Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah (w. 147 H/768 M). Selain menggunakan mantiq, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substansi) dan aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya. Dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran yang berkembang pesat itu, lahirlah sosok filosof Arab atau filosof Muslim Pertama dalam sejarah pemikiran Islam. Dialah Ya'qub ibn Ishaq AI-Kindi. Riwayat Hidup Abu Yusuf Yakub ibn Ishaq ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Musa ibn al-Asy'ats ibn Qais al-Kindi, atau lebih populer dengan sebutan AI-Kindi adalah filosof Muslim pertama. Sejarah mencatat. AI-Kindi mengalami lima masa pernerintahan Daulah Abbasiyah - Al-Amin (809-813 M); Al-Ma'mun (813-833 M); Al-Mu'tashim (833-842 M); Al-Watsiq (842-847 M); dan Al-Mutawakkil (-861 M) - suatu masa kejayaan Dinasti Abbasiyah dan berkernbang pesatnya khazanah intelektual. Di Baghdad - pusat pemerintahan Daulah Abbasiyah - inilah ketajaman intelektual Al-Kindi semakin terasah dan karir intelektualnya pun berkembang pesat. Hal ini bermula dari perkenalannya dengan Al-Ma'mun, khalifah pada masa itu yang sedang rnenggalakkan kegiatan-kegiatan ilmiah berupa pengkajian ilmu pengetahuan, dan yang paling monumental adalah proyek penerjemahan secara besar-besaran di bawah naungan sebuah lembaga yang disebut dengan "Bayt alHikmah" (Pustaka Kebijaksanaan). Khalifah meminta AI-Kindi untuk terlibat aktif dalam lembaga tersebut, baik sebagai tenaga edukatif, maupun sebagai

peneliti dan penerjemah. Bahkan ia diminta menjadi guru pribadi Ahmad, putra AI-Mu'tashim.

B. Tujuan Berdasarkan Latar Belakang dan Rumsan Masalah di atas maka, kami dalam menulis makalah ini bertujuan untuk mengungkap dan mengetahui 1. Untuk mengetahui Bagaimana biografi dan pemikiran Ibn Arabi 2. Untuk mengetahui Bagaimana biografi dan pemikiran Jalaludin Rum

3. Untuk mengetahui Bagaimana biografi dan pemikiran Imam Al-Ghazali 4. Untuk mengetahui Bagaimana biografi dan pemikiran Abdul Qadir Al-Jailani

C. Rumusan Masalah Berdasarkan Latar Belakang yang dipaparkan di atas maka, Rumusan Masalah dapat kami tuliskan sebagai berikut: 5. Bagaimana biografi dan pemikiran Ibn Arabi? 6. Bagaimana biografi dan pemikiran Jalaludin Rum? 7. Bagaimana biografi dan pemikiran Imam Al-Ghazali? 8. Bagaimana biografi dan pemikiran Abdul Qadir Al-Jailani?

BAB II PEMBAHASAN A. Ibn Arabi Nama lengkap beliau adalah Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Ath-Thai al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia, Spanyol, pada 17 Ramadhan 560 H / 28 Juli 1165 dan wafat pada 28 Rabiul Awal 638 H / 16 Nopember 1240. Beliau berasal dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan. Namanya disebut tanpa Al untuk membedakan dengan Abu Bakar Al-Arabi seorang qodhi dari Sevilla yang wafat 543. Pada masa kecilnya ia diajar oleh dua wanita suci yaitu Yasmin dari Marcena dan Fatima dari Cordova. Ketika ia berumur 8 tahun keluarganya pindah ke Sevilla, tempat Ibnu Arabi kecil mulai belajar Al-Qur'an dan Fiqh. Karena kecerdasannya yang luar biasa, pada usia belasan tahun ia pernah menjadi sekretaris (katib) beberapa gubernur di Sevilla. Di kota ini pula ia berkenalan dengan Ibnu Rusyd, yang menjadi qodhi di Sevilla dan berguru kepadanya. Setelah usianya menginjak 30 tahun, Ibnu Arabi mulai berkelana untuk menuntut ilmu. Mula-mula ia mendatangi pusat-pusat ilmu pengetahuan Islam di semenanjung Andalusia kemudian ia pergi ke Tunis untuk menemani Abdul Aziz al-Mahdawi (seorang ahli tasawuf). Pada tahun 594 H / 1198 M ia pergi ke Fez, Maroko. Di tahun berikutnya ia kembali ke Cordova dan sempat menghadiri pemakaman gurunya Ibnu Rusyd, kemudian ia pergi ke Almeira. Tahun 598 H / 1202 M, Ibnu Arabi pergi lagi ke Tunis, Kairo, Yerussalem dan Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika berada di Tunis, Ibnu Arabi sempat mempelajari kitab Khalu an-Nailami karya Abdul Qasim bin Qisyi yang kemudian disyarah (diberi uraian penjelasan tertulis) olehnya.

Menurut pengakuan Ibnu Arabi, keberangkatannya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji berdasarkan ilham yang diterimanya dari Allah SWT. Ia tinggal di Makkah selama 2 tahun. Hari-hari kehidupannya di Makkah diisi dengan kegiatan

tasawuf, membaca Al-Qur'an dan iktikaf (menciptakan suasana kerohanian yang syahdu, membuat adanya kontak antara dia dan yang ghaib).

Pada 612 H / 1215 M, Ibnu Arabi pergi lagi ke Malatya dan bermukim sampai 618 H / 1221 M. Di sini ia sempat menikah dengan janda bernama Majiduddin Ishaq dan mempunyai anak yang bernama Saaddin Muhammad (618 H ./ 1221 M). Ibnu Arabi pernah disebut beberapa kali menikah dan mempunyai beberapa anak, tetapi anaknya yang dikenal dalam sejarah hanya Saaddin Muhammad dan Imaddin Abu Abdullah (wafat di Damaskus, 667H/ 1269 M).. Di sevila ini Ibn arabi banyak mempelajari sufi dari para Ulama tasawuf. Disamping sevilla menjadi tempat tinggal permanennya, Ibn arabi menyinggahi banyak tempat di Spanyol dan al-Maghribi. Di Kordoba dia bersahabat dengan Ibn Rusyd, yang kemudian menjadi hakim dikota itu. Ibn Arabi memiliki dua putra, Sadud-Din, seorang penyair terkenal, dan Immadud-Din. Saaddudin wafat tahun 656 H, dan Immaduddin wafat tahun 667 H, dan keduanya dimakamkan berdampingan dengan ayahnya. Sedangkan muridnya yang tekenal ialah Shadr al-Din al-Qunawi (w.673 H/1274 M) dan Afif al-Din al-Tilimsani (w. 690 H/1291 M). Ibnu Al Ral berpandangan bahwa manusia membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan alaminya. Ia tidak mungkin memenuhinya sendirian. Oleh karena itum , sebagian manusia membutuhkan sebagian lainnya. Saling ketergantungan ini menyebabkan sebagian besar mereka berkumpul di satu tempat untuk melakukan transaksi. Mereka lalu mendirikan kota sebagai tempat untuk melakukan barter. Kebutuhan-kebutuhan yang mendorong manusia untuk berkumpul dan membentuk Negara adalah sebagai berikut : 1. Kebutuhan pangan, untuk mengganti energi yang digunakan manusia ketika bergerak dan olahraga. 2. Kebutuhan sandang, untuk melindungi manusia dari hawa panas, hawa dingin, dan angin.

3. Kebutuhan tempat tinggal, untuk menjaga manusia dari marabahaya. 4. Kebutuhan reproduksi, untuk menjamin kelangsungan eksistensi manusia. 5. Kebutuhan pelayanan kesehatan karena berubah-ubahnya konidisi fisik manusia. Jelaslah , manusia tidak akan mampu mencukupi semua kebutuhannya sendirian. Kebutuhan kebutuhan ini sendiri mengharuskan adanya keahlian, ilmu, dan orang-orang dengan keterampilan yang berbeda-beda. Sebenarnya, Plato pernah mengemukakan pemikiran seperti ini sebelumnya, yakni ketika ia berbicara tentang pembentukan Negara atau kota. Beliau menegaskan bahwa manusia tidak dapat berdiri sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Ia membutuhkan orang lain. Inilah dua faktor yang menyebabkan berdirinya Negara atau kota. Masyarakat yang sehat memang seharusnya di bentuk untuk memenuhi kebutuhan alami kita. Namun , Ibnu Al Ral berbeda dengan Plato tentang watak manusia. Ia menjelaskan , Allah telah menciptakan manusia dengan watak yang cenderung untuk berkumpul dan bermasyarakat. Ia tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain, ketika manusia berkelompok di kota-kota dan berinteraksi dengan latar belakang masing-masing yang beragam, Allah meletakkan pemimpin-pemimpin yang mengatur hak dan kewajiban tiap anggota masyarakat sebagai rujukan dan yang harus di patuhi. Allah pun mengangkat untuk mereka penguasa yang melaksanakan peraturan-peraturan itu dan mempergunakannya guna menjaga tata tertib kehidupan masyarakat dan kebutuhannya, serta mengikis pelanggaran dan penganiayaan antaranggota masyarakat yang dapat merusak kebutuhannya. Memerhatikan paparan diatas , kita akan melihat bahwa Ibnu Al Ral berpendapat bahwa watak manusia cenderung untuk bermasyarakat , yakni manusia adalah makhluk adalah makhluk social dan berbudaya. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Aristoteles dalam bukunya, Politics, tetapi yang baru

dari Ibnu Al Ral adalah ketika menyebutkan bahwa kecenderungan yang alami ini diciptakan Allah untuk manusia , yakni Allah memberikan tal at ini. Inilah yang tidak kami temukan pada pemikiran Aristoteles atau pemikir Yunani lainnya. Orientasi agama ini semakin tampak ketika ibnu al ral berpendapat bahwa Allah telah menetapkan berbagai aturan untuk ditaati manusia. Aturan itu terdapat pada kitab suci-Nya yang menghimpun setiap hukum dan ketentuan ilahiyah. Selain itu, ia berpendapat bahwa Allah telah mengangkat pemimpin-pemimpin yang bertugas menjaga pemberlakuan aturan-aturan- Nya itu dan yang bertindak seiring dengannya. Dengan demikian , Ibnu Al Ral memasukkan sentuhan-sentuhan ketuhanan ke

dalam pemikirannya tentang Politik. Ibnu Al Ral berpendapat bahwa manusia bukanlah malaikat yang kebal godaan dan tidak pernah berbuat kejahatan (Kecuali Para Rasul Allah Swt). Bahkan manusia sering melakukan kejahatan. Ia lalu membagi kejahatan ke dalam tiga macam : 1. Kejahatan yang berasal dari dalam diri manusia. 2. Kejahatan yang berasal dari warga masyarakat. 3. Kejahatan yang berasal dari warga masyarakat luar. Adapun cara mengatasi tiga macam kejahatan itu, menuru Ibnu Al Ral , berbeda satu sama lain. Kejahatan pertama dapat dihalangi dengan mengikuti perilaku atau pola hidup yang terpuji, pengendalian diri, dan penggunaan akal dalam penyelesaian segala persoalan. Kejahatan kedua dapat dicegah dengan memberlakukan hukum atau undang-undang dan peraturan yang telah diletakkan (oleh Allah) untuk kepentingan manusia dan kesejahteraan umum. Adapun kejahatan ketiga dapat dihalangi dengan membangun pagar-pagar tembok yang tinggi dan menggali parit-parit dalam , serta membangun angkatan bersenjata.

B. Jalaludin Rumi Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset. Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi

da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing-yakni Syamsi Tabriz--ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya." Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz.

Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.

Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Bahkan Masnavi sering disebut Quran Persia. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

C. Imam Al-Ghazali Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup Al-Ghazali. Al-Ghazali bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar Alam Nubala 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafiiyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan,

bahwa penyandaran nama Al-Ghazali kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran Al-Ghazali. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama Al-Ghazali kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar. Bahkan Ibnu Assamani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya. Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Kaab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji. Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya. Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad Pemikiran Filsafat Al-Ghazali a) Filsafat metafisika. Al Ghazali menghantam pendapat filsuf-filsuf yunani, dan juga ibnu sina c.s., dalam dua puluh masalah, diantara yang terpenting adalah: -dalil aristoteles tentang azalinya dunia dan alam. Disini Al Ghazali berpendapat bahwa alam dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh tuhan, Al ghazali menyerang kaum filsuf ( aristoteles ) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa kepastian keabadian alam terserah kepada tuhan semata-mata, mungkin saja alam itu terus menerus tiada akhir apabila tuhan menghendaki. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri diluar kehendak tuhan.

10

Al Ghazali menyerang pendapat kaum filsuf bahwa tuhan hanya mengetahui hal-hal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui hal-hal yang lecil (juziat).

Al Ghazali juga menentang pendapat kaum filsuf yang mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al Ghazli segala pristiwa yang serupa dengan hukum sebab akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata, dan bukan hukum kepastian. Dalam halini jelas Al Ghazali menyokong pendapat izraul adat dari al asyari. Dalam buku tahafut al Falasifah Al Ghazali memberikan argument

dengan metode polemic yang logis, ilmiah dan terkonstruktur, dia adalah filsuf yang trkenal sebagai ulama logika yang memiliki kemampuan mujadalah yang baik daan teratur. 3. Etika/ Akhlak. Apabila kita ingin menemukan ilsafat moral dari pemikiran yang dituangkan oleh Al Ghazali, maka masalah ini akan kita dapatkan dalam kitab ihya ulumuddin yang berisi teori tasawuf Al Ghazali. Mengenai tujuan pokok dari moral Al Ghazali kita jumpai pada semboyan tasawuf yang terkenal: al takhalluk bi akhlaqillahi ala thaqatil basyariyah. Menurut Al Ghazali, ada tiga tujuan mempelajari akhlak,yaitu: a. Mempelajari akhlak hanya sekedar sebagai setudi murni teoritis, yang berusaha memahami ciri murni kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa bermaksud mempengaruhi prilaku orang yang mempelajarinya. b. Memplajari akhlak sehingga meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari. c. Karna akhalak trutama merupakan subyek teoritis yang berkenan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam mempelajari akhlak harus mendapat kritik terus-menerus menenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakanakan tanpa maunya sendiri. Al Ghazali setuju dengan teori kedua. Dia

11

megatakan bahwa setudi tentang ilm al muammalat dimaksudkan guna latihan kebiasaan; tujuan latihan adalah untuk meningkatkan keadaan jiwa agar kebahagiaan dapat dicapai diakherat. Tanpa kajian ilmu ini, kebaikan tak dapat dicari, dan keburukan takdapat dihindari dengan sempurna. Prinsip-prinsif moral tidak dapat dipelajari dengan maksud untuk diterapkan semuanya didalam kehidupan sehri-hari. Al Ghazali mengatakaan pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik dari kebodohan. Berdasarkan pendapatnya ini, dapat dikatakn bahwa akhalak yang dikembangkan Al Ghazali bercorak teleologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu pada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan , bahwa manusia mempunyaitujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, dan amal itu baik apabila ia mempunnyai pengruh pada jiwa yang amrmbuatnya menjurus ketujuan tersebut, dan dikatakan amal itu buruk apabila menghalangi jiwa mencapai tujuan itu. Bahkan amal ibadah seperti solat, zakat, puasa, maupun haji adalah baik disebabkan akibatnya bagi jiwa. Derajat baik dan buruk berbagai amal berbeda oleh sebab berbeda dalam hal pengaruh yang ditimbulkan dalam jiwa pelakunya. Adapun masalah kebahagiaan, menurut Al Ghazali tujuan manusia adalah kebahagiaan ukhrawi (as saadah al ukhrawiyah), yang biasa diperoleh jika persiapan yang perlu untuk dilakukan dalam hidup ini dengan mengendalikan sifat-sifat manusia dan bukan dengan membuangnya. Kelakuan manusia dianggap baik, jika itu membantu dalam kehidupan akhiratnya. Kebahagiaan ukhrawi adalah tema sentral ajaran para rasul dan demi menggerakkan orang kearah itulah, maka semua kitab suci diwahyukan. Karna itu, ilmu danakal adalah syarat pokok untuk mencapai kebahagiaan. Kemuliaan menurut Allah terletak pada usaha mencapai kebahagiaan ukhrawi, barang siapa yang gagal mencapainya maka lebih hina dari hewan yang hina. Karna hewan-hewan akan musnah dan orang yang gagal tersebut akan menderita dan sengsara.

12

Kebahagiaan ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni: berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa duka cita, pengetahuan tapa kebodohan dan kecukupn (ghina) yang tdak memutuhkan apa-apa lagi guna keputusan yang sempurna. Tentu saja kebahagiaan yang di maksud Al Quran dan Al Hadis adalah surga, sedangkan tempat kesengsaraan adalah Neraka. Nasib setiap orang akan ditentukan pada hari kebangkitan, tetapi akibat kebhagiaan dan kesengsaraan itu akan dimulai setelah kematian. Pada haari kebangkitan, jiwa itu dikembalikn pada suatu jasad; orang yang bangkit itu akan mempunnyai badan dan jiwa, dan akan hidup abadi dalam bentuk ini.

D. Abdul Qadir Al-Jailani Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts alA'zham r.a sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu". Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani): Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam

13

Dari ibunya(Husaini): Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam Dasar Pemikiran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat." Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikankritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman. Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau. Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi". Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah,

14

Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.) 4 golongan manusia menurut syekh abdul qadir al jailani : 1. Manusia yang tidak mempunyai lisan dan hati, senang berbuat maksiat, menipu serta dungu. Berhati-hatilah terhadap mereka dan jangan berkumpul dengannya, karena mereka adalah orang-orang yang mendapat siksa. 2. Manusia yang mempunyai lisan, tapi tidak mempunyai hati. Ia suka membicarakan tentang hikmah atau ilmu, tapi tidak mau mengamalkannya. Ia mengajak manusia ke jalan Allah Swt. tapi ia sendiri justru lari dariNya. Jauhi mereka, agar kalian tidak terpengaruh dengan manisnya ucapannya, sehingga kalian terhindar dari panasnya kemaksiatan yang telah dilakukannya dan tidak akan terbunuh oleh kebusukan hatinya. 3. Manusia yang mempunyai hati, tapi tidak mempunyai ucapan (tidak pandai berkata-kata). Mereka adalah orang-orang yang beriman yang sengaja ditutupi oleh Allah Swt. dari makhluk-Nya, diperlihatkan kekurangannya, disinari hatinya, diberitahukan kepadanya akan bahaya berkumpul dengan sesama manusia dan kehinaan ucapan mereka. Mereka adalah golongan waliyullah (kekasih Allah) yang dipelihara dalam tirai Ilahi-Nya dan memiliki segala kebaikan. Maka berkumpullah dengan dia dan layanilah kebutuhannya, niscaya kamu juga akan dicintai oleh Allah Swt. 4. Manusia yang belajar, mengajar dan mengamalkan ilmunya. Mereka mengetahui Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah Swt. memberikan ilmu-ilmu asing kepadanya dan melapangkan dadanya agar mudah dalam menerima ilmu. Maka takutlah untuk berbuat salah kepadanya, menjauhi serta meninggalkan segala nasihatnya.

15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Pemikiran Ibn Arabi telah menyebar begitu luas melintasi batas-batas regional ataupun kontinental, jejak-jejak pemikirannya ada pada tiap-tiap generasi, bahkan pada saat ini pemikiran Ibn Arabi diapresiasi secara luas di Barat, yaitu Amerika dan Eropa, sehingga memunculkan himpunan Ibn Arabi Society, yaitu suatu himpunan yang bertujuan menyelenggarakan riset, seminar dan penerbitan mengenai sejarah dan pemikiran Ibn Arabi, serta pengaruhnya dalam filsafat mistik. Meluasnya pengaruh Ibn Arabi pada zaman ini seiring dengan terjadinya degradasi dan dehidrasi spritual dalam alam modern. Manusia yang telah terlepas dari akar kediriannya ingin menemukan kembali roh kesadaran yang merupakan pancaran dari pusat lingkaran ketuhanan. Kegelisahan tidak lain dari kerinduan yang tersumbat, saluran menuju Tuhan kembali menjadi pencarian, setiap hamba yang rindu ingin berkomunikasi dalam bahasa Tuhannya, yaitu komunikasi roh dengan pemilik roh.

B. Saran Dari penulisan makalah di atas, mungkin masi banyak kerancauan dan kesalahanya, baik kesalahan dalam penulisan, kebakuan kata dan lain sebagainay. Maka kami selaku penulis memohon saran dari para pembaca semuanya karena saran dan masukan adalah merupakan tongkat utama dalam belajar dan dengan masukan dan saran maka kami bisa belajar lebih baik lagi.

16

DAFTAR PUSTAKA William C Chittik, Ibn Arabi dalam Seyyed H. Nasser, ed. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Bandung: Mizan, 2006 Affifi, A.E. Filsafat Mistis Ibn Arabi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995.

Arabi, Ibn. Cahaya Penakluk Surga. Surabaya: Pustaka Progessif, 2002.

Arief, Syamsudin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press, 2008. Syamsudin Arief. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran Jakarta :Gema Insani Press, 2008 Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

17

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Tokoh Sufi tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu,

Januari 2014

Penyusun

18 i

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFATR ISI .................................................................................................... i ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................... B. Tujuan ........................................................................................................ C. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1 2 2

BAB II PEMBAHASAN A. Ibn Arabi ................................................................................................. B. Jalaludin Rumi .......................................................................................... C. Imam Al-Ghazali ........................................................................................ D. Abdul Qadir Al-Jailani ............................................................................... 3 6 9 13

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... B. Kritik dan Saran .................................................................................. 16 16

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

iii

ii 19

MAKALAH
TASAWUF
Tokoh Tokoh Sufi

Di susun oleh : Linda Junita 212 352 9033

Dosen pembimbing Ahmad Suradi, M. Ag

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU (IAIN) 2014

20

Anda mungkin juga menyukai