Anda di halaman 1dari 32

PELAYANAN KESEHATAN

JEMAAH HAJI
Oleh:
dr. MELZAN DHARMAYULI, MHM
PUSAT KESEHATAN HAJI KEMENKES RI

PELATIHAN MANAJEMEN KESEHATAN HAJI


BAGI PENGELOLA KESEHATAN HAJI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
CURRICULUM VITAE

dr. MELZAN DHARMAYULI, MHM


Pekerjaan : Kasubbag Program dan Informasi
Pusat Kesehatan Haji – Kemenkes RI
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 25 Juli 1966
Riwayat Pendidikan : 1. Fak. Kedokteran UNSRI Palembang (1985 – 1992)
2. Faculty of Health, Medicine & Prof. Studies
University of New England, Australia (2000 – 2002)
Riwayat Pekerjaan : 1. Puskesmas (PTT & PNS: 1993-1999)
2. Kanwil Depkes Prov. Sumsel (1999 - 2001)
3. Dinas Kesehatan Prov. Sumsel (2001 - 2012)
4. RS Khusus Paru –Paru Prov.Sumsel (2012 – 2015)
5. Puskes Haji Kemenkes RI (2015 – skrg)
HP / Email : 0812-8006-8371 / melzand@gmail.com
TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti materi ini, peserta memahami dan mampu melakukan
pelayanan kesehatan jemaah haji di daerah.

Tujuan Pembelajaran Khusus


1. Memahami Dasar Hukum
2. Memahami Indikator Pelayanan Kesehatan Jemaah Haji
3. Memahami dan mampu melakukan Pemeriksaan Kesehatan Tahap Pertama
4. Memahami dan mampu melakukan Pemeriksaan Kesehatan Tahap Kedua
5. Memahami dan mampu melakukan Klasifikasi Diagnosa Kode ICD-10
DASAR HUKUM
1. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
4. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
5. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan
Umrah.
7. Permenkes Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji.
8. Permenkes Nomor 62 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Haji.
9. Hasil Ijtima’ Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2018 ttg Kesehatan Haji
10. Surat Edaran Menteri Kesehatan nomor HK.02.01/MENKES/346/2020 tentang
Kategori Sakit Permanen dalam Penyelenggaraan Kesehatan Haji.
KONSEP PELAYANAN
KESEHATAN HAJI
DI INDONESIA
PROSES PEMERIKSAAN DAN PEMBINAAN KESEHATAN JEMAAH HAJI
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 15 TAHUN 2016
TENTANG ISTITHAAH KESEHATAN JEMAAH HAJI

Pemeriksaan
Kesehatan Tahap
Pertama
Risti Non Risti
K
A
B
U
Pembinaan Masa Tunggu
P
A
T Pemeriksaan Kesehatan
E Tahap Kedua
N
/
K
O Memenuhi Syarat Istithaah Tidak Memenuhi Syarat Istithaah Tidak Memenuhi Syarat
Memenuhi Syarat Istithaah
dengan Pendampingan Sementara Istithaah
T
A
• Tidak diberikan kesempatan pelunasan
Pembinaan Masa • Tidak divaksinasi Meningitis
Keberangkatan • Tidak diberikan SPMA

EMBARKASI/ ASRAMA HAJI Pemeriksaan Kesehatan


Tahap Ketiga

Laik Tidak Laik


Terbang Terbang
 Proses pemeriksaan dan pembinaan kesehatan haji menuju istithaah dimulai
pada saat calon jemaah haji mendaftarkan diri.
 Pemeriksaan dan pembinaan kesehatan haji yang pelaksanaannya dimulai di
Puskesmas/klinik/rumah sakit di kabupaten/kota.
 Penanggung jawab adalah Tim Penyelenggara Kesehatan Haji
Kabupaten/Kota.
 Tim ini ibentuk tiap tahun dan dimuat dalam sebuah SK bupati/walikota, atau
dapat didelegasikan kepada Kepala Dinas Kesehatan sebagai penanggung
jawab urusan kesehatan masyarakat di wilayahnya.
 Pelaksanaan istithaah kesehatan jemaah haji diatur melalui Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 tahun 2016
 Penilaian kriteria istithaah kesehatan bagi jemaah haji dilakukan melalui
pemeriksaan dan pembinaan kesehatan berdasar mekanisme baku pada
sarana pelayanan kesehatan terstandar.
Tim Penyelenggara Kesehatan Haji, tdd:
1. Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
2. Kepala bidang yang mengelola kesehatan haji di kabupaten/kota.
3. Pengelola kesehatan haji kabupaten/kota dan Puskesmas.
4. Pemeriksa kesehatan haji (dokter dan perawat Puskesmas/klinik dan
dokter spesialis di rumah sakit rujukan).
5. Tenaga analis kesehatan.
6. Tenaga pengelola data/Siskohatkes.
7. Unit kerja pelaksana penyelenggara haji dan umrah Kantor Kementerian
Agama kabupaten/kota.
Alur Pemeriksaan Kesehatan Jemaah Haji di Puskesmas

Anamnesa Status Risti/Non


Pemeriksaan Risti
Lanjutan (jika Input Data
(Pemeriksaan 1) Siskohatkes
dibutuhkan)

Pendaftaran Pemeriksaan Pemeriksaan


Kesehatan Fisik

Kartu Kesehatan
Jemaah Haji

Pemeriksaan Diagnosa Status Istithaah


Penunjang Kesehatan
(Pemeriksaan 2)
Siskohatkes
Mobile
Pusat Kesehatan Haji – Kemkes RI
puskeshaji.kemkes.go.id / siskohatkes.kemkes.go.id
INDIKATOR PELAYANAN KESEHATAN HAJI
(RENSTRA KEMENKES 2020 - 2024)

1. Seluruh jemaah haji mendapatkan pelayanan kesehatan : 100 %


2. Persentase jemaah haji memperoleh pengukuran kebugaran jasmani
sebelum keberangkatan : 80%
3. Persentase jemaah haji memperoleh perlindungan atau proteksi
terhadap penyakit meningitis meningokokus sebelum keberangkatan :
100%
4. Indeks kepuasan jemaah haji terhadap pelayanan kesehatan haji di
Arab Saudi minimal baik (pada saat operasional haji).
--> Sumber data: Siskohatkes dan Survey
PEMERIKSAAN
KESEHATAN HAJI
TAHAP PERTAMA
PEMERIKSAAN KESEHATAN JEMAAH HAJI
TAHAP PERTAMA
• MERUPAKAN LANGKAH AWAL DAN DASAR DARI PEMERIKSAAN KESEHATAN
• DILAKSANAKAN DI PUSKESMAS ATAU KLINIK YANG DITUNJUK
• BAGI JEMAAH HAJI YANG TELAH MEMPEROLEH NOMOR PORSI TETAPI BELUM
DILAKUKAN PEMERIKSAAN KESEHATAN TAHAP PERTAMA, MAKA JEMAAH HAJI
TERSEBUT HARUS MELAKUKAN PEMERIKSAAN TAHAP PERTAMA.
• DILAKUKAN SESEGERA MUNGKIN SETELAH MENDAPATKAN NOMOR PORSI ATAU
PALING LAMBAT 2 (DUA) TAHUN DARI PERKIRAAN KEBERANGKATAN.
• HASIL PEMERIKSAAN INI AKAN MENJADI DASAR PELAKSANAAN PEMBINAAN
KESEHATAN YANG BERTUJUAN UNTUK MEMPERBAIKI DAN MENINGKATKAN
KONDISI KESEHATAN JEMAAH HAJI.
• Pemkes I menghasilkan diagnosis yang kemudian akan dikategorikan sesuai
tingkat risiko kesehatan, yaitu risiko tinggi (risti) atau tidak risiko tinggi (non-
risti).
• Juga menghasilkan rekomendasi atau tindakan kesehatan selanjutnya
berupa pembinaan kesehatan pada masa tunggu.
• Seluruh jemaah haji diharuskan mengikuti program pembinaan kesehatan
pada masa tunggu.
• Pemkes I dimaksudkan agar tim penyelenggara haji di kabupaten/kota dapat
mengetahui faktor risiko dan parameter faktor risiko kesehatan pada jemaah
haji untuk dapat dikendalikan atau dicegah.
• Dinas kesehatan kabupaten/kota dapat meminta data Jemaah haji yang akan
berangkat pada Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota atau diperoleh
dari Siskohatkes.
TAHAPAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HAJI

1. ANAMNESA
2. PEMERIKSAAN FISIK
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
4. PENETAPAN DIAGNOSA: diagnosis utama ditulis
lebih dahulu
5. PENETAPAN TINGKAT RESIKO KESEHATAN
6. REKOMENDASI/SARAN ATAU TINDAK LANJUT
KRITERIA RISIKO TINGGI
1. Berusia 60 tahun atau lebih, dan/atau
2. Memiliki faktor risiko kesehatan dan gangguan kesehatan yang potensial
menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan ibadah haji, misalnya:
a. Penyakit degeneratif, diantaranya Alzheimer dan demensia
b. Penyakit metabolik, diantaranya diabetes melitus, dyslipidemia, dan
hiperkolesterolemia
c. Penyakit kronis, diantaranya sirosis hepatis, keganasan, Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), Chronic Kidney Diseases (gagal ginjal kronik),
decompensasi cordis (gagal jantung), dan hipertensi
d. Penyakit bawaan, diantaranya kelainan katup jantung, kista ginjal,
diabetes melitus tipe 1
e. Penyakit jiwa, diantaranya skizofrenia dan gangguan bipolar.
3. Memiliki faktor risiko kesehatan yang potensial menyebabkan
ketidakmampuan menjalankan rukun dan wajib haji dan mengancam
keselamatan jemaah haji, antara lain:

a. Penyakit kardiovaskuler.
b. Penyakit metabolik.
c. Penyakit paru atau saluran nafas.
d. Penyakit ginjal.
e. Penyakit hipertensi.
f. Penyakit keganasan, seperti kanker.
• Jemaah haji risti dapat dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lain untuk
tatalaksana selanjutnya.
• Namun harus tetap berkoordinasi dengan dokter pemeriksa kesehatan
tahap pertama.
• Jemaah haji yang telah melakukan pemkes I, diberikan rekomendasi/saran
atau tindak lanjut untuk dilakukan pembinaan kesehatan pada masa tunggu.
• Jemaah haji yang memiliki keterbatasan, maka pola pembinaannya harus
disesuaikan dengan keadaan umum jemaah haji tersebut.
• Hasil pemkes I digunakan sebagai dasar perawatan dan pembinaan
kesehatan untuk mencapai istithaah kesehatan.
• Hasil pemeriksaan kesehatan tahap pertama dan rekomendasi yang
diberikan harus dientry dalam aplikasi Siskohatkes.
POKOK BAHASAN 4

PEMERIKSAAN KESEHATAN TAHAP


KEDUA
PEMERIKSAAN TAHAP II
• Pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan paling lambat 3 bulan sebelum
masa keberangkatan jemaah haji.
• Pemeriksaan kesehatan tahap II dilakukan sebelum pelunasan Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).
• Pemeriksaan kesehatan tahap kedua akan menentukan seseorang memenuhi
syarat atau tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan.
• Penetapan kriteria istithaah oleh TPKH K/K harus melalui koordinasi dan
melibatkan semua pihak yang menjadi tim penyelenggara kesehatan haji
kabupaten/kota.
• Penetapan kriteria istithaah ini harus dapat diselesaikan di tingkat
penyelenggara kesehatan haji kabupaten/kota.
Pemeriksaan kesehatan tahap kedua meliputi:

1. Anamnesa.
2. Pemeriksaan fisik.
3. Pemeriksaan penunjang.
4. Diagnosis.
5. Penetapan Istithaah Kesehatan.
6. Rekomendasi/saran/rencana tindak lanjut.

Sesuai dengan lampiran 4 Petunjuk Teknis Pemeriksaan dan Pembinaan Kesehatan Haji
• Rujukan kepada dokter spesialis atau fasilitas kesehatan lain :
a) jemaah haji yang memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk penetapan
diagnosis
b) memerlukan tindakan medis lanjutan untuk penyembuhan kelainan yang
didapat.
• Hasil dan rekomendasi dokter spesialis harus dimasukkan sebagai data
bersama dengan hasil pemeriksaan kesehatan lainnya.
• Penetapan status istithaah tetap merupakan wewenang TPKH K/K.
• Penyampaian kriteria tidak memenuhi syarat istithaah kepada jemaah
disampaikan oleh TPKH K/K dalam suasana kekeluargaan dan agamis
agar jemaah dan keluarganya dapat memahami hal tersebut.
Penetapan istithaah sebagai hasil akhir pemkes II meliputi:
a.    Memenuhi syarat istithaah kesehatan jemaah haji:
Kemampuan mengikuti proses ibadah haji tanpa bantuan obat, alat dan/atau orang lain dengan tingkat

kebugaran setidaknya dengan kategori cukup.


b.    Memenuhi syarat istithaah kesehatan jemaah haji dengan pendampingan;
Jemaah haji berusia 60 tahun atau lebih, dan/atau menderita penyakit tertentu yang tidak masuk
dalam
kriteria tidak memenuhi syarat istithaah sementara dan/atau kriteria penyakit yang tidak memenuhi
syarat istithaah.
c.    Tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan jemaah haji sementara;
d.    Tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan jemaah haji.
- Kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa.
- Gangguan jiwa berat
- Penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya,
JEMAAH HAJI YANG TIDAK MEMENUHI
SYARAT ISTITHAAH KESEHATAN
C. PENYAKIT YANG
A. KONDISI KLINIS B. GANGGUAN JIWA SULIT DIHARAPKAN
MENGANCAM JIWA BERAT KESEMBUHANNYA

• PPOK STADIUM IV • SKIZOFRENIA BERAT • KEGANASAN STADIUM


• GAGAL JANTUNG STADIUM AKHIR
• DEMENSIA BERAT
IV • TUBERCULOSIS
• CKD STADIUM IV DENGAN • RETARDASI MENTAL
TOTALLY DRUG
PERITONEL DIALYSIS / BERAT
RESISTANCE (TDR)
HEMODIALISIS REGULAR

• SIROSIS ATAU
AIDS STADIUM IV DENGAN
INFEKSI OPPORTUNISTIC HEPATOMA
• STROKE HAEMORRHAGIC DECOMPENSATA
LLUAS
KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
TENTANG
MASAIL FIQHIYAH MU’ASHIRAH (MASALAH FIQH KONTEMPORER)
KOMISI B-1
Tahun 2018

1. ISTITHA’AH KESEHATAN HAJI


2. SAFARI WUKUF
3. BADAL MELEMPAR JUMRAH
ISTITHA’AH KESEHATAN HAJI
KETENTUAN HUKUM
1. Kesehatan merupakan syarat ada’ (pelaksanaan) haji, dan bukan merupakan syarat wajib.
Seseorang yang sudah istitha’ah dalam aspek finansial dan keamanan, tapi mengalami gangguan
kesehatan, pada dasarnya tetap berkewajiban untuk berhaji.

2. Seseorang dinyatakan mampu untuk melaksanakan ibadah haji secara mandiri, bila sehat fisik dan
mental untuk menempuh perjalanan ke tanah suci dan melaksanakan ibadah haji. Apabila
seseorang mengalami udzur syar’i untuk melaksanakan ibadah haji karena penyakit yang
dideritanya atau kondisi tertentu yang menghalanginya untuk tidak melaksanakan ibadah haji
secara mandiri, padahal dia memiliki kemampuan secara finansial, maka kewajiban haji atasnya
tidak gugur; sedangkan pelaksanaannya ditunda atau dibadalkan (inabati al ghoir).

3. Seseorang dapat ditunda untuk melaksanakan ibadah haji jika: a. Menderita penyakit tertentu yang
berbahaya tetapi berpeluang sembuh; b. Hamil yang kondisinya bisa membahayakan diri dan atau
janinnya; c. Menderita penyakit menular yang berbahaya; d. Terhalang untuk bepergian sementara.
ISTITHA’H KESEHATAN HAJI
(LANJUTAN KETENTUAN UMUM)

4. Udzur syar’i yang menyebabkan haji seseorang dibadalkan (inabati al ghair) adalah:
• Orang yang mempunyai kemampuan finansial, akan tetapi meninggal sebelum
melaksanakan ibadah haji;
• Tua renta;
• Lemah kondisi fisik terus menerus akibat penyakit menahun;
• Penyakit berat yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya;
• Terhalang untuk bepergian secara terus menerus;

5. Pemerintah (ulil amri) memiliki kewenangan untuk tidak mengizinkan calon jamaah haji
melaksanakan ibadah haji karena alasan kesehatan berdasarkan pertimbangan syar’i
dan medis
ISTITHA’AH KESEHATAN HAJI

REKOMENDASI
1. Pemerintah (ulil amri) didorong untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan sebaik mungkin bagi calon jama’ah haji yang menderita
gangguan kesehatan agar dapat melaksanakan ibadah haji dengan baik.
2. Pemeriksaan kesehatan calon jamaah haji dilakukan secara sungguh-
sungguh dan pelaksanaanya sesuai tahapan yang sudah diprogramkan,
sehingga rekam medis calon jamaah bisa tercatat dengan baik.
KLASIFIKASI
KODE ICD-10

ICD-10 ( International Classification of Diseases )


adalah klasifikasi statistik penyakit yang digunakan
secara internasional revisi ke – 10.
Tujuan
• mendapatkan rekaman sistematik, melakukan analisa, interpretasi serta
membandingkan data morbiditas dan mortalitas.
• menterjemahkan diagnosa penyakit dan masalah kesehatan dari kata-
kata menjadi kode alfanumerik yang akan memudahkan penyimpanan,
mendapatkan data kembali dan analisa data
Pembagian ICD-10
menurut BAB

Penulisan diagnose ICD-10 haruslah


benar, terutama pada diagnosa penyakit
yang tidak Istithaah. Berikut contoh
pemberian kode ICD-10 untuk kategori
Tidak memenuhi Istithaah atau Penyakit
Permanen
Contoh pemberian kode ICD-10 untuk kategori Tidak memenuhi Istithaah
atau Penyakit Permanen
1) Kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, antara lain
• penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat IV : J44
• gagal jantung stadium IV : I50
• gagal ginjal kronik stadium IV dengan peritoneal dialysis/hemodialysis regular
: N18 atau N18.0
• AIDS stadium IV dengan infeksi opportunistic : B20, B21, B22
• stroke hemoragik luas : G46
2) Gangguan jiwa berat antara lain
• skizofrenia berat : F20
• demensia berat : F00 atau G30
• retardasi mental berat : F72
3) Jemaah haji dengan penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, antara lain
• keganasan stadium akhir : kode C atau D tergantung Carcinoma organ apa
• totally drug resistance tuberculosis : A15
• sirosis : K74
• dan hepatoma dekompensata : K72

Anda mungkin juga menyukai