Anda di halaman 1dari 29

DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI

FIQH MUAMALAH
Telaah Seputar Kurensi Naqd dan Uang Kertas

Akhir-akhir ini, keinginan masyarakat


Indonesia untuk menerapkan sistem perekonomian
berbasis nilai-nilai Islami semakin menggeliat.
Keinginan itu muncul karena didasari oleh krisis
ekonomi yang berkepanjangan melanda Indonesia,
serta ketidakseimbangan ekonomi global.
Keinginan tersebut semakin menguat karena
melihat kenyataan bahwa banyak sekali bank telah
gulung tikar, di-take-over, dan harus direkapitulasi
dengan biaya ratusan triliun rupiah.
Fenomena ini, pada akhirnya menumbuhkan
anggapan bahwa sistem perekonomian yang kita
anut selama ini “tidak beres”, karena tidak ada
intervensi nilai Ilahiyyah yang melandasi perbankan
dan lembaga keuangan lainnya. Realitas ini pada
ujung-ujungnya menuntut para pecinta kajian
Islami (baca: santri) untuk menyikapinya, yakni
dengan cara menggali khazanah fiqh muamalah
Islam (Islamic commercial jurisprudence) sekaligus
mengaktualisasikan dan merevitalisasi konsepsi-
konsepsi dalam turâts klasik untuk disinergikan
dengan dunia keuangan kontemporer. Dalam
rangka aktualisasi sistem ekonomi Islam (Islamic
economic system) yang terdapat dalam kitab-kitab
klasik, di bawah ini disajikan telaah-telaah
komprehensif.
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
1. Menelisik Keberadaan Alat Tukar dalam
Ranah Historis
Dalam praktik perdagangan klasik, salah satu
bentuk transaksi adalah dengan cara barter, di
mana barang saling dipertukarkan. Pada saat itu
belum dikenal alat tukar berupa naqd (uang emas
dan perak) sama sekali. Seiring bergulirnya zaman
yang semakin maju dan tentunya diiringi
penemuan teknologi mutakhir serta munculnya
kecenderungan insan modern untuk menggunakan
sistem yang semakin praktis, akhirnya secara
perlahan sistem barter ditinggalkan dan beralih
pada sistem modern, yaitu penggunaan naqd
sebagai kurensi (alat takar) dalam transaksi. Dalam
sejarah Islam tercatat, pelaku pertama transaksi
yang memakai kurensi berupa emas dan perak
adalah Nabi Tsits bin Adam as.1 Namun versi lain
menyebutkan bahwa pengguna naqd pertama kali
adalah masyarakat pada periode Ashhâb al-Kahfi,
tapi pendapat yang kedua ini perlu ditelaah
kembali sebab al-Qur’an telah mencatat
keberadaan dirham beredar sejak masa kecil Nabi
Yusuf as. Padahal era Nabi Yusuf as. jauh lebih dulu
dibanding masa Ashhâb al-Kahfi.2
Sementara China yang masyhur dengan dunia
bisnisnya, merupakan negara pertama yang
memperkenalkan kurensi berupa uang kertas. Ibnu
Batuthah mengatakan, masyarakat China tidak
1
Syaikh Muhammad al-Hanafi, Bada’i al-Zuhûr, Semarang:
Hidayah, h. 50-51.
2
Hasan Abdullah Amin, Ahkâm al-Taghayyur al-Qîmat
al-‘Umalât al-Naqdiyyah wa Asy‘ariha fi Tasdîd al-Qard, cet. I, 2000,
Dar al-Nafis, h. 29. Bandingkan al-‘Alamah al-Shâwi, Hâsyiyah
al-‘Allamah al-Shâwi, al-Hidayah, vol. III, h. 6.

204
Kontekstualisasi Turâts
pernah melakukan transaksi dengan dirham dan
dinar, tetapi lebih cenderung memakai eksemplar
yang diedarkan secara central oleh pihak negara
dengan nama Balasty. Hal itulah yang
menyebabkan masyarakat China menolak
menggunakan dirham dan dinar. Menurut beliau,
jika ditinjau dari setting historis, uang kertas
dipakai setelah uang dinar. Sedang negara Arab,
Irak dan Iran mengenal uang kertas pada sekitar
tahun 693 H.3
Adapun legalisasi penggunaan uang kertas
bagi umat Muslim diyakini terjadi sejak Dawlah
‘Utsmâniyyah (1862 M.), hanya saja legalisasi yang
diprakarsai oleh ‘Utsmâniyyah belum mendapat
respon secara luas dari masyarakat. Hal tersebut
dikarenakan minimnya kepercayaan mayoritas
penduduknya terhadap eksistensi uang kertas pada
waktu itu, dan masyarakat setempat memandang
penggunaannya bertentangan dengan tradisi
mereka dalam bertransaksi. Di sela-sela Perang
Dunia Pertama (1333 H., 1914 M.-1337 H., 1918 M.)
Daulah ‘Utsmâniyyah runtuh. Pada saat itulah uang
kertas ditarik dari peredaran, kemudian kurensi
emas serta perak kembali mendominasi di pasaran.
Meskipun demikian, sebagian negara Islam ada
yang tetap memakai uang kertas sebagai alat tukar
hingga sekarang.4

2. Definisi Naqd

3
Hasan Abdullah Amin. Op. cit., h. 39.
4
Ibid, h. 39-41.

205
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
Al-Mahalli mengartikannya dengan i’thâ‘
hâlan yang berarti pembayaran kontan (cash),
sedangkan yang dikehendaki dalam bab zakat
adalah perbandingan antara komoditi dan hutang.5
Secara terminologis, ia hanya dikaitkan pada dinar
dan dirham.6 Sedangkan naqd menurut Imam al-
Musyaraf, tidak hanya diterapkan pada uang yang
terbuat dari emas dan perak saja. Meskipun al-
Qur'an hanya menyebutkan keduanya, akan tetapi
hal itu hanya sebatas istilah saja, dan tidak
menutup kemungkinan uang kertas juga dapat
dikategorikan sebagai naqd.7
Imam Ahmad berpendapat, uang kertas
(awraq al-naqdiyyah, banknote) adalah mata uang
yang diedarkan secara luas sebagai kurensi yang
digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
transaksi (demand money for transaction), baik
sebagai alat untuk membeli barang, honorarium
maupun pelunasan hutang (redeem).8 Sedangkan
versi lain mendefinisikan naqd sebagai kurensi
yang mempunyai fungsi primer dalam pelunasan
hutang, dan sebagai salah satu alat kalkulasi atau
standarisasi harga (standart of value, miqyâs al-
qiyâm) yang diedarkan demi memenuhi standar
perhitungan, hutang piutang, harga komoditi, dan
honorarium.9

5
Syihabuddin al-Qulyubi, al-Qulyûbi, Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah, vol. II, h. 28.
6
Hasan Abdullah Amin. Op. cit., h. 32.
7
Ibid, h. 29.
8
Abi Su’ud bin Muhammad al-‘Arandi, al-Ahkâm fi Jawâz al-
Waqf al-Naqd, h. 7.
9
Kamus Misbah al-Munîr, h. 237.

206
Kontekstualisasi Turâts

3. Nilai Mata Uang Kertas


Di Indonesia, pemerintah memberikan
wewenang kepada Bank Indonesia (BI) untuk
mengeluarkan uang. Pemerintah sendiri juga
mengeluarkan uang, akan tetapi sejak tahun 1968
M uang keluaran pemerintah tidak lagi beredar.
Sejak itu pula, kewenangan mengeluarkan uang
sepenuhnya dilimpahkan ke BI. Di samping
mengeluarkan uang, BI bertugas menjaga stabilitas
nilai uang dengan cara menyediakan jaminan emas
untuk setiap uang baru yang dicetak dan
diedarkan. Jadi, di BI tersimpan sejumlah emas
sebagai jaminan uang yang beredar. Uang yang
dikeluarkan BI ada dua macam:
1. Uang Kartal, yaitu uang kertas dan uang logam
yang terbuat dari perunggu atau aluminium.
Pada uang ini terdapat tulisan Bank Indonesia,
angka nilai dan tahun pengeluaran, khusus pada
uang kertas terdapat tanda tangan Gubernur BI
dan Direktur. Setiap uang kartal punya dua nilai:
1) Nilai Nominal; nilai yang tertulis pada mata
uang itu sendiri; 2) Nilai Intrinsik; nilai (harga)
bahan yang digunakan untuk membuat mata
uang. Hanya saja nilai ini pada uang kertas
hampir tidak ada, karena rendahnya harga
kertas. Tapi meskipun demikian, masyarakat
tetap mau menerima uang kertas karena
pemerintah mengeluarkan uang kertas dengan
jaminan emas di bank sirkulasi (BI) seperti
keterangan di atas.
2. Uang Giral, yaitu tagihan atau rekening pada
suatu bank yang dapat dipakai sebagai alat

207
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
pembayaran dengan perantara cek, giro,
perintah membayar atau telegraphic transfer
(TT).10

Sedangkan dalam khazanah literatur Islam,


para ekonom Muslim mengklasifikasi jenis kurensi
serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
sebagai berikut:
1. Comodity Money (naqd al-sil’iyyah). Uang jenis
ini nilainya sebagai komoditi sama dengan
nilainya sebagai mata uang. Artinya, mempunyai
nilai yang sebanding dengan nilai intrinsiknya.
Atau mata uang yang memiliki nilai penuh
dengan perbandingan materi (full bodied money)
seperti uang yang tercetak dari emas dan perak.
2. Representative Money (naqd al-nâ’ibah), yaitu
dokumen yang ber-backing penuh pada logam
mulia, yang dapat ditukarkan kepada pihak yang
mengeluarkan dengan logam mulia yang
menjadi dekingannya.

Dalam perspektif ekonomi Islam, dikenal


comodity money dari kertas. Hasan Abdullah Amin
dan Yusuf Qardhawi memaparkan, comodity money
terbagi menjadi dua macam:
 Tsâbitah. Ia adalah cek bank yang menyamai
kadar dari emas atau perak yang belum
tercetak, di mana nilai logam mulia yang belum
tercetak tersebut sebanding dengan nilai cek ini.
 Watsîqah. Ia adalah kertas cek yang dianggap
sebagai bukti hutang (debt evidence). Uang ini
disebut sebagai comodity money (naqd al-sil’ah)
10
IPS Ekonomi Kelas 3 SLTP, Tiga Serangkai, h. 18-32.

208
Kontekstualisasi Turâts
karena memiliki dua nilai: nilai nominal dan
intrinsik. Ketentuan dua uang kertas ini dapat
ditukar dengan emas atau perak, mengingat
keduanya marupakan representasi dari emas
dan perak.

Setelah masa penggunaan comodity money,


muncul mata uang kredit (naqd al-
i’timâniyyah/fiduciary money). Mata uang ini
memiliki nilai moneter yang jauh lebih tinggi
dibanding dengan nilai intrinsiknya. Mata uang
jenis inilah yang beredar di dunia saat ini dan
nilainya terdiri dari tiga macam:
 Nilai akuntan. Yakni nilai nominal resmi yang
tertulis pada mata uang kertas dan logam.
 Nilai moneter. Yakni nilai dari daya beli (quwat
al-syirâ’ ).
 Nilai relatif. Yakni nilai rata-rata dari dua harga
barang yang dihargai dengan satuan uang
sebagai unit pengukur. Nilai ini tidak mempunyai
stabilitas atau barubah-ubah mengikuti
perubahan rata-rata harga barang.
Yusuf Qardhawi dan Hasan Abdullah Amin
menyebut mata uang kredit ini dengan naqd al-
waraqiyyah ilzâmiyyah. Mata uang ini terdiri dari
dua macam:
 Mata uang yang dikeluarkan oleh pemerintah
(naqd al-waraqiyyah al-hukûmiyyah).
 Mata uang yang dikeluarkan oleh bank (naqd al-
waraqiyyah al-mashrafiyyah). Dua mata uang
ilzâmiyyah ini hanya mamiliki nilai nominal,
sehingga jika dicabut dari peredaran maka ia
tidak berlaku lagi sebagai kurensi. Karakteristik

209
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
uang kertas ilzâmiyyah ini tidak bisa ditukar
dengan emas dan perak.11

Uang kertas sebagai demand money for


transaction, tak luput dari fokus diskursus para
ekonom Muslim klasik maupun kontemporer,
karena keberadaannya sebagai sarana praktis
dalam dunia perekonomian global tidak pernah
lepas dari paradigma yang mengundang respon
untuk menjustifikasikan eksistensi hukumnya.
Menurut ‘Abd al-Hamid al-Syarwani, jual-beli
dengan uang kertas tidak sah, karena kriteria alat
tukar yang sah dalam yurisprudensi Islam adalah
yang bermanfaat, dapat dijadikan standar, dan
mempunyai nilai intrinsik. Sedangkan, uang kertas
nilai intrinsiknya sangat rendah dan terkadang
pada situasi tertentu nilai itu hampir tidak ada.
Pendapat ini akan terbukti akurat di saat uang
kertas dicabut dari peredarannya atau masa
berlakunya, sehingga tidak lagi berfungsi sebagai
benda yang mempunyai nilai intrinsik.12 Hal
tersebut tentunya kontras sekali dengan eksistensi
naqd yang nilai intrinsiknya selalu eksis dalam
multi kondisi perekonomian.
Sedangkan menurut Muni’,13 imam Mahfud al-
Tarmasi,14 Mushtafa al-Hin, dan Mushthafa al-
11
Pusat Kajian Ekonomi Islam (PKEI), Produk-Produk Inventasi
Bank Islam: Teori dan Praktek, Bidang Konsep dan Pemekaran, h.
53-73. Hasan Abdullah Amin. Op. cit., h. 42-43. Dr. Yusuf Qardhawi,
Fiqh al-zakât. Vol..I, h. 269.
12
Syaikh al-Syarwâni, al-Syarwâni, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah,
vol. V, h. 411.
13
Hasan Abdullah Amin. Op. cit., h. 45.
14
Syaikh Mahfud al-Tarmasi, al-Tarmasi, al-Mathba’ah
al-‘Amîrah al-Syarfiyyah bi Misr al-Hamiyyah, vol. IV, h. 29-30.

210
Kontekstualisasi Turâts
Bugha;15 meskipun uang kertas tidak mempunyai
nilai intrinsik, akan tetapi masih memenuhi kriteria
standar kurensi, karena selain memiliki nilai
moneter (quwat al-syirâ’), juga memiliki nilai
nominal sebagai standar atau bukti adanya
dekingan logam mulia. Dengan kata lain, uang
kertas yang beredar saat ini adalah representasi
dari naqd, sehingga keberadaannya bisa dijadikan
alat tukar dalam setiap transaksi.

4. Potensi Riba pada Uang Kertas


Di antara ajaran Islam yang diproyeksikan
menegakkan keadilan dan menghapuskan
eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah larangan
pada semua bentuk peningkatan kekayaan yang
tidak adil, termasuk riba. Seperti dalam kasus-
kasus lain, riba dilarang Islam secara gradual. Pada
fase pertama, turun surat al-Rûm: 39 yang
menyatakan: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-
orang yang melipat gandakan pahalanya.” Dalam
ayat ini Allah swt. mencela riba dan memuji zakat.
Ayat ini secara halus menyebutkan riba tidaklah
baik dan tidak bermanfaat bagi pelakunya, karena
si pelaku tidak akan mendapat pahala di sisi Allah
Ta‘ala.
15
Mushthafa al-Hin dan Mushthafa al-Bugha, Fiqh al-Manhaji,
cet. IV, 1996 M., Beirut: Dar al-Qalam, vol. VII, h. 94-95.

211
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
Pada fase kedua, turun surat al-Nisâ’: 160-161
yang menyatakan: “Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Dalam ayat ini Allah swt. menjelaskan bahwa riba
diharamkan bagi orang Yahudi.16 Namun mereka
16
Larangan bunga bagi orang Yahudi itu terdapat di dalam
kitab suci mereka. Baik dalam Perjanjian Lama (Old Testament)
maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus pasal 22 ayat 25
menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah satu
umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau
berlaku sebagai penagih utang terhadap dia: janganlah engkau
bebankan bunga hutang kepadanya.” Kitab Deutoromi pasal 23
ayat 19 menyatakan: “Janganlah engkau membungakan kepada
saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang
dapat dibungakan.” Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37
menyatakan: “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba
darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya
saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi
uang kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Konsep Bunga juga dikenal dikalangan Romawi dan Yunani.
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I
Masehi, terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut
bervariasi, namun secara umum nilai bunga tersebut dikategorikan
sebagai berikut: pinjaman biasa=6% - 18%, pinjaman properti=6%
- 12%, pinjaman antar kota=7% - 12%, dan pinjaman perdagangan
dan industri=12% - 18%. Sedang pada masa Romawi, sekitar abad
V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang
yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama
tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang
dibenarkan hukum. Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM),

212
Kontekstualisasi Turâts
melanggar larangan tersebut dan hal itu
merupakan suatu penyebab kemurkaan Allah swt.
terhadap mereka. Jika dicermati, dalam ayat ini
Allah swt. telah memberikan isyarat bahwa riba itu
diharamkan bagi orang Yahudi, akan tetapi belum
menegaskan riba juga diharamkan bagi umat
Muslimin.

kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Akan tetapi,


pada masa Unciaria (88 SM), praktik tersebut diperbolehkan
kembali. Ada empat jenis bunga pada zaman Romawi, yaitu
sebagai berikut: bunga maksimal yang dibenarkan=8% - 12%,
bunga pinjaman biasa di Roma=4% - 12%, bunga untuk wilayah
taklukan Roma=6% - 100%, dan bunga khusus Byzantium=4% -
12%. Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dikecam
habis-habisan oleh para ahli filsafat Yunani terkemuka, di
antaranya Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (234-149 SM). Dua
ahli filsafat tersebut mengecam bunga. Plato mengecam bunga
berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan
perpecahan dan perasaan tidak puas diantara masyarakat. Kedua,
bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi
golongan miskin. Aristoteles berpendapat bahwa fungsi uang
adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange, bukan alat
untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga
menyebutkan bunga sebagai “uang yang berasal dari uang yang
keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi”.
Singkat kata, para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap
bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji.
Konsep bunga juga ditemui dikalangan Kristen. Kitab
Perjanjian Baru tidak menjelaskan secara jelas. Akan tetapi,
sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang
terdapat dalam Lukas 6:34-35 sebagai ayat yang melarang bunga.
Ayat tersebut menyatakan: “Dan, jikalau kamu meminjamkan
sesuatau kepada orang karena kamu berharap akan menerima
sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun
meminjamkan kepada orang yang berdosa supaya mereka
menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu
dan berbuat baiklah kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan
menjadi anak-anak Tuhan yang maha tinggi sebab ia baik terhadap
orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-

213
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
Pada fase ketiga, turun surat Ali Imran: 130
yang menegaskan: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
“berlipat ganda” dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.” Ayat ini
turun pada tahun ke-3 Hijriyyah. Dus, baru dalam
ayat ini Allah swt. menegaskan secara ekplisit
tentang keharaman riba bagi kaum Muslimin.
Dalam ayat ini, keharaman riba dikaitkan dengan
suatu tambahan yang berlipat ganda (adh’âfan
mudhâ’afan), karena memang saat itu
pengambilan bunga dengan tingkatan berlipat
ganda adalah merupakan fenomena yang acap kali
dipraktikkan.
Fase keempat, turun surat al-Baqarah: 278-
279 yang menyatakan: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Ayat ini turun pada tahun ke-9 Hijriyyah. Dalam
ayat ini, Allah swt. secara tegas mengharamkan
riba secara mutlak, baik sedikit maupun yang

orang jahat.” Ketidaktegasan ayat tersebut menyebabkan


perkhilafan: 1) para pendeta awal Kristen (abad I-XII)
mengharamkan bunga; 2) para sarjana Kristen (abad XII-XVI)
berkeinginan agar bunga diperbolehkan; dan 3) para reformis
Kristen (abad XVI-tahun 1836) menghalalkan bunga. Selengkapnya
baca dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke
Praktik, cet. VII, 2003, Gema Insani Press, h. 43-47.

214
Kontekstualisasi Turâts
berlipat ganda, karena Allah swt. memerintahkan
kaum Muslimin untuk meninggalkan “sisa riba” dari
tambahan yang berlipat ganda yang belum
dipungut.
Dari keempat fase di atas, surat Ali Imran
ayat 130 (dalam fase ketiga) merupakan ayat yang
harus dipahami dengan metode interpretasi
korelatif-hermeneutis; penafsiran dengan cara
mengaitkan pada ayat-ayat dalam fase-fase yang
lain, khususnya fase keempat. Interpretasi korelatif-
hermeneutis ini mutlak dibutuhkan, karena sekilas
ayat tersebut seakan-akan hanya melarang riba
yang berlipat ganda. Rawannya pemahaman
terhadap surah Ali Imran di atas telah
mengakibatkan banyaknya cendekiawan Muslim
yang berpendapat bahwa riba (bunga) yang haram
adalah hanya yang berlipat ganda, sedangkan suku
bunga yang wajar, sedikit, tidak merugikan, dan
tidak menzalimi orang lain hukumnya
diperbolehkan. Akan tetapi, melalui pengkaitan
(interpretasi korelatif) dengan ayat pada fase
keempat, kita dapat menyimpulkan bahwa
pendapat beberapa cendekiawan tersebut keliru.
Karena dalam fase keempat telah dijelaskan
tentang keharaman riba meskipun sedikit.
Selain interpretasi korelatif, dalam memahami
surat Ali Imran tersebut juga sangat diperlukan
penjelasan dengan metode interpretasi gramatis-
hermeneutis; penafsiran dengan cara membedah
kata-kata adh’âfan mudhâ’afan (berlipat ganda)
dari aspek linguistiknya. Berdasarkan disiplin
gramatika Arab, kriteria “berlipat ganda” dalam
ayat tersebut harus dipahami sebagai hal dari riba

215
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
yang dipraktikkan pada saat itu, dan sama sekali
bukan merupakan syarat. Karena jika diposisikan
sebagai syarat, maka konsekuensinya akan
memunculkan kesimpulan bahwa jika terjadi
pelipatgandaan, maka riba yang haram, sedang
kalau tambahan itu kecil bukan riba yang haram.
Dengan demikian, salah besar bila kata-kata
adh’âfan mudhâ’afan diposisikan sebagai syarat.17
Kesalahan fatal itu dapat dibuktikan melalui
peninjauan gramatikal secara kritis pada kata-kata
itu. Secara gramatis, kata-kata dha’fu berarti
‘kelipatan’, sedangkan sesuatu yang berlipat
minimal 2 kali lebih besar. Sementara kata-kata
adh’âf adalah bentuk kata plural (jama’) dari
kelipatan tadi. Dan minimal jama’ adalah 3. Dengan
demikian, kata-kata adh’âfan berarti 3x2=6 kali.
Adapun kata-kata mudhâ’afan dalam ayat di atas
berfungsi sebagai sifat. Dengan demikian, jika
“berlipat ganda” diposisikan sebagai syarat maka
sesuai dengan konsekuensi bahasa, batas minimun
haruslah 6 kali lipat atau bunga 600%. Secara
faktual-operasional dalam perbankan dan nalar
sehat, kelipatan angka itu tidak mungkin bisa
terjadi dalam proses perbankan maupun simpan
pinjam.
Dengan demikian dapat dipahami betapa
urgen dan signifikan-sinya cara penafsiran secara
korelatif-hermeneutis dan interpretasi gramatikal.
Tanpa perangkat itu, penafsiran teks-teks
keagamaan secara obyektif sulit untuk dituai, dan
17
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi
Abu ‘Abdillah, al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, cet. II, Kairo: Dar al-
Sya’bi, vol. IV, h. 202. Lihat juga dalam Muhammad bin Ali al-
Syawkani, Fath al-Qadîr, Beirut: Dar al-Fikr, vol. I, h. 380-381.

216
Kontekstualisasi Turâts
bahkan tak jarang menyebabkan pemahaman yang
keliru.
Secara garis besar riba menurut Hanafiyyah,
Malikiyyah, dan Hanbaliyyah, diklasifikasikan
menjadi dua: riba fadhl dan riba nasi’ah. Sedang
menurut Syafi’iyyah, riba diklasifikasikan menjadi
empat: 1) riba fadhl; pertukaran antarbarang ribawi
yang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda; 2) riba al-yad; jual beli dengan
penangguhan penerimaan dua barang yang
dipertukarkan atau salah satunya tanpa
menyebutkan batasan tempo; 3) riba nasâ‘i; jual
beli dengan syarat tempo pada penyerahan atau
penerimaan salah satu barang yang dipertukarkan,
meskipun tempo itu berdurasi singkat. Imam al-
Mutawali menambahkan satu jenis riba, yaitu riba
qardh; suatu manfaat atau kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap pihak yang berutang
(muqtaridh). 18

Terkait kelindang dengan pembahasan


seputar potensi riba pada intriksik uang kertas,
kajian ini akan diarahkan pada riba fadhl. Seperti
halnya penjelasan literatur turâts klasik, dasar
normatif larangan riba fadhl adalah beberapa
sabda Rasulullah saw., di antaranya: “(jual beli)
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, jelai dengan jelai (sya’ir), kurma
dengan kurma, garam dengan garam, (apabila)
satu jenis (harus) sama (kualitas dan kuantitasnya)
dan dilakukan secara tunai. Apabila jenisnya

18
Wizarah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islamiyyah bi al-Kuwait,
al-Mausû’ah al-Fiqhiyah, cet. Wizarah al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, vol.
XII, h. 56.

217
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
berbeda, maka jual-lah sesuai dengan kehendakmu
dengan syarat secara tunai.” (HR. mayoritas ahli
hadîts dari ‘Ubadah bin Shamit).19
Berangkat dari pemahaman terhadap Hadîts
tersebut, para pakar hukum Islam menyimpulkan
bahwa, jenis-jenis harta ribawi yang dijelaskan oleh
nash hanya berjumlah enam: emas, perak,
gandum, jelai, kurma, dan yang terakhir garam.
Dari keenam komoditas yang disebutkan dalam
Hadîts di atas, dua di antaranya mewakili
komoditas uang (commodity money), sedangkan
yang lainnya mewakili bahan pokok makanan.
Dalam memahami Hadîts ini, ulama bersilang
pendapat. Versi pertama adalah kelompok
tekstualis-literalis yang terdiri dari Thawus, Masruq,
al-Sya’bi, Qatadah, ‘Utsman al-Batty, Dawud al-
Zhahiri, dan para penentang metode penalaran
qiyâs. Aliansi kelompok tekstualis ini dengan
lantang mendengungkan tidak berlakunya hukum
riba pada selain keenam jenis barang ribawi di
atas.20 Corak pemahaman seperti ini, jika ditinjau
dari metodologi hermeneutika Barat, paralel
dengan teori yang diusung oleh Edmund Gustay
Albrecht Husserl, di mana sebuah teks hanya
dipahami sebagaimana adanya.21 Dalam diskursus
ini, khususnya dalam pembahasan emas dan perak,
madzhab Syafi’iyyah menyatakan bahwa ‘ilat
(ratio-legis) dalam dua barang tersebut adalah jenis
19
Ibid, h. 59-60.
20
Ibid. Lihat pula dalam Abi Hasan ‘Ali bin Muhammad bin
Habib al-Mawardi, al-Hâwi al-Kabîr, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, vol.
VI, h. 93-105.
21
Selengkapnya telaah dalam tema hermeneutika poros
tengah.

218
Kontekstualisasi Turâts
commodity money (jinsiyyah al-atsmân ghâliban)
dalam mayoritas bentuk transaksi, atau materi
commodity money (jawhariyyah al-atsmân). Dalam
literatur Syafi’iyyah, ‘ilat tersebut dikategorikan
sebagai ‘ilat qashirah; ratio-legis yang tidak
mempunyai fungsi sebagai landasan analogi.
Dengan demikian, hukum riba pada kurensi emas
dan perak tidak bisa dikembangkan pada kurensi
lain seperti uang kertas. Pola nalar Syafi’ian
tersebut, dalam batas tertentu, setidaknya juga
dapat digolongkan pada aliansi tekstualis-literalis,
sebab dengan peniadaan analogi di atas dapat
dikatakan bahwa, Syafi’iyyah tidak memperlebar
cakrawala makna dalam teks dzahab (emas) dan
fidhah (perak). Interpretasi tekstualis ini pada
akhirnya menggiring suatu kesimpulan bahwa uang
kertas tidak termasuk harta ribawi, karena ia tidak
dapat dianalogikan dengan emas maupun perak,
meskipun ia merupakan kurensi yang ber-backing
pada dua logam mulia.22
Versi kedua adalah kelompok kontekstualis.
Aliansi ini terdiri dari madzhab Hanbaliyyah,
Malikiyyah, Hanafiyyah. Ketiga madzhab tersebut
masing-masing mempunyai struktur penalaran
yang bervariasi yang akan kami uraikan di bawah
ini.
Dalam perspektif Hanbali, terjadi kontradiksi,
tetapi menurut pendapat yang lebih populer
(asyhar) dinyatakan bahwa ‘ilat riba dalam emas
dan perak adalah jenis barang berstandar
timbangan (mawzûn al-jinsi). Oleh sebab itu, pintu
22
Wizarah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islamiyah bi al-Kuwait.
Loc. cit.

219
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
analogi menjadi terbuka bagi setiap jenis materi
yang mempunyai standarisasi timbangan. Dengan
demikian uang kertas tidak termasuk harta ribawi
karena standarnya bukan timbangan.
Sementara Malikiyyah mempunyai pandangan
yang sedikit berbeda, mereka menegaskan ‘ilat riba
dalam kurensi emas dan perak adalah commodity
money (tsamaniyyah). Dengan demikian
keharaman riba juga terdapat pada uang kertas
berdasarkan inferensi-analogis (istinbâth-qiyâsi).
Pandangan ini senada dengan madzhab
Hanafiyyah, tetapi Hanafiyyah lebih memilih
pendekatan hermeneutis dengan cara menelisik
konteks historis yang melatari munculnya Hadîts
‘Ubadah bin Shamit. Telaah dengan model regresif
tersebut dicanangkan guna menelanjangi sosio-
kultural dan ekonomi yang menyebabkan mengapa
teks Hadîts tersebut berbunyi demikian, yakni teks
yang hanya membatasi pada enam jenis harta
ribawi. Ternyata, menurut mereka, pembatasan
tersebut mempunyai tali kaitan erat dengan
konteks perekonomian yang dipraktikkan pada saat
itu, di mana pada umumnya dunia perdagangan
masih berkisar pada jenis-jenis komoditas tersebut,
dan kurensi emas dan perak merupakan dua
komoditas uang yang menjadi alat tukar yang
terlaku pada zaman itu.
Setelah melakukan gerak regresif guna
memantau perekonomian masa lalu, madzhab
Hanafiyyah melanjutkan kerja penafsirannya
dengan gerak progresif dalam rangka membumikan
ruh Hadîts tersebut pada realitas kekinian. Tugas ini
oleh Hanafiyyah didasarkan pada analogi kurensi

220
Kontekstualisasi Turâts
uang kertas terhadap emas dan perak dengan
landasan ‘ilat berupa commodity money (atsmân
al-asyyâ’) dan mempunyai potensi berkembang
(namâ’). Dengan demikian, Hanafiyyah
memandang bahwa ketentuan harta ribawi juga
terlaku dalam uang kertas.23

Kesimpulan bahwa uang kertas termasuk


harta ribawi sebagai-mana di atas, dalam kaitannya
dengan perbankan Islam, mempunyai implikasi
ketentuan tukar-menukar antara barang ribawi
dengan uraian sebagaimana berikut:
a) Tukar-menukar (jual beli) antara barang-
barang ribawi dalam jenis yang sama hendaklah
dalam kualitas dan kuantitas yang sama (jumlah
serta kadarnya sama). Di samping itu barang
tersebut harus diserahkan pada saat transaksi jual
beli. Misalnya, penukaran rupiah dengan rupiah
hendaklah Rp 1.000 dengan Rp 1.000, dan
diserahkan ketika transaksi, tidak boleh Rp 1.000
dengan Rp 8.000.
b) Jual beli antar barang-barang ribawi yang
berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan
kadar yang berbeda dengan syarat barang tersebut
diserahkan pada saat transaksi jual beli, seperti
transaksi di bank-bank valuta asing, di mana mata
uang dolar Amerika Serikat (US$) ditukar dengan
rupiah atau mata uang asing lainnya. Misalnya, Rp

23
Dr. Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islami, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, vol. IV, h. 676. Sedangkan untuk zakat tanaman bagi
Hanafiyyah semua jenis tanaman wajib dizakati kecuali rumput dan
bambu.

221
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
8.000 dengan 1 dollar Amerika. Hal ini boleh
dengan syarat diserahterimakan saat transaksi.25

5. Zakat Uang Kertas


Allah swt. adalah pencipta alam raya beserta
isinya dan Dia-lah pemilik kekayaan sejati. Manusia
pada hakikatnya hanyalah penerima titipan dari-
Nya sebagai amanat (commendation) agar
dialokasikan sesuai dengan aturan yang dibuat oleh
pemilik sejati (real owner). Zakat, sedekah, infak
merupakan beberapa ketentuan Allah swt. yang
bersing-gungan dengan properti. Ketentuan ini
dijadikan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan
manusia seluruhnya. Oleh karena itu, ia harus
dialokasikan untuk kepentingan bersama.

Manusia adalah makhluk sosial yang hidup


dalam masyarakat dan berinteraksi, dengan
kebersamaan dan toleransi. Manusia tidak dapat
hidup secara normal tanpa komunitas. Harkat
martabat, pengetahuan, dan kemuliaan yang
diperolehnya tidak lepas dari peran komunitas
tempat dia hidup. Demikian juga dalam dataran
material, betapapun mempunyai kompetensi di
atas rata-rata, namun hasil yang telah ia capai tak
lepas berkat bantuan pelbagai elemen masyarakat,
dan pemanfaatan materi yang telah disediakan
oleh Allah Ta‘ala. Dalam berkreasi dan
memproduksi, manusia hanyalah melakukan
perubahan, penyesuaian, perakitan suatu materi
dengan materi yang lainya. Sehingga wajar bila
25
Majma’ al-Fiqh al-Islâmi al-Hindi, no. 3.

222
Kontekstualisasi Turâts
Allah swt. menginstruksikan mengeluarkan
sebagian harta yang diamanatkan pada seseorang
demi kepentingan orang lain. Oleh karenanya,
zakat ditetapkan Allah swt. sebagai manifestasi
seluruh paparan yang telah disebutkan di atas.
Secara leksikal, kata “zakat” berarti “berkah”,
“tumbuh”, “bersih”, “baik”, dan “bertambah”.
Sedangkan secara terminologis, zakat adalah
sebutan bagi sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah swt. agar diserahkan pada orang-
orang yang berhak. Istilah zakat sering dilansir
dalam al-Qur'an yang dikomparasikan dengan kata
shalat. Ada sekitar dua puluh enam kata zakat yang
selalu dikaitkan dengan kata shalat. Penyebutan
dengan munâsabah-korelatif ini menunjukkan
urgensitas dan signifikansi peran zakat dalam
kehidupan umat Islam. Al-Qur'an tidak
menyebutkan secara terperinci tentang harta apa
saja yang wajib dizakati, bagaimana syarat-
syaratnya, dan berapakah kadar yang harus
dikeluarkan. Penjelasan tentang hal-hal tersebut
diambil alih oleh Hadîts.26 Kemudian para pakar
hukum Islam berupaya merumuskan harta-harta
zakawi melalui pemahaman terhadap teks-teks
keagamaan tentang zakat dan praktik Nabi
Muhammad saw. saat memungut zakat.
Berangkat dari pemahaman terhadap legislasi
al-Qur’an dan Hadîts tentang kewajiban zakat
beserta jenis-jenis harta yang harus dizakati,
akhirnya muncul berbagai ragam-corak inferensi
hukum. Ada yang mempersempit kewajiban zakat
hanya pada jenis harta yang sudah dijelaskan oleh
26
Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat, vol. I h. 123.

223
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
al-Qur’an dan Hadîts, seperti unta, sapi, kambing,
gandum, kurma, emas, perak, dan lainnya, tanpa
memasukkan naqd (kurensi yang tercetak dari
emas dan perak). Versi pertama ini adalah
pendapat kalangan tekstualis-literalis, di antaranya
Ibn Hazm.
Versi kedua mencoba memasukkan naqd
dalam daftar harta yang wajib dizakati, tetapi tidak
melakukan analogi pada uang kertas. Versi kedua
ini disinyalir merupakan pendapat Imam Ahmad,
Malik, dan al-Syafi’i. Yusuf Qardhawi dalam
mengomentari versi kedua ini menyatakan, bahwa
paradigma seputar uang kertas adalah paradigma
modern. Artinya kurensi uang kertas belum ada
pada masa Ahmad, Malik, dan Syafi’i. Oleh sebab
itu, wajar apabila mereka tidak mencoba
menganalogikan uang kertas dengan naqd.27
Sementara versi ketiga, yakni kalangan
Hanafiyyah, lebih memilih pendekatan secara
hermeneutis dalam rangka memperluas cakrawala
makna dari teks-teks tentang zakat. Dengan
bertitik-pijak pada metode pendekatan itu, kubu
Hanafiyyah mengafirmasi kewajiban zakat pada
uang kertas.

Pendekatan hermeneutis yang dilakukan


Hanafiyyah berangkat dari interpretasi linguistik
terhadap QS. al-Tawbat: 103 yang menyatakan:
“Ambillah zakat dari sebagian harta-harta (amwâl)
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka.” Dan Hadîts yang
menegaskan: “Berikanlah zakat harta-harta
27
Ibid, h. 273.

224
Kontekstualisasi Turâts
(amwâl) kamu.” Secara gramatis, ayat dan Hadîts
di atas mempunyai horison makna yang universal,
sebab menggunakan bentuk kata plural (jama’),
yakni kata-kata “amwâl” (harta-harta) tanpa ada
pemerincian lebih jauh. Luasnya cakupan makna
tersebut dijadikan premis-premis sebagai pijakan
penyimpulan, bahwa yang dimaksud oleh kata
amwâl adalah setiap harta yang berkembang atau
produktif (namâ’) bukan harta konsumtif (li al-
isti’mâl). Kemudian namâ’ diposisikan sebagai ‘ilat
guna menganalogikan harta-harta yang produktif
lainnya, termasuk kurensi uang kertas. Implikasi
qiyâs ini mengukuhkan kewajiban zakat pada uang
kertas.28
Inferensi-analogis di atas diperkuat lagi oleh
Yusuf al-Qardhawi dan Wahbah al-Zuhayli.
Wahbah al-Zuhayli berpendapat, pernyataan
yang mewajibkan zakat pada uang kertas adalah
sudah tepat. Dengan argumen: 1) dewasa ini uang
kertas telah menjadi harga komoditi (commodity
price, atsmân al-asyyâ’); 2) bertransaksi dengan
emas sudah tidak diperbolehkan oleh negara
sehingga berimbas pada penolakan pasar
terhadapnya; 3) semua negara tidak
memperbolehkan penukaran uang kertas dengan
emas atau perak. Berdasarkan argumen ketiga ini,
Wahbah mengatakan bahwa upaya fuqaha
(termasuk sebagian Syafi’iyyah) yang
menganalogikan uang kertas dengan piutang yang
belum jatuh tempo tidak dapat dibenarkan, karena
secara lazim, pemberi hutang sudah tidak bisa lagi
memanfaatkan uang yang ia hutangkan. Nah, hal
28
Ibid, h. 146.

225
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
ini kontras sekali dengan eksistensi uang kertas, di
mana pemiliknya dapat mengalokasikannya
kapanpun, sehingga menurut Wahbah tetap ada
kewajiban zakat dengan status zakat piutang yang
telah terlunasi (cash). Adapun kewajibanya adalah
2,5 % (=rubu’ al-‘usyr) dengan standar nishabnya
emas, yaitu 20 dinar atau mitsqâl (+ 85 gram).29
Qardhawi juga menyatakan, kurensi uang kertas
harus dizakati karena telah mampu menggeser
posisi kurensi emas dan perak, memiliki nilai
moneter, berperan sebagai demand money for
transaction, instrumen transaksi yang praktis, dan
sarana memperoleh interest dalam bidang usaha.
Hal-hal tersebut mengilustrasikan bahwa ia
merupakan harta produktif.30

Sementara itu, para ulama era modern


pengikut madzhab Syafi’iyyah bersilang pendapat.
Imam Salim bin Samir dan Habib Abdullah
berpandangan, bahwa dalam setiap transaksi yang
dikehendaki pelaku adalah emas dan perak di bank
sirkulasi, bukan intrinsik (dzatiyyah) uang kertas itu
sendiri. Jadi, kurensi uang kertas hanyalah sebagai
bukti kepemilikan seseorang atas emas dan perak
tadi, sehingga memiliki uang kertas dianggap
memiliki piutang (receivable debt, qabil al-dain)
berupa emas dan perak. Berdasarkan pandangan
itu, mereka berdua mewajibkan mengeluarkan
zakat barang (’ayn) mengingat uang kertas
merupakan representasi dari emas dan perak.

29
Dr. Wahbah al-Zuhaili. Op. cit., vol. II, h. 772-773.
30
Dr. Yusuf Qardhawi. Op. cit., h. 273.

226
Kontekstualisasi Turâts
Versi kedua, yakni pendapat Muhammad al-
Anbbi dan Habib Abdullah bin Abi Bakar,
menyamakan uang kertas dengan fulus. Alasannya,
yang dikehendaki pelaku transaksi adalah esensi
uang tersebut bukan logam mulia yang menjadi
dekingan. Oleh sebab itu, uang kertas tidak wajib
dizakati dengan status zakat barang (‘ayn). Wajib
zakat sebagai zakat tijarah hanya jika ada tujuan
tijarah saat mengalokasikannya sebagai modal
usaha. Meskipun perbedaan dua versi tersebut
tajam, namun di sisi lain mereka semua sepakat
bahwa uang kertas yang hanya disimpan (kept
money) tidak wajib dizakati.31
Pun demikian, Imam al-’Alamah ‘Abd al-Hamid
al-Syarwani dalam kitabnya al-Syarwâni
mengatakan tidak wajib membayar zakat uang
kertas bagi pemiliknya, tanpa menjelaskan
argumen konkretnya.32 Namun pendapat ini
ditentang keras oleh Syaikh Mahfudh al-Termasi.
Menurutnya, uang kertas mempunyai nilai (price),
karena ia merupakan representasi dari emas dan
perak. Tersebab itu, tidaklah logis jika uang kertas
tidak wajib dizakati.33

5. Peran Uang Kertas dalam Akad


Mudhârabah,
Musyârakah, dan lainnya.
Manusia terlahir di dunia dibekali oleh Allah
swt. dengan aneka ragam karakter, keahlian, dan

31
Syaikh Mahfud al-Tarmasi. Loc. cit.
32
Al-Syarwany. Loc. cit.
33
Syaikh Mahfud al-Tarmasy. Loc. cit.

227
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
ketangkasan. Suatu keahlian yang dimiliki seorang
belum tentu dimiliki orang lain. Seorang yang
berlimpah harta misalnya, belum tentu ia dapat
mengelola secara profesional terhadap anugrah
harta pemberian Tuhan kepada dirinya, sehingga
jika ia memaksakan untuk menjalankan roda
bisnisnya kemungkinan besar ia akan terjerumus ke
dalam kebangkrutan. Di sisi lain, ada manusia yang
dikaruniai kemampuan manajerial mamadai,
namun tidak disertai adanya modal, sehingga sia-
sialah pelbagai potensi yang melekat pada masing-
masing individu.
Islam membuka solusi saling menguntung
terhadap dua jenis kapasitas manusia di atas.
Dalam konteks hukum Islam, hal itu dikenal, salah
satunya, dengan istilah mudhârabah (Trust
Financing, Trust Investment). Secara teknis,
mudhârabah adalah akad kerja sama usaha antara
dua pihak di mana pihak pertama (shâhib al-mâl)
menyediakan seluruh modal (100%), sedang pihak
lainnya menjadi pengelola. Profit usaha secara
mudhârabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedang apabila rugi
maka ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalaian si pengelola maka ia
harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Seperti lazimnya sistem ekonomi, dalam akad ini
juga terdapat potensi kerugian di salah satu pihak
atau bahkan keduanya disebabkan tidak adanya
kepastian laba yang akan diraih. Untuk
mangantisipasi atau meminimalisir terjadinya

228
Kontekstualisasi Turâts
kerugian, para fuqaha merumuskan beberapa
persyaratan di dalamnya. Salah satunya adalah
modal harus berupa naqd (uang emas dan perak),
sebab ia merupakan alat tukar yang dapat diterima
secara umum (generally acceptable). Dalam
redaksi kitab-kitab fiqh klasik secara umum
dinyatakan modal mudhârabah haruslah berupa
dua mata uang tersebut. Konsekuensinya, akad
mudhârabah tanpa modal itu adalah tidak sah.34
Berpijak dari persyaratan itu, dapatkah uang kertas
dijadikan modal mudhârabah?

Dalam upaya mengkaji ulang konsep modal


investasi yang ditawarkan oleh ekonom Islam
klasik, teks-teks klasik yang tertuang dalam
khazanah turâts sebaiknya tidak dipahami secara
tekstual-literal dan alergi kritik. Karena
bagaimanapun juga semua teks selalu tunduk pada
kritik. Teks tersebut diproduksi berdasarkan konteks
yang ada pada waktu silam (muntaj al-mâdhi),
sehingga kita-lah yang bertugas
mengaktualisasikannya dalam bentuk formulasi
baru untuk dilabuhkan pada relaitas kekinian dan
kedisinian.
Berdasarkan kesadaran itu, dapat dipahami
bahwa ungkapan fuqaha yang menyatakan
ketidakabsahan akad mudhârabah kecuali dengan

34
Redaksi yang menyatakan ketidakabsahan akad tersebut
dengan modal selain dirham dan dinar dapat ditemukan dalam
beberapa fiqh klasik, di antaranya dalam al-Khathîb al-Sarbini,
Mughni al-Muhtâj, Dar al-Fikr, vol. II, h. 310. Zakariya bin
Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari Abu Yahya, Fath al-
Wahâb, cet. I, 1418 H., Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. I, h.
411, dll.

229
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Fiqh Muamalah
modal dirham dan dinar hanya relevan untuk
zamannya, karena pada saat itu kedua alat tukar
tersebut merupakan kurensi (medium of exchange)
yang sama sekali tidak dapat digantikan oleh alat
tukar yang lain. Pada zaman sekarang ini uang
kertas telah diterima secara umum, sehingga dapat
menggantikan fungsi dirham dan dinar. Tersebab
itu, dapat disimpulkan bahwa uang kertas sah
untuk dijadikan modal dalam akad mudhârabah.
Formulasi perumusan baru ini juga telah disinggung
oleh pakar-pakar fiqh kontemporer seperti Musthafa
al-Hin dan Musthafa al-Bugha dalam karya mereka
berdua, Fiqh al-Manhaji. Formulasi wajah baru
tersebut, menurut keduanya, relevan untuk
diaplikasikan dalam akad musyârakah (Partnership,
Project Financing Participation),35 sebagai jaminan
gadai (borg, watsiqah), dan lainnya.36

Kesimpulan
Fiqh sebagai sebuah dokumen hukum selalu
dituntut tampil dalam bentuk perwajahan baru
yang memiliki elastisitas dan relevansi. Penampilan
baru tersebut merupakan konsekuensi logis dari
adanya perubahan situasi dan kondisi. Korelasi
antara reaktualisasi dengan perubahan situasi dan
35
Secara global, prinsip bagi hasil (profit-sharing) dalam
perbankan syariat Islam dapat dilakukan dalam empat bentuk akad
utama, yaitu musyârakah, mudhârabah, muzâra’ah, musâqah.
Musyârakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana atau amal dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai
kesepakatan.
36
Mushthafa al-Hin dan Mushthafa al-Bugha. Op. cit., h. 64.

230
Kontekstualisasi Turâts
kondisi merupakan hubungan kait kelindang ibarat
dua sisi mata uang yang hanya dapat dibedakan
tetapi tidak dapat dipisahkan. Artinya reaktualisasi
harus dilakukan sepanjang situasi dan kondisi
berubah demi menuai elastisitas hukum Islam.
Dalam literatur Islam, terdapat hadits sahih
terkenal yang menunjukkan keniscayaan
pembaruan pemikiran hukum Islam. Hadits
tersebut adalah riwayat Abu Daud dan Abu
Hurairah, yang berbunyi “Setiap penghujung abad
akan terdapat pembaharu terhadap interpretasi
agama’’. Kaidah fiqh juga mendeklarasikan hal
serupa:
َ ْ َ ‫لَينكَُر تغَيُر ال‬
‫ن‬ َ ‫حكَام ِ بتغَير الْز‬
ِ ‫ما‬
‘‘Tidak dapat dipungkiri berubahnya (teknis)
hukum sebab perubahan waktu’’

Salah satu bentuk perubahan tersebut terjadi


di bidang ekonomi (mu’amalah). Pola kerja,
mekanisme, dan kelembagaan ekonomi merupakan
variabel yang mutaghâyirât (berubah setiap
waktu). Dalam konteks Islam yang tetap hanyalah
basis nilanya. Misalnya, jual beli berbasis prinsip
saling merelakan (tarâdhi), tidak ada yang
dirugikan, dan lainnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa eksistensi uang kertas dapat
dibenarkan dalam menggantikan peran naqd dalam
semua segmen yurisprudensi Islam (fiqh) yang
selama ini kita kaji. Wallâh A‘lam bi al-Shawâb. []

231

Anda mungkin juga menyukai