Kerja Dan Efek Toksik
Kerja Dan Efek Toksik
Tujuan Instruksional Umum (TIU) :
Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan fase kerja suatu
tokson hingga menimbulkan efek toksik serta foktor-faktor yang berpengaruh.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK) (C2):
Setelah mendiskusikan materi ini peserta didik diharapkan:
a. dapat menjelaskan tahapan-tahapan proses yang terjadi pada fase kerja
toksik dengan benar,
b. dapat menggambarkan jalur eksposisi tokson pada organiseme dan proses
eksposisi dengan benar,
c. dapat memahami proses absorpsi, transpor, distribusi dan eliminasi tokson
dengan benar,
d. dapat menggambarkan proses interaksi tokson dan reseptor dengan benar
e. dapat menggambarkan dengan benar faktor-faktor farmsetika,
biologis, serta lingkungan yang berpengaruh pada kerja toksik.
Suatu kerja toksik merupakan hasil dari sederetan
proses fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit
dan komplek.
Proses ini dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase
eksposisi, fase toksokinetik dan fase toksodinamik.
Interaksi xenobiotika/tokson dengan organisme hidup
terdapat dua aspek, yaitu: kerja xenobiotika pada
organisme dan pengaruh organisme terhadap
xenobiotika.
Kerja tokson pada organisme adalah sebagai suatu
senyawa kimia yang aktif secara biologik pada organisme
tersebut (aspek toksodinamik).
Sedangkan reaksi organisme terhadap xenobiotika /
tokson umumnya dikenal dengan fase toksokinetik.
Fase eksposisi
Merupakan kontak suatu organisme dengan
xenobiotika, pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya
dapat terjadi efek toksik/ farmakologi setelah
xenobiotika terabsorpsi.
a. Difusi pasif.
Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses
transmembran bagi umumnya xenobiotika. Tenaga pendorong
untuk difusi ini adalah perbedaan konsentrasi xenobiotika
pada kedua sisi membran sel dan daya larutnya dalam lipid.
Menurut hukum difusi Fick, molekul xenobiotika berdifusi
dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi
yang lebih rendah.
Jadi berdasarkan hukum Fick, transpor suatu
xenobiotika berbanding langsung dengan perbedaan
konsentrasi (∆C), luas permukaan membran ”A”,
koefisien distribusi (partisi) xenobiotika bersangkutan
”K”, serta koefisien difusinya ”D”, dan berbanding
terbalik dengan tebal membran ”h”.
Oleh karena xenobiotika akan didistribusikan secara
cepat ke dalam suatu volume yang besar sesudah masuk
ke sistem sirkulasi sistemik, maka konsentrasi
xenobiotika di dalam sistem sirkulasi akan menjadi
sangat rendah dibandingkan terhadap konsentrasi
xenobiotika di tempat eksposisi.
c. Mikroflora usus,
telah dilaporkan bahwa mikroflora usus dapat menguraikan molekul
xenobiotika menjadi produk metabolik yang mungkin tidak
mempunyai aktifitas farmakologik dibandingkan dengan senyawa
induknya atau bahkan justru membentuk produk metabolik dengan
toksisitas yang lebih tinggi.
Umumnya mikroflora usus hidup di saluran pencernaan bagian bawah
dan di saluran cerna bagian atas umumnya steril karena pH lambung
yang relatif asam.
Namun belakangan telah ditemukan juga bahwa terdapat mikroba
yang sanggup hidup di dalam cairan lambung, yaitu heriobakter vilori
.
d. Metabolisme di dinding usus,
dinding usus dengan bantuan enzim-enzim katalisis
mempunyai kemampuan untuk melakukan
metabolisme (reaksi biokimia) bagi senyawa
tertentu sebelum mencapai pembuluh darah vena
hepatika.
Enzim-enzim yang banyak dijumpai pada dinding
saluran cerna seperti umumnya enzim yang
mengkatalisis reaksi hidrolisis dan konjugasi (seperti
reaksi kunjugasi glukuronat), reaksi monoamin
oksidase, dan beberapa enzim yang mengkatalisis
reaksi oksidatif lainnya seperti CYP3A4/5
(sitokrom3A4/5).
e.Metabolisme di hati.
Setelah xenobiotika diabsorpsi dari saluran cerna
maka dari pembuluh-pembuluh kapiler darah di
mikrovili usus melalui pembuluh vena hepatika
menuju hati.
Hati adalah tempat utama terjadinya reaksi
meabolisme.
Telah banyak dilaporkan, bahwa sebagian dari
xenobiotika telah mengalami reaksi metabolisme di
hati sebelum menuju tempat kerjanya atau sebelum
didistribusikan ke seluruh tubuh.
Reaksi metabolisme ini dikenal dengan first- pass-
effect..
f. Makanan
Makanan yang terdapat di lumen saluran cerna, mungkin
juga memberikan pengaruh pada absorpsi xenobiotika dari
saluran cerna, karena jenis makanan juga mempengaruhi
gerakan peristaltik usus, pH lambung, dan waktu
pengosongan lambung.
Jenis makanan tertentu akan berinteraksi dengan
xenobiotika tertentu yang mengakibatkan gagalnya absorpsi
xenobiotika tersebut.
Seperti pada pengobatan antibiotika turunan tetrasiklin
dianjurkan pada saat mengkonsumsi obat tidak
berbarengan dengan makanan yang banyak mengandung
logam-logam kalsium, (seperti susu, pisang), karena
tetrasiklin dengan logam kalsium akan membentuk komplek
yang mengendap, komplek ini sangat susah diabsorpsi dari
saluran cerna.
g. P-Glykoprotein,
Protein terdapat banyak pada permukaan lumen
epitelium saluran cerna.
Protein ini dapat bertindak sebagai pompa pendorong
bagi beberapa xenobiotika untuk memasuki sistem
sistemik.
Absorpsi xenobiotika melalui saluran napas.
Tempat utama bagi absorpsi di saluran napas adalah
alveoli paru-paru, terutama berlaku untuk gas (seperti
karbon monoksida ”CO”, oksida nitrogen, dan
belerang oksida) dan juga uap cairan (seperti
benzen dan karbon tetraklorida).
Sistem pernapasan mempunyai kapasitas absorpsi
yang tinggi.
Kemudahan absorpsi ini berkaitan dengan luasnya
permukaan alveoli, laju aliran darah yang cepat, dan
dekatnya darah dengan udara alveoli.
Oleh sebab itu jalur eksposisi ini merupakan hal yang
menarik bagi farmasis untuk mengembangkan produk
sediaan farmaseutika untuk mendapatkan efek
farmakologi yang akut, guna menghindari pemakaian
secara injeksi.
Absorpsi pada jalur ini dapat terjadi
melalui membran ”nasal cavity” atau absorpsi melalui
alveoli paru-paru.
Kedua membran ini relativ mempunyai permeabilitas
yang tinggi terhadap xenobiotika. Sebagai contoh senyawa
amonium quarterner, dimana sangat susah diserap jika
diberikan melalui jalur oral, namun pada pemberian
melalui ”nasal cavity” menunjukkan tingkat konsentrasi
di darah yang hampir sama dibandingkan dengan
pemakaian secara intravena.
Luas permukaan alveoli yang sangat luas, ketebalan
diding membran yang relativ tipis, permeabilitas yang
tinggi, lanju aliran darah yang tinggi, dan tidak
terdapat reaksi ”first-pass-efect” merupakan faktor
yang menguntungkan proses absorpsi xenobiotika dari
paru-paru.
Namun pada kenyataannya jalur eksposisi ini sedikit
dipillih dalam uji toksisitas dari suatu
xenobiotika, karena :
1. kesulitan mengkuantisasikan dosis.
1. kesulitan mengkuantisasikan dosis yang terserap,
2. partikel dengan ukuran tertentu akan terperangkap
oleh rambut silia atau lendir dimana selanjutnya
dibuang melalui saluran cerna, sehingga absopsi
justru terjadi melalui saluran cerna,
3. senyawa volatil (mudah menguap) pada umumnya
melalui jalur ini terabsorpsi sebagian, bagian yang
tidak terabsorsi akan dihembuskan menuju udara
bebas, hal ini tidak seperti jalur eksposisi saluran
cerna.
Absorpsi xenobiotika perkutan.
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa eksposisi
melalui kulit merupakan pemejanan xenobiotika yang
paling mudah dan umum terjadi.
Agar dapat terabsorpsi ke dalam kulit, xenobiotika
harus melintasi membran epidermis dan dermis,
diserap melalui folikel, lewat melalui sel-sel keringat,
atau kelenjar sebasea.
Jalur melintasi membran epidermis dan dermis
merupakan jalan utama penetrasi xenobiotika dari
permukaan kulit menuju sistem sistemik, karena
jaringan tersebut merupakan bagian terbesar dari
permukaan kulit.
Fase pertama absorpsi perkutan adalah difusi tokson
lewat epidermis melalui sawar (barier) lapisan tanduk
(stratum corneum).
Lapisan tanduk terdiri atas beberapa lapis sel mati
yang tipis dan rapat, yang berisi bahan (protein
filamen) yang resisten secara kimia.
Sejumlah kecil zat-zat polar tampaknya dapat
berdifusi lewat filamen luar filamen protein stratum
korneum yang terhidrasi, sedangkan zat-zat nonpolar
melarut dan berdifusi lewat matrik lipid diantara
filamen protein.
Sifat pemeabilitas terhadap zat kimia dari stratum
korneum manusia adalah berbeda di berberapa bagian
permukaan kulit, misal stratum korneum kulit perut
mudah dilewati tokson, namun sebaliknya stratum
korneum pada telapak kaki dan tangan sangat sulit
dilewati
Fase kedua absorpsi perkutan adalah difusi tokson
lewat dermis yang mengandung medium difusi yang
berpori, nonselektif, dan cair.
Oleh karena itu, sebagai sawar, dermis jauh kurang
efektif dibandingkan stratum korneum.
Oleh sebab itu abrasi atau kerusakan lapisan stratum
korneum dapat mengakibatkan sangat meningkatnya
absorpsi perkutan. Beberapa zat- zat yang dapat
mengakibatkan abrasi stratum korneum seperti asam-
basa kuat, gas mustard.
Beberapa pelarut seperti dimetil silfoksida (DMSO),
juga dapat meningkatkan permeabilitas kulit.
2. Distribusi
Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan
darah, ia bersama darah akan diedarkan/ didistri
busikan ke seluruh tubuh.
Dari sistem sirkulasi sistemik ia akan terdistribusi
lebih jauh melewati membran sel menuju sitem organ
atau ke jaringan-jaringan tubuh.
Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh
dapat di pandang sebagai suatu proses transpor
reversibel suatu xenobiotika dari satu lokasi ke
tempat lain di dalam tubuh.
Di beberapa buku reference juga menjelaskan, bahwa
distribusi adalah proses dimana xenobiotika secara
reversibel meninggalkan aliran darah dan masuk
menuju interstitium (cairan ekstraselular) dan/atau
masuk ke dalam sel dari jaringan atau organ.
Distribusi xenobiotika di dalam tubuh umumnya
melalui proses transpor, yang mana dapat di
kelompokkan ke dalam dua proses utama, yaitu
konveksi (transpor xenobiotika bersama aliran darah)
dan transmembran (transpor xenobiotika melewati
membran biologis).