Oleh:
Ayu Divinasari
Latar Belakang
• ASI (Air Susu Ibu) adalah Air susu yang dihasilkan oleh ibu
dan mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi
untuk kebutuhan dan perkembangan bayi (Mufdlilah, 2017).
ASI juga merupakan makanan yang telah disiapkan untuk
calon bayi sejak pada masa kehamilan, Pada saat kehamilan
ibu ada hormon tertentu merangsang payudara untuk
memperbanyak saluran-saluran air susu dan kelenjar-kelenjar
air susu (Khasanah, 2011).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Daerah (RISKESDAS) (2013)
pemberian ASI ekslusif pada bayi selama enam bulan hanya 40,6% jauh dari
target nasional yang mencapai 80%. Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menunjukkan bahwa pada usia 0 bulan presentasi pemberian ASI sebesar
82,5%, usia 1 bulan 75,1%, usia 2 bulan 74%, uaia 3 bulan 66,9%, usia 4
bulan 66,8%, dan usia 5 bulan 54,8%. Dari hasil data tersebut menunjukkan
pemberian ASI pada umur 0–5 bulan semakin lama semakin rendah
presentasinya. Bedasarkan hasil penelitian menunjukan 6 % ibu nifas
mengeluh ASI tidak keluar pada hari pertama postpartum, 13% ibu nifas
mengeluh sedikit mengeluarkan ASI dan 64% mengeluh ASI tidak lancar
mengakibatkan memilih susu formula serta 17% ibu postpartum mengalami
perdarahan (Nurul, 2015).
Faktor yang mempengaruhi kegagalan pemberian ASI disebabkan
kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI, ibu menghentikan pemberian ASI
karena produksi ASI kurang, gencarnya promosi susu formula, dukungan
petugas kesehatan dan faktor keluarga karena orang tua, nenek atau ibu mertua
mendesak ibu untuk memberikan susu tambahan (Astutik,2014). Pada
sebagian ibu pengeluaran ASI bisa terjadi dari masa kehamilan dan sebagian
terjadi setelah persalinan (Astutik, 2014). Permasalahan kurangnya
rangsangan hormon prolaktin dan oksitosin yang sangat berperan dalam
kelancaran produksi ASI. Hal ini dapat dapat mempengaruhi pengeluaran ASI
memberikan dampak buruk untuk kehidupan bayi dikarenakan nilai gizi pada
ASI lebih tinggi dibandingkan dengan susu formula, akan tetapi penggunaan
susu formula merupakan alternatif yang dianggap paling tepat untuk
mengganti produksi ASI yang menurun.
Tujuan
Berdasarkan analisa jurnal ini analisis mengambil 5 penelitian terdahulu yang melakukan
penelitian tentang pengaruh pemberian Pijat Oksitosin terhadap produktifitas ASI. Dari hasil
analisis di dapatkan dari ke 6 jurnal tersebut menggunakan metode Quasy Eksperimen
kelompok ontrol dan kelompok intervensi dan sampel yang digunakan ke 5 peneliti tersebut
yakni ibu post partum 2 jam pascalahir – 10 hari. Jumlah sampel penelitian dari ke 5
jurnalpun berbeda-beda yang dimana pada penelitian Ema Pilaria (2018), menggunakan 30
sampel, penelitian Mariatul Kiftia (2018), menggunakan 18 sampel. Penelitian Firriantin Ayu
Widiyanti (2017), menggunakan 20 sampel, penelitian Fionie Tri Wulandari (2014),
menggunakan 30 sampel, dan penelitian Faizatul Ummah (2018), menggunakan 28 sampel.
Yang mana semua sampel tersebut dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok Kontrol dan
Kelompok Intervensi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari Hasil 5 penelitian tersebut semuanya memiliki pengaruh antar pemberian terapi
pemberian Pijat Oksitosin terhadap produktifitas ASI. Yang diaman pada penelitian Ema
Pilaria (2018), sebelum dilakukan pemijatan oksitoksin responden yang memiliki ASI
Tidak cukup yakni 24 responden dan 6 responden memiliki ASI Cukup. Namun setelah
dilakukan terapi pemijatan Oksitoksin didapatkan 27 responden memiliki ASI cukup dan
3 responden memilki ASI tidak cukup. Pada penelitian Mariatul Kiftia (2018), sebelum
dilakukan pemijatan oksitoksin yakni paling sedikit 5 ml dan yang paling banyak 25 ml,
pada saat setelah dilakukan intervensi jumlah ASI yang paling sedikt yakni 5 ml – 40 ml,
Oleh karena itu terjadi perbedaan yang signifikan nilai rata-rata sebelum dan setelah
dilakukan terapi pijat oksitosin, sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa terapi
pijat oksitosin ini sangat efektif digunakan pada ibu post partum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hal ini sejalan dengan Teori Maryinani (2012), yakni Pemijatan tengkuk dan punggung
memberikan kontribusi yang besar bagi ibu nifas yang sedang menyusui. Rasa nyaman yang
ibu rasakan akan membantu dalam pengeluaran ASI sehingga ibu tidak akan merasakan nyeri
baik dari hisapan bayi pada payudara maupun kontraksi uterus karena pada pemijatan
tengkuk dan punggung mampu mengeluarkan endorfin merupakan senyawa yang
menenangkan. Dalam keadaan tenang seperti inilah ibu nifas yang sedang menyusui mampu
mempertahankan produksi ASI yang mencukupi bagi bayinya.
Peranan hipofisis adalah mengeluarkan endorfin (endegenous opiates) yang berasal dari
dalam tubuh dan efeknya menyerupai heroin dan morfin. Zat ini berkaitan dengan penghilang
nyeri alamiah (analgesik). Peranan selanjutnya mengeluarkan prolaktin yang akan memicu
dan mempertahankan sekresi air susu dari kelenjar mammae. Sedangkan peranan hipotalamus
akan mengeluarkan oksitosin yang berguna untuk menstimulus sel-sel otot polos uterus dan
menyebabkan keluarnya air susu dari kelenjar mammae pada ibu menyusui dengan
menstimulasi sel-sel mioepitel (kontraktil) di sekitar alveoli kelenjar mammae.
KESIMPULAN