UANG
Placement (penempatan) : upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam system
keuangan berupa pergerakan fisik dari uang kas baik dengan penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara
lain: menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kegiatan yang sah; atau dengan melakukan penempatan
uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham
ataupun mengkonversi ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.
Layering (pelapisan) : suatu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya
placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau
mengelabui sumber uang haram tersebut, misalnya bearer bonds, forex market, stocks. Di samping cara tersebut,
langkah lain yang digunakan adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin account dari perusahaan fiktif atau
semu dengan memanfaatkan aspek kerahasiaan bank dan keistimewaan hubungan antara nasabah bank dengan
pengacara. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan jejak atau usaha audit sehingga seolah-olah merupakan
transaksi financial yang legal.
Integration (Penggabungan) : proses pengalihan uang yang dicuci dari hasil kegiatan placement maupun layering ke
dalam aktivitas-aktivitas atau performa bisnis yang resmi tanpa ada hubungan atau links ke dalam bisnis haram
sebelumnya. Pada tahap ini uang haram yang telah diputihkan dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dalam
bentuk yang sesuai dengan aturan hukum, dan telah berubah menjadi legal. Ada tulisan yang menyebutkan bahwa
cara tersebut juga disebut spin dry yang merupakan gabungan antara repatriation dan integration.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Transaksi Keuangan :
Pasal 1 ayat (4) menegaskan, “Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan,
penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau
penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.”
Next
Pasal 1 ayat (5) : a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa
yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta
Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi Keuangan yang diminta
oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk dilaporkan oleh Pihak
Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana
next
Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana: a, korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; penyelundupan tenanga
kerja; penyelundupan migrant; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang
perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagagangan orang; m. perdagagangan senjata gelap;
n.terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang;
t.perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan
hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; z. atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut
juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.”
TPPU Aktif
Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah)
Ayat (2) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan
kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Korporasi
Pasal 1 ayat (9) menyatakan subyek hukum orang, yaitu, “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi”,
dan “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.”
Pertanggung jawaban Korporasi
Pasal 6 ayat (1), “Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5
dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi”
Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi, “Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang: a.
dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud
dan tujuan Korporasi; c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan ;d. dilakukan
dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.’
Pasal 37
(1)PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari
campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun.
(2) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 38
(3) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(4) Dalam hal diperlukan, perwakilan PPATK dapat dibuka di daerah.
Pemidanaan terhadap Korporasi
Pasal 7 ayat (1) dan (2) menegaskan Korporasi dapat dikenakan pidana denda dan bahkan dapat dikenakan pidana
tambahan dari sekadar pengumuman keputusan hakim hingga diambilalih oleh Negara.
Pasal 7 ayat (1) berbunyi, ‘Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda
paling banyak Rp.100.000.000.000 (seratus miliar rupiah).”
Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi, “Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga
dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. pengumuman putusan hakim; b. pembekuan sebagian atau seluruh
kegiatan usaha korporasi; c. pencabutan izin usaha; d. pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; e. perampasan
asset Korporasi untuk Negara; dan/atau f. pengambilalihan Korporasi oleh Negara.
Pasal 9 ayat (1, “Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik
Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang
dijatuhkan.” Kemudian pidana kurungan dikenakan pada Personil Pengendali Korporasi “menggantikan”
pidana kurungan terhadap Korporasi,
Pasal 9 ayat (2) menegaskan, “Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi pidana kurungan pengganti denda
dijatuhkan tehadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah
dibayar.”
Contoh Kasus
Polisi Ungkap TPPU eks Kades di Lamongan, Rp 1,3 Miliar Disita
Surabaya - Seorang eks kepala desa di Paciran, Lamongan, berurusan dengan Polda Jatim. Dia
diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil penjualan tanah milik petani.
Tersangka adalah Imron Rosyadi, eks Kepala Desa Sidokelar, Paciran, Kabupaten Lamongan.
Penyidik Subdit Perbankan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim menetapkannya
sebagai tersangka atas kasus dugaan Tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas penjualan lahan
milik warga.
Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus AKBP Arman Asmara Syarifuddin menerangkan,
sebelum polda menangani perkara TPPU. Tersangka sudah berurusan dengan Satreskrim Polres
Lamongan, atas laporan dugaan penipuan dan penggelapan uang pembayaran pembebasan tanah
(jual beli tanah) milik beberapa warga pada Juli 2016.
Pada April sampai Agustus 2014, tersangka yang saat itu menjabat Kepala Desa Sidokelar,
menangani jual beli tanah milik beberapa warga. Tanah seluas sekitar 17.114 meterpersegi itu,
dibeli oleh PT SDS, dengan nilai sekitar Rp 250.000 sampai Rp 300.000, dengan total sekitar Rp
5,045 miliar.
next
Pembayaran jual beli tanah dari PT SDS diserahkan ke tersangka melalui transfer ke Bank Jatim.
Ternyata, uang tersebut tidak diserahkan ke korban, sehingga kepala desa itu dilaporkan ke Polres
Lamongan. Kemudian, pada 25 Juli 2016, berkas perkara tersangka Imron Rosyadi dilimpahkan
ke Pengadilan Negeri Lamongan. Pada 14 november 2016, Kades Sidokelar itu di vonis penjara 3
tahun 9 bulan."Dari hasil penyidikan tindak pidana penipuan dan penggelapan yang dilakukan
Polres Lamongan, kami dari polda menangani dugaan tindak pidana pencucian uang," kata AKBP
Arman Asmara Syarifuddin.
Pada 23 Agustus 2016, Subdit Perbankan Ditreskrimsus menangani perkara TPPU tersangka
Imron Rosyadi. Dari hasil penyelidikan, uang jual beli tanah milik warga senilai Rp
5miliar,digunakan untuk kepentingan pribadi tersangka. "Uangnya digunakan tersangka untuk
kerjasama bisnis batu bara sekitar Rp 4 miliar. Uang muka pembelian apartemen. Untuk
pembelian mobil dan ada juga yang dipinjamkan ke beberapaorang,"terangnya.
Penyidik juga mengamankan barang bukti uang sekitar Rp 1,3 miliar. "Uang diamankan dari
beberapa orang hingga terkumpul sekitar Rp 1,3 miliar," tandasnya.
kesimpulan