Pemikir Islam mendasarkan teori hukumnya pada Agama Islam, yaitu wahyu ILLAHI yang disampaikan kepada Rasul Hukum Islam berdasarkan pada Al Quran, maka hukum Islam adalah hukum yang mempunyai hubungan dengan Allah, langsung sebagai wahyu. Ahli pikir Al Syafii- lah yang mengolah aturan-aturan hukum secara sistematis. Sumber hukum Islam terdiri atas: ◦ Al Quran ◦ Hadits (ajaran-ajaran hidup Nabi Muhammad SAW) ◦ Ijma’ (aturan-aturan dimufakati oleh umat islam untuk ditetapkan sebagai hukum) ◦ Qiyas (analogi dan persamaan; (Abdul Ghafur Anshori; FH, 2009,h.17) Pandangan yang berbeda di abad pertengahan mengenai hukum menurut Pemikir Islam dan Pemikir Kristiani
Syafii memberikan argumentasi “mengapa
hukum dicocokkan dengan ketentuan agama?, karena hukum berhubungan dengan wahyu secara langsung, sehingga hukum dipandang sebagai bagian dari wahyu. Sedangkan menurut Agustinus dan Thomas Aquinas, hukum berhubungan dengan wahyu secara tidak langsung, yaitu hukum yang dibuat manusia, disusun di bawah inspirasi agama dan wahyu. (Abdul Ghafur Anshori; FH, 2009,h.17) Para tokoh Kristiani cenderung mempertahankan hukum alam sebagai norma hukum, akan tetapi bukan disebabkan oleh alam yang dapat mencipta hukum, melainkan karena alam merupakan ciptaan Tuhan. Menurut Aquinas, aturan alam tidak lain dari partisipasi aturan abadi (lex aeterna) yang ada pada Tuhan sendiri, Dalam Islam, agama merupakan pengakuan manusia untuk bersikap pasrah kepada sesuatu yang lebih tinggi, lebih agung dan lebih kuat yang bersifat trasendental. Telah menjadi fitrah manusia untuk memuja dan sikap pasrah kepada sesuatu yang dia agung-agungkan untuk dijadikan Tuhannya. Oleh karena Tuhan telah menetapkan hukum-hukumnya bagi manusia, maka tiada lain sebagai konsekuensi dari kepasrahan tersebut manusia harus taat pada hukum-hukum tersebut. Islam memandang tidak ada perbedaan antara hukum alam dengan hukum Tuhan (syariat), karena syariat yang ditetapkan Allah dalam Al Qur’an sesuai dengan hukum alam itu sendiri, yang dalam Islam disebut fitrah. Namun pemaknaan fitrah dalam Islam jauh lebih tinggi daripada pemaknaan hukum alam sebagaimana dipahami dalam konteks ilmu hukum. Jika hukum alam (lex naturae) dipahami sebagai cara segala yang ada berjalan sesuai dengan aturan semesta alam seperti manusia dalam bertindak mengikuti kecenderungan-kecenderungan jasmaninya, maka fitrah berarti pembebasan manusia dari keterjajahan terhadap kemauan jasmaninya yang serba tidak terbatas pada kemauan rohani yang mendekat pada Tuhan.