Anda di halaman 1dari 16

1

LOGOPEDI I. Definisi Logopedi Dorlan (2008) menjelaskan logopedi sebagai ilmu dan pengobatan tentang gangguan wicara yang dikenal dengan istilah logopathy. Bowen (2007) menambahkan logopedi juga dikenal sebagai terapi wicara. Terapi wicara dijelaskan sebagai suatu bidang ilmu yang mempelajari perilaku komunikasi yang normal dan abnormal, yang digunakan untuk memberikan terapi (proses penyembuhan) pada klien yang mengalami gangguan perilaku komunikasi yg meliputi kemampuan bahasa, bicara, suara, dan irama kelancaran dengan tujuan mengusahakan pasien untuk mampu berinteraksi dengan lingkungan secara wajar, tidak mengalami gangguan psiko-sosial serta mampu meningkatkan hidup dengan optimal. Ahli dalam bidang logopedi ini dikenal sebagai logopedist/ speech therapist dimana ia memiliki keahlian dalam mengadakan evaluasi diagnosa kelainan bicara dan bahasa serta melatih gangguan komunikasi (speech problem/disorder) (Widati, 2007). Hidajati (2009) menjelaskan lebih lanjut terkait gangguan/kelainan bicara dan/atau berbahasa adalah suatu kondisi ketidakmampuan atau keterbatasan kemampuan seseorang utamanya pada anak anak untuk menggunakan simbol linguistik ketika berkomunikasi secara verbal. Gangguan ini utamanya terjadi fase perkembangan ketika anak sedang belajar berbicara dimana selanjutnya dikenal dengan gangguan

perkembangan bahasa dan wicara atau disfasia perkembangan. Definisi tentang anak dengan kondisi kesulitan bahasa dan bicara juga dijelaskan oleh IDEA (the Individuals with Disabilities Education Act) sebagai anak anak dengan kelainan komunikasi seperti gagap, kelainan artikulasi, kelainan bahasa atau kelainan suara, yang secara nyata berpengaruh terhadap pendidikannya. The American Speech-Language-Hearing Association (1993) juga mendefinisikan kelainan komunikasi sebagai kondisi adanya kelainan yang terlihat melalui ketidakmampuan menerima, menyampaikar memproses, dan memahami konsep-konsep atau simbol-simbol verbal, nonverbal dan gambar. Kelainan komunikasi

ini mungkin muncul dengan jelas pada prose-mendengar, berbahasa, dan/atau berbicara. II. Penyebab Gangguan/Keterlambatan Bicara Penyebab gangguan/keterlambatan bicara bersifat sangat komplek dengan berbagai macam pengelompokan, diantaranya : A. Hidajati (2009) menjelaskan etiologi dan faktor predisposisi kasus ini adalah : 1. Genetik Hidajati (2009) mengungkapkan bahwa Spesific Language

Impairment Consortium menemukan hubungan (linkage) antara gangguan bahasa dengan dua lokus yang terpisah pada kromosom nomor 16 dan 19 dimana lokus pada kromosom nomor 16, dihubungkan dengan penampilan yang buruk pada repetisi kata dan memori jangka pendek sementara pada lokus kromosom nomor 19 dihubungkan dengan penampilan yang buruk pada bahasa ekspresif. Adanya gangguan pada kromosom juga ditemukan di Inggris pada seorang anak dimana kromosom nomor 7 mengalami mutasi DNA yang belum dijelaskan lebih lanjut. Seorang anak dikatakan memiliki riwayat keluarga yang mengalami keterlambatan bicara apabila dari anamnesis didapatkan hasil adanya anggota keluarga yang juga mengalami keterlambatan bicara, dan atau pernah mengalami terapi wicara oleh speech therapist. 2. Faktor prenatal, natal dan post natal Faktor prenatal secara singkat diantaranya perdarahan anemia, selama

preeclampsia/eklampsia,

toksoplasmosis,

kehamilan kemudian untuk faktor natal sendiri terdiri dari persalinan dengan tindakan, asfiksia neonatorum, berat bayi lahir rendah, dan hiperbilirubinemia sementara untuk faktor post natalnya dapat disebabkan oleh kejam demam. Hal yang sering dijumpai berkaitan dengan faktor predisposisi tersebut diantaranya pada kasus berat bayi lahir rendah (kurang dari 1500 gram), riwayat risiko kehamilan tinggi seperti pemakaian alkohol oleh ibu, tekanan darah tinggi dan

stres waktu hamil yang mengakibatkan korpus kalosum lebih sempit dibandingkan anak dengan perkembangan bahasa normal. Hidajati (2009) juga menjelaskan penelitian yang dilakukan Cowel

menyimpulkan mengindikasikan bahwa otak anak yang berisiko menderita gangguan bahasa lebih sensitif terhadap efek dan gangguan pada masa prenatal. Penelitian dari Edelstein yang dikuti oleh Hidajati juga menjelaskan bahwa gangguan perkembangan bahasa dapat pula terjadi sebagai akibat jangka panjang ensefalopati perinatal yang sering menyebabkan disfungsi minimal otak. Ensefalopati perinatal sendiri merupakan kerusakan otak pada usia kehamilan 28 minggu 7 hari setelah lahir yang dapat disebabkan oleh hipoksia intrauterin / hipoksia antenatal. Penyebab hipoksia intrauterin dan antenatal sendiri diantaranya ibu hamil yang menderita anemia, hipertensi, insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, persalinan dengan alat bantu dan asfiksia. B. Blagger (1981) dalam Nugrahani (2007) mengelompokkan gangguan ini kedalam beberapa penyebab yaitu Penyebab 1. Lingkungan a. Sosial ekonomi kurang b. Tekanan keluarga c. Keluarga bisu d. Penggunaan bahasa bilingual 2. Emosi a. Ibu yang tertekan b. Gangguan serius pada orang tua c. Gangguan serius pada anak 3. Masalah pendengaran a. Kongenital b. Didapat Efek pada Gangguan Bicara Terlambat Gagap Terlambat pemerolehan bahasa Terlambat memperoleh struktur bahasa Terlambat memperoleh bahasa Terlambat atau gangguan memperoleh bahasa Terlambat atau gangguan memperoleh bahasa Terlambat atau gangguan bahasa yang permanen Terlambat atau gangguan bahasa yang permanen

4. Perkembangan terlambat a. Perkembangan lambat Terlambat bicara b. Perkembangan lambat Terlambat bicara namun masih dalam rata

rata c. Retardasi mental 5. Kerusakan otak a. Kelainan neuromuskular

Pasti terlambat bicara Mempengaruhi kemampuan mengisap dan menelan, akhirnya menimbulkan gangguan artikulasi, seperti dispraksia Mempengaruhi kemampuan mengisap dan menelan, akhirnya menimbulkan gangguan artikulasi, seperti dispraksia Berpengaruh pada pernafasan, makan dan timbul juga masalah artikulasi yang dapat mengakibatkan disartria dan dispraksia Kesulitan membedakan suara, mengerti bahasa, simbolisasi, mengenal konsep, yang akhirnya menimbulkan kesulitan belajar di sekolah Terlambat dan terganggunya kemampuan bicara Kemampuan bicaranya lebih rendah

b. Kelainan sensorimotor

c. Serebral palsy

d. Kelainan persepsi

6. Cacat bawaan a. Palatoschizis b. Sindrom Down

C. Anggraini (2011) menjelaskan secara singkat bahwa hasil penelitiannya menunjukkan terdapat 12 faktor yang mempengaruhi keterlambatan bicara (speech delay) yaitu Multilingual, tidak adanya model yang baik untuk ditiru, kurangnya kesempatan untuk berpraktek bicara, kurangnya motivasi untuk berbicara, dorongan, bimbingan, hubungan dengan teman sebaya, penyesuaian diri, kelahiran kembar, jenis kelamin, penggolongan peran seks, dan besarnya keluarga/ukuran keluarga. Selain faktor-faktor tersebut di atas terdapat pula 3 lain yaitu sistem kakak adik, kebiasaan anak dalam menonton televisi, dan pengetahuan orang-orang di sekitar permasalahan gangguan bicara ini. D. Utomo (2008) menjelaskan kelainan bicara yang menyangkut kelainan bentuk dan atau struktur organ bicara khususnya artikulator dikenal pula

dengan istilah disglosia. Kondisi yang dapat menyebabkan disglosia diantaranya : 1. Palatoschizis Pasien dengan kondisi ini tampak pada palatumnya terdapat celah yang mugkin saja hingga mencapai bibir karena adanya kegagalan fusi prossesus nasalis medialis dan prossesus maksilaris saat janin berusia 3 12 minggu. Palatum molle dan dinding pharyngeal akan bekerja secara simultan ketika menelan maupun produksi suara dimana ia mencegah aliran udara berlebih ke kavum nasi dan mencegah muntahan nasal selama pengunyahan. Palatoschizis akan menyebabkan pasien menghasilkan suara yang sengau, serak tidak jelas, dan volumenya kurang. 2. Maloklusi Maloklusi ini merupakan suatu keadaan kelainan struktur atau susunan gigi geligi yang berhubungan dengan bentuk rongga mulut dalam hal ini terkait pembentukan suara dimana gigi ikut berperan yaitu konsonan labio-dental (f dan v), konsonan linguo-alveolar (t, s, dan h), dan konsonan lingual-interdental (z, l, dan n). Studi juga menunjukkan bahwa kehilangan gigi pada perkembangan proses bunyi bicara utamanya pada saat mulai terlihatnya bunyi fricative (suara desah) pada usia 5 tahun akan mempengaruhi kesalahan perkembangan bicara begitu pula dengan kesalahan erupsi gigi geligi yang ada. 3. Anomali Anomali dalam hal ini dapat disebabkan kelainan bentuk maupun struktr organ bicara yang salah satunya disebabkan oleh kebiasaan buruk (bad habit). Anomali congenital pada ukuran rahang dan juga trauma akibat fraktur dapat berpengaruh namun anomali yang sering tampak adalah anomali pada lidahyang kemudian berpengaruh pada ketelitian, rentang dan kecepatan gerak lidah hingga kesulitan dalam berbicara maupun mengonsumsi makanan. Anomali lidah yang

sering terjadi adalah ankyloglosia dimana terjadi distorsi suara ujung lidah (l, t, d, n, s, dan z) karena elevasi ujung lidah terbatas. 4. Kerusakan velopharingeal Hal ini dapat disebabkan satu hingga tiga faktor yang meliputi palatoschizis, abnormalitas hubungan antar ruang dan struktur yang mempengaruhi penutupan maupun lemahnya gerakan palatal atau pharing. Kondisi ini menyebabkan pasien mengalami misartikulasi pada konsonan mati daripada sara homorganik yang seimbang, kesulitan mengucapkan fricative sound (suara desah), dan bunyi letup terhenti pada semivokal dan nasal. III. Aspek Bidang Terapi Bicara (5) Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surakarta (2013) menjelaskan bahwa terdapat 5 aspek dalam bidang terapi bicara ini yaitu : 1. Gangguan bahasa a. Afasia dewasa b. Afasia perkembangan 2. Gangguan bicara a. Disaudia b. Disartria c. Dislalia d. Disglosia e. Dislogia 3. Gangguan suara a. Disfonia b. Afonia 4. Gangguan irama/kelancaran a. Gagap b. Klatter c. Latah 5. Gangguan menelan/ Disfagia IV. Bentuk Bentuk Pelayanan Terapi Bicara

Widati (2007) menjelaskan bahwa bentuk kegiatan terapi bicara ini dapat berupa evaluasi mekanisme bicara, pola bicara, kemampuan berbahasa, test audiometer untuk mengetahui ketajaman pendengaran, referal untuk alat bantu dengar, terapi bicara, latihan dalam komunikasi non verbal, mengembangkan kemampuan komunikasi verbal, dan latihan pendengaran. Tujuannya treatment ini sendiri adala untuk mengatasi gangguan bicara dan pendengaran serta mengembangkan keterampilan komunikasi. Laing dan Alan (2003) menambahkan bentuk pelayanan terapi bicara yang mungkin dilakukan diantaranya : 1. Pengenalan huruf Menyadur dari the American Speech-Language-Hearing Association disebutkan bahwa terapis wicara dapat menguatkan hubungan antara bahasa lisan dan keterampilan pra-pengenalan huruf dengan memberikan intervensi yang terkait akan kesadaran fonem dan ingatan, analisis penggunaan bahasa yang ditemukan di dalam buku bacaan dan bahan-bahan sekolah lainnya serta media, dan menganalisis bahasa siswa sehingga intervensi akan sesuai dengan kebutuhan anak. Pengenalan huruf akan dapat membantu anak dalam memahami kata ataupun kalimat yang akan ia jumpai baik itu dalam bentuk tulisan maupun lisan. 2. Komunikasi dengan Mempergunakan Teknologi Lund dan Light (2001) menjelaskan kini mulai banyak pasien dengan kelainan bicara dan bahasa dapat dibantu banyak dengan penggunaan teknologi. Perangkat keras dan perangkat lunak komputer, PDA (personal digital assistants), dan berbagai pilihan lainnya yang dewasa ini tersedia melalui internet dapat membantu siswa berkomunikasi secara efektif dan memperaktekan keterampilanketerampilan mereka dalam belajar. 3. Komunikasi augmentatif dan alternatif Komunikasi augmentatif dan alternatif berhubungan dengan strategi untuk mengkompensasikan keterbatasan komunikasi individu.

Komunikasi augmentatif dan alternatif ini biasanya dibagi ke dalam dua bagian yaitu bagian yang tidak mempergunakan alat bantu atau bahan-bahan khusus, seperti bahasa isyarat dan yang memerlukan alat bantu (mereka yang mempunyai ketergantungan pada jenis alat atau bahan). Contoh komunikasi dengan menggunakan alat bantu pada komunikasi augmentatif dan alternatif ini adalah penggunaan papan. Alat bantu ini menggunakan gambar, simbol, atau huruf cetak untuk memfasilitasi komunikasi siswa, dan semua itu bisa dibuat dengan teknologi tinggi atau rendah.

Pelayanan terapi wicara pada pasien dengan kondisi gangguan terdiri dari beberapa terapi yang dapat diberikan saat ini, seperti terapi wicara, terapi Auditory Verbal, dan terapi Natural Auditory Oral. Auditory-Verbal Therapy memfokuskan anak untuk belajar mendengar dan berbicara. Terapi terapi ini merupakan tahap penting dimana orang tua si anak dididik akan terlibat dalam mengajari anaknya yang memiliki gangguan pendengaran untuk mendengar dan berbicara. Ahli AVT akan menunjukkan kepada orang tua untuk cara untuk mengatur lingkungan, belajar mendengarkan di mana si anak dapat mengembangkan bahasa lisan dengan menggunakan Alat Bantu Pendengaran. Diagnosis dini dan amplifikasi yang optimal sangat penting, karena akses untuk terdengar pada masa bayi dan anak usia dini sangat penting untuk memungkinkan pusat pendengaran otak untuk berkembang. Stimulasi dan intervensi sejak dini memang dianggap paling baik namun pada anak dengan gangguan keterlambatan bicara fungsional biasanya terapi bicara secara khusus belum diperlukan. Intervensi dan stimulasi untuk gerakan oral motor dapat dilakukan di rumah dengan penanganan dalam segi neuromotorik dapat melalui pencapaian tingkat kesadaran yang optimal dengan stimulasi sistem multisensoris, stimulasi kontrol gerak oral dan refleks menelan, teknik khusus untuk posisi yang baik. Penggunaan sikat gigi listrik kadang membantu msnstimulasi sensoris otot di daerah mulut. Tindakan yang tampaknya dapat membantu adalah melatih koordinasi

gerakan otot mulut adalah dengan membiasakan minum dengan memakai sedotan, latihan senam gerakan otot mulut, latihan meniup balon atau harmonika. Bila setelah usia 2-3 tahun perkembangan bicara masih belum optimal maka terapi bicara dan terapi sensori integration dapat segera dilakukan. Terapi bicara dan terapi sensori integration harus segera dan agresif dilakukan pada gangguan keterlambatan bicara non fungsional. Prinsip pelayanan terapi wicara pada pasien tuna rungu melibatkan lima pilar khusus yakni keterampilan untuk mendengar, bahasa, artikulasi, irama kelancaran, serta suara. Filosofi Auditory -Verbal Therapy adalah satu perangkat yang sangat logis dan kritis terhadap prinsip. Tujuan dari Auditory-Verbal Therapy adalah untuk memenuhi kebutuhan anak dan mengikuti perkembangan alami dari perkembangan bahasa dan diharapkan anak-anak yang tuli dapat tumbuh dalam lingkungan belajar dan hidup yang teratur sehingga memungkinkan mereka untuk menjadi mandiri dan mampu memberikan kontribusi sebagai makhluk sosial. Kasus dengan pasien ini secara umum terapis akan melatih si anak metode deteksi suara, identifikasi suara, dan diskriminasi suara. Target untuk anak-anak berusia muda dapat meliputi: menarik perhatian suara dalam lingkungan, belajar bahwa suara memiliki makna, mengoceh, belajar kosa kata awal, mengembangkan frase atau awal percakapan kecil. Target untuk anak-anak yang lebih tua mungkin termasuk: bercerita, berbicara dan mengembangkan keterampilan pendengaran di hadapan kebisingan atau belajar berbasis sekolah materi subjek. Target ini, yang tergantung pada tahap perkembangan anak, mendengar umur dan fungsi mendengarkan, digabungkan dalam bermain, dalam rutinitas sehari-hari biasa, dalam kegiatan terstruktur, dan dalam musik. Terapi ini berjalan secara bertahap antara terapis dengan anak, terapis dan orang tua. Sesi terapi ini selalu bersifat diagnostik., dimana pada sesi ini digunakan untuk mengevaluasi kemajuan dan kemampuan anak dan orang tua. Program Auditory-Verbal sebagian besar

menawarkan sesi terapi mingguan, yang berlangsung selama satu jam atau tergantung kebutuhan.

10

pendekatan Auditory-Verbal, penggunaan maksimal pendengaran dikembangkan untuk mempelajari bahasa lisan melalui mendengarkan daripada menonton dimana berbagai pihak yang terlibat berusaha menciptakan lingkungan akustik yang ideal melalui beberapa langkah yaitu : 1. Orang tua dan / atau terapis duduk di samping anak, pada sisi telinga yang lebih baik (dalam jarak pendengaran); 2. Berbicara dekat dengan mikrofon alat bantu dengar anak dan / atau implan koklea 3. Berbicara dengan volume normal; 4. Meminimalkan kebisingan latar belakang; 5. Menggunakan teknik percakapan yang repetitif dan kaya akan melodi, ekspresi dan ritme, dan 6. Menggunakan teknik menyoroti akustik untuk meningkatkan kemampuan mendengar bahasa lisan (bergerak dari yang paling terdengar untuk paling tidak terdengar). 7. Menyediakan menyoroti akustik seperti berbisik, menyanyi, menekankan elemen sintaks dan / atau informasi segmental dan suprasegmental; 8. Meminta anak "apa yang kau dengar?" sebagai pendahulu untuk mengulangi rangsangan lisan; 9. Mendorong dan pembinaan orang tua sebagai model utama untuk mendengarkan dan berbicara; 10. Bergerak lebih dekat ke mikrofon Alat Bantu Dengar Anak atau implan koklea; 11. Ulang kata-kata, memberikan alternatif, mengulangi informasi sebelumnya mendengar; 12. Tunggu dan / atau berhenti untuk respon; 13. Menempatkan bahasa lisan segera kembali ke pendengaran jika sudah perlu untuk menggunakan visual, isyarat taktil atau kinestetik;

11

14. Menggunakan cue tangan. Ini adalah teknik pengajaran yang dapat digunakan ketika anak adalah pendengar pemula, untuk isyarat anak untuk mendengarkan dan juga untuk mendapatkan respon lisan dari anak. Ini berarti "aku berbicara - anda berbicara". Hal ini digunakan hanya bila diperlukan dan dihapus pada kesempatan pertama ketika teknik lain yang diganti. V. Manfaat Terapi Bicara Rothi dan Kenneth (1997) manfaat dari terapi wicara adalah sebagai berikut: 1. Terapi yang intensif memberikan suatu manfaat pemuliahn nyata apabila diberikan pada waktu terjadi pemulihan spontan 2. Hasil maksimal didapat apabila terapi dimulai awal dan berlanjut untuk periode beberapa bulan 3. Makin muda umur pasien makin baik hasilnya, meskipun pada pasien usia lanjut terapi juga ada manfaatnya 4. Derajat pemulihanbervariasi tergantung etiologi afasia. Pemulihan terjadi lebih baik pada kasus trauma kepala tanpa luka tembus dan pada kasus dengan gangguan vaskuler non hemorargik yang tunggal 5. Terapi pada derajat yang ringan lebih memberi manfaat dibandingkan dengan derajat yang berat, meskipun pada afasia berat, terapi masih dapat memberikan manfaat 6. Pasien yang bebas dari komplikasi dan dari gangguan kesehatan lainnya mempunyai respon lebih menguntungkan terhadap terapi afasia 7. Derajat pemulihan afasia sebagian bergantung pada motivasi pasien dan kesadaran dirinya serta kompetensi dari terapis wicara 8. Tidak ada satupun faktor yang berpengaruh secara negatif terhadap terjadinya pemulihan yang dapat dipergunakan untuk alasan tidak mencoba terapi pada pasien 9. Kemajuan dari terapi afasia dinilai dalam kemampuan mendengar, membaca, bertutur dan menulis akan tetapi juga dilihat dari perubahan perilaku, afek dan moral serta kontak sosial.

12

VI. Terapi Bicara pada Pasien Cleft Palate Khumar (2008) menjelaskan bahwa anak dengan riwayat cleft palate/ cleft pada submukosa rentan akan mengalami gangguan resonansi suara dan bicara karena adanya gangguan fungsi pada velopharyngeal (VPD). Gangguan tersebut mencakup hipernasaliti (terlalu banyak gelombang suara di kavitas nasi), nasal air emission (terlalu banyak udara ketika memproduksi konsonan) dan compensatory articulation productions, namun perlu diingat pula bahwa gangguan gangguan ini juga dapat terjadi pada anak yang tidak mengalami masalah dengan cleft. Perbedaan kondisi gangguan akan mennentukan perwatan selanjutnya seprti pembedahan, terapi wicara ataupun yang lainnya. Kondisi gangguan fungsi pada velofaringeal ini sendiri dapat terjadi dalam beberapa bentuk yaitu : 1. Velopharyngeal insufficiency (VPI) Terjadi karena adanya kelainan secara anatomi ataupun kerusakan struktur yang melindungi permukaan velofaringeal. Gangguan jenis ini merupakan tipe gangguan yang paling sering terjadi termasuk karena terlalu pendeknya atau abnormalitas dari velum pada anak dengan kasus cleft. 2. Velopharyngeal incompetence (VPI) Hal ini terjadi karena gangguan pada neuromotor ataupun psikologi anak yang terjadi karena rendahnya pergerakan velofaringeal. Hal ini sering terjadi pada individu dengan disarthria karena adanya kerusakan kortikal dan paralisis velum karena kerusakan nervus kraniali. 3. Velopharyngeal mislearning Hal ini terjadi karena kurang lekatnya penutupan velofaringeal selama pembentukan suara tertentu.

Khumar (2008) melanjutkan bahwa terapi bicara ini tidak dapat mengobati hipernasalitas ataupun adanya nasal emission karena

keberadaan struktur yang abnormal selain itu ia juga tidak dapat memperbesar kavitas nasal seperti pada kasus VPI yang membutuhkan operasi atau alat prosthodonti jika memungkinkan untuk koreksinya). Terapi bicara mungkin dilakukan pada kasus :

13

1. Compensatory articulation productions yang keduakalinya pada VPI yang menyebabkan adanya emisi pada kavitas nasi 2. Misarticulations yang menyebabkan adanya hipernasalitas atau nasal air emission pada kasus yang spesifik 3. Hypernasalitas atau variable resonansi pada kasus apraxia Khumar (2008) melanjutkan terkait terapi bicara pada kasus ini terbagi lagi sesuai gangguannya yaitu : 1. Hipernasalitas/ Emisi udara pada kavitas nasi a. Anak diperdengarkan pembicaraan orang normal dengan pembicaraan

b. Rongga mulut distimulasi dan cara bicara pada kasus nasal dimana anak mengidentifikasi perbedaannya c. Menggunakan listening tube (semua tipe dapat digunakan), dimana salah satu ujung tube diletakkan di daerah hidung dan ujung laintube dileakka di dekat telinga. Ketika terjadi nasalitas maka terdengar suara yang sangat keras pada tube, anak kemudian akan diminta mereduksi besaran suara tersebut dengan melatih rongga mulutnya dan mulai megucapkan kata. d. Penggunaan alat The Oral & Nasal Listener1 (ONL) yang lebih efektif karena lebih simple dibanding tube dan memungkinkan pasien dengan terapis untuk mendengar suara yang datang secara bersamaan dengan besaran volume yang sama pula. Alat ini juga mudah digunakan sehingga dapat digunakan di rumah bersama dengan be=imbingan dari orang tua. Salah satu ujung ONL yang diletakkan di depan mulut akan membantu anak dalam mendengarkan produksi suara yang ia hasilkan. 2. Misartikulasi a. Anak dilatih untuk menyadari glottis yang berhenti dimana ia dihadapkan pada sebuah cermin dan minta ia terus melihat dan mengamati ketika ia memproduksi suara serta minta pula ia meletakkan tangan pada posisi kontraksi leher ketika memproduksi suara.

14

b. Minta anak untuk produksi suara voiceless plosives dan kemudian minta ia untuk merasakan pergerakan pada lehernya dimana glottis akan berhenti bergerak hingga ketika kemudian membentuk vokal c. Minta anak untuk memproduksi suara voiceless plosive dan vocal yang terdiri dari an /h/. Contohnya , pha for pa, and pho for po. Hal ini akan membuat vocal folds terus membuka dan terhindar dari penutupan glottis.

15

DAFTAR PUSTAKA Anggraini, W, 2011, Keterlambatan Bicara (Speech Delay) pada Anak (Studi Kasus Anak Usia 5 tahun), diakses Skripsi, pada

lib.unnes.ac.id/view/divisions/sch=5Feng/2011.html, tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.11 WIB Caroline Bowen, 2007,

Speech And Language Development In Infants And

Young Children (dalam Caroline Bowen Phd Speech-Language Pathologist), URL: http://www.speech-language-therapy.com/devel1.htm, diakses pada tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.00 WIB Dorland, W,A, N, 2008, Kamus Saku Kedokteran Dorland, Edisi 28, Jakarta, EGC Hidajati, Z, 2009, Faktor Risiko Disfasia Perkembangan pada Anak, Tesis, eprints.undip.ac.id/24715/1/Zuhriah_Hidajati 14 Mei 2013 pukul 19.10 WIB Khumar, 2008, A, W, 2008, Cleft Palate and Craniofacial Anomalies: The Effects on Speech and Resonance, 2nd Edition. New Albany, NY: Delmar Cengage Learning, , diakses pada tanggal

http://books.google.co.id/books/about/Cleft_Palate_and_Craniofacial_An omalies.html?id=Uvv1il7Yt6IC&redir_esc=y, diakses pada tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.13 WIB Laing, S, P, dan Alan, K, 2003, Language, Speech, and Hearing Services in Schools, Vol, 34 44-55 January 2003, doi:10.1044/0161-1461,

http://lshss.asha.org/cgi/content/short/34/1/44, diakses pada tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.13 WIB Nugrahani, Y, 2007, Referat : Gangguan Bicara pada Anak,

file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR.../MAKALAH__GANG_BHS.pdf, diakses pada tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.12 WIB Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surakarta, 2013, Terapi Wicara, http://www.poltekkessolo.ac.id/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog &id=96&Itemid=128, diakses pada tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.12 WIB

16

Rothi, L, J, G, dan Kennet, M, H, 1997, Apraxia: the neuropsychology of action, PsychologyPress,http://books.google.co.id/books?id=BA4HbvzqcVcC&p g=PA198&lpg=PA198&dq=darley,+1977,+speech&source=bl&ots=w1 AgdGTYh2&sig=rhf15SeTY3N13OQB3BAsqd4Y6d8&hl=id&sa=X&ei= EJiSUf_8FNHJrAeOlYEQ&ved=0CC8Q6AEwAQ, diakses pada tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.13 WIB Utomo, R, B, 2008,Dteksi Perubahan Suara Kasus Logopedik pada Perawatan Gigi Anak, Maj Ked Gi; Juni 2008; 15 (1): 85 94, Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi, UGM, Yogyakarta, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada Widati, S, 2007, Rehabilitasi Psiko Fisikal, ebookbrowse.com/ps/psiko?page=7, diakses pada tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.03 WIB

Anda mungkin juga menyukai