat menambah ilmu
pengetahuan serta wawasan tentang ilmu tauhid dan sejarah yang dapat berguna bagi
penulis dan pembaca.
Demikian penulis ucapkan terimakasih dan juga tidak lupa penulis ucapkan
permohonan maaf jika ada kesalahan penulisan makalah ini baik penulisan nama dan
lainnya. Penulis juga berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis
serta pembaca.

Panyabungan, 16 Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................i


DAFTAR ISI ..............................................................................................................ii

PEMBAHASAN .........................................................................................................1
A. Memahami Tafsir Tentang Tauhid Tuhan .......................................................1
B. Nalar Filosofis .................................................................................................5
C. Nalar Teologis .................................................................................................7
D. Nalar Teosofi ...................................................................................................7

PENUTUP ..................................................................................................................9
A. Kesimpulan ......................................................................................................9
B. Saran ................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................10

ii
PEMBAHASAN

A. Memahami Tafsir tentang Tauhid Tuhan


Kata ilah yang selalu diterjemahkan “Tuhan “, dalam Al-Qur`an dipakai
untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia.
Misalnya dalam

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya...” (QS. Surah Al-Jasiyah: 23)
Contoh ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi)
maupun benda konkret (Fir`aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja).
Berdasarkan logika al-quran, dapat dipahami bahwa tuhan (ilah) ialah sesuatu
yang dipentingkan (di anggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga
manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Oleh karena itu, bertuhan, bertuhan
nol (tidak bertuhan) atau etheisme adalah tidak mungkin.1
Perkataan “dipentingkan “harus dipahami dalam arti luas. Tercakup di
dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharapkan dapat diberikan
kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian.
Menurut ibnu Taimiyah, al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh dengan kecintaan
hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri dihadapannya,takut, dan
mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan,berdo`a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta
perlindungan dari padanya,dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya

1
Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir (Yogyakarta: Kanisius 2007) hal 66

1
dan terpaut cinta kepadanya (M. Imaduddin, 1989). Berdasarkan definisi ini dapat
dipahami bahwa Tuhan itu berbentuk apa saja yang dipentingkan manusia.
Keyakinan paham atheis, adalah keyakinan yang bersifat
antagonistic,manipulative, bahkan hipokrit, karena apabila dipahami secara
seksama kata atheis adalah sikap anti Tuhan, berarti Tuhan itu ada, karena sikap
anti menunjukkan adanya obyek yang disikapi, jika Tuhan tidak ada, apa gunanya
bersikap anti? Fir`aun yang kadar atheisnya 24 karat saja pada akhir hayatnya
mengakui Allah sebagai Tuhan, meskipun pada awalnya mengingkari Tuhan
dengan sikap sombongnya dia mengatakan: “Akulah tuhanmu yang paling
tinggi.” (Q.s An-Naziat:24).
Sementara itu dalam pemikiran Barat tentang tuhan dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang
amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut
mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudiandikemukakan oleh E.B.
Taylor, Robertson Smith, Lubblock dan jevens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
1. Dinamisme: manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan
yang berpegaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan
nama yang berbeda-beda, seperti mana (melanesia), tuah (Melayu), dan syakti
(India).2
2. Animisme: masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam
hidupnya. Setiap benda yang diangap benda baik, mempunyai roh. Oleh
masyarakat primitif,roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun
benda telah mati. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek
negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh.
3. Politeisme: kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa mempunyai tugas dan
kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung

2
Ahmad As-Shaouwy,dkk, Mukjizat Al-Quran dan As-Sunnah tentang Iptek (Jakarta :
Gema Insani Press, 1995) hal 45-50

2
jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang
membidangi angin dan lain sebagainnya.
4. Henoteisme: satu bangsa hanya mengakui satu dewa yg disebut dengan
Tuhan, namun manusia masih mengakuituhan (ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu tuha untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (tuhan
tingkat nasional)
5. Monoteisme: dalam monoteisme hanya diakui 1 tuhan untuk seluruh bangsa
dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat ketuhanan
terbagi dalam 3 paham yaitu: deisme, panteisme, dan feisme. Teori
evolusionisme dalam kepercayaan terhadap tuhan sebagaimana dinyatakan
oleh Max Muller dan E.B Taylor (1877), di tentang oleh Andrew Lang (1898)
yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal usul kepercayaan masyarakat
primitif adalah monoteisme dan monoteisme berasal dari ajaran wahyu tuhan
(Zaglul Yusuf, 1993).
1. Keberadaan alam membuktikan adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang
pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada suatu kekuasaan
yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap
manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam
ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap
bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.3
Bangsa Arab yang mula-mula menerima Al-Qur’an dalam masyarakat
yang masih sederhana, dianjurkan melihat unta, bagaimana ia diciptakan;
melihat langit, bagaimana ia ditinggikan; melihat gunung-gunung, bagaimana
ia dipancangkan; dan melihat bumi, bagaimana ia dihamparkan (Q.S. Al-
Ghasyiyah: 17-20).
Oleh karena itu, dengan melihat kejadian alam sekelilingnya, setiap
orang atau setiap bangsa yang berakal akan bertanya: siapa yang menjadikan
semua ini? Dan jawabannya adalah Dialah Allah Tuhan Sang Maha Pencipta.

3
Hamka, Filsafat Ketuhanan (Surabaya: Karunia, 1983) hal 22

3
2. Adanya keteraturan dan keserasian di alam
Renungkan lebih dalam lagi tentang gerak alam ini. Mengapa matahari
tidak pernah terjatuh, mengapa bintang-bintang tidak pernah berbenturan?
Bola yang ditendang oleh seorang anak melambung tinggi ke udara, akhirnya
kembali lagi ke bawah. Karena ringan dia melambung ke atas, karena berat
dia jatuh ke bawah. Lalu mengapa matahari dan bulan tidak pernah jatuh ke
bawah? Sebanyak bintang di langit yang tidak terhitung jumlahnya, tidak
sekali pun berbenturan antara satu sama lainnya. Lalu siapa yang
menciptakan keajaiban gerak ini? Dialah Penguasa alam ini. Dialah Allah
(Hamka, 1983).
Akhirnya, ke sudut mana pun manusia melihat dan menghadapkan
mukanya, tampaklah bahwa segala sesuatu ada yang mengaturnya dan ada
yang memeliharanya. Sudah pasti yang mengatur dan memeliharanya itu
sangat pintar, sangat teliti, tidak lalai, dan tidak tidur. Adanya aturan, pasti
ada yang menjadi pengatur, penjaga, dan pemelihara. Dialah Tuhan, Dialah
Allah.
3. Pembuktian adanya Tuhan dengan pendekatan fisika
Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan
dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah
ditemukan “hukum kedua termo dinamika” (second law of thermodynamics),
pernyataan ini telah kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut, yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau
teori pembatasan perubahan energi panas, membuktikan bahwa adanya alam
tidak mungkin bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi
panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas.
Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin
berubah dari keadaan tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas
dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi
yang tidak ada”.4

4
M. Imaduddin Abdurrahim, Kuliah Tauhid (Jakarta: Yayasan Sari Insan, 1989) hal 101

4
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam
terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan, terbukti secara pasti bahwa
alam tidak bersifat azali. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam
sudah kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tentu tidak
akan lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu, pasti ada yang menciptakan
alam yaitu Tuhan.

B. Nalar Filosofis
Pembahasan tentang eksistensi Tuhan secara filosofis sebenarnya menuntut
pembuktian yang berdasarkan nalar. Inilah yang menjadi perdebatan kaum filsuf,
kaum teolog dan kaum sufi. Menurut Amin Abdullah, perdebatan antar ketiganya
dalam tradisi keilmuan Islam begitu sengit sehingga tak jarang terjadi saling
mengkafirkan, memurtadkan dan mensekularkan. Beberapa argumen yang
dikemukakan oleh para filsuf dengan argumaen burhani-nya, berkaitan dengan
eksistensi Tuhan adalah sebagai berikut:

1. Al-Kindi seorang filsuf Arab (w.sekitar 866 M) dengan argumen kebaruan


(dalil al-huduts) nya. Ia mengatakan bahwa alam semesta ini betapapun
luasnya adalah terbatas. Karena terbatas, alam tidak mmungkin memiliki awal
yang tidak terbatas. Oleh karena itu, alamyang terbatas ini tidak mungkin
bersifat azali (tidak mempunya awal). Ia mesti memiliki titik awal dalam
waktu, dan materi yang melekat padanya juga terbatas oleh gerak dan
waktu.jika materi,gerak dan waktu dari alam ini terbatas, berarti alam semesta
ini baru (hudust). Segala sesuatu yang baru bagi Al-Kindi pasti dicipta
(muhdats). Kalau alam dicipta maka memunculkan adaya pencipta. Itulah
Tuhan sebagai sebab pertama. Dalam kajian filsafat argumen kebaruan Al-
Kind disebut dengan argumen kosmologi,yang menggunakan hukum “sebab-
akibat”.

2. Ibnu Sina (w. 1037 M) melalui argumen kemungkinan (dalil al-jawaz) atau
kontingesi. Ia membagi wujud dalam tiga kategori; Wujud Niscaya (wajib al-
wujud) adalah wujud yang senantiasa harus ada dan tidak boleh tidak ada,
wujud mungkin (mumkin al-wujud) adalah wujud yang boleh saja ada atau

5
tiada, dan wujud mustahil (mumtani al-wujud) adalah wujud yang
keberadaannya tidak terbayangkan oleh akal. Alam ini adalah wujud yang
boleh ada dan boleh tidak ada. Karena alam merupakan wujud yang boleh
ada, alam bukan wujud niscaya, namun karena alam juga boleh tidak ada
maka dapat dikatakan wujud mustahi. Akan tetapi nyatanya bumi ini ada
maka dipastikan sebagai wujud yang mungkin. Terma “mungkin” adalah
potensial,kebalikan dari aktual. Dengan mengatakan bahwa alam ini mungkin
pada dirinya,berarti sifat dasar alam adalah potensial,boleh ada dan tidak bisa
mengada dengan sendirinya. Karena alam ini potensial, ia tidak mungkin ada
(mewujud) tanpa adanya sesuatu yang telah aktual, yang telah mengubahnya
dari potensial menjadi aktualitas. Itulah tuhan yang wujud niscaya. Argumen
kemungkinan ini sering disebut dalil ontologi karena pendekatannya
menggunakan filsafat wujud.5

3. Ibnu Rusyd (w. 1198 M) dengan argumen rancangan (dalil al-inayah) nya.
Dengan pemikiran rasional-religiusnya berpendapat bahwa perlengkapan
(fasilitas) yang ada di alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia. Hal ini
merupakan bukti adanya Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Melalui “rahmat” yang ada di alam ini, membuktikan bahwa Tuhan ada.
Selain itu penciptaan alam yang menakjubkan, seperti adanya khidupan
organik, persepsi indrawi,dan pengenalan intelektual merupkan bukti lain
adanya Tuhan melalui konsep penciptaan keserasian. Penciptaan ini secara
rasional bukanlah suatu kebetulan, melainkan haruslah dirancang oleh agen
yang dengan sengaja dan kebetulan dan bijaksana melakukannya dengan
tujuan tertentu. Oleh karena berdasarkan pandangan adanya keserasian
Tuhan, konsep Tuhan menurut Ibnu Rusyd ini sering disebut pandangan
teleology.

4. Menurut Aristoteles Menurut Aristoteles, Tuhan adalah zat yang memberi arti
kepada alam, akan tetapi dapat kita hubungi, artinya bukan Tuhan yang dapat
kita sembah dan kita mintai. “Tuhan”-nya Aristoteles merupakan “it” dan
bukan “he”. Hipotesa yang dikemukakan oleh Theisme. Theisme berarti
bahwa Tuhan itu ada, dan merupakan suatu realitas yang

5
M. Noor Matdawan, Pembinaan Aqidah Islamiyah (Theologi Islam)

6
bersifat transcendent dan mempunyai suatu maksud atau tujuan yang
bersifat immanent. Theisme adalah kepercayaan bahwa Tuhan adalah zat
yang menciptakan alam dunia. Kepercayaan ini bersifat realis oleh karena di
dalamnya Tuhan merupakan sesuatu zat yang tersendiri dan tidak bersandar
kepada pengetahuan kita terhadapnya.

5. Menurut Al-Jurjani Dalam kitab al-Ta’rif mendefinisikan kata Allah sebagai


nama yang menunjuk kepada Tuhan yang sebenarnya (al-Illah al-Haqq), yang
merupakan kumpulan makna bagi seluruh nama-nama-Nya yang baik (al-
asma al-husna).

C. Nalar Teologis
Istilah nalar teologi bukan barasal dari tradisi Islam. Dalam Islam, istilah
tersebut lebih dikenal dengan sebutan ilmu tauhid dan ilmu kalam. Atau variasi
lain sebagaimana diungkap dalam pembahasan sebelumnya. Disebutkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dari teologi adalah ilmu yang
membicarakan tuhan atau pengetahuan ketuhanan. Theologia yang berasal dari
bahasa latin dan bahasa grik tua, terdiri dari dua kata theo dan logia.
Theo (theos jamaknya) dalam mitologi roma adalah pamanggilan bagi dewata
dan para dewa. Adapun kata theos itu dalam ajaran setiap agama adalah panggilan
untuk kodrat-kodrat samawi yang berada di bawah kekuasaan tuhan, dan setiap
agama mempunyai panggilan-panggilan tersendiri terhadap kodratkodrat samawi
itu misalnya “malaikat” (agama Islam), “angelos” (agama Kristen), “mallak”
(agama Yahudi), “ahuras” (agama Zarathusra), “daivas” (agama Hindu), dan
“boddhisatvas” (agama Buddha) dan seterusnya. Kata logia yang dalam bahasa
grik tua berasal dari kata logos (akal) berarti ajaran pokok (doctrin) atau teori
(theory) atau ilmu (science).

D. Nalar Teosofis
Bahwa istilah nalar teosofis diambil dari kata teosofi (theosophia), gabungan
dari kata theos yang berarti Tuhan dan sophia yang berarti pengetahuan dan
kebijaksanaan. Jadi secara literal, teosofi berarti pengetahuan yang didasarkan
pada unsur-unsur ketuhanan, pengetahuan kemanusiaan, dan kebijaksanaan.

7
Pengetahuan teosofis adalah pengetahuan yang diperoleh melalui penyelaman
terhadap misteri-misteri objek yang paling dalam. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan nalar teosofis dalam artikel ini adalah nalar yang berpijak pada
wahyu Tuhan, pengetahuan rasional manusia, dan kebijaksanaan. Nalar ini
digunakan sebagai basis epistemologi dalam mengkaji antara agama dan
pengetahuan, karena masing-masing dari agama dan pengetahuan adalah sama-
sama berasal dari satu sumber, Tuhan (Allah), di mana di dalamnya terdapat aspek
ketuhanan, kemanusiaan, dan kebijaksanaan.
Secara etimologis, kata teosofi berasal dari bahasa Yunani “theos” dan
“shopia”. Theos berarti Tuhan dan shopia berarti hikmah, kebijaksanaan, kearifan
atau wisdom. Jadi “theosofia” yang kemudian berubah menjadi “teosofi” yang
berarti Kebijaksanaan Tuhan. Bila dijabarkan lebih lanjut, maka artinya adalah
segala ilmu, filsafat dan pelajaran tentang kebijaksanaan ilahiah.
Terminologi teosofi ini kemudian digunakan sebagai sebuah bentuk nalar
yang memiliki makna sebagai nalar yang berpijak pada pengetahuan Tuhan,
pengetahuan rasional manusia, dan juga kebijaksanaan. Nalar ini ingin
mengaktualisir kebijaksanaan pengetahuan manusia dalam memahami agama dan
pengetahuan. Memahami dirinya dan keterbatasannya, memahami Tuhan dan
Kesempurnaan-Nya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Sînâ dalam Risâlat al-
Tabi‘îyah bahwa pengetahuan manusia itu termasuk bagian dari bentuk
kebijaksanaan teoretis. Kebijaksanaan pengetahuan manusia ini telah muncul pada
diri para filsuf Muslim periode awal, sehingga mereka menyebut al-Kindî dengan
beberapa gelar, terkadang fisikawan, terkadang matematikawan, terkadang
astronom, terkadang juga filsuf. Gelar filsuf pun diberikan kepada mereka yang
dipandang kompeten di bidang akhlaq (etika) atau kepada mereka yang kompeten
di bidang kajian ketuhanan.

8
PENUTUP

A. Kesimpulan

Keyakinan paham atheis, adalah keyakinan yang bersifat


antagonistic,manipulative, bahkan hipokrit, karena apabila dipahami secara
seksama kata atheis adalah sikap anti Tuhan, berarti Tuhan itu ada, karena sikap
anti menunjukkan adanya obyek yang disikapi, jika Tuhan tidak ada, apa gunanya
bersikap anti? Fir`aun yang kadar atheisnya 24 karat saja pada akhir hayatnya
mengakui Allah sebagai Tuhan, meskipun pada awalnya mengingkari Tuhan
dengan sikap sombongnya dia mengatakan: “Akulah tuhanmu yang paling
tinggi.” (Q.s An-Naziat:24).
Pembahasan tentang eksistensi Tuhan secara filosofis sebenarnya menuntut
pembuktian yang berdasarkan nalar. Inilah yang menjadi perdebatan kaum filsuf,
kaum teolog dan kaum sufi. Menurut Amin Abdullah, perdebatan antar ketiganya
dalam tradisi keilmuan Islam begitu sengit sehingga tak jarang terjadi saling
mengkafirkan, memurtadkan dan mensekularkan.
Istilah nalar teologi bukan barasal dari tradisi Islam. Dalam Islam, istilah
tersebut lebih dikenal dengan sebutan ilmu tauhid dan ilmu kalam. Atau variasi
lain sebagaimana diungkap dalam pembahasan sebelumnya.
Bahwa istilah nalar teosofis diambil dari kata teosofi (theosophia), gabungan
dari kata theos yang berarti Tuhan dan sophia yang berarti pengetahuan dan
kebijaksanaan. Jadi secara literal, teosofi berarti pengetahuan yang didasarkan
pada unsur-unsur ketuhanan, pengetahuan kemanusiaan, dan kebijaksanaan.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa penulis masih jauh dari
kata sempurna kedepannya kami akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan
tentang makalah dengan sumber-sumber lebih banyak dan lebih bertanggung
jawab.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir (Yogyakarta: Kanisius 2007)

Ahmad As-Shaouwy,dkk, Mukjizat Al-Quran dan As-Sunnah tentang Iptek


(Jakarta : Gema Insani Press, 1995)

Hamka, Filsafat Ketuhanan (Surabaya: Karunia, 1983)

M. Imaduddin Abdurrahim, Kuliah Tauhid (Jakarta: Yayasan Sari Insan, 1989)

M. Noor Matdawan, Pembinaan Aqidah Islamiyah (Theologi Islam)

10

Anda mungkin juga menyukai