Anda di halaman 1dari 78

BISMILLAHIRAAHMANIRAHIM…

Asuhan Keperawatan pada Kegawatan Mata dan Telinga


By : Rizkiyah Ayu Wulandari
11161040000025
Learning Objective
• Asuhan keperawatan pada kegawatan mata dan telinga (trauma pada mata, glaucoma, retinal
detachment, epistaksis, fraktur tulang hidung, trauma membrane tympani)
1. Definisi
2. Patofisiologi
3. Manifestasi
4. Pemeriksaan diagnostic
5. Penanganan medis
6. Asuhan keperawatan
TRAUMA PADA MATA
DEFINISI

Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak sengaja


yang dapat merusak jaringan pada bola mata, kelopak mata,
saraf mata, dan atau rongga orbit karena adanya benda tajam
atau tumpul yang mengenai mata dengan keras, cepat ataupun
lambat, dan dapat mengakibatkan kebutaan unilateral
(Augsburger & Asbury, 2014).
ETIOLOGI
• Trauma Mekanik
1.Trauma tajam
Selain menimbulkan perlukaan dapat juga disertai tertinggalnya benda asing didalam mata. Benda asing yang tertinggal dapat
bersifat tidak beracun dan beracun. Benda beracun contohnya logam besi, tembaga serta bahan dari tumbuhan misalnya potongan
kayu. Bahan tidak beracun seperti pasir, kaca. Bahan tidak beracun dapat pula menimbulkan infeksi jika tercemar oleh kuman.
2.Trauma tumpul
Dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan didalam bola mata,
terlepasnya selaput jala (retina) atau sampai terputusnya saraf penglihatan sehingga menimbulkan kebutaan menetap.
• Trauma Fisika
1.Trauma radiasi sinar inframerah
2.Trauma radiasi sinar ultraviolet
3.Trauma radiasi sinar x dan sinar terionisasi
Manifestasi Klinis
A. Trauma Tumpul
1.Hematoma kelopak
Kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul. Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kelopak dan berbentuk seperti
kacamata yang sedang dipakai, disebut hematoma kacamata. Hematoma kacamata terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika. Pecahnya
arteri oftalmika menyebabkan darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita.
2.Edema konjungtiva
Edema konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtivanya.
3.Hematoma subkonjungtiva
Karena pecahnya pembuluh darah sebagai akibat terkena hantaman benda tumpul dan keras
4.Edema kornea
Memberikan keluhan berupa penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan
terlihat keruh dengan uji plasedo yang positif.
5.Erosi kornea
Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali setelah erosi merusak kornea yang memiliki serat sensibel yang lebih banyak, mata berair
fotofobia dan penglihatan akan tergangggu oleh media yang keruh. Pada kornea akan terlihat adanya defek epitel kornea yang bila diberi
fuorosein akan berwarna hijau.
6. Iridoplegia
9.Subluksasi lensa
Pasien akan dengan sukar melihat dekat karena gangguan
akomodasi dan merasakan silau karena gangguan pengaturan Pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang.
masuknya cahaya ke pupil. Pupil akan terlihat tidak Lensa menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih
sama/anisokor dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil miopi.
biasanya tidak bereaksi terhadap cahaya.
B. Trauma Tajam
7. Hifema
• Tajam penglihatan menurun
Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan
blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun dan • Tekanan bola mata yang rendah
jika pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul dibagian
bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh ruang • Bilik mata dangkal
bilik mata depan.
• Bentuk dan letak pupil yang
8. Iridosiklitis
berubah
Pada mata akan terlihat mata merah, karena ada darah yang
berada di dalam bilik mata depan maka akan ada suara dan • Terlihat adanya ruptur pada kornea
pupil mata yang mengecil yang mengakibatkan visus menurun atau sclera
C. Trauma Fisik
• Trauma sinar inframerah
• Dapat terjadi penurunan penglihatan dan mata terasa panas
• Trauma sinar ultra violet
• Pasien akan merasa mata sangat sakit, terasa seperti ada pasir.
• Trama sinar ionisasi dan sinar x
• Kerusakan kornea yang permanen, katarak, rusaknya retina, perdarahan, mikroaneuris mata dan eksudat.
PATOFISIOLOGI Trauma mekanik,
fisika, kimiawi

TRAUMA TEMBUS BOLA MATA

Palpebra Saluran Lakrimalis Sklera Kornea Lensa Iris Pupil Retina


Congjungtiva
melemahn
Mengenai Merusak sistem Ruptur penurunan mengganggu Menurunkan Iridodialisis ya otot-
perd
levator pengaliran air mata pembuluh tekana bola mata daya refraksi otot arah
fungsi dan sefris an
apaneurosis darah sfinter
penglihatan pupil

Ptosis yang permanen Perdarahan penglihatan midriasis


sub menurun fotopsia
konjungtiva Nyeri

Gangguan
Penglihatan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiology pada trauma mata sangat membantu dalam menegakkan diagnosa, terutama bila ada benda asing.
Pemeriksaan ultra sonographi untuk menentukan letaknya, dengan pemeriksaan ini dapat diketahui benda tersebut pada
bilik mata depan, lensa, retina.
• Pemeriksaan “Computed Tomography” (CT)
Suatu tomogram dengan menggunakan komputer dan dapat dibuat “scanning” dari organ tersebut.
• Pengukuran tekanan IOL dengan tonography
Mengkaji nilai normal tekanan bola mata (normal 12-25 mmHg).
• Pengkajian dengan menggunakan optalmoskop
Mengkaji struktur internal dari okuler, papiledema, retina hemoragi.
• Pemeriksaan Laboratorium
Seperti : SDP, leukosit , kemungkinan adanya infeksi sekunder.
• Pemeriksaan kultur
Untuk mengetahui jenis kumannya
PENATALAKSANAAN TRAUMA MATA
• Palpebra
i. Hematoma palpebra, pengobatan dilakukan dengan pemberian kompres dingin untuk
menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan
absorbsi darah dapat dilakukan kompres hangat kelopak mata.(FKUI Edisi V, 2014)
ii. Abrasi dan laserasi palpebra, pengobatan dilakukan apabila terjadi abrasi karena partikel benda
asing harus segera dikeluarkan dengan irigasi. Luka kemudian diirigasi dengan saline serta
ditutup dengan salep antibiotik dan kasa steril. Bila terjadi laserasi palpebra maka dilakukan
tindakan bedah. (Ausburger, 2014)
• Konjungtiva
i. Edema konjungtiva, pengobatan dilakukan dengan pemberian dekongestan untuk mencegah
pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva. Bila terjadi kemotik konjungtiva dapat
dilakukan insisi untuk mengeluarkan cairan konjungtiva. (FKUI Edisi V, 2014)
ii. Hematoma subkonjungtiva, pengobatan dini ialah dengan kompres hangat. Perdarahan
subkonjungtva akan hilang atau diabsorbsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati. (FKUI Edisi V, 2014)
• Kornea
i. Edema kornea, pengobatan dilakukan dengan pemberian larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau garam
hipertonik 2-8 %, glukosa 40% dan larutan albumin. Bila terjadi peninggian tekanan bola mata maka diberikan
asetazolamida. Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa
kontak. (FKUI Edisi V, 2014)
ii. Erosi kornea, pengobatan dilakukan dengan pemberian anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam
penglihatan dan menghilangkan rasa sakit. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotik sprektrum luas
seperti kloramfenikol dan sulfasetamid tetes mata. Bila mengabitkan spasme siliar, maka diberikan siklopegik aksi-
pendek seperti tropikmida. (FKUI Edisi V, 2014)

• Uvea
i. Hifema, pengobatan dilakukan dengan parasentesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan
pada pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan
berwarna hitam atau bila 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang. (FKUI Edisi V, 2014)
ii. Iridodialisis, pengobatan dilakukan dengan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.
(FKUI Edisi V, 2014)
iii. Iridoplegia, pengobatan dilakukan dengan tirah baring untuk mencegah terjadinya kelelahan sfingter. (FKUI
Edisi V, 2014)
iv. Iridosiklitis, bila terjadi uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terjadi infeksi
berat, maka dapat diberikan steroid sistemik. (FKUI Edisi V, 2014 )
• Lensa

i. Luksasi lensa anterior, penatalaksanaan awal berupa azetasolamida untuk menurunkan tekanan bola
mata dan ekstraksi lensa. (FKUI Edisi V, 2014)
ii. Luksasi lensa posterior, pengobatan dilakukan dengan ekstraksi lensa. (FKUI Edisi V, 2014)
iii. Katarak trauma, pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak
sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada
anak dapat dipasang lenda intraokuler primer atau sekunder. Ekstraksilensa dilakukan bila terjadi penyulit
seperti glaukoma dan uveitis. (FKUI Edisi V, 2014)
• Benda asing intraokular
Benda asing pada bagian superfisial cukup dengan irigasi, diambil dengan pemberian anstesi topikal
sebelumnya. Sementara benda asing intraokular ialah dengan mengeluarkannya dan dilakukan dengan
perencanaan pembedahan agar tidak memberikan kerusakan yang lebih berat terhadap bola mata. (FKUI
Edisi V, 2014)
• Trauma kimia
i. Trauma asam, pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan
selama mungkin untuk menghilangkan larutan bahan yang mengakibatkan trauma (FKUI Edisi
V, 2014)
ii. Trauma basa, pengobatan dilakukan dengan secepatnya melakukan
irigasi dengan garam fisiologik. Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin, Penderita diberi
siklopegiam antibiotika, EDTA untuk mengikat basa. (FKUI Edisi V, 2014)
• Trauma radiasi
i. Trauma sinar infra merah, pengobatan dilakukan dengan steroid sistemik dan lokal diberikan
untuk mencegah terbentuknya jaringan parut pada maukla atau untuk mengurangi gejala
radang yang timbul (FKUI Edisi V, 2014)
ii. Trauma sinar ultra violet, pengobatan dilakukan dengan siklopgia, antibiotik lokal,
analgetik, dana mata ditutup selama 2-3 hari. (FKUI Edisi V, 2014)
Penatalaksanaan pada trauma mata bergantung pada jenis trauma, dibedakan atas
penatalaksanaan secara medikamentosa dan operatif (Augsburger & Asbury, 2014).
ASUHAN KEPERAWATAN
• PENGKAJIAN

1. Identitas pasien meliputi nama, usia (dapat terjadi pada semua usia), 6. Pemeriksaan fisika.
pekerjaan ,jenis kelamin
a. Tanda-tanda Vital (nadi, suhu, tekanan darah, dan pernapasan)
2. Keluhan Utama
b. Pemeriksaan persistem.
Klien biasanya mengeluh adanya penurunan penglihatan, nyeri pada
mata, danketerbatasan gerak mata. B1(Breath) :disertai gangguan pernapasan jika trauma menyebar ke
mukosa hidung.
3. Riwayat penyakit sebelumnya
B2 (Blood) :perdarahan jika trauma melibatkan organ tubuh lain selain
Riwayat penyakit yang mungkin diderita klien seperti DM yang dapat struktur mata.
menyebabkan infeksi yang pada mata sulitsembuh.
B3 (Brain) :pasien merasa pusing atau nyeri karena adanya peningkatan
4. Riwayat penyakit sekarang TIO (tekanan intraokular.

Yang perlu dikaji adalah jenis trauma, bahan yang menyebabkan B4 (Bladder) :kebutuhan eliminasi dalam batas normal.
trauma, lama terkena trauma, dan tindakan apa yangsudah dilakukan
pada saat trauma terjadi dan sebelum dibawa ke RS. B5 (Bowel) : Tidak ditemukan perubahan dalam sistem gastrointestinal
5. Riwayat psikososial B6 (Bone) :ekstremitas atas dan bawah tidak ditemukan adanya
kelainan
Pada umumnya klien mengalami berbagai derajat ansietas, gangguan
konsep diri dan ketakutan akan terjadinyakecacatan mata, gangguan
penglihatan yang menetap atau mungkin kebutaan. Klien juga dapat
mengalami gangguaninteraksi sosial.
Analisa data dan Diagnosa Keperawatan
• SLKI : setelah dilakukan perawatan 1 x 24
jam diharapkan klien memenuhi kh :
Dx 1. : Nyeri Akut bd Agen pencedera fisik
(Trauma pada mata) 1. Keluhan nyeri berkurang
• DS : pasien mengeluh nyeri pada 2. Sikap protektif berkurang
matanya
3. Gelisah berkurang
• DO :
4. Frekuensi nadi membaik
• Tampak kesakitan
5. Pola napas membaik
• Bersikap protektif (waspada )
6. Tekanan darah membaik
• Gelisah
• Frekuensi nadi meningkat
• Pola naas berubah
INTERVENSI

• SIKI : • Terapeutik
• Manajemen nyeri 1.Berikan teknik non farmakologis untuk menguramgi
rasa nyeri
• Tindakan
2.Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
• Observasi
3.Fasilitasi istirahat dan tidur
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi,kualitas,intensitas nyeri • Edukasi
2. Identifikasi skala nyeri 1.Jelaskan penyebab, oeriode dan pemicu nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal 2.Jelaskan strategi meredakan nyeri
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan 3.Anjurkan memonitir nyeri secara mandiri
memperimgan nyeri
4.Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang telah
diberikan • Kolaborasi
6. Monitor efek samping pemggunaan analgetik 1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
GLAUCOMA
DEFINISI
• Glaukoma adalah suatu penyakit di mana tekanan dalam mata
seseorang sangat tinggi akibat hambatan pada penyaluran
cairan dalam mata keluar dari bola mata, sehingga menekan
saraf-saraf mata yang halus dan berpotensi menyebabkan
kerusakan saraf mata. Pada manusia, cairan bola mata selalu
dialirkan secara tetap melalui celah halus (yang disebut
trabeculum) disudut bilik mata yang terletak antara selaput
bening dan selaput pelangi.
ETIOLOGI
• Pada mata normal, ada keseimbangan antara inflow
dan outflow dari cairan bola mata. Ketika arus keluar
diblokir, tekanan intraokular meningkat,
menyebabkan kerusakan saraf optik. Kondisi ini
dikenal sebagai glaukoma.
KLASIFIKASI
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Perimetri
• Alat ini berguna untuk melihat adanya kelainan lapang pandangan 3. Oftalmoskop
yang disebabkan oleh kerusakan saraf optik. Beberapa perimetri
yang digunakan antara lain:
• Oftalmoskopi yaitu pemeriksaan untuk menentukan
a.Perimetri manual: Perimeter Lister, Tangent screen, adanya kerusakan saraf optik berdasarkan penilaian bentuk
PerimeterGoldmann saraf optik2. Rasio cekungan diskus (C/D) digunakan untuk
mencatat ukuran diskus otipus pada penderita glaukoma.
Apabila terdapat peninggian TIO yang signifikan, rasio C/D
b.Perimetri otomatis yang lebih besar dari 0,5 atau adanya asimetris yang
bermakna antara kedua mata, mengidentifikasikan adanya
c.Perimeter Oktopus atropi glaukomatosa.
2. Tonometer 4. Biomikroskopi
• Alat ini digunakan untuk pengukuran TIO. Beberapa tonometri yang • Untuk menentukan kondisi segmen anterior mata, dengan
digunakan antara lain tonometer Schiotz, tonometer aplanasi pemeriksaan ini dapat d itentukan apakah glaukomanya
Goldman, tonometer Pulsair, Tono-Pen, tonometer Perkins, non merupakan glaukoma primer atau sekunder.
kontak pneumotonometer.
5. Gonioskopi
• Tujuan dari gonioskopi adalah mengidentifikasi kelainan
struktur sudut, memperkirakan kedalaman sudut bilik serta
untuk visualisasi sudut pada prosedur operasi.
6. OCT (Optical Coherent Tomography). Alat ini berguna
untuk mengukur ketebalan serabut saraf sekitar papil saraf
PENATALAKSANAAN
• Pengobatan glaukoma sangat tergantung pada jenis glaukoma yang 2. Terapi operatif dan laser
diderita. Penting untuk diingat bahwa glaukoma primer memerlukan
pengawasan dokter seumur hidup. Secara umum pengobatan
glaukoma dapat dibedakan menjadi terapi obat, laser dan operasi a. Iridektomi dan iridotomi perifer
filtrasi. Pada tahap awal biasanya diberikan obat-obatan berupa obat
tetes dan obat minum. Obat tetes yang diberikan harus terus dipakai • Prosedur pilihan untuk mencegah glaukoma sudut tertutup
untuk mengontrol tekanan mata. Apabila dengan obat, glaukoma
belum teratasi maka dapat dilakukan tindakan laser atau operasi. atau setelah serangan akut telah rusak dengan pengobatan
medis. Sebuah lubangYAG laser di iris memungkinkan aliran
1. Medikamentosa air dari posterior ke ruang anterior.
a. Penekanan pembentukan humor aqueus, antara lain:
b.Bedah drainase glaukoma dengan trabekulektomi, goniotomi.
• β adrenegik bloker topikal seperti timolol maleate 0,25 - 0,50 % 2 kali
sehari, betaxolol 0.25% dan 0.5%, levobunolol 0.25% dan 0.5%, • Standar operasi glaukoma untuk menyaring air dari bilik mata
metipranolol 0.3%, dan carteolol 1% depan ke ruang subconjunctival, digunakan paling sering
• Apraklonidin untuk glaukoma sudut terbuka. Antimetabolik seperti 5-
fluorouracil dan C mitomycin digunakan untuk memodulasi
Inhibitor karbonik anhidrase seperti asetazolamid (diamox) oral 250 mg penyembuhan conjuctival dan meningkatkan tingkat
2 kali sehari, diklorofenamid, metazolamid
keberhasilan. Risiko termasuk katarak, hypotony, infeksi dan
b. Meningkatkan aliran keluar humor aqueus seperti: prostaglandin bleb leakage.
analog, golongan parasimpatomimetik, contoh: pilokarpin tetes mata 1
- 4 %, 4-6 kali sehari, karbakol, golongan epinefrin c. Argon Laser Trabeculoplasty (ALT) : Laser untuk meshwork
c. Penurunan volume korpus vitreus. trabecular untuk meningkatkan aliran aqueous.

d. Obat-obat miotik, midriatikum, siklopegik


ASUHAN KEPERAWATAN
• PENGKAJIAN KEPERAWATAN • Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran
cahaya/pelangi sekitar sinar, kehilangan
• Aktivitas / Istirahat : Perubahan aktivitas penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut).
biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan
penglihatan. • Perubahan kacamata/pengobatan tidak
memperbaiki penglihatan. Tanda: Papil
• Makanan / Cairan : Mual, muntah (glaukoma menyempit dan merah/mata keras dengan
akut) kornea berawan. Peningkatan air mata.
• Neurosensori : • Nyeri / Kenyamanan : Ketidaknyamanan
ringan/mata berair (glaukoma kronis), Nyeri
• Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada dan
terang menyebabkan silau dengan kehilangan sekitar mata, sakit kepala (glaukoma akut).
bertahap penglihatan perifer, kesulitan
memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di • Penyuluhan / Pembelajaran: Riwayat keluarga
ruang gelap (katarak). glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.
• Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor
(contoh: peningkatan tekanan vena),
ketidakseimbangan endokrin.
ANALISA DATA DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
Analisa data Masalah Etiologi Kondisi klinis terkait
DO:
 Tampak meringis Nyeri Akut Agen pencedera fisiologis Glaukoma
 Beraikap protektif
(misalnya waspada posisi
menghindari)
 Gelisah
 Frekuensi nadi
meningkat
 Sulit tidur
DS:
 Mengeluh nyeri
DO:
 Diatorsi sensori Gangguan Persepsi Sensori Gangguan Penglihatan Glaukoma
 Respons tidak sesuai
 Konsentrasi memburuk
DS:
 Pasien mengeluh
penglihatannya kabur.
TUJUAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx SLKI SIKI
1. Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan 1. Manajemen nyeri
selama 1x24 jam pasien diharapkan dapat
Nyeri akut a. Observasi
mengatasi nyeri dengan;
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
1. Mengontrol tingkat nyeri, dengan KH:
 Identifikasi skala nyeri
 Keluhan nyeri menurun
 Identifikasi respon nyeri non-verbal
 Meringis menurun
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Gelisah menurun
a. Terapeutik
 Kesulitan tidur menurun
 Berikan teknik jon-farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri; terapi musik, terapi pijat,
 Pupil dilatasi menurun
arimaterapi, terapi relaksasi, dll.
 Mual muntah menurun
 Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri
 Frekuensi nadi membaik
 Fasilitiasi istirahat dan tidur
 Fokus membaik
a. Edukasi
 Pola tidur membaik
 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
1. Mengontrol nyeri dengan KH:
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Melaporkan nyeri terkontrol
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Kemampuan mengenali onset nyeri

 Kemampuan mengenali penyebab nyeri

 Kemampuan menggunakan teknik non-


farmakologis
 Dukungan orang terdekat
a. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
1. Pemantauan nyeri
a. Observasi
Monitor kualitas nyeri (misalnya terasa tajam, tumpul, diremas-remas,
ditimpa beban berat)
Monitor durasi dan frekuensi nyeri serta lokasi dan penyebaran nyeri
a. Terapeutik
Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
Dokumentasikan hasil pemantauan
a. Edukasi
Jelaskan tujuan da prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
2.Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1.Dukungan pengungkapan kebutuhan
Persepsi Sensori asuhan keperawatan selama • Observasi
1x24 jam pasien diharapkan Periksa gangguan komunikasi verbal (tidak mampu berbicara
klien dapat: atau tidak mampu mengekspresikan pikiran secara verbal)
Persepsi sensori • Terapeutik
Distorsi sensosi tidak ada Ciptakan lingkungan yang tenang
Konsentrasi meningkat Hindari berbicara keras
Fungsi sensori Jadwalkan waktu istirahat sebelum waktu kunjungan dan
Ketajaman penglihatan tindakan terapi lainnya
meningkat. • Edukasi
Anjurkan keluarga dan staf mengajak bicara
2. Edukasi perawatan diri
• Observasi
Monitor tingkat kemandirian
Identifikasi akebutuhan alat bantu kebersihan diri
• Terapeutik
Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
Jadwalkan rutinitas perawatan diri
• Edukasi
anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai
kemampuan
3.Manajemen stress
Pastikan asupan nutrisi yang adekuat untuk
• Observasi meningkatkan resistensi tubuh terhadap stress
Identifikasi tingkat stress Hindari makanan yang mengandung kafein,
garam, dan lemak.
Identifikasi stressor
• Edukasi
• Terapeutik
Anjurkan mengatur waktu untuk mengurangi
lakukan reduksi ansietas; TND sebelum prosedur, kejadian stress
lalu berikan informasi mengenai prosedur
Anjurkan latihan fisik untuk meningkatkan
Lakukan manajemen pengendalian marah, jika kesehatan biologis dan emosional 30 menit tiga
perlu kali dalam seminggu
Pahami reaksi marah terhadap stressor Anjurkan menggunakan tehnik menurunkan stress
yang sesuai untuk diterapkan di rumah sakit
Bicarakan perasaan marah, sumber, dan makna maupun pada situasi lainnya.
marah
Ajarkan teknik menurunkan stress (misalnya
Berikan kesempatan untuk menenangkan diri latihan pernafasan, masase, terapi murattal, terapi
musik, terapi tertawa, dll).
Berikan waktu istirahat dan tidur yang cukup
untuk mengembalikan tingkat energi
Gunakan metode untuk meningkatkan
kenyamanan dan ketenangan spiritual
ABLATIO RETINA
DEFINISI

• Ablasio retina merupakan keadaan lepasnya


retina dari koroid, suatu membran yang
mengandung banyak pembuluh darah yang
terletak diantara retina dan sklera (bagian “putih”
mata)
Penyakit vaskular, radang,
Terdapat jaringan fibrosis atau parut di
Trauma neoplasma retina, epitel
Dengan mata : permukaan retina
pigmen & koroid Kelainan patologis
1. Mata bermiopia Ablatio
vitreoretinal
Robekan di retina 2. Pasca retinitis Retina
Menarik retina
3. Retina berdegenerasi Kebocoran pembuluh darah Traksi
pd bag. perifer
Cairan masuk ke
ruangan subretina Terakumulasi di cairan Merobek retina
subretinal
Terjadi dorongan oleh Ruangan subretina terisi
cairan vitreous yang Ablatio Retina Eksudatif cairan vitreous
masuk

Kombinasi Ablatio
Terlepasnya retina Retina Regmatogen
dari lapisan epitel dan Traksi
pigmen koroid

Ablatio Retina
Regmatogenesa

Retina tidak bisa


Suplai O2 & nutrisi ke Kematian Cahaya yang
mengkonversika
datang tidak bisa Kebutaan
retina yang terputus jaringan n gambar mjd
difokuskan
impuls elektrik
Manifestasi Klinis
• Flashes (photopsia)
• Gejala yang timbul paling jelas dalam keadan gelap. Gejala ini cenderung terjadi terutama sebelum tidur malam.
Kilatan cahaya (flashes) biasanya terlihat pada lapangan pandang perifer. Kilatan cahaya muncul karena vitreus
telah menarik retina, menghasilkan sensasi kilatan cahaya.
• Floaters
• Jika titik hitam bertambah besar dan muncul tiba-tiba, maka ini menjadi tanda signifikan suatu keadaan
patologis. Untuk beberapa alasan, pasien sering menggambarkan gejala ini seperti berudu atau bahkan sarang
laba-laba. Karena adanya kombinasi gejala floaters dan kilatan cahaya. Kilatan cahaya dan floaters muncul
karena vitreus telah menarik retina, menghasilkan sensasi kilatan cahaya, dan sering ketika robekan terjadi akan
terjadi perdarahan ringan ke dalam vitreus yang menyebabkan munculnya bayangan bintik hitam. Ketika kedua
gejala ini muncul, maka mata harus diperiksa secara detail dan lengkap hingga ditemukan dimana lokasi robekan
retina. Terkadang, robekan kecil dapat menyebabkan perdarahan vitreus yang luas yang menyebabkan kebutaan
mendadak.
• Shadows
• Saat robekan retina terjadi, dalam beberapa saat gejala akan berkurang, tetapi dalam kurun waktu beberapa hari
hingga tahunan akan muncul bayangan hitam pada lapangan pandang perifer. Jika retina yang terlepas berada
pada bagian atas, maka bayangan akan terlihat pada lapangan pandang bagian bawah dan dapat membaik
secara spontan dengan tirah baring, terutama setelah tirah baring pagi hari. Kehilangan penglihatan sentral atau
pandangan kabur dapat muncul jika fovea ikut terlibat.
Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan Oftamologi 3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Visus tajam penglihatan a. Pemeriksaan laboratorium
b. Pemeriksaan lapang pandang. Pemeriksaan b. Pemeriksaan ultrasonografi
dapat dilakukan dengan:
c. Respon reflex pupil
Pemeriksaan konfontrasi, yaitu
pemeriksaan dengan melakukan perbandingan d. Gangguan pengenalan warna
lapang pandang pasien dengan pemeriksa
• Hasil pemeriksaan:
Pemeriksaan perimeter dan
kampimetri, lapang pandang normal adalah 90 a. Visus atau salah satu lapang pandang
derajat temporal, 50 derajat atas, 50 derajat memburuk
nasal dan 65 derajat ke bawah b. Fundus reflex hilang
2. Pemeriksaan funduskopi c. Retina terangkat, terlihat abu-abu,
Retina tampak keabu-abuan yang d. Terkadang robekan retina berwarna merah
menutupi gambaran vaskuler koroid. dapat dilihat langsung pada pemeriksaan
funduskopi
Penanganan farmakologis
• 1. Prosedur laser : Untuk menangani ablasio retina eksudatif/serosa sehubungan dengan
proses yang berhubungan dengan tumor atau inflamasi yang menimbulkan cairan subretina
yang tanpa robekan retina. Tujuannya untuk membentuk jaringan parut pada retina
sehingga melekatkannya ke epitel berpigmen.
• 2. Pembedahan : Retinopati diabetika /trauma dengan perdarahan vitreus memerlukan
pembedahan vitreus untuk mengurangi gaya tarik pada retina yang ditimbulkan. Pelipatan
(buckling) sklera merupakan prosedur bedah primer untuk melekatkan kembali retina.
• 3. Krioterapi : transkleral Dilakukan pada sekitar tiap robekan retina menghasilkan
adhesi korioretina yang melipat robekan sehingga cairan vitreus tak mampu lagi memasuki
rongga subretina. Sebuah/ beberapa silikon (pengunci) dijahitkan dan dilipatkan ke dalam
skler, secara fisik akan mengindensi/melipat sklera, koroid, danlapisan fotosensitif ke epitel
berpigmen, menahan robekan ketika retina dapat melekat kembali ke jaringan pendukung
dibawahnya, maka fungsi fisiologisnya ormalnya dapat dikembalikan.
Penanganan non farmakologis
A. Tirah baring dan aktivitas dibatasi
B. Jika terdapat gelombang udara di dalam mata, posisi yang dianjurkan harus
dipertahankan sehingga mampu memberikan tamponade yang efektif pada
robekan retina
C. Pasien tidak boleh berbaring telentang
Asuhan keperawatan
Pengkajian Pemeriksaan Fisik
• Klien mengeluh tiba tiba melihat • Kaji visus (tajam penglihatan) dan lapang pandang.
kilatan cahaya terang dan bintik Hilangnya lapang pandang disebabkan oleh
bintik hitam yang berterbangan di menyebarnya cairan sub retina ke daerah ekuator
ruang pandang • Pemeriksaan oftalmoskopik indirek yaitu memberi
cahaya yang sangat terang pada pupil yang
• Klien mengeluh melihat bayangan dilebarkan dengan menggunakan lensa cembung
atau tirai yang menutupi lapang untuk memeriksa ada tidaknya robekan retina.
penglihatan Area lepasnya retina dapat tampak sebagai
gambaran abu abu kebiruan, dimana normalnya
• Klien bisa mengalami kebutaan harusnya warna merah muda
sementara jika robekan retina besar • Depressor sklera, Digunakan secara eksternal pada
pada hampir keseluruhan. kelopak mata untuk membantu memutar bola
mata dan untuk memberi tekanan pada retina
untuk meningkatkan lapang pandang pemeriksaan
saat oftalmoskopik.
Diagnosa keperawatan
• Resiko jatuh ditandai dengan Gangguan penglihatan (Ablasio Retina)
• Data subjektif
1. Ps mengatakan adanya Flashes (photopsia) yaitu Kilatan cahaya (flashes)
biasanya terlihat pada lapangan pandang perifer
2. Ps mengatakan adanya Floaters yaitu titik hitam
3. Ps mengatakan adanya Shadows yaitu muncul bayangan hitam pada lapangan
pandang perifer
Data Objektif
1. Nampak perdarahan pada sklera
Intervensi keperawatan
SLKI SIKI
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Pencegahan jatuh
3x24 jam diharapkan jatuh tidak terjadi dengan Identifikasi faktor risiko jatuh (gangguan
KH : penglihatan)
1. Mencegah pasien Jatuh dari tempat tidur Pasang handrail tempat tidur
maupun saat berdiri dan berjalan tidak terjadi Atur tempat tidur mekanis pada posisi terendah
2. Kejadian cedera tidak terjadi 2. Manajemen keselamatan lingkungan
Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan (mis
fisik, biologi dan kimia)
Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan
bahaya dan resiko
Sediakan alat bantu keamanan lingkungan
(pegangan tangan)
EPISTAKSIS
DEFINISI
• Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat
berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga
hidung. Dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).
Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan
yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum.

• Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat berhenti
dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh
pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya
Hipertensi
Bakteri masuk kedalam tubuh
Patofisiologi
Tingginya aliran darah
Mengakibatkan inflamasi
Mengakibatkan SDM bergesekan dgn dinding pembuluh darah
Maka tubuh mengaktifkan respon imun
(untuk memanggil APC dan MHC)
Kegagalan kontraksi pembuluh darah

Pembuluh darah menjadi vasodilatasi


Terjadi perdarahan

Ketika terjadi benturan dari luar (Pada orangtua) membuat perubahan pogresif pada otot tuknika media

Mengenai bagian pleksus Kiesselbach Terjadi fibrosis intersisial

Otot tuknika menjadi jaringan ikat (kolagen)


Mengakibatkan arteri ethmoid
anterior rapuh
Pembuluh darah menjadi kaku

Perdarahan diarea anterior Sehingga terjadi kegagalan vasokontriksi

Perdarahan lama dan susah berhenti


Epistaksis anterior
Epistaksis posterior
Manifestasi
• Gejala bisa dilihat dari sumber pendarahanya :
Epitaksis anterior
• dapat berhenti sendiri
• pendarahannya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis / kebiasaan mengorek hidung
• kebanyakan terjadi pada anak-anak

Epistaksis posterior
• Pendarahannya hebat dan jarang dapat berhenti sendiri
• Sering ditemukan pada penyakit kardiovaskular karena pecahnya arteri sfenopalatina
• Sebagian besar terjadi kedalam faring
• Suatu tampon gagal mengontrol pendarahan
• Nyata dari pemeriksaan hidung bahwa pendarahan terletak di posterior dan superior
Klasifikasi

• Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:


• Epistaksis anterior Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari
pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di
septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga
dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh
dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek
pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi
patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan .
• Epistaksis posterior
• Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler. Epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.
1. Faktor Lokal
ETIOLOGI
• Trauma • Kurangnya faktor koagulasi (trombositopenia, koagulopati
kongenital/di dapat, defisiensi vitamin A, D, E, C, atau K,
• Obat semprot hidung (nasal spray). penyakit liver, gagal ginjal, malnutrisi, polisitemia vera,
multipel mieloma, leukemia) .
• Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti
dekongestan topikal dan kokain • Penyakit kardiovaskular (congestive heart failure, stenosis
katup miral).
• Kelainan vaskular. Seperti kelainan yang dikenal dengan
Wagener’s granulomatosis (kelainan yang didapat) • Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis
(Jeffrey, 2012).
• Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.
2. Faktor Sistemik, Hipertensi tidak berhubungan secara
langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis pada pasien • Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon
hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan adrenokortikosteroid atau hormon mineralokortikoid,
hemostasis dan kekakuan pembuluh darah. Penyebab pheochromocytoma, hyperthyroidism atau
epistaksis yang bersifat sistemik antara lain hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan
hyperparathyroidism.
• Usia. Epistaksis dapat terjadi di semua kelompok umur,
tapi paling dominan berpengaruh pada orang tua (50- 3. Faktor Lingkungan, Angka kejadian epistaksis ditemukan
80tahun) dan anak-anak (2-10 tahun) (Mulla, et al., 2012). meningkat selama bulan musim kemarau, seringkali
dihubungkan dengan perubahan temperatur dan kelembaban
• Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic (Fletcher, 2009). Insiden epistaksis juga terkait ke irama
telangectasia) merupakan kelainan bawaan yang sirkadian, dengan peningkatan di pagi hari dan akhir sore
diturunkan secara autosom dominan. Trauma ringan pada hari.
mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang
hebat. • Kelainan sistemik yang paling sering berhubungan dengan
epistaksis adalah hipertensi. Pada pasien dengan hipertensi
• Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia dan epistaksis dipikirkan bahwa bertambahnya usia
(heparin, warfarin) dan antiplatelets (aspirin, clopidogrel) menginduksi terjadinya fibrosis pada tunica media. Hal ini
bisa menyebabkan gangguan vasokonstriksi yang adekuat
pada pembuluh darah apabila terjadi ruptur.
PENATALAKSANAAN
• Epistaksis Posterior
• Epistaksis Anterior
• Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit
• Kauterisasi dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi dengan
menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal • Tampon Posterior : Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
dengan menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan
kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian
kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh
Bellocq,dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter
dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan
menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi. dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter
Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui
nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah
larutan perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%. tindakan ini.4,5 Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior
larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang
akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi
pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.
pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan
perforasi.Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan • Tampon Balon : Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
elektrokauter atau laser.5 Yang (2005) menggunakan electrokauter pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol
pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya. epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang
dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan.
Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16
Tampon Anterior : Apabila kauter tidak dapat mengontrol F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi
epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi, dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup
maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit
yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan
menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila
antibiotik. Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon
pasien diberikan antibiotik spektrum luas. posterior.
ASKEP
• Pengkajian • Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

• Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, • Pola nutrisi dan metabolisme :

• Riwayat Penyakit sekarang : penyakit yang diderita sekarang • Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung

• Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan. • Pola istirahat dan tidur

• Riwayat penyakit dahulu : • Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.

• Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau • Pola Persepsi dan konsep diri
trauma
• Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri menurun
• Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
• Pola sensorik
• Pernah menderita sakit gigi geraham
• Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilekterus
• Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga
• menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
• yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang. • Pemeriksaan fisik
• Riwayat spikososial • Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
• Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih) • Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).
• Interpersonal : hubungan dengan orang lain. • Data subyektif :

• Pola fungsi kesehatan • Mengeluh badan lemas


ANALISIS DATA
DATA MASALAH

Bersihan jalan napas tidak efektif b.d benda aing


 Perdarahan padahidung dalam jalan napas
 Tampak gelisah
 Penururan tekanan darah
 Peningkatan denyut nadi
Pola napas berubah

Terdapat perdarahan pada hidung Resiko perdarahan b.d trauma


Trauma
INTERVENSI
MASALAH NOC NIC
Bersihan jalan napas tidak efektif b.d benda Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen jalan napas
aing dalam jalan napas 2 x 24 jam diharakan status Bersihan jalan napas -Observasi
tidak dalam jalan napas dengan kriteia hasil :  Monitor pola napas (frekuensi, usaha
- Dyspnea tidak ada napas)
- Gelisah tidak ada  Monitor bunyi tambahan
- Frekuensi napas dan pola napas membaik -Teurapeutik
 Lakukan pengisapan lender < 15s
 Berikan minum hangat
Pemantauan respirasi
Observasi
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 auskultasi bunyi napas
Pengaturan posisi
 Tempatkan posisi teuraeutik (condong
kedepan)
 Posisiskan untuk mempermudah ventilasi

Resiko perdarahan b.d trauma Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pencegahan pendarahan
2 x 24 jam diharakan tingkat perdarahan Observasi
berhenti dengan dengan kriteia hasil :  Monitor tanda gejala pendarahan
Kelembaban membrane mukosa  Segera melapor jika terjadi penderahan
Kelembaban kulit baik  Kolaborasi pemberi obat pengontrol
pendarahan
Discharge planning
Jika epitaksis terjadi lagi
• Untuk dapat menghentika pendarahannnyaperlu dicari dulu sumbernya.
• Biarkan darah mengalir keluar dan jangan sampai mengalir kesaluran napas bawah
• Tampon dengan kasa dibasahi dengan adrenaline dan pntocain . lidoain untuk mengurangi rasa nyeri
• Tampon dibiarkan selama 10-15 menit

•Jikapada perdarahan tidak berhenti, gunakan tampon bellocq . kasa yang di buat bulat/k kotak diameter 3 cm
dengan terikat 3 utas benang.
•Jangan mengorek hidung dengan kuat dan jangan mengeluarkan ingus terlalukuat
•Makan bergizi sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh
•Memastikan penyebab epitaksi dan penanganan awal
FRAKTUR TULANG
HIDUNG
Definisi

• Fraktur adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang (patah tulang) yang


biasanya disebabkan benturan keras. Fraktur tulang hidung dapat mengakibatkan
terhalangnya jalan pernafasan dan deformitas pada hidungFraktur nasal
merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma yang ditandai dengan
patahnya tulang hidung baik sederhana maupun kominunitiva Fraktur nasal
adalah fraktur yang paling sering terjadi pada fraktur kepala leher. Fraktur nasal
umumnya tidak mengancam jiwa, tetapi apabila penanganannya tidak tepat
dapat menimbulkan gangguan fungsi hidung.
• Bagian superior tulang hidung lebih tebal disbanding bagian inferior dan melekat
pada pros frontalis os. maksila. Bagian ini lebih tahan terhadap cedera, bagian
inferior lebih tipis dan lebih luas serta melekat pada kartilago nasalis lateralis
superior. Fraktur nasal sering terjadi pada daerah transisi kedua bagian ini yang
disebut area keystone.
Manifestasi

• Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :


• Depresi atau pergeseran tulang – tulang hidung.
• Terasa lembut saat menyentuh hidung.
• Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.
• Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
• Deformitas hidung.
• Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis)
• Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
• Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung
Tanda-tanda berikut merupakan saat Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya
dimana sebaiknya meminta pertolongan meminta pertolongan ke unit gawat
dokter. Meliputi: darurat :
• Nyeri dan pembengkakan tidak • Perdarahan yang berlangsung lebih dari
menghilang 3x24 jam beberapa menit pada satu atau kedua
lubang Hidung
• Hidung terlihat miring atau melengkung
• Keluar cairan berwarna bening dari lubang
• Sulit bernapas melalui hidung meskipun hidung
reaksi peradangan telah mereda
• Cedera lain pada tubuh dan muka
• Terjadi demam
• Kehilangan kesadaran
• Perdarahan hidung berulang
• Sakit kepala yang hebat
• Muntah yang berulang
• Penurunan indra penglihatan
• Nyeri pada leher
• Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan.
ETIOLOGI

• Fraktur nasal pada orang dewasa dijumpai pada kasus berkelahi, trauma
akibat olahraga, jatuh dan kecelakaan lalu lintas, sedangkan pada anak-anak
sering disebabkan karena bermain dan olahraga.
Beban berlebih
Mengenai Kontaminasi Merangsang
infeksi
Trauma melebihi batas jar lunak lingkungan luar respon inflamasi
elastisitas tulang Merangsang pelepasan
sitokinin
Komponen tulang
tidak bisa menahan
Permeabilitas Merangsang
Diskontuinitas tulang vasodilatasi asam arakidonat

Perubahan bentuk Cairan intravaskuler Merangsang


pada tulang mudah keluar prostaglandin

Mengirimkan sinyal
dislokasi fraktur edema
nyeri

terbuka tertutup nyeri


Patahan tulang Lepasnya lapisan
merobek pemb mukosa hidung yg
darah dari kulit PATOFISIOLOGI
mengandung PD kecil
perdarahan Luka pada Pd Keluar darah
Menghalangi masuknya udara dari O2
luar
KLASIFIKASI
• Tipe fraktur nasal antara lain berupa:
• fraktur depresi yaitu apabila kekuatan trauma dari frontal cukup besar sehingga
menyebabkan open book fracture dimana septum menjadi kolaps dan os. nasal melebar.
Bahkan pada kekuatan trauma yang lebih kuat dapat menyebabkan fraktur komunitif os.
nasal dan pros. Frontalis os maksila menjadi rata dan dorsum nasi menjadi lebar.
• tipe fraktur angulasi atau fraktur bilateral yaitu trauma dari arah lateral yang dapat
menyebabkan fraktur depresi unilateral sisi trauma atau dapat juga pada kedua sisi os.
nasal dan deviasi septum serta fraktur greenstick yang banyak terjadi pada anak (Gambar
3)
Pemeriksaan Diagnostik

• Rhinoskopi anterior jika dibutuhkan untuk melihat deviasi septum Pada


pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan adanya bekuan darah pada lubang
hidung bagian kanan dan kiri, deviasi septum (-), konka membesar dan merah.
• Pada pemeriksaan radiologi pasien ditemukan adanya fraktur pada os nasal
• Pemeriksaan Rongent : Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi,
anterior, posterior lateral.
• CT Scan tulang, fomogram MRI : Untuk melihat dengan jelas daerah yang
mengalami kerusakan.
• Arteriogram (bila terjadi kerusakan vasculer) (Doengoes, 2007).
PENATALAKSANAAN
• Tujuan dari penatalaksanaan fraktur nasal adalah mengembalikan fragmen fraktur kembali ke posisi
seanatomis mungkin dan menghindari komplikasi jangka Panjang Terapi fraktur nasal sangat tergantung
pada beberapa faktor antara lain usia pasien, waktu terjadinya cedera, waktu reposisi, pilihan anestesi dan
teknik reposisi.
• Pertamakali yang harus dilakukan adalah mengontrol perdarahan bila terjadi epistaksis. Laserasi atau luka
terbuka harus dibersihkan dan dilakukan debridement atau bila perlu dilakukan penjahitan. Bila didalam
evaluasi tidak ditemukan deformitas sebaiknya tidak dilakukan manipulasi terlalu jauh dan tidak perlu
digips. Sebaliknya bila ditemukan deformitas maka reposisi harus segera dilakukan.
• Reposisi Tertutup
Reposisi tertutup ini dapat dikerjakan dalam waktu 3 jam pertama setelah cedera sebelum timbul udema
atau antara 3-10 hari sesudah udim berkurang dan sebelum terbentuk kalus.Reposisi tertutup menggunakan
beberapa instrument sederhana terdiri dari elevator Boies, forsep Walsham dan forceps Asch yang dapat
digunakan untuk fraktur depresi septum dan os nasal. Instrumen ini dapat digunakan secara bergantian.
Reposisi terbuka hanya dilakukan apabila reposisi tertutup mengalami kegagalan atau terjadi reposisi yang
tidak sempurna. Pada beberapa kasus, reposisi terbuka digunakan untuk kasus fraktur third plane, Fraktur
yang melibatkan orbita, maksila atau fraktur Le fort pada daerah midface paling sering dilakukan
pendekatan tehnik endonasal rinoplasti.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
• Data demografi
• Usia, jenis kelamin
• Riwayat kesehatan masa lalu
• Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma tumpul pada midface. Perlu ditanyakan juga riwayat medis
sebelumnya apakah pernah mengalami fraktur sebelumnya atau pernah menjalani operasi hidung sebelumnya.
• Riwayat kesehatan sekarang
• Mekanisme terjadinya cedera harus dipahami dengan benar karena dapat memperkirakan derajat beratringannya
cedera. mekanisme, arah, kekuatan, lokasi, dan waktu terjadinya trauma. Perlu ditanyakan pula apakah fraktur nasal
terjadi karena kecelakaan bermotor, perkelahian dengan atau tanpa senjata, atau karena terjatuh. Waktu terjadinya
cedera, penting untuk ditanyakan. Hal ini berkaitan dengan prosedur penatalaksanaan dan prognosis hasil pengobatan.
Pemeriksaan fisik
• Setelah memastikan kondisi stabil, airway bebas, dan ventilasi adekuat maka pemeriksaan fisik dapat dilakukan.
Pemeriksan fisik paling akurat 2-3 jam. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi dan harus dilakukan hati-hati.
Inspeksi untuk melihat adanya laserasi mukosa nasal, adakah kartilago atau tulang yang terekspos, udem,dan
deformitas hidung, perubahan patologis warna kulit.
• Palpasi untuk mencari iregularitas tulang dan pergerakan fragmen fraktur / krepitasi
Analisa data dan Diagnosa

N Data Etiologi Masalah


O Data Etiologi Masalah

1 Do: Benda asing dalam Bersihan jalan nafas


Do: Benda Bersihan
1. Obstruksi di jalan nafas jalan nafas tidak efektif
1. Obstruksi di jalan nafas asing jalan nafas
( perdarahan di hidung)
( perdarahan di hidung) dalam tidak
1. pola nafas berubah
1. pola nafas berubah jalan nafas efektif

Ds: mengeluh nyeri Agen Nyeri akut


2 Ds: mengeluh nyeri Agen pencedera fisik Nyeri akut
Do: - tampak meringis pencedera
Do: - tampak meringis (trauma)
Bersikap protektif fisik
Bersikap protektif
Gelisah (trauma)
Gelisah
Nadi meningkat
Nadi meningkat
RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa SLKI SIKI
Bersihan jalan nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan 1.Manajemen jalan nafas
bd Benda asing dalam jalan keperawatan selama 1x 24 jam Observasi
nafas diharapkan a. Monitor pola nafas
a. status bersihan jalan napas b. Monitor bunyi nafas tambahan
baik dengan Kh: Terapeutik
1. Tidak dyspnea a. Pertahankan kepatenan jalan nafas
2. Tidak gelisah b. Lakukan penghisapan lender kurang dari 15
3. Frekuensi nafas normal detik
4. Pola nafas normal c. Berikan oksigen, jika perlu
Nyeri akut bd Agen pencedera fisik Setelah dilakukan tindakan 1. Manajemen nyeri
(trauma) keperawatn selama 1 x 24 jam Observasi
diharapkan tingkat nyeri menurun a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
dengan kh: intensitas nyeri
1.Wajah tidak meringis b. Identifikasi skala nyeri
2. Tidak bersikap protektif c. Identifikasi faktor yang memperberat dan
3. tidak gelisah memperingan nyeri
4. frekuensi nadi normal Terapeutik
5. tekanan darah normal a. Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
nyeri
b. Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian nalgetik, jika perlu
TRAUMA MEMBRANE
TYMPANI
DEFINISI
• Trauma telinga tengah dapat disebabkan karena trauma tumpul atau trauma
tembus pada kepala, trauma telinga secara langsung, atau barotrauma yang
disebabkan oleh trauma ledakan, perjalanan udara, atau menyelam. Trauma
tembus pada telinga tengah dapat menyebabkan perforasi membran timpani,
hemotimpanum, cedera pada tulang-tulang pendengaran dan saraf fasialis,
vertigo, fistula perilimfatik, tuli konduktif dan/atau tuli saraf

• Trauma pada membran timpani disebabkan oleh tamparan, ledakan


(barotrauma), menyelam yang terlalu dalam, luka bakar ataupun tertusuk.
Akibatnya timbul gangguan pendengaran berupa tuli konduktif karena robeknya
membran timpani atau terganggunya rangkaian tulang pendengaran, yang
terkadang disertai tinitus.
PATOFISIOLOGI
Kuman masuk
Trauma tumpul dan trauma tajam Trauma Kompresi/Barotrauma
Infeksi labrinth
Perubahan tekanan mendadak di Perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar
membran timpani telinga tengah Membengkak dan getah radang
dapat mengisi saluran
Membran timpani pecah Menekan suatu volume gas dalam ruang
tertutup Perforasi

Buntunya jaras jaras ventilasi

Cairan di telinga tengah dan


rongga mastoid tercampur darah

Retraksi
Teregang dan pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil

Fungsi membran timpani terganggu


Klasifikasi
• Trauma Penetrasi (trauma tumpul dan trauma tajam).
Trauma tumpul dapat disebabkan oleh kecelakaan atau pukulan langsung sedangkan trauma tajam disebabkan oleh
tusukan. Kedua hal ini menyebabkan perubahan tekanan mendadak di membran timpani sehingga membran timpani
pecah. Trauma tumpul yang dihubungkan dengan kecelakaan biasanya menyebabkan benturan pada daerah tulang
terutama tulang temporal.
• Trauma Kompresi/Barotrauma
Barotrauma dalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah, dapat terjadi pada
saat di pesawat terbang atau saat menyelam, yang menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Hukum Boyle menyatakan
bahwa suatu penurunan atau peningkatan pada tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan (secara berurutan)
suatu volume gas dalam ruang tertutup. Bila gas terdapat dalam struktur yang lentur, maka struktur tersebut dapat rusak
karena ekspansi ataupun kompresi.
• Trauma Kompresi/Barotrauma
Barotrauma dalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah, dapat terjadi pada
saat di pesawat terbang atau saat menyelam, yang menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Hukum Boyle menyatakan
bahwa suatu penurunan atau peningkatan pada tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan (secara berurutan)
suatu volume gas dalam ruang tertutup. Bila gas terdapat dalam struktur yang lentur, maka struktur tersebut dapat rusak
karena ekspansi ataupun kompresi.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
• Pemeriksaan dengan Otoskopik
Mekanisme :
-Bersihkan serumen
-Lihat kanalis dan membran timpani
Interpretasi :
- Warna kemerahan, bau busuk dan bengkak menandakan adanya infeksi
- Warna kebiruan dan kerucut menandakan adanya tumpukan darah dibelakang
gendang.
- Kemungkinan gendang mengalami robekan.
• Pemeriksaan Ketajaman
Test penyaringan sederhana:
-Lepaskan semua alat bantu dengar
-Uji satu telinga secara bergiliran dengan cara tutup salah satu telinga
-Berdirilah dengan jarak 30 cm
-Tarik nafas dan bisikan angka secara acak (tutup mulut)
-Untuk nada frekuensi tinggi: lakukan dgn suara jam
Uji Ketajaman Dengan Garpu Tala
Uji weber:
-Menguji hantaran tulang (tuli konduksi)
-Pegang tangkai garpu tala, pukulkan pada telapak tangan
-Letakan tangkai garpu tala pada puncak kepala pasien.
-Tanyakan pada pasien, letak suara dan sisi yang paling keras.
PENATALAKSANAAN KEGAWATAN

· Pasien diistirahatkan duduk atau berbaring


· Atasi keadaan kritis ( tranfusi, oksigen, dan sebagainya )
· Bersihkan luka dari kotoran dan dilakukan debridement,lalu hentikan perdarahan
· Pasang tampon steril yang dibasahi antiseptik atau salep antibiotik.
· Periksa tanda-tanda vital
· Pemeriksaan otoskopi secara steril dan dengan penerangan yang baik, bila mungkin
dengan bantuan mikroskop bedah atau loup untuk mengetahui lokasi lesi.
· Pemeriksaan radiology bila ada tanda fraktur tulang temporal. Bila mungkin langsung
dengan pemeriksaan CT scan.
PENATALAKSANAAN MEDIS
 Pemberian obat pereda rasa sakit. Apabila pecahnya gendang telinga menimbulkan gejala
berupa nyeri atau rasa sakit pada telinga, dokter akan menganjurkan pasien untuk
mengonsumsi obat pereda nyeri, seperti ibuprofen atau paracetamol.dan antibiotik oral
(amoksisilin 3x500mg oral atau eritromisin 3x500mg oral atau Cefadroxil 3x500mg oral atau
ciprofloxacin 3x500mg oral Setiap 24 jam)

 Menambal robekan. Dokter juga dapat menambal robekan pada gendang telinga.
 Robekan pada gendang telinga akan ditambal dengan kertas khusus. Kertas tersebut akan
 membantu robekan pulih dan menyatu kembali.

 Operasi. Operasi gendang telinga atau timpanoplasti masih tergolong jarang dilakukan.
 Operasi ini dilakukan dengan mencangkok jaringan lain ke gendang telinga yang pecah.
ASUHAN KEPERAWATAN

• Pengkajian
• Perawat perlu melakukan anamnesa dari keluhan klien seperti :
- Nyeri saat pinna dan tragus bergerak
- Nyeri pada liang telinga
- Telinga terasa tersumbat
- Perubahan pendengaran
- Keluar cairan dari telinga yang berwarna kehijauan
• Riwayat kesehatan yang perlu ditanyakan kepada klien diantaranya adalah:
- Kapan keluhan nyeri terasa oleh klien?
- Apakah klien dalam waktu dekat lalu berenang di laut, kolam renang ataukah
didanau?
•- Apakah klien sering mengorek-ngorek telinga sehingga mengakibatkan nyeri
setelah dibersihkan?
•-Apakah klien pernah mengalami trauma terbuka pada liang telinga akibat terkena
benturan ?
•- Apakah klien seorang petinju atau pegulat yang sering mengalami trauma pada
telinganya
PEMERIKSAAN FISIK

• INSFEKSI
• Inspeksi keadaan umum telinga, pembengkakan pada MAE (Meatusauditorius
eksterna) perhatikan adanya cairan atau bau, warna kulit telinga, penumpukan
serumen, tonjolan, yang nyeri, dan berbentuk halus. Serta adanya perdangan.
• Palpasi
• Lakukan penekanan ringan pada daun telinga. Jika terjadi respo nyeri dari klien,
maka dapat dipastikan klien, menderita otitis eksternasirkumskripta (furunkel)
ANALISA DATA
• DX 1 : GANGGUAN PERSEPSI SENSORI B.D GANGGUAN PENDENGARAN
• Data subjektif :
- mendengar suara bisikan atau melihat bayangan
- merasakan sesuatu melalui indera pendengaran
• Data objektif :
- Distorsi sensori
- respon tidak sesuai
- bersikap seolah mendengar
INTERVENSI
NIC
1.) manajemen halusinasi

A). Monitor perilaku yang mengindikasi haluisnasi

B). Monitor dan sesuaikan tingkat aktivitas dan stimulasi lingkungan


NOC C). Monitor isi halusinasi

2) menimalisasi ransangan
• Setelah dilakukan tindakan A). observasi periksa satus mental, status sensori, dan tingkat kenyamanan (mis. Nyeri, kelelahan)
keperawatan selama 3 x 24 jam B). diskusikan terhadap toleransi beban sensori (mis. Bising)
diharapkan persepsi sensori pasien C). batasi stimulus lingkungan (mis. Suara)

teratasi, dengan KH : D). ajarkan cara meminimalisasi stimulus ( mengurangi kebisingan)

E). kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi persepsi stimulus


• Persepsi sensori klien membaik 3). edukasi perawatan diri

• Fungsi sensori klien normal A). identifikasi pengerahuan tentang perawatan diri

B). identifikasi metode pembelajaran yang sesuai ( penggunaan alat bantu visual/audio

• Proses informasi klien normal C). jadwalkan waktu dan intensitas pemeblajaran sesuai penyakit

D). sediakan lingkungan yang kondusif pemeblajaran optimal

E). ciptakan edukasi interaktif untuk memicu partisipasi aktif selama edukasi.

F). anjurka mngulang kembali informasi edukasi tentang perawatan diri.


DAFTAR PUSTAKA
• Goldberg, Ivan & Susanna, Remo. 2017. Glaukoma Langkah Penting Selamatkan Penglihatan Anda.
Jakarta: EGC
• Kalsom, Ummi. 2012. Karakteristik Penderita Glaukoma Di Rsup Dr Wahidin Sudirohusodo. Fakultas
Kedokteran : Universitas Hasanuddin
• Kisilevsky Vitall. 2012. What to do about Ear Trauma: Investigating the Common Concerns The
Canadian Journal of Diagnosis: Etiopathogenesis.
• Kumar P, Clark M. 2013.Clinical medicine. 6th ed. Edinburgh: Elsevier Saunders
• Lee KJ. 2010. Anatomy of the Ear, Dalam Essential Otolaryngology – Head & Neck Surgery., 9th
edition. Appleton & Lange. Connecticut
• Rahayu, Santi. 2018. HubunganTingkat Pengetahuan Dengan Upaya Pencegahan Penyakit
Glaukama Pada Klien Beresiko Di Wilayah Kerja Puskesmas Jenggawah Kabupaten Jember. Fakultas
Keperawatan : Universitas Jember
• PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI). Jakarta: PPNI
• PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Jakarta: PPNI
• PPNI. 2019. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SLKI). Jakarta: PPNI
• Weerda.H.2014.Trauma and Non-inflamatory processes. Surgery of the Auricle,Thieme Stuttgart
New York

Anda mungkin juga menyukai