Anda di halaman 1dari 11

Kista Ginjal

Renal Cyst
KISTA GINJAL
(LAPORAN KASUS)

Dedi Trihatmaji1, Sungsang Rochadi2
1Bagian Bedah, 2 Sub Bagian Bedah Urologi, Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada- Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta


ABSTRAK

Dedi Trihatmaji , Sungsang Rochadi Kista ginjal Laporan Kasus

Latar Belakang : Kista ginjal merupakan suatu lesi tumor jinak. Gejala pada kista ginjal pada
umumnya tidak ditemukan namun diagnosis dapat diketahui secara kebetulan dengan pemeriksaan
ultrasonografi, CT Scan, dan pemeriksaan urografi. Komplikasi yang diakibatkan kista ginjal adalah
hidronefrosis, perdarahan, dan infeksi.
Laporan Kasus : Pasien adalah seorang laki-laki, 65 tahun, dirujuk dengan diagnosis hidronefrosis
kanan karena obstruksi akibat batu. Pasien tidak ada keluhan namun hidronefrosis didiagnosis dari
pemeriksaan ultrasonografi. Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan pelebaran sistem
pelvikokalises dengan bayangan opak, dicurigai sebagai batu. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan dalam batas normal, fungsi ginjal normal, kadar ureum 14,9 mg/dL, dan kadar
kreatinin 1,07 mg / dL. Pemeriksaan urografi intravena memperlihatkan kesan hidronefrosis kanan.
Pemeriksaan CT scanning memperlihatkan adanya adanya bayangan kistik pada medulla ginjal
kanan yang menekan sistem pelvikokalises. Tindakan operatif yang dilakukan untuk pasien ini adalah
marsupialisasi kista.

Kata Kunci : Kista ginjal hidronefrosis marsupialisasi kista













PENDAHULUAN

Kista ginjal adalah lesi tumor jinak ginjal yang paling sering dijumpai (70% dari tumor ginjal yang
asimptomatik). Kista bisa tunggal / simple ataupun multiple, dapat unilateral maupun bilateral (1).
Angka insiden kista simpel pada usia di bawah 18 tahun sekitar 0.1 0.45 % dengan insiden rata-rata
0.22 %. Pada orang dewasa, frekwensi meningkat sejalan dengan usia. Pada usia di bawah 40 tahun,
angka insiden 20 %, dan setelah 40 tahun meningkat menjadi 33 % (2).
Kebanyakan penelitian menunjukkan tidak ada predileksi khusus pada perbedaan jenis kelamin.
Tetapi pada 2 penelitian oleh Bearth-Steg (1977) dan Tada dkk (1983), menunjukkan bahwa pada pria
lebih sering daripada wanita (3).
Kista simple atau soliter merupakan kelainan non genetik. Karena kasus ini lebih sering didapatkan
pada orang dewasa, diduga kista soliter ginjal adalah kelainan yang didapat (3).
Biasanya kista ginjal asimptomatik dan tidak dijumpai tanda-tanda klinis yang signifikan (1). Kista
yang simple sering ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaaan ultrasonografi, CT-Scan atau
urografi karena suatu problem lain pada abdomen (3). Meskipun demikian, kadang-kadang kista
menimbulkan keluhan. Keluhan yang mungkin dirasakan pasien adalah adanya massa atau nyeri
pada abdomen. Mungkin juga muncul hematuri karena ruptur kista ke dalam collecting system,
hipertensi karena iskemi segmental atau adanya obstruksi (5).










TINJAUAN PUSTAKA

A. HISTOPATOLOGI
Kista simple ginjal adalah suatu lesi tunor jinak (5). Berbentuk Blue-Dome, dengan ukuran
bervariasi, mulai dari 1 10 cm. Yang paling sering adalah dengan diameter kurang dari 2 cm.
Dinding kista merupakan satu lapis epitel gepeng atau kuboid. Memiliki dinding fibrous yang tipis,
terdiri dari sel epitel gepeng atau kuboid, dan mungkin terdapat area calsifikasi. Kista tidak memiliki
struktur pembuluh darah dan tidak memiliki hubungan dengan nephron. Kista mengandung cairan
jernih kekuningan. Pada 5 % kasus mengandung cairan yang hemoragis (3,5).
Kista simple ginjal biasanya tunggal dan unilateral. Kadang-kadang multiple, multilokuler, dan lebih
jarang lagi kasus yang bilateral (5). Pada ginjal, kista terletak superfisial, dan tidak berhubungan
dengan pelvis renalis. 5-8 % kista ginjal mengandung tumor ganas (6).
McHugh dkk (1991) berpendapat bahwa ukuran kista tidak berkembang sejalan dengan waktu, sedang
ahli yang lain (Bearth and Steg, 1977) pada penelitiannya mendapatkan ukuran kista yang bertambah
besar sejalan dengan usia (6).

B. PATOGENESIS
Kista simple ginjal biasanya asimptomatik dan sering ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaaan
ultrasonografi, CT-Scan atau urografi karena suatu problem lain pada abdomen (3).
Jika ukuran kista soliter bertambah besar, dapat menekan dan merusak parenkim ginjal. Tetapi
kerusakan parenkim yang ditimbulkan tidak begitu luas, sehingga jarang sekali menimbulkan
gangguan fungsi ginjal secara langsung (5).
Kista yang menimbulkan keluhan, rata-rata berukuran lebih dari 10 cm (5). Keluhan yang mungkin
dirasakan pasien adalah adanya massa atau nyeri pada abdomen. Mungkin juga muncul hematuri
karena ruptur kista ke dalam collecting system, hipertensi karena iskemi segmental atau adanya
obstruksi (3,5,6,7).
Kista simple pada ginjal letaknya superfisial, dan tidak berhubungan dengan pelvis renalis. Posisinya
sering menempati pole bawah ginjal, tetapi dapat juga menempati suatu posisi sedemikian hingga
terjadi penekanan pada ureter atau pelvis, sehingga menimbulkan obstruksi, yang melanjut menjadi
hidronefrosis (5,6,7).
Jika terjadi perdarahan ke dalam kista dan menimbulkan distensi dinding kista, nyeri yang
ditimbulkan cukup berat. Demikian juga jika terjadi infeksi, akan menimbulkan nyeri dan disertai
demam.

C. DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik biasanya normal. Kista yang sangat besar, pada palpasi mungkin teraba sebagai
massa pada daerah ginjal. Apabila dijumpai nyeri tekan, kemungkinan terjadi infeksi (5).
Evaluasi laboratorium fungsi ginjal dan urinalisa biasanya normal. Hematuri mikroskopis sangat
jarang dijumpai (5).
Pada foto polos abdomen, mungkin terlihat suatu bayangan massa yang menumpuk dengan bayangan
ginjal. Dengan pemeriksaan urogram menggunakan cairan radioopaq, pada 2-3 menit pertama,
parenkim ginjal akan terlihat putih, sedang pada bayangan kista tidak, karena kista bersifat avaskuler.
Pengambilan gambar obliq dan lateral akan sangat membantu diagnosis. Jika massa kista berada
pada pole inferior, gambaran ureter akan terdesak ke arah vertebra. Apabila dengan pemeriksaan
rutin tersebut opasitas parenkim ginjal tidak dapat dicapai signifikan, dapat dilakukan
nephrotomografi, untuk meningkatkan gambaran kontras antara parenkim dengan kista (5).
Sebagai pemeriksaan yang noninvasif, USG ginjal dapat membedakan antara kista dengan suatu
massa solid. Dan apabila ada gambaran kista, dengan panduan USG dapat dilakukan aspirasi.
Diagnosis kista simple ginjal menggunakan pemeriksaan ultrasonografi, dengan kriteria (3) :
a.Tidak didapatkan internal echoes.
b.Berbatas tegas dan tipis, dengan tepi yang halus dan tegas.
c.Transmisi gelombang yang bagus melalui kista, dengan peningkatan bayangan akustik di belakang
kista.
d.Bentuk oval ramping atau sferis.
Apabila 4 kriteria tersebut dapat ditemukan, kemungkinan keganasan dapat diabaikan. Apabila
beberapa kriteria tidak didapatkan, misalnya ditemukan adanya septa, dinding yang ireguler,
calsifikasi atau adanya area yang meragukan, perlu pemeriksaan lanjutan CT-Scan, MRI atau aspirasi
(3).
Pemeriksaan CT-Scan pada kista simple ginjal sangat akurat.. Dengan pemberian kontras, akan
terlihat perbedaan parenkim ginjal dengan kista. Densitas parenkim ginjal lebih meningkat,
sedangkan gambaran kista tidak terpengaruh.
Menggunakan CT-Scan dapat dibedakan antara kista dengan gambaran tumor. Gambaran kista akan
menunjukkan densitas yang mirip dengan cairan, sedangkan tumor mirip dengan parenkim ginjal.
Perbedaan lain, dinding kista akan terlihat tipis dan berbatas tegas dengan parenkim, sedangkan
dinding tumor tidak (5).
Kriteria pemeriksaan CT-Scan hampir sama dengan kriteria USG, yaitu (1,3) :
a.Batas yang tegas dengan dinding yang tipis dan tegas.
b.Bentuk yang ovel ramping atau sferis.
c.Isi yang homogen, dengan densitas mirip air dan tidak nampak peningkatan densitas dengan
pemberian zat kontras intravena

D. DIAGNOSIS BANDING
Pada kista ginjal, perlu pemeriksaan teliti untuk membedakan dengan hidronefrosis, ginjal polikistik
dan keganasan. Kasus hidronefrosis dapat memberikan tanda dan gejala yang sama dengan kista
soliter, tetapi pada pemeriksaan urogram sangat berbeda (5,8).
Pada keganasan sering didapatkan hematuri dan pada gambaran radiologis biasanya tumor
menempati posisi yang lebih dalam, sehingga dapat menimbulkan gambaran calyces yang terdistorsi.
Pemeriksaan tentang adanya tanda-tanda metastase sangat diperlukan. Dengan pemeriksaan
nefrotomogram, aortogram atau echogram hal ini sangat membantu membedakan dengan tumor,
meskipun ada kalanya diagnosis banding ini akan sulit tanpa dilakukan pengangkatan ginjal (6,8).
Ginjal polikistik pada pemeriksaan urografi hampir selalu bilateral, pada kista soliter tunggal dan
unilateral. Pada ginjal polikistik akan diikuti gangguan fungsi ginjal, sedangkan kista soliter tidak
menimbulkan gangguan fungsi ginjal (5).

D. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi, meskipun sangat jarang, atau kadang-kadang terjadi
perdarahan ke dalam kista. Hal ini akan dirasakan sebagai nyeri pada daerah pinggang yang cukup
berat. Apabila kista menekan atau menjepit ureter. dapat terjadi hidronefrosis, dan dapat berlanjut
menjadi pyelonefritis akibat stasis urin (5).

E. PENANGANAN
Karena kista soliter sangat jarang memberikan gangguan pada ginjal, penetalaksanaan kasus ini ialah
konservatif, dengan evaluasi rutin menggunakan USG (1,5).
Apabila kista sedemikian besar, sehingga menimbulkan rasa nyeri atau muncul obstruksi, dapat
dilakukan tindakan bedah (7). Sementara ada kepustakaan yang menyatakan bahwa meskipun kista
ginjal asimptomatik, apabila ditemukan kista ginjal yang besar merupakan indikasi operasi, karena
beberapa kista yang demikian cenderung mengandung keganasan (6).

Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada kista adalah (6,8) :
1.Aspirasi percutan
2.Bedah terbuka
a.Eksisi
b.Eksisi dengan cauterisasi segmen yang menempel ke parenkim
c.Drainase dengan eksisi seluruh segmen eksternal kista
d.Heminefrektomi
3.Laparoskopik
Pada tindakan aspirasi percutan harus diingat bahwa kista merupakan suatu kantung tertutup dan
avaskuler, sehingga teknik aspirasi harus betul-betul steril, dan perlu pemberian antibiotik
profilaksis. Karena apabila ada kuman yang masuk dapat menimbulkan abses. Seringkali kista
muncul lagi setelah dilakukan aspirasi, meskipun ukurannya tidak sebesar awalnya (6).
Pemberian injeksi sclerosing agent, dapat menekan kemungkinan kambuhnya kista. Tetapi preparat
ini sering menimbulkan inflamasi, dan sering pasien mengeluh nyeri setelah pemberian injeksi (7).
Yang perlu diperhatikan adalah apabila terjadi komplikasi. Jika terjadi infeksi kista, perlu dilakuka
drainase cairan kista dan pemberian antibiotik. Pada komplikasi hidronefrosis akibat obstruksi oleh
kista, dapat dilakukan eksisi kista untuk membebaskan obstruksi (7).
Pemberian antibiotik pada pyelonefritis akibat stasis urin karena obstruksi oleh kista akan lebih
efektif apabila dilakukan pengangkan kista, yang akan memperbaiki drainase urin (5).
Perawatan pascaoperasi harus baik. Drainase harus lancar. Setelah reseksi kista yang cukup besar,
cairan drainase sering banyak sekali, hingga beberapa ratus mililiter per hari. Hal ini dapat
berlangsung sampai beberapa hari. Sebaiknya draininase dipertahankan sampai sekitar 1 minggu
pascaoperasi (6).


F. PROGNOSIS
Kista soliter dapat didiagnosis dengan cukup akurat menggunakan pemeriksaan sonografi atau CT-
Scan. Belakangan ini, USG direkomendasikan sebagai metoda untuk melakukan follow up kista,
meliputi ukuran, konfigurasi dan konsistensi. Sangat sedikit dari kista soliter ini akan menimbulkan
penyulit di kemudian hari (3,5).

























LAPORAN KASUS

A. LAPORAN KASUS
Dilaporkan kasus pasien, seorang laki-laki usia 65 tahun yang dirujuk dengan hidronefrosis kanan
curiga adanya sumbatan oleh batu. Selama ini pasien tidak mengalami keluhan, kesan hidronefrosis
didapatkan dari pemeriksaan USG saat dilakukan general check up. Dan pemeriksaan USG
didapatkan pembesaran SPC dengan bayangan opaq, dicurigai sebagai batu.

HASIL ULTRASONOGRAFI







Gambar 1 : Hasil Pemeriksaan USG menunjukkan pembesaran SPC dengan bayangan opaq

Pada saat datang, kedaaan umum pasien baik, kesadaran composmentis. Pemeriksaan fisik, status
generalis tidak dijumpai adanya kelainan, status lokalis tidak didapatkan bulging maupun nyeri ketok
regio kostovertebra, prostat dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan laboratorium, fungsi ginjal masih normal, dengan ureum = 14.9 mg/dL, creatinin
1.07 mg/dL. Urinalisa dalam batas normal, asam urat = 5.2 mg/dL dan calsium 2.11 mg/dL.
Dilakukan pemeriksaan USG ulang, dijumpai gambaran adanya ektasis SPC kanan dan tidak nampak
lesi kistik pada ginjal kanan. Pada BNO-IVP didapatkan kesan :
1.Hidronefrosis kanan derajat 3. Adanya obstruksi atau batu belum tervisualisasi sampai menit ke-
120.
2.Anatomi dan fungsi ginjal kiri normal.
3.Ureter kiri dan kandung kemih tidak ada kelainan.
4.Fungsi voiding baik.

Didapatkan kesan hidronefrosis kanan karena suatu massa yang lebih lunak daripada batu yang tidak
tervisualisasi dengan pemeriksaan BNO-IVP dan USG. Untuk menegakkan diagnosis selanjutnya
dilakukan pemeriksaan CT-Scan, yang memberikan kesan adanya bayangan kistik di dalam medulla
ren kanan yang mendesak SPC, sehingga menimbulkan hidronefrosis kanan.

HASIL IVP





















IVP 30 MENIT IVP 60 MENIT













IVP 120 MENIT IVP POST MIKSI

Gambar 2 : Hasil Pemeriksaan BNO IVP menunjukkan : hidronefrosis kanan derajat 3, adanya
obstruksi atau batu belum tervisualisasi sampai menit ke-120 ; anatomi dan fungsi ginjal kiri normal ;
ureter kiri dan kandung kemih tidak ada kelainan ; fungsi voiding baik.

HASIL CT - SCAN









SLICE 11











SLICE 13 SLICE 17

HASIL CT SCAN DENGAN KONTRAS










Gambar 3 : Hasil Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya bayangan kistik di dalam medulla ren
kanan yang mendesak SPC, sehingga menimbulkan hidronefrosis kanan. Pada CT scan dengan
kontras tampak kontras mengisi SPC, namun lesi tidak terpengaruh.

Selanjutnya dilakukan operasi untuk melakukan marsupialisasi kista. Di meja operasi didapatkan
suatu kista simpel pada hilus renalis yang mendesak SPC dan selanjutnya dilakukan marsupialisasi.
Pasien menjalani perawatan pascaoperasi 3 hari, dengan keadaan baik, dilanjutkan rawat jalan. Pada
evaluasi 3 bulan berikutnya, dan gambaran IVP nampak hidronefrosis membaik, menjadi derajat 1,
dan ureter kanan tervisualisasi baik.

B. PEMBAHASAN
Pada kasus ini, jenis kelamin pasien pria dengan usia di atas 40 tahun, masuk dalam kategori
predisposisi pasien pada beberapa penelitian, yang menyatakan insiden terbanyak pada usia di atas
40 tahun, dengan kecenderungan kasus pada pria lebih banyak daripada wanita.
Sesuai dengan kepustakaan, pada kasus kista ginjal yang simple, kebanyakan asimptomatik, dan
ditemukan adanya kelainan secara tidak sengaja pada pemeriksaan radiologis. Pasien ini tidak
mengalami keluhan, ditemukan kelainan radiologis secara tidak sengaja pada general check up.
Kemungkinan karena proses yang berjalan lambat dan sangat lama, meskipun menimbulkan
hidronefrosis derajat 3, tidak didapatkan keluhan baik berupa adanya massa intra abdominal maupun
nyeri pada regio ginjal. Manifestasi sistemik juga tidak muncul, karena fungsi ginjal masih baik.
Pada pemeriksaan USG, hanya didapatkan gambaran hidronefrosis, sedangkan bayangan kistik tidak
tervisualisasi. Sedangkan pencitraan BNO-IVP yang menunjukkan adanya hidronefrosis cukup berat
derajat 3, tanpa visualisasi ureter kanan sampai menit ke 120, menunjukkan adanya obstruksi total
letak tinggi. Tidak nampaknya bayangan batu baik pada USG dan BNO-IVP dapat menyingkirkan
bahwa obstruksi tersebut disebabkan oleh batu, tetapi oleh suatu massa atau jaringan yang lebih
lunak.
Pada keadaan seperti ini perlu pemeriksaan CT Scan, karena pemeriksaan ini sangat akurat, terutama
untuk menyingkirkan proses keganasan. Demikian pula pada kasus ini. Pada pemeriksaan CT-Scan,
didapatkan suatu lesi pada polus inferior, yang terpisah dari jaringan ginjal berbentuk oval dengan
batas tegas. Massa tainpak homogen, dengan densitas mirip air, khas untuk gambaran kista.
Pemeriksaan menggunakan kontras sangat mendukung diagnosis. Tampak kontras memasuki SPC,
sedangkan lesi tidak terpengaruh. Karena lesi kistik tidak memiliki pembuluh darah sehingga kontras
tidak akan mengisi massa, sedangkan lesi keganasan akan meningkat densitasnya dengan pemberian
kontras.
Dari ketiga pemeriksaan radiologis, dapat ditegakkan diagnosis, bahwa pada pasien ini terdapat kista
simple pada hilus renalis yang menekan SPC, sehingga terjadi obstruksi total yang mengakibatkan
hidronefrosis.
Kemungkinan ginjal polikistik disingkirkan, karena gainbaran kistik tunggal dan unilateral. Demikian
juga kemungkinan keganasan dapat disingkirkan, didukung pemeriksaan laboratorium yang tidak
menunjukkan adanya hematuri. Meskipun gambaran lesi berbeda dengan teori yang menyatakan
bahwa posisi lesi kista simple lebih sering superfisial, pada kasus ini gambaran lesi yang menempati
posisi lebih dalam yang khas pada keganasan tidak mendukung kemungkinan keganasan, karena pada
pemberian kontras, gambaran densitas lesi tidak meningkat.
Penanganan selanjutnya adalah membebaskan obstruksi dengan melakukan marsupialisasi kista
memberikan hasil yang memuaskan. Pada gambaran radiologis 3 bulan berikutnya, gambaran
obstruksi sudah tidak nampak lagi dan hidronefrosis membaik.

C. SIMPULAN
Telah dilaporkan suatu kasus kista simple hilus renalis, yang cukup besar, sehingga menimbulkan
obstruksi total, yang mengakibatkan hidronefrosis. Diagnostik ditegakkan dengan pemeriksaan CT-
Scan, yang memenuhi kriteria kista. Diagnosis banding ginjal polikistik dan kemungkinan keganasan
dapat disingkirkan. Tindakan bedah untuk membebaskan obstruksi dengan melakukan
marsupialisasi kista memberikan hasil yang memuaskan.
KEPUSTAKAAN


1.Flanigan RC, Kim FJ. Renal and Ureteric Tumor, Section 5 Urologic Oncology in : Geoff Greenwood
and Sue Hodgson eds. Comprehensive Urology. London Edinburgh New York Philadelphia St Louis
Sydney Toronto : Mosby, 2001; 347
2.Scoutt LM, McCauley TR, Rosenfield. Radiologic Imaging : Computed Tomography, Ultrasound,
and Magnetic Resonance Imaging, Section 2 Investigative Urology in : Geoff Greenwood and Sue
Hodgson eds. Comprehensive Urology. London Edinburgh New York Philadelphia St Louis Sydney
Toronto : Mosby, 2001; 102
3.Glassberg KI. Renal Dysgenesis And Cystic Disease Of The Kidney. in : Walsh, Retik, Vaughan et all
eds. Campbell Urology. Eight Edition. Vol. 1. Philadelphia : WB Saunders, 2002 ; 1925-1985.
4.Thomas FM, Congenital Disease of The Upper Urinary Tract, Section 3 Pediatric Urology, in : Geoff
Greenwood and Sue Hodgson eds. Comprehensive Urology. London Edinburgh New York
Philadelphia St Louis Sydney Toronto : Mosby, 2001; 185 200.
5.McAninch. JW. Disorder Of The Kidney in : Tanagho EA, McAninch JW eds. Smiths General
Urology. International Edition. 15th Edition. New York. Lange Medical books : McGraw-Hill. 1999 ;
572 590.
6.Mayor G and Zingg J. Kidney in : Bandhauer K, Bracci U et all eds . Urologic Surgery. Stuttgart :
Georg Thieme Publishers, 1976 ; 89.
7.Brown JM, Denbow M. Glickman MG. Interventional Uroradiology, Section 2 Investigative Urology
in : Geoff Greenwood and Sue Hodgson eds. Comprehensive Urology. London Edinburgh New York
Philadelphia St Louis Sydney Toronto : Mosby, 2001 ; 149 158.
8.Flocks RH, Culp DA. Renal and Pararenal Surgery in : Flocks RH, Culp DA. Surgical Urology. A
Handbook Of Operative Surgery. Asian Edition. Fourth Edition. Chicago : Year Book Medical
Publishers Inc. 1975 ; 114

Anda mungkin juga menyukai