Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

PENYAKIT MENULAR
SEKSUAL (IMS)
Co-ass: SIFILIS
YOUR NAME NIM

Pembimbing: dr.

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSU DR WAHIDIN SUDIRO HUSODO KOTA MOJOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2024
INFEKSI MENULAR
SEKSUAL
 Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama melalui
hubungan seksual. Cara hubungan seksual tidak hanya terbatas secara genito-genital saja
tetapi dapat juga secara oro-genital, ano-genital sehingga kelainan yang timbul ini tidak
terbatas hanya pada daerah genital, tetapi juga pada daerah ekstra genital.
 IMS dapat ditularkan tidak hanya melalui hubungan seksual akan tetapi ada yang dapat
ditularkan melalui kontak langsung dengan alat yang tercemar (seperti: jarum suntik,
cairan tubuh, saliva dll) serta secara vertical seperi ibu hamil pada bayinya saat proses
kelahiran.

Sjaiful Fahmil. Tinjauan Infeksi Menular Seksual. Dalam: Sri Linuwih SW Menaldi, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2015.h.438-436
PENYEBAB IMS
NO PENYEBAB PENYAKIT

1. Bakteri:
- Neisseria gonorrhoeae - Uretritis, epididimitis, servisitis, proctitis, faringitis, konjungtivitis, bartholinitis
- Chlamidya Trachomatis - Uretritis, epididymitis, servisitis, proctitis, salpingitis, limfogranuloma venerum
- Mycoplasma Hominis - Uretritis, epididymitis, servisitis, proctitis, salpingitis
- Ureplasma Urelyticum - Uretritis, epididymitis, servisitis, proctitis, salpingitis
- Treponema Pallidum - Sifilis
- Gardnerella Vaginalis - Vaginitis
- Donovania Granulomatis - Granuloma Inguinale
2. Virus:
- Herpes Simplex virus - Herpes genitalia
- Herpes B virus - Hepatitis fulminan akut dan kronis
- Human Papilloma virus - Kondiloma akuminata, Papiloma laring pada bayi
- Molluscum Contagiosum virus - Moluskum kontagiosum
- Human Immunodeficiency virus - AIDS
3. Protozoa:
- Trichomonas Vaginalis - Vaginitis, Uretritis
4. Fungus:
- Candida Albicans - Vulvovaginitis, Balanitis, Balanopostitis
5. Ektoparasit:
- Phthirus Pubis - Pedikulosis pubis
- Sarcoptes Scabiei var. hominis - Skabies
SIFILIS
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh spirochaete Treponema Pallidum
INFEKSI SIFILIS
 Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema,
yaitu: non-venereal endemic syphilis (telah eradikasi), frambusia (T. pertenue), dan pinta (T.
careteum) di Amerika Selatan.

 Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Sifilis kongenital (ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan
2. Sifilis yang didapat / acquired (ditularkan melalui hubungan seks atau jarum suntik dan
produk darah yang tercemar).

Adi Jhuanda. Sifilis Dalam: Sri Linuwih SW Menaldi, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.h.474-455
EPIDEMIOLOGI
 STBP 2011 di Indonesia prevalensi sifilis pada
populasi waria sebesar 25%, WPSL (wanita
penjaja seks langsung) 10%, LSL (lelaki yang
berhubungan seks dengan lelaki) 9%, dan
penasun (pengguna narkoba suntik) 3%.

 Menurut statistik Pusat Pengendalian dan ANGKA KEJADIAN


Pencegahan Penyakit (CDC), terdapat 88.042 PANASUN
laporan diagnosis baru sifilis pada tahun 2016 WARIA
secara world wide. Dari seluruh kasus sifilis, WPS
27.814 adalah sifilis primer dan sekunder LSL
0 5 10 15 20 25 30

TAHUN 2011

- European Centre for Disease Prevention and Control. Syphilis and Congenital Syphilis in Europe –A Review of Epidemiological Trends (2007–2018) and Options for Response. Stockholm: ECDC,
2019
- Bjekic M, Sipetić S. 2014. Epidemiological and Clinical Characteristics of Syphilis Cases. Health Care; 43(1):1-5
- Kemenkes. 2013. Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar.
TRANSMISI
 Ada 3 rute penularan:

1. Hubungan seksual
2. Kontak langsung dengan darah, produk darah,  Risiko terbesar penularan dari ibu ke anak
atau jarum suntik terjadi pada saat persalinan, karena tekanan
3. Transmisi vertical (ibu pada bayinya)  Sifilis pada plasenta meningkat sehingga bisa
congenital menyebabkan terjadinya hubungan antara darah
ibu dan darah bayi.
PATOFISIOLOGI
Masuk melewati selaput Menyebar melalui Dengan Gerakan cork-

Setelah 1 minggu
lendir atau kulit yang pembuluh darah ke screw masuk kedalam
abrasi seluruh tubuh jaringan intersisial

aliran darah pada daerah Kuman T. Pallidum juga Di tempat masuk kuman
papula berkurang sehingga menginfiltrasi perivaskuler
terjadi erosi atau ulkus sehingga terjadi kerusakan
mengadakan multifikasi
(chancre) vaskuler dan timbul papul
MANIFESTASI KLINIS
MANIFESTASI
KLINIS
Sifilis Primer

Ulkus sifilis yang khas berupa bulat,


diameter 1-2 cm, tidak nyeri, dasar ulkus
bersih tidak ada eksudat, teraba indurasi,
soliter tetapi dapat juga multipel

a b c

Gambar (a) sifilis primer di penis; (b) sifilis primer di labia mayor; (c)
sifilis primer di anus
MANIFESTASI
KLINIS
Sifilis sekunder

Temuan pertama ruam makula copper-


colored, makulopapular, simetris di
tubuh dan ekstremitas (terutama telapak
tangan dan kaki). Ruam tidak gatal
(roseola sifilitika 2-3 bulan setelah
a b onset ulkus). Lesi anular terjadi di
wajah orang berkulit gelap dan
kondiloma lata di area kulit yang hangat
Gambar (a) sifilis sekunder di telapak kaki; (b) dan sifilis sekunder di telapak dan lembab.
tangan
MANIFESTASI
KLINIS
Sifilis Tersier

a b

Gambar (a) Gumma di hidung ; (b) Gumma di palatum


MANIFESTASI
KLINIS
a b c Sifilis Congenital
Gambar (a) Gigi Hutchinson; (b) keratitis intersisial; (c) lesi
mukokutaneous
DIAGNOSIS
 Menurut Pedoman Nasional Tatalaksana IMS tahun 2011, diagnosis sifilis di tingkat Puskesmas
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan sindrom dan pemeriksaan serologis.

 Tes non-Treponema  Tes Treponema


RPR (Rapid Plasma Reagin) dan TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay),
VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) TP Rapid (Treponema Pallidum Rapid),
TP-PA (Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay),
FTA-ABS (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption).

NOTE: Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seumur


hidup walaupun terapi sifilis telah berhasil .Tes jenis ini tidak
dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan
infeksi yang telah diterapi secara adekuat.
INTERPRETASI
TES SEROLOGI
 Hasil positif tes RPR perlu
dikonfirmasi dengan TPHA/TP-
PA/TP Rapid.

Kemenkes. Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar.
2013
DIAGNOSIS
 Tes Lapangan Gelap (Dark field)

Metode paling spesifik dan sensitif untuk memastikan diagnosis sifilis


primer adalah menemukan treponema pada pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap.
 Cara melakukan pemeriksaan yaitu
 Membersihkan ruam sifilis primer dengan NaCl fisiologis.
 Ambil serum dengan cara menekan lesi. Serum diperoleh dari bagian
dasar atau dalam lesi
 Kemudian periksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan
minyak emersi.
 Treponema pallidum berbentuk ramping, gerakan aktif.
PENATALAKSANAAN

Kemenkes. Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan


Dasar. 2013
TERAPI SIFILIS CONGENITAL

 1. Sparling PF, Morton NS, Daniel MM, Bernardine PH. Clinical manifestations of syphilis. In: Holmes KK, Sparling PF, Stamn WE, Piot P, Wasserhait JN, dkk, eds. Sexually transmitted disease. 4th Ed. New York: McGrow-Hill; 2008 .p. 6
 5. World Health Organization. WHO guidelines for the treatment of Treponema Pallidum (syphilis). Switzerland: World Health Organizatio
 8. Janier M, Hegyi V, Dupin N, Unemo M, Tiplica GS, Potocnik M. 2014 European guideline on the management of syphilis. JEADV. 201
 9. Workowski KA, Bolan G. Sexually transmitted diseases treatment guidelines 2015. CDC MWR Recommendations and Reports.2015;64(3):34-48.
 10.Kingston M, French P, Higgins S, McQuillan O, Sukthankar A, Stott C, et al. UK National guidelines on the management of syphilis 2015. Int J STD AIDS.2015;27(6):421-6
EVALUASI TERAPI
Tes TPHA dan titer RPR harus dilakukan
Indikasi pengulangan terapi
pada:
 Tiga bulan setelah terapi untuk sifilis  Terdapat gejala klinis sifilis;
primer dan sekunder. Terapi dianggap
 Terdapat peningkatan titer RPR (misal dari
berhasil jika titer RPR turun
1:4  1:8).
 3, 6, 9, 12, 18 dan 24 bulan setelah terapi:
Jika titer RPR tetap sama atau bahkan
turun, terapi dianggap berhasil dan
observasi saja. Tapi jika titer RPR
meningkat, obati pasien sebagai infeksi
baru dan ulangi terapi.

Kemenkes. Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan


Dasar. 2013
KOMPLIKASI TERAPI
 Reaksi Jarisch-Herxheimer merupakan sindrom yang
timbul 12 jam setelah terapi, selanjutnya akan hilang
spontan dalam 24-36 jam.
 Manifestasi termasuk demam, ruam, malaise, sakit
kepala lesi mukokutan, limfadenopati yang nyeri pada
penekanan, nyeri tenggorokan, malaise, dan mialgia.
KOMPLIKASI TERAPI
 Syok anafilaktik

Gejala obstruksi saluran napas atas,


bronkospasme, atau hipotensi.

Kemenkes. Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar.
2013
PENCEGAHAN
 Hindari aktivitas seksual dan kontak secara langsung pada lesi aktif
 Pada penderita yang manifestasi klinis asimtomatik diperlukan kontrasepsi seperti condom
 Kemudian dilakukan konseling untuk memberikan pengetahuan tentang perlunya abstinesia
sexual (pria tidak ejakulasi selama 4 - 7 hari),
 Tidak melakukan multi sexual partner
PROGNOSIS
Prognosis sifilis bergantung pada stadium dan luasnya keterlibatan organ. Jika tidak
diobati, organisme ini mempunyai morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
THANK YOU
Any question?
DAFTAR PUSTAKA
1. Dayan L, Ooi C. 2005. Syphilis treatment: Old and new. Expert Opin Pharmacother;6(13):2271-80
2. Holmes KX, Sparling PF, Stam WE, Piot P, Wasserheit J, Corey L, et al. 2008. In: Sexually Transmitted Disease 4rd. New York: McGraw Hill. p661 – 84
3. Klausner JD, Hook EW. 2007. Current Diagnosis & Treatment Sexually Transmitted Disease. New York:McGraw Hill Companies
4. Lafond RE and Lukehart SA. 2006. Biological basis for syphilis. Clin Microbiol Rev; 19: 29–49.
5. Peeling RW, Hook EW. 2006. The pathogenesis of syphilis: the Great Mimicker, revisited. J Pathol. Jan;208(2):224-32. [PubMed]
6. European Centre for Disease Prevention and Control. Syphilis and Congenital Syphilis in Europe –A Review of Epidemiological Trends (2007–2018) and Options for Response.
Stockholm: ECDC, 2019
7. Newman L, Rowley J, Vander Hoorn S, Wijesooriya NS, Unemo M, Low N, et al. 2015. Global estimates of the prevalence and incidence of four curable sexually transmitted
infections in 2012 based on systematic review and global reporting. PLoS One;10(12):9
8. Bjekic M, Sipetić S. 2014. Epidemiological and Clinical Characteristics of Syphilis Cases. Health Care; 43(1):1-5
9. Kementerian Kesehatan RI. 2015. Pedoman Manejemen Program Pencegahan PenularanHIV dan Sifi lis dari Ibu ke Anak. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak.
10. SIFILIS. World Health Organization. 2016. Mother to Child Transmission of HIV.
11. Efrida, Elvinawaty. 2014. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan Pemeriksaan Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas; 3(3)
12. Hook EW. Syphilis. Lancet. 2017 Apr 15;389(10078):1550-1557. [PubMed]
13. Sparling PF, Morton NS, Daniel MM, Bernardine PH. 2008. Clinical manifestations of syphilis. In: Holmes KK, Sparling PF, Stamn WE, Piot P, Wasserhait JN, dkk, eds. Sexually
transmitted disease. 4th Ed. New York: McGrow-Hill; p. 661-84.
14. Janier M, Hegyi V, Dupin N, Unemo M, Tiplica GS, Potocnik M. 2014 European guideline on the management of syphilis. JEADV. 2014;28:1581-93.
15. Workowski KA, Bolan G. 2015. Sexually transmitted diseases treatment guidelines. CDC MWR Recommendations and Reports. 64(3):34-48.
16. Guidance for Industry. Recommendations for Screening, Testing, and Management of Blood Donors and Blood and Blood Components Based on Screening Tests for Syphilis. U.S.
Department of Health and Human Services Food and Drug Administration Center for Biologics Evaluation and Research .September 2014.
17. Katz KA. Syphilis. In: Goldsmith Lowell A, Katz Stephen I, Gilchrest Barbara A, Paller Amy S, Leffell David J, Wolff Klaus, eds. 2012. Fitzpatrick dermatology in general
medicine. 8th Ed. New York: McGraw-Hill; p. 2469-92.
18. Daili SF, dkk, Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar, Kementerian Kesehatan Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Tahun 2013.
19. 19. Sjaiful Fahmil. Tinjauan Infeksi Menular Seksual. Dalam: Sri Linuwih SW Menaldi, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2015.h.438-436
20. Kemenkes. 2013. Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar.
21. Adi Jhuanda. Sifilis Dalam: Sri Linuwih SW Menaldi, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.h.474-455
22. Ummi rinandari,EndraYustinEllistaSari. currentSyphilisTherapy. 2020. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, Indonesia. CDK-290/ vol.
47 no. 9 th. 2020

Anda mungkin juga menyukai