Anda di halaman 1dari 19

PERIKATAN DAN

PERJANJIAN (AKAD)
NAMA : LISA RAHAYU
NIM : 126102202169
KELAS : HKI 2D
PENGERTIAN AKAD
 Kata akad berasal dari kata al’aqd yang berarti
ikatan, mengikat, menyambung atau
menghubungkan.
 Pengertian akad secara terminologi fiqh (hukum
islam) adalah perikatan antara ijab (penawaran)
dengan qabul (penerimaan) secara yang
dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhoan
(kerelaan) kedua belah pihak.
 Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab
dan kabul yang berakibat timbulnya suatu hukum.
Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah
satu pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan
yang diberikan mitra sebagai tanggapan terhadap
penawaran pihak yang pertama.

Harun, Fiqh Muamalah, (surakarta : Muhammadiyah University Press, 2017), hal 31-32.
RUKUN-RUKUN AKAD

Al-‘Aqidain
01 Adalah para pihak yang membuat akad

Shighotul ‘Aqd
02 Adalah pernyataan kehendak para pihak

Mahallul ‘Aqd
03 Adalah objek akad

Maudhu’ Al-’Aqd
04 Adalah tujuan akad

Harun, Fiqh Muamalah, (surakarta : Muhammadiyah University Press, 2017), hal 41.
SYARAT-SYARAT AKAD

A
Pelaku akad memiliki tingkat kecakapan bertindak hukum
Adalah kelayakan seseorang untuk perkataan dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syari’ah. Artinya kemampuan
seseorang untuk melahirkan akibat hukum melalui pernyataan kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

Akad bersifat dua pihak


Diperlukan dalam suatu akad yang bersifat timbal balik. Hakekat akad adalah tindakan hukum dua pihak karena akad yang
mempertemukan ijab, yang mempresentasikan kehendak disatu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak lain di satu pihak.

Persesuain antara ijab dan qabul atau terjadi kata sepakat


persesuaian ijab dan kabul dalam hal objek transaksi maupun harga, artinya ada kesamaan di antara keduanya tentang
kesepakatan, maksud dari objek transaksi, jika tidak ada kesesuaian maka akad dinyatakan batal.

B
Kesatuan majelis akad
Karena ijab itu hanya bisa menjadi bagian dari akad apabila ia bertemu langsung dengan kabul. Tapi pada zaman sekarang
tidak diartikan secara fisik melainkan dalam satu waktu.

Harun, Fiqh Muamalah, (surakarta : Muhammadiyah University Press, 2017), hal 42-44.
MACAM-MACAM AKAD
A. Menurut Tujuannya
01
Akad Tabarru
Akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-
mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT.
Yang termasuk dalam akad ini adalah : hibah, wakaf, wasiat,
ibra’, wakalah, kafalah, hawalah, rahn, dan qirad. Atau dalam
redaksi lain akad tabarru (gratuitous contract) adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut nonprofit transaction
(transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan
transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil.

02
Akad Tijari
Akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan
keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya.
Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah : murabahah,
salam, istishna’, dan ijarah muntahiya bittamlik serta mudarabah
dan musyarakah. Atau dalam redaksi lain akad tijari
(compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, menyangkut for profit transaction. Akad ini dilakukan dengan
(Jakarta : Kencana, 2019), hal 77. tujuan untuk mencari keuntungan, karena bersifat komersil.
MACAM-MACAM AKAD
B. Menurut Keabsahannya
01
Akad Sahih (valid contract)
Akad yang memenuhi semua rukun dan syaratnya. Akibat
hukumnya adalah perpindahan barang misalnya dari penjual
kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli
kepada penjual.
02
Akad Fasid (voidable contract)
Akad yang semua rukunnya terpenuhi, namun ada syarat yang
tidak terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari penjual
kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli
kepada penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi syarat
tersebut, dengan kata lain akibat hukumnya adalah mawquf
(berhenti dan tertahan untuk sementara).

03
Akad Bathal (void contract)
Akad dimana salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan
otomatis syaratnya juga tidak terpenuhi. Akad seperti ini
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, tidak menimbulkan akibat hukum perpindahan (harga/uang)
(Jakarta : Kencana, 2019), hal 77-78. dan benda kepada kedua belah pihak.
MACAM-MACAM AKAD
C. Menurut Namanya
01
Akad Bernama (al-’uqud al-musamma)
Akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan
ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku
terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Contohnya :
sewa menyewa (al-ijarah), pemesanan (al-istishna’), jual beli
(al-bai’), penanggungan (al-kafalah), pemindahan utang (al-
hiwalah), pemberian kuasa (al-wakalah), perdamaian (ash-
shulh), persekutuan (asy-syirkah), bagi hasil (al-mudharabah),
hibah (al-hibah), gadai (ar-rahn), dll.

02
Akad Tidak Bernama (al-’uqud gair al-musamma)
Akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqih di
bawah satu nama tertentu. Dalam kata lain akad tidak bernama
adalah akad yang tidak ditentukan oleh pembuat hukum
namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri
mengenainya. Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan umum
akad. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan oleh para pihak
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Contohnya : perjanjian
(Jakarta : Kencana, 2019), hal 78-81. penerbitan, periklanan, dll.
MACAM-MACAM AKAD
D. Menurut Kedudukannya
01
Akad Pokok (al-’aqd al-ashli)
Akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung
kepada suatu hal lain. Termasuk ke dalam jenis ini adalah semua
akad yang beberadaannya karena dirinya sendiri, seperti akad
jual beli, sewa menyewa, penitipan, pinjam pakai, dll.

02
Akad Asesoir (al-’aqd at-tabi’i)
Akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, melainkan
tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan
tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. Termasuk ke
dalam kategori ini adalah akad penanggungan (al-kafalah) dan
akad gadai (ar rahn). Kedua akad ini merupakan perjanjian
untuk menjamin, karena itu keduanya tidak ada apabila hak-hak
yang dijamin tidak ada. Terhadap akad jenis ini berlaku kaidah
hukum islam yang berbunyi, “suatu yang mengikut” (at-tabi’
tabi). Artinya perjanjian asesoir ini yang mengikut kepada
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, perjanjian pokok, hukumnya mengikuti perjanjian pokok
(Jakarta : Kencana, 2019), hal 81-82. tersebut.
MACAM-MACAM AKAD
E. Dari Segi Unsur Tempo
01
Akad Bertempo (al-’aqd az-zamani)
Akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi,
dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian.
Termasuk dalam kategori ini adalah akad sewa menyewa, akad
penitipan, akad pinjaman pakai, akad pemberian kuasa, akan
berlangganan majalah atau surat kabar, dll. Dalam akad sewa
menyewa, misalnya termasuk bagian dari isi perjanjian adalah
lamanya masa sewa yang ikut menentukan besar kecilnya nilai
akad. Tidaklah mungkin suatu akad sewa menyewa terjadi
adanya unsur lamanya .
02
Akad Tidak Bertempo (al-’aqd al-auri)
Akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian isi
perjanjian. Akad jual beli, misalnya dapat terjadi seketika tanpa
perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut. Bahkan
apabila jual beli dilakukan dengan utang, sesungguhnya unsur
waktu tidak merupakan unsur esensial, dan bila telah tiba waktu
pelaksanaan , maka pelaksanaan tersebut bersifat seketika dan
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, pada saat itu hapuslah akad kedua belah pihak.
(Jakarta : Kencana, 2019), hal 82.
MACAM-MACAM AKAD
F. Dari Segi Formalitasnya
01
Akad Konsensual (al-’aqd ar-rudha’i)
Jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada
kesepakatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas
tertentu. Contohnya jual beli, sewa menyewa, utang piutang.

02
Akad Formalistis (al-’aqd asy-saykli)
Akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang
ditentukan oleh pembuat akad, di mana apabila syarat-syarat itu
tidak terpenuhi akad tidak sah. Contohnya akad di luar lapangan
hukum harta kekayaan, yaitu akad nikah dimana diantara
formalitas yang disyaratkan adalah kehadiran dan kesaksian dua
orang saksi.
03
Akad Riil (al-’aqd al-’aini)
Akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan
tunai objek akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan
belum menimbulkan akibat hukum apabila belum
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, dilaksanakan, contohnya hibah, pinjam pakai, penitipan,
(Jakarta : Kencana, 2019), hal 82-83. kredit (uang), dan akad gadai.
MACAM-MACAM AKAD
G. Dari Segi Dilarang atau Tidak
01
Akad Masyru’
Akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak ada
larangan untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah
dikeal luas semisal jual beli, sewa menyewa, mudarabah, dll.

02 Akad Terlarang
Akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jual
beli janin, akad donasi harta anak dibawah umur, akad yang
bertentangan dengan akhlak islam (kesusilaan) dan ketertiban
umum seperti sewa menyewa untuk melakukan kejahatan.
Termasuk juga akad yang dilarang dalam beberapa mazhab
adalah akad jual beli kembali asal (ba’i al-’inah).

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah,


(Jakarta : Kencana, 2019), hal 83-84..
MACAM-MACAM AKAD
H. Dari Segi Mengikat Dan Tidak
01
Akad Mengikat (al-’aqd al-lazim)
Akad dimana apabila seluruh rukun dan syaratnya telah
terpenuhi, maka akad itu mengikat secara penuh dan masing-
masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan
pihak lain. Akad jenis ini dibedakan menjadi dua macam lagi,
yaitu pertama Akad mengikat kedua belah pihak seperti akad
jual beli, sewa menyewa, perdamaian, dll. Dalam akad jual beli
masing-masing pihak tidak dapat membatalkan perjanjian jual
beli tanpa persetujuan pihak lain.

02
Akad Mengikat Satu Pihak
Akad dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan
perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain
dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak pertama seperti
akad kafalah (penanggungan) dan gadai (ar-rahn). Kedua akad
ini mengikat terhadap penanggung dan penggadai dimana
keduanya tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak
untuk siapa penanggungan dan gadai diberikan. Sebaliknya bagi
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah,
(Jakarta : Kencana, 2019), hal 84-85. pihak
MACAM-MACAM AKAD
Lanjutan
02 Akad Mengikat Satu Pihak
Sebaliknya bagi pihak terakhir ini penanggungan dan gadai
tidak mengikat dalam arti ia dapat membatalkannya secara
sepihak.

03 Akad Tidak Mengikat


Akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian
tanpa persetujuan pihak lain. Akad tidak mengikat penuh ini
dibedakan menjadi dua jenis yaitu,
1. Akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat (terbuka
untuk di fasakh), seperti akad wakalah (pemberi kuasa),
syirkah (persekutuan), akad hibah, akad wadi’ah
(penitipan), dan akad ‘ariah (pinjam pakai).
2. Akad yang tidak mengikat karena di dalamnya terdapat
khiyar bagi para pihak.

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah,


(Jakarta : Kencana, 2019), hal 84-85.
MACAM-MACAM AKAD
I. Menurut Dapat Dilaksanakan/Tidak
01
Akad Nafiz
Akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak
dapatnya akad tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain akad
nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan langsung
menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya.

02
Akad Mauquf
Akad yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan akibat
hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, melainkan masih
tergantung (mauquf) kepada adanya ratifikasi (ijazah) dari pihak
berkepentingan. Misalnya akad anak mumayiz (berusia tujuh
tahun sampai dewasa) yang tergantung kepada ratifikasinya
walinya dalam hal ia melakukan akad yang bersifat timbal balik,
akad orang dipaksa yang tergantung kepada ratifikasi yang
bersangkutan setelah hilangnya paksaan, akad penerima kuasa
yang melampaui batas pemberian kuasa yang tergantung kepada
ratifikasi pemberi kuasa, atau akad pelaku tanpa kewenangan
(fuduli) yang tergantung kepada ratifikasi pihak yang berhak.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah,
(Jakarta : Kencana, 2019), hal 85.
MACAM-MACAM AKAD
J. Menurut Tanggungan, Kepercayaan
01
‘aqd adh-dhaman
Akad yang mengalihkan tanggungan resiko atas kerusakan
barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi
dari pelaksanaan akad tersebut sehingga kerusakan barang yang
telah diterima melalui akad tersebut berada dalam
tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.

02 ‘aqd al-’amanah
Akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut
merupakan amanah di tangan penerima barang tersebut,
sehinggaia tidak berkewajiban menanggung resiko atas barang
tersebut, kecuali kalau ada unsur kesengajaan dan melawan
hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, akad
pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).
03 Akad Bersifat Ganda
Akad yang disatu sisi merupakan akad tanggungan, tetapi disisi
lain merupakan akad amanah (kepercayaan). Contoh akad sewa
menyewa dimana barang sewa merupakan amanah ditangan
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, penyewa dan manfaat barang merupakan tanggungannya.
(Jakarta : Kencana, 2019), hal 85-86.
AKAD DAN KONSEKUENSI HUKUMNYA
Akibat hukum dalam perjanjian hukum Islam dibedakan menjadi dua yaitu akibat hukum pokok dari perjanjian yang
biasa disebut dengan hukum akad (hukm al aqd) dan akibat hukum tambahan dari perjanjian yang biasa disebut hak-hak
akad.
 Hukum akad yang dimaksud ialah terwujudnya tujuan akad yang menjadi kehendak bersama untuk diwujudkan oleh
para pihak melalui perjanjian.
 Akibat hukum tambahan ialah dengan timbulnya hak-hak dan kewajiban pada masing masing pihak dalam rangka
mendukung dan memperkuat akibat hukum pokok, seperti hak meminta penyerahan barang oleh pembeli kepada
penjual.
Terciptanya kerelaan serta kecakapan para pihak dalam melakukan akad, merupakan salah satu yang sangat menentukan
sah atau tidaknya suatu akad. Terpenuhinya semua rukun, syarat dan asas akad, berimplikasi langsung pada timbulnya
akibat hukum baik kewajiban maupun hak-hak para pihak. Akad yang telah memenuhi rukun dan syarat akad,
dinyatakan sebagai akad yang sahih akan mengikat para pihak yang melakukan akad. Tindakan para pihak dalam
melakukan akad baik atas namanya sendiri atau mewakili orang lain berimplikasi pada timbulnya hak dan kewajiban
sebagaimana berikut:

Ruslan Abd Ghofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah, Asas, Vol. 2, No. 2, Juli 2010 , hal 6.
LANJUTAN
 Para pihak yang melakukan suatu akad dengan kecakapan sempurna dengan atas nama sendiri, maka akibat hukum dari
akad yang dilakukan mengikat kedua belah pihak dan dalam batas tertentu juga mengikat pada hal-hal berikut yaitu:
a. Pengoper hak, baik umum maupun hak khusus seperti ahli warisnya, penerima wasiat, dan pembeli.
b. Kreditur, akibat hukum dari perjanjian yang dibuat oleh seorang debitur pada kreditur berupa berkurangnya atau
bertambahnya jumlah jaminan hutang debitur pada kreditur. Hal ini sesuai dengan asas dari hukum perikatan yang
menerangkan bahwa semua kekayaan debitur menjadi tanggungan terhadap hutanghutangnya. Inilah yang dalam
hukum Islam dijelaskan bahwa hutang seseorang tidak dapat diwariskan, tetapi hutang tersebut dibebankan terhadap
harta si berhutang.
c. Pihak ketiga yang terlibat dan mendapat janji dalam akad tersebut, meskipun pada asasnya suatu perjanjian hanya
menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya dan tidak menimbulkan akibat hukum bagi pihak
lain yang tidak terlibat dalam perjanjian.Meskipun demikian ada sebagian pakar yang beranggapan bahwa janji
melibatkan pihak ketiga dalam sebuah perjanjian dapat dilakukan, dengan asas bahwa janji tersebut tidak
menimbulkan kewajiban bagi pihak ketiga. Jika pihak ketiga menolak maka pihak pembuat janji harus
bertanmggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.
Sedangkan jika para pihak mewakili atau untuk dan atas nama orang lain, maka akibat hukumnya kembali kepada orang
yang diwakilinya karena wakil hanya sebagai penghubung yang tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan perjanjian.

Ruslan Abd Ghofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah, Asas, Vol. 2, No. 2, Juli 2010 , hal 7.
LANJUTAN
 Akibat hukum akad yang dilakukan wakil, ada saatnya seorang wakil membuat perjanjian atas nama dan untuk asli (orang
yang diwakili). Akibat hukum pokok maupun tambahan kembali kepada asli, karena dalam hal ini wakil hanya sebagai
penghubung yang tidak memikul tanggung jawab seperti pada akad-akad pelepasan dan riil. Tetapi terbuka kemungkinan
seorang wakil membuat perjanjian atas nama dirinya untuk asli (orang yang diwakili). Sebaliknya jika para pihak
menyandarkan akad kepada dirinya sendiri meskipun bertujuan untuk mewakili orang lain, maka hukum pokok tetap
kembali kepada orang yang diwakili. Sedangkan untuk hak-hak akad terdapat perbedaan dikalangan ulama meskipun
sebagian besar ulama beranggapan bahwa hak-hak terlaksananya akad kembali pada wakil dan wakil juga lah yang
menuntut pelaksanaan akad oleh pihak ketiga.
 Para pihak berakad dengan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilakukan oleh ayah yang mewakili anaknya, kakek yang
mewakili cucunya dan wali (yang diangkat ayah atau kakeknya) untuk mewakili anak dibawah umur. Selebihnya, tidak
dibenarkan para pihak untuk berakat dengan diri sendiri karena pada asasnya Hukum Islam melarang seseorang berakad
dengan dirinya sendiri, baik dengan menjadi wakil dari satu pihak dan dalam waktu yang sama menjadi pihak asli, atau
menjadi wakil dari dua pihak berbeda sekaligus. Pelarangan ini disebabkan dalam setiap akad harus ada kedua belah
pihak agar tidak terjadi pertentangan disaat ia menjadi debitur dan kreditur pada waktu yang bersamaan. Larangan serupa
berlaku pula pada KUH Perdata Indonesia pada pasal 1315 yang menjelaskan bahwa tak seorangpun dapat mengikatkan
diri atas nama sendiri atau minta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.

Ruslan Abd Ghofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah, Asas, Vol. 2, No. 2, Juli 2010 , hal 7-8.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai