Anda di halaman 1dari 16

HUBUNGAN PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL DENGAN PRESTASI

BELAJAR ANAK USIA SEKOLAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Wong (2008), Perkembangan psikososial adalah perubahan yang
terjadi pada kepribadian, emosi serta hubungan sosial. Perkembangan psikososial
adalah proses berkembangnya kemampuan anak untuk menyesuaikan diri terhadap
dunia sosial yang lebih luas. Perkembangan psikososial yang normal yaitu anak
memiliki personality yang baik memiliki keberanian, kooperatif, mampu menerima
pendapat dan kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya jika anak
memiliki perkembangan psikososial yang kurang baik atau menyimpang, anak akan
memiliki sifat negatif seperti tidak percaya diri, mengasingkan diri dan merasa rendah
diri (Riyadi, 2009). Pada tahapan ini anak lebih mudah memahami dari segi internal
dibanding eksternal sehingga dapat memilih apa yang baik baginya. Anak mulai
memecahkkan masalahnya sendiri dan mulai mengidentifikasi terhadap hal baik yang
menarik perhatiannya (Perry & Potter, 2009)
Perkembangan psikososial anak usia sekolah (6-12 tahun) berada dalam
Industry vs Inferiority dimana anak memiliki kemampuan menghasilkan karya,
berinteraksi dan berprestasi dalam belajar berdasarkan kemampuan diri sendiri.
Karakteristik perilaku anak usia sekolah terikat dengan tugas yang diberikan pada
akhirnya dapat menghasilkan sesuatu yang berharga baginya, mempelajari peraturan,
adanya rasa takut dan stressor, bersosialisasi dengan teman - temannya dan berperan
dalam permainan kelompok (Wong, 2015). Gangguan perkembangan psikososial
pada anak adalah anak yang mengalami gangguan dalam proses berpikir,
berperasaan, partisipasi, dan peran sebagai anak menjadi terganggu (hidayat et
al.2017). Dampak itu berkaitan dengan perubahan sistem pembelajaran dari yang
awalnya bertatap muka di kelas secara bersama-sama, kini berubah menjadi jarak
jauh dengan sistem dalam jaringan atau daring (M. Lubis et al., 2020). Data dari Riset
Kesehatan Dasar (riskesdas) tahun 2013, disebutkan lebih dari 14 juta jiwa penduduk
indonesia yang diantaranya adalah anak-anak menderita gangguan perkembangan
psikosial emosional. Gangguan perkembangan di Sulawesi Tengah yaitu sebesar
11,6%, sedangkan di Jawa Tengah sebesar 4,7% (Kemenkes, 2016).
Prestasi Belajar bukan karena kecerdasan saja, akan tetapi ada faktor lain
yang dapat mempengaruhi prestasi belajar tersebut. Menurut Syah (2011), secara
keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar ada tiga macam, yakni:
faktor internal (faktor fisiologis, faktor psikologis), faktor eksternal (faktor keluarga,
lingkungan, dan masyarakat), dan faktor pendekatan belajar. Hal ini sesuai dengan
penelitian Lovena (2013), Situasi belajar dapat dipengaruhi oleh lingkungan,
sekolah, keluarga, dan teman sebaya.
Permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan psikososial dengan
prestasi belajar sebelumnya sudah pernah diteliti oleh Wibowo & Susanto (2014)
tentang Dinamika Dukungan Sosial pada Prestasi Siswa Sekolah Dasar Berbasis
Pendekatan Indigenous Psychology. Menurutnya, siswa yang memperoleh dukungan
sosial dari lingkungannya akan mempengaruhi prestasi belajar mereka. Begitu pula
penelitian yang dilakukan oleh Simanjutak (2017) tentang Pengaruh Sikap Sosial
Siswa Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Kewarganegaraan. Menurutnya, kerap
sekali timbul persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa siswa-siswi yang tidak
memiliki sikap sikap sosial akan berdampak buruk pada prestasi belajar disekolah
Pencapaian prestasi belajar siswa sekolah dasar dapat dilihat dari hasil Uji
Kompetensi. Kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia mengumumkan
pada tahun 2015, terdapat 5 provinsi yang menduduki nilai rata-rata terendah, yaitu
Maluku (34,5), Maluku Utara (34,8), Kalimantan Barat(35,40), Kalimantan Tengah
(35,5) dan Jambi (35,7). Hal itu dikarenakan tingkat daya saing dan sumber daya
manusia kurang maksimal, selain itu keberadaan daerah tinggal juga berpengaruh.
Berbeda dengan daerah yang lebih maju memiliki sumber daya manusia yang lebih
baik. Daerah yang menduduki nilai tertinggi yaitu Yogyakarta(50,1), Jakarta (49,2),
Bali (48,9), Jawa Timur (47,1), Jawa Tengah (45,2) (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2015). Kendal menduduki peringkat ke-18 se-Jawa Tengah (Dinas
Pendidikan Jateng, 2016).
BAB II
TINJAUAN …….
A. Perkembangan
Menurut Wong (2008), perkembangan adalah perubahan dan
perluasan secara bertahap dari tingkat kompleksitas yang lebih rendah ke
tingkat kompleksitas yang lebih tinggi, serta peningkatan dan perluasan
kemampuan melalui pertumbuhan, pendewasaan, dan pembelajaran. Potter &
Perry (2005) menggambarkan pembangunan sebagai aspek progresif adaptasi
terhadap lingkungan yang bersifat kualitatif. Contoh perubahan kualitatif
tersebut mencakup peningkatan kemampuan fungsional dan perolehan
beberapa keterampilan kecil.
Selain itu, Maslow (1988 dalam Supartini 2004) mendefinisikan
perkembangan sebagai peningkatan keterampilan dan kapasitas anak untuk
berfungsi secara bertahap dan terus menerus. Jadi, yang dimaksud dengan
perkembangan adalah suatu proses untuk menghasilkan peningkatan
kemampuan untuk berfungsi pada tingkat tertentu. Oleh karena itu,
perkembangan secara luas memperlihatkan keseluruhan proses dari
kemampuan yang dimiliki individu dan terlihat dalam kualitas kemampuan,
sifat, dan ciri-ciri yang baru (Hawadi, 2001).
Aspek – Aspek perkembangan yang dipantau pada anak adalah:
1. Gerak kasar atau motorik kasar
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan
pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti
duduk, berdiri, melompat, merangkak, dan sebagainya.
2. Gerak halus atau motorik halus
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan
gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan
oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat seperti
mengamati sesuatu, menjimpit, menulis, menggambar, makan sendiri,
minum dari cangkir dengan bantuan, dan sebagainya.
3. Kemampuan bicara dan bahasa
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk
memberikan respon terhadap suara, berbicara, berkomunikasi, mengikuti
perintah, dan sebagainya.
4. Perkembangan psikososial
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak
(makan sendiri, membereskan mainan selesai bermain), mudah
berpisah dengan ibu atau pengasuh anak, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya, dan sebagainya.
B. Perkembangan Psikososial
Menurut Bastable (2002) perkembangan psikososial adalah proses
penyesuaian psikologis dan sosial sejalan dengan perkembangan seseorang
sejak bayi sampai dewasa berdasarkan delapan tahap kematangan psokologis
dan sosial manusia. Erik Erikson menyatakan bahwa pada usia 6-12 tahun,
anak sedang dalam tahapan perkembangan Industry vs Inferiority dimana
anak memiliki kemampuan menghasilkan karya, berinteraksi dan berprestasi
dalam belajar berdasarkan kemampuan diri sendiri.
Pada tahap perkembangan ini, anak-anak akan belajar berfantasi dan
juga mulai belajar ada orang lain selain dirinya. Tahap ini merupakan pondasi
anak untuk menjadi kreatif. Anak-anak mulai mengenal identitas dirinya.
Anak mulai mengenal identitas dirinya bukan hanya dari alat kelamin yang
dimilikinya tetapi juga dari perlakuan sekelilingnya. Pada tahap ini, anak
memiliki banyak kepandaian. Anak belajar berfantasi dan hal ini menjadi
dasar bagi anak untuk menjadi kreatif. Oleh karena itu anak tidak perlu
dibebani dengan tugas dan pekerjaan di luar kemampuannya, karena jika
anak-anak tidak mampu belajar sesuai dengan tugas yang diberikan, akan
menimbulkan rasa bersalah pada diri anak. Gangguan pada perkembangan
dapat menyebabkan anak menjadi sulit belajar, pasif, kurang inisiatif, selalu
takut mencoba hal yang baru, dan terkadang mempunyai masalah dalam
bergaul dengan teman-temannya (Sunarti, 2004).
Banyak teori mengenai perkembangan psikososial, yang paling banyak
dianut adalah teori psikosisal dari Erik Erikson. Teori psikososial dari Erik
Erikson meliputi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil
dari tiap tahap tergantung dari hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang
sukses dari tiap krisis ego adalah penting bagi individu untuk dapat tumbuh
secara optimal. Berikut adalah delapan tahapan perkembangan psikososial
menurut Erik Erikson :
1. Tahap 1 : Trust versus Mistrust (0-1 tahun),
2. Tahap 2 : Autonomy vs Shame and Doubt (18 blan-3 tahun),
3. Tahap 3 ; Initiative vs Guilt (3-6 tahun),
4. Tahap 4 : Industry vs Inferiority (6-12 tahun),
5. Tahap 5 : Identity vs Role Cunfusion (12-18 tahun),
6. Tahap 6 ; Intimac vs Isolation (18-35 tahun),
7. Tahap 7 ; Generativity vs Stagnation (35-64 tahun),
8. Tahap 8 : Integrity vs Despair (65 tahun keatas).
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Psikososial
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial adalah :
1. Diri (Self)
Diri merupakan pemahaman seorang anak terhadap diri mereka
sendiri, tentang cara anak menggambarkan diri mereka. Dalam diri
berkembang beberapa pemahaman, yaitu:
a) Pemahaman Diri
b) Harga Diri
Harga diri adalah bagian dari evaluasi konsep diri, penilaian
yang dibuat anak mengenai seberapa berhargannya mereka. Harga
diri bersifat tidak ada perbedaan “saya baik” atau “saya jahat”
(Papalia, 2009).
c) Pemahaman dan Pengaturan Emosi
Pemahaman dan pengaturan emosi akan meningkatkan
kemampuan sosial anak dan kemampuan untuk menjalin hubungan
baik dengan orang lain. Hal ini membantu anak dalam mengatur
perilaku dan mengungkap tentang perasaan-perasaan mereka
(Santrock, 2011).
2. Gender
Identitas gender (gender identity) adalah kesadaran yang
berkembang pada masa kanak-kanak awal bahwa seseorang adalah
laki-laki atau perempuan (Papalia, 2009). Identitas gender melibatkan
kesadaran gender seseorang, termasuk pengetahuan, pemahaman, dan
penerimaan sebagai laki-laki atau perempuan. Salah satu aspek
identitas gender adalah adanya pengetahuan bahwa apakah dirinya
seorang anak perempuan atau laki-laki. Pada umumnya anak dapat
mengetahui setelah usia 2,5 tahun (Blakemore, Berenbaum, & Liben,
2009 dalam Santrock, 2011).
Maccoby (2002, dalam Santrock, 2011) menyatakan anak-anak
sudah menunjukkan gambaran bahwa mereka menghabiskan waktu
bersama teman bermain berjenis kelamin sama sejak anak berusia
sekitar 3 tahun. Dari usia 4-12 tahun, gambaran untuk bermain
bersama dalam kelompok yang berjenis kelamin sama meningkat, dan
selama tahun-tahun sekolah dasar, anak-anak menghabiskan sebagian
besar waktu luang mereka bersama anak-anak yang berjenis kelamin
sama.
Faktor gender ini dipengaruhi oleh:
a) Pengaruh Bioloogis
Efek biologis yang berpengaruh adalah kromosom, dan
hormon. Manusia memiliki 46 kromosom yang tersusun dalam
pasangan, yaitu kombinasi kromosom X dan Y. Pada anak
perempuan dua kromosom X, sedangkan pada anak laki-laki
kombinasi kromosom X dan Y. Laki-laki mulai berbeda
dengan perempuan ketika pada kromosom Y dalam embrio
laki-laki memicu perkembangan testis bukan ovarium. Testis
mensekresi sejumlah hormon yang dikenal sebagai
androgen yang menuntun pada perkembangan organ seks laki-
laki. Rendahnya tingkat androgen di embrio perempuan
memungkinkan terjadinya perkembangan normal organ seks
perempuan (Santrock, 2011).
b) Pengaruh Sosial
Pengaruh sosial memiliki peranan dalam membentuk
gender. Anak biasanya memilih model yang dianggap kuat,
dalam hal ini biasanya orang tua menjadi model paling kuat
selain teman sepermainan (Papalia, 2009). Untuk memberikan
pemahaman tentang gender kepada anak, orang tua
memerlukan model untuk menjelaskan hal tersebut.
Penjelasan ini diperlukan untuk menghindari kebingungan peran
gender ketika anak dewasa nanti. Jika sejak usia
prasekolah anak sudah dijelaskan mengenai gendernya, maka
ketika dewasa anak akan mampu untuk menempatkan posisinya.
Sebagai contoh, untuk memberikan pemahaman mengenai
gendernya, anak perempuan dicirikan mengenakan kerudung,
sedangkan anak laki-laki mengenakan peci, sehingga ketika anak
berada dilingkungan sosial sudah bisa dibedakan laki-laki dan
perempuan.
c) Permainan
Permainan adalah sebuah aktivitas yang menyenangkan
dengan terlibat di dalamnya, ketika fungsi serta bentuknya
bervariasi (Santrock, 2011). Bermain adalah pekerjaan seorang
anak, dan hal ini berkontribusi terhadap seluruh aspek
perkembangan. Melalui bermain, anak merangsang indera,
belajar menggunakan otot-otot mereka, mengkoordinasikan
penglihatan dan gerakan, memperoleh penguasaan tubuh, dan
memperoleh berbagai keterampilan baru (Papalia, 2009).
Penelitian Hastuti (2009) yang bertujuan untuk
menganalisis penyelenggaraan stimulasi psikososial pada anak
di kelompok bermain dan pengaruhnya terhadap tumbuh
kembang, menyatakan bahwa kelompok bermain memberikan
pengaruh terhadap perkembangan sosial emosi. Anak yang
mengikuti kelompok bermain, anak dapat menceritakan
perasaannya, memberitahu tentang hal yang ditakutkan,
mengenal etiket makan, menjadi pendengar yang baik, mampu
membereskan alat-alat permainan, tidak membalas memukul
apabila dipukul temannya, serta mau bermain dan ramah
dengan orang yang baru dikenalnya, mampu memilih baju
sendiri, mulai mahir menggunakan toilet, sudah dapat
ditinggalkan orang tua, dan mudah bermain dengan siapa saja.
Tetapi, hampir semua anak akan menangis dan marah apabila
permintaannya tidak dikabulkan.
Penelitian Rudiati (2010) yang bertujuan untuk
menganalisa perbedaan perkembangan psikososial anak TK
dengan playgroup dan tanpa playgroup, dan hasilnya terdapat
perbedaan perkembangan psikososial antara anak TK dengan
kelompok bermain dan tanpa kelompok bermain.
Perkembangan psikososial anak TK dengan kelompok bermain
berada dalam katagori baik sedangkan anak TK tanpa
kelompok bermain dalam katagori kurang baik.
Permainan merupakan sarana untuk mengembangkan
sosialisasi anak-anak dalam mengenal lingkungan, dan orang
lain disekitarnya. Melalui kegiatan bermainan anak mampu
mengembangkan kreativitasnya. Selain itu, dengan ditunjang
sarana dan prasarana untuk bermain, anak-anak mampu
melalui tahap perkembangan sesuai dengan usianya. Selain itu
juga, banyaknya kelompok bermain atau play group yang
tersedia, memudahkan orang tua atau pengasuh dalam
memfasilitasi anak untuk bermain bahkan anak-anak dapat
dipantau perkembangannya.
d) Pengasuhan
Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai
peranan penting dalam pembentukan perkembangan
psikososial anak adalah praktik pengasuhan anak. Keluarga
adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran
anak. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh
budaya yang ada di lingkungannya. Disamping itu, orang tua
juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu didalam memelihara,
membimbing, dan mengarahkan anak-anaknya. Sikap tersebut
tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-
beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu
(Soetjiningsih, 1998).
Pola pengasuhan atau perawatan anak sangat
bergantung pada nilai-nilai yang dimiliki keluarga. Pada
budaya timur seperti Indonesia, peran pengasuhan atau
perawatan lebih banyak dipegang oleh istri atau ibu meskipun
mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama pada
dasarnya tujuan utama pengasuhan adalah:
1) Mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan
kesehatnnya.
2) Memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan
sejalan dengan tahapan perkembangannya.
3) Mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai
dengan nilai agama dan budaya yang diyakini (Supartini,
2004 dalam Utami, 2008).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, orang tuamemiliki
cara yang berbeda-beda dalam mengasuh anak-anaknya. Baumrind
(1971 dalam Santrock, 2011) menggambarkan empat jenis
pengasuhan yaitu:
1) Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) adalah gaya
membatasi dan menghukum ketika orang tua memaksa
anak-anak untuk mengikuti arahan dari orang tua dan di
paksa untuk menghormati pekerjaan serta upaya orang tua.
2) Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) adalah gaya
pengasuhan yang mendorong anak-anak untuk menjadi
mandiri, tetapi masih ada batasan dari orang tua dan orang
tua masih mengontrol tindakan anak-anak.
3) Pengasuhan lalai (neclectful parenting) merupakan gaya
pengasuhan dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam
kehidupan anak-anaknya.
4) Pengasuhan permisif (indulgent parenting) merupakan gaya
pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan
kehidupan anak-anaknya, dan orang tua memberikan
tuntutan pada anak-anak mereka.
Untuk mencapai pengasuhan sesuai, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pola pengasuhan, yaitu:
1) Pengasuh
Pola pengasuhan menjadi terganggu jika pengasuh
menunjukkan sikap:
a. Inkonsistensi
Sikap tidak konsisten terjadi kala pengasuh melakukan
penyimpangan terhadap aturan atau disiplin yang sudah
diterapkan orang tua.
b. Ketidaksiapan pengasuh
Perilaku pengasuh yang suka membentak, mencubit
atau berkata kasar yang mungkin akan ditiru oleh anak.
c. Overprotektif
d. Pengasuh yang menerima dan menerapkan aturan dari
oarng tua sebagaimana adanya, sehingga membuat
anak merasa terkekang.
2) Lingkungan rumah
Lingkungan rumah sekitar seperti tetangga, anak bisa
mendapatkan pengalaman negatif yang akan mempengaruhi
keberlangsungan pola pengasuhan orang tua. Hal tersebut
dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu:
a. Membandingkan
Ketika anak menemukan perbedaan pola pengasuhan
maka anak akan membandingkan dan hal ini bisa
mempengaruhi anak sehingga akan menyebabkan
protes dari anak kepada orang tuanya.
b. Inkonsistensi
Jika anak mendapati toleransi yang berbeda antara
rumah temannya dengan apa yang ditemuinya dirumah
sendiri maka anak kemungkinan akan melanggar
ketetapan yang ada di rumahnya. Hal ini akan
menyebabkan tidak konsistennya pola pengasuhan
yang sudah ditetapkan sebelumnya.
3) Lingkungan sekolah
Sekolah umumnya tidak selalu berpengaruh, tapi bisa
jadi berpengaruh karena faktor berikut ini:
a. Beda peraturan Sebaiknya rumah mengacu pola
pengasuhan yang diterapkan disekolah, karena
umumnya sekolah mengajarkan kebaikan pada anak.
bila pola pengasuhan yang diterapkan berbeda maka
akan menyababkan pola pengasuhan tidak efektir.
b. Pengaruh teman Umumnya anak menganal beragam
perilaku negatif lain yang datang dari teman-temannya,
sehingga terkadang aturan-aturan orang tua hilang
begitu saja (Irfan, 2007 dalam Utami, 2008).
Pengasuhan merupakan salah satu faktor yang
penting dalam tahap perkembangan. Pengasuhan dapat
membentuk bagaimana tingkah laku anak di lingkungan
sosialnya. Pengasuhan terkait dengan orang yang paling
dekat dengan anak, yaitu orang tua. Bagaimana orang
tua memperlakukan anak-anaknya dapat dilihat dari cara
pengasuhan yang digunakan. Sebagai contoh, apabila
orang tua menerapkan pengasuhan yang otoriter, maka
cenderung untuk mengatur semua tindakan anak-
anaknya. Tetapi ketika anak-anak berada di luar
pengawasan orang tua anak seringkali merasa cemas,
gagal melakukan kegiatan, dan kurang mampu
berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya.
e) Hubungan dengan anak lain
Hampir semua karakteristik aktivitas dan perilaku melibatkan
anak lain. Melalui bersaing dan membandingkan diri sendiri
dengan anak lain, anak-anak dapat menilai kompetensi fisik, sosial,
kognitif, dan bahasa, serta dapat memperoleh perasaan diri yang
lebih realistis (Bandura, 1994 dalam Papalia, 2009). Ada beberapa
hubungan yang dijalin dengan anak lain, yaitu:
1) Hubungan dengan saudara kandung
Hubungan dengan saudara kandung meliputi
membantu, berbagi, mengajar, berkelahi, dan bermain.
Saudara kandung dapat bertindak sebagai pemberi dukungan
emosional, rival, dan mitra komunikasi (Howe & Recchina,
2008 dalam Santrock, 2011).
2) Hubungan dengan teman sebaya
Pada saat anak-anak tumbuh dewasa, mereka semakin
banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya yang
seusia atau tingkat kematangannya hampir sama. Kelompok
teman sebaya ini penting untuk menyediakan sumber
informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga.
Anak-anak menerima umpan balik mengenai kemampuan
mereka dari kelompok teman sebaya (Santrock, 2011).
Hurlock (2002) menyebutkan, anak-anak yang
mengikuti pendidikan prasekolah misalnya pendidikan untuk
anak sebelum taman kanak-kanak (Nursery school), pusat
pengasuhan anak pada siang hari (day care center), atau taman
kanak-kanak (kindergarten) biasanya mempunyai sejumlah
besar hubungan sosial yang telah ditentukan dengan anak-anak
yang umurnya sebaya. Anak yang mengikuti pendidikan
prasekolah melakukan penyesuaian yang lebih baik
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengikuti
pendidikan prasekolah.
f) Televisi
Banyak anak menghabiskan lebih banyak waktu di depan
televisi daripada bercakap-cakap dengan orang tuanya. Televisi
adalah salah satu media massa yang paling banyak mempengaruhi
perilaku anak-anak (Santrock, 2002).
Televisi dapat memiliki efek negatif pada anak-anak karena,
televisi menjadikan anak-anak pembelajar pasif. Akan tetapi,
televisi dapat memberikan pengaruh positif terhadap
perkembangan anak, melalui program pendidikan yang akan
diberikan pada anak.
D. Karakteristik Perkembangan Psikososial Anak Usia Sekolah
Menurut Erikson, anak menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua.
2. Menguasai perasaan otonomi, dengan dukungan orang tua dalam imajinasi
dan aktivitas, dan anak berupaya menguasai perasaan inisiatif.
3. Mengembangkan perasaan bersalah ketika orang tua menjadikan anak
merasa bahwa imajinasi dan aktivitasnya tidak dapat diterima.
4. Memiliki perasaan ansietas dan ketakutan ketika pemikiran dan
aktivitasnya tidak sesuai dengan harapan orang tua (Muscari, 2005).
Beberapa karakteristik perkembangan psikososial, antara lain
(Erikson, 1950 dalam Keliat, 2008)
1. Karakteristik sosial
a) Memiliki hubungan dengan orang lain selain orang tua, yang meluas
kepada hubungan anak dengan kakek-nenek, saudara kandung dan
guru-guru di sekolah.
b) Memerlukan interaksi yang teratur dengan teman sebaya untuk
membantu mengembangkan keterampilan sosial.
2. Karakteristik perilaku
Sesuai dengan tugas perkembangannya, anak usia 3-6 tahun
memperlihatkan perilaku sebagai berikut (Keliat, 2008; Kozier, 1995;
Papalia, 2009):
a) Perilaku inisiatif
1) Mengkhayal dan kreatif
Merupakan bagian penting dari tahapan perkembangan anak
usia prasekolah. Anak usia prasekolah memiliki imajinasi atau
khayalan yang aktif dan kreatif. Imajinasi atau khayalan anak usia
prasekolah terjadi ketika anak-anak sedang bermain. Sebagai
contoh, sebuah kursi akan menjadi indah apabila diduduki oleh
raja dan ratu, anak mampu merealisasikan imajinasinya melalui
sebuah gambar (Kozier, 1995).
2) Berinisiatif bermain dengan benda-benda di sekitarnya
Bermain merupakan kegiatan anak yang utama. Ketika anak
sudah mulai bosan dengan mainan yang dimilikinya, anak
berusaha untuk mendapatkan objek permainan yang baru. Untuk
menemukan objek mainan yang baru, anak melihat di lingkungan
sekitarnya apakah ada objek atau benda lain yang dapat
digunakan untuk bermain. Selain itu rasa ingin tahu akan hal baru
yang belum diketahui anak, akan memicu anak untuk bermain
menggunakan benda-benda yang ditemukan di lingkungan
sekitarnya, misalnya ketika anak berada di meja makan melihat
piring, sendok, gelas dan kemudian anak berinisiatif untuk
memukul-mukul benda tersebut.
3) Belajar keterampilan fisik baru
Pemanfaatan gerak aktif ini memudahkan untuk belajar
berbagai macam keterampilan, terutama keterampilan secara
fisik. Keterampilan yang diberikan dapat diberikan ketika
bermain dan keterampilan fisik baru lebih menggunakan
kemampuan motorik kasar anak, seperti melompat, melempar,
berdiri satu kaki (Nugroho, 2009).
4) Menikmati bermain bersama dengan anak seusianya
Anak-anak sering berkumpul bersama untuk bermain. Saling
menjalin hubungan satu sama lain, bertukar barang mainan yang
mereka miliki. Anak-anak usia sekolah terlibat dalam permainan
asosiatif, dimana anak terlibat dalam kegiatan yang terpisah,
tetapi mereka masih dapat berinteraksi dengan bertukar mainan
atau mengomentari perilaku anak-anak yang lain dan anak terlihat
senang ketika bermain bersama teman-temannya, anak terlihat
berbagi mainan dengan temannya (Kozier, 1995).
5) Mudah berpisah dengan orang tua
Anak usia sekolah sudah mulai dapat mengontrol emosinya.
Kemampuan anak usia sekolah mengontrol emosinya tergantung
pada masukan sensori yang diterima anak. Sebagai contoh, ibu
mengatakan akan pergi sebentar dan akan kembali lagi, anak
yang mampu mengontrol emosinya akan meyakinkan dirinya
sendiri bahwa ibu akan datang kembali, selain itu anak terlihat
tenang ketika akan ditinggal oleh orang tua/orang terdekat anak
(Berk, 2000).
6) Mengetahui hal-hal yang salah dan benar, dan mengikuti aturan
Anak dapat mengetahui hal yang salah dan benar, karena sudah
mulai mengikuti perintah, nasihat, aturan yang diberikan
padanya. Anak mudah menyerap perintah yang diberikan,
sehingga ketika anak mengetahui bahwa hal yang dilakukannya
salah, maka anak tidak akan melakukan hal tersebut lagi. Selain
itu, anak juga mulai mengetahui aturan-aturan yang berlaku.
Contohnya, anak mampu mengikuti permainan yang memakai
aturan seperti, bermain ular tangga, bermain petak umpet (Berk,
2000).
7) Mengenal warna
Perkembangan otak pada anak terjadi sangat cepat. Berkaitan
dengan hal tersebut, dengan mengenalkan warna-warna dapat
membantu untuk perkembangan otak sebagai penyerapan daya
ingat anak, terhadap hal-hal yang sudah diajarkan dan dilihat oleh
anak (Nugroho, 2009).
8) Mampu mengerjakan pekerjaan yang sederhana
Anak usia sekolah juga sudah mulai dapat melakukan pekerjaan
yang sederhana. Berkaitan dengan gerak aktif anak, anak dapat
diajarkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang sederhana,
seperti mengajarkan anak untuk membereskan piring dan gelas
yang telah dipergunakan, membereskan mainan yang telah
digunakan (Nugoho, 2009).
b) Perilaku rasa bersalah
1) Tidak percaya diri, malu untuk tampil di depan umum
Anak juga mengalami rasa tidak percaya diri, malu untuk
tampil. Jika anak tidak dibiasakan untuk tampil di depan umum,
anak cenderung untuk menjadi pemalu dan tertutup. Orang tua
atau pengasuh harus mampu menanamkan rasa percaya diri anak
sejak dini. Sebagai contoh, ketika anak bertanya jawablah dengan
bahasa yang mudah, jangan melarang anak untuk bertanya,
karena jika sekali dilarang dapat menimbulkan rasa tidak percaya
untuk bertanya kembali dan dapat menimbulkan rasa bersalah
karena telah bertanya (Santrock, 2002).
2) Pesimis, tidak memiliki cita-cita
Pesimis merupakan pandangan negatif terhadap suatu hal.
Anak merasa tidak mampu melakukan hal yang sama dengan
anak-anak yang lain, atau menjadi bingung ketika ditanya
sesuatu, selain itu anak lebih sering menangis saat menghadapi
permasalahan atau kesulitan kecil, menyerah lebih cepat saat
dihadapkan pada tantangan baru, kurang tekun berusaha
menyelesaikan sebuah permainan. Saat diberikan pertanyaan
“kalau sudah besar, mau jadi apa?” anak akan diam saja terlihat
bingung. Contoh lain ketika anak sedang bermain puzzle, anak
terlihat tidak berusaha untuk menyelesaikannya (Berk, 2000;
Woolfson, 2005).
3) Takut salah dalam melakukan sesuatu
Rasa bersalah merupakan tahapan perkembangan psikososial.
Anak mampu dan ingin melakukan hal yang lebih banyak. Pada
saat yang sama, anak-anak belajar bahwa untuk melakukan
sesuatu harus mendapatkan persetujuan agar tujuan yang
diinginkan tercapai. Namun, apabila tidak mendapatkan
persetujuan, anak akan diliputi rasa bersalah atau ketakukan
(Santrock, 2002).
4) Sangat membatasi aktivitasnya, sehingga terkesan malas dan
tidak mempunyai inisiatif
Berhubungan dengan rasa bersalah, pada saat anak diliputi rasa
bersalah atau ketakukan karena hal yang diinginkan tidak
mendapatkan persetujuan, anak menjadi membatasi aktivitasnya,
sehingga anak terlihat tidak memiliki aktivitas. Oleh karena anak
mengingat tujuan yang pernah diajukan ditolak, maka anak tidak
mau meminta persetujuan lagi untuk tujuan berikutnya yang ingin
dicapai (Santrock, 2002).
5) Perilaku agresif
Perilaku agresif adalah perilaku bermusuhan yang ditujukan
untuk melukai atau menyakiti. Para psikolog mendefinisikan
perilaku agresi sebagai perilaku yang ditujukan untuk menyakiti
atau menghancurkan. Perilaku agresi dapat secara verbal maupun
fisik. Objek untuk menunjukkan perilaku agresi ini biasanya pada
manusia, hewan atau benda-benda di sekitarnya (Craig, 1992).

A. PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
1) Pengertian Perkembangan
2) Pengertian Perkembangan Psikososial
3) Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Psikososial
4) Karakteristik Perkembangan Psikososial Anak Usia Sekolah

B. PRESTASI BELAJAR
1) Pengertian
2) Pengukuran prestasi belajar
3) Faktor faktor yang memperngaruhi prestasi belajar
4) Minat belajar
KERANGKA TEORI

Faktor – Faktor Yang


Mempengaruhi
Perkembangan: Pengukuran Pretasi Belajar
Karakteristik
1. Diri Perkembangan Psikososial ……
2. Gender Anak Usia Sekolah:
3. Permainan
1. Karakterisrik Sosial
4. Pengasuhan
2. Karakteristik Perilaku
5. Hubungan dengan anak
lain
6. Televisi

PERKEMBANGAN
PSIKOSOSIAL Prestasi Belajar

Minat Belajar:
Faktor – Faktor Yang …….
Memperngaruhi Prestasi
Belajar:
……
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai