2. Dari Abdullah bin Sarjas radhiyallahu 'anhu berkata: "Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam, saya (juga) telah menemuinya, makan makanannya, minum minumannya, dan
saya pernah melihat cap kenabian di punuk pundaknya sebelah kiri, di atas cap kenabian
tersebut terkumpul tahi lalat semisal kutil." (HR. Muslim)
3. Dari Al Ja'du bin Abdur Rahman berkata: "Saya mendengar As Sa'ib bin Yasid berkata: "Bibi saya
pergi membawa saya ke Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , kemudian berkata: Wahai
Rasulullah , sesungguhnya anak keponakan saya ini kurang sehat. Maka beliau mengusap kepala
saya dan mendoakan keberkahan buat saya. Lalu beliau berwudhu, dan saya meminum air
wudhu beliau. Kemudian saya berdiri di belakang punggungnya. Saya melihat cap kenabian di
antara kedua bahunya seperti telur burung puyuh." (Mutafaq 'Alaih)
Keharuman aroma badan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
1. Dari Anas radhiyallahu 'anhu berkata: "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mempunyai warna kulit yang bersih, keringatnya seperti mutiara, apabila berjalan beliau
mendorongkan badannya ke depan. Belum pernah saya menyentuh sutra bergambar yang lebih
lembut dari tangan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Dan saya belum pernah mencium
minyak wangi dari Misk maupun Ambar yang lebih harum dari baunya Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam ." (Mutafaq 'Alaih)
2. Dari Anas radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi pernah mengunjungi kami, kemudian beliau tidur
siang sehingga berkeringat. Datanglah ibu saya dengan membawa sebuah botol. Kemudian
beliau mengalirkan keringat beliau ke botol tersebut, sehingga Nabi terbangun dan bertanya:
Wahai Ummu Sulaim, apa yang kamu lakukan? Ibu saya menjawab: Keringatmu ini akan kami
jadikan sebagai parfum. Karena dia merupakan parfum yang paling wangi." (HR. Muslim)
3. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dikenal dengan keharuman bau bila bersua.
(Disahihkan oleh Al-Albani di Shahih Al Jami')
4. Dari Anas radhiyallahu 'anhu , bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah
menolak minyak wangi. (HR. Bukhari)
5. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: "Sebaik-baik minyak wangi
adalah Misk." (HR. Muslim)
(Dinukil dari: Mengenl Pribadi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Penulis: Syaikh
Muhammad Jamil Zainu. Alih bahasa: Mukhlish Zuhdi. Penerbit Yayasan Al-Madinah, Shafar
1419 H, hal. 22-23)
Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang
seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in
Hadits Mu'dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat
tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya
Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
o Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang
berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri
bahkan tidak pantas disebut hadits
o Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh
seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
o Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya /
jujur.
o Hadits Mu'allal
o Hadits Mudhthorib
o Hadits Maqlub
o Hadits Munqalib
o Hadits Mudraj
o Hadits Syadz
Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
o
o
o
Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber
sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.
Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada
orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang
menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti
penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah
perawi juga.
Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa
perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
Teks Hadits
Besar-besarkan qurban-qurban kamu sebab ia akan menjadi kendaraanmu di atas shirath
(kelak).
Kualitas hadits: Tidak ada asalnya dengan lafazh semacam ini.
Ibn ash-Shalaah berkata, Hadits ini tidak dikenal dan tidak tsabit (valid).
Dinukil oleh syaikh Ismail al-Ajluny di dalam kitab Kasyf al-Khafaa`, sebelumnya dinukil oleh
Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulashah (Jld.II, h.164), dia menambahkan, Menurutku,
pengarang Musnad al-Firdaus menisbatkannya dengan lafazh Istafrihuu sebagai ganti lafazh
Azhzhimuu (di atas). Kedua-duanya bermakna, Berkurbanlah dengan qurban yang mahal,
kuat dan gemuk.
Syaikh al-Albany mengomentari: Dan sanadnya Dlaif Jiddan (lemah sekali).
(Lihat, Silsilah al-Ahaadiits adl-Dlaifah Wa al-Mawdluuah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi alUmmah, Jld.I, h.173-174, no.74)
Di dalam buku yang sama, jld.III, h.411, no.1255, Syaikh al-Albany mengetengahkan hadits
lainnya yang semakna dengan hadits di atas, hanya berbeda lafazh saja, yaitu dengan teks:
Syaik al-Albany mengomentari:
Kualitasnya Dlaif Jiddan (Lemah Sekali). Hadits ini diriwayatkan oleh adl-Dliyaa` di dalam
kitab al-Muntaqa Min Masmuuaatihi Bi Marw (Jld.II, h.33), dari Yahya bin Ubaidullah, dari
ayahnya, dia berkata, Aku mendengar Abu Hurairah berkata, Lalu ia menyebutkannya secara
marfu.
Menurutku (Syaikh al-Albany):
Sanad ini Dlaif Jiddan . Alasannya, ada cacat pada periwayat bernama Ibn Ubaidullah bin
Abdullah bin Mawhib al-Madany. Ahmad berkata, Ia bukan periwayat yang Tsiqah. Ibn Abi
Hatim dari ayahnya berkata, Ia seorang periwayat hadits yang lemah, bahkan hadits yang
diriwayatkannya Munkar Jiddan. (Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh
periwayat yang lemah bertentangan dengan riwayat-riwayat para periwayat yang Tsiqat-red.,).
Imam Muslim dan an-Nasa`iy berkata, Haditsnya ditinggalkan (tidak digubris).
Penjelasan:
Hadits dengan redaksi seperti ini sebagai yang disebutkan Imam as-Suythiy dalam buku ini (adDurar al-Muntatsirah) diriwayatkan oleh Ibn Adiy, al-Uqailiy, al-Baihaqiy di dalam
bukunya asy-Syuab (Syuab al-Imn-red.,) dan Ibn Abd al-Barr di dalam bukunya Fadll alIlm dari Anas RA.
Penahqiq (analis) atas buku yang kita kaji ini, yaitu Syaikh. Muhammad Luthfy ash-Shabbgh
memberikan beberapa anotasi berikut:
Hadits ini kualitasnya Mawdl (Palsu). Untuk itu, silahkan merujuk kepada buku-buku
berikut:
"Muhammad telah menceritakan kepada kami,[1] Umar bin Hafs telah menceritakan kepada kami, ia
berkata: ayahku telah menceritakan kepada kami, dari Ashim, dari Hafshah dari Ummu Athiyah ia
berkata: Dahulu kami diperintahkan untuk keluar pada hari Ied, sampai kami mengeluarkan gadis dari
pingitannya, mereka bertakbir dengan takbir mereka *2+, (para sahabat) dan juga berdoa dengan doa
mereka, mengharap keberkahan dan kesucian hari itu" [Juga diriwayatkan oleh Muslim (hal 606) dan
Abu Daud (1138).
Imam Al-Bukhari juga berkata (hadits no:1650)]
Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, Malik telah mengkhabarkan kepada kami, dari
Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata: Aku
datang ke Mekkah sedangkan aku dalam keadaan haid dan aku belum thawaf di Kabah dan juga belum
(sai) antara Shafa dan Marwa. Aisyah berkata: Maka aku adukan hal tersebut kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: Lakukanlah apa-apa yang dilakukan oleh orang yang
berhaji *3+ selain thawaf di Kabah" *Hadits Shahih+ *4+
1. "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelesaikan hajat beliau, kemudian keluar, lalu beliaupun
membaca al-Quran, serta makan daging bersama kami, dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi
beliau selain janabat." [6]
Pertama : Di dalamnya tidak ada larangan untuk membaca al-Quran bagi orang yang junub dan orang
yang haidh, ia hanyalah semata-mata perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua : Bahwa hadits ini dibicarakan (keshahihannya), karena diriwayatkan dari jalan Abdullah bin
Salamah, sedangkan hafalannya sudah berubah. Ada riwayat senada dari Abul Gharif dari Ali, akan tetapi
riwayat tersebut menunjukkan cacat perawi yang menyatakannya sebagai hadits marfu (hadits yang
diriwayatkan sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Terlebih lagi jika perawi yang menyatakannya
sebagai hadits marfu adalah seorang yang ada sesuatu dalam hafalannya (yakni hafalannya tidak kuatRed), seperti Abdullah bin Salamah. Karena riwayat Abil Gharif dari Ali berselisih, tentang marfu
(sampai) nya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tentang mauquf (berhenti) nya sampai
sahabat Ali saja.
Pendapat yang lebih kuat adalah yang menyatakan sebagai mauquf, maka yang nampak olehku bahwa
hadits ini mauquf sampai Ali Radhiyallahu 'anhu.
2. Riwayat lain yang (dijadikan hujjah) larangan (dalam hal ini) adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
"Sesungguhnya aku tidak menyukai untuk berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci." [7]
Akan tetapi ketidaksukaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di sini hanyalah untuk tanzih
(keutamaan; bukan larangan haram), hal ini berdasarkan apa yang dijelaskan dalam hadits shahih dari
Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata:
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah setiap saat" [8]
3. Kaum yang melarang juga berdalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertayamum untuk
menjawab salam. Maka di dalam hadits ini juga tidak ada larangan bagi wanita haidh, dan orang yang
junub untuk membaca al-Quran, karena ia hanyalah semata-mata perbuatan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Sedangkan Aisyah telah berkata sebagaimana yang telah lewat: Adalah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah pada setiap saat.
4. Kaum yang melarang juga berdalil dengan hadits Jabir dan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu secara
marfu (sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam):
"Tidak boleh bagi orang junub dan haidh membaca al-Quran". *9+
Hadits ini dhaif, tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lihat kitab Ilal Ibni Abi Hatim
(1/49).
Demikianlah, sebagian ulama berpendapat terlarangnya wanita haidh membaca al-Quran, dan sandaran
mereka adalah sebagaimana yang telah lewat dan telah kami jelaskan kelemahan-kelemahan yang ada
pada dalil-dalil mereka. Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bolehnya wanita haidh membaca
al-Quran dan berdzikir, dan pendapat terakhir inilah yang kami pilih, berikut ini (kami bawakan)
pendapat-pendapat ulama yang membolehkan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata (Majmual Fatawa 21/459): Adapun membaca alQuran bagi orang yang junub dan haidh, maka ada 3 pendapat ulama dalam hal tersebut:
1. Ada yang berpendapat: boleh bagi keduanya, dan inilah madzhab Abu Hanifah dan yang masyhur dari
madzhab Syafii dan Ahmad.
2. Ada juga yang berpendapat: tidak boleh bagi junub dan boleh bagi wanita haidh, baik secara mutlak
ataupun karena takut lupa, dan ini adalah madzhab Imam Malik, dan satu pendapat pada madzhab
Ahmad dan selainnya. Karena tidak ada riwayat tentang wanita haidh membaca Al-Quran, kecuali hadits
yang diriwayatkan dari Ismail bin Ayasy dari Musa dari Uqbah dari Nafi dari Ibnu Umar:
"Tidak boleh bagi yang haidh dan junub membaca al-Quran". *Diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang
lainnya].
Tetapi hadits tersebut dhaif menurut kesepakatan ahlul hadits. Karena riwayat-riwayat Ismail bin
Ayyasy dari penduduk Hijaz adalah hadits-hadits dhaif [10], berbeda dengan riwayat-riwayat yang ia
ambil dari penduduk Syam. Dan tidak ada seorang tsiqah (yang terpercaya) pun meriwayatkan hadits
tersebut dari Nafi. Padahal telah diketahui bahwa para wanita pada zaman Nabi juga mengalami haidh,
namun beliau tidak melarang mereka untuk membaca al-Quran, juga tidak melarang mereka untuk
berdzikir dan berdoa.
Bahkan beliau memerintahkan para wanita haidh untuk keluar pada hari Ied, sehingga mereka bertakbir
dengan takbir kaum muslimin. Beliaupun memerintahkan kepada wanita yang haidh untuk (melakukan)
manasik haji seluruhnya selain thawaf di Kabah. Ia (wanita haidh ) bertalbiyah (mengucapkan Labbaik
Allahumma labbaik...-Red) sedangkan ia dalam keadaan haidh, demikian pula halnya di Muzdalifah,
Mina dan tempat-tempat mengerjakan ibadah haji lainnya.
Adapun bagi orang yang junub, beliau tidak memerintahkan untuk menghadiri ied, shalat ataupun
menunaikan sesuatu dari manasik haji. Karena orang yang junub memungkinkan baginya untuk (segera )
bersuci, dan tidak ada udzur (alasan) baginya untuk menunda-nunda bersuci, berbeda keadaanya
dengan wanita haidh yang hadatsnya terus berlangsung (selama darah masih keluar) dan tidak
memungkinkan baginya untuk segera bersuci. Oleh karena itu para ulama menyebutkan: Tidak boleh
bagi orang yang junub wukuf di Arafah, Mudzalifah, dan Mina sampai ia suci, walaupun bersuci
bukanlah syarat untuk wukuf tersebut. Akan tetapi yang dimaksud adalah bahwa Asy-Syari (Pembuat
syariat) memerintahkan wanita haidh -baik perintah wajib ataupun mustahab/tidak wajib- untuk
berdzikir kepada Allah dan berdoa kepadaNya, sedangkan hal itu makruh (tidak disukai) bagi orang yang
junub. Oleh karena itulah diketahui bahwa wanita haidh -karena udzur- diberi rukhshah (keringanan)
pada hal-hal yang rukhsah tersebut tidak diberikan kepada orang yang junub, walaupun hadats wanita
haidh berlangsung lebih lama. Demikian juga dalam hal membaca al-Quran Allah tidak melarang wanita
haidh dari hal tersebut.
Bisa juga dikatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang orang yang junub (hal itu) karena
ia (orang junub) memungkinkan baginya untuk segera bersuci lalu membaca al-Quran. Berbeda dengan
wanita haidh, yang hadatsnya berlangsung selama beberapa hari, sehingga jika dilarang- akan hilang
darinya ibadah membaca al-Quran, yang ibadah tersebut ia butuhkan, sementara ia tidak bisa segera
bersuci. Dan tidaklah sama antara membaca al-Quran dengan shalat, dalam shalat disyaratkan suci dari
hadats besar, sedangkan membaca al-Quran boleh dilakukan walaupun (kita) berhadats kecil
berdasarkan nash dan kesepakatan para imam/ulama. Dalam shalat harus menghadap kiblat, menutup
aurat, suci dari najis. Sedangkan dalam membaca al-Quran hal-hal tersebut tidak diwajibkan, bahkan di
dalam hadits shahih disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meletakkan kepala
beliau di pangkuan Aisyah Radhiyallahu 'anha, sedangkan Aisyah dalam keadaan haidh.
Dan dalam Shahih Muslim (diriwayatkan) pula bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Maka membaca al-Quran boleh dilakukan dengan berdiri, tidur, berjalan, berbaring maupun ketika
naik kendaraan".[11]
3. Abu Muhammad bin Hazm berkata (AlMuhalla: 1/77-78): Permasalahan: Membaca al-Quran,
sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, semua itu boleh dilakukan
dengan berwudhu atau tanpa wudhu dan (boleh) bagi yang junub dan juga yang haidh.
Dalil hal tersebut adalah bahwa membaca al-Quran, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir
kepada Allah merupakan perbuatan-perbuatan baik yang disunahkan, dan orang yang melakukannya
mendapat pahala, maka barangsiapa yang melarang hal-hal tersebut dalam sebagian kondisi-kondisi
tertentu, wajib untuk mendatangkan dalil".
Kesimpulan.
Bahwa wanita yang haidh boleh untuk berdzikir kepada Allah dan membaca al-Quran, karena tidak ada
dalil yang shahih dan sharih (jelas) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang hal
tersebut. Bahkan riwayat yang ada (justeru) membolehkan hal-hal tersebut, yaitu yang telah dijelaskan
di atas. Wallahu Alam.
*Diterjemahkan oleh Meli Nur Hasanah dari kitab Jami Ahkamin Nisa I/182-187,karya Syeikh
Mushthaha Al-Adawi+
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta]
________
Footnote :
*1+. Beginilah tertulis di dalam kitab Jami Ahkamin Nisa I/182, karya Syeikh Mushthaha Al-Adawi, tetapi
yang kami lihat di dalam Shahih Al-Bukhari pada hadits ini tanpa perawi yang bernama Muhammad.
Tetapi perawi pertama adalah Umar bin Hafs. Wallahu Alam-Red]
[2]. Di dalam sebuah hadits (disebutkan) bahwa para wanita haidh bertakbir dan berdzikir kepada Allah
Azza wa Jalla
[3]. Sebagaimana orang berhaji boleh berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca al-Quran,
maka demikian pula bagi wanita haid ia boleh berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca alQuran, sesungguhnya yang terlarang baginya (wanita haid) hanyalah thawaf di Kabah sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits tersebut), dan akan
datang tambahan (penjelasan) tentang hal tersebut dalam bab-bab berikut Insya Allah.
[4]. Hadits ini dan juga hadits sebelumnya memberikan penjelasan bagi wanita yang haidh disyariatkan
baginya untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Dan karena al-Quran juga merupakan dzikir,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Berdasarkan ini dan juga berdasarkan apa-apa yang telah kami jelaskan, bahwa boleh bagi orang yang
berhaji untuk membaca al-Quran, maka atas dasar ini wanita haidh boleh berdzikir dan membaca alQuran.
[11]. Yang kami dapati di dalam Shahih Muslim, kitab: Al-Jannah Wa Shifatu Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam imiha Wa Ahliha, dengan lafazh:
Sesungguhnya Aku menurunkan kepadamu sebuah kitab yang tidak terbasuh air, engkau membacanya
dalam keadaan tidur maupun jaga.
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/931/slash/0/hukum-wanita-haid-berdzikir-dan-membaca-al-quran/