Anda di halaman 1dari 16

Journal Reading

Conjunctivitis as sole symptom of


COVID-19: A case report and review of
literature
Publicated : European Journal of Ophthalmology 2020

Nama: Clement Panduwinata


NIM: 112019205
Pembimbing: dr. Margrette P. Fransiscus, Sp.M, MSc
Pendahuluan
• Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah infeksi yang baru ditemukan dan sangat menular.
• Menyebabkan impact mendunia, baik pada angka kematian maupun ekonomi.
• Pasien terinfeksi timbul gejala  demam, batuk, lemas  pneumonia
• Beberapa memiliki manifestasi tidak khas  konjungtivitis atau tanpa gejala

• SARS-CoV-2 masuk ke dalam host melalui ikatan dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE-2)
• Reseptor ACE-2 tersebar banyak di tubuh, termasuk di konjungtiva.
• Laporan wabah SARS tahun 2003  pekerja tidak memakai pelindung mata  lebih mudah terinfeksi
• Terdapat peningkatan laporan kasus COVID-19 pneumonia yang dimulai dengan konjungtivitis sebagai
gejala awal setelah kontak dengan pasien terkonfirmasi.
• Deteksi RNA virus dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) bisa menjadi deteksi
awal yang berguna untuk infeksi SARS-CoV-2. sehingga bisa melakukan isolasi mandiri.
• Maka, penting untuk menentukan apakah SARS-CoV-2 dapat ditularkan melalui kontak dengan
konjungtiva.
Case Desciption
• Perawat laki-laki 32-year-old , bekerja di IGD Baskent University  datang ke poli mata tanggal 8 mei 2020
• Keluhan: mata kanan merah, nyeri, berair, dan fotofobia sejak 1 hari.
• Tidak ada keluhan demam, batuk, sesak dan lesu.
• Tidak ada Riwayat berpergian dalam 14 hari terakhir.
• Pasien pernah di diagnosis dengan uveitis anterior idiopatic pada mata kanan 2 tahun yang lalu.

Regulasi menkes Turkey, maka semua 14 April dan 24 April 2020


tenaga kesehatan wajib untuk
melakukan swab SARS-CoV-2 RT-PCR = (-)
Pemeriksaan mata

1. Visus = 20/20 ODS

2. TIO = 13mmHg OD, 14 mmHg OS

3. Slit lamp OD
- Edema kelopak
- Sekresi serosa
- injeksi konjungtiva
- Kemosis ringan
- Reaksi follicular fornix atas dan
bawah • Pada PF tidak ditemukan pembesaran KGB submandibular,
- Kornea jernih
- COA tidak ada inflamasi preauricular dan servikal.

• Pasien biasanya mengenakan APD pribadi ketika berada di IGD


4. Fundus
- Makula dan optic dics normal tetapi kadang harus melepas ketika melakukan prosedur.
• DX = konjungtivitis akut
• Terapi = 1. Moxifloxaxin ED 4x1
2. Artificial tears ED 4x1 (tanpa pengawet) selama 7 hari

10 mei 2020

Ibu pasien yang tinggal serumah,


mengalami batuk dan lemas

Dilakukan RT-PCR = (+) Pemeriksaan penunjang lainnya


1. Swab Influenza a and b antigen = (-)
2. CT scan dan X-ray Thorax = tidak ada pneumonia
3. Darah rutin : dalam batas normal

Karena kontak, pasien


melakukan RT-PCR dan
didapatkan (+)
• Diberikan hydroxychloroquine sistemik dan azithromycin selama 5
hari
• Dilakukan isolasi mandiri sampai infeksi hilang.

Hari ke 5 post DX
• Gejala mata memburuk dan persisten
• Maka dari itu diputuskan dilakukan swab air mata dan konjungtiva.
• Diambil pada kelopak atas dan bawah di kedua mata dengan
melakukan swab fornix dengan kapas steril.

1. RT-PCR konjungtiva (-)


2. Adenovirus (-)
Diskusi
• Penyakit mata karena corona virus sangat jarang jika dibandingkan dengan adenovirus dan influenza virus.
• Rute utama transmisi SARS-CoV-2 melalui jalan nafas
• Sampai saat, ini belum diketahui jika sekresi dari mata, infeksius atau tidak.
• Berdasarkan literatur saat ini, SARS-CoV-2 dapat dideteksi dalam sampel swab yang diambil dari
konjungtiva oleh metode RT-PCR.
1. Penelitian 30 pasien positif COVID oleh Xia dan Tong J
a. Konjungtivitis berkembang pada satu pasien (3,3%) sebagai gejala satu-satunya.
b. Spesimen konjungtiva diambil pada hari ke 3 dan 5 memberikan hasil positif
c. Sekresi konjungtiva pasien juga diuji untuk virus Herpes simpleks, adenovirus, dan penyakit umum lainnya virus
konjungtivitis  hasil negative
d. Menunjukkan bahwa konjungtivitis virus pasien of mungkin terkait dengan SARS-CoV-2.

2. Studi dari Provinsi Hubei


a. Temuan mata seperti konjungtivitis dalam proporsi kasus yang jauh lebih besar (31,6%).
b. Namun, PCR konjungtiva ditemukan positif hanya dalam dua kasus (5,3%).
c. Parameter tes darah, termasuk sel darah putih, neutrofil, prokalsitonin C, protein C-reaktif, dan laktat tingkat
dehidrogenase, juga telah dilaporkan lebih tinggi pada pasien dengan konjungtivitis.
d. Proporsi hasil positif untuk SARS-CoV-2 konjungtiva adalah 2,5% yang secara signifikan lebih rendah dari
nasofaring Tingkat SARS-CoV-2.
3. Satu studi menurut Colavita F,
a. RNA SARS-CoV-2 di konjungtiva swab + , 21 hari dari awal gejala.
b. Lima hari kemudian, virus itu tidak terdeteksi di swab konjungtiva, ditemukan positif lagi di hari 27
c. Menunjukkan replikasi konjungtiva terus menerus dari virus.
d. Transmisi melalui air mata rendah.

4. Laporan kasus seorang pria berusia 70 tahun oleh Hu Yao


a. Ke rumah sakit dengan gejala demam, batuk, dan kelelahan.
b. Mata kiri nya didiagnosis dengan stenosis ductus nasolakrimalis.
c. Hasil RT-PCR konjungtiva tetap positif sampai sekitar 2 minggu setelah nasofaring Hasil RT-PCR negatif.
5. Lima penelitian lain oleh Zhang, Chen, Cheema, Khavandi dan Salducci telah menggambarkan temuan Pasien COVID-19
dengan konjungtivitis.
• Keluhan mata telah dilaporkan dalam spektrum mata merah, mata berair, fotofobia, sensasi benda asing, dan edema
kelopak mata.
• Pemeriksaan slit-lamp adanya sekresi serosa, reaksi folikular pada konjungtiva kelopak mata atas dan bawah, kemosis,
keratokonjungtivitis, dan pseudomembran peradangan.
• SARS-CoV-2 RNA virus terdeteksi dalam sampel swab yang diambil dari konjungtiva.
Satu laporan menunjukkan gejala mata yang parah
a. Termasuk perdarahan tarsal, petekie, dan pseudomembran pada pasien usia 63 tahun yang
membutuhkan pengawasan perawatan intensif dan dukungan ventilasi untuk COVID-19.
b. Tetapi, Hasil swab yang terkumpul tidak mengidentifikasi etiologi bakteri atau virus pada
konjungtiva sekresi dan air mata.
• SARS-CoV-2 membutuhkan ACE-2 reseptor untuk invasi sel.

• Reseptor ACE-2 dapat juga ditemukan di kornea dan konjungtiva.

• Menunjukkan bahwa jaringan permukaan okular mungkin merupakan jaringan target potensial untuk SARS-
CoV-2.

• Oleh karena itu, dianjurkan untuk menggunakan kaca mata pelindung.

• Namun, ada juga pasien dengan Hasil RT-PCR konjungtiva positif tanpa tanda-tanda konjungtivitis.

• Oleh karena itu, hubungan antara infeksi permukaan okular dan COVID-19 dan apakah penyakit itu dapat
ditransmisikan melalui permukaan mata membutuhkan lebih lanjut penelitian.
Kesimpulan
• Konjungtivitis bisa menjadi sebagai satu-satunya gejala dari COVID-19.

• Pasien mungkin tidak memiliki demam, lemas, atau gejala pernafasan yang menimbulkan kecurigaan.

• Pasien biasanya adalah orang yang kontak dengan pasien positif COVID dan melakukan RT-PCR.

• Sepertiga dokter spesialis mata yang berhubungan dengan diagnosis dan pengobatan pasien selama pandemi
tidak sengaja terkena covid-19.

• Mereka menunjukan gejala berat termasuk kematian.

• Diharapkan semua dokter dan dokter spesialis mata harus berhati-hati ketika merawat pasien dengan
konjungtivitis.

• Diharapkan melakukan protokol dengan baik untuk mencegah penularan dari mata.

• Jika pasien tidak ada gejala selain konjungtivitis, RT-PCR test nasofaring atau konjungtiva swab bisa membantu
untuk diagnosis penyakit awal.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai