PEKERJAAN SOSIAL KOMUNITAS Peksos Komunitas merupakan bentuk dari praktik yang dikemas sebagai bentuk intervensi profesional diarahkan untuk membawa perubahan terencana (planed change) dalam organisasi dan komunitas (Netting, et al, 1993:3) Aktivitas pada tingkat makro Organisasional Komunitas Kebijakan Aktivitas organisasional a. Supervisi b. Penyusunan program c. Penulisan proposal d. Penetapan anggaran Aktivitas komunitas a. Negosiasi dan membangun kesepakatan (bargaining) dengan kelompok yang berbeda b. Mendorong patisipasi warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan c. Menciptakan dan melaksanakan perundingan/kerjasama antara lembaga d. Melakukan asesmen kebutuhan e. Menyusun dan melaksanakan perencanaan program Aktivitas yang terkait dengan kebijakan Membangun koalisi Lobbyng Membuka akses bagi terbinanya hubungan yang baik dengan pihak legislatif Praktik makro memilih melakukan perubahan pada “system” ketimbang perubahan dalam diri individu (klien). Dalam arti kita memerlukan melihat situasi masalahnya dari perspektif yang luas serta melakukan evaluasi terhadap sistem komunitas secara keseluruhan. Meskipun dalam praktik makro secara akademik terpisah dari praktik mikro, namun dalam aplikasinya, secara profesional terjalin hubungan yang erat antara keduanya. Barker (dikutip oleh Ashman, dan Hull, 1993:117),menyatakan paling tidak ada 3 dimensi praktik peksos pada tingkat makro, yaitu:
1. Dimensi perubahan pada tingkat kebijakan
untuk mengatur distribusi sumber-sumber. 2. Dimensi perubahan pada sistem sebagai target termasuk delivery system. 3. Dimensi perubahan pada model advokasi sehingga klien dan komunitasnya dapat memenuhi kebutuhan dan memperoleh hak- haknya. KONSEP KOMUNITAS DAN ORGANISASI KOMUNITAS Warren (dalam Netting et al., 1993 : 47) mendefinisikan komunitas sebagai “combination of social units and systems that perform the mayor social functions relevant to meeting people’s need on a local level”. Baker (dalam Ashman & Hull, 1993:122) mengartikan komunitas sebagai “ a group of individual having common interest or living in the same locality”. Dari kedua definisi tersebut memiliki makna yang sama : Pertama, keduanya mengkaitkan sekelompok orang dalam hubungannya dengan lokalitas tertentu; Kedua, orang-orang tersebut memiliki kepentingan dan fungsi yang sama; Ketiga, mereka berinteraksi secara bersama dalam berbagai level atau paling tidak memiliki potensi untuk berinteraksi; Keempat, komunitas dapat diorganisasikan (be organized) sehingga setiap warga dapat berpartisipasi untuk memecahkan masalah bersama atau meningkatkan kondisi/kualitas hidup mereka secara bersama; Warren maupun Baker sepakat, bahwa setiap komunitas setidaknya memiliki lima fungsi, yaitu: 1. Produksi, distribusi, konsumsi. 2. Sosialisasi 3. Pengawasan sosial 4. Partisipasi sosial 5. Saling mendukung Menurut Daldjoeni (1978), suatu komunitas memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Sekelompok manusia menempati wilayah geografis tertentu; 2. Mengenal pembagian kerja; 3. Memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama; 4. Sadar akan kesatuan dan kewargaan bersama; 5. Mampu bertindak secara kolektif ORGANISASI DAN ORGANISASI SOSIAL
1. Organisasi dirumuskan : “collectivities of
individual gathered together to serve a particular purpose” (Netting et al., 1993:122). 2. Tidak selamanya organisasi dapat menjalankan fungsi dan pelayanannya dengan baik, karena itu organisasi menjadi lemah, kehilangan sense of mission and direction. 3. Karena itu, dalam situasi seperti itu pula ada re-vitalisasi dan re-empowering organisasi. Kata kuncinya adalah “purpose” atau “a specific goals”. Tujuan (goal) yang dimaksud disini adalah : 1. Serangkaian kebutuhan manusia (human needs). 2. Produksi dan profitabilitas pada organisasi ekonomi. 3. Peningkatan kualitas hidup manusia (quality of human life) pada organisasi pelayanan kemanusiaan. Organisasi sosial secara sederhana dirumuskan oleh Bertrand (1974) adalah “an organized network of social interaction”. Perilaku individu dalam organisasi sosial merupakan produk dari pengelompokkan manusia (product of group association) yang dapat dibedakan dengan karekteristik individualnya. Secara sosiologis munculnya organisasi terkait erat dengan struktur sosial adalah kultur (kebudayaan) dan organisasi sosial. Kultur menyiapkan seperangkat nilai ideal sebagai pedoman bertindak atau disebut “blueprint for action”, maka organisasi sosial menyiapkanseperangkat “tindakan aktual” yang harus dilakukan warganya. Beberapa pendapat teori organisasi, seperti : 1. Teori Human Relations (Max Weber) 2. Teori X dan Teori Y (D. McGregor) 3. Teori Management by Objectives (Peter Drucker) 4. Teori Decision Making (Herbert Simon) 5. Teori Z (William Ouchi) Teori Human Relations Faktor yang menggerakan organisasi bukan rasionalitas dan struktural, tetapi hubungan kemanusiaan (human relations). Tiap organisasi, harus dipandang sebagai “ institusi sosial”, karena itu faktor sosial seperti persahabatan, kebersamaan dan solidaritas kelompok merupakan faktor- faktor yang yang sangat berpengaruh terhadap perilaku setiap aktor organisasi. Produktivitas (sense of responsibility) Teori X dan Teori Y Aktor organisasi, bukan hanya sekedar manusia sosial (social being), tetapi manusia selalu ingin mengaktualisasikan dirinya (self-actualization being) yang mempunyai tujuan pokok dalam organisasi untuk memenuhi tatanan kebutuhan yang tertinggi. Teori X berasumsi bahwa setiap pekerja akan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi karena alasan : 1. Secara inherent manusia enggan untuk bekerja; 2. Mereka harus dipaksa untuk bekerja; 3. Kebanyakan pekerja memilih untuk diberitahu apa dan bagaimana cara bekerja; 4. Imbalan uang merupakan dorongan utama pekerja; Teori Y berasumsi 1. Bekerjasama halnya dengan istirahat atau bermain merupakan sesuatu yang alamiah karena itu orang tidak harus dipaksa untuk bekerja; 2. Pekerja akan giat (commit) dalam mencapai tujuan organisasi, sepanjang mereka mampu memperoleh kebutuhannya; 3. Pekerja akan menerima tanggungjawab untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan kebutuhan mereka; Teori Management by Objectives Rasionalitas, struktur dan efisiensi diakui mampu meningkatkan produktivitas dan profit, tetapi itu saja tidak cukup, karena perilaku organisasi harus diarahkan pada “outcome” (tujuan yang lebih spesifik) dan “goal” (tujuan umum). Pengukuran keberhasilan organisasi akan didasarkan pada sejauhmana tujuan spesifik tersebut telah tercapai. Pendekatan tersebut disebut sebagai MBO yang berlandaskan pada goal (specific) oriented. Teori Decision Making Rasionalitas organisasi memiliki keterbatasan oleh karena itu “individual decision” merupakan faktor dominan dalam menyelesaikan masalah organisasi. Organisasi, menurut Simon apat dikonseptualisasikan sbagai suatu “agresi keputusan individual” dalam organisasi, karena itu keputusan organisasi dapat dilihat sebagai perilaku atau tindakan untuk merespons stimuli tertentu. Kunci pemahaman terhadap keputusan organisasi adalah memahami hambatan (constraints) yang membatasi pembuatan keputusan. Konsep ini disebut sebagai “bounded rasionality”. Bounded Rasionality terdiri atas tiga kategori: 1. Habit, kemampuan dan karekteristik personal. 2. Motivasi, nilai dan keyakinan individual. 3. Ketidakmampuan pengambil keputusan untuk memahami semua variabel dalam proses keputusan atau konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil. Teori Z Teori Z merupakan suatu konsep Japanese-style management. Organisasi di Jepang bukan sekedar berorintasi pada struktur, rasionalitas dan goal-oriented. Organisasi merupakan nafas dari kehidupan yang berwujud “lifetime employment”, karenanya akan menyangkut aspek sosial, budaya praktik dan ekonomi negara. Filosofi dasar dan kata kuncinya adalah “keterlibatan atau komitmen dari para pekerja secara total” merupakan kunci dalam meningkatkan produktivitas. Melalui kegiatan yang disebut “quality circk”, setiap pekerja dapat mengemukakan saran dan pemikirannya, membahas berbagai cara untuk meningkatkan kualitas dan poduktivitas organisasi.