Anda di halaman 1dari 21

Kebijakan Pendidikan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri

Oleh Rum Rosyid


Setelah sekitar enam bulan Megawati Soekarnoputeri menjadi presiden, masyarakat
menilai kinerjanya mulai merosot. Ketidakpuasan dirasakan seluruh lapisan masyarakat
dari berbagai partai politik, termasuk masyarakat pendukung Megawati dari PDI
Perjuangan. Jajak pendapat Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial (LP3ES) yang dipublikasikan di Jakarta kemarin mengungkapkan hal itu.
Jumlah sampel yang diambil dalam jajak ini sebanyak 1.216 responden. Mereka tersebar
di 10 kota, terdiri dari di Jawa (DKI Jakarta, Bandung, Surabaya) dan luar Jawa (Medan,
Palembang, Denpasar, Banjarmasin, Makassar, Mataram dan Jayapura). Responden
berumur minimal 17 tahun dengan pendidikan minimal SLTA. Margin of error
diperkirakan 3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Wawancara dilakukan selama
tiga hari, yakni 25-27 september 2001.

Hasilnya, kecuali di bidang pendidikan, responden dalam jajak pendapat tersebut merasa
tidak puas dengan banyak kebijakan yang diambil pemerintahan Megawati. Di bidang
pendidikan, mayoritsa responden (53 persen) memang puas. Namun, terhadap sejumlah
kebijakan ekonomi, lebih dari separuh masyarakat (52 persen) berpendapat bahwa
kebijakan yang ditempuh pemerintahan Megawati cenderung tidak memihak pada rakyat.

Adapun responden dari PDI Perjuangan, jumlah suara yang menganggap Mega berpaling
dari kepentingan rakyat juga cukup besar, yakni 40 persen. Menurut LP3ES, angka itu
menunjukkan bahwa banyak pendukung Megawati mulai kritis. Padahal, semasa
menjabat Wakil Presiden, Megawati sempat dianggap sebagai tokoh yang paling
memperhatikan rakyat. Pada polling serupa tahun lalu, LP3ES mencatat bahwa 73 persen
responden menilai menilai Megawati sebagai tokoh paling memihak rakyat.
Pada bidang kesehatan, tampak tingkat kepuasan masyarakat yang lebih tinggi
dibandingkan bidang-bidang lainnya. Ini ditunjukkan oleh 45% anggota masyarakat yang
mengaku puas pada kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi
semua kelompok masyarakat. Sementara itu, dalam hal penyediaan sarana kesehatan bagi
semua kelompok masyarakat, 44% menyatakan rasa puasnya.

Rendahnya tingkat kepuasan masyarakat secara umum terhadap bidang sosial ekonomi
pada gilirannya membuat sebagian besar dari mereka (62%) berpendapat bahwa
kebijakan-kebijakan pemerintahan Megawati tidak memihak rakyat. Hanya sebagian
kecil (26%) saja yang masih menganggap kebijakan pemerintah memihak kepentingan
masyarakat. Oleh sebab itu bukan suatu kebetulan apabila 66% anggota masyarakat
menilai bahwa pemerintahan Megawati terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan
yang ada. Hanya 25% saja anggota masyarakat yang mengatakan pemerintahan
Megawati terbukti mampu mengatasinya.

Di luar bidang ekonomi, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan


Megawati rata-rata berada di bawah 50%. Yang paling rendah dalam kacamata
masyarakat adalah soal penanganan konflik di Papua di mana hanya 23% saja anggota
masyarakat yang menyatakan rasa puasnya. Demikian pula halnya dengan penanganan
teror bom di mana 26% masyarakat juga menyatakan hal yang sama.
Namun demikian, khusus untuk dalam soal penanganan konflik Aceh, pemerintahan
Megawati dipandang cukup berhasil dalam menangani daerah tersebut (39%).
Masyarakat juga merasa puas terhadap pemberian rasa aman bagi mereka (37%). Di
kedua bidang tersebut lebih banyak anggota masyarakat yang memberikan apresiasi
terhadap apa yang telah dicapai pemerintah selama ini.

Di samping itu, dalam hal jaminan adanya kebebasan, tingkat kepuasan masyarakat
relatif tinggi. Kendati dalam masa pemerintahan Megawati terdapat beberapa kasus yang
memberikan indiksai kurangnya jaminan kebebasan, namun untuk kebebasan pers,
sebagian besar masyarakat (60%) menanggapinya dengan rasa puas. Juga untuk
kebebasan berekspresi meski ada beberapa kasus penangkapan mahasiswa karena
dianggap melecehkan presiden dan wakil presiden selama unjuk rasa beberapa waktu
yang lalu lebih dari separuh (64%) masyarakat yang menyatakan rasa puasnya.

Yang paling rendah adalah tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan
Megawati di bidang penegakan hukum. Ketidakpuasan masyarakat pada bidang tersebut
lebih dari bidang-bidang manapun -- berada pada titik yang terrendah. Hanya 19% saja
anggota masyarakat perkotaan pemilik telepon yang merasa puas terhadap upaya
pemerintah dalam menangani soal tersebut. Lebih dari itu, hanya 7% saja anggota
masyarakat yang merasa puas atas upaya pemerintahan Megawati melakukan pengadilan
pada para pejabat negara yang diduga terlibat korupsi. Pemerintah juga dinilai tidak
optimal dalam upaya pemberantasan memberantas kasus-kasus KKN. Hanya 8% saja
masyarakat yang merasa puas pada kinerja pemerintah untuk menangani persoalan
tersebut. Namun, dibandingkan dengan tingkat kepuasan masyarakat pada dua indikator
sebelumnya, lebih banyak masyarakat merasa puas (19%) terhadap upaya pemerintah
dalam mengadili para pejabat militer yang melakukan pelanggaran HAM.

Ideologi Pendidikan dalam lingkaran neoliberalisme


Pembangunan yang diperjuangkan DPP-PDI Perjuangan adalah: pola pembangunan yang
diarahkan pada pertumbuhan yang berkeseimbangan, yang berdaya tahan, dan yang
mampu melakukan kesinambungan secara sistemik. Oleh karenanya, titik berat pada
kerja membangun manusia Indonesia, menjadi titik tolak dari segala perencanaan dan
kebijakan yang menyangkut pada masalah pembangunan Nasional(Megawati, 1998).
Kalau dalam desakan gelombang globalisasi, perekonomian kita harus menerapkan sistim
ekonomi pasar yang terbuka, maka sebagai bangsa yang percaya diri, seharusnya kita
tidak perlu merasa cemas dan takut. Bila keterbukaan dan kehidupan demokrasi benar-
benar telah kita menangkan, dan oleh karenanya Rakyat dapat menjalankan fungsi
kontrolnya, maka segala bentuk ketakutan terhadap praktek-praktek neo-kolonialisme
lewat pintu pasar terbuka sebagaimana kekhawatiran banyak orang, rasanya tidak perlu
kita jadikan permasalahan yang hanya akan membuat kita menjadi bangsa yang kerdil
dan tak mampu menghadapi kenyataan.
Karena bagi PDI Perjuangan, penerapan sistim ekonomi pasar haruslah berjalan di atas
asas saling menunjang dan saling menguntungkan, dimana seluruh gerak perekonomian
yang terjadi harus di arahkan pada tujuan meningkatan kesejahteraan bagi kehidupan
umat di seluruh dunia.
Kita pasti mampu memenangkan hak-hak ekonomi Rakyat kita, dengan tanpa harus
melakukan distorsi terhadap prinsip ekonomi pasar itu sendiri. Dengan mendorong
tumbuhnya usaha kecil dan menengah yang terampil dan berdaya saing tinggi, kita akan
mampu menepis berbagai kemungkinan berawalnya bentuk baru penjajahan melalui pintu
ekonomi.
Kita tidak perlu memelihara sikap permusuhan dan sikap curiga yang berlebihan terhadap
para investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia. Yang justru harus kita
kembangkan dan pelihara adalah sikap dan etos hidup yang terus mau belajar dan
memperbaiki diri serta memerangi berbagai kebodohan yang dicekokkan kepada rakyat
bangsa ini -- oleh para penguasa yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Saya yakin, kalau kita sadar dan bersatu, kita pasti akan menjadi bangsa yang kuat; dan
untuk bersatu menjadi kuat; hendaknya kenali dan pelajari kembali; apa,..siapa,..dan mau
apa kita sebagai bangsa? Dalam rangka memulihkan perekonomian Indonesia yang
berwibawa, pemecahan masalah utang luar negeri dan masalah perbankan Indonesia,
harus pula dilaksanakan secara efektif dan berwibawa. Untuk itu, lembaga-lembaga
khusus yang menangani masalah tersebut, seperti : Bank Indonesia, BPPN dan INDRA,
harus dibuat menjadi benar-benar independen dan profesional. Independensi dan
kewibawaan lembaga ini, menurut hemat kami merupakan syarat mutlak dalam upaya
mempercepat penyelesaian krisis Indonesia. Untuk hal itu, DPP-PDI Perjuangan bersikap
dan bertindak secara pro-aktif memperjuangkan --agar anggota-anggota dari tim komisi
penyelesaian hutang luar negeri swasta dan restrukturisasi perbankan, tidak terdiri dari
para birokrat dan pihak-pihak yang terkait dalam masalah tersebut. Dalam hal ini,
transparansi-keterbukaan dan keterusterangan, harus menjadi bagian penting dari budaya
kerja dari team komisi tersebut.

Dalam hal membangun Manusia Indonesia yang berkualitas, berwawasan kebangsaan,


berperi-kemanusiaan, berkeadilan dan berKetuhanan; dengan sendirinya menempatkan
peran kebudayaan menjadi suatu wilayah strategis yang harus mendapat perhatian
khusus. Dengan demikian, pembangunan mental dan karakter bangsa merupakan hal
yang penting untuk diperhatikan. Terutama pada saat nilai-nilai moral dan spiritual
bangsa yang dapat eningkatkan kualitas manusia Indonesia sebagai mahluk yang berakal,
berkarakter dan berbudi luhur, dijadikan dasar pijakan pembangunan dimaksud.
Rangkaian inilah yang seharusnya kita jadikan sebagai strategi Nasional dalam mencari
dan mendudukkan jati diri bangsa. Hanya dengan akal yang sehat dan budi yang luhur,
bangsa Indonesia akan mampu memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi untuk
tujuan kemanusiaan dalam peradaban abad XXI mendatang. Dengan bekal akal sehat dan
jiwa yang bebas -- tapi berbudi, barulah hikmah peradaban ilmu dan teknologi akan dapat
dimanfaatkan sepenuhnya untuk tujuan membangun manusia yang modern namun
berahlak; dan yang maju tapi penuh toleransi.

Dalam kasus perkembangan teknologi informasi, alur komunikasi yang mengutamakan


kepentingan bersama untuk tujuan menciptakan keseimbangan hidup, dengan sendirinya
akan berjalan tanpa manusia harus menjadi korban teknologi informasi itu sendiri.
Secara teoritik, neoliberalisme merupakan teori ekonomi yang benar-benar membebaskan
pasar bertindak, ketimbang regulasi, sehingga cenderung disebut menihilkan peran
negara. Disini, mengutip Vincent Navarro, pokok kebijakan neoliberalisme adalah
sebagai berikut; (i) deregulasi pasar tenaga kerja, melalui penerapan sistim kontrak dan
outsourcing, (ii) deregulasi pasar financial, (iii) deregulasi perdangan barang dan jasa,
(iv) mengurangi subsidi dan jaminan sosial untuk public, (v) privatisasi dan penjualan
asset strategis, (vi) mempromosikan individualisme dan konsumerisme, (vii)
pengembangan teori dan narasi yang memuji-muji keunggulan pasar, (viii)
mempromosikan anti-intervensionisme.

Secara teoritis, bagi penganut neoliberal, privatisasi dimaksudkan sebagai jalan untuk
mengatasi masalah kekurangan financial, untuk membuat pelayanan menjadi lebih
efisien, serta mengindari distorsi pada makro dan mikro ekonomi akibat pelayanan public
gratis (Carlos Vilas). Pada kenyataannya, privatisasi telah mengarah para pengguna jasa
untuk membeli dengan harga yang lebih mahal, karena perusahaan yang terprivatisasi
kini menggunakan kriteria bisnis dan mencari keuntungan (profit).
kebijakan privatisasi berdasarkan desakan dari luar, khsusunya IMF dan bank dunia.
Bedanya, jika Megawati hanya melanjutkan kesepakatan yang dibuat pemerintahan
sebelumnya, Habibie, melalui stuctrual adjustment program (SAP), maka SBY
menjalankan privatisasi dengan dimandori secara lansung oleh Bank Dunia.

Privatisasi BUMN
Di bidang ekonomi, pemerintah begitu memanjakan kekuatan asing. Perusahan negara
yang strategis malah diobral murah satu per satu. Sebut saja Indosat, Telkom, Metrosel,
Astra, Indofood, sejumlah stasiun TV, dan Garuda Indonesia. Kekuatan bisnis asing pun
berebut, termasuk dari kelompok Yahudi. Memang, saat ini Indonesia sudah lepas dari
bayang-bayang IMF. Namun ganti berutang ke CGI, lembaga donor andalan Orde Baru.
Jumlah utang dan bunga utang negara terus membengkak hingga Rp 1.260 trilyun, atau
75% dari (PDB) Pendapatan Domestik Bruto negeri ini. Bagaimana kita keluar dari
jeratan utang dan ketergantungan pada lembaga asing? Sepertinya tak sempat lagi
dipikirkan oleh para elite pemerintah yang kini lebih gemar kampanye untuk partai dan
kelompoknya.

Amandemen UUD harus diakui mengalami kemajuan. Pun dalam pembuatan perangkat
hukum dan lembaga baru. Namun, langkah operasionalnya masih jauh dari memuaskan.
Agenda reformasi di sejumlah bidang praktis jalan di tempat, bahkan mundur. Prestasi
positifnya, kalau boleh dikatakan begitu, hanya pada angka-angka indikator ekonomi
makro. Misalnya stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar, tingkat inflasi, dan
pertumbuhan ekonomi relatif. Sayangnya, angka-angka makro itu tidak atau belum
berpengaruh pada sektor riil dan realitas mikro di lapangan. Kredit untuk usaha kecil dan
menengah yang jumlahnya tidak seberapa cuma 7% dari utang konglomerat yang
diputihkan atau diampuni melalui kedok release and decharge-- lebih dari separonya
belum terkucur. Akibatnya, rakyat miskin bertambah, pengangguran bertumpuk, biaya
hidup melonjak akibat pencabutan subsidi BBM, listrik dan telepon. Lengkap sudah
penderitaan wong cilik.

Selain itu, pertimbangan melakukan privatisasi dijaman megawati adalah untuk mencari
pendanaan untuk menutupi deficit APBN. Seperti diketahui, Megawati mewarisi sebuah
kondisi ekonomi yang compang camping akibat krisis ekonomi 1997. Sementara di
bawah pemerintahan SBY, kondisi APBN cenderung membaik, dan bahkan surplus.
Artinya, SBY menjalankan privatisasi memang berdasarkan scenario neoliberalisme,
sementara megawati menjalankannya sebagai pertimbangan pragmatis dalam situasi
darurat.

Dari segi jumlah BUMN yang diprivatisasi, SBY jauh lebih agressif ketimbang
Megawati. Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN.
Yang terprivatisasi 12 BUMN. Sedangkan dibawah SBY, situasinya cukup
menggemparkan, bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Apalagi, privatisasi
kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor
strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing. Jadi, SBY benar-benar “royal”
dalam mengobral BUMN dibandingkan pemerintahan sebelumnya.
Soal kebijakan utang luar negeri, pemerintahan SBY terlalu banyak melakukan
kebohongan terhadap publik. Soal utang kepada IMF, misalnya, SBY mengatakan bahwa
jumlahnya semakin menurun, tetapi angka kumulatif utang luar negeri terus bertambah
dari donatur di luar IMF, baik dari Bank Dunia, ADB, Paris Club, dsb, maupun dari utang
bilateral.

Semasa pemerintahan Megawati, yaitu 3,5 tahun, jumlah utang luar negeri Indonesia
bertambah sebesar Rp 12 triliun. Sementa itu, di bawah pemerintahan SBY, tercatat
terjadi peningkatan total utang luar negeri secara signifikan dari Rp. 662 triliun (2004)
menjadi Rp. 920 triliun (2009). Artinya Pemerintahan SBY “berhasil” membawa
Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan 392 triliun dalam kurun
waktu kurang 5 tahun.

Dalam tiap tahunnya, misalnya, Megawati menambah utang rp 4 triliun pertahun,


sementara pemerintahan SBY menambah utang sebesar 80 trilyun pertahun. Jika
dibandingka dengan era Soeharto pun, SBY masih jauh lebih “beringas”, dimana SBY
menambah 80 trilyun pertahun, sementara soeharto menambah 1500 trilyun dalam 32
tahun.

Untuk diketahui, outstanding Utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004-2009 terus
meningkat dari Rp1275 triliun menjadi Rp1667 triliun. Sementara itu, sejak tahun 2004
sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri
menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di
tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok
pinjaman luar negeri sebesar Rp277 triliun. Hal inilah, secara factual, yang menyebabkan
APBN tidak bisa berfungsi untuk mendanai pembangunan dan belanja capital.

Pada tahun 2003, ketika Budiono menjabat menteri keuangan, dia berusaha
memperpanjang kontrak dengan IMF melalui Post Program Monitoring (PPM), padahal
sidang MPR mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengakhiri kerjasama dengan
IMF.

Agenda reformasi yang terlupakan : ancaman disintegrasi


Bila agenda reformasi menjadi ukuran, rapor Pemerintahan Megawati-Hamzah berkuasa
hampir 2,5 tahun masih jauh dari memuaskan. KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) kian
merajalela. Penegakan hukum pilih kasih. Tuntutan publik untuk mengadili mantan
Presiden Soeharto dan kroninya malah sudah terlupakan. Pertahanan dan keamanan
jeblok. Tragedi dan kerusuhan terjadi dimana-mana. Aparat keamanan --polisi dan
tentaramalah saling baku tembak. Kekuatan partai-partai besar, yang menjadi inti
pemerintahan sekarang, juga ikutan bakuhantam dan saling bakar. Lihat saja kasus
Buleleng (Bali) serta beberapa wilayah di Jateng, Jatim, dan NTB.

Boleh saja untuk sementara Ambon dibilang cukup tenang. Tapi, Poso terus bergolak.
Kini malah muncul teror terhadap ulama di wilayah Tapal Kuda (Jatim). Di ujung
wilayah negeri, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, darah terus berkubang akibat operasi
militer. Di sisi lain, pemerintah malah bersikap represif terhadap warganya sendiri.
Mahasiswa kritis diinterogasi. Kebebasan berpendapat tidak terjamin lagi. Anarkisme
terhadap kebebasan pers mengintip dari sana-sini. Kantor koran disatroni preman.
Wartawan diteror.

Menyangkut masalah Pertahanan dan Ketahanan Nasional, PDI Perjuangan merasa perlu
adanya perubahan persepsi dan sikap dalam memaknainya. Karena pada hakekatnya kami
berpendapat bahwa pertahanan dan ketahanan suatu bangsa dapat terselenggara dengan
sendirinya, apabila rasa peduli dan rasa memiliki terhadap bangsa dan negeri dimana ia
hidup, telah melekat dalam hati dan sanubari seluruh rakyat.
Kunci utamanya adalah tegaknya keadilan dan tumbuhnya rasa aman yang nyaman bagi
setiap warga bangsa dalam mengelola kehidupan dan penghidupannya. Oleh karenanya
tugas utama bagi Tentara Nasional Indonesia dalam kehidupan di abad mendatang
adalah; menciptakan rasa aman dan nyaman bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
menjalankan kehidupannya sebagai warga di sebuah negara yang merdeka dan berdaulat
penuh.
Sengaja saya tidak secara spesifik membicarakan masalah Dwifungsi ABRI; karena pada
dasarnya telah sangat jelas ; bidang kerja apa dan wilayah tanggung jawab yang mana,
yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat sipil di satu sisi dan militer di sisi lain.
Kebijakan yang membuat keduanya menjadi salah tempat dan salah fungsi akan
membawa bangsa ini kejurang pertentangan Sipil-Militer yang berkepanjangan.
Hal inilah yang selama ini terjadi dan berdampak negatif terhadap nilai produktivitas
bangsa secara menyeluruh. Karenannya, kesadaran ABRI untuk dengan segera
melakukan redefinisi, restrukturisasi, reposisi dan refungsionalisasi dalam kiprah
kehidupan berbangsa dan bernegara, harus kita dukung sepenuhnya. Apalagi ketika
motto: dari rakyat dan untuk rakyat, dijadikan acuan dasar dalam merumuskan jati diri
ABRI -- sebagaimana yang dikehendaki dan diamanatkan oleh UUD'45.

“Kalau Tjut Nyak jadi Presiden, tak akan dibiarkan darah setetes pun mengalir di Tanah
Rencong.” Begitulah janji Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri, dalam satu
kesempatan kampanye Pemilu 1999 di Aceh. Kata-kata itu dia ikrarkan dengan nada
sendu, setengah terisak, sembari tangannya menyeka air mata.

Tetapi itu terjadi empat tahun yang lalu. Sekarang, ketika Megawati sudah benar-benar
menjadi presiden, Nanggroe Aceh Darussalam justru menjadi ajang pemberlakukan
darurat militer. Kontak senjata pun terjadi antara TNI dan GAM atau orang-orang yang
dicurigai bersimpati pada GAM. Korban berjatuhan, termasuk dari kalangan sipil.
Kebijakan Pemerintahan Megawati-Hamzah ini telan menelan nyawa 700-an orang. Yang
terluka dan menderita akibat ditinggal ayah, suami, atau saudara lebih banyak lagi.

Barangkali lupa atau sengaja melupakan ikrarnya sendiri, Mega tenang-tenang saja di
Istana Negara. Acapkali malah asyik pesiar ke luar negeri. Atau bersukaria di Bali,
pestapora merayakan ulang tahun suami atau pesta pernikahan anaknya. Perang di Aceh
terus berkecamuk, bahkan status darurat militernya diperpanjang. Korban pun terus
berjatuhan.

Terorisme sebagai isu global


Terhadap isu global memerangi apa yang disebut sebagai “terorisme”, pemerintah
cenderung mengekor instruksi asing (Amerika Serikat dan sekutunya). Setiap kali ada
fitnah dan penangkapan terhadap warga dan mahasiswa Indonesia di luar, apalagi aktivis
Islam, pemerintah seperti sakit gigi. Nyaris tak ada upaya pembelaan, kecuali sekadar
janji akan mencari jalan untuk klarifikasi. Alih-alih melindungi, pemerintah justru
menjadi sponsor tindakan represif itu.

Di dalam negeri, puluhan aktivis masjid dan gerakan Islam ditangkapi tanpa prosedur dan
alasan yang jelas. Amir Majelis Mujahidin Ustadz Abubakar Ba’asyir terus dibui
sekalipun masa tahanannya telah berakhir. Beda dengan terpidana makar Republik
Maluku Serani (RMS) Alex Manuputty yang bisa bebas lepas. Permohonan kasasinya ke
Mahkamah Agung ditolak, dan dia tetap divonis 4 tahun penjara. Tapi kini Alex leluasa
kampanye (untuk kemerdekaan Maluku) di Amerika.
Dalihnya memberantas terorisme, tetapi justru menimbulkan teror baru yang lebih
mengerikan

Jakarta, Senin 15 Desember 2003. Ratusan orang berpakaian serba putih berbaris di
depan Kantor Departemen Kehakiman dan HAM, Jl HR Rasuna Said, Jakarta. Mereka,
para ulama dan habib, memprotes kebijakan pemerintah yang telah bertindak tidak adil
terhadap Islam dan aktivis Muslim.

Mereka tampak tak hirau dengan sengatan sinar matahari. Wajah-wajahnya tenang,
namun sesungguhnya dadanya bergemuruh. Mereka bertanya-tanya, “Mengapa pendeta
Alex Manuputty, terpidana makar upaya pendirian Republik Maluku Serani (RMS), bisa
bebas pergi ke Amerika Serikat? Padahal di saat yang sama, Amir Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI) Ustadz Abubakar Ba’asyir tetap disekap di tempat pengap Rumah
Tahanan Salemba. Lebih tidak adil lagi, masa penahanan Ustadz Abu sebenarnya telah
habis."

“Alex dan tokoh RMS yang jelas-jelas terbukti melakukan upaya makar dan aksi
separatis dibebaskan, sementara Ba’asyir yang tak terbukti melakukan aksi teror dan
makar malah dipenjara. Apakah karena keduanya berbeda agama?” seru KH Mudzakir
dari Forum Ulama dan Habaib Surakarta dalam orasinya.
Alex yang juga pemimpin tertinggi Front Kedaulatan Maluku (FKM) saat ini tengah
gencar berkampanye menuntut kemerdekaan Maluku. Dia sesumbar tak akan pulang
sebelum Maluku merdeka sebagai Republik Kristen.

Ulama dan habaib menilai pemerintah berat sebelah dan diskriminatif dalam penegakan
hukum. Mereka juga menyayangkan adanya teror terhadap ulama dan politisi Islam di
beberapa kawasan di Jateng, Jatim, dan NTB yang terkesan dibiarkan. Ditambah lagi,
penangkapan dan penculikan terhadap aktivis masjid masih terus berlangsung, pasca
peristiwa Bom Marriott.

Penerapan UU Antiterorisme yang diikuti penahanan Ba’asyir, kemudian penetapan apa


yang disebut-sebut sebagai Jemaah Islamiyah sebagai organisasi teroris oleh PBB (atas
sponsor Pemerintah Amerika Serikat dan dukungan Indonesia), penangkapan aktivis
Muslim, serta perpanjangan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam adalah bukti
tak terbantahkan bahwa Pemerintahan Megawati memang tidak berpihak pada kaum
Muslimin. Bahkan, terkesan anti terhadap gerakan da’wah Islam. Muncullah stigma
buruk bagi aktivis da’wah dan gerakan Islam pada umumnya.

Sejauh ini, para aktvis yang ditangkapi umumnya terkait dengan jihad melawan Uni
Soviet di Afghanistan, serta terlibat dalam melawan terorisme di Poso dan Ambon.
Kebanyakan merupakan alumni Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki (Sukoharjo,
Jateng) atau pesantren-pesantren tertentu yang sering disebut-sebut terkait dengan
Jemaah Islamiyah. Contoh yang pernah dilansir majalah ini adalah penangkapan terhadap
Ustadz Muhammad Hafidz, salah satu pucuk pimpinan Komite Penanggulangan Krisis
(KOMPAK) Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII).

Interogasi terhadap imam Masjid Nurul Jannah Cileungsi (Jabar) ini jelas
memperlihatkan adanya skenario penangkapan terhadap mujahid yang pernah ke
Afghanistan, Ambon, dan Poso. Karena aktivitasnya melawan terorisme itulah Hafidz
dimasukkan dalam status tersangka.

Pertanyaan lainnya berkisar tentang apa yang disebut sebagai Jemaah Islamiyah dan Bom
Bali. Namun karena semua tuduhan itu tak terbukti, Hafidz akhirnya dibebaskan dari
penculikan. Penahanan dan interogasi di atas berlangsung selama sepekan, dan keluarga
Hafidz sama sekali tidak diberitahu. Itulah sebabnya pria yang aktif mengisi pengajian di
berbagai tempat ini menilai tindakan itu sebagai penculikan. Dan ada pesan dari aparat
yang sampai kini terus terngiang di telinga Hafidz, “Sewaktu-waktu Anda bisa diambil
lagi.”

Betul. Belum lama ini beberapa aparat datang menemuinya. Urusannya masih dalam soal
yang sama. “Tak tahu lah, kenapa saya terus dibawa-bawa ke dalam urusan yang saya
sendiri tidak memahaminya,” kata Hafidz. Kasus yang sama menimpa puluhan aktivis di
berbagai pelosok negeri. Mulai dari Bekasi, Batam, Lampung, Padang, Solo, Magelang,
Semarang, Kudus, dan beberapa daerah lain. Modus penangkapannya sama dengan apa
yang dialami Hafidz. Begitu pula kejadian selama di tahanan.
Teror semacam di atas tak cuma menimpa aktivis yang diculik. Keluarganya, terutama
istri dan anak-anak, ikut kena getahnya. Akibat stigma bahwa sang suami terangkut
“terorisme”, mereka dikucilkan oleh masyarakat bahkan dikeluarkan dari pekerjaan.
Anak-anak yang tak berdosa dijauhi kawan-kawan mainnya. Cara-cara di atas dinilai oleh
Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), M Anis Matta, sebagai tindakan yang liar dan
melanggar hukum. “Ini berarti polisi menciptakan teror baru terhadap masyarakat. Ini
sangat menakutkan sejumlah aktivis, karena merasa setiap saat akan ada orang yang
‘hilang’ tanpa ada perlindungan hukum,” katanya.

Di mata Direktur LSM Imparsial, Munir, cara-cara di atas mengandung dua pelanggaran.
Pertama, penculikan dan penangkapan sewenang-wenang. Kedua, penahanan orang tanpa
akses komunikasi sama sekali. Keduanya termasuk high crime against humanity atau
kejahatan besar melawan kemanusiaan. Reaksi serupa disampaikan Ketua Dewan
Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman. “Segala
prosedur sudah ditabrak. Tangkap dahulu, tuduhan belakangan. Ini jelas kelanjutan dari
kasus Abubakar Ba’asyir,” katanya.

Penilaian di atas diperkuat antara lain oleh pernyataan Ketua Pengadilan Negeri Solo,
Mudzakir SH. Dia mengaku tidak pernah mengeluarkan surat penetapan penangkapan
dan penahanan terhadap aktivis masjid di Solo. Kalau ternyata ada penangkapan, berarti
ini tidak prosedural dan tidak sesuai dengan undang-undang. “Saya tidak pernah diajak
berkoordinasi oleh Mabes Polri,” ungkapnya. Wajar bila Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Solo, KH Akhmad Slamet, mengatakan bahwa ummat Islam sangat terluka atas
penculikan itu. Teror terhadap aktivis juga menggelisahkan belasan ormas Islam yang
tergabung dalam Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI). Dalam sebuah pernyataan bersama
MUI Pusat, ormas Islam meminta Pemerintahan Megawati memperhatikan kegelisahan
ummat ini.

Masih banyak komentar lain yang nadanya sama, yaitu prihatin terhadap represi
sewenang-wenang pemerintah dan aparat. Tindakan yang konon dimaksudkan untuk
memberantas “terorisme” itu telah memunculkan teror baru yang justru lebih
menakutkan. Teror institusi negara terhadap rakyatnya sendiri. Menurut analisis
pengamat intelijen Suripto, intelijen asing ikut “bermain” dalam operasi tersebut. Ini
berkaitan dengan akan dilaksanakannya Pemilu 2004, agar timbul gejolak. Pihak yang
bisa mengatasi gejolak itulah yang akan bisa unggul dalam pemilu mendatang. “'Ini
hanya sebagai pemicu untuk memunculkan gejolak di masyarakat,” jelasnya.

Kita sering melupakan bahwa di balik gesekan-gesekan politik sesungguhnya adalah


pertarungan ideologi. Pemilu adalah puncak dari pertarungan ideologi itu. Dan, kita lihat
Pemerintahan Megawati seolah-olah menyerah terhadap tekanan Amerika Serikat.
Sikapnya mengambang, tidak jelas, dan masuk perangkap skenario kampanye
“antiterorisme” George W Bush. Bangsa ini seperti tidak berdaulat untuk membela
rakyatnya sendiri. Tuduhan terhadap aktivis Muslim itu merupakan permainan operasi
intelijen. Kejadian-kejadian itu tak lepas dari rekayasa intelejen. Saya berharap betul
semua aktivis Islam perlu mewaspadai terhadap trik-trik yang dilakukan oleh kalangan
yang fobi terhadap Islam. Apa yang menimpa Abubakar Ba’asyir memang kontras
dengan Alex Manuputty.

Anda tampak begitu yakin bahwa kebijakan represif Megawati adalah indikasi
pemerintah sudah terperangkap pada kebijakan global AS?
Sejauh yang saya lihat, pemerintah tidak mengadakan perlawanan dan cenderung
menyerah terhadap kemauan AS. Salah satu contohnya bisa kita lihat. Sebelum bertemu
dengan tokoh-tokoh Islam di Bali, George W Bush jelas mengatakan akan memberikan
bantuan kepada pendidikan Islam di Indonesia dengan syarat mengubah kurikulum. Itu
diucapkan sangat jelas oleh George W Bush, walaupun kemudian disamarkan oleh Dubes
Ralph L Boyce. Politik luar negeri kita juga sudah terseret AS. Lihat, apa suara
Pemerintah Indonesia terhadap kebijakan AS di Afghanistan dan Irak. Kita ini bangsa
besar, tapi kalah jauh dari Malaysia. Mereka bisa mengoreksi kebijakan AS lewat suara
vokal pemimpinnya.

Bagaimana dengan adanya UU Antiterorisme yang ujung-ujungnya banyak menzhalimi


aktivis Muslim. Apakah itu juga ada kaitannya dengan asing. Jelas, itu respons terhadap
kemauan pihak asing. Sebenarnya, dengan UU yang ada, aparat sudah bisa menindak
para pelaku tindak kekerasan dan terorisme. Adanya UU Antiterorisme malah menambah
pekerjaan baru kita. Praktiknya, UU itu menjadi sarana justifikasi penangkapan aktivis.

Pendidikan Murah : Sebagai Kemustahilan


Hasil survey CESDA-LP3ES Untuk penanganan masalah-masalah sosial – seperti
pendidikan dan kesehatan, misalnya pemerintah Megawati dinilai kurang optimal.
Menanggapi kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, hanya 26% saja anggota
masyarakat yang menyatakan puas pada upaya yang telah dilakukan pemerintah,
terutama dalam memenuhi kewajibannya untuk menyediakan pendidikan dasar bagi
seluruh kelompok di masyarakat dan 32% yang merasa puas pada upaya pemerintah
dalam penyediaan sarana pendidikan yang memadai.
Pendidikan murah dan gratis adalah pandangan yang bertentangan dengan kenyataan.
Bahkan seperti dikatakan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam peringatan Hari
Pendidikan Nasional di SMU 13, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (5/5), "pandangan
itu sangat menyesatkan". Menurut Megawati, pendidikan membutuhkan biaya sangat
besar. Saat ini saja, negara mengalokasikan seperlima dari anggaran belanja negara untuk
pendidikan, tapi tetap dirasa belum memadai. "Saya kira, tidak ada di antara kita yang
akan berpikir dua kali untuk mengalokasikan dana lebih besar untuk kepentingan
generasi masa depan," kata Megawati.

Berbicara masalah pencerdasan bangsa, kami percaya bahwa kunci utamanya adalah
meningkatkan kualitas pendidikan di satu sisi dengan tanpa mengurangi perlunya
pendekatan kuantitatif di sisi lain. Dalam kaitan ini, satu hal yang perlu diperhatikan
adalah kebutuhan mendesak akan pentingnya peningkatan kualitas dan kesejahteraan
guru. Karena tanpa guru yang sejahtera, tidak mungkin kita akan capai pendidikan yang
bermutu dan sehat. Secara pribadi saya menganggap, guru sebagai tiang budaya
pendidikan bangsa. Maka bila tiang itu tidak pernah berdiri kokoh, maka jangan harapkan
rumah pendidikan bangsa kita dapat tegak berdiri sebagaimana yang diidamkan. Hal lain
yang perlu kita pikirkan bersama adalah; perlunya memperjuangkan otonomi institusi
pendidikan negeri maupun swasta berikut otonomi para pendidik yang sangat diperlukan
untuk mencegah terciptanya pola pendidikan yang bersifat birokraktif dan indoktrinatif
seperti yang diterapkan selama ini.
Kebebasan dan kemerdekaan berpikir yang tetap dalam koridor ilmiah dan keilmuan,
harus sepenuhnya dijamin untuk dapat dilaksanakan. Campur tangan pemerintah yang
membatasi ruang kebebasan menentukan pilihan proses belajar dan mengajar, hanya akan
membawa bangsa ini kepada penyempitan sudut pandang, maupun penyeragaman pola
pikir yang satu arah dan kering nuansa. Dalam hal ini, memperlebar ruang bagi setiap
warga negara untuk bebas berekspresi dan bebas membangun harapan-harapannya,
merupakan keharusan yang bersifat mutlak. Bahkan lebih jauh lagi, kebebasan artistik
atau kebebasan mengekspresikan estetika berdasar kan pilihan pribadi sebagai mahluk
budaya, sudah saatnya diperkenalkan dan ditumbuh kembangkan dalam kehidupan kita.
Biarkan anak-anak kita bermain dengan imajinasi-imajinasi yang sesuai dengan
dunianya, baik dunia nyata yang digelutinya sehari-hari, maupun dunia khayalan yang
berdatangan dalam mimpi-mimpi mereka. Jangan sampai kita biarkan anak-anak kita
menjadi miskin imajinasi dan kehilangan daya khayalnya.
Karena sebuah bangsa yang kering imajanasi dan miskin daya khayalnya, tak ubahnya
bak pohon kekar kerontang penuh duri, tanpa sehelai daun maupun bunga yang memberi
keindahan dan kedamaian bagi kehidupan diskelilingnya. Bangsa yang demikian adalah
bangsa yang kering dan yang tak akan pernah mengenali betapa indah dan nikmatnya
aroma kehidupan pada saat imajinasi rakyat bangsanya mampu menembus dinding waktu
dan perdaban yang jauh ke depan.

Untuk meningkatkan dana pendidikan, kata Megawati, masih terbatas kondisi


perekonomian. "Sungguh tidak mudah membagi kue anggaran yang sedemikian kecil
untuk mendanai banyak kebutuhan. Memperbesar alokasi untuk satu bidang, akan
mengurangi alokasi untuk bidang lainnya," kata Megawati. Untuk itu, salah satu cara
yang bisa dilakukan adalah memperbesar kue anggaran dan menggalakkan kampanye anti
korups, kolusi dan nepotisme (KKN). Kaum tani dan nelayan, yang merupakan bagian
terbesar dari warga negeri ini, tambah sulit mencari nafkah. Lahan subur kian menyusut.
Jika pun masih menuai panen, harganya jatuh. Badan Urusan Logistik (Bulog) tak lagi
berfungsi sebagai penyangga harga gabah dan beras petani.

Nelayan juga tambah susah karena maraknya pencurian ikan oleh kapal modern
berbendera asing. Bayangkan, tatkala tani dan nelayan kita kesulitan mencari sesuap nasi,
orang asing leluasa meraup milyaran (bahkan sampai triliuan) rupiah dari perusahaan-
perusahaan milik negara dan lautan kita. Setiap tahun, kata Menteri Perikanan dan
Kelautan Rokhmin Dahuri, “Rp 5 milyar kekayaan laut kita digondol kapal-kapal nelayan
asing!” Dada rakyat kecil semakin bertambah sesak karena tarif BBM, listrik, telepon,
air, dan kebutuhan primer lain terus merangkak naik. Inilah sebabnya Ketua Umum
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Hermawan menilai kebijakan
pemerintah sangat tiak berpihak kepada rakyat. “Lebih berpihak kepada konglongmerat,
orang-orang kaya, dan para penguasa politik,” kata komandan organisasi mahasiswa yang
dulu menjadi salah satu motor gerakan reformasi ini.
Reformulasi Konsep Pendidikan
"Dunia pendidikan dapat memberi andil dengan membina kehidupan kerohanian di
sekolah dan di rumah tangga. Dalam tiap rumah tangga harus ditanamkan, KKN itu
adalah jahat," kata Megawati. Walau demikian, tetap tidak jelas apa yang harus dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan pendidikan. Pendidikan dalam perspektif demokrasi
adalah sebuah komponen yang vital. Dalam membangun demokrasi, tak pelak proses
pendidikan yang menjadikan warga negara yang merdeka, berpikir kritis dan sangat
familiar dalam praktik-praktik demokrasi. Sejarah mencatat, intelektual-intelektual
bangsa yang berpendidikan barat lah yang memegang peranan penting sebagai penggagas
ghirah kebangsaan dan sekaligus sebagai founding fathers berdirinya republik ini.
Namun tak kurang pula, pendidikan yang telah dikenyam pemimpin bangsa, ketika
berubah menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh
pemerintah (baca: penguasa) menuntut penerimaan masyarakat secara paksa (passive
acceptance). Keran demokrasi dan demokratisasi begitu terbuka dan membahana pada
masa reformasi sekarang ini. Maka dari itu pula, reformasi pendidikan mutlak bagi
bangsa ini dan dapat segera diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor pendidikan
dijadikan prioritas utama pembangunan, dimana pembiayaan dan kewenangan menjadi
fokus utama dalam reformasi pendidikan tekait dengan desentralisasi pendidikan di era
otonomi daerah saat ini. Diantara berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasca
orde baru (orde reformasi), adalah kebijakan di bidang pendidikan yang menentukan
kiprah bangsa ini di masa depan.

Niscaya, sumber daya manusia yang unggul akan dibentuk melalui sistem pendidikan
yang merupakan kapital sosial bagi pembentuk generasi masa depan. Diharapkan, tidak
hanya pemerintah yang “memikirkan” konsep dan sistem pendidikan yang ideal, tetapi
merupakan tanggung jawab bersama. Dalam konsepsi perikehidupan berbangsa dan
bernegarayang menuju kearah civil society sekarang ini, era reformasi dan otonomi
daerah seakan angin segar sekaligus kesempatan besar dalam reformasi di segala bidang
untuk kemajuan bangsa. Sekali lagi, pendidikan merupakan kunci bangsa untuk eksis dan
bersaing di kancah global di masa depan. Pengalaman negara-negara barat yang
bermasyarakat dengan tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi yang tinggi
membawa bangsanya pada kedudukan yang tinggi pula pada percaturan internasional.
Kedaulatan dan keunggulan yang kompetitif di masa depan bukan milik suatu bangsa
atau negara, melainkan hak semua bangsa di dunia dan mampu diraih bangsa manapun,
termasuk kita jika berbenah diri dari sekarang.

Masa otonomi daerah ditandai dengan implementasi UU No.22 tahun 1999 yang direvisi
dan diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kedua
UU inilah perspektif demokratisasi pendidikan memiliki fondasi dasarnya sebelum
diterbitkan peraturan-peraturan (PP) maupun Peraturan daerah (Perda) yang mengatur
lebih lanjut tentang pendidikan ini, selain UU Sisdiknas itu sendiri. Perjalanan
pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang demokratis –kalau tidak
dapat disebut liberal– ketika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai
instrumen kebijakan, mulai UU No. 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
“privatisasi” perguruan tinggi negeri –dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) melalui PP No. 60 tahun 2000, sampai UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola
pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang
digariskan bagi pusat maupun daerah.

Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan
akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis,
bukan menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme,
dimana peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan) yang didapat dibangku sekolah
dengan tidak semestinya. Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi
pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-
nilai dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi.
Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai
diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi di
Indonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat
akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia.
Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya
UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam
rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak.

Mencabut Subsidi Masyarakat


Demo yang berupaya menggoyang pemerintahan Megawati menyusul kenaikan harga
BBM, TDL dan telepon ternyata tak menggoyahkan Mega. Ia menyatakan sadar dan
memilih membuat kebijakan tidak populis yang memberatkan masyarakat itu, tetapi
kebijakan tersebut bersifat konstruktif untuk jangka panjang. ''Saya lebih memilih
membuat kebijakan yang tidak populis tetapi kunstruktif untuk jangka panjang, daripada
membuat kebijakan populis tetapi menjerumuskan,'' tandas Ketua Umum DPP PDI-P
Megawati Soekarnoputri di Mengwi, Minggu (12/1) kemarin. Justru karena itu, ia
berharap pemerintah memperketat pengawasan, karena pelaksana pemerintahan saat ini
masih rezim lengkap dengan karakter yang dibawa ketika masa orde baru. Ia menunjuk
kebocoran di Pertamina yang sudah harus ditangani secara serius. ''Ada kesan di Jakarta
bukan bocor lagi, tetapi gerojokan mengucur deras.'' Sutjipto mengakui, kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM, TDL dan tarif telepon memang berat.

Namun, ini harus tetap dilakukan secara bertahap untuk mengurangi ketergantungan
pemerintah terhadap utang sebagaimana arahan Propenas. Di samping itu, ada kewajiban
lain melepaskan diri dari beban utang IMF. ''Kalau tak dilakukan sekarang, kapan lagi.
Sebab, pemerintah akan mengurangi ketergantungan utang pada IMF,'' ujarnya. Kata
Sutjipto, pemerintah ingin mengalihkan subsidi BBM yang selama ini jatuh pada
golongan menengah ke atas untuk kesejahteraan rakyat miskin, nelayan dan
memprioritaskan pendidikan, terutama bebas SPP serta kesehatan. ''Awalnya memang
pahit, tetapi jika kemampuan pemerintah makin besar di bidang keuangan tentu
diupayakan pembebasan SPP secara bertahap dan subsidi pengobatan rakyat miskin.''

Menanggapi desakan agar keputusan kenaikan harga BBM, TDL dan telepon dibatalkan
atau minimal dikaji, ia menyatakan, PDI-P tidak akan melakukan tekanan seperti itu.
''Kami yakin demo ramai-ramai ke jalan ini karena sosialisasinya yang kurang,'' ujarnya
sembari berharap penjelasan pemerintah kepada DPR dalam waktu dekat akan menjadi
bagian dari sosialisasi itu. (029/011/004).

Terhadap kinerja pemerintahan Megawati di bidang ekonomi hasil survai CESDA LP3ES
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat merasa belum merasa puas. Paling
sedikit terdapat tiga bidang yang umumnya tidak memberikan rasa puas bagi masyarakat.
Tingkat kepuasan masyarakat di ketiga bidang itu umumnya berada di bawah 40%.
Untuk penyediaan lapangan kerja, misalnya, hanya 11% saja yang merasa puas,
sementara 20% anggota masyarakat menyatakan puas untuk masalah pengendalian harga.
Demikian pula halnya dalam hal penyediaan kebutuhan sembako di mana 37% anggota
masyarakat mengaku tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Megawati dalam
menyediakan kebutuhan sembako.

Selain kebijakan pencabutan subsidi, publik juga mencatat ketidakpuasaan terhadap


Megawati atas penanganan sejumlah hal. Itu yakni pengendalian harga barang (86
persen), penyediaan lapangan kerja (82 persen), penyelesaian berbagai konflik di daerah
(65 persen) dan pengembangan usaha kecil (63 persen). Di bidang kebijakan politik,
mayoritas responden menilai Megawati tidak memuaskan publik dalam menyelesaikan
proses pengadilan pelanggaran HAM (68 persen). Sebanyak 66 persen responden kecewa
dengan penegakan hukum. Dalam polling yang sama, separuh responden menjawab
bahwa mereka percaya ada upaya kelompok tertentu untuk memberhentikan Megawati
dari kursi Presiden sebelum 2004. Responden yang mempercayai hal itu kebanyakan
berasal dari PDI Perjuangan. Responden yang berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa
juga mempercayai hal itu.

Mengenai kekuatan dukungan koalisi politik yang telah mengantarkan Megawati ke kursi
Presiden, responden menyikapinya dengan sikap terbelah. Sebanyak 45 persen responden
menyatakan keyakinannya koalisi akan tetap terjaga, sedangkan 44 persen tidak yakin.
Ketidakpuasan mayoritas masyarakat terhadap kinerja para petinggi negara rupanya
berpengaruh terhadap sikap mereka berkaitan dengan pemilihan presiden dalam Pemilu
2004 mendatang, Kecenderungan semacam itu terbukti dari 41% anggota masyarakat
yang tidak dapat menyebutkan nama figur yang dianggap layak untuk menjadi Presiden
RI. Bahkan 3% lainnya menyatakan bahwa tidak ada satu figurpun yang saat ini cukup
layak untuk menjadi presiden RI pada pemilu 2004.

Namun demikian, dari mereka yang dapat menyebutkan nama menteri, tercatat hanya 4
(empat) orang menteri yang dinilai masyarakat memiliki performa kinerja yang cukup
baik. Keempat menteri tersebut adalah Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai
Menkopolkam yang dipandang sebagian (24%) masyarakat memiliki kinerja paling baik
di antara semua menteri yang ada dalam jajaran kabinet Megawati. Kemudian diikuti
oleh Yusril Ihza Mahendra selaku Menkumdang dan HAM yang dinyatakan oleh 8%
masyarakat sebagai menteri yang kinerjanya baik. Selanjutnya adalah Yusuf Kalla
sebagai Menkokesra dan Kwik Kian Gie selaku Ketua Bappenas yang masing-masing
dinyatakan 4% anggota masyarakat sebagai menteri dengan kinerja terbaik. Tampaknya
ada semacam konsistensi antara apresiasi masyarakat terhadap rasa aman di satu sisi
dengan tampilnya Soesilo Bambang selaku Menkopolkam sebagai menteri dengan
predikat “paling baik kinerjanya” di sisi lain.

KKN merajalela
Menjelang Pemilu 2004 diperkirakan akan semakin menggila. Kalangan mahasiswa layak
kecewa. Tuntutan utama gerakan reformasi yang dimotori anak-anak muda ini tak bisa
dipenuhi Pemerintahan Megawati-Hamzah. Yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN), serta penegakan hukum. “Mega boleh dikatakan gagal total. Dia tidak
konsisten. Bahkan terkesan tidak ada komitmen sama sekali terhadap agenda reformasi,”
kata Ahmad Nur Hidayat, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas
Indonesia (UI).

Simak saja, Megawati mengangkat orang-orang bermasalah sebagai aparat puncak


penegak hukum. Para koruptor tervonis dibiarkan bebas, bahkan ada yang memimpin
lembaga tinggi negara. Proses persidangan mereka berjalan seperti film India dimana
koruptor (pemeran utama) tampil sebagai orang tidak bersalah dan terzhalimi.
Para konglomerat diampuni dengan kedok release and discharge. Sebagian mereka --yang
telah mengemplang uang rakyat sampai ratusan triliun-- kini leluasa memborong kembali
aset-aset yang pernah disita Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan harga
amat murah. Tommy Soeharto dan Bob Hasan yang sudah diburu dengan susah payah
dan dibuang ke Nusa Kambangan, konon malah diberi grasi (pengurangan hukuman)
secara terselubung.

Kasus korupsi Soeharto telah dipetieskan dengan alasan Soeharto sakit. Kini, setelah
mantan Raja Orde Baru itu tampak bugar --bisa jalan-jalan dan diskusi dengan orang-
orang terdekatnya-- pemerintah seperti tutup mata. Pengusutan kasus-kasus mega-korupsi
jalan di tempat. Sebut saja kasus Bank Bali, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),
dan utang-utang segunung para konglomerat. Menurut catatan Indonesia Corruption
Watch (ICW), sampai saat ini masih ada 19 kasus korupsi besar yang mengendap di
kejaksaan, 9 nama tersangka koruptor kabur, 16 daftar terpidana korupsi belum menjalani
hukuman, dan 6 tunggakan perkara kasus korupsi di kepolisian.

Transparency International (TI) pada bulan Maret 2003 mencatat, antara tahun 2001-
2002 di Jawa Barat saja terdapat 146 kasus korupsi. Pihak kejaksaan baru memproses 60
kasus. Kasus lain terjadi dalam pembangunan jalan di Sumatera Selatan yang merugikan
negara Rp 22,3 milyar dan kasus Jogja Expo Center (JEC) yang melibatkan beberapa
anggota DPRD setempat. Semua provinsi di negeri ini diwarnai karus korupsi.

“Sejak awal, komitmen Pemerintahan Megawati untuk memberantas KKN dan reformasi
penegakan hukum itu lemah. Mega justru berpihak kepada konglongmerat, orang-orang
kaya, dan para penguasa politik, demi mempertahankan kekuasaan,” ujar Hermawan,
Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Bukti tentang itu
tampak jelas dalam kasus obral beberapa aset strategis. Seperti penjualan 41% saham PT
Indosat senilai Rp 5,6 trilyun kepada Singapore Technologies Telemedia (STT) yang
tidak transparan dan penuh misteri.
Menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid, kabarnya menteri yang terkait dengan
penjualan itu beserta konco-konconya mendapat komisi 9% (atau senilai Rp 0,5 trilyun).
Menteri Negara Urusan BUMN Laksamana Sukardi mengaku bahwa itu untuk ongkos
konsultan, notaris, dan biaya administrasi lainnya. Penilaian seperti di atas juga dikatakan
anggota DPR dari Fraksi Reformasi, Alvin Lie. Menurutnya, penegakan hukum di negeri
ini memang sangat diskriminatif. Orang-orang yang kantungnya tebal atau mereka yang
punya kekuatan dan kekuasaan politik, begitu sulit dijangkau hukum. “Saya dengar ada
buronan BLBI malah bisa datang ke rumah presiden. Bagaimana bisa pasien berat BPPN
malah punya akses ke presiden?” katanya.

Pemerintah juga tidak punya identitas diri dan terlalu bergantung kepada kepentingan
asing. Apa saja yang dikatakan pihak luar, entah itu IMF, ICG, atau yang lain, pasti akan
dituruti. “Secara tergopoh-gopoh Mega berusaha memuaskan para tuan-tuan itu.
Sebaliknya bila rakyat sendiri yang teriak, tidak digubris,” tambah Alvin. Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie memperkirakan nilai
yang dimakan para koruptor hampir Rp 300 trilyun. Angka yang cukup fantastis. “Jika
30% saja angka korupsi ini bisa diturunkan, banyak yang bisa dilakukan. Misalnya untuk
mensejahterakan PNS dan menaikkan anggaran pendidikan,” kata tokoh PDIP ini.

Seorang anggota DPR dari PDIP yang enggan disebut namanya menyadari begitu
buruknya prestasi Mega. Fungsionaris PDIP sebenarnya tidak kurang mengingatkan sang
Ketua Umum.”Tetapi Bu Megawati tampak tenang-tenang saja. Begitu juga soal
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bukannya diberantas, tapi malah
merajalela,” ungkapnya.

Benar kata pengamat ekonomi Faisal Basri. “Pemerintah Megawati tidak bisa
menghentikan korupsi di negara ini, mereka malah menjadi bagian dari permasalahan
ini.” Tak mengherankan bila Indonesia dari tahun ke tahun selalu “berprestasi” hebat
dalam hal korupsi. Di Asia juara dua. Untuk level dunia, kita berada di urutan nomor
enam. “Ini menunjukkan belum ada komitmen serius dari pemerintah untuk memberantas
korupsi. Pemberantasan KKN rupanya baru retorika,” kata Jusuf Syakir, ketua Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN).

Menjelang Pemilu 2004, korupsi dikhawatirkan akan makin menggila. Para koruptor
akan memanfaatkan celah program otonomi daerah dan begitu besarnya pinjaman dari
luar negeri. “Kebocoran pinjaman luar negeri sekitar 20-30%,” begitu prediksi
Koordinator ICW Teten Masduki. Baru-baru ini terjadi pembobolan bank pelat merah,
yaitu BNI dan BRI. Nilainya juga mencapai angka trilyunan. Namun, dari mereka yang
dapat menyebutkan nama figur yang dianggap layak untuk menjadi presiden RI di tahun
2004 mendatang, nama Soesilo Bambang Yudhoyono – seorang tokoh non-partai muncul
di urutan teratas dengan 14% angka dukungan. Berikutnya secara berturut-turut tampil
beberapa nama sebagai berikut: Megawati Sukarnoputri (9%), Amien Rais (8%),
Nurcolish Madjid (5%), serta Yusril Ihza Mahendra dan Sri Sultan Hamengkubuwono X
yang masing-masing didukung oleh 4% anggota masyarakat. Jawaban ini tampaknya
konsisten dengan pendapat masyarakat yang apresiatif terhadap kebijakan pemerintah
dalam hal pemberian rasa aman serta kinerja Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai
Menkopolkam yang dianggap terbaik dari menteri-menteri anggota kabinet lainnya.

Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia


Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

Anda mungkin juga menyukai