Anda di halaman 1dari 4

TUGAS KESIAPSIAGAAN BELA NEGARA

SIFAT TUGAS : INDIVIDU Nama : MITANIA


IKITA SARI
Pengantar :
Persatuan dan keutuhan bangsa merupakan salah satu syarat tercapainya cita-cita bangsa dan
tujuan bernegara. Sejarah mencatat, dari zaman kemerdekaan, orde lama, orde baru sampai orde
reformasi, masih saja terus terjadi gejolak di beberapa wilayah Indonesia yang mengarah pada
disintegrasi bangsa bahkan keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI. Sejak Indonesia
merdeka sampai saat ini, yang sudah tujuh kali berganti kepemimpinan, berbagai upaya terus
dilakukan untuk meredam dan merangkul gerakan disintegratif dan separatif, antara lain dengan
pendekatan struktural, hukum dan kultural, serta program pemerataan pembangunan untuk
memenuhi rasa keadilan, baik pembangunan fisik maupun non fisik. Namun demikian, kejadian
tersebut masih saja terjadi, misalnya Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka
yang gejolaknya belum hilang sampai sekarang, juga adanya tawuran antar pelajar, antar suku
dan antar kampung.
TUGAS :
1) Carilah kliping berita tentang tawuran antar suku atau antar kampung, beri pengantar atau
pendahuluan terkait berita tersebut
2) Analisa masalah yang terjadi, kaitkan dengan nilai-nilai wawasan kebangsaan, isu
kontemporer dan bela negara
3) Beri simpulan dan saran
Jawab

Suku Dani dan Suku Moni di Timika Perang


Lagi
Liputan6.com, Timika - Warga Suku Moni dan Suku Dani sudah bersiap-siap untuk perang di Distrik
Kuala Kencana, Kampung Jayanti, Timika, Papua. Masing-masing kubu juga melengkapi diri dengan
busur dan anak panah yang siap dilontarkan ke arah lawan perang. Tak hanya di ruang terbuka,
perang juga berlangsung hingga ke dalam hutan.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Malam SCTV, Rabu (23/4/2014), bentrokan yang terjadi untuk
kesekian kali ini dipicu rebutan lokasi lahan untuk Jalan Trans Nabire. Padahal ke-2 suku itu sudah
pernah melakukan upacara perdamaian sesuai adat adat pegunungan tengah Papua yaitu dengan cara
bakar batu. Namun ternyata perang kembali pecaj kendati pemicu utama soal rebutan lahan untuk
Jalan Trans Nabire.
Perang kali ini terjadi karena 1 warga Suku Dani meninggal dunia. Korban meninggal akibat terkena
panah pada Senin 22 April 2014 sehingga perang pecah Selasa pagi 23 April 2014, dan baru usai
siang hari.

Aparat gabungan dari TNI dan polri diterjunkan ke lokasi untuk menghentikan bentrokan, termasuk
dengan cara melepaskan tembakan peringatan. Tapi hal itu tidak dihiraukan meski sudah
dipertemukan tokoh adat ke-2 suku dan belum ada titik temu penyelesaian karena mereka masih
ingin terus bertikai.

Akibat perang antar suku ini, belasan orang dari ke-2 belah pihak mengalami luka-luka. Mereka
dievakuasi ke rumah sakit yang berbeda di Timika. Sebenarnya akibat bentrokan yang sudah
berlangsung sejak 3 bulan terakhir belasan orang meninggal dunia dan ratusan orang dari ke-2 kubu
mengalami luka-luka. Namun ke-2 kelompok masih tetap melanjutkan perang yang entah sampai
kapan akan berakhir. (Muhammad Ali)
https://www.liputan6.com/news/read/2040532/suku-dani-dan-suku-moni-di-timika-perang-lagi

1. Pendahuluan
Berita yang saya angkat kali ini adalah berita tentang peperangan antar Suku Dani dan Suku
Moni di Timika, Papua. Sudah sering terdengar di telinga kita bahwa kedua suku di Papua
tersebut acapkali terlibat bentrok atau peperangan yang berujung pada hilangnya nyawa. Papua
adalah salah satu provinsi di Indonesia yang masih sangat sedikit tersentuh moderenisasi,
masyarakatnya masih banyak yang tinggal dipedalaman dan cenderung menolak modernisasi
yang datang. Masyarakat Papua mayoritas masih dikatakan primitif karena masih memegang
teguhnya apa yang diturunkan nenek moyang termasuk meniru cara nenek moyang dalam
menyelesaikan masalah dengan cara perang dengan menggunakan senjata (pisau belati, busur,
panah, dll). Setiap terjadi suatu masalah masyarakat suku adat Papua menetapkan babi sebagai
denda yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan dan jika tidak dituruti maka terjadilah
perang antar suku. Selain itu jika ada anggota mereka meninggal karena ulah suku lain maka
mereka akan membalas membunuh anggota lain tersebut, bagi mereka nyawa harus dibayar
dengan nyawa yang setimpal atau setara. Papua masih menyimpan banyak permasalahan sosial
termasuk yang sering diungkap ke permukaan adalah permasalahan berupa konflik atau perang
antar suku. Meskipun mereka sama-sama dalam naungan budaya Papua namun kebudayaan
mereka berbeda, primodial mereka sangat tinggi terhadap sukunya masing-masing, ketika ada
seseorang atau sesuatu dari bagian sukunya merasa dirugikan bahkan sekecil apapun oleh suku
lain, mereka akan merasa turut dirugikan hingga akhirnya masalah sepele/kecil pun bisa berakhir
perang diantara suku tersebut. Permasalahan masa lalu dalam internal antar suku pun kerap kali
masih diungkit hingga sekarang. Penyelesaian secara damai pun sulit untuk dilakukan karena
mereka memilih untuk menyelesaikan masalah dengan cara adat mereka sendiri.
2. Analisis Masalah
Suku Dani dan Suku Moni adalah dua diantara banyak suku asli Papua yang memiliki budaya
perang sangat tinggi. Konflik yang terjadi adalah perebutan lahan untuk Jalan Trans Nabire di
daerah Timika. Meskipun sebenarnya telah ada perjanjian damai, namun pada kenyataan konflik
perebutan wilayah masih saja berlanjut. Perang berakhir dengan adanya pembubaran paksa oleh
pemerintah setempat dan banyak memakan korban tewas serta ratusan warga luka akibat benda-
benda tajam. Selanjutnya pemerintah setempat membentuk satuan tugas (satgas) yang berfokus
untuk menyelesaikan perang tersebut. Namun ternyata konflik tersebut tetap masih berlanjut.
Perang antar suku Dani dan suku Moni termasuk dalam indikator serangan bersenjata. Serangan
bersenjata ditandai dengan adanya pertumpahan darah, pergulatan fisik maupun perusakan
barang-barang. Serangan bersenjata yang dilakukan suku Dani maupun suku Moni bertujuan
untuk kepentingan mempertahankan wilayah yang diklaim oleh masing-masing pihak. Di
Indonesia terdapat suatu pengakuan yaitu “Pertama Kami putra dan putri Indonesia, mengaku
bertumpah darah yang satu tanah Indonesia. Kedua Kami putra dan putri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia menjujung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Pengakuan tersebut menjadi consensus umum bagi
masyarakat Indonesia. Jika pengakuan tersebut benar-benar dihayati oleh setiap masyarakat
Indonesia maka akan menjadi suatu alat integrasi yang luar biasa dan tidak ada lagi konflik
bahkan perang seperti yang terjadi di suku Dani dengan suku Moni. Sebagai
3. Kesimpulan dan Saran
Dalam kenyataannya untuk menangani perang antara suku Dani dan suku Moni pemerintah
hanya melakukan upaya represif padahal konflik sejenis ini relatif sering terjadi di Papua.
Pedamaian perang suku yang dilakukan oleh Pemda dan lembaga kemasyarakatan pada dasarnya
memiliki pola penanganan yang sama. Perang suku dilihat sebagai suatu tindakan yang negative,
kriminal dan bertentangan dengan hukum. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus
dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran pemda dan lembaga
kemasyarakatan tidak lebih dari seorang polisi penjaga yang hanya melerai dan menghentikan
pertikaian. Penanganan konflik seperti diatas bisa saja menyelesaikan masalah namun tetap
memiliki kelemahan. Pola penanganan semacam ini bersifat parsial atau hanya efektif untuk satu
kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Meskipun perdamaian
secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang
terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali
terjadi. Penanganan secara adat juga akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi
(kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai
konflik sosial. Ketika kultur setiap suku yang ada di pedalaman Papua terus menerus
dipertahankan dan mendapat legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku
akan terus menerus terjadi. Penanganan perang antara suku Dani dan suku Moni yang dilakukan
pemda dengan membentuk satuan tugas atau satgas, mempertemukan kedua pihak yang bertikai
dengan dijembatani pihak ketiga serta upacara bakar batu seperti adat di Papua benar bisa
menghentikan konflik yang terjadi. Segala upaya tersebut sebagai upaya preventif bisa dikatakan
cukup efektif namun tetap tidak bisa menghapus permasalahan hingga ke akarnya, permasalahan
baru yang serupa sangat mungkin terjadi lagi dikemudia hari.
Solusi yang paling tepat untuk menghapus budaya perang antar suku ini adalah dengan
mengubah mindset masyarakat Papua. Pemerintah harus berupaya lebih keras untuk melakukan
pendekatan dengan masyarakat Papua secara keseluruhan bahkan hingga ke masyarakat
pedalaman yang masih sangat primitif. Upaya untuk mengubah mindset ini memerlukan proses
dan kerjasama dari berbagai bidang mulai agama, pendidikan serta pemerintah agar mampu
mengubah masyarakat Papua menjadi masyarakat yang lebih rasional, potitif dan openmind.
Masyarakat Papua secara menyeluruh harus diedukasi tentang bagaimana memisahkan pesoalan
pribadi dengan persoalan kelompok dan perlahan menghapus primordialisme yang berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai