Anda di halaman 1dari 52

STAINU

( SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM)


TASIKMALAYA

HUKUM PERKAWINAN dan HUKUM KELUARGA


Yanti Haryanti, S.H., M.Kn
HUKUM PERKAWINAN

Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
(UU Perkawinan) di dalam Pasal 1 menjelaskan “Perkawinan ialah
ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Prof Subekti SH, perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang lelaki dengan seorang perempuan untuk waktu
yang lama. Menurut Prof Mr Paul Scholten, perkawinan adalah
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita
untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.
Hukum perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai
syarat2 dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat2
hukum bagi pihak2 yang melangsungkan perkawinan tersebut.
1. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia yang
berlaku sekarang ini:
a. Buku Kesatu KUH Perdata Bab IV s/d Bab XI sbb:
1) Bab IV tentang Perkawinan
2) Bab V tentang hak2 dan kewajiban2 suami isteri
3) Bab VI tentang persatuan harta kekayaan menurut UU
dan pengurusannya
4) Bab VII tentang perjanjian kawin
5) Bab VIII tentang persatuan atau perjanjian kawin dalam
perkawinan untuk kedua kali atau selanjutnya
6) Bab IX tentang perpisahaan harta kekayaan
7) Bab X tentang pembubaran perkawinan
8) Bab XI tentang perpisahan meja dan ranjang
b. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto
putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, tgl 21 Maret 2015
(utk perjanjian kawin)
c. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
d. Peratuan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
e. PP No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan
Tambahan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Ijin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
f. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam Indonesia (Pasal 1-170 KHI)
g. UU No UU no 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU
No 1 tahun 1974 tentang perkawinan ( Pasal 7 mengenai
batas minimal usia perkawinan bagi seseorang).
2. Perkawinan menurut KUH Perdata

a. Asas Monogami, dan ini berlaku mutlak artinya setiap suami


hanya diperbolehkan mempunyai seorang isteri, begitu juga
sebaliknya  Pasal 27 KUH Perdata
b. Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan
perempuan untuk waktu yang lama. UU memandang
perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian
dijelaskan dalam Pasal 26 KUH Perdata. Artinya, bahwa suatu
perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata, dan syarat-
syarat serta peraturan agama dikesampingkan.
c. Tidak memandang faktor keagamaan sebagai syarat sahnya
perkawinan, bahkan upacara keagamaan tidak boleh
dilangsungkan sebelum perkawinan diadakan dihadapan
Pegawai Catatan sipil  Pasal 81 KUH Perdata
3. Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut KUH Perdata

1) Berlakunya asas monogami  Pasal 27 KUH Perdata


2) Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si
pria dan wanita  Pasal 28 KUH Perdata
3) Umur minimal untuk pria 18 tahun dan Wanita 15
tahun  Pasal 29 KUH Perdata.
4) Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai,
yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar 
Pasal 34 KUH Perdata.
5) Karena umur tersebut, dibawah usia dewasa yaitu 21
tahun, maka harus memperoleh izin dari kedua orang tua
mereka, atau orang tua yang hidup terlama bila salah
seorang telah meninggal dunia  Pasal 35 KUH Perdata;
izin dari wali pengawas bila menikah dengan walinya 
Pasal 36 KUH Perdata; izin dari kakek-nenek pihak ayah
dan ibu, sedangkan izin wali tetap diperlukan bila kedua
orang tuanya sudah meninggal atau tidak mampu
menyatakan kehendaknya  Pasal 37; Sedangkan untuk
anak-anak luar kawin, izin2 diatur di dalam  Pasal 38,
39, 40
6) Tidak terkena larangan kawin sebagaimana diatur dalam
 Pasal 30 s/d Pasal 33 KUH Perdata.
4. Akibat-akibat Perkawinan menurut KUH
Perdata
1) Perkawinan oleh UU dipandang sebagai suatu perkumpulan
(echtvereniging). Suami ditetapkan sebagai kepala atau
pengurusnya  Pasal 105 KUH Perdata
2) Suami isteri harus setia satu sama lain, bantu membantu, berdiam
bersama-sama, saling memberi nafkah dan bersama-sama
mendidik anak  Pasal 104 KUH Perdata
3) Anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak sah (wettig) 
Pasal 250 KUH Perdata
4) Melakukan Kekuasaan orangtua terhadap anak2nya yang belum
dewasa  Pasal 298, 299 KUH Perdata
5) Suami menjadi waris dari isteri dan begitu sebaliknya, apabila salah
satu meninggal dalam perkawinan  Pasal 832 KUH Perdata
6) Oleh UU dilarang jual beli antara suami isteri  Pasal 1467 KUH
Perdata
7) Perjanjian perburuhan antara suami isteri tidak diperbo-lehkan 
Pasal 1601 huruf i KUH Perdata
8) Suami tidak diperbolehkan menjadi saksi di dalam suatu perkara
isterinya dan sebaliknya  Pasal 168 dan 169 KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
9) Suami tidak dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap
isterinya dan begitu sebaliknya (pencurian)  Pasal 367 KUH
Pidana, menetapkan pencurian sebagai tindak pidana aduan (klacht
delict),
10) Percampuran kekayaan, suatu percampuran antara kekaya-an
suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen),
jikalau tidak diperjanjikan apa-apa. Percampuran kekayaan adalah
mengenai seluruh aktiva dan pasiva baik yang dibawa oleh masing-
masing pihak kedalam perkawinan, maupun yang akan diperoleh di
kemudian hari selama perkawinan. Kekayaan bersama itu oleh UU
disebut gemeenschap.  Pasal 119 KUH Perdata
5. Perkawinan menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

a. Arti perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan, (selanjutnya disebut UU
Perkawinan) di dalam Pasal 1 menjelaskan
“Perkawinan ialah ikatan bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Demikian dalam UU
Perkawinan, perolehan keturunan merupakan
tujuan perkawinan.
b. Asas monogami  Pasal 3 ayat 1 UU Perkawinan; dan
c. Izin berpoligami dalam perkawinan  Pasal 3 ayat (2) UU
Perkawinan, yang menyatakan Pengadilan dapat memberi
ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Adapun yang dimaksud Pengadilan adalah
Pengadilan agama bagi mereka yang beragama islam dan
pengadilan umum bagi lainnya. Setiap keputusan penga-
dilan agama dikukuhan oleh pengadilan umum  Pasal 63
UU Perkawinan. Adapun syarat-syarat dan tata cara untuk
beristeri lebih dari satu diatur dalam Pasal 4, Pasal 5 juga
Pasal 65 UU Perkawinan juncto Pasal 40, s/d Pasal 44 PP
No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU
Perkawinan.
6. Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan

1)Perkawinan sah apabila dilakukan menurut


hukum masing-masing agama dan kepercaya-
annya, serta tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut perundang-undangan yang berlaku.
 Pasal 2 UU Perkawinan
2)Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai  Pasal 6 ayat (1) UU
Perkawinan
3) Pasal 6 ayat (2) s/d ayat (6) UU Perkawinan, bagi calon mempelai
yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari kedua
orangtua, atau apabila salah seorang dari kedua orangtua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya maka izin diperoleh dari orang tua yang hidup terlama
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya, atau
apabila kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
Apabila terdapat perbedaan pendapat antara orang-orang yang
memberi izin, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal calon mempelai dapat memberikan izin setelah
mendengar orang-orang yang berbeda pendapat tersebut. Ketentuan-
ketentuan tersebut, berlaku sepanjang hukum masing-masing agama
dan kepercayaan calon mempelai tidak menentukan lain.
4) Perkawinan hanya diizinkan (izin sebagaimana dimaksud
angka 2 diatas) jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilanbelas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enambelas) tahun. Jika dibawah umur
tersebut, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun wanita.  Pasal 7 UU Perkawinan.
5) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, berlaku
jangka waktu tunggu  Pasal 11 UU Perkawinan.
6) Tidak terkena larangan kawin sebagaimana diatur
dalam  Pasal 8 dan Pasal 10 UU Perkawinan, juga
seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut
pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan.
7. Akibat-akibat Perkawinan menurut UU Perkawinan

1) Perkawinan merupakan ikatan bathin antara se-


orang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Pasal 1 UU
Perkawinan.
2) Perkawinan, untuk memperoleh keturunan.
3) Suami isteri wajib, saling mencintai, hormat meng-
hormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang
satu kepada yang lain.  Pasal 43 UU Perkawinan
4) Anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak sah
(wettig)  Pasal 42 UU Perkawinan
5) Memelihara dan mendidik anak2 mereka dengan sebaik-
2nya serta melakukan Kekuasaan orangtua terhadap
anak2nya yang belum dewasa  Pasal 45 dan Pasal 47
UU Perkawinan.  Hak Alimentasi
6) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama (gono-gini)  Pasal 35 ayat (1) UU
Perkawinan
7) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-
masing, sepanjang para pihak tidak menen-tukan lain. 
Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan
Adapun hal-hal lain yang tidak diatur di dalam UU
Perkawinan, dipakai ketentuan dari KUH Perdata,
berdasarkan Pasal 66 UU Perkawinan
8) Suami menjadi waris dari isteri dan begitu sebaliknya, apabila salah
satu meninggal dalam perkawinan  Pasal 832 KUH Perdata
9) Oleh UU dilarang jual beli antara suami isteri  Pasal 1467 KUH
Perdata
10) Perjanjian perburuhan antara suami isteri tidak diperbolehkan 
Pasal 1601 huruf i KUH Perdata
11) Suami tidak diperbolehkan menjadi saksi di dalam suatu perkara
isterinya dan sebaliknya  Pasal168 dan 169 KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
12) Suami tidak dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap
isterinya dan begitu sebaliknya (pencurian)  Pasal 367 KUH
Pidana, menetapkan pencurian sebagai tindak pidana aduan (klacht
delict).
8. Perjanjian Kawin

Bila di dalam suatu perkawinan tidak di buat


Perjanjian Kawin, maka harta benda dalam
perkawinan merupakan harta bersama atau harta
campur (gono gini).
Hal ini oleh KUH Perdata diatur dalam Pasal 119
KUH Perdata dan di dalam UU Perkawinan diatur
dalam Pasal 35 UU Perkawinan.
Arti “Harta Bersama” menurut KUH Perdata dan
UU Perkawinan tidak sama / sangat berbeda.
Perbedaan “Harta Bersama” menurut KUH Perdata
dan UU Perkawinan sbb:
• Pasal 119 KUH Perdata: ayat (1) Mulai saat perkawinan
dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat
antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai
itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain;
ayat (2) Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh
ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara
suami dan isteri.
• Pasal 35 UU Perkawinan: ayat (1) Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; ayat
(2) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing,
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Perbedaan nampak jelas:
KUH Perdata: yang termasuk harta bersama
adalah harta yang diperoleh selama/sepanjang
perkawinan juga harta bawaan masing-masing
dan pemberian untuk masing-masing dalam
perkawinan;
UU Perkawinan: yang termasuk harta bersama
hanyalah harta yang diperoleh selama/sepanjang
perkawinan. Sedangkan, harta bawaan dan
pemberian (hadiah, warisan, hibah) untuk masing-
masing, tetap milik pihak yang membawa dan
menerimanya.
Dapat dilihat pengaturan Perjanjian Kawin dalam
UU Perkawinan hanya satu pasal, sedangkan di
KUH Perdata di atur dalam Pasal 139 s/d Pasal
185 KUH Perdata. Untuk itu dengan Pasal 66 UU
Perkawinan ditentukan bahwa “Untuk perkawin-
an dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasar atas Undang-Undang ini,
maka dengan berlakunya Undang-Undang ini,
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUH
Perdata .............. sejauh telah diatur dalam
Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UU
Perkawinan)
pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69
Tahun 2015 (selanjutnya disebut
Putusan MK)
Putusan MK telah mengubah Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Semula berbunyi:

Perjanjian Pranikah
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanji an tertulis
yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawin-an, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga”
Pasal 29 tersebut berubah menjadi:
(1). Perjanjian Kawin dapat dibuat:
a. Sebelum perkawinan;
b. Pada saat perkawinan, atau
c. Selama perkawinan
(2). Perjanjian kawin dibuat dengan “Perjanjian
tertulis”, dan tidak boleh melanggar
kesusilaan serta agama.
(3). Perjanjian kawin “disahkan” oleh:
d. Pejabat pencatat perkawinan, atau
e. Notaris.
(4). Perjanjian kawin berlaku sejak:
a. Saat dilangsungkannya perkawinan, atau
b. Saat yang ditentukan oleh calon suami isteri
atau suami isteri.
(5). Perjanjian kawin dibuat berdasarkan
kesepakatan.
(6). Perjanjian kawin dapat memuat hal-hal yang
diperjanjikan, berupa:
c. Benda/Harta/Kekayaan, dan/atau
d. Hal-hal lain.
(7). Perjanjian kawin dibuat “tidak boleh merugikan
pihak ketiga”
Keputusan Mahkamah Konstitusi
No. 69/PUU-XIII/2015, tgl 21 Maret 2015

Dengan keluarnya putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, tgl 21 Maret


2015 terjadi perubahan berkaitan dengan pembuatan perjanjian
perkawinan. Apabila sebelumnya perjanjian perka-winan hanya dapat
dibuat sebelum atau pada saat perkawinan saja maka kini perjanjian
perkawinan dapat juga dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan
mereka.
Dengan demikian, maka pasangan suami isteri, yang sebelum atau
pada saat perkawinan dilangsungkan ingin membuat perjanjian
perkawinan, jika mereka ingin membuat perjanjian perkawinan sepanjang
perkawinan mereka tidak lagi harus meminta penetapan pengadilan
untuk keperluan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut, seperti yang
telah beberapa kali terjadi.
Mereka yang ingin membuat perjanjian perkawinan dapat
membuatnya secara tertulis dan kemudian disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan atau mereka dapat meminta bantuan notaris untuk
membuat akta Perjanjian Perkawinan tersebut.
Terdapat dua hal penting dalam pasal ini.
Pertama, perjanjian kawin harus didaftarkan, untuk memenuhi
unsur publisitas dari Perjanjian Kawin dimaksud. Supaya pihak ketiga (di
luar pasangan suami atau istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada
aturan dalam perjanjian kawin yang telah dibuat oleh pasangan tersebut.
Jika tidak didaftarkan, maka perjanjian kawin hanya mengikat/berlaku
bagi para pihak yang membuatnya, yakni suami dan istri yang
bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1313, 1315 dan 1340 KUH
Perdata, dimana perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang
membuatnya.
Kedua, sejak UU Perkawinan tersebut berlaku, maka
pen-daftaran/pengesahan/pencatatan perjanjian kawin tidak lagi
dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Untuk pasangan yang
beragama Islam  pencatatannya dilakukan oleh KUA pada buku nikah
mereka, sedangkan untuk yang non-muslim  pencatatan dilakukan
oleh Kantor Catatan Sipil setempat pada akta Nikah mereka.
Untuk pembuatan perjanjian perkawinan tersebut Notaris
harus memperoleh kepastian bahwa perjanjian perkawinan yang
dibuat tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
Para Notaris masih menunggu Pemerintah untuk segera
membuat peraturan yang mendukung terlaksananya ketentuan
MK tersebut, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah.
oleh karena walaupun MK telah memutuskan dibolehkannya
pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan, akan
tetapi masih ada kendala khususnya terkait dengan pembuatan
tersebut tidak merugikan pihak ketiga dan juga terkait dengan
pencatatannya.
9. Putusnya Perkawinan.
Menurut Pasal 199 KUH Perdata, perkawinan putus
atau bubar karena:
1) Kematian;
2) Kepergian suami atau isteri selama 10 tahun
dan diikuti dengan perkawinan baru dengan
orang lain;
3) Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja
makan dan tempat tidur selama 5 tahun;
4) Perceraian.
Perceraian yang merupakan penghapusan perkawinan
dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak
dalam perkawinan. Undang-undang tidak membolehkan
perceraian dengan permufakatan saja antara suami
isteri, tetapi harus ada alasan yang sah.
Menurut KUH Perdata ada 4 (empat) macam alasan 
Pasal 209 KUH Perdata :
1) Zinah (overspel)
2) Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating)
3) Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena diper-
salahkan melakukan suatu kejahatan, dan
4) Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa.
UU Perkawinan di dalam peraturan pelaksanaannya
Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, menambahkan 2 (dua)
alasan:
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajib-
annya sebagai suami/isteri;
6) Antara suami isteri terus menerus terjadi per-
selisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Khusus no 2) menurut Peraturan Pelaksanaan UU
Perkawinan, salah satu meninggalkan pihak lain selama
2 (dua) tahun ber-turut2 tanpa izin pihak lain.
HUKUM KELUARGA MENURUT
KUH PERDATA DAN UU PERKAWINAN

Hukum keluarga merupakan kelanjutan dari


hukum perkawinan. Menurut L.J. van
Apeldoorn, hukum keluarga (familierecht) adalah
peraturan hubungan hukum yang timbul dari
hubungan keluarga. Menurut Prof Ali Afandi SH,
hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan
ketentuan yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawin-an, kekuasaan orang tua,
perwalian, pengampu-an, keadaan tidak hadir).
1. Keturunan

a. Anak sah.
1) Pengertian anak sah.
Menurut KUH Perdata, anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah
antara ayah dan ibunya.
Menurut Pasal 42 UU Perkawinan, anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.
2) Penyangkalan anak sah
a) Menurut Pasal 250 KUH Perdata, tiap-tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya. Sebagai akibatnya,
kepada suami diberi hak penyangkalan anak sah yaitu:
1. Pasal 251 KUH Perdata, seorang anak yang dilahirkan
sebelum 180 hari terhitung sejak tanggal perkawinan,
maka si suami boleh menyangkal anak tersebut, tetapi
penyangkalan ini tidak boleh dilakukan dalam hal:
a. Si suami telah mengetahui bahwa pada saat perka-
winan, si isteri sudah hamil.
b. Si suami turut hadir pada saat pembuatan akta ke-
lahiran dan turut menandatanganinya.
c. Anaknya lahir dalam keadaan meninggal.
Menurut Pasal 256 KUH Perdata, tenggang waktu
untuk penyangkalan anak adalah:
1) Dalam waktu 1 bulan dari lahirnya si anak, jika
si suami berdiam di tempat kelahiran anak.
2) Dalam waktu 2 bulan, setelah kembalinya si
suami jika ia berada dalam keadaan tak hadir.
3) Dalam waktu 2 bulan setelah tipu muslihat
diketahuinya, jika kelahiran anak itu
disembunyikan.
2. Pasal 252 KUH Perdata, suami boleh mengingkari keabsahan
anak, apabila dapat membuktikan bahwa ia sejak 300 hari
sampai 180 hari sebelum lahirnya anak tidak terjadi
hubungan kelamin dengan isterinya. Dalam hal ini, si suami
harus membuktikan bahwa ia bukan bapak anak itu.
3. Pasal 253 KUH Perdata, suami tidak dapat mengingkari
keabsahan seorang anak dengan alasan isterinya telah
berzinah dengan lelaki lain, kecuali jika kelahiran anak itu
disembunyikan.
4. Pasal 254 KUH Perdata, suami boleh mengingkari keabsahan
seorang anak, yang dilahirkan 300 hari setelah keputusan
perpisahan meja dan tempat tidur memperoleh kekuatan
hukum. Apabila penyangkalannya dikabulkan, maka anak
tersebut disebut anak di luar kawin atau anak tidak sah.
b) Menurut UU Perkawinan  Pasal 44 UU
Perkawinan, seorang suami dapat menyang-
kal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya
bilamana ia dapat membuktikan bahwa
isterinya telah berzinah dan anak itu akibat
dari pada perzinahan itu. Pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/tidaknya
anak atas permintaan pihak yang ber-
kepentingan.
3) Pembuktian anak sah
a) Menurut Pasal 255 KUH Perdata, anak yang dilahirkan 300
hari setelah perkawinan dibubarkan adalah tidak sah. Menurut
KUH Perdata, seorang anak yang sah dapat dibuktikan dengan:
1. Akta Kelahiran yang dibukukan dalam Register Catatan
Sipil Pasal 261 ayat (1) KUH Perdata.
2. Anak itu terus menerus menikmati suatu kedudukan
sebagai anak yang sah  Pasal 261 ayat (2) KUH Perdata;
Penikmatan kedudukan anak sah itu dapat dibuktikan
dengan memperlihatkan suatu pertalian seperti, selalu
memakai nama si bapak dll  Pasal 262 KUH Perdata.
3. Saksi-saksi, apabila telah ada bukti permulaan dengan
tulisan atau dugaan-dugaan atau petunjuk-petunjuk
tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidak dapat
disangkal lagi kebenarannya  Pasal 264 KUH Perdata
b) Menurut berdasarkan bukti-2 yang memenuhi
syarat UU Perkawinan, asal usul anak hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Kelahiran yang otentik
yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang 
Kantor Catatan Sipil setempat. Bila akta kelahiran
tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-2 yang memenuhi syarat. Setelah penetapan
Pengadilan  di keluarkan akta kelahiran anak
tersebut, oleh pejabat yang berwenang di daerah
hukum pengadilan ybs  Pasal 55 UU Perkawinan
b. Anak Luar Kawin

1) Pengertian anak luar kawin.


Pada dasarnya, anak luar kawin adalah anak yang
dilahirkan sebagai hubungan pria dan wanita diluar
perkawinan yang sah, dimana diantara mereka
tidak terkena larangan kawin atau tidak terikat
perkawinan dengan orang lain. Anak luar kawin
tidak mempunyai hubungan perdata dengan orang
tuanya. Menurut Pasal 43 UU Perkawinan, anak
yang dilahirkan diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya. (tambahan Yurisprudensi )
2) Peningkatan status anak luar kawin.
Status anak luar kawin dapat ditingkatkan sebagai
berikut:
a) Pengakuan anak, caranya:
1. Perkawinan kedua orang tuanya yang telah
mengakui anak tersebut  Pasal 272 KUH Perdata.
2. Pengakuan dengan akta otentik Pasal 281 KUH
Perdata
3. Pada saat sianak itu berumur 19 tahun (pria) dan
bagi perempuan tanpa batas usia  Pasal 282 KH
Perdata
4. Pengakuan dapat dilakukan oleh ibu anak tersebut
 Pasal 284 KUH Perdata.
b) Pengesahan anak, dilakukan dengan pengesahan
dari Presiden, dalam hal:
1. Jika kedua orang tua sebelum dan pada saat
kawin telah melalaikan mengakui anak luar
kawin  Pasal 274 KUH Perdata
2. Jika anak itu dilahirkan oleh bapak dan ibu, di-
mana karena meninggalnya seorang diantara-
nya tidak dapat melangsungkan perkawinan 
Pasal 275 KUH Perdata.
Akibat pengesahan itu, status anak luar kawin
menjadi sama dengan anak sah  Pasal 277 KUH
Perdata.
3). Anak sumbang.
Adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat
hubungan pria dan wanita diluar perkawinan
yang sah, dimana diantara mereka dilarang
untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 30 s/d
Pasal 33 KUH Perdata). Menurut Pasal 283 KUH
Perdata, anak sumbang tidak dapat diakui.
Apabila orangtua anak sumbang mendapat
dispensasi untuk menikah, si anak sumbang demi
hukum menjadi anak sah karena perkawinan
kedua orangtuanya  Pasal 274 KUH Perdata.
4). Anak zinah
Adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat
hubungan pria dan wanita diluar perkawinan
yang sah dan dimana salah satu atau dua-
duanya sedang terikat dengan perkawinan
dengan pihak lain. Menurut Pasal 283 KUH
Perdata, anak zinah tidak dapat diakui dan
tidak ada upaya hukum untuk peningkatan
statusnya.
2. Kekuasaan Orang Tua

a. Kekuasaan orangtua terhadap diri si anak


1) Menurut KUH Perdata
• Seorang anak yang belum mencapai usia dewasa atau kawin, berada
dibawah kekuasaan orangtuanya selama orang tua itu terikat dalam
hubungan perkawinan  Pasal 299 KUH Perdata. Apabila perkawinan
bubar (meninggal atau cerai) maka kekuasaan orang tua berubah
menjadi perwalian, dan biasanya dilakukan oleh si ayah, atau oleh ibu
bila si ayah di luar kemungkinan, atau wali yang diangkat oleh
Pengadilan  Pasal 300 KUH Perdata.
• Orang tua wajib memelihara dan mendidik semua anak-anaknya.
Kewajban ini tetap berlaku jika mereka kehilangan hak untuk
melakukan kekuasaan orangtua atau hak untuk menjadi wali  Pasal
298 ayat (2) KUH Perdata. Orang tua, walau dia tidak memiliki
kekuasaan orang tua) dalam hal terjadi perceraian), wajib memberi
tunjangan bagi pemeliharaan dan penghidupan anak-anak mereka 
Pasal 301 KUH Perdata.
2) Menurut UU Perkawinan.
• Pasal 41 UU Perkawinan, bapak yang bertanggunga jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak, apabila bapak
dalam kenyataannya tidak dapat memenuhinya, maka Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
• Pasal 45 UU Perkawinan, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban itu berlaku sampai si anak kawin
atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana tetap berlaku terus sekalipun
perkawinan kedua orangtuanya putus. Kewajiban orang tua untuk
memberikan pendidikan dan memelihara anak ini disebut dengan hak
alimentasi.
• Pasal 46 UU Perkawinan, anak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka dengan baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis
lurus keatas bila mereka itu memerlukan bantuannya.
• Pasal 47 UU Perkawinan, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan orang
tua selama mereka tidak dicabut kekuasaannya. Orang tua mewakili anak
tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
3. Perwalian

a. Menurut Prof Subekti, perwalian (voogdij), adalah


pengawasan terhadap anak, yang di bawah umur,
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua
serta pengurusan benda atau kekayaan anak
tersebut, diatur oleh Undang-Undang.
Menurut Prof Ali Afandi, perwalian (voogdij),
adalah pengawasan terhadap pribadi dan
pengurusan harta kekayaan seorang anak yang
belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua.
b. Anak di bawah Perwalian
1) Menurut KUH Perdata.
Dalam tiap perwalian, hanya ada satu orang wali  Pasal 331
KUH Perdata. Anak yang di bawah perwalian adalah:
a) Anak sah yang kedua orangtuanya telah di cabut keku-asaan
orang tuanya.
b) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai.
c) Anak sah yang salah satu atau kedua orangtuanya telah
meninggal dunia.
d) Anak yang lahir di luar perkawinan
Jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia, demi
hukum ataupun karena penetapan hakim tidak harus dilakukan
oleh orangtua yang lain. Pengangkatan wali dengan wasiat yang
dibuat dengan akta Notaris  Pasal 355 ayat (1) dan (3) KUH
Perdata.
2) Menurut UU Perkawinan
• Pasal 50 UU Perkawinan, anak yang belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan
orangtua, di bawah kekuasaan wali. Perwalian
mengenai pribadi anak maupun harta bendanya.
• Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan, wali dapat
ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan
surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 orang
saksi. Wali se-dapat2nya di ambil dari keluarga anak
tersebut atau orang lain yang sudah dewasa
berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakukan baik.
c. Macam-macam perwalian
1) Wali orangtua yang hidup terlama, yaitu apabila salah satu orang tua
meninggal, maka perwalian terhadap anak yang belum dewasa
dilakukan oleh orangtua yang hidup terlama  Pasal 345 KUH Perdata
2) Kawan wali, yaitu jika yang menjadi wali itu si ibu dan ibu kawin lagi,
maka suaminya menjadi kawan wali  Pasal 351 KUH Perdata
3) Wali orangtua yang telah dewasa atas anak luar kawin yang diakui 
Pasal 353 KUH Perdata
4) Perwalian menurut wasiat, yaitu wali yang diangkat berdasarkan surat
wasiat orangtua anak tersebut  Pasal 355 KUH Perdata
5) Wali datif, yaitu wali yang diangkat oleh penetapan pengadilan negeri
 Pasal 359 KUH Perdata
6) Perwalian badan hukum yang diangkat oleh hakim  Pasal 365 KUH
Perdata
7) Wali curator/wali pengampu atas anak sah dari orang-orang yang
dibawah pengampuan  Pasal 453 KUH Perdata
d. Kewajiban wali
1) Menurut KUH Perdata, antara lain:
a) Pasal 385 ayat (1) KUH Perdata
b) Pasal 386 ayat (1) KUH Perdata
c) Pasal 383 KUH Perdata
d) Pasal 399 ayat (1) KUH Perdata
e) Pasal 400 ayat (1) KUH Perdata
f) Pasal 409 KUH Perdata
2) Menurut UU Perkawinan  Pasal 51 dan 52
UU Perkawinan.
e. Pembebasan dan pemecatan dari perwalian
1) Menurut KUH Perdata:
a) Pembebasan dari Perwalian  Pasal 379 KUH Perdata
b) Menolak sebagai wali  Pasal 377 KUH Perdata
c) Pemecatan dan Pencabutan kekuasaan perwalian  Pasal
380 KUH Perdata
2) Menurut UU Perkawinan
Wali dapat dicabut dari kekuasaannya dalam hal-hal ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anak yang di bawah
penguasaannya dan berkelakuan buruk sekali. Dicabut oleh
Pengadilan dan ditunjuk orang lain sebagai wali  Pasal 53 UU
Perkawinan.
Wali yang menyebabkan kerugian atas harta kekayaan anak yang
dibawah perwaliannya, atas tuntutan sanak saudara-nya wajib
mengganti kerugian itu  Pasal 54 UU Perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai