Anda di halaman 1dari 68

SELAMAT DATANG PESERTA

MINI SEMINAR MEDIKOLEGAL


“PELANGGARAN DISIPLIN KEDOKTERAN
Pengertian dan bentuk-bentuknya”

DR Muhammad Luthfie Hakim, SH., MH.

RS SUMBER KASIH CIREBON


19 NOVEMBER 2019
SAFETY BRIEFING
PELANGGARAN DISIPLIN KEDOKTERAN
Pengertian dan Bentuk-bentuknya

Advokat di Jakarta,
• DR. Muhammad Luthfie Hakim
Pendiri M. LUTHFIE HAKIM & PARTNERS Law Firm
Anggota Kompartemen Hukum, Advokasi dan Mediasi
PP PERSI
Anggota Divisi Hukum PP MUKISI
Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI)
Ketua Umum Himpunan Advokat Spesialis Rumah Sakit
(HASRS)
Dosen Hukum Kesehatan pada FH UGM-UI-UPN
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI)
Anggota Dewan Pakar Perhimpunan Humas RS Indonesia
(PERHUMASRI)
Anggota Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi
Indonesia (LAFAI)
Disampaikan dalam Sesi Kelas Medikolegal yang diselenggarakan oleh RS. Sumber Kasih, Cirebon
Cirebon, 19 Nopember 2019.
•Pelanggaran Disiplin Profesional
Dokter dan Dokter Gigi pada
hakikatnya dapat dikelompokkan
APAKAH YANG dalam 3 hal, yaitu :
DIMAKSUD
DENGAN • Melaksanakan praktik kedokteran
PELANGGARAN dengan tidak kompeten.
DISIPLIN • Tugas dan tanggung jawab
PROFESIONAL profesional pada pasien tidak
DOKTER DAN dilaksanakan dengan baik.
DOKTER GIGI? • Berperilaku tercela yang
merusak martabat dan kehormatan
profesi kedokteran.
Pengaturan Disiplin Profesional Dokter
dan Dokter Gigi wajib ditaati oleh dokter
dan dokter gigi dalam memberikan
pelayanan di bidang
DASAR kedokteran/kedokteran gigi kepada pasien
serta sebagai dasar bagi Majelis
PUTUSAN Kehormatan Disiplin Kedokteran
MKDKI Indonesia (MKDKI/MKDKI-P) dalam
menetapkan ada/atau tidak adanya
pelanggaran Disiplin Profesional Dokter
dan Dokter Gigi dalam penyelenggaraan
Praktik Kedokteran di Indonesia.

5
•28 BENTUK
PELANGGARAN DISIPLIN
Penjelasan:

Dalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien, dokter atau


dokter gigi harus bekerja dalam batas-batas kompetensinya,
baik dalam penegakan diagnosis maupun dalam
1. Melakukan penatalaksanaan pasien.

praktik
Setiap dokter dan dokter gigi harus memiliki pengetahuan dan
kedokteran keterampilan yang diperlukan dalam melakukan praktik
dengan kedokteran.

tidak
kompeten. Dasar:
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran Pasal 29 ayat (3) huruf d tentang sertifikat
kompetensi;

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005


tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal
22 ayat (1) dan ayat (3) tentang kesesuaian kompetensi dan
standar profesi.

7
•Catatan:

• Kompeten dalam ketentuan ini adalah kompeten dalam arti formil dan materiil.

•Seorang Dokter atau Dokter Gigi yang melakukan pelayanan kedokteran tanpa memiliki kompetensi formil
dipersalahkan karena melanggar ketentuan ini.

• Namun bila Dokter atau Dokter Gigi memiliki kompetensi formil tapi tidak/kurang memiliki kompetensi
materiil dapat dipersalahkan karena melanggar ketentuan ini dan ketentuan Angka 6 (enam).

• Sedangkan bila Dokter atau Dokter Gigi memiliki kompetensi formil dan materiil tetapi dalam menjalankan
pelayanan kedokteran tidak dalam kondisi fit baik secara fisik maupun mental sedemikian rupa
mempengaruhi kompetensinya dan dapat membahayakan pasien dalam memberikan pelayanan medik
dipersalahkan melanggar ketentuan Angka 5 (lima).

8
2. Tidak merujuk pasien kepada
dokter atau dokter gigi lain yang
memiliki kompetensi sesuai.
•Penjelasan:

a. Dalam situasi dimana penyakit atau kondisi pasien di luar


kompetensinya karena keterbatasan pengetahuan, keterbatasan
keterampilan ataupun keterbatasan peralatan yang tersedia, maka
dokter atau dokter gigi wajib menawarkan kepada pasien untuk
dirujuk atau dikonsultasikan kepada dokter atau dokter gigi lain
atau sarana pelayanan kesehatan lain yang lebih sesuai.

b. Upaya perujukan dapat tidak dilakukan, apabila situasi yang terjadi


antara lain sebagai berikut:

1) kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk;


2) keberadaan dokter atau dokter gigi lain atau sarana kesehatan
yang lebih tepat, sulit dijangkau atau sulit didatangkan;
dan/atau
3) atas kehendak pasien.

9
•Catatan:
• Rujukan ini berkaitan dengan ketiadaaan kompentensi formil maupun materiil
pada diri seorang dokter atau dokter gigi.
• Dokter pemilik pasien yang tidak merujuk kepada dokter atau dokter gigi lain
atau sarana pelayanan kesehatan lain yang lebih sesuai, atau tidak menjalankan
suatu permintaan rujukan oleh seorang dokter atau dokter gigi konsulen, dapat
dipersalahkan dengan ketentuan angka ini.
• Sebaliknya, apabila dokter pemilik pasien mengajukan rujukan kepada Dokter
atau Dokter Gigi lain tanpa mempertimbangkan kesesuaian dengan kebutuhan
medik pasien dapat dipersalahkan dengan ketentuan Angka 7 (tujuh).
• Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan
pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit (Pasal 42 ayat (2) UU
No.44/2009).

10
•Persoalan:
•Apabila dokter atau dokter gigi pemilik pasien memiliki kompetensi yang sesuai dengan
penyakit atau kondisi pasien, serta sarana pelayanan kesehatan memiliki kemampuan dalam
melayaninya, namun diketahui atau sepatutnya diketahui oleh dokter atau dokter gigi
tersebut bahwa ada alternatif tindakan atau pengobatan lain yang lebih efektif dan efisien
bagi pasien, apakah dokter atau dokter gigi yang bersangkutan tetap wajib menyampaikan
penjelasan tentang adanya alternatif tindakan tersebut berikut resikonya?

•Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjawab pertanyaan ini adalah:
• Praktik kedokteran itu dilaksanakan berdasarkan kesepakatan (asas konsensual) dan
kepercayaan dalam upaya maksimal profesi kedokteran, sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat (Periksa Pasal 39 UU No.29/2004 dan Pasal 21 Permenkes
No.2052/2011).

11
• Setiap pasien mempunyai hak untuk memperoleh layanan yang efektif
dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi
(Pasal 32 huruf g. UU No.44/2009).
• Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi harus mendapat
persetujuan setelah pasien diberikan penjelasan secara lengkap, antara lain
alternatif tindakan lain dan resikonya (Periksa Pasal 45 UU No.29/2004
dan Pasal 7 ayat (3) PMK No.290/2008).
•Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila
ada alternatif tindakan atau pengobatan lain yang lebih efektif dan efisien
bagi pasien, maka dokter atau dokter gigi yang bersangkutan wajib
menjelaskan adanya alternatif tindakan lain tersebut beserta resikonya.

12
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada
tenaga kesehatan tertentu yang tidak
memiliki kompetensi untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut.
•Penjelasan:

• Dokter atau dokter gigi dapat mendelegasikan tindakan atau prosedur


kedokteran tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu yang sesuai
dengan ruang lingkup keterampilan mereka.
• Dokter atau dokter gigi harus yakin bahwa tenaga kesehatan yang
menerima pendelegasian tersebut, memiliki kompetensi untuk itu.
• Dokter atau dokter gigi, tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan
pasien yang bersangkutan.

•Dasar:

• Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang


Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 22 ayat (1) dan
ayat (3).

13
•Catatan:

• Tenaga kesehatan dimaksud antara lain bidan dan perawat yang diberi kewenangan
untuk melakukan tindakan medis sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(Penjelasan UU No.29/2004 Pasal 73 ayat (3)).

• Pemberian kewenangan (atau pelimpahan suatu tindakan kedokteran atau kedokteran


gigi) tersebut dilakukan secara tertulis dan harus sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
dan dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 14 PMK No.1419/2005
jo. Pasal 23 ayat (1) PMK No.2052/2011).

• Kewenangan yang diberikan atau tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
dilimpahkan hanya dapat dilakukan dalam keadaan di mana terdapat kebutuhan
pelayanan yang melebihi ketersediaan dokter atau dokter gigi di fasilitas pelayanan
tersebut (Pasal 23 ayat (2) PMK No.2052/2011).

14
•Dokter atau dokter gigi yang bekerja di rumah sakit pendidikan dan
fasilitas pelayanan kesehatan jejaringnya, dalam melaksanakan tugas
pendidikannya dapat memberikan
pembimbingan/pelaksanaan/pengawasan kepada peserta pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi untuk melakukan pelayanan
kedokteran kepada pasien.
•Pelaksanaan pelayanan kedokteran kepada pasien oleh peserta
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana tersebut di
atas dilakukan di bawah pengawasan dan tanggungjawab pembimbing
(Periksa Pasal 24 PMK No.2056/2011).

15
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi
pengganti sementara yang tidak
memiliki kompetensi dan kewenangan
yang sesuai atau tidak melakukan
pemberitahuan perihal penggantian
tersebut.

• Penjelasan:
a. Bila dokter atau dokter gigi berhalangan menjalankan
praktik kedokteran, maka dapat menyediakan dokter atau
dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi sama
(atau yang memiliki SIP setara, periksa Pasal 26 (4) PMK
No.2052/2011) dan memiliki Surat Izin Praktik.
b. Dalam kondisi keterbatasan tenaga dokter atau dokter gigi
dalam bidang tertentu sehingga tidak memungkinkan
tersedianya dokter atau dokter gigi pengganti yang
memiliki kompetensi yang sama, maka dapat disediakan
dokter atau dokter gigi pengganti lainnya (dokter atau
dokter gigi yang memiliki SIP (tanpa disebutkan yang
telah spesialis!), periksa Pasal 26 (5) PMK No.2052/2011
jo. Pasal 40 ayat (2) UU No.29/2004).
c. Surat Izin Praktik dokter atau dokter gigi pengganti tidak
harus Surat Izin Praktik di tempat yang harus digantikan.

16
d. Ketidakhadiran dokter atau dokter gigi bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi pengganti pada saat
dokter atau dokter gigi berhalangan praktik, harus diinformasikan kepada pasien secara lisan ataupun tertulis di
tempat praktik dokter (yang berkewajiban memberitahukan adalah dokter atau dokter gigi yang berhalangan
melaksanakan praktik atau telah menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti, periksa Pasal 40 ayat (1) UU
No.29/2004) jo. Pasal 27 ayat (1) PMK No.2052/2011).

e. Jangka waktu penggantian ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku atau etika profesi.

•Dasar :

• Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 40;


• Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan
Dokter Gigi Pasal 20 ayat (3) dan (4) dan Pasal 21.
• Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052 Tahun 2011 tentang Ijin Praktek dan Pelaksanaan Ijin Praktek Pasal 26
ayat (4).

•Catatan:

• Ketentuan tentang dokter atau dokter gigi yang berhalangan melaksanakan praktik ini sebenarnya berkaitan
dengan dokter atau dokter gigi yang menyelenggarakan praktik perseorangan, namun kemudian dianalogikan
kepada dokter atau dokter selain itu;

17
• Dokter atau dokter gigi yang menyelenggarakan praktik perorangan
wajib memasang papan nama praktik kedokteran, sedangkan pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan wajib menempatkan daftar dokter dan
dokter gigi pada tempat yang mudah dilihat (Periksa Pasal 41 ayat (1)
dan (2) UU No.29/2004 jo. Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (1)
PMK No.2052/2011);
• Pengaturan hari dan jam praktik dokter atau dokter gigi di fasilitas
pelayanan kesehatan merupakan suatu bentuk perjanjian standar atau
perjanjian baku yang harus dipatuhi oleh para dokter atau dokter gigi;
• Dokter atau dokter gigi pengganti tersebut memiliki hak dan kewajiban
yang dimiliki oleh dokter atau dokter gigi yang digantikan, misalnya
kewajiban membuat rekam medis.

18
5. Menjalankan praktik •Penjelasan:
kedokteran dalam a. Dokter atau dokter gigi yang menjalankan
kondisi tingkat praktik kedokteran, harus berada pada kondisi
fisik dan mental yang laik (fit).
kesehatan fisik
b. Dokter atau dokter gigi yang mengalami
ataupun mental gangguan kesehatan fisik atau gangguan
kesehatan mental tertentu, dapat dinyatakan
sedemikian rupa tidak laik untuk melaksanakan praktik
kedokteran (unfit to practice).
sehingga tidak
kompeten dan dapat c. Dokter atau dokter gigi bersangkutan baru dapat
dibenarkan untuk kembali melakukan praktik
membahayakan kedokteran atau kedokteran gigi bilamana
kesehatan fisik maupun mentalnya telah pulih
pasien. untuk praktik (fit to practice).

19
d. Pernyataan laik atau tidak laik untuk melaksanakan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi, diatur lebih lanjut oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

•Dasar :

• Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat (3)
huruf c.

•Catatan:
• Ketentuan pertama yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Pasal 16 bagian
Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri adalah Setiap dokter harus memelihara
kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
• Dalam Penjelasan pasal 16 disebutkan antara lain:
• Seperti diketahui, dokter pada umumnya bekerja sangat keras. Pagi dan/atau siang
bekerja di rumah sakit poliklinik/lembaga kesehatan lainnya atau lembaga
pendidikan, sedangkan sore dan/atau malam hari masih melakukan praktek atau
jaga malam.

20
•Keadaan ini sering menyebabkan dokter kurang memperhatikan keadaan kesehatan
dirinya. Disamping itu, karena enggan mengganggu teman sejawat yang diketahui juga
sibuk, maka bila sakit, tidak memeriksakan diri ke dokter lain, tetapi mencoba mengobati
sendiri. Hindari mengobati diri sendiri, karena biasanya kurang tuntas.
•Dokter wajib menjadi teladan dalam pelaksanaan perilaku sehat. Siapa yang akan
melakukan pengobatan bila dokternya sakit?

• Di sisi lain, sebagaimana dapat kita baca dalam Panduan Kompensasi Dokter dan Jasa
Medik (IDI, 2008), adanya kebijakan “dokter murah” (underpaid) yang telah berlangsung
lama menyebabkan dokter harus kerja rangkap di luar jam kerja utama (40 jam/minggu
dan 8 jam/hari) dikarenakan pendapatannya tidak mencukupi untuk hidup layak jika
hanya mengandalkan kerja pada jam kerja utama saja. Penelitian IDI menunjukkan
pendapatan (kompensasi) dari kerja tambahan bisa 3-12 kali pendapatan pada jam kerja
utama.

21
• Nampaknya pembuat UU ingin memastikan bahwa ketika terjadi kasus hukum,
tenaga medis pada saat memberikan pelayanan kesehatan yang bermasalah
betul-betul dalam kondisi fit sehingga pada Pasal 27 UU No.36/2009 diatur
suatu ketentuan:
•Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan
kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh
negara, yang pemeriksaan itu didasarkan pada kompetensi dan kewenangan
sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.
• Dalam rangka kendali mutu dan kendali biaya dapat dilakukan “audit medis”
yaitu evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan medis yang
diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam medisnya yang
dilaksanakan oleh organisasi profesi (penjelasan Pasal 74 jo Pasal 49 ayat (2)
UU No.29/2004).

22
6.Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi
tertentu yang dapat membahayakan pasien
Penjelasan:
Dalam penatalaksanaan pasien, dokter dan dokter gigi tidak dibenarkan
melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang
seharusnya dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa
alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan
pasien (termasuk dalam hal ini unproper or unpunctual treatment,
negligence or gross negligence, wrong-doing or misconduct).
Dokter atau dokter gigi wajib melakukan penatalaksanaan pasien dengan
teliti, tepat, hati-hati, etis dan penuh kepedulian dalam hal-hal sebagai
berikut:
a.Anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan
penunjang diagnostik.
• kegagalan menentukan keluhan utama pasien;
• kekeliruan memeriksa hasil lab pasien lain;
• tidak memeriksa dengan seksama suatu gejala yang tampak atau secara literatur sering terjadi mengikuti kondisi
sebelumnya (mis. bayi lahir prematur dan sudah jelas ada tanda-tanda RoP tapi tidak dikonsul kepada dokter mata);
• mengabaikan informasi penting (mis. leukosit 17.000 tapi tidak dilanjutkan pemeriksaan penunjang kemungkinan
adanya infeksi);

23
b.Penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi
pasien.
• PA salah mengidentifikasi tumor ganas sebagai jinak, sehingga
tindakan kedokteran yang diambil tidak memadai;
• Tergesa-gesa dalam menilai (snap judgement);
Contoh:
keluhan pasien sering batuk-batuk, tempat kerjanya baru pindah ke
lapangan berdebu dari sebelumnya di kantor ber-AC.
Penilaian:
Batuk karena debu lingkungan pekerjaan! Ini merupakan penilaian
secara post hoc ergo propter hoc (Stan Kossen, 1986).
Padahal dengan dokter lain dilakukan skin test lalu ditemukan pasien
alergi bulu kecoa yang terdapat banyak pada rumah barunya seiring
kepindahan tempat kerjanya.
c.Tindakan/asuhan dan pengobatan secara profesional.
• salah melakukan tindakan operasi, misal seharusnya kaki kanan
keliru kaki kiri;
• tidak teliti sehingga peralatan medis tertinggal dalam tubuh;
• keliru meresepkan obat atau keliru memberi obat untuk pasien yang
bukan dimaksudkan;
24
d.Tindakan/asuhan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang memerlukan
intervensi kedokteran.
• ketiadaan dokter atau dokter gigi pada saat kondisi pasien memerlukan
kehadirannya dikarenakan lemahnya penatalaksanaan pasien;
• terlalu mengandalkan informasi tenaga keperawatan pada saat seharusnya
memeriksa sendiri;
• menunda atau tidak segera melaksanakan tindakan operasi atau tindakan lain
yang sangat dibutuhkan pasien;
e.Kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai, bilamana diperlukan.
Dalam Kode Etik Kedokteran disebutkan, soal konsultasi ialah soal yang sangat
penting dalam hubungan antara kolega/sejawat. Pada kesempatan tersebut tampak
kepribadian dan budi seorang (dokter) dan kesetiaannya, serta sifat
persaudaraanya terhadap teman sejawat.
Usul untuk mengadakan konsultasi sebaiknya datang dari dokter yang pertama-
tama menangani penyakitnya, terdorong oleh keinsyafan atas batas kemampuan
atau karena merasa pasien atau keluarganya menginginkan konsultasi.
Dokter atau dokter gigi yang bekerja secara individualistis dan tidak mau
melakukan konsultasi pada sejawat yang kemudian membahayakan pasien
dipersalahkan karena ketentuan ini.
Dasar:

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 44 ayat (1) dan (2) dan Pasal 51 huruf a.

25
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasien.
Penjelasan:
a.Dokter atau dokter gigi, melakukan pemeriksaan atau memberikan
terapi, ditujukan hanya untuk kebutuhan medis pasien.
b.Pemeriksaan atau pemberian terapi yang berlebihan, dapat
membebani pasien dari segi biaya maupun kenyamanan, dan
bahkan dapat menimbulkan bahaya bagi pasien.
Dasar:

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf a dan Pasal 52 huruf c.

Catatan:
• Setiap pasien mempunyai hak untuk memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga
pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi (Pasal 32 huruf g. UU No.44/2009).
• Sebaiknya perumusan angka 7 ini berbunyi “Melakukan pelayanan medis yang berlebihan atau
tidak sesuai kebutuhan medis pasien”.

Contoh kasus:
• Seharusnya melahirkan normal tapi dilakukan SC;
• Seharusnya cukup rawat inap di ruang biasa tapi ditempatkan di ICCU;
• Seharusnya cukup dengan pengobatan tapi dilakukan tindakan operasi.
26
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate
information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik
kedokteran.
Penjelasan:
a. Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right
to information), dan oleh karenanya, dokter atau dokter gigi wajib
memberikan informasi dengan bahasa yang dipahami oleh pasien atau
penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat membahayakan
kesehatan pasien.
b. Informasi yang berkaitan dengan tindakan/asuhan medis yang akan
dilakukan (sekurang-kurangnya! Periksa Pasal 45 ayat (3) UU
No.29/2004) meliputi:
• diagnosis medis,
• tata cara tindakan/asuhan medis,
• tujuan tindakan/asuhan medis,
• alternatif tindakan medik lain,
• risiko tindakan medis,
• komplikasi yang mungkin terjadi, serta
• prognosis terhadap tindakan/asuhan yang dilakukan.
27
a. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya
pelayanan kesehatan yang akan dijalaninya.
b. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-
sebab kematian pasien, kecuali bila sebelum meninggal pasien
menyatakan agar penyakitnya tetap dirahasiakan.
Dasar :
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (2) dan (3) dan
Pasal 52 huruf a, huruf b, dan huruf e;
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 8.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Dokter dan Dokter Gigi Pasal 17.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 915/2012 tentang Rahasia Kedokteran Pasal 8 ayat (2)).

28
Catatan:

• Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan


kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus
memberikan penjelasan, yang penjelasan itu merupakan dasar
persetujuan (Periksa Pasal 11 ayat (1) dan (2) KMK
No.290/2008).

• Tenaga Kesehatan tertentu yang ikut memberikan pelayanan


kesehatan secara langsung kepada pasien dapat membantu
memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya (Periksa
Pasal 10 ayat (3) KMK No.290/2008)

• Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan


tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau
pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter
gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga
terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain
sebagai saksi (Periksa Pasal 9 ayat (3) KMK No.290/2008)
29
9. Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh
persetujuan dari pasien atau keluarga dekat, wali atau
pengampunya.

Penjelasan:
a. Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka
memperoleh persetujuan tindakan/asuhan medis, baik dokter atau
dokter gigi maupun pasien mempunyai hak untuk didengar dan
kewajiban untuk saling memberi informasi.

b. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter


gigi dan memahami maknanya (well informed), pasien
diharapkan dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the
right to self determination) untuk menyetujui (consent) atau
menolak (refuse) tindakan/asuhan medis yang akan dilakukan
kepadanya (Setiap orang berhak secara mandiri dan
bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan
yang diperlukan bagi dirinya, periksa Pasal 5 ayat(3) UU
No.36/2009).

30
c.Setiap tindakan/asuhan medis yang akan dilakukan kepada pasien,
mensyaratkan persetujuan atau otorisasi dari yang bersangkutan.
Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan
secara pribadi karena dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak
memungkinkan, maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga
yang berwenang yaitu suami/istri, bapak/ibu, anak, saudara
kandung, wali atau pengampunya (proxy).

d.Persetujuan tindakan/asuhan medis (informed consent) dapat


dinyatakan secara tertulis atau lisan, termasuk dengan
menggunakan bahasa tubuh. Setiap tindakan/asuhan medis yang
mempunyai risiko tinggi mensyaratkan persetujuan tertulis.

e.Dalam kondisi dimana pasien tidak mampu memberikan


persetujuan dan tidak memiliki pendamping, maka dengan tujuan
untuk penyelamatan hidup (life saving) atau mencegah kecacatan
pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat, tindakan/asuhan
medis dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien.

31
f. Dalam hal tindakan/asuhan medis yang menyangkut kesehatan
reproduksi, persetujuan harus diberikan oleh pasangannya yaitu
suami/istri.

g. Dalam hal tindakan/asuhan medis yang menyangkut kepentingan


publik, contoh imunisasi massal dalam penanggulangan wabah, maka
tidak diperlukan persetujuan.
Dasar :
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 dan Pasal 52 huruf d;
Undang_Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 5 ayat (3).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter
dan Dokter Gigi Pasal 17.

Catatan:
• Orang yang di bawah pengampuan adalah orang yang dungu (idiot), gila
atau mata gelap, dan pemboros (pasal 433 BW).
• Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu
kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami
penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas (Pasal 1
angka 7 PMK No.290/2008).
32
• Berapakah Batas Usia Dewasa itu?
Ps. 330 KUHPerdata, Usia 21 Th atau sudah menikah;
Ps. 47 (1) UU Perkawinan, usia 18 th atau sudah kawin;
Ps. 63 (1) UU Adm. Penduduk, 17 th atau sudah kawin;
Ps. 7 UU Pemilu, 17 th atau sudah kawin;
Ps. 1 butir 1 UU Perlindungan Anak, 18 th;
Ps. 1 (2) UU Kesejahteraan Anak 21 th;
Ps. 39 dan 40 UU Jabatan Notaris, 18 th atau sudah menikah;
Ps. 1 angka 26 UU Ketenagakerjaan, 18 tahun;
Ps. 1 angka 8, UU Pemasyarakatan, 18 tahun;
Ps. 1, UU tentang Pengadilan Anak, 18 tahun;
Ps. 1 angka 5, UU Hak Asasi Manusia, 18 tahun;
Ps. 1 (4), UU tentang Pornografi, 18 tahun;
Ps. 9, UU Kewarganegaraan Republik Indonesia, 18 th atau sudah kawin;
Ps. 1 angka 5, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 18
tahun.

33
• Apabila pasien yang bersangkutan di bawah pengampuan (under
curatele), persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat
diberikan oleh keluarga terdekat antara lain suami/istri, ayah/ibu
kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung
(Penjelasan Pasal 45 ayat (1) UU No.29/2004).

• Sedangkan pengertian keluarga terdekat adalah suami atau istri,


ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara
kandung atau pengampunya (Periksa Pasal 1 ayat (2) PMK
No.290/2008).

• Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan dianggap meragukan,


maka dapat dimintakan persetujuan tertulis (Periksa Pasal 3 ayat (5)
PMK No.290/2008)

• Penjelasan lebih lanjut tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran


(inform consent) akan disampaikan dalam materi tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran yang diatur dalam PMK
No.290/2008.

34
10. Tidak membuat atau menyimpan rekam medis dengan sengaja.
Penjelasan:

a.Dalam melaksanakan praktik kedokteran, dokter dan dokter gigi wajib


membuat rekam medis secara benar dan lengkap serta menyimpan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b.Dalam hal dokter dan dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan,
maka penyimpanan rekam medis merupakan tanggung jawab sarana
pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
Dasar:
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 dan Pasal 47;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter
Gigi Pasal 16.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medik.

Catatan:
• Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik
(Periksa Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) PMK 269/2008).

• Rekam medis harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima
pelayanan (Periksa Pasal 5 ayat (1) PMK 269/2008).
35
• Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan
tandatangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang
memberikan pelayanan kesehatan secara langsung (Periksa Pasal 5 ayat (4)
PMK 269/2008).

• Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis,
berkas dan catatan tidak boleh dihilangkan atau dihapus dengan cara apapun.
Perubahan catatan atau kesalahan dalam rekam medis hanya dapat dilakukan
dengan pencoretan dan dibubuhi paraf petugas yang bersangkutan (Periksa
Penjelasan Pasal 46 ayat (2) UU No.29/2004 jo. Pasal 5 PMK No.269/2008).

• Dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan tertentu bertanggungjawab atas


catatan dan/atau dokumen yang dibuat pada rekam medis (Periksa Pasal 6
PMK No.269/2008).
• Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan, isi rekam medis
dalam bentuk ringkasan rekam medis merupakan milik pasien dalama
arti dapat diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang
diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien
yang berhak untuk itu (Periksa Pasal 12 PMK No.269/2008);

36
• Pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai:
a. pemiliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
b. alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan
kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi;
c. keperluan pendidikan dan penelitian;
d. dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan
e. data statistik kesehatan.
Dalam literatur, pemanfaatan rekam medis untuk kepentingan Admintrative,
Legal, Financial, Research, Education, Documentation (“ALFRED”).

37
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan:

a. Penghentian atau terminasi kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medis yang
mengharuskan tindakan/asuhan tersebut.
b.Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang mengorbankan
nyawa janinnya, dilakukan oleh setidaknya dua orang dokter.
Dasar:
UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 75, 76 dan 77.

Catatan:
• Setiap orang dilarang melakukan aborsi (Pasal 75 UU 36/2009).
• Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
✴indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
✴kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
• Tindakan aborsi atas dasar dua alasan di atas hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

38
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien
atas permintaan sendiri atau keluarganya.
Penjelasan:
a.Setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan
mengakhiri kehidupan manusia, karena selain bertentangan dengan
sumpah kedokteran, etika kedokteran dan/atau tujuan profesi
kedokteran, juga bertentangan dengan aturan hukum pidana.
b.Pada kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya
kedokteran kepada pasien merupakan kesia-siaan (futile) menurut state
of the art ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan/atau
keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi
dengan tetap memberikan perawatan yang layak (ordinary care). Dalam
keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk berkonsultasi dengan
sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.
Dasar:
Fatwa IDI Nomor 231/PB/4/7/1990.
World Medical Association : Declaration of Euthanasia (Madrid, 1987).
Peraturan Menteri Kesehatan No.290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal
14.

39
Catatan:

• Yang dilarang dari ketentuan ini adalah melakukan perbuatan yang


bertujuan mengakhiri kehidupan manusia, artinya kegiatan aktif untuk
membunuh seseorang (pasien). “Akhir kehidupan manusia” sebagai
tujuan, yang dilakukan atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.

• Dalam hal ini tidak ditentukan apakah pasien dalam keadaan kondisi
sakit fase terminal ataukah tidak, artinya melakukan perbuatan yang
bertujuan mengakhiri kehidupan manusia itu dilarang baik pada pasien
kondisi sakit fase terminal maupun tidak. Dalam literatur, perbuatan ini
disebut euthanasia aktif atau positif.

• Contoh perbuatan nyata dari melakukan perbuatan yang bertujuan


mengakhiri kehidupan manusia adalah memberikan suntikan atau obat
tertentu yang bertujuan mematikan atau mengakhiri hidup pasien.

• Dokter yang melakukan perbuatan tersebut akan dipandang bersalah


melakukan pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP:
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
40
• Sedangkan apabila seorang dokter menolak memberikan tindakan medis pada
pasien yang mengalami situasi kritis, padahal pasien itu sedang berada di bawah
perawatannya atau di bawah pengetahuannya, yang akibat penolakan tersebut
pasien kemudian meninggal maka dokter tersebut akan dipandang bersalah
melakukan pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 304 KUHP jo. Pasal 306
(2) KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana
penjara maksimal sembilan tahun.
atau Pasal 338 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

• Adapun pasien pada kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dokter dapat
menghentikan pengobatan atau melakukan tindakan penghentian/penundaan
bantuan hidup (withdrawing/withholding life support), setelah mendapat
persetujuan keluarga terdekat pasien secara tertulis (Periksa Pasal 14
Permenkes No.290/2008).

• Dalam literatur, perbuatan ini disebut euthanasia pasif atau negatif.


41
• Yang menjadi tujuan perbuatan ini adalah penghentian pengobatan
atau melakukan tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup
kepada pasien, bukan kematian pasien itu sendiri, sekalipun
konsekuensinya adalah kematian pasien.

• Dasar hukum penghentian pengobatan atau withdrawing/withholding


life support serupa ini adalah bahwa pasien mempunyai hak untuk
menolak tindakan medis (Periksa Pasal 52 huruf d. UU No.29/2004).

• Tidak ada ketentuan yang mengatur siapa yang harus mengambil


inisiatif untuk dilakukan tindakan serupa ini, apakah dokter atau
pasien/keluarga dekatnya. Dengan demikian dapat diinisiasi salah
satu di antara mereka.

42
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan
pengetahuan, keterampilan atau teknologi yang belum diterima
atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
Penjelasan:
a. Dalam rangka menjaga keselamatan pasien, setiap dokter dan dokter
gigi wajib menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan tata cara
praktik kedokteran yang telah diterima oleh profesi kedokteran atau
kedokteran gigi .
b. Setiap pengetahuan, ketrampilan dan tata cara baru harus melalui
penelitian/uji klinik tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Dasar :
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 51
huruf a.

Catatan:
Dalam pengembangan teknologi kesehatan, dapat dilakukan uji coba teknologi atau produk teknologi
terhadap manusia dengan jaminan tidak merugikan manusia yang dijadikan uji coba (Periksa Pasal
44 UU No.36/2009).

43
14.Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan
menggunakan manusia sebagai subjek penelitian tanpa
memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga
yang diakui pemerintah.
Penjelasan:
Dalam praktik kedokteran, dimungkinkan untuk menggunakan
pasien atau klien sebagai subjek penelitian sepanjang telah
memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari komisi etik
penelitian.
Dasar:

World Medical Association: Deklarasi Helsinki (1964) yang telah diamandemen di Venetia (1983).

44
15.Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
Penjelasan:
a. Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah
kewajiban yang mendasar bagi setiap manusia, utamanya bagi
profesi dokter atau dokter gigi di sarana pelayanan kesehatan.
b. Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan
dirinya atau apabila telah ada individu lain yang mau dan
mampu melakukannya atau karena ada ketentuan lain yang
telah diatur oleh sarana pelayanan kesehatan tertentu.
Dasar:

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf d;

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter


dan Dokter Gigi Pasal 22 ayat (2).

45
16. Menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis terhadap
pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai ketentuan etika
profesi atau perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan:

a. Tugas dokter dan dokter gigi sebagai profesional medis adalah


melakukan pelayanan kedokteran.

b. Beberapa alasan yang dibenarkan bagi dokter dan dokter gigi untuk
menolak, mengakhiri pelayanan kepada pasiennya atau memutuskan
hubungan dokter atau dokter gigi dan pasien adalah:
1) pasien melakukan intimidasi terhadap dokter atau dokter gigi;
2) pasien melakukan kekerasan terhadap dokter atau dokter gigi;
3) pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa alasan.

Dalam hal-hal di atas, dokter atau dokter gigi wajib memberitahu secara lisan
atau tertulis kepada pasiennya dan menjamin kelangsungan pengobatan
pasien dengan cara merujuk ke dokter atau dokter gigi lain dengan
menyertakan keterangan medisnya.

46
c. Dokter atau dokter gigi tidak boleh melakukan penolakan atau
memutuskan hubungan terapeutik dokter atau dokter gigi dan
pasien, semata-mata karena alasan keluhan pasien terhadap
pelayanan dokter atau dokter gigi, finansial, suku, ras, jender,
politik, agama atau kepercayaan.
Dasar:

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf a dan Pasal 52 huruf c.

Catatan:
Rumusan ketentuan “tanpa alasan yang layak dan sah sesuai ketentuan
etika profesi” dapat menjadi pertimbangan bagi dokter yang bermaksud
menolak melakukan tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat
pemerkosaan berdasarkan ketentuan Kode Etik Kedokteran Pasal 7d.

47
17. Membuka rahasia kedokteran.
Penjelasan:

a. Dokter atau dokter gigi wajib menjaga rahasia pasiennya. Bila


dipandang perlu untuk menyampaikan informasi tanpa persetujuan
pasien atau keluarga, maka dokter atau dokter gigi tersebut harus
mempunyai alasan pembenaran.

b. Alasan pembenaran yang dimaksud adalah:


1) permintaan MKDKI/MDKI-P;
2) permintaan Majelis Hakim Sidang Pengadilan; dan
3) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 48 dan Ps 51 huruf c;

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik


Dokter dan Dokter Gigi Pasal 18;

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 57.


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 915 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran Pasal 6.

48
Catatan:
• Menurut Pasal 57 UU No.36/2009:
(1)Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang
telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2)Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi
a.perintah undang-undang;
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:

b.perintah pengadilan;
c.izin yang bersangkutan;
d.kepentingan masyarakat; atau
e.kepentingan orang tersebut.
• Menurut Pasal 44 UU 44/2009:
(1)Rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada
publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran.
(2)Pasien dan/atau keluarga yang menuntut Rumah Sakit dan
menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah melepaskan
hak rahasia kedokterannya kepada umum.
(3)Penginformasian kepada media massa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) memberikan kewenangan kepada Rumah Sakit untuk
mengungkapkan rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab Rumah
Sakit.
49
• Menurut Pasal 32 huruf r UU No.44/2009:
Setiap pasien mempunyai hak mengeluhkan pelayanan Rumah
Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media
cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
• Salah satu bentuk pembukaan rahasia kedokteran untuk
kepentingan kesehatan pasien adalah untuk keperluan
pembayaran asuransi atau jaminan pembiayaan kesehatan, yang
persetujuan dari pasien itu dinyatakan telah diberikan pada saat
pendaftaran pasien di fasilitas pelayanan kesehatan (Periksa
Permenkes No.36/2012 Pasal 6).

50
18. Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil
pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.
Penjelasan:
a. Sebagai profesional medik, dokter dan dokter gigi harus jujur
dan dapat dipercaya dalam memberikan keterangan medis,
baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
b. Dokter dan dokter gigi tidak dibenarkan membuat atau
memberikan keterangan palsu.
c. Dalam hal membuat keterangan medis berbentuk tulisan
(hardcopy), dokter wajib membaca secara teliti setiap
dokumen yang akan ditandatangani, agar tidak terjadi
kesalahan penjelasan yang dapat menyesatkan.
Dasar :

Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7, dan Kode Etik Kedokteran Gigi.

51
Catatan:
Menurut Pasal 7 Kode Etik Kedokteran, seorang dokter hanya
memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Dengan demikian, Dokter pembuat surat keterangan medis tersebut
harus dapat membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta.
Dengan kalimat “memeriksa sendiri kebenarannya” sebagaimana
tercantum dalam pasal 7 berarti bahwa dokter tersebut
menginterpretasikan hasil-hasil pemeriksaan medis yang telah
diyakini kebenarannya, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang
dilakukan oleh sejawatnya atau hasil konsultasinya.

52
19.Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan
(torture) atau eksekusi hukuman mati.
Penjelasan:
Prinsip tugas mulia seorang profesional medis adalah memelihara
kesehatan fisik, mental dan sosial penerima jasa pelayanan
kesehatan. Oleh karenanya, dokter atau dokter gigi tidak
dibenarkan turut serta dalam pelaksanaan tindakan yang
bertentangan dengan tugas tersebut termasuk tindakan penyiksaan
atau pelaksanaan hukuman mati.
Dasar :

Keputusan Muktamar IDI XXIII No 14/MUK XXIII/XII/97 tentang Tindakan Penyiksaan;

World Medical Association: Deklarasi Tokyo Tahun 2000.

53
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya yang tidak sesuai dengan
ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan.
Penjelasan:
Dokter dibenarkan memberikan obat golongan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya sepanjang sesuai dengan
indikasi medis dan peraturan perundang-undangan.
Dasar:

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

54
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau
tindakan kekerasan terhadap pasien dalam penyelenggaraan
Praktik Kedokteran.

Penjelasan:

Dalam hubungan terapeutik antara dokter atau dokter gigi dan


pasien, dokter atau dokter gigi tidak boleh menggunakan hubungan
personal seperti hubungan seks atau emosional yang dapat merusak
hubungan dokter atau dokter gigi dan pasien.
Dasar:

Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7 huruf a,

Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf f)

55
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan
haknya.

Penjelasan:

Dalam melaksanakan hubungan terapeutik dokter atau dokter gigi dan


pasien, dokter atau dokter gigi hanya dibenarkan menggunakan gelar
akademik atau sebutan profesi sesuai dengan kemampuan,
kewenangan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Penggunaan gelar dan sebutan lain yang tidak sesuai dinilai dapat
menyesatkan masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.
Dasar:

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf e)

56
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta
pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan.
Penjelasan:

Dalam melakukan rujukan pasien, laboratorium, dan/atau teknologi


kepada dokter atau dokter gigi lain atau sarana penunjang lain, atau
pembuatan resep/pemberian obat, seorang dokter atau dokter gigi hanya
dibenarkan bekerja untuk kepentingan pasien. Oleh karenanya, dokter
atau dokter gigi tidak dibenarkan meminta atau menerima imbalan jasa
atau membuat kesepakatan dengan pihak lain di luar ketentuan etika
profesi (kick-back atau fee-splitting) yang dapat mempengaruhi
indepedensi dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.
Dasar:

Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 3;


Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf d);
Keputusan Muktamar IDI XXIII Nomor 14/ MUK XXIII/XII/97 tentang Promosi Obat, Kosmetika,
Alat dan Sarana Kesehatan, Makanan, Minuman dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.

57
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan
kemampuan/pelayanan yang dimiliki baik lisan ataupun tulisan yang
tidak benar atau menyesatkan.

Penjelasan:

a. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan medis, membutuhkan


informasi tentang kemampuan/pelayanan seorang dokter atau dokter
gigi untuk kepentingan pengobatan dan rujukan. Oleh karenanya,
dokter atau dokter gigi hanya dibenarkan memberikan informasi yang
memenuhi ketentuan umum yaitu sah, patut, jujur, akurat dan dapat
dipercaya.

b. Melakukan penyuluhan kesehatan di media massa tidak termasuk


pelanggaran disiplin.

c. Melakukan pengiklanan diri tentang kompetensi atau layanan yang


benar merupakan pelanggaran etik dan tidak termasuk dalam
pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Dasar:

Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 4 dan Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf h).

58
25. Adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif
lainnya.
Penjelasan:

Penggunaan narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya


dapat menurunkan kemampuan seorang dokter/dokter gigi sehingga
berpotensi membahayakan pengguna pelayanan medis.
Dasar:

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat (3) huruf c.

59
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR)
dan/atau Sertifikat Kompetensi yang tidak sah atau berpraktik
tanpa memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Penjelasan:

Seorang dokter dan dokter gigi yang diduga memiliki STR dan/atau
SIP dengan menggunakan persyaratan yang tidak sah, dapat diajukan
ke MKDKI/MKDI-P. Apabila terbukti adanya pelanggaran tersebut,
maka STR akan dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan
SIP akan dicabut oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan
rekomendasi MKDKI/MKDKI-P.
Dasar :

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 36.

60
27. Tidak jujur dalam menentukan jasa medis.
Penjelasan:

Dokter atau dokter gigi harus jujur dalam menentukan jasa medik sesuai dengan
tindakan/asuhan medis yang dilakukannya terhadap pasien.
Dasar:
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf d;
Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 3; dan
Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf d).

Catatan:
Dalam Kode Etik Kedokteran, diatur bahwa pedoman dasar imbalan jasa dokter
adalah antara lain: sesuai kemampuan pasien, ditetapkan dengan mengingat karya
dan tanggung jawab dokter, telah dikomunikasikan dengan jelas kepada pasien,
sifatnya tidak mutlak dan tidak dapat diseragamkan.
Meskipun dalam melaksanakan profesi dokter memperoleh imbalan, namun hal ini
tidak dapat disamakan dengan usaha penjualan jasa lainnya. Pelaksanaan profesi
kedokteran tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, tetapi lebih
didasari sikap perikemanusiaan dan mengutamakan kepentingan pasien.
Dalam Kode Etik Kedokteran Gigi disebutkan, Dokter Gigi di Indonesia dalam
melayani pasien harus selalu mengedepankan ibadah dan tidak semata mencari
materi.
61
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya
yang diperlukan MKDKI/MKDKI-P untuk pemeriksaan atas
pengaduan dugaan pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan
Dokter Gigi.

Penjelasan:

Dalam rangka pemeriksaan terhadap dokter atau dokter gigi yang


diadukan atas dugaan pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan
Dokter Gigi, MKDKI/MKDKI-P berwenang meminta informasi,
dokumen, dan alat bukti lainnya dari dokter atau dokter gigi yang
diadukan dan dari pihak lain yang terkait.
Dasar:

Perkonsil Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006 Pasal 3 ayat (5) tentang Tata Cara Penanganan Kasus
Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi Oleh MKDKI dan MKDKI-P, sudah dicabut
dan diganti Perkonsil No.2 Tahun 2011 Tentang Tatacara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran
Disiplin Dokter dan Dokter Gigi.

62
SANKSI DISIPLIN

Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MKDKI berdasarkan Undang-


Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 69
ayat (3) adalah:
1. Pemberian peringatan tertulis;
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik;
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.

Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang
dimaksud dapat berupa:
a. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau
b. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
tetap atau selamanya;

63
Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang dimaksud berupa
kewajiban mengikuti pendidikan atau reschooling di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, atau pelatihan di
lingkungan rumah sakit pendidikan atau wahana pendidikan.

64
Catatan:

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIP


Dokter dan Dokter Gigi dalam hal (Pasal 32 dan 33 PMK
No.2052/2011):
a.atas dasar rekomendasi MKDKI;

b.STR Dokter dan Dokter Gigi dicabut oleh KKI;

c.Tempat praktik tidak sesuai dengan SIPnya; dan/atau

d.dicabut rekomendasinya oleh organisasi profesi melalui


sidang yang dilakukan khusus untuk itu.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat juga mencabut SIP
dokter dan dokter gigi dalam hal dokter dan dokter gigi melakukan
tindak pidana (Pasal 26 PMK No.1419 tahun 2005).

65
Dalam hal Keputusan tersebut tidak dapat diterima, yang
bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi untuk diteruskan kepada Menteri dalam waktu 14
(hari) setelah keputusan diterima.

Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima surat keberatan


tersebut, Menteri dalam perkara pelanggaran disiplin kedokteran,
meneruskannya kepada MKDKI.

Organisasi Profesi adalah:

• IDI beserta PDS dan IDGI beserta PDGS (PMK No.1438/2010)


• IDI dan IDGI (Pasal 1 angka 12 UU No.29/2004 dan Pasal 1
angka 12 PMK No.2052/2011)

Organisasi profesi yang dapat mencabut rekomendasi adalah ID dan


IDGI, sebagaimana organisasi profesi yang dapat memberi rekomendasi
adalah IDI dan IDGI (Pasal 38 ayat (1) huruf c UU No.29/2004).

66
Memperhatikan bentuk-bentuk pelanggaran disiplin
kedokteran yang telah diatur oleh KKI, dapat disimpulkan dokter
atau dokter gigi yang bersalah secara pidana dan menimbulkan
kerugian secara perdata dalam menjalankan praktek kedokteran
atau kedokteran gigi pasti juga telah melanggar disiplin
prefesional kedokteran.
Oleh karena itu untuk memastikan benar/tidaknya dokter atau
dokter gigi telah melakukan perbuatan pidana dalam memberikan
pelayanan kedokteran yang menimbulkan kerugian secara perdata,
menurut pendapat saya perlu diadukan dan diperiksa terlebih
dahulu oleh MKDI atas perkara tersebut.

Wassalam,
M. Luthfie Hakim (0811 10411 35)

67

Anda mungkin juga menyukai