Anda di halaman 1dari 4

GURU SEBAGAI PENELITI

Ketika Depdiknas meluncurkan model penelitian berbasis tindakan kelas (PTK), predikat
guru pun bertambah. Guru tak hanya sebatas menjadi tukang ajar yang ruang geraknya dibatasi
empat dinding ruang kelas, tetapi diharapkan juga menjadi seorang peneliti. Melalui PTK yang
dilakukan, guru diharapkan menjadi pionir sekaligus inovator pembelajaran yang mampu
menciptaskan atmosfer pembelajaran secara menarik dan memikat sehingga siswa didiknya
merasa nyaman dan menyenangkan ketika mengikuti proses pembelajaran. PTK sangat
memberikan peluang kepada para guru untuk melakukan hal itu. Mereka memiliki kebebasan
secara kreatif untuk mengujicobakan berbagai pendekatan, strategi, metode, media, atau bahan
ajar ke dalam proses pembelajaran yang dikelolanya.Ibarat dokter, gurulah yang tahu persis
penyakit yang diderita pasien-nya. Berdasarkan diagnosis yang dilakukan, guru diharapkan
dapat memberikan obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan sang pasien.
Naluri seorang guru sudah pasti akan terus berupaya untuk mencari cara-cara yang
tepat agar siswa didiknya tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang cerdas, kreatif, kritis,
dan mandiri; terbebas dari cengkeraman berbagai macam penyakit akut. Sayangnya, cara-cara
yang diterapkan guru dalam kegiatan pembelajaran seringkali berlangsung secara dadakan, tidak
terencana dan terpola, berlangsung sesaat, dan (hampir) tak ada tindak lanjutnya. Itulah
sebabnya, gagasan-gagasan brilian dari para mahaguru dari generasi ke generasi tak bisa
terwariskan kepada para guru yang lahir kemudian. Mereka tak bisa belajar dari pengalaman dan
sejarah masa silam akibat parahnya proses dokumentasi dan minimnya akses informasi terhadap
cara-cara jitu dalam mengelola pembelajaran secara menarik dan menyenangkan. Tidak
berlebihan jika dinamika pembelajaran dalam dunia pendidikan kita tampil begitu stagnan dan
membosankan. Imbasnya, generasi yang lahir dari rahim dunia pendidikan kita (nyaris) gagal
menjadi sosok yang cerdas dan berkarakter.
Atmosfer pembelajaran yang stagnan dan membosankan semacam itu agaknya
mendapatkan banyak respon dari para pakar, pengamat, dan pemerhati dunia pendidikan. Harus
ada perubahan paradigma dalam pengelolaan pembelajaran; dari pengelolaan yang serba dadakan
dan tak terpola menjadi pengelolaan pembelajaran yang terencana, terprogram, dan jelas tindak
lanjutnya. Oleh karena itu, guru perlu terus dirangsang untuk menciptakan inovasi-inovasi
pembelajaran yang lebih kontekstual dan selaras dengan semangat zamannya.
PTK sejatinya merupakan upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengelola
pembelajaran secara menarik dan menyenangkan sehingga memiliki imbas positif terhadap
lahirnya generasi masa depan yang cerdas, kritis, dan berkarakter melalui kegiatan perencanaan,
pelaksanaan aksi (tindakan), observasi, dan refleksi berdasarkan prosedur ilmiah. Setiap
perubahan yang terjadi, baik yang berkaitan dengan proses pembelajaran maupun hasil-hasilnya,
perlu didokumentasikan dengan baik, untuk selanjutnya dianalisis dan direfleksi sehingga
memiliki kejelasan alur dan penalaran dari sisi keilmuan.
Namun, harus diakui, meraih predikat guru sebagai peneliti agaknya juga bukan perkara
gampang. Ada banyak faktor yang memengaruhinya. Selain dukungan kebijakan, apresiasi, dan
finansial yang masih minim, juga belum kondusifnya budaya meneliti di kalangan guru.
Penelitian adalah satu hal yang seyogianya tak bisa dipisahkan dalam kegiatan harian
seorang guru dalam rangka menjalankan profesi kependidikan mereka di sekolah. Penelitian
seharusnya adalah kegiatan yang membudaya dalam jiwa seorang pendidik. Pendeknya,
layaknya seorang guru besar yang mengajar di perguruan tinggi (baca: dosen), bagi seorang
guru kecil yang mengajar di sekolahpun, masalah penelitian sudah menjadi tuntutan sekaligus
kewajiban profesi mereka.
Dalam dunia penelitian, dikenal satu jenis penelitian yang identik dengan penelitian yang
dilakukan para guru, yaitu Action Research (di Indonesia penelitian ini lebih dikenal dengan
sebutan Penelitian Tindakan Kelas). Inti dari Action Research adalah bagaimana seorang guru
mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang mungkin timbul dalam proses mengajar yang dia
lakukan. Setelah melakukan analisa dan penelitian secara terstruktur, diharapkan guru yang
bersangkutan bisa mencarikan solusi dari permasalahn itu agar proses pengajarannya semakin
berkualitas (Stephen Kemmis dan Robbin McTaggart, 1988).
Terlibatnya seorang guru dalam dunia penelitian diyakini bakal menjadi salah satu
penentu utama meningkatnya wawasan dan kemampuan mendidik mereka. Proses penelitian,
mau tidak mau, akan mendorong seorang guru untuk terus membaca. Dunia penelitian
memungkinkan para guru itu untuk terus melakukan refleksi pada setiap kegiatan pengajaran
yang mereka lakukan. Mencarikan solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Yang pada
ujungnya tentu akan berdampak pada semakin berkualitasnya proses belajar mengajar di sekolah.
Sebaliknya, ketika seorang guru tidak pernah terlibat dalam proses penelitian, maka harapan
untuk mendapatkan proses pengajaran yang berkualitas tentu sulit terwujud.
Kalau kita mau jujur, harus diakui bahwa mayoritas guru kita, dengan berbagai sebab dan
alasan, sepertinya masih sangat jauh dari dunia penelitian ini. Selama ini, dunia penelitian itu
seakan berada pada satu lembah, sementara para guru berada pada lembah yang lain. Seperti ada
jurang yang amat dalam memisahkan keduanya. Kenyataan yang paradoks seperti itulah yang
membuat kita tak bisa dengan sederhana mengatakan why not pada pertanyaan dalam judul
tulisan ini.
Ada banyak guru yang berhenti dan stagnan pada pangkat/golongan IV a, karena untuk
naik ke jenjang pangkat berikutnya mengharuskan guru yang bersangkutan untuk menulis karya
ilmiah. Dan kita juga tak perlu terkejut ketika melihat kertas penilaian angka kredit guru, dimana
kolom penilaan pengembangan profesi hampir selalu kosong, karena kolom ini hanya mungkin
dan bisa terisi apabila guru yang bersangkutan memiliki karya ilmiah yang layak dinilai.
Ada banyak faktor yang saling terkait yang menyebabkan kenapa para guru kita di
sekolah selama ini cendrung jauh dari dunia penelitian. Tidak kondusifnya iklim sekolah untuk
menjadikan guru kita sebagai peneliti bisa jadi merupakan faktor utama yang menyebabkan
realitas seperti ini. Berbeda dengan dunia perguruan tinggi yang sangat terasa iklim
akademisnya, dimana setiap dosen diharuskan untuk terus mereaktualisasi dan mengupgarde
ilmu pengetahuan mereka, di sekolah suasana seperti ini nyaris tak terasa. Selama ini, cukup
banyak guru kita yang sudah merasa cukup dengan apa yang mereka punya, karena memang
dunia di sekitar mereka (baca: stakeholder pendidikan di sekolah) juga tak menuntut banyak
dari para guru ini. Kurangnya pressure dari stakeholder pendidikan di sekolah tidak hanya terjadi
pada sekolah-sekolah di daerah terpencil, tapi juga di sekolah-sekolah yang berlokasi di
perkotaan.
Kurangnya fasilitas untuk melakukan penelitian di sekolah adalah bentuk lain dari kurang
kondusifnya suasana sekolah terkait penelitian ini. Terbatasnya resources dan atau referensi,
tidak adanya jurnal penelitian di sekolah, dan tidak teralokasinya dana khusus untuk penelitian
adalah diantara contoh nyata tidak kondusifnya dunia penelitian di sekolah kita selama ini.
Suasana seperti ini biasanya akan lebih terasa di sekolah-sekolah yang berlokasi di daerah
terpencil.
Kurangnya kemampuan guru kita untuk meneliti sangat mungkin juga menjadi salah satu
sebab tidak begitu terlihatnya karya-karya ilmiah para guru ini. Namun saya yakin, faktor
ketidakmampuan ini bukanlah yang utama. Karena bagi para guru yang telah menyelesaikan
pendidikan kesarjanaan mereka, tentu sedikit banyak telah memiliki dasar-dasar bagaimana
melakukan riset. Ketrampilan dasar mereka ini sesungguhnya sudah bisa dijadikan modal awal
untuk melakukan penelitian tindakan kelas dan atau penelitian qualitatif lainnya andai mereka
berada dalam iklim yang kondusif untuk melakukan penelitian ini.
Pada tahun 2007 pemerintah memprogramkan tiga kegiatan utama peningkatan
profesional guru berkelanjutan berkolaborasi dengan LPTK dan menyediakan dana block grant
untuk itu, yakni kegiatan; (1) penelitian tindakan kelas bagi 3.837 guru dengan alokasi dana
sebesar Rp. 13.653.600.000,-; (2) bimbingan karya tulis ilmiah bagi 10.000 guru dengan alokasi
dana sebesar Rp. 50.000.000.000,-; dan (3) pertemuan ilmiah guru, baik di tingkat kabupaten,
provinsi, maupun nasional. Dan pemerintah memberikan hak cuti kepada guru yang akan
melaksanakan kegiatan penelitian dan penulisan buku.
Program sertifikasi guru yang sedang berjalan secara tidak langsung juga akan memicu
para guru kita untuk terlibat dalam aktifitas penelitian ini (dan kegiatan ilmiah lainnya), karena
salah satu unsur yang mendapat porsi penilaian cukup besar dalam portofolio sertifikasi yang
dikumpulkan para guru adalah karya pengembangan profesi, dimana penelitian dan karya ilmiah
sebagai poin pentingnya.
Apalagi dengan semakin tersedianya berbagai sumber belajar dan referensi di banyak
sekolah seiring dengan telah masuknya program internet ke sekolah (termasuk sekolah di
daerah), masalah terbatasnya resources untuk meneliti mungkin tak lagi menjadi kendala utama.
Media internet jelas akan sangat membantu para guru ini memperlancar proses penelitian yang
mereka lakukan di sekolah. Tak hanya untuk mencari referensi sebagai kerangka teoritis
penelitian, internet juga bisa menggantikan peran jurnal penelitian yang selama ini tak tersedia di
sekolah, karena ada banyak jurnal penelitian online yang siap mempublikasikan sebuah karya
ilmiah secara online di internet, selama hasil penelitian itu layak dipublikasikan.
Dengan iklim seperti ini, masalah penelitian di kalangan guru tidak lagi dianggap sebagai
suatu hal yang muluk, tidak lagi masalah mungkin atau tidak mungkin, tapi justru sudah
keharusan. Ketika semakin banyak guru kita yang terlibat dalam aktifitas ilmiah seperti ini, maka
harapan kita untuk mengejar ketertinggalan kita dalam bidang pendidikan sudah semakin dekat.
Indonesia masa depan yang mampu bersaing dengan semua bangsa itu tak hanya menjadi impian
kosong kita sebagai bangsa. Selamat datang Indonesia baru dengan para pendidik yang
professional.

Anda mungkin juga menyukai