Anda di halaman 1dari 17

Dari Administrasi Negara ke Manajemen dan Kebijakan Publik

(Redefinisi Wadah Ilmuwan dan Praktisi Administrasi Negara dalam Merespon Perubahan Zaman)

Pengantar Ada sebuah ungkapan terkenal yang sering diucapkan oleh mereka yang tidak

suka kemapanan: Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Kenyataan yang demikian juga berlaku bagi Ilmu Administrasi Negara. Ilmu Administrasi Negara lahir sebagai sebuah produk kegelisahan akan perlunya perubahan. Kelak di kemudian hari Ilmu Administrasi Negara ternyata tidak dapat membebaskan diri dari perlunya perubahan yang terus menerus untuk

memperjelas eksistensinya. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih muda, sejak berusaha memisahkan dirinya dari Ilmu Politik, Ilmu Administrasi Negara terus melakukan upaya guna mempertegas identitasnya. Jati diri Ilmu Administrasi Negara tersebut dicoba untuk didefinisikan melalui pencarian tanpa henti terhadap fokus dan lokus kajian Ilmu Administrasi Negara yang lebih sesuai dengan maksud dirumuskannya Ilmu Administrasi Negara itu sendiri. Dalam rentang waktu sejak kelahirannya di penghujung Abad ke-19 tersebut, fokus dan lokus kajian Ilmu Administrasi Negara terus bergeser dari satu titik ke titik yang lain sebagai upaya membangun body of knowledge Ilmu Administrasi Negara agar dapat sejajar dengan ilmu-ilmu sosial yang lain yang telah lahir lebih dahulu. Pergeseran fokus dan lokus Ilmu Administrasi Negara tersebut digambarkan oleh Nicholas Henry (1990) sebagai perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Negara.

Perubahan paradigma Ilmu Administrasi Negara yang terus berlangsung sampai saat ini tentu membawa berbagai konsekuensi bagi Ilmu Administrasi Negara itu sendiri maupun bagi lembaga akademis yang mengembangkan ilmu tersebut. Salah satu konsekuensi yang penting untuk didiskusikan adalah: apakah masih relevan menggunakan nama jurusan yang menaungi ilmuwan yang mengembangkan ilmu ini dengan nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara manakala fokus dan lokus kajian ilmu ini pada saat ini tidak lagi sama dengan fokus dan lokus ketika ilmu ini lahir? Sebagai sebuah entitas akademis yang mempelajari disiplin Ilmu

Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada merasa perlu untuk merumuskan kembali lokus dan fokus yang lebih tepat guna mewadahi aktivitas akademis dari civitas akademisnya, baik riset, pengajaran, dan pengabdian kepada masyarakat yang dari hari ke hari terus berkembang. Perkembangan kegiatan akademis dari warga Jurusan Ilmu Administrasi Negara saat ini demikian luas variasinya. Hal ini membuat warga Jurusan Ilmu Administrasi Negara sampai pada sebuah kesimpulan tentang perlunya menetapkan posisi (standing) yang lebih cocok dengan dinamika perkembangan tersebut. Paper singkat ini menjelaskan perjalanan keilmuan ataupun praktik administrasi negara dari awal mula kelahirannya hingga saat ini, terutama dalam rangka merespon perubahan zaman.

Awal Kemunculan dan Perkembangan Ilmu Administrasi Negara Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson (1887), yang kemudian menjadi presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang berjudul The Study of Administration yang dimuat di jurnal Political Science Quarterly. Kemunculan artikel itu sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda akan perlunya perubahan terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi di Amerika Serikat pada waktu itu yang ditandai dengan meluasnya praktik spoil system (sistem perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya inefektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan negara. Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu ternyata tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang

fokus kajian Ilmu Politik bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan. Dalam tulisannya tersebut Wilson (1887: 1) mengatakan:
No one wrote systematically of administration as a branch of the science of government until the present century had passed it first youth and had begun to put forth its characteristic flower of systematic knowledge. Up to our own day all the political writers whom we now read and though, argued, dogmatized, only about the constitution of governments; about nature of the state, the essence and seat of sovereignty, popular power and kingly prerogativeThe central field of controversy was that great field of theory in which monarchy rode tilt against democracy, in which oligarchy would have built for itself strongholds of privilege, and in which tyranny sought opportunity to make good its claim to receive submission from all competitors. The question, how law should be administered with enlightenment, with equity, with speed, and without friction, was put aside as a practical detail which clerks could arrange after doctor had agreed upon principles.

Menurut

Wilson,

Ilmuwan

Politik

lupa

bahwa

kenyataannya

lebih

sulit

mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan merumuskan konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu belum ada. Oleh karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi dengan baik maka diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai Ilmu Administrasi tersebut. Ilmu yang oleh Wilson disebut ilmu administrasi tersebut menekankan dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan perlunya menerapkan merit system dengan memisahkan urusan politik dari urusan pelayanan publik. Agar pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien, Wilson juga menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh organisasi bisnis the field of administration is the field of business. Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut kemudian dilakukan oleh Frank J. Goodnow yang menulis buku yang berjudul: Politics and Administration pada 1900. Buku Goodnow tersebut seringkali dirujuk oleh para ilmuwan administrasi negara sebagai proklamasi secara resmi terhadap lahirnya Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Ilmu Politik. Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma dikotomi politik-administrasi. Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi Negara mencoba mendefinisikan eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologi, epistimologi dan

aksiologi yang berbeda. Beberapa tahun kemudian, sebuah buku yang secara sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu Administrasi Negara lahir dengan dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul Introduction to the Study of Public Administration pada 1926. Buku White yang mencoba merumuskan sosok Ilmu Administrasi tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai karya ilmuwan sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan tentang bagaimana suatu organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan efisien, seperti Frederick Taylor (1912) dengan karyanya yang berjudul Scientific Management, Henry Fayol (1916) dengan pemikirannya yang dituangkan dalam monograf yang berjudul General and Industrial Management, W.F. Willoughby (1918) dengan karyanya yang berjudul The Movement for Budgetary Reform in the State, dan Max Weber (1946) dengan tulisanya yang berjudul Bureaucracy. Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan administrasi negara berusaha membangun body of knowledge ilmu ini dengan terbitnya berbagai artikel dan buku yang mencoba menggali apa yang mereka sebut sebagai prinsip-pinsip administrasi yang universal. Tonggak utama dari era ini tentu saja adalah munculnya artikel L. Gulick (1937) yang berjudul Notes on the Theory of Organization di mana dia merumuskan akronim yang terkenal dengan sebutan POSDCORDB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating, Reporting dan Budgeting). Tidak dapat dipungkiri, upaya para ahli administrasi negara untuk mengembangkan body of knowledge ilmu administrasi negara sangat dipengaruhi oleh ilmu manajemen. Prinsip-prinsip administrasi

sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan tersebut pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut mereka dapat juga diterapkan di organisasi pemerintah. Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi negara diwarnai sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang tidak pernah selesai. Kegamangan para ilmuwan administrasi negara dalam meninggalkan induknya, yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya secara mandiri bermula dari kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang mereka sebut sebagai prinsipprinsip administrasi sebagai pilar pokok Ilmu Administrasi Negara. Keruntuhan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi ditandai dengan terbitnya tulisan Paul

Applebey (1945) yang berjudul Government is Different. Dalam tulisannya tersebut Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda dengan institusi swasta sehingga prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari manajemen swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi pemerintah. Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul The Proverbs of Administration semakin memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi yang terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang demikian membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami krisis identitas dan mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik. Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama ketika ilmuwan administrasi negara mencoba menemukan kembali fokus dan lokus studi ini. Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan bisnis cenderung

mengembangkan nilai, tradisi dan kompleksitas yang berbeda mendorong perlunya merumuskan definisi yang jelas tentang prinsip-prinsip administrasi yang gagal dikembangkan oleh para ilmuwan terdahulu. Dwiyanto (2007) menjelaskan bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai dan praktik yang berbeda dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan organisasi sukarela. Mekanisme pasar bekerja karena dorongan untuk mencari profit, sementara lembaga pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik. Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan organisasi swasta sangat berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi negara menyadari pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang berbeda dengan yang dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan teori-teori administrasi bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka identitas Ilmu Administrasi Negara menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan administrasi negara lebih menempatkan proses administrasi sebagai pusat perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah sebagai tempat praktik (lokus). Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa kelahiran Ilmu Administrasi Negara sangat dipengaruhi oleh dua cabang ilmu, yaitu Ilmu Politik dan Ilmu Manajemen. Kesadaran bahwa Ilmu Administrasi Negara tidak dapat terlepas dari Ilmu Politik, karena proses administrasi pemerintahan tidak terlepas dari proses politik, dan realitas bahwa prinsip-prinsip administrasi tidak dapat diterapkan secara general

pada organisasi pemerintah dan swasta sekaligus semakin mengukuhkan pemahaman bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Administrasi Negara adalah ilmu tentang bagaimana proses administrasi pemerintahan dikelola secara baik dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang sesuai dengan tujuan

pembentukan organisasi pemerintah, yaitu untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik. Dengan pencapaian tersebut, Dwiyanto (2007: 109) menyebut bahwa Ilmu Administrasi Negara tumbuh menjadi sebuah ilmu yang semakin dewasa dan mampu menyejajarkan dirinya dengan induknya, yaitu Ilmu Politik dan Ilmu Manajemen.

Dari Administrasi Negara Menjadi Administrasi Publik Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang. Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi pemerintahan sebagaimana dijelaskan di muka ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinggi kemudian

menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui berbagai lembaga non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang dulu menjadi monopoli pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno (2007) juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society. Secara lebih tegas, Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi perubahan paradigma: [] dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba

negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindle (1997: 4) sebagai too much state, di mana negara pada pertengahan 1980an terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter. Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu: (1) dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat; (2) globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi; (3) tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya; dan (4) munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis. Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara? Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata negara dalam Ilmu Administrasi Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk

mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public administration tidak tepat lagi untuk diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata publik di sini jauh lebih luas daripada kata negara (Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan keterlibatan

institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil society di dalam pengadministrasian pemerintahan. Konsekuensi dari perubahan makna public administration sebagai

administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasiorganisasi non-pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.

Ilmu Administrasi Publik Sebagai Ilmu Kebijakan Publik Dengan adanya pergeseran makna publik sebagaimana dijelaskan di atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara lebih jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian ilmuwan administrasi publik. Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi semakin jelas, pertanyaan berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian ilmuwan administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat logis karena kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah (Dwiyanto, 2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok yang dapat dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan berbagai persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive policy, protective regulatory policy, competitive regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley, 1985: 60). Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa para administrator memiliki intensitas yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal ini

juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu administrasi publik memang tidak dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan kebijakan itu sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam proses perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini berbagai solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat digodok agar dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang dapat dipilih oleh para policy maker melalui proses politik. Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin membuat analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik. Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki (1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting sebagai acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan kegiatan analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin implementasinya akan berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi kebijakan publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi implementasi dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik.

Administrasi Publik Sebagai Manajemen Publik Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu Administrasi Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus studi ini adalah organisasi publik, sementara fokus perhatiannya adalah persoalan publik (public affairs) dan bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan publik. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan administrasi publik tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang berjudul Public Management and Administration merupakan pemikiran yang memicu perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.

Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public pada public administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi administrasi publik, Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk menggunakan istilah manajemen publik daripada administrasi publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada era 1990an yang mencoba memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi publik yang dikenal sangat hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan pada manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsipprinsip birokrasi Weberian sudah sering disampaikan. Apa yang disampaikan oleh Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali mewakili pemimpin negara yang lain: [] in todays world of rapid change, lightning-quick information technologies, tough global competition, and demanding customers, large, top-down bureaucracies public or privatedont work very well. Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan gagasan mereka, seperti: managerialism (Pollit, 1993), new public management (Hood, 1991), market-based public administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan post-bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992). Namun yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang entrepreneurial government yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi best seller, yaitu Reinventing Government. Gagasan mereka kemudian diadopsi secara luas di berbagai negara setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika Serikat mengadopsinya secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk mengembangkan paradigma public managerialism dalam disiplin Ilmu

Administrasi Publik juga terjadi di Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih mengefisienkan pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan perlunya diterapkan semboyan 3Es atau economy, efficiency dan effectiveness pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien. agar

10

Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu cakrawala baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkonotasi sempit perlu diubah menjadi manajemen publik yang lebih memiliki jangkauan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): It is argued here that administration is a narrower and more limited function than management []. Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan bahwa menurut definisi kamus, kata manajemen memiliki makna yang lebih luas dibandingkan administrasi. Dari berbagai definisi kamus yang ada (Oxford Dictionary, Webster Dictionary dan Latin Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur yang harus dipatuhi oleh seorang administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan: (1) pencapaian target dan (2) tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan. Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin meluasnya penggunaan istilah manajemen dan manajer di sektor publik. Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah administrasi justru mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial Belanda berakhir, penggunaan istilah administrasi di dalam birokrasi pemerintah semakin jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah administrasi telah mengalami

kemerosotan makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketikmengetik atau sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan prosedur suratmenyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa istilah manajemen memiliki makna lebih superior dibandingkan istilah administrasi. Oleh karena itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa: As part of the general process public administration has clearly lost favor as a description of the work carried out; the term manager is more common, where once administrators was used. Dukungan terhadap pendapat Hughes juga diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: formerly they were called

11

administrators, principal officers, finance officers atau assistant directors. Now, they are managers. Tentu saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen bukan hanya sekedar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan berimplikasi pada bangun teoritis yang perlu dikembangkan untuk mendukung perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya menyangkut bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Bozeman dan Straussman (1990: 4) berikut:
Public management rather than older public administration is used throughout this book [] The term public management is used here for two reasons. First, the concern of this book with strategy, dealing with the external environment, and broad missions and goals of organisations. The term public management seems to have evolved in such a way that it connotes concern broader than those internal administration. Second, public management need notoccur only within the context of the government agency. The term public administration has come to be associated almost totally with government bureaucracy; the newer term public management is probably more fluid.

Konsekuensi dari perubahan nama administrasi publik ke manajemen publik secara epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan administrasi publik ke depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan administrasi publik lebih berkutat pada diskusi yang bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika dan norma bagi manajer publik dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika administrasi publik berubah menjadi manajemen publik, orientasi keilmuan dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang lebih empirikal tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu manajer publik mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan

kemampuan manajerial mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para manajer publik tersebut di depan masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan administrasi publik harus memahami: (1) semakin meningkatnya tekanan terhadap sektor publik untuk melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada sektor swasta; (2) bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis menguntungkan dengan mempelajari public choice theory, principal/agent theory dan transaction cost theory; (3) perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta

12

seperti kompetisi yang semakin meningkat dan globalisasi; dan (4) terjadinya perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik ke depan harus belajar perkembangan teknologi informasi untuk diadopsi menjadi e-government (Hughes, 1998: 8-18). Pemikiran untuk mengubah nama administrasi menjadi manajemen sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada gagasan awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16) tentang Ilmu Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: This is why there should be a science of administration which shall seek to straighten the paths of government, to make it business less unbusinesslike. Namun demikian, tentu saja manajemen publik yang dikembangkan oleh ilmuwan administrasi publik di masa mendatang jelas akan berbeda dengan manajemen bisnis sebagaimana dikembangkan oleh ilmuwan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Ott, Hyde dan Shafritz (1991: 3) mengatakan bahwa secara fundamental antara manajemen publik dan

manajemen bisnis jelas berbeda:


On the other hand, proponents of public administration (and thus public management) as a field separate and distinct from business administration, point to fundamental differences between the value systems and ideologies that comprise their intelectual and emotional fundations. Business administration is the product of capitalitic ideology: revenues, costs, profits, and return on ivestment. [] Public managements distinctive set of values includes: popular soveignty, separation of powers, checks and balances, individual rights, pluralism, the public benefit, collective (or social0 goods, free access to information, representativeness, equality of opportunity, and equity in treatment.

Berbagai uraian di atas secara gamblang menunjukkan bahwa kata administrasi pada administrasi publik menjadi semakin kurang relevan, baik karena substansi yang terkandung di dalam makna kata administrasi itu sendiri dan juga semakin terdegradasinya kata administrasi dari sebuah konsep yang memiliki makna tinggi di masa lalu menjadi sebuah konsep yang berkonotasi rendah dan kurang bermakna di masa kini. Oleh karena itu, agar administrasi publik memiliki kandungan substansi dan memperoleh penghargaan yang sejajar dengan ilmu-ilmu yang lain maka tepat kiranya jika administrasi publik diganti dengan istilah baru menjadi manajemen publik.

13

Penutup: Pentingnya Sebuah Perubahan Dinamika perkembangan disiplin Ilmu Administrasi Publik sebagaimana diuraikan di depan merefleksikan pencarian ilmuwan administrasi negara terhadap fokus dan lokus dari disiplin ilmu ini yang tiada pernah berhenti. Sebagai wadah yang menjadi naungan para ilmuwan administrasi negara di Universitas Gadjah Mada, Jurusan Ilmu Administrasi Negara tidak lepas dari dinamika tersebut. Sejak kelahirannya di Universitas Gadjah Mada pada 1957, dinamika keilmuan para dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara tercermin dari research interest dan arus pemikiran mereka. Kumpulan naskah pidato enam Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang diterbitkan oleh Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (2007) secara nyata mencerminkan betapa pandangan keilmuan dan pemikiran para Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara secara substansi terus berubah dari waktu ke waktu sebagai upaya merespon dan mengikuti perkembangan dinamika keilmuan administrasi negara yang terjadi pada aras internasional1. Sayangnya, dinamika keilmuan yang terjadi selama lebih dari enam dasawarsa tersebut belum tercermin dari wadahnya, yaitu nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara tempat yang nota bene menjadi tempat civitas akademis Jurusan bernaung. Nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara tersebut sudah tidak mampu mencerminkan aktivitas akademis warga Jurusan yang sangat beragam sebagai konsekuensi dinamika perkembangan Ilmu Administrasi Negara sebagaimana diuraikan secara panjang lebar dalam naskah ini. Oleh karena itu agar dinamika keilmuan warga Jurusan Ilmu Administrasi Negara dapat tergambar secara utuh dari wadahnya maka warga Jurusan Ilmu

Dua pidato Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM yang belum tercakup dalam buku kumpulan naskah pidato Guru Besar (2007), yakni Prof. Dr. Muhadjir Darwin dan Prof. Dr. Yeremias T. Keban, secara jelas juga mencerminkan pandangan keilmuan dan pemikiran yang terus berubah dari waktu ke waktu sebagai respon atas perkembangan dinamika keilmuan Administrasi Negara yang terjadi. Pidato Prof. Dr. Muhadjir Darwin membahas tentang revitalisasi nasionalisme madani dan penguatan negara di era demokrasi, sedangkan Prof. Dr. Yeremias T. Keban mendiskusikan tentang pentingnya pembangunan birokrasi di Indonesia, yang harus mengikuti dinamika perubahan keilmuan dan praktik administrasi negara, mulai dari era OPA (Old Public Administration, NPM (New Public Management) sampai dengan NPS (New Public Service).

14

Administrasi Negara telah sepakat untuk mengusulkan perubahan nama Jurusan, yaitu dari sebelumnya bernama Jurusan Ilmu Administrasi Negara menjadi Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik. Nama Jurusan yang baru tersebut secara gamblang mencerminkan lokus dan fokus ilmu ini sebagaimana dipaparkan dalam naskah ini.

Referensi Applebey, P. 1945. Government is Different, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Barzelay, M. 1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for Managing in Government. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Bozeman, B. & Straussman, J. 1990. Public Management Strategies, Sanfrancisco: Jossey-Bass. Darwin, M.M. 2007. Revitalisasi Nasionalisme Madani dan Penguatan Negara di Era Demokrasi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall. Dwiyanto, A. 2007. Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari Government ke Governance, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fayol, H. 1916. General and Industrial Management. London: Pitman and Sons, Ltd. Goggin, M.L, Bowman, A.O, Lester, J.P, & Otoole, Jr., L.J. 1990. Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation. Glenview, Illinois, etc.: Foresman and Company. Goodnow, F.J. 1900. Politics and Administration, dalam Shafritz, J.M & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in the Third World. Princenton: Princenton University Press. Grindle, M.S. 1997. The Good Government Imperative, dalam Grindle, M.S. (Ed.). Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries. Harvard University Press. Gullick. L. 1937. Notes on the Theory of Organization, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Henry, N. 1990. Public Administration and Public Affairs. New Jersey: PrenticeHall International Inc.

15

Hood, C. 1991. A Public Management for All Seasons?, Public Administration, 69 (1): 3-19. Hughes, O. 1994. Public Management and Administration. Great Britain and New York: Macmillan Press LTD and ST.Martins Press. Inc. Keban, Y.T. 2007. Pembangunan Birokrasi: Agenda Pembangunan yang Terabaikan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Lan, Z. & Rosenbloom, D.H. 1992. Editorial: Public Administration in Transition?, Public Administration Review, 52 (6): 535-7. Meltsner, A. J. 1986. Policy Analysis in the Bureaucracy. Berkeley: University of California. Osbone, D. & Gaebles, T. 1992. Reiventing Government: How the Entrepreneurial Sipirit is Transforming the Public Sector. Reading, MA.: Addison Wesley. Ott, J.S., Hyde, A.C., & Shafritz, J.M. 1991. Public Management: The Essential Reading. Chicago, Illinois: Nelson-Hall. Patton, C. & Sawicki, D. 1993. Basic Methods of Policy Analysis and Planning . New Jersey: Prentice Hall. Pollit, C. 1993. Managerialism and the Public Services: Cuts or Cultural Change in the 1990s. Oxford: Basil Blackwell. Pratikno. 2007. Governance dan Krisis Teori Organisasi, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, 11 (2): 121-138. Pressman, J.L. & Wildavsky, A. 1973. Implementation. Berkeley, etc: University California Press. Rhodes, R.A.W. 1991. Introduction, Public Administration, 69 (1): 1-2. Ripley, R. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson-Hall Publishers. Simon, H. 1946. Proverbs of Administration, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.), 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Taylor, F.W. 1912. Scientific Management, dalam Shafritz, J.M & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Thoha. M. 2007 Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah: Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Utomo, W. 2007. Administrasi Publik Indonesia di Era Demokrasi Lokal: Bagaimana Semangat Kompatibilitas Menjiwai Budaya Birokrasi, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Weber, M. 1922. Bureaucracy, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. White, L.D. 1926. Introduction to the Study of Public Administration, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

16

Willougby, W. 1918. The Movement for Budgetary Reform in the States, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Wilson, W. 1887. The Study of Administration, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

17

Anda mungkin juga menyukai