Pada awalnya, sosiologi dan ilmu pendidikan memiliki wilayah kajian yang
berbeda. Namun karena perkembangan sosial yang berlangsung menyebabkan
kedua disiplin ilmu ini bersinergi. Dengan kata lain, sosiologi pendidikan
merupakan subdisiplin yang menempati wilayah kajian yang menjembatani
disiplin sosiologi dengan ilmu pendidikan. Ruang jembatan tersebut secara
garis besar diisi dengan titik-titik persentuhan dalam konsep, teori,
metodologi, ruang lingkup, maupun pendekatan yang dipergunakan.
Secara historis, sosiologi dan pendidikan dianggap sebagai pengetahuan kuno, yang
keberadaannya berbarengan dengan awal mula adanya manusia. Apabila sosiologi
dipahami dalam arti luas, yakni sebagai social interraction (interaksi sosial) atau
human relationship (hubungan antar manusia), maka sosiologi telah ada sejak zaman
Nabi Adam. Namun sosiologi dalam pengertian scientific (ilmu pengetahuan), yakni
sebagai ilmu yang tersistematisasi dan bermetode, maka baru diakui sejak abad ke
19 melalui Auguste Comte yang kemudian ia dikenal sebagai bapak pendiri
sosiologi
Demikian juga dengan pendidikan, kalau pendidikan dipahami dalam arti luas, yakni
sebagai proses belajar, mengenal, dan mengetahui, maka pendidikan telah ada sejak
zaman Nabi Adam juga. Ketika Allah swt mengajari Adam utuk mengenal nama-
nama seluruh benda yang ada di sekitarnya, dapat dikatakan bahwa peristiwa tersebut
sebagai aktivitas pendidikan (QS. Al-Baqarah: 31): “Dan Dia ajarkan kepada Adam
nama-nama (benda) semuanya kemudian Dia perlihatkan kepada para Malaikat
seraya berfirman, ‘sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang
benar!’”. Tetapi sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ilmu
pendidikan baru diakui pada abad 19, ketika para ahli berhasil merumuskan obyek,
metode, dan sistemnya
sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana
manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan
bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta
kaitannya satu dengan yang lain.
Alat kontrasepsi yang dipergunakan masyarakat pada saat ini dilakukan berdasarkan
pada kebutuhan yang awalnya ditentang banyak pihak, penentangan ini muncul
karena anggapan di larang oleh agama, dan tidak pantas secara kehidupan sosial.
Akan tetapi lambat laun dengan kesadaran masyarakat bahwa jumlah penduduk harus
dikendalikan akhirnya masyarakat menyadari pentingnya penggunaan alat ini,
apalagi setelah masyarakat merasakan manfaatnya bahwa penggunaan alat
kontrasepsi bukan hanya dilakukan dalam pengendalian penduduk akan tetapi
dilakukan dalam upaya menjaga kesehatan yang ada pada sisi psikologis keluarga.
Keadaan mengenai awal mula pertentangan dalam penggunaan alat kontrasepsi dan
akhirnya diterima masyarakat ini secara utuh dikaji dalam teori fungsional bahwa
kesadaran masyarakat akan terbentuk dengan adanya paradigma atas pengetahuan
baru yang di dapatkannya.
TEORI KONFLIK
Teori konflik ini berkembang dengan didasarkan pada asumsi mengenai ketegangan
yang seringkali muncul dalam kehidupan masyarakat. Yang mana suasana
ketegangan tersebut dapat muncul karena adanya kompetisi yang terjadi antar
kepentingan individu ataupun kelompok yang ada di masyarakat.
Teori konflik ini memandang sistem sosial masyarakat yang lebih ditekankan pada
adanya kelompok dominan dan kelompok bawahan. Dalam hal ini, kelompok
bawah digambarkan sebagai kelompok yang dieksploitasi oleh kelompok dominan
dalam hal yang menyangkut pengambilan keputusan dalam kehidupan
bermasyarakat.
CONTOH TEORI KONFLIK
adalah sebuah teori yang mengemukakan tentang diri sendiri dan dunia luar
dengan menggunakan simbol-simbol (isyarat seseorang) yang dimana pada
akhirnya mengandung makna sehingga dapat di pahami oleh orang lain