3) Hukum perkawinan dan hukum keluarga
3) Hukum perkawinan dan hukum keluarga
Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
(UU Perkawinan) di dalam Pasal 1 menjelaskan “Perkawinan ialah
ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Prof Subekti SH, perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang lelaki dengan seorang perempuan untuk waktu
yang lama. Menurut Prof Mr Paul Scholten, perkawinan adalah
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita
untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.
Hukum perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai
syarat2 dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat2
hukum bagi pihak2 yang melangsungkan perkawinan tersebut.
1. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia yang
berlaku sekarang ini:
a. Buku Kesatu KUH Perdata Bab IV s/d Bab XI sbb:
1) Bab IV tentang Perkawinan
2) Bab V tentang hak2 dan kewajiban2 suami isteri
3) Bab VI tentang persatuan harta kekayaan menurut UU
dan pengurusannya
4) Bab VII tentang perjanjian kawin
5) Bab VIII tentang persatuan atau perjanjian kawin dalam
perkawinan untuk kedua kali atau selanjutnya
6) Bab IX tentang perpisahaan harta kekayaan
7) Bab X tentang pembubaran perkawinan
8) Bab XI tentang perpisahan meja dan ranjang
b. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto
putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, tgl 21 Maret 2015
(utk perjanjian kawin)
c. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
d. Peratuan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
e. PP No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan
Tambahan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Ijin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
f. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam Indonesia (Pasal 1-170 KHI)
g. UU No UU no 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU
No 1 tahun 1974 tentang perkawinan ( Pasal 7 mengenai
batas minimal usia perkawinan bagi seseorang).
2. Perkawinan menurut KUH Perdata
Perjanjian Pranikah
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanji an tertulis
yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawin-an, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga”
Pasal 29 tersebut berubah menjadi:
(1). Perjanjian Kawin dapat dibuat:
a. Sebelum perkawinan;
b. Pada saat perkawinan, atau
c. Selama perkawinan
(2). Perjanjian kawin dibuat dengan “Perjanjian
tertulis”, dan tidak boleh melanggar
kesusilaan serta agama.
(3). Perjanjian kawin “disahkan” oleh:
d. Pejabat pencatat perkawinan, atau
e. Notaris.
(4). Perjanjian kawin berlaku sejak:
a. Saat dilangsungkannya perkawinan, atau
b. Saat yang ditentukan oleh calon suami isteri
atau suami isteri.
(5). Perjanjian kawin dibuat berdasarkan
kesepakatan.
(6). Perjanjian kawin dapat memuat hal-hal yang
diperjanjikan, berupa:
c. Benda/Harta/Kekayaan, dan/atau
d. Hal-hal lain.
(7). Perjanjian kawin dibuat “tidak boleh merugikan
pihak ketiga”
Keputusan Mahkamah Konstitusi
No. 69/PUU-XIII/2015, tgl 21 Maret 2015
a. Anak sah.
1) Pengertian anak sah.
Menurut KUH Perdata, anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah
antara ayah dan ibunya.
Menurut Pasal 42 UU Perkawinan, anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.
2) Penyangkalan anak sah
a) Menurut Pasal 250 KUH Perdata, tiap-tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya. Sebagai akibatnya,
kepada suami diberi hak penyangkalan anak sah yaitu:
1. Pasal 251 KUH Perdata, seorang anak yang dilahirkan
sebelum 180 hari terhitung sejak tanggal perkawinan,
maka si suami boleh menyangkal anak tersebut, tetapi
penyangkalan ini tidak boleh dilakukan dalam hal:
a. Si suami telah mengetahui bahwa pada saat perka-
winan, si isteri sudah hamil.
b. Si suami turut hadir pada saat pembuatan akta ke-
lahiran dan turut menandatanganinya.
c. Anaknya lahir dalam keadaan meninggal.
Menurut Pasal 256 KUH Perdata, tenggang waktu
untuk penyangkalan anak adalah:
1) Dalam waktu 1 bulan dari lahirnya si anak, jika
si suami berdiam di tempat kelahiran anak.
2) Dalam waktu 2 bulan, setelah kembalinya si
suami jika ia berada dalam keadaan tak hadir.
3) Dalam waktu 2 bulan setelah tipu muslihat
diketahuinya, jika kelahiran anak itu
disembunyikan.
2. Pasal 252 KUH Perdata, suami boleh mengingkari keabsahan
anak, apabila dapat membuktikan bahwa ia sejak 300 hari
sampai 180 hari sebelum lahirnya anak tidak terjadi
hubungan kelamin dengan isterinya. Dalam hal ini, si suami
harus membuktikan bahwa ia bukan bapak anak itu.
3. Pasal 253 KUH Perdata, suami tidak dapat mengingkari
keabsahan seorang anak dengan alasan isterinya telah
berzinah dengan lelaki lain, kecuali jika kelahiran anak itu
disembunyikan.
4. Pasal 254 KUH Perdata, suami boleh mengingkari keabsahan
seorang anak, yang dilahirkan 300 hari setelah keputusan
perpisahan meja dan tempat tidur memperoleh kekuatan
hukum. Apabila penyangkalannya dikabulkan, maka anak
tersebut disebut anak di luar kawin atau anak tidak sah.
b) Menurut UU Perkawinan Pasal 44 UU
Perkawinan, seorang suami dapat menyang-
kal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya
bilamana ia dapat membuktikan bahwa
isterinya telah berzinah dan anak itu akibat
dari pada perzinahan itu. Pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/tidaknya
anak atas permintaan pihak yang ber-
kepentingan.
3) Pembuktian anak sah
a) Menurut Pasal 255 KUH Perdata, anak yang dilahirkan 300
hari setelah perkawinan dibubarkan adalah tidak sah. Menurut
KUH Perdata, seorang anak yang sah dapat dibuktikan dengan:
1. Akta Kelahiran yang dibukukan dalam Register Catatan
Sipil Pasal 261 ayat (1) KUH Perdata.
2. Anak itu terus menerus menikmati suatu kedudukan
sebagai anak yang sah Pasal 261 ayat (2) KUH Perdata;
Penikmatan kedudukan anak sah itu dapat dibuktikan
dengan memperlihatkan suatu pertalian seperti, selalu
memakai nama si bapak dll Pasal 262 KUH Perdata.
3. Saksi-saksi, apabila telah ada bukti permulaan dengan
tulisan atau dugaan-dugaan atau petunjuk-petunjuk
tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidak dapat
disangkal lagi kebenarannya Pasal 264 KUH Perdata
b) Menurut berdasarkan bukti-2 yang memenuhi
syarat UU Perkawinan, asal usul anak hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Kelahiran yang otentik
yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang
Kantor Catatan Sipil setempat. Bila akta kelahiran
tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-2 yang memenuhi syarat. Setelah penetapan
Pengadilan di keluarkan akta kelahiran anak
tersebut, oleh pejabat yang berwenang di daerah
hukum pengadilan ybs Pasal 55 UU Perkawinan
b. Anak Luar Kawin