modern dimulai oleh Purbach (1423- 1461) di universitas Wina serta lebih khusus lagi oleh muridnya Yohanes Muller (1436-1476). Johanes Muller pergi ke Italia khusus untuk belajar karya asli Ptolemeus tentang astronomi bersama temannya Walther (1430-1504). Nicolas Copernicus (1473-1543) memulai karyanya, telah terdapat cukup banyak karya hasil pengamatan astronomi. Sistem Copernicus yang baru tentang alam semesta menempatkan matahari sebagai pusat alam semesta, serta terdapat tiga jenis gerakan bumi. Tiga jenis gerakan bumi itu adalah gerak rotasi bumi (perputaran bumi pada porosnya), gerak revolusi (gerak bumi mengelilingi matahari) dan suatu girasi perputaran sumbu bumi yang mempertahankan waktu siang dan malam sama panjangnya.
Kritik utama yang dikemukakan oleh Copernicus kepada para
ahli astronomi pendahulunya adalah, dengan menggunakan aksioma-aksiomanya, mereka telah gagal menjelaskan gerakan benda-benda langit yang teramati dan juga teori-teori yang mereka kembangkan melibatkan sistem yang rumit yang tidak perlu. Copernicus menilai para pendahulunya dengan mengatakan: “di dalam metode yang dikembangkan, mereka telah mengabaikan hal-hal penting atau menambahkan hal- hal yang tidak perlu”. Di dalam sistem Copernicus, bumi berputar mengitari matahari, seperti planet-planet lainnya. Bumi menjalani gerakan yang seragam dan melingkar sebagai benda langit, suatu gerakan yang sejak lama diyakini sebagai gerakan yang sempurna. Lebih jauh, Copernicus menekankan kesamaan antara bumi dengan benda-benda langit lainnya bahwa semuanya memiliki gravitasi. Gravitasi ini tidak berada di langit, melainkan bekerja pada materi, seperti bumi dan benda-benda langit memiliki gaya ikat dan mempertahankannya dalam suatu lingkaran yang sempurna.
penjelasan Copernicus agak berbau teologis: “menurut saya
gravitasi tidak lain daripada suatu kekuatan alam yang diciptakan oleh pencipta agar supaya semuanya berada dalam kesatuan dan keutuhan. Kekuatan seperti itu mungkin juga dimiliki oleh matahari, bulan dan planet-planet agar semuanya tetap bundar.” Pengamatan paling penting dalam bidang astronomi modern adalah yang dilakukan oleh Ticho Brahe. Hasil pengamatan Ticho Brahe lima puluh kali lebih tepat dari hasil Muller, hasil terbaik yang dapat dilakukan dengan mata telanjang. Ticho Brahe adalah orang Denmark terhormat. Raja Frederick II dari Denmark memberi tempat tinggal dan pulau Hveen untuk melakukan kegiatan astronominya. Di pulau itu Ticho Brahe membangun kastil, bengkel, percetakan pribadi, dan observatorium. Ia bekerja di pulau itu dari tahun 1576 sampai 1597. Ia berpendapat bahwa adalah tidak mungkin melakukan pengamatan tanpa panduan suatu teori. Ia menganut pendangan geosentris.
Ketika raja Frederick II wafat, fasilitas yang diterima Ticho Brahe
tidak diperpanjang, kemudian Ticho Brahe pergi ke Praha pada tahun 1599, di mana ia mendapat tunjangan dari raja Rudolph II. Tahun-tahun berikutnya ia bergabung dengan astronom Jerman, Johann Kepler, seorang matematikawan. Kepler adalah anak seorang tentara Wurtemburg. Ia mempelajari sistem Copernicus di Tubingen. Kerja sama antara Kepler dengan Ticho Brahe tidak berlangsung lama karena Ticho Brahe meninggal dunia. Setelah Ticho Brahe meninggal, Kepler tetap tinggal di Praha. Karya pertama Kepler dalam bidang astronomi berjudul The Mysteri of the Universe yang diterbitkan pada tahun 1596. Di dalam buku itu, ia berusaha mencari suatu keselarasan antara orbit-orbit planet menurut Copernicus dengan hasil pengamatan Ticho Brahe. Akan tetapi Kepler tidak berhasil menemukan keselarasan antara sistem-sistem yang dikembangkan oleh Copernicus maupun Ptolemous dengan hasil pengamatan Ticho Brahe. Oleh karena itu ia meninggalkan sistem Ptolemous dan Copernicus lalu berusaha mencari sistem baru. Pada tahun 1609, Kepler menemukan ternyata elips sangat cocok dengan hasil pengamatan Ticho Brahe. Kepler tidak lagi menggunakan lingkaran sebagai lintasan benda-benda langit melainkan elips. Perkembangan Ilmu Astronomi Pada Zaman Modern Perkembangan astronomi pada zaman modern sudah sangat pesat sekali. Sebagai bukti pesatnya perkembangan astronomi adalah banyaknya penemuan-penemuan benda-benda luar angkasa seperti halnya planet-planet baru dan galaksi-galaksi baru. Dengan adanya peralatan yang canggih yang telah diciptakan para ilmuan khususnya ilmuwan barat sangat mendukung perkembangan ilmu astronomi. Seperti halnya satelit-satelit NASA yang diterbangkan ke luar angkasa sangatlah mendukung untuk pengamatan fenomena luar angkasa. Para pakar astronomi pada zaman sekarang sudah mulai meneliti keadaan planet-planet luar angkasa dengan menerbangkan beberapa astronot untuk melakukan observasi ke planet-planet sebagai salah satu contohnya adalah planet mars. Planet merah (mars) merupakan planet yang mendapatkan konsentrasi penuh dari para astronom. Bahkan mereka sampai membuat sebuah robot yang mampu menelusuri dataran mars. Nasa Phoenix berhasil mendarat di mars pada bulan Mei lalu. Dari sinilah diketahui bahwa planet mars mampu dihidupi oleh manusia karena terdapat sumber air di dalamnya. Perkembangan Ilmu Astronomi di Indonesia
Sejarah telah mencatat, geliat penerapan astronomi di
kepulauan Nusantara telah ada sejak beberapa abad silam. Penanggalan kalender jawa, penentuan musim hujan, kemarau, panen, dan ritual kepercayaan lain yang menggunakan peredaran gerak benda langit sebagai acuan. Bahkan, mengutip sebuah lagu “nenek moyangku seorang pelaut”, mereka pun mahir menggunakan rasi-rasi bintang sebagai penunjuk arah. Zaman beranjak ke masa kerajaan Hindu-Budha, dimana candi- candi dibangun berdasarkan letak astronomis. Candi-candi di daerah Jawa Tengah dibangun dengan menghadap ke arah terbitnya matahari, timur. Sedangkan bangunan candi di Jawa Timur, menghadap ke barat, dimana matahari terbenam. Meski begitu, ada sedikit perbedaan dengan candi kebesaran rakyat Indonesia, Candi Borobudur, yang dibangun menghadap ke arah utara-selatan tepat pada sumbu rotasi bumi. Gunadharma, yang membangun Candi Borobudur memakai patokan bintang polaris yang pada masa dinasti Syailendra masih terlihat dari Pulau Jawa. Tahun 1920, berdirilah Nederlandch Indische Sterrenkundige Vereeniging (Perhimpunan Ilmu Astronomi Hindia Belanda) yang dipelopori oleh Karel Alber Rudolf Bosscha. Yang mencetuskan didirikannya sebuah observatorium untuk memajukan ilmu astronomi di Hindia Belanda. Butuh usaha yang tidak mudah untuk mendirikan observatorium yang sekarang terletak di daerah Lembang, arah utara Kota Bandung itu. Mulai dari penelitian lokasi yang tepat untuk pengamatan, hingga perjalanan teleskop “Meredian Circle” dan “Carl Zeiss Jena”. Pembangunan observatorium dimulai pada tahun 1922 di atas tanah pemberian kakak beradik “Ursone” seluas 6 hektar. Hingga akhirnya teleskop besar Zeiss mulai berfungsi pada tahun 1928. Beberapa bulan setelah instalasi teleskop, K.A.R. Bosscha meninggal, dan observatorium itu dinamai Observatorium Bosscha.
Sebagai contoh, penemuan planetary nebula di daerah langit
selatan, 50% ditemukan di observatorium milik Indonesia ini. Ditambah dengan pengamatan-pengamatan lain seperti gerhana matahari total pada tahun 1930, dimana Einstein duduk dalam komitenya untuk membuktikan Teori Relativitas Umum Einstein. Dan keikutsertaan Observatorium Bosscha dalam pendidikan ilmu pengetahuan alam, dengan mengadakan jurusan Astonomi di ITB pada tahun 1959. Indonesia, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke hanya memiliki sedikit sekali fasilitas astronomi. Hampir semua kegiatan astronomi terpusat di Observatorium Bosscha dan Planetarium Jakarta. Ide pembuatan observatorium di daerah-daerah terpencil sudah ada sejak dulu. Yang sudah mulai berjalan seperti Planetarium di Palembang dan Tenggarong, Kalimantan. Juga adanya rencana menjadikan Pulau Biak sebagai tempat peluncuran satelit. Para pecinta Astronomi dan masyarakat Indonesia pada umumnya, memiliki mimpi agar dapat dibangun lagi observatorium- observatroium di daerah-daerah ataupun pulau-pulau terpencil lainnya. Selain belum banyak terjamah manusia, hingga tingkat polusinya kecil dan memungkinkan untuk melihat langit sangat cerah, pembangunan fasilitas astronomi itu juga menjadi sebuah ajang penyebaran pendidikan sains yang tentunya dapat mengurangi tingkat kebodohan masyarakat Indonesia.
Pemerintah Indonesia dan para pecinta astronomi dapat bekerja
sama dalam menyebarkan ilmu astronomi. Dengan tersedianya fasilitas media yang cukup banyak, keinginan adanya majalah atau tabloid astronomi tentunya mimpi yang harus diwujudkan. Kesediaan pemerintah untuk menyokong dana riset ataupun kegiatan keilmuan ini juga sangatlah diharapkan.