FIQH MUAMALAH
Telaah Seputar Kurensi Naqd dan Uang Kertas
204
Kontekstualisasi Turâts
pernah melakukan transaksi dengan dirham dan
dinar, tetapi lebih cenderung memakai eksemplar
yang diedarkan secara central oleh pihak negara
dengan nama Balasty. Hal itulah yang
menyebabkan masyarakat China menolak
menggunakan dirham dan dinar. Menurut beliau,
jika ditinjau dari setting historis, uang kertas
dipakai setelah uang dinar. Sedang negara Arab,
Irak dan Iran mengenal uang kertas pada sekitar
tahun 693 H.3
Adapun legalisasi penggunaan uang kertas
bagi umat Muslim diyakini terjadi sejak Dawlah
‘Utsmâniyyah (1862 M.), hanya saja legalisasi yang
diprakarsai oleh ‘Utsmâniyyah belum mendapat
respon secara luas dari masyarakat. Hal tersebut
dikarenakan minimnya kepercayaan mayoritas
penduduknya terhadap eksistensi uang kertas pada
waktu itu, dan masyarakat setempat memandang
penggunaannya bertentangan dengan tradisi
mereka dalam bertransaksi. Di sela-sela Perang
Dunia Pertama (1333 H., 1914 M.-1337 H., 1918 M.)
Daulah ‘Utsmâniyyah runtuh. Pada saat itulah uang
kertas ditarik dari peredaran, kemudian kurensi
emas serta perak kembali mendominasi di pasaran.
Meskipun demikian, sebagian negara Islam ada
yang tetap memakai uang kertas sebagai alat tukar
hingga sekarang.4
2. Definisi Naqd
3
Hasan Abdullah Amin. Op. cit., h. 39.
4
Ibid, h. 39-41.
205
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
Al-Mahalli mengartikannya dengan i’thâ‘
hâlan yang berarti pembayaran kontan (cash),
sedangkan yang dikehendaki dalam bab zakat
adalah perbandingan antara komoditi dan hutang.5
Secara terminologis, ia hanya dikaitkan pada dinar
dan dirham.6 Sedangkan naqd menurut Imam al-
Musyaraf, tidak hanya diterapkan pada uang yang
terbuat dari emas dan perak saja. Meskipun al-
Qur'an hanya menyebutkan keduanya, akan tetapi
hal itu hanya sebatas istilah saja, dan tidak
menutup kemungkinan uang kertas juga dapat
dikategorikan sebagai naqd.7
Imam Ahmad berpendapat, uang kertas
(awraq al-naqdiyyah, banknote) adalah mata uang
yang diedarkan secara luas sebagai kurensi yang
digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
transaksi (demand money for transaction), baik
sebagai alat untuk membeli barang, honorarium
maupun pelunasan hutang (redeem).8 Sedangkan
versi lain mendefinisikan naqd sebagai kurensi
yang mempunyai fungsi primer dalam pelunasan
hutang, dan sebagai salah satu alat kalkulasi atau
standarisasi harga (standart of value, miqyâs al-
qiyâm) yang diedarkan demi memenuhi standar
perhitungan, hutang piutang, harga komoditi, dan
honorarium.9
5
Syihabuddin al-Qulyubi, al-Qulyûbi, Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah, vol. II, h. 28.
6
Hasan Abdullah Amin. Op. cit., h. 32.
7
Ibid, h. 29.
8
Abi Su’ud bin Muhammad al-‘Arandi, al-Ahkâm fi Jawâz al-
Waqf al-Naqd, h. 7.
9
Kamus Misbah al-Munîr, h. 237.
206
Kontekstualisasi Turâts
207
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
pembayaran dengan perantara cek, giro,
perintah membayar atau telegraphic transfer
(TT).10
208
Kontekstualisasi Turâts
karena memiliki dua nilai: nilai nominal dan
intrinsik. Ketentuan dua uang kertas ini dapat
ditukar dengan emas atau perak, mengingat
keduanya marupakan representasi dari emas
dan perak.
209
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
uang kertas ilzâmiyyah ini tidak bisa ditukar
dengan emas dan perak.11
210
Kontekstualisasi Turâts
Bugha;15 meskipun uang kertas tidak mempunyai
nilai intrinsik, akan tetapi masih memenuhi kriteria
standar kurensi, karena selain memiliki nilai
moneter (quwat al-syirâ’), juga memiliki nilai
nominal sebagai standar atau bukti adanya
dekingan logam mulia. Dengan kata lain, uang
kertas yang beredar saat ini adalah representasi
dari naqd, sehingga keberadaannya bisa dijadikan
alat tukar dalam setiap transaksi.
211
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
Pada fase kedua, turun surat al-Nisâ’: 160-161
yang menyatakan: “Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Dalam ayat ini Allah swt. menjelaskan bahwa riba
diharamkan bagi orang Yahudi.16 Namun mereka
16
Larangan bunga bagi orang Yahudi itu terdapat di dalam
kitab suci mereka. Baik dalam Perjanjian Lama (Old Testament)
maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus pasal 22 ayat 25
menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah satu
umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau
berlaku sebagai penagih utang terhadap dia: janganlah engkau
bebankan bunga hutang kepadanya.” Kitab Deutoromi pasal 23
ayat 19 menyatakan: “Janganlah engkau membungakan kepada
saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang
dapat dibungakan.” Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37
menyatakan: “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba
darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya
saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi
uang kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Konsep Bunga juga dikenal dikalangan Romawi dan Yunani.
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I
Masehi, terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut
bervariasi, namun secara umum nilai bunga tersebut dikategorikan
sebagai berikut: pinjaman biasa=6% - 18%, pinjaman properti=6%
- 12%, pinjaman antar kota=7% - 12%, dan pinjaman perdagangan
dan industri=12% - 18%. Sedang pada masa Romawi, sekitar abad
V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang
yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama
tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang
dibenarkan hukum. Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM),
212
Kontekstualisasi Turâts
melanggar larangan tersebut dan hal itu
merupakan suatu penyebab kemurkaan Allah swt.
terhadap mereka. Jika dicermati, dalam ayat ini
Allah swt. telah memberikan isyarat bahwa riba itu
diharamkan bagi orang Yahudi, akan tetapi belum
menegaskan riba juga diharamkan bagi umat
Muslimin.
213
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
Pada fase ketiga, turun surat Ali Imran: 130
yang menegaskan: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
“berlipat ganda” dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.” Ayat ini
turun pada tahun ke-3 Hijriyyah. Dus, baru dalam
ayat ini Allah swt. menegaskan secara ekplisit
tentang keharaman riba bagi kaum Muslimin.
Dalam ayat ini, keharaman riba dikaitkan dengan
suatu tambahan yang berlipat ganda (adh’âfan
mudhâ’afan), karena memang saat itu
pengambilan bunga dengan tingkatan berlipat
ganda adalah merupakan fenomena yang acap kali
dipraktikkan.
Fase keempat, turun surat al-Baqarah: 278-
279 yang menyatakan: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Ayat ini turun pada tahun ke-9 Hijriyyah. Dalam
ayat ini, Allah swt. secara tegas mengharamkan
riba secara mutlak, baik sedikit maupun yang
214
Kontekstualisasi Turâts
berlipat ganda, karena Allah swt. memerintahkan
kaum Muslimin untuk meninggalkan “sisa riba” dari
tambahan yang berlipat ganda yang belum
dipungut.
Dari keempat fase di atas, surat Ali Imran
ayat 130 (dalam fase ketiga) merupakan ayat yang
harus dipahami dengan metode interpretasi
korelatif-hermeneutis; penafsiran dengan cara
mengaitkan pada ayat-ayat dalam fase-fase yang
lain, khususnya fase keempat. Interpretasi korelatif-
hermeneutis ini mutlak dibutuhkan, karena sekilas
ayat tersebut seakan-akan hanya melarang riba
yang berlipat ganda. Rawannya pemahaman
terhadap surah Ali Imran di atas telah
mengakibatkan banyaknya cendekiawan Muslim
yang berpendapat bahwa riba (bunga) yang haram
adalah hanya yang berlipat ganda, sedangkan suku
bunga yang wajar, sedikit, tidak merugikan, dan
tidak menzalimi orang lain hukumnya
diperbolehkan. Akan tetapi, melalui pengkaitan
(interpretasi korelatif) dengan ayat pada fase
keempat, kita dapat menyimpulkan bahwa
pendapat beberapa cendekiawan tersebut keliru.
Karena dalam fase keempat telah dijelaskan
tentang keharaman riba meskipun sedikit.
Selain interpretasi korelatif, dalam memahami
surat Ali Imran tersebut juga sangat diperlukan
penjelasan dengan metode interpretasi gramatis-
hermeneutis; penafsiran dengan cara membedah
kata-kata adh’âfan mudhâ’afan (berlipat ganda)
dari aspek linguistiknya. Berdasarkan disiplin
gramatika Arab, kriteria “berlipat ganda” dalam
ayat tersebut harus dipahami sebagai hal dari riba
215
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
yang dipraktikkan pada saat itu, dan sama sekali
bukan merupakan syarat. Karena jika diposisikan
sebagai syarat, maka konsekuensinya akan
memunculkan kesimpulan bahwa jika terjadi
pelipatgandaan, maka riba yang haram, sedang
kalau tambahan itu kecil bukan riba yang haram.
Dengan demikian, salah besar bila kata-kata
adh’âfan mudhâ’afan diposisikan sebagai syarat.17
Kesalahan fatal itu dapat dibuktikan melalui
peninjauan gramatikal secara kritis pada kata-kata
itu. Secara gramatis, kata-kata dha’fu berarti
‘kelipatan’, sedangkan sesuatu yang berlipat
minimal 2 kali lebih besar. Sementara kata-kata
adh’âf adalah bentuk kata plural (jama’) dari
kelipatan tadi. Dan minimal jama’ adalah 3. Dengan
demikian, kata-kata adh’âfan berarti 3x2=6 kali.
Adapun kata-kata mudhâ’afan dalam ayat di atas
berfungsi sebagai sifat. Dengan demikian, jika
“berlipat ganda” diposisikan sebagai syarat maka
sesuai dengan konsekuensi bahasa, batas minimun
haruslah 6 kali lipat atau bunga 600%. Secara
faktual-operasional dalam perbankan dan nalar
sehat, kelipatan angka itu tidak mungkin bisa
terjadi dalam proses perbankan maupun simpan
pinjam.
Dengan demikian dapat dipahami betapa
urgen dan signifikan-sinya cara penafsiran secara
korelatif-hermeneutis dan interpretasi gramatikal.
Tanpa perangkat itu, penafsiran teks-teks
keagamaan secara obyektif sulit untuk dituai, dan
17
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi
Abu ‘Abdillah, al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, cet. II, Kairo: Dar al-
Sya’bi, vol. IV, h. 202. Lihat juga dalam Muhammad bin Ali al-
Syawkani, Fath al-Qadîr, Beirut: Dar al-Fikr, vol. I, h. 380-381.
216
Kontekstualisasi Turâts
bahkan tak jarang menyebabkan pemahaman yang
keliru.
Secara garis besar riba menurut Hanafiyyah,
Malikiyyah, dan Hanbaliyyah, diklasifikasikan
menjadi dua: riba fadhl dan riba nasi’ah. Sedang
menurut Syafi’iyyah, riba diklasifikasikan menjadi
empat: 1) riba fadhl; pertukaran antarbarang ribawi
yang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda; 2) riba al-yad; jual beli dengan
penangguhan penerimaan dua barang yang
dipertukarkan atau salah satunya tanpa
menyebutkan batasan tempo; 3) riba nasâ‘i; jual
beli dengan syarat tempo pada penyerahan atau
penerimaan salah satu barang yang dipertukarkan,
meskipun tempo itu berdurasi singkat. Imam al-
Mutawali menambahkan satu jenis riba, yaitu riba
qardh; suatu manfaat atau kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap pihak yang berutang
(muqtaridh). 18
18
Wizarah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islamiyyah bi al-Kuwait,
al-Mausû’ah al-Fiqhiyah, cet. Wizarah al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, vol.
XII, h. 56.
217
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
berbeda, maka jual-lah sesuai dengan kehendakmu
dengan syarat secara tunai.” (HR. mayoritas ahli
hadîts dari ‘Ubadah bin Shamit).19
Berangkat dari pemahaman terhadap Hadîts
tersebut, para pakar hukum Islam menyimpulkan
bahwa, jenis-jenis harta ribawi yang dijelaskan oleh
nash hanya berjumlah enam: emas, perak,
gandum, jelai, kurma, dan yang terakhir garam.
Dari keenam komoditas yang disebutkan dalam
Hadîts di atas, dua di antaranya mewakili
komoditas uang (commodity money), sedangkan
yang lainnya mewakili bahan pokok makanan.
Dalam memahami Hadîts ini, ulama bersilang
pendapat. Versi pertama adalah kelompok
tekstualis-literalis yang terdiri dari Thawus, Masruq,
al-Sya’bi, Qatadah, ‘Utsman al-Batty, Dawud al-
Zhahiri, dan para penentang metode penalaran
qiyâs. Aliansi kelompok tekstualis ini dengan
lantang mendengungkan tidak berlakunya hukum
riba pada selain keenam jenis barang ribawi di
atas.20 Corak pemahaman seperti ini, jika ditinjau
dari metodologi hermeneutika Barat, paralel
dengan teori yang diusung oleh Edmund Gustay
Albrecht Husserl, di mana sebuah teks hanya
dipahami sebagaimana adanya.21 Dalam diskursus
ini, khususnya dalam pembahasan emas dan perak,
madzhab Syafi’iyyah menyatakan bahwa ‘ilat
(ratio-legis) dalam dua barang tersebut adalah jenis
19
Ibid, h. 59-60.
20
Ibid. Lihat pula dalam Abi Hasan ‘Ali bin Muhammad bin
Habib al-Mawardi, al-Hâwi al-Kabîr, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, vol.
VI, h. 93-105.
21
Selengkapnya telaah dalam tema hermeneutika poros
tengah.
218
Kontekstualisasi Turâts
commodity money (jinsiyyah al-atsmân ghâliban)
dalam mayoritas bentuk transaksi, atau materi
commodity money (jawhariyyah al-atsmân). Dalam
literatur Syafi’iyyah, ‘ilat tersebut dikategorikan
sebagai ‘ilat qashirah; ratio-legis yang tidak
mempunyai fungsi sebagai landasan analogi.
Dengan demikian, hukum riba pada kurensi emas
dan perak tidak bisa dikembangkan pada kurensi
lain seperti uang kertas. Pola nalar Syafi’ian
tersebut, dalam batas tertentu, setidaknya juga
dapat digolongkan pada aliansi tekstualis-literalis,
sebab dengan peniadaan analogi di atas dapat
dikatakan bahwa, Syafi’iyyah tidak memperlebar
cakrawala makna dalam teks dzahab (emas) dan
fidhah (perak). Interpretasi tekstualis ini pada
akhirnya menggiring suatu kesimpulan bahwa uang
kertas tidak termasuk harta ribawi, karena ia tidak
dapat dianalogikan dengan emas maupun perak,
meskipun ia merupakan kurensi yang ber-backing
pada dua logam mulia.22
Versi kedua adalah kelompok kontekstualis.
Aliansi ini terdiri dari madzhab Hanbaliyyah,
Malikiyyah, Hanafiyyah. Ketiga madzhab tersebut
masing-masing mempunyai struktur penalaran
yang bervariasi yang akan kami uraikan di bawah
ini.
Dalam perspektif Hanbali, terjadi kontradiksi,
tetapi menurut pendapat yang lebih populer
(asyhar) dinyatakan bahwa ‘ilat riba dalam emas
dan perak adalah jenis barang berstandar
timbangan (mawzûn al-jinsi). Oleh sebab itu, pintu
22
Wizarah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islamiyah bi al-Kuwait.
Loc. cit.
219
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
analogi menjadi terbuka bagi setiap jenis materi
yang mempunyai standarisasi timbangan. Dengan
demikian uang kertas tidak termasuk harta ribawi
karena standarnya bukan timbangan.
Sementara Malikiyyah mempunyai pandangan
yang sedikit berbeda, mereka menegaskan ‘ilat riba
dalam kurensi emas dan perak adalah commodity
money (tsamaniyyah). Dengan demikian
keharaman riba juga terdapat pada uang kertas
berdasarkan inferensi-analogis (istinbâth-qiyâsi).
Pandangan ini senada dengan madzhab
Hanafiyyah, tetapi Hanafiyyah lebih memilih
pendekatan hermeneutis dengan cara menelisik
konteks historis yang melatari munculnya Hadîts
‘Ubadah bin Shamit. Telaah dengan model regresif
tersebut dicanangkan guna menelanjangi sosio-
kultural dan ekonomi yang menyebabkan mengapa
teks Hadîts tersebut berbunyi demikian, yakni teks
yang hanya membatasi pada enam jenis harta
ribawi. Ternyata, menurut mereka, pembatasan
tersebut mempunyai tali kaitan erat dengan
konteks perekonomian yang dipraktikkan pada saat
itu, di mana pada umumnya dunia perdagangan
masih berkisar pada jenis-jenis komoditas tersebut,
dan kurensi emas dan perak merupakan dua
komoditas uang yang menjadi alat tukar yang
terlaku pada zaman itu.
Setelah melakukan gerak regresif guna
memantau perekonomian masa lalu, madzhab
Hanafiyyah melanjutkan kerja penafsirannya
dengan gerak progresif dalam rangka membumikan
ruh Hadîts tersebut pada realitas kekinian. Tugas ini
oleh Hanafiyyah didasarkan pada analogi kurensi
220
Kontekstualisasi Turâts
uang kertas terhadap emas dan perak dengan
landasan ‘ilat berupa commodity money (atsmân
al-asyyâ’) dan mempunyai potensi berkembang
(namâ’). Dengan demikian, Hanafiyyah
memandang bahwa ketentuan harta ribawi juga
terlaku dalam uang kertas.23
23
Dr. Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islami, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, vol. IV, h. 676. Sedangkan untuk zakat tanaman bagi
Hanafiyyah semua jenis tanaman wajib dizakati kecuali rumput dan
bambu.
221
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
8.000 dengan 1 dollar Amerika. Hal ini boleh
dengan syarat diserahterimakan saat transaksi.25
222
Kontekstualisasi Turâts
Allah swt. menginstruksikan mengeluarkan
sebagian harta yang diamanatkan pada seseorang
demi kepentingan orang lain. Oleh karenanya,
zakat ditetapkan Allah swt. sebagai manifestasi
seluruh paparan yang telah disebutkan di atas.
Secara leksikal, kata “zakat” berarti “berkah”,
“tumbuh”, “bersih”, “baik”, dan “bertambah”.
Sedangkan secara terminologis, zakat adalah
sebutan bagi sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah swt. agar diserahkan pada orang-
orang yang berhak. Istilah zakat sering dilansir
dalam al-Qur'an yang dikomparasikan dengan kata
shalat. Ada sekitar dua puluh enam kata zakat yang
selalu dikaitkan dengan kata shalat. Penyebutan
dengan munâsabah-korelatif ini menunjukkan
urgensitas dan signifikansi peran zakat dalam
kehidupan umat Islam. Al-Qur'an tidak
menyebutkan secara terperinci tentang harta apa
saja yang wajib dizakati, bagaimana syarat-
syaratnya, dan berapakah kadar yang harus
dikeluarkan. Penjelasan tentang hal-hal tersebut
diambil alih oleh Hadîts.26 Kemudian para pakar
hukum Islam berupaya merumuskan harta-harta
zakawi melalui pemahaman terhadap teks-teks
keagamaan tentang zakat dan praktik Nabi
Muhammad saw. saat memungut zakat.
Berangkat dari pemahaman terhadap legislasi
al-Qur’an dan Hadîts tentang kewajiban zakat
beserta jenis-jenis harta yang harus dizakati,
akhirnya muncul berbagai ragam-corak inferensi
hukum. Ada yang mempersempit kewajiban zakat
hanya pada jenis harta yang sudah dijelaskan oleh
26
Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat, vol. I h. 123.
223
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
al-Qur’an dan Hadîts, seperti unta, sapi, kambing,
gandum, kurma, emas, perak, dan lainnya, tanpa
memasukkan naqd (kurensi yang tercetak dari
emas dan perak). Versi pertama ini adalah
pendapat kalangan tekstualis-literalis, di antaranya
Ibn Hazm.
Versi kedua mencoba memasukkan naqd
dalam daftar harta yang wajib dizakati, tetapi tidak
melakukan analogi pada uang kertas. Versi kedua
ini disinyalir merupakan pendapat Imam Ahmad,
Malik, dan al-Syafi’i. Yusuf Qardhawi dalam
mengomentari versi kedua ini menyatakan, bahwa
paradigma seputar uang kertas adalah paradigma
modern. Artinya kurensi uang kertas belum ada
pada masa Ahmad, Malik, dan Syafi’i. Oleh sebab
itu, wajar apabila mereka tidak mencoba
menganalogikan uang kertas dengan naqd.27
Sementara versi ketiga, yakni kalangan
Hanafiyyah, lebih memilih pendekatan secara
hermeneutis dalam rangka memperluas cakrawala
makna dari teks-teks tentang zakat. Dengan
bertitik-pijak pada metode pendekatan itu, kubu
Hanafiyyah mengafirmasi kewajiban zakat pada
uang kertas.
224
Kontekstualisasi Turâts
(amwâl) kamu.” Secara gramatis, ayat dan Hadîts
di atas mempunyai horison makna yang universal,
sebab menggunakan bentuk kata plural (jama’),
yakni kata-kata “amwâl” (harta-harta) tanpa ada
pemerincian lebih jauh. Luasnya cakupan makna
tersebut dijadikan premis-premis sebagai pijakan
penyimpulan, bahwa yang dimaksud oleh kata
amwâl adalah setiap harta yang berkembang atau
produktif (namâ’) bukan harta konsumtif (li al-
isti’mâl). Kemudian namâ’ diposisikan sebagai ‘ilat
guna menganalogikan harta-harta yang produktif
lainnya, termasuk kurensi uang kertas. Implikasi
qiyâs ini mengukuhkan kewajiban zakat pada uang
kertas.28
Inferensi-analogis di atas diperkuat lagi oleh
Yusuf al-Qardhawi dan Wahbah al-Zuhayli.
Wahbah al-Zuhayli berpendapat, pernyataan
yang mewajibkan zakat pada uang kertas adalah
sudah tepat. Dengan argumen: 1) dewasa ini uang
kertas telah menjadi harga komoditi (commodity
price, atsmân al-asyyâ’); 2) bertransaksi dengan
emas sudah tidak diperbolehkan oleh negara
sehingga berimbas pada penolakan pasar
terhadapnya; 3) semua negara tidak
memperbolehkan penukaran uang kertas dengan
emas atau perak. Berdasarkan argumen ketiga ini,
Wahbah mengatakan bahwa upaya fuqaha
(termasuk sebagian Syafi’iyyah) yang
menganalogikan uang kertas dengan piutang yang
belum jatuh tempo tidak dapat dibenarkan, karena
secara lazim, pemberi hutang sudah tidak bisa lagi
memanfaatkan uang yang ia hutangkan. Nah, hal
28
Ibid, h. 146.
225
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
ini kontras sekali dengan eksistensi uang kertas, di
mana pemiliknya dapat mengalokasikannya
kapanpun, sehingga menurut Wahbah tetap ada
kewajiban zakat dengan status zakat piutang yang
telah terlunasi (cash). Adapun kewajibanya adalah
2,5 % (=rubu’ al-‘usyr) dengan standar nishabnya
emas, yaitu 20 dinar atau mitsqâl (+ 85 gram).29
Qardhawi juga menyatakan, kurensi uang kertas
harus dizakati karena telah mampu menggeser
posisi kurensi emas dan perak, memiliki nilai
moneter, berperan sebagai demand money for
transaction, instrumen transaksi yang praktis, dan
sarana memperoleh interest dalam bidang usaha.
Hal-hal tersebut mengilustrasikan bahwa ia
merupakan harta produktif.30
29
Dr. Wahbah al-Zuhaili. Op. cit., vol. II, h. 772-773.
30
Dr. Yusuf Qardhawi. Op. cit., h. 273.
226
Kontekstualisasi Turâts
Versi kedua, yakni pendapat Muhammad al-
Anbbi dan Habib Abdullah bin Abi Bakar,
menyamakan uang kertas dengan fulus. Alasannya,
yang dikehendaki pelaku transaksi adalah esensi
uang tersebut bukan logam mulia yang menjadi
dekingan. Oleh sebab itu, uang kertas tidak wajib
dizakati dengan status zakat barang (‘ayn). Wajib
zakat sebagai zakat tijarah hanya jika ada tujuan
tijarah saat mengalokasikannya sebagai modal
usaha. Meskipun perbedaan dua versi tersebut
tajam, namun di sisi lain mereka semua sepakat
bahwa uang kertas yang hanya disimpan (kept
money) tidak wajib dizakati.31
Pun demikian, Imam al-’Alamah ‘Abd al-Hamid
al-Syarwani dalam kitabnya al-Syarwâni
mengatakan tidak wajib membayar zakat uang
kertas bagi pemiliknya, tanpa menjelaskan
argumen konkretnya.32 Namun pendapat ini
ditentang keras oleh Syaikh Mahfudh al-Termasi.
Menurutnya, uang kertas mempunyai nilai (price),
karena ia merupakan representasi dari emas dan
perak. Tersebab itu, tidaklah logis jika uang kertas
tidak wajib dizakati.33
31
Syaikh Mahfud al-Tarmasi. Loc. cit.
32
Al-Syarwany. Loc. cit.
33
Syaikh Mahfud al-Tarmasy. Loc. cit.
227
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
ketangkasan. Suatu keahlian yang dimiliki seorang
belum tentu dimiliki orang lain. Seorang yang
berlimpah harta misalnya, belum tentu ia dapat
mengelola secara profesional terhadap anugrah
harta pemberian Tuhan kepada dirinya, sehingga
jika ia memaksakan untuk menjalankan roda
bisnisnya kemungkinan besar ia akan terjerumus ke
dalam kebangkrutan. Di sisi lain, ada manusia yang
dikaruniai kemampuan manajerial mamadai,
namun tidak disertai adanya modal, sehingga sia-
sialah pelbagai potensi yang melekat pada masing-
masing individu.
Islam membuka solusi saling menguntung
terhadap dua jenis kapasitas manusia di atas.
Dalam konteks hukum Islam, hal itu dikenal, salah
satunya, dengan istilah mudhârabah (Trust
Financing, Trust Investment). Secara teknis,
mudhârabah adalah akad kerja sama usaha antara
dua pihak di mana pihak pertama (shâhib al-mâl)
menyediakan seluruh modal (100%), sedang pihak
lainnya menjadi pengelola. Profit usaha secara
mudhârabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedang apabila rugi
maka ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalaian si pengelola maka ia
harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Seperti lazimnya sistem ekonomi, dalam akad ini
juga terdapat potensi kerugian di salah satu pihak
atau bahkan keduanya disebabkan tidak adanya
kepastian laba yang akan diraih. Untuk
mangantisipasi atau meminimalisir terjadinya
228
Kontekstualisasi Turâts
kerugian, para fuqaha merumuskan beberapa
persyaratan di dalamnya. Salah satunya adalah
modal harus berupa naqd (uang emas dan perak),
sebab ia merupakan alat tukar yang dapat diterima
secara umum (generally acceptable). Dalam
redaksi kitab-kitab fiqh klasik secara umum
dinyatakan modal mudhârabah haruslah berupa
dua mata uang tersebut. Konsekuensinya, akad
mudhârabah tanpa modal itu adalah tidak sah.34
Berpijak dari persyaratan itu, dapatkah uang kertas
dijadikan modal mudhârabah?
34
Redaksi yang menyatakan ketidakabsahan akad tersebut
dengan modal selain dirham dan dinar dapat ditemukan dalam
beberapa fiqh klasik, di antaranya dalam al-Khathîb al-Sarbini,
Mughni al-Muhtâj, Dar al-Fikr, vol. II, h. 310. Zakariya bin
Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari Abu Yahya, Fath al-
Wahâb, cet. I, 1418 H., Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. I, h.
411, dll.
229
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
modal dirham dan dinar hanya relevan untuk
zamannya, karena pada saat itu kedua alat tukar
tersebut merupakan kurensi (medium of exchange)
yang sama sekali tidak dapat digantikan oleh alat
tukar yang lain. Pada zaman sekarang ini uang
kertas telah diterima secara umum, sehingga dapat
menggantikan fungsi dirham dan dinar. Tersebab
itu, dapat disimpulkan bahwa uang kertas sah
untuk dijadikan modal dalam akad mudhârabah.
Formulasi perumusan baru ini juga telah disinggung
oleh pakar-pakar fiqh kontemporer seperti Musthafa
al-Hin dan Musthafa al-Bugha dalam karya mereka
berdua, Fiqh al-Manhaji. Formulasi wajah baru
tersebut, menurut keduanya, relevan untuk
diaplikasikan dalam akad musyârakah (Partnership,
Project Financing Participation),35 sebagai jaminan
gadai (borg, watsiqah), dan lainnya.36
Kesimpulan
Fiqh sebagai sebuah dokumen hukum selalu
dituntut tampil dalam bentuk perwajahan baru
yang memiliki elastisitas dan relevansi. Penampilan
baru tersebut merupakan konsekuensi logis dari
adanya perubahan situasi dan kondisi. Korelasi
antara reaktualisasi dengan perubahan situasi dan
35
Secara global, prinsip bagi hasil (profit-sharing) dalam
perbankan syariat Islam dapat dilakukan dalam empat bentuk akad
utama, yaitu musyârakah, mudhârabah, muzâra’ah, musâqah.
Musyârakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana atau amal dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai
kesepakatan.
36
Mushthafa al-Hin dan Mushthafa al-Bugha. Op. cit., h. 64.
230
Kontekstualisasi Turâts
kondisi merupakan hubungan kait kelindang ibarat
dua sisi mata uang yang hanya dapat dibedakan
tetapi tidak dapat dipisahkan. Artinya reaktualisasi
harus dilakukan sepanjang situasi dan kondisi
berubah demi menuai elastisitas hukum Islam.
Dalam literatur Islam, terdapat hadits sahih
terkenal yang menunjukkan keniscayaan
pembaruan pemikiran hukum Islam. Hadits
tersebut adalah riwayat Abu Daud dan Abu
Hurairah, yang berbunyi “Setiap penghujung abad
akan terdapat pembaharu terhadap interpretasi
agama’’. Kaidah fiqh juga mendeklarasikan hal
serupa:
َ ْ َ لَينكَُر تغَيُر ال
ن َ حكَام ِ بتغَير الْز
ِ ما
‘‘Tidak dapat dipungkiri berubahnya (teknis)
hukum sebab perubahan waktu’’
231