KEDOKTERAN I
ABSORBSI DAN EKSKRESI
Oleh
Nina Puspitasari
NIM I1A003009
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2005
Halaman Pengesahan
Mengetahui,
Asisten
Ismawati
NIM. I1A001055
Praktikan
Nina Puspitasari
NIM. I1A003053
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam ilmu kedokteran, farmakologi dibatasi tujuannnya yaitu agar dapat
menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit.
Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala
penyakit.Tujuan terapi obat adalah mencegah, menyembuhkan atau mengendalikan
berbagai keadaan penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup harus
disampaikan kepada jaringan target sehingga kadar terapeutik (tetapi tidak toksik)
didapatkan.
Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
hidup. Farmakokinetik merupakan suatu keseluruhan proses masuknya obat ke dalam
badan yang meliputi aspek farmakologi yaitu, absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresinya.
Proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah disebut
absorbsi. Kedua, kemudian obat tersebut bisa secara reversibel meninggalkan aliran
darah dan menyebar ke dalam cairan interstitial dan jaringan lainnya. Akhirnya obat dan
metabolitnya dieliminasi tubuh. Pengetahuan mengenai farmakokinatik obat penting
untuk memberikan gambaran patologis dan fisiologis seseorang yang berbeda dengan
individu normal dalam respon suatu dosis obat.
Tujuan Percobaan
Praktikum kali ini bertujuan agar praktikan memahami nasib obat setelah masuk
ke dalam tubuh.
Tinjauan Kepustakaan
Di dalam tubuh manusia, obat harus menembus sawar sel diberbagai jaringan.
Pada umumnya obat melintasi lapisan sel dengan menembusnya bukan melewati celah
antar sel kecuali pada endotel kapiler. Karena itu merupakan peristiwa terpenting dalam
proses farmakokinetik. Cara-cara transport obat lintas membran yang terpenting adalah
difusi pasif dan transport aktif. Transpor aktif melibatkan komponen-komponen sel dan
membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport ialah
bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat ionisasi, kelarutan dalam lemak
(Setiawati, 2000).
Tercapainya kadar obat tersebut tergantung dari jumlah obat yang diberikan,
keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh
aliran darah ke bagian lain dari badan, artinya dari letak aksinya baik dalam bentuk tak
berubah atau sebagai metabolit yang dikeluarkan melalui proses ekskresi. Untuk
menghasilkan efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam kadar yang cukup
agar dapat menimbulkan respon. (Anief, 1994).
Bentuk obat non-ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi
melintasi membran. Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran karena sukar larut
dalam lemak Kebanyakan obat merupakan elektrolit lemah yaitu asam lemah dan basa
lemah. Dalam larutan elekrolit lemah ini akan terionisasi. Derajat ionisasi ini tergantung
dari pKa dan pH larutan. (Setiawati, 2000).
Farmakokinetik merupakan suatu keseluruhan proses masuknya obat ke dalam
badan yang meliputi aspek farmakologi yaitu, absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresinya. (Setiawati, 2000).
Tahapan proses farmakokinetik adalah sebagai berikut :
1. Absorbsi
Absorbsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah.
Kecepatan dan efisiensi absorbsi tergantung pada cara pemberian. Untuk intravena,
absorbsi sempurna yaitu dosis total obat seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik.
Pemberian obat dengan rute lain hanya bisa menghasilkan absorbsi yang partial dan
karena itu merendahkan ketersediaan hayati. Sebagai contoh, pemberian oral
memerlukan bahwa suatu obat harus larut dalam cairan gastrointestinal dan
kemudian menembus sel-sel epitel mukosa usus, keadaan penyakit atau adanya
makanan bisa mempengaruhi proses ini (Mycek, 2001).
Untuk obat-obatan tertentu tidak semua yang diabsorbsi dari tempat pemberian
akan mencapai sirkulasi sistemik, sebagian dimetabolisme oleh enzim di dinding
usus pada pemberian oral dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organorgan tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama.
Jadi jika suatu obat dimetabolisme di dalam hati atau diekskresi di dalam empedu,
maka sejumlah obat aktif yang diabsorbsi dari saluran pencernaan akan dinon
aktifkan oleh proses hepatik sebelum obat dapat mencapai sirkulasi sistemik dan
didistribusikan ke tempat kerjanya. Penurunan kecepatan obat dalam mencapai
sirkulasi umum merupakan suatu fungsi tempat fisiologis, tempat obat diabsorbsi
dan perubahan jumlah. Efek eliminasi tablet sublingual dan sampai jumlah tertentu
dengan menggunakan suposituria rektal (Katzung, 1989).
kecepatan
para simpatis
plasma. Sedangkan obat yang sangat basa pada asam 1-glikoprotein (Setiawati,
2000).
3. Biotransformasi atau metabolisme obat
Merupakan proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan
dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar
sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi
inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat
(Setiawati, 2000).
Metabolisme obat biasanya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase I (reaksi
fungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Metabolisme fase I meliputi reaksi
oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi juga isomerisasi dan reaksi-reaksi lain yang lebih
jarang. Metabolisme fase I ini berfungsi menyiapkan senyawa untuk metabolisme
fase II, dan tidak menyiapkan obat untuk diekskresi. Metabolisme fase II atau
konjugasi meliputi golongan enzim-enzim yang berbeda dan bereaksi pada tipe
senyawa yang berbeda, umumnya menghasilkan produk yang larut empedu dan
urine. Jadi fase II merupakan detoksifikasi obat yang sebenarnya dan menjadikan
obat umumnya larut dalam air dan mudah diekskresikan (Gibson, 1991).
Biotransformasi atau metabolisme terutama berlangsung di hati, saluran
pencernaan tetapi beberapa obat mengalami biotransformasi di ginjal, plasma, dan
mukosa intestinal (Anief, 1994).
4. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat metabolit polar
diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan
resultan dari 3 proses, yakni filtasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal,
dan reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Selain itu ekskresi obat juga
melalui empedu yang diekskresikan ke urine, keringat, liur, air mata, air susu dan
rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat (Setiawati, 2000).
CARA PERCOBAAN
e. Urine (1 cc) + amilum (1 cc) + H 2SO4 (2-3 tetes) dilutus + NaNO2 10% (2-3
tetes) amati
f. Saliva ( 1 cc) + amilum (1 cc) + H 2SO4 (2-3 tetes) dilutus + NaNO2 10% (2-3
tetes) amati
Hasil Percobaan
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pada Reaksi Kontrol
Reaksi
1
2
3
4
5
6
Perubahan warna
Tidak ada perubahan
Coklat
Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
80
+
85
+
90
+
Grafik 1. Hubungan Waktu Dan Kadar Obat (I2) Dalam Sampel Saliva
K
A
D
A
R
++++
+++
++
+
-
15
-
30
-
45
+
60
++
75
+++
90
+++
Grafik 2. Hubungan Waktu Dan Kadar Obat (I2) Dalam Sampel Urine
++++
K
A
D
A
R
+++
++
+
-
Keterangan :
++++ : Biru Tua
+++
: Biru
++
: Biru Muda
: Kebiruan
Pembahasan
Pada percobaan ini terlebih dahulu dilakukan reaksi kontrol yang dilakukan
sebanyak 6 reaksi. Mula-mula KI 1 % (1 cc) ditambahkan dengan amilum (1 cc). Pada
reaksi ini tidak terjadi perubahan warna. Untuk reaksi kedua, dicampurkan KI 1 % (1
cc), amilum ( 1 cc), H2SO4 (2-3 tetes) dan NaNO2 10 % (2-3 tetes), maka terjadi
perubahan warna menjadi coklat, hal ini disebabkan karena terjadinya hidrolisis dengan
bantuan H2SO4 yang memberikan suasana asam sehingga proses tersebut dapat
berlangsung sempurna dan disebabkan karena terjadinya absorbsi molekul iodine yang
masuk ke dalam uliran spiral amilosa dimana sebelumnya terjadi pemecahan ikatan KI
oleh H2SO4 (H2SO4 berfungsi sebagai reduktor).
Penambahan NaNO2 10 % dimaksudkan sebagai katalisatornya yang dapat
mempercepat terjadinya reaksi enzimatis. Pengenceran (melutus) H2SO4 juga berfungsi
untuk mempercepat terjadinya reaksi dimana setiap kenaikan suhu 10o C maka laju
reaksi akan menjadi 2 kali lebih cepat.
Pada reaksi ketiga dan keempat tidak terjadi perubahan warna, hal ini disebabkan
karena tidak adanya amilum 1 % pada masing-masing tabung sehingga tidak terjadi
reaksi hidrolisis. Sedangkan pada reaksi kelima dan keenam menunjukkan hasil yang
negatif pada saliva dan urine karena probandus belum meminum obat sehingga
kandungan iodium di dalam sampel tidak ditemukan.
Sediaan obat yang digunakan adalah bentuk kapsul. Sebagaimana diketahui sifat
fisika obat, bentuk asam, basa, ester, garam kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kelarutan dan proses penyerapan obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorf, kelarutan dalam lemak atau air dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses
penyerapan obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, suspensi, emulsi serbuk, dan larutan
akan mempengaruhi proses penyerapan obat yang memerlukan waktu berbeda-beda.
Kalium iodide merupakan kristal tak berwarna dengan ikatan kimia yang lebih ionik
daripada kovalen, titik leleh sekitar 681o C dan Hfo perbobot ekuivalen sebesar. 327,6 kJ
(Mytschler, 1993)
Data semikuantitatif dari sampel saliva didapatkan hasil positif pada menit ke-30,
35, 40, 45, 50, 55, 60, 65, 70, 75, 80, dan 85 yang ditandai dengan perubahan warna dari
putih keruh setelah dilutus menjadi kebiruan pada waktu ditambahkan NaNO2. Jika
digambarkan dalam bentuk grafik diperoleh grafik dalam bentuk kurva sebaran
distribusi normal dimana onset obat meningkat di dalam darah maka ekskresi saliva juga
meningkat perlahan-lahan. Dari grafik ini dapat digambarkan bagaimana suatu
perubahan dalam kecepatan dan tingkat avaibilitas KI dipengaruhi oleh lamanya
ekskresi. Pada hasil pemeriksaan secara semikuantitatif dari sampel urine juga
didapatkan hasil positif pada menit ke- 45 yang ditandai dengan perubahan warna. Pada
keadaan tertentu bisa saja hasil data semikuantatif pada sample urine didapatkan hasil
negatif, hal seperti itu biasanya dipengaruhi oleh factor-faktor berikut :
1. Waktu absorbsi dan ekskresi dari setiap orang berbeda-beda. Pada probandus
mungkin absorbsi dan ekskresinya memakan waktu yang lama sehingga dari
waktu yang tersedia tidak dapat menunjukkan adanya reaksi absorbsi dan
ekskresi dari probandus. Perbedaan daya absorbsi dan ekskresi individu
dipengaruhi oleh (Setiawati, 2000) :
-
Waktu transit saluran cerna yang mempengaruhi jumlah obat yang diabsorbsi.
Perfusi saluran cerna yang mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang
diserap.
Metabolisme dalam lumen saluran cerna yang menentukan jumlah obat yang
tersedia untuk diserap.
Kapasitas metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam hati (aktivitas
enzim saluran cerna dan hati, faktor genetik, aliran darah portal, penyakit
hati) yang menentukan jumlah obat yang sampai pada sirkulasi sistemik.
Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilaksanakan, didapatkan kesimpulan bahwa di dalam
tubuh obat mengalami proses fakmakokinetik. Dari grafik diketahui bahwa ekskresi
iodium yang terdapat dalam obat pada saliva lebih cepat dibandingkan ekskresinya
melalui urine.
Saran
Untuk mencapai hasil yang lebih maksimal, perlu dilakukan pengujian lebih
lanjut dengan variabel yang lebih banyak. Dan diharapkan tersedia bahan dan reagen
yang baik agar hasil percobaan lebih akurat.
Daftar Pustaka