Anda di halaman 1dari 52

MK HAN PERTEMUAN 12

Beleidsregel
• Doktrin Ultra Vires
• Diskresi
• Bestuurszorg
Peraturan Kebijaksanaan
(Freies Ermessen)
 Peraturan kebijakan → lahir dari → asas kebebasan
bertindak (Freies Ermessen).
 Frei → bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka.
 Freies → orang yang bebas, tidak terikat, dan mardeka.
 Ermessen → mempertimbangkan, menilai, menduga, dan
memperkirakan.
 Freies Ermessen → orang yang memiliki kebebasan untuk
menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu.
 Freies Ermessen → pemerintahan → salah satu sarana
yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan-
badan administrasi negara untuk melakukan tindakan
tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.

slide kuliah 2018 3


Lanjutan
 Sjachran Basah → unsur-unsur Freies Ermessen, yaitu:
1. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
2. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi
negara;
3. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
4. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
5. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba;
6. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun
secara hukum.

slide kuliah 2018 4


Ciri-ciri Peraturan Kebijakan
 J.H van Kreveld → ciri-ciri peraturan kebijakan, yaitu:
1. Peraturan kebijakan tidak ditemukan dasarnya dalam
undang-undang;
2. Peraturan kebijakan secara tertulis atau tidak tertulis
termuat dalam keputusan-keputusan instansi
pemerintah;
3. Peraturan kebijakan memberikan petunjuk secara umum.

slide kuliah 2018 5


Fungsi Peraturan Kebijakan
 Marcus Lukman → fungsi peraturan kebijakan, yaitu:
1. Sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan,
dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada
peraturan perundang-undangan;
2. Sarana pengaturan bagi keadaan vacum peraturan
perundang-undangan;
3. Sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang
belum terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil
dalam peraturan perundang-undangan;
4. Sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan
perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman;

slide kuliah 2018 6


Lanjutan
5.Kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi
di bidang pemerintahan dan pembangunan yang
bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaharuan
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

slide kuliah 2018 7


• Contoh beleidsregel : SE Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang /Jasa Pemerintah (LKPP) No. 3 tahun 2020 tentang
Penjelasan Atas Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa
dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19)
• Instruksi Jaksa Agung No.5 tahun 2020 tentang Kebijakan
Pelaksanaan Tugas dan Penanganan Perkara Selama Masa
Pencegahan Penyebaran Covid 19 di Lingkungan Kejaksaan
• Instruksi Bupati Bojonegoro No. 2 tahun 2020 tanggal 15
Maret 2020 tentang KLB Non Alam dalam Rangka
Pencegahan Penyebaran Virus Corona Disease (Covid-19)
• Imbauan No. 443/313/Dinkes/2020 mengenai Peningkatan
Kewaspadaan Terhadap Resiko Penularan Infeksi Covid 19
Asas Legalitas
 Hukum Pidana → Nullum delictum sine praevia lege
poenali (tidak ada hukuman tanpa undang-undang).
 Hukum Administrasi Negara → legaliteitsbeginsel atau
het beginsel van wetmatigheid van bestuur → prinsip
keabsahan pemerintahan.

9
slide kuliah 2018
Asas legalitas mengandung 3 aspek (HD Stout yang dikutip
dari pendapat Verhey), yaitu:
1.Aspek negatif (het negatieve aspect)
bahwa tindakan pemerintahan tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang.
tindakan pemerintahan adalah tidak sah jika
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
2.Aspek formal positif (het formeel positieve aspect)
bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan
tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-
undang.
3.Aspek materiil positif (het materieel positieve aspect)
bahwa undang-undang memuat aturan umum yang
mengikat tindakan pemerintahan.
10
slide kuliah 2018
Wewenang Pemerintahan
 Bagir Manan → wewenang tidak sama dengan
kekuasaan.
 Kekuasaan → hak berbuat atau tidak berbuat.
 Wewenang → hak dan kewajiban (rechten en plichten).
 HD Stout menyatakan:
wewenang → pengertian yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan
oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum
publik.
11
slide kuliah 2018
Sumber dan Cara Memperoleh
Wewenang Pemerintahan
1. Atribusi;
2. Delegasi; dan
3. Mandat.

12
slide kuliah 2018
Menurut HD van Wijk/Willem Konijnenbelt
mendefinisikan:
1. Atribusi
yaitu pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
2. Delegasi
yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu
organ pemerintahan kepada organ pemerintahan
lainnya.
3. Mandat
yaitu terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya.

13
slide kuliah 2018
Syarat-syarat delegasi, yaitu:
1. Delegasi harus definitif → pemberi delegasi (delegans) tidak
dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah
dilimpahkan itu.
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan → delegasi hanya dimungkinkan kalau ada
ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.
3. Delegasi tidak kepada bawahan → dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan) → delegasi
berhak untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan
wewenang tersebut.
5. Peraturan kebijakan (beleidsregel) → delegans memberikan
instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

14
slide kuliah 2018
Perbedaan
Delegasi dan Mandat
Delegasi Mandat
1. Pelimpahan wewenang; 1. Perintah untuk
2. Kewenangan tidak dapat melaksanakan;
dijalankan secara insidental 2. Kewenangan dapat
oleh organ yang memiliki sewaktu-waktu
wewenang asli; dilaksanakan oleh mandans;
3. Terjadi peralihan tanggung 3. Tidak terjadi peralihan
jawab; tanggung jawab;
4. Harus berdasarkan UU; 4. Tidak harus berdasarkan
5. Harus tertulis. UU;
5. Dapat tertulis, dapat pula
secara lisan.
15
slide kuliah 2018
Wewenang
• Menurut Pasal 1 angka 5 UUAP, wewenang diartikan
sebagai hak yang dimiliki oleh Badan dan atau
Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya untuk mengambil keputusan dan atau
tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
• Kewenangan berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUAP,
diartikan sebagai kekuasaan Badan dan atau Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
untuk bertindak dalam ranah hukum publik
• Secara konseptual, istilah wewenang atau
kewenangan sering disejajarkan dengan istilah
Belanda “bevoegdheid” ( yang berarti wewenang
atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang
sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan
(Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru
dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang
yang diperolehnya. Pengertian kewenangan dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama
dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk
melakukan sesuatu.
Sumber Wewenang
• Pasal 11 UUAP, sumber wewenang diperoleh melalui atribusi,
delegasi, dan atau mandat.
• Badan dan atau Pejabat Pemerintahan memperoleh
wewenang melalui atribusi apabila:
a. Diatur dalam UUD NRI tahun 1945 dan atau UU
b. Merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada
c. Atribusi diberikan kepada Badan dan atau Pejabat
Pemerintahan
• Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab Kewenangan
berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
bersangkutan.
• Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur
di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
• Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap diperlukan.
• Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi
wewenang pemerintahan dibedakan : Original legislator,
dalam hal ini di tingkat pusat MPR sebagai pembentuk
Undangundang Dasar dan DPR bersama Pemerintah sebagai
yang melahirkan suatu undangundang. Dalam kaitannya
dengan kepentingan daerah, oleh konstitusi diatur dengan
melibatkan DPD. Di tingkat daerah yaitu DPRD dan
pemerintah daerah yang menghasilkan  Peraturan Daerah.
• Misal, UUD 1945 sesudah perubahan, dalam Pasal 5 ayat (2)
memberikan kewenangan  kepada Presiden dalam
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
undangundang sebagaimana mestinya. Dalam Pasal 22 ayat
(1), UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden
untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU jika
 terjadi kepentingan yang memaksa.
• Delegated legislator, dalam hal ini seperti presiden yang berdasarkan
suatu undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah, yaitu
diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau
jabatan tata usaha negara tertentu.
• Misal,  Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2003, tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil Pasal 12 (1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan
pengangkatan, pemindahan, dan  pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
Pusat di lingkungannya dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke
bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
 Pengertian pejabat pembina kepegawaian pusat adalah Menteri.
Pelimpahan kewenangan dalam pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan, dapat dibagi dalam dua
bentuk, yaitu:
1. Pelimpahan Kewenangan Atribusi;
2. Pelimpahan Kewenangan Delegasi.
Pelimpahan Kewenangan Atribusi adalah pemberian kewenangan
membentuk Peraturan Perundang-undangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu Lembaga
Negara/pemerintahan.
Pelimpahan kewenangan Atribusi dalam pembentukan peraturan
daerah dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
136, yaitu:
Pasal 136
(1) Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat
persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(2) Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan.
(3) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah
Pelimpahan Kewenangan Delegasi adalah pelimpahan
kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-
undangan yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-
undangan yang sejenis atau yang lebih rendah, baik
pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak.
Salah satu contoh pemberian kewenangan delegasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 146 Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 146
(1)Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan
perundang- undangan, kepala daerah menetapkan
peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala
daerah.
(2)Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang
bertentangan dengankepentingan umum, Perda, dan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Atribusi
• Kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintahan/ LN oleh
badan legislatif yang independen
• Sifat kewenangan asli, tidak diambil dari kewenangan yang ada
sebelumnya, berasal dari pembentuk undang-undang orisinil
• Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri bukan perluasan
kewenangan sebelumnya
• Pemberi dan penerima wewenang sudah ada
• Tanggung jawab intern dan ekstern pelaksaaan wewenang yang
didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang
• Wewenang atribusi bersifat asli atas dasar konstitusi (UUD) atau
undang-undang
• Organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung
dari redaksi pasal tertentu dalam peraturan perundang-undangan
• Contoh kewenangan atribusi:
1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan MA (Pasal 14 UUD NRI
1945)
2. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda
kehormatan yang diatur dengan UU (Pasal 15 UUD NRI
1945)
3. Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari
dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah
provinsi ditetapkan oleh Gubernur (UU No. 32 tahun
2004 Pasal 130)
Delegasi
Pasal 13 UUAP
•Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
•Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui
Delegasi apabila:
a.diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan lainnya;
b.ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau
Peraturan Daerah; dan
c.merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
•Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain
dalam peraturan perundang-undangan.
• Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain,
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang
melalui Delegasi dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan ketentuan:
a. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang dilaksanakan;
b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan
c. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1
(satu) tingkat di bawahnya.
• Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat
menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi,
kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan
ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memberikan pendelegasian Kewenangan dapat
menarik kembali Wewenang yang telah didelegasikan.
• Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang
melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada penerima
Delegasi.
• Misal, dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009
 Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara
Pasal 93  (1) Pejabat struktural  eselon I diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri yang
bersangkutan (2)  Pejabat struktural eselon II ke bawah
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bersangkutan.
(3) Pejabat struktural eselon III ke bawah dapat diangkat dan
diberhentikan oleh  Pejabat yang diberi pelimpahan
wewenang oleh Menteri yang bersangkutan.
Delegasi
• Pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan yang telah diberi
wewenang kepada organ lain yang akan melaksanakan wewenang
tersebut sebagai wewenang sendiri
• Terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau
jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang
pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha
negara lainnya.
• Selalu didahului oleh adanya suatu atribusi
wewenang
• Setelah wewenang diserahkan, pemberi
wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.
• Delegasi merupakan pelimpahan tidak secara penuh, artinya
tidak termasuk wewenang untuk pembentukan kebijakan, karena
wewenang pembentukan kebijakan tersebut berada ditangan pejabat
yang mendapat pelekatan secara atribusi
• Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memperoleh Wewenang
melalui Delegasi apabila ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah.
Contoh:
Berdasarkan ketentuan UU No. 32/2004 bahwa kedudukan Kecamtan
sebagai lingkungan kerja perangkat daerah. Sedangkan Camat sebagai
perangkat daerah dan memiliki kewenagan bersifat atributif dan
delegatif. Semetara itu, hubungannya dengan kelurahan, lurah
menerima delegasi kewenagan dari Bupati/walikota.
Selanjutnya, Berdasarkan ketentuan Pasal 126 ayat (2) UU No.
32/2004 menyebutkan: Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh sebagian pelimpahan wewenang Bupati atau Walikota
untuk menangani sebagian urusan ototomi Daerah. Berfungsi tidaknya
camat dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, akan sangat
tergantung seberapa besar delegasi kewenangan yang diberikan oleh
Bupati atau Walikota kepadannya.
• Dalam urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah di luar urusan
pemerintahan, pemerintah dapat:
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada Gubernur selaku wakil pemerintah,
menugaskan sebagian urusan kepada pemda
dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas
tugas pembantuan (UU No. 32 tahun 2004,
pasal 10 ayat (5)
Mandat
Pasal 14 UUAP
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila:
a.ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
a.pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang
berhalangan sementara; dan
b.pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang
berhalangan tetap.
•Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya,
kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
•Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus
menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan Mandat.
• Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat
menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat,
kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Mandat menimbulkan
ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menarik kembali
Wewenang yang telah dimandatkan.
• Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang
melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau
Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status
hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
• Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang
melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi
Mandat.
• Contoh: Menteri dengan pegawainya. Menteri
mempunyai kewenangan dan melimpahkan
kepada pegawai untuk mengambil keputusan
tertentu atas nama Menteri, sementara
secara yuridis wewenang (dalam arti hak dan
tanggung jawab) tetap berada pada organ
kementerian.
• Dalam hal ini, pegawai memutuskan secara
faktual, sedang Menteri secara yuridis
Mandat
 Mandat diberikan dalam hubungan kerja antara atasan dan
bawahan
 Tidak terjadi pengakuan kewenangan atau
pengalihtanganan kewenangan dalam arti yang diberi
mandat hanya bertindak untuk dan atas nama yang
memberi mandat
 Pemberi mandat masih dapat menggunakan wewenang
bilamana mandat telah berakhir
 Pemberi mandat wajib untuk memberi instruksi
(penjelasan) kepada yang diserahi wewenang dan berhak
untuk meminta penjelasan mengenai
pelaksanaan wewenang tersebut.
 Tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tidak beralih
dan tetap berada pihak yang memberi mandat.
Terkait dengan pelimpahan wewenang kepada
pejabat bawahannya, terdapat pengaturan yang
ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yaitu:
a.Penandatanganan
Pimpinan organisasi instansi pemerintah
bertanggung jawab atas segala kegiatan yang
dilakukan di dalam organisasi atau instansinya.
Tanggung jawab tersebut tidak dapat dilimpahkan
atau diserahkan kepada seseorang yang bukan
pejabat berwenang. Garis kewenangan digunakan
jika surat dinas ditandatangani oleh pejabat yang
mendapat pelimpahan dari pejabat yang
berwenang.
Penandatanganan surat dinas yang menggunakan garis kewenangan dapat
dilaksanakan dengan
menggunakan cara:
a.Atas nama (a.n.)
Atas nama yang disingkat (a.n.) digunakan jika pejabat yang menandatangani
surat dinas telah diberi kuasa oleh pejabat yang bertanggung jawab,
berdasarkan bidang tugas dan tanggung jawab pejabat yang bersangkutan.
Atas nama merupakan jenis pelimpahan wewenang secara mandat dalam
hubungan internal antara atasan kepada pejabat setingkat dibawahnya.
Dipergunakan jika yang berwenang menandatangani surat/dokumen
melimpahkan kepada pejabat di bawahnya.
b. Untuk Beliau (u.b.)
Untuk beliau yang disingkat (u.b.) digunakan jika yang diberikan
kuasa memberikan kuasa lagi kepada pejabat satu tingkat di
bawahnya, sehingga untuk beliau (u.b.) digunakan setelah atas nama
(a.n.). Pelimpahan wewenang ini mengikuti urutan sampai dua
tingkat struktural di bawahnya. Untuk Beliau merupakan jenis pelimpahan
wewenang secara mandat, dalam hubungan internal antara atasan kepada
pejabat dua tingkat di bawahnya. Digunakan jika yang diberikan kuasa
memberi kuasa lagi kepada pejabat satu tingkat di bawahnya, sehingga
untuk beliau (u.b) digunakan setelah ada atas nama (a.n.).
• Pelaksana Tugas (Plt.)
• Ketentuan penandatanganan pelaksana tugas, yang
disingkat (Plt.), adalah Pelaksana tugas (Plt.) digunakan
apabila pejabat yang berwenang menandatangani
naskah dinas belum ditetapkan karena menunggu
ketentuan bidang kepegawaian lebih lanjut, dan
pelimpahan wewenang bersifat sementara, sampai
dengan pejabat yang definitif ditetapkan.
• Ketentuan mengenai Pelaksana Tugas, yaitu:
1) Bertanggung jawab atas naskah dinas yang
dilakukannya.
2) Digunakan apabila pejabat yang berwenang
menandatangani naskah dinas belum ditetapkan karena
menunggu ketentuan bidang kepegawaian lebih lanjut.
3) Pelimpahan wewenang bersifat sementara, sampai
dengan pejabat yang definitif ditetapkan
Pelaksana Harian (Plh.)
Ketentuan penandatanganan Pelaksana Harian, yang disingkat (Plh.),
adalah Pelaksana Harian (Plh.) digunakan apabila pejabat yang
berwenang menandatangani naskah dinas tidak berada di tempat
sehingga untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sehari-hari perlu ada
pejabat sementara yang menggantikannya, dan pelimpahan wewenang
bersifat sementara, sampai dengan pejabat yang definitif kembali di
tempat.
Ketentuan mengenai Pelaksana Harian, yaitu:
1)Dipergunakan apabila pejabat yg berwenang menandatangani naskah
dinas tidak berada di tempat.
2)Pelimpahan wewenang bersifat sementara, sampai dengan pejabat yang
definitif kembali di tempat.
3)Tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan
keputusan yang mengikat seperti pembuatan DP-3, penetapan surat
keputusan, penjatuhan hukuman disiplin.
4)Pejabat yang ditunjuk sebagai Plh. tidak membawa dampak terhadap
kepegawaian dan tidak diberikan tunjangan jabatan dalam
kedudukannya sebagai Pelaksana Harian.
Sengketa Kewenangan
• Sengketa karena ketidakjelasan kewenangan dapat
disebabkan dua pejabat atau lebih diberikan kewenangan
untuk bertindak dalam satu bidang urusan pemerintahan
yang terkait, tidak ada pembagian kewenangan secara
jelas, atau bertindak sebagai pejabat tidak definitif
(pelaksana tugas).
• Contoh, mandat Presiden RI kepada Menteri
PPN/Kepala Bappenas untuk melaksanakan tugas dan
kewenangan sebagai Koordinator Investasi (Chief
Investment Officer). Sementara, kewenangan atributif di
bidang koordinasi investasi atau penanaman modal telah
diberikan kepada Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan UU No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Sedangkan, sengketa karena tumpang-tindih
kewenangan dua atau lebih pejabat
pemerintahan disebabkan karena pelaksanaan
kewenangan pejabat pemerintahan bersinggungan
dengan kewenangan pejabat pemerintahan yang lain,
sehingga pelaksanaan kewenangan menjadi kurang
efektif dan efisien.
Contoh, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri
Keuangan diberikan kewenangan atributif untuk
melakukan perencanaan dan penganggaran
pembangunan nasional.
Kasus gugatan Walhi melawan PT EMM

• Objek sengketa di PTUN


SK Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor
66/IUP/PMA/ 2017 tentang Persetujuan Penyesuaian dan
Peningkatan Tahap Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Logam
Penanaman Modal Asing PT Emas Mineral Murni (EMM)
• Majelis Hakim berpendapat bahwa kewenangan untuk menerbitkan
IUP bagi perusahaan dengan PMA ada pada Pemerintah Pusat,
dalam hal ini adalah BKPM yang mendapatkan pendelegasian dari
Kementerian ESDM.
• Majelis lebih lanjut berpendapat bahwa Pemerintah Aceh
mempunyai otonomi khusus, termasuk menerbitakan IUP, namun
penerbitan IUP tersebut tidak meliputi penerbitan IUP bagi
perusahaan dengan PMA.
• Penyelesaian >>Pasal 16 UUAP
• Bagaimana jika beleidsregel dinilai
menimbulkan kerugian?
• Apakah beleidsregel dapat digugat di PTUN?
• Apakah beleidsregel dapat digugat di
Mahkamah Agung?
• Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan. (wettelijk regel)
Jenis dan hirarkhi berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 (Pasal 7 ayat 1) adalah
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
• Terdapat pula jenis peraturan perundang-undangan lainnya yang
berada di bawah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 8
ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. Jenisnya meliputi (dengan tidak
menyebut nama nomenklaturnya) peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
• Pasal 8 ayat (2) memberikan batasan peraturanperaturan yang
dikeluarkan oleh pejabat/lembaga tersebut dapat diakui
keberadaannya, yaitu pembentukannya diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
• Dasar Beleidsregel
• Menurut Bagir Manan, peraturan kebijakan
tidak dapat diuji secara hukum
(wetmatigheid)? Karena?
• Jika dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan 
• Jika tidak dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan 
Kebutuhan untuk melakukan uji materiil
terhadap beleidsregel:
a.Untuk mendapat jaminan perlindungan hukum
b.Perluasan konsep besluit (keputusan)
• Kewenangan MA dalam judicial review
merupakan kewenangan atributif yang
dinyatakan secara tegas dalam Pasal 24A ayat
(1) UUD NRI 1945: “Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-
undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undangundang.”
MA pernah melakukan pengujian terhadap peraturan
kebijakan yang berbentuk surat edaran, yaitu terhadap
Surat Edaran Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi
Nomor 03/31/DJB/2009 (SE No.03/31/ DJB/2009).
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Perkara No. 23 P/ HUM/2009 (selanjutnya
disebut Putusan No. 23 P/HUM/2009), MA menyatakan
SE No. 03/31/ DJB/2009 bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (UU No. 4 Tahun 2009) dan
karenanya tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.
Putusan MA tersebut menunjukkan adanya interpretasi
yang memperluas ruang lingkup jenis peraturan
perundang-undangan tetapi juga sekaligus menyamarkan
batasan konsep peraturan kebijakan.
• Siapa yang berwenang?
>> Pendapat Utrecht, dikembalikan ke
pemerintah yang mengeluarkan kebijakan,
kecuali apabila di luar kewenangannya

Anda mungkin juga menyukai