Anda di halaman 1dari 13

Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis

(Konservatif dan Nonkonservatif)


dan
Komplikasi Trauma Medulla Spinalis

Oleh : Efa Fathurohmi


NPM : 2006539481
Kelas : A
Mata Kuliah : K. Dewasa : Saraf, Pergerakan dan Keganasan
Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis

Penatalaksanaan pada trauma medulla spinalis menurut Gondowardja (2014), terdiri


atas :

- Penatalaksanaan pra rumah sakit


- Evaluasi
- Penatalaksanaan gawat darurat, dan
- Medikamentosa

Terapi hanya terbatas realignment struktur anatomi dan stabilisasi columna vertebralis


atau dekompresi medulla spinalis. Selama proses penyembuhan, pasien diberikan
tindakan rehabilitasi intensif untuk mengoptimalkan fungsi neurologis yang masih ada.
Lanjutan...

1. Penatalaksanaan Pra Rumah Sakit


Penatalaksanaan trauma medulla spinalis dimulai segera setelah terjadinya trauma.
Penatalaksanaan pra rumah sakit diperlukan dalam menentukan prognosis pemulihan
neurologis pasien trauma medulla spinalis.

2. Evaluasi
Fase evaluasi terdiri atas observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas
ABCDE, berupa:
• A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinalis
• B: Breathing dan ventilasi
• C: Circulation dengan kontrol perdarahan
• D: Disability (status neurologis)
• E: Exposure/environmental kontrol
Lanjutan...
Bila terdapat tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara syok hipovolemik
dan syok neurogenik.
- Pada syok hipovolemik didapati tanda hipotensi, takikardia, dan ekstremitas dingin.
- Pada syok hipovolemik lakukan pemberian cairan kristaloid berupa NaCl 0,9% atau
Ringer Laktat
- Pada syok neurogenik menampakkan gejala hipotensi, bradikardia, dan ekstremitas
hangat.
- Pada syok neurogrnik lakukan pemberian vasopressor untuk menaikkan tekanan
darah, seperti dopamine, adrenalin 0,2 mg subkutan, dan boleh diulangi setiap 1 jam.
- Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin dan mencegah
retensi urin.
- Pemasangan pipa nasogastrik juga dapat dilakukan dengan tujuan untuk dekompresi
lambung pada distensi dan demi kepentingan nutrisi secara enteral.
- Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna membuat
diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya.
Lanjutan...
3. Penatalaksanaan Gawat Darurat
Stabilisasi Vertebra dan Immobilisasi
- Stabilisasi vertebra dibutuhkan untuk mencegah rusaknya saraf.
- Vertebra cervical dapat dimobilisasi dengan menggunakan hard cervical
collar selama 4-6 minggu dan meletakkan bantal pasir pada kedua sisi kepala.
- Korset torakolumbal atau lumbal juga dapat dipasang pada fraktur atau dislokasi
kolumna vertebralis bagian torakal dan lumbal.
- Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan penatalaksanaan
adalah realignment dan fiksasi segmen bersangkutan.
- Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat, yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher
dalam posisi normal dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak
terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada
tempat atau alas yang keras
Lanjutan...

• Pembedahan
Indikasi : fraktur, pecahan tulang yang menekan medulla spinalis, gambaran neurologis
yang progresif memburuk, fraktur atau dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus
intervertebralis yang menekan medulla spinalis.
Tujuan : untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus, dan
menstabilisasi vertebra guna mencegah nyeri kronis.
Ada dua perspektif teknik pembedahan pada medulla spinalis ;
1. dari Guttmann et al, reduksi dan fiksasi dari vertebra yang dislokasi dengan traksi
dan imobilisasi sampai fiksasi skeletal terpenuhi, kemudian dilakukan rehabilitasi.
2. dari Collins dan Chehrazi, yaitu dekompresi bedah awal, koreksi pembenaran tulang,
dan pelepasan dari jaringan diskus yang herniasi dan perdarahan intra dan
ekstramedullar, kemudian difiksasi pada saat bersamaan dengan bone graft atau bentuk
stabilisasi yang lain.
- Stabilisasi fraktur dengan operasi dan fiksasi vertebra dapat meningkatkan
keselamatan pasien, tetapi tidak dapat menurunkan disabilitas neurologis.
Lanjutan...
Terapi farmakologi yang dipakai terbagi atas terapi untuk kerusakan primer dan terapi
untuk kerusakan sekunder.
1. Kerusakan primer menimbulkan syok neurogenik yang berhubungan dengan
beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi
peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin yang
tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi ini lebih ditujukan untuk
mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan medulla
spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus
diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang
berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan
aliran darah ke perifer.
2. Terapi untuk kerusakan sekunder berupa kortikosteroid, 21-amino steroid,
antagonis reseptor opiod, gangliosida, thyrotropin-releasing hormone (TRH),
antioksidan, kalsium, imunomodulator.
Lanjutan...
• Kortikosteorid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi edema
vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medulla spinalis, menghambat pelepasan
endorfin dari hipofisis, dan menghambat respon radang.
Penggunaannya adalah sebagai antiinflamasi dan antiedema.

• 21-Aminosteroid (Lazaroid/Tirilazad mesilat)


Tirilazad mesilat bekerja dengan mengurangi proses peroksidasi lipid melalui perantaraan
vitamin E. Efek lainnya adalah mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta menstabilkan
membran sel, namun penggunaannya masih belum terbukti menghasilkan keluran yang lebih
baik.

• GM-1 Gangliosid
GM-1 Gangliosid merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel.
Glikolipid berfungsi meningkatkan neuronal sprout dan transmisi sinaptik. GM-1
Gangliosid memiliki fungsi faktor pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel saraf,
serta meregulasi protein kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf pascaiskemia. 
Lanjutan...
• Antagonis Opioid
Kerusakan sekunder diperparah oleh opioid endogen. Opioid endoegen menginhibisi
sistem dopaminergik dan depresi sistem kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid
dapat mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medulla spinalis membaik.

• Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH


TRH melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen, platelet activating
factor, peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga akan menguatkan
aliran darah spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi
lipid.

• Penyekat Kanal Kalsium


Kalsium berperan pada kematian sel melalui mekanisme efek neurotoksik, vasospasme
arteri, blokade kanal natrium, serta NMDA dan AMPA. Nimodipin, benzamil, dan
bepiridil merupakan antagonis ion kalsium dan natrium. Nimodipin, penyekat
kanalkalsium dihidropiridin, memiliki fungsi memblokade kanal ion kalsium sehingga
mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding sel endotel pembuluh
darah, oleh karena itu dapat mencegah vasospasme dan iskemi post trauma.
Lanjutan...
• Magnesium
Magnesium belum diketahui efek klinisnya pada manusia. Namun, pada tikus
dengan onset 30 menit pascatrauma, MgSO4 600 mg/kgBB mempunyai efek baik
dengan evaluasi somatosensory evoked potential dan mencegah peroksidase lipid.

• Penyekat Kanal Natrium


Penumpukan ion natrium juga didapatkan pascatrauma. Efek obat ini adalah anestesi
lokal, antiaritmia, dan antikonvulsi dengan tujuan melindungi sel pascatrauma.

• Modulasi Metabolisme Asam Arakidonat


Asam arakidonat yang berubah menjadi tromboksan, prostaglandin, dan leukotrien
akan menurunkan aliran darah, agregasi trombosit sehingga menimbulkan
iskemia. Prostasiklin merupakan hasil metabolisme asam arakidonat memiliki efek,
yaitu vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit.
Komplikasi Trauma Medulla Spinalis

Menurut Wahyudi (2012) komplikasi yang timbul pada kasus trauma medulla spinalis
antara lain yaitu :
1. Skin Breakdown disebabkan karena penekanan (posisi statis), gangguan sensori dan
gangguan vaskularisasi.
2. Osteoporosis disebabkan karena tidak ada aktivitas otot dan penumpuan berat
badan.
3. Pneumonia
4. Heteropic Ossification yaitu penulangan pada sekitar sendi (tulang yang terbentuk
di lokasi di mana seharusnya tidak ada), biasanya terjadi pada sendi besar hip, knee
atau shoulder, resiko kaku sendi dan penyatuan sendi.
5. Spasticity (lemah, kaku-kaku)
6. Autonomic dysreflexia yaitu dapat terjadi pada pasien dengan lesi di atas level T6
atau T7, diduga karena terputusnya otonom yang mengontrol tekanan darah dan
disfungsi jantung dapat berakibat
Komplikasi Trauma Medulla Spinalis

7. Deep Ven Thrombus (DVT)


8. Cardiovascular disease
9. Respiratory Dysfunction and Infection
10. Neuropatic/Spinal Cord Pain yaitu kerusakan dari tulang vertebra, medulla
spinalis, saraf tepi, dan jaringan di sekitarnya bisa menyebabkan hal ini. Bisa berupa
nyeri pada akar saraf yang tajam seperti teriris dan menjalar sepanjang perjalanan saraf
tepinya, bahkan terjadi phantom limb pain.
11. Syringomyela merupakan pembesaran kanalis sentralis dari medulla spinalis pasca
trauma, terjadi pada 1-3% pasien trauma medulla spinalis.
Daftar Pustaka

• Gondowardaja Y, Purwata TE. Trauma medulla spinalis: patobiologi dan


tatalaksana medikamentosa. Cermin Dunia Kedokteran-219. 2014; 41(8): 567-571

Anda mungkin juga menyukai