Akhlaq al-Qur'ani.
(2).Dermawan.
Al Quranul Karim menceritakan suatu perangai mulia perlu dipunyai juru dakwah untuk
menempati posisi pelanjut tugas-tugas risalah dinul haq, sebagai dicontohkan oleh
Ibrahim AS yang didatangi tujuh pemuda untuk menguji kedermawanannya. Tujuh
pemuda ini sama sekali belum di kenal oleh Ibrahim AS. Sungguhpun begitu, ia
menerimanya dengan senanghati tanpa kecurigaan, yang diperlihatkan pada sikap yang
tulus dalam memuliakan tamunya. Ibrahim AS. memiliki kebiasaan setiap tamunya yang
datang tidak akan dilepas sebelum mereka disuguhi hidangan menurut kemampuannya,
sebagai penghormatan dari "tuan rumah". Pemuda-pemuda yang senyatanya bukan tamu
sembarangan ini menolak jamuan tuan rumahnya dengan halus, karena sesungguhnya
mereka bukanlah manusia biasa yang memerlukan makan dan minum. Mereka adalah
tujuh malaikat terhormat yang sengaja diutus Allah menguji kedermawanan Ibrahim
sebagai juru dakwah dijalan Allah. Rangkaian kisah indah ini diulangkan berbentuk
wahyu kepada Nabi Muhamad SAW dalam Al-Quranul Majid, sehingga menjadi salah
satu bentuk dari "Akhlaq al-Qur'ani".
Allah mencontohkan dalam Firman-Nya; "Sungguh Ibrahim adalah seorang Imam yang
dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (maksudnya: seorang yang
selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya). Dan sekali-kali
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).(Dia termasuk)
yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilih dan menunjukinya kepada
jalan yang lurus"(QS.16,An Nahl,ayat 120-121). Diantara perangai mulia (millah) Nabi
Ibrahim AS, yaitu patuh, jujur, pandai berterima kasih, berkasih sayang sesama
--keluarga dan masyarakat--, pandai memilih tindakan yang tidak merugikan orang
lain, dan senantiasa memimipin ummat ke jalan yang benar. Memupuk sikap mulia ini
hanya dengan selalu "berpegang teguh kepada Hidayah Agama Allah", dalam
menerapkan akhlaq al Qur'ani.
SIKAP TERCELA
Masyarakat bertumbuh menjadi pengecut, harus n’rimo apa adanya, tanpa keinginan
untuk membantah, dikerangkeng pada perangai Asal Bapak Senang. Sebetulnya, ABS
perlu, bila artinya adalah “Asal Bangsa ini Sejahtera”.
Menjauhi kedelapan perangai ini menjadi suatu kewajiban asasi dalam hidup manusia
sebagai “hamba Allah”. Dapat dilakukan dengan aktifitas amaliah yang terpadu terarah
(sustained) secara pasti dengan penerapan disiplin beragama dalam kerangka “iman dan
taqwa”. Upaya lainnya juga dengan cara melazimkan do’a (munajat) kepada Allah SWT
pada setiap pagi dan petang.
Diantara do’a munajat yang di ajarkan Rasulullah SAW tersebut untuk kita
amalkan adalah, ”Allahumma, wahai ALLAH, sungguh aku berlindung kepada MU dari
pada rasa sedih atau kecewa (al-hammiy) dan gelisah (al-hazniy). Dan akupun berlindung
kepada MU, wahai Allah, dari watak yang penuh dengan kelemahan (al-‘ajziy) serta sifat
kemalasan (al-kasali). Dan, aku pun juga memohon kepada Engkau, wahai Allah,
perlindungan dari sikap pengecut (al-jubniy) dan bakhil (al-bukhliy). Aku pun
berselindung kepada MU, wahai Allah dari cengkeraman hutang (ghalabatid-dayni) dan
penindasan orang lain (qahriy ar-rijaal)”. (Do’a ma’tsur dari HR.Bukhari Muslim).
Ditengah bangsa kita mengalami masa ujian sekarang ini (chaos politik, ekonomi,
sosial dan budaya), dan dirasakan adanya upaya pemaksaan dari pihak lain, diantaranya
upaya menguasai/membeli Indonesia dengan label penyelematan ekonomi nasional,
termasuk di dalamnya rencana privatisasi BUMN (diantaranya PT.Semen Padang)
dengan keinginan menguasai lebih dari 51% saham nasional, maka sebaiknya do’a ini
kembali dilazimkan membacanya setiap pagi dan sore.
Do’a munajat ini harus pula di iringi usaha sekuat tenaga dan secara bersama-sama
menghilangkan sifat-sifat tercela ini dengan memulai dari diri sendiri, untuk mengerjakan
apa yang bisa dan bermanfaat untuk orang banyak dengan modal (self-help) di keliling
kita.
Modal besar itu, adalah kesepakatan, kerjasama, kesetia kawanan, seia-sekata
(ukhuwwah), sumber daya (alam dan manusia) dalam suatu ikatan kebangsaan sebagai
Rahmat Allah, serta selalu memohon pertolongan dari Allah SWT. Sebab, yang ada itu
sebenarnya sudah teramat cukup untuk memulai. Semoga Allah selalu meredhai.***
JANGAN MENJADI
ORANG ANIAYA
oleh manusia yang berakal. Padahal, manusia itu sendiri ada, dan ditengah alam ini, justru
karena "rahmat" dan "rahim" dari Allah (sang Khalik).
Penghambaan kepada materi, menyebabkan lahirnya sesuatu bencana. Materi
adalah sesuatu rahmat dari Allah. Karena itu, seharusnya materi itu dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran bagi manusia sekelilingnya. Benda hanya alat. Bukan tujuan,
apalagi sesuatu sembahan yang berakibat rela diperbudak oleh materi. Mempertahankan
materi (benda) tidak sesuai dengan harkat kemanusiaan. Kesadaran seperti ini (yang amat
sesuai dengan fithrah manusia), selalu disampaikan oleh Ibrahim kepada ayahnya (Azar).
Namun selalu ditolak. Akhirnya, Ibrahim memilih berpisah dari keyakinan "tradisional
bapaknya yang salah pilih itu.
Namun itu tetap berkata, sebagaimana diulangkan cerita oleh Allah (Subhanahu
Wa Ta'ala) dalam Firman-Nya, "Ibrahim berkata kepada ayahnya, Selamt tinggal (wahai
ayah, dalam keyakinan tradisional ayah yang tak bisa dirobah lagi, nanti akan selalu
memohonkan keampunan (untuk ayah) kepada Tuhan-ku karena sesungguhnya Tuhan-ku
masih sayang kepada-ku". (Al-Qur'an, S. 18, ayat 47).
Sikapnya dalam memuliakan tetamu, juga menjadikan pujian. Dia tidak pernah
menolak tamu yang diharapkan bantuannya. Dia selalu tanggap dengan kesulitan orang
lain. Bahkan dia lebih senang berbuat untuk kesenangan orang lain, dalam batas-batas
hubungan yang harmonis dan saling menghormati. Hingga seketika dia didatangi tujuh
pemudah untuk menguji kedermawanannya, maka Ibrahim belum berkenan melepas
tetamu itu, sebelum lebih dahulu kepada mereka disuguhkan hidangan, sebagai tanda
kemuliaan dari tuan rumah. Namun pemuda ini menolak jamuan ini dengan halus, karena
mereka sebetulnya bukanlah manusia biasa (yang perlu makan dan minum). Kelak
ternyata ketujuh tetamu terhormat ini adalah para Malaikat utusan Allah (Subhanahu wa
ta'ala). Demikian, rangkaian kisah ini diulangkan kembali kepada ummat Muhammad
(shallallahu'alaihi wa sallam) dalam Al-Quranul Majid).
Berbuat baik sesama kerabat, merupakan perangai yang teramat mulia. Walaupun
dia sudah dipuji dengan segala kehormatan, dan diberi gelar-darjah "Khalilul-lah, serta
mendapatkan kehormatan, dan bagai "pimpinan" bagi ummat manusia, dia masih
memohonkan kepada Allah, kiranya penghargaan sedemikian tidak hanya diperuntukkan
bagi dirinya sendiri.
Ibrahim ('alaihi salam), masih mempersoalkan "bagaimana halnya dengan (kaum
kerabat) anak keturunanku. Memperhatikan kaum kerabat, lebih tinggi nilainya, daripada
hanya sekedar memperjuangkan kemenangan sendiri, atau hanya bertolak kepada
kepentingan pribadi. Jika manusia secara umum telah terperosok kepada hanya untuk
kepentingan sendiri-sendiri, tanpa mengindahkan kepentingan orang banyak, maka
tentulah bencana akan datang tindih bertindih.
Orang yang hanya suka mempertahankan kepentingan individu, tanpa
mempertimbangkan orang banyak, tepat diberikan cap sebagai orang aniaya (dhalim)
menurut istilah dari Allah (Yang Maha Rahman). Karena itulah secara tegas, Allah
(Subhanahu wa ta'ala) menjawab petisi Ibrahim, tentang "dzurriyat" (anak cucunya) ini,
dengan sebuah ketegasan yang pasti "janji-ku" (janji dari Allah) untuk memberikan
kepada manusia darjah pimpinan dan panutan itu, tidak akan kena mengena kepada
orang-orang yang dhalim (aniaya), walaupun dia dari keturunan Ibrahim sekalipun".
Kesiapannya dalam melaksanakan perintah Allah, inilah yang kelak menjadikan
peringatan kepada Nabi Muhammad (Shallallahu'alaihi was Sallam), untuk mengikuti
jejak langkah perilaku Nabi Ibrahim (selaku panutan dari akhlaq Al Qur'an). Allah
tegaskan dala Firman-Nya (Q.S. XVI, An-Nahl, ayat 160-162), "Sungguh Ibrahim itu,
adalah contoh dari sosok ummat yang "patuh", siap melaksanakan perintah Allah, lurus
dan jujur, dalam setiap tindak perbuatan, dan dia tidak tergolong kepada orang-orang
"musyrik" yang suka menyekutukan Allah.
Dia juga sosok ummat yang pandai berterima kasih, serta memelihara ni'mat
Allah. Merupakan seseorang yang terpilih tindakannya dan terpuji perangainya dan selalu
mendapatkan bimbingan dan selalu pula berusaha memimpin kejalan yang benar dan
lurus. Karena itu, dia mendapatkan kehidupan dunianya aman tentram.
Akhirnya, di-akhirat, (pada kehidupan yang menjadi tujuan setiap makhluk yang
hidup di dunia sekarang ini), dia akan kami tempatkan bersama orang-orang shalih yang
terpilih.
Kepada Nabi Muhammad SAW diwahyukan supaya mengikuti jejak langkah
perangai mulai yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim, yaitu patuh, jujur, pandai berterima
kasih, berkasih sayang sesama anggota, keluarga dan masyarakat, pandai-pandai memilih
tindakan yang tidak sampai merugikan orang lain, selalu berusaha memimipin ummat ke
jalan yang benar, dan diatas segalanya "berpegang teguh kepada Hidayah Agama Allah".
Umat Seimbang
Dan sesungguhnya Kami telah muliakan anak cucu Adam (umat manusia). Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan (yakni dimudahkan kehidupan manusia baik di darat
ataupun di laut), Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”
(Al Q.S.17, Al Isra’, ayat 70)
Spiritnya (jiwanya) disempurnakan dengan akal dan pikiran. Punya keinginan dan
kecerdasan (inteligensia), rasa (emosional), dan memiliki dorongan-dorongan (nafsu)
untuk mewujudkan segala yang diingini. Manusia dianugerahi kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosional. Dengannya manusia bisa menjadi umat yang memiliki
keseimbangan (ummatan wasathan).
Alampun dijadikan bersahabat dengan manusia. Segala sesuatu yang ada disediakan
untuk sebesar-besar manfaat bagi hidup manusia. Laut dan darat adalah arena
kehidupan, turun temurun. Di sana manusia berkiprah (exploitasi alam) selama hayat
dikandung badan. Patah tumbuh hilang berganti, dari generasi ke generasi. Melaksanakan
pembangunan, perombakan ke arah yang lebih baik dan menjalankan reformasi.
Reformasi dalam bimbingan Tuhan selalu berasas horizontal. Artinya, tidak satu
kewajibanpun boleh ditinggalkan dalam memenuhi suatu kewajiban lain.
Manusia diminta untuk senantiasa akrab dan menjaga fungsi alam (laa tabghil fasaada
fil ardhi -jangan buat bencana di permukaan bumi-). Alam itu berperan pula menjaga
keberadaan manusia, memberikan keselamatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Demikianlah satu siklus hidup yang aman dan menjanjikan kesejahteraan sepanjang
masa. Bumi akan diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang baik-baik (shaleh). Innal
ardha yaritsuhaa ‘ibadiyas-shalihin.
Bila suatu ketika keseimbangan ini terganggu, penyebabnya tiada lain adalah hasil
kurenah (perbuatan) tangan manusia sendiri.
“Zhaharal fasaadu fil barri wal bahri bimaa kasabat aydin-naas, li yudziiqahum ba’dal-
ladzii ‘amiluu, la’allahum yar-ji’un ” Artinya ” Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”.
(QS. 30, Ar-Rum, ayat 41).
Demikianlah suatu sunnatullah (undang-undang baja alam) yang akan berlaku sepanjang
perjalanan alam fana ini, hingga kiamat datang menjelang. Suatu peringatan supaya
manusia tetap bersiteguh hati dalam memelihara perannya, sebagai khalifah fil ardhi.
Untuk menata kehidupan ini tetap berjalan seimbang, maka Khalik ( Allah Rabbun Jalil)
memberikan pedoman (hidayah) yang jelas dan terang. Berakar kepada kebenaran (haq)
dari Allah dan berakhir dengan kebenaran dari Allah juga. Itulah ‘Aqidah Tauhid’.
Aqidah tauhid memiliki perbedaan kontras dengan ilmu (knowledge). Ilmu berawal dari
ragu dan berujung kepada keraguan yang lebih besar. Aqidah tauhid tidak sama dengan
falsafah yang berisi tanya dari awal dan akan berakhir dengan tanya yang lebih besar di
ujungnya.
Aqidah tauhid (keyakinan kepada kekuasaan Allah yang mutlak, Allah Subhanahu Wa
Ta’ala Yang Maha Esa dan Maha Kuasa) akan melahirkan sikap tunduk dan taat.
Sehingga akhirnya tumbuh kesediaan manusia menyerahkan segala kemampuan akal
dan gagasan pikiran, maupun hasil observasi dan eksperimentasi kepada kekuasaan Allah
dengan pernyataan yang bersih, “Wahai Allah, Rabbanaa, tidak ada satupun yang
Engkau jadikan ini sia-sia” (QS 3: 190). Tatkala itulah ilmu memperoleh kebenaran.
Dalam buhul aqidah tauhid inilah Mukmin mendapatkan keseimbangan hidup yang
prima. Sehingga bila melihat satu bencana mereka yakin itu hanya sebatas ujian dari
Allah, yang menuntutnya bertindak lebih baik dan hati-hati di masa mendatang.
Pada kutub yang berbeda, berbarislah manusia yang mengingkari keberadaan dirinya
sebagai makhluk Tuhan. Tetapi mereka tutup mata hatinya dari keberadaan-Nya. Untuk
mereka berlakulah ketentuan Allah: Dan barang siapa yang membutakan mata hatinya
di dunia ini (dari petunjuk Allah), niscaya di akhirat nanti dia akan lebih buta dan lebih
tersesat dari jalan yang benar.(QS 17: 72)
Manusia seperti itu akan merasakan azab menyiksa kehidupan. Mereka akan sesak dada
dan mengumpat kiri-kanan. Mereka limbung kehilangan keseimbangan di tengah-tengah
percaturan kehidupan.
Karena itu kembalilah kepada Allah, supaya Allah senantiasa memberikan perlindungan-
Nya selalu.
Redha Allah
Du'aat (juru dakwah) di lapangan medan dakwah tidak boleh menyendiri, apalagi tidak
mau menyayangi masyarakat yang di dakwahinya. Satu keberhasilan du'aat banyak
ditentukan oleh kesediaannya menerima dan mengormati jamaah yang datang
mengunjunginya karena satu keperluan dakwah.
Du'at (juru dakwah) adalah pengayom, dan panutan.Tempat bertanya, dan tempat
mengadukan masaalah pelik yang tak mungkin dapat di selesaikan oleh jamaah secara
sendiri. Sikapnya dalam memuliakan tetamu (jamaahnya), senantiasa akan menjadikan
pujian dan ukuran akhlaknya.
Seorang juru dakwah semestinya merasa senang dalam menerima tamu yang datang
kearena dakwahnya. Dia tidak boleh menolak tamu yang mengharapkan bantuannya. Dia
harus selalu tanggap dengan kesulitan orang lain. Bahkan dia memiliki doromngan kuat
berbuat untuk kesenangan orang lain, dalam batas-batas hubungan yang harmonis dan
saling menghormati. Sebatas kemampuan yang ada padanya. Sekecil-kecil bantuan yang
bisa di berikan du'at (juru dakwah) adalah semangat, dorongan, atau hanyak senyum dan
pernuh perhatian.
Memuliakan tamu.
Al Quranul Karim menceritakan contoh dari Nabi Ibrahim Khalilullah, dalam menerima
tamunya.Contoh perlu disimak oleh juru dakwah yang akan menempati posisi sebagai
pelanjut tugas-tugas risalah dinul haq.
Sebetulnya mereka bukanlah manusia biasa (yang perlu makan dan minum). Kelak,
ternyata ketujuh tetamu terhormat itu sesungguhnya adalah para Malaikat yang diutus
Allah. Untuk menguji kedermawanan Ibrahim sebagai juru dakwah kepada jalan Allah.
Rangkaian kisah indah ini diulangkan berbentuk wahyu kepada Nabi Muhamad SAW
dalam Al-Quranul Majid.
Pelihara keakraban
Berbuat baik sesama kerabat, merupakan perangai yang teramat mulia. Walaupun dia
sudah dipuji dengan segala kehormatan, dan diberi gelar-darjah "Khalilul-lah, serta
mendapatkan kehormatan, dan bagai "pimpinan" bagi ummat manusia, dia masih
memohonkan kepada Allah, kiranya penghargaan sedemikian tidak hanya diperuntukkan
bagi dirinya sendiri.
Karena itulah secara tegas, Allah SWT memberikan jawab tentang "dzurriyat" dengan
ketegasan pasti, tidak akan diberikan kepada manusia darjah pimpinan atau panutan jika
mereka tergolong orang-orang yang dhalim (aniaya).
Kesiapan manusia dalam melaksanakan perintah Allah inilah yang menjadi ukuran.
Kepada Nabi Muhammad SAW diingatkan oleh Allah untuk mengikuti jejak langkah
perilaku Nabi Ibrahim (selaku panutan dari akhlaq Al Qur'an).
Allah tegaskan dalam Firman-Nya; "Sungguh Ibrahim adalah seorang Imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (maksudnya: seorang yang selalu
berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya). Dan sekali-kali
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).(Lagi pula ia
termasuk) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah.Allah telah memilih dan menunjukinya
kepada jalan yang lurus"(QS.16,An Nahl,ayat 120-121).
Kepada Nabi Muhammad SAW diwahyukan supaya mengikuti jejak langkah perangai
mulia (millah) yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim, yaitu patuh, jujur, pandai berterima
kasih, berkasih sayang sesama --keluarga dan masyarakat--, pandai memilih tindakan
yang tidak merugikan orang lain, dan senantiasa memimipin ummat ke jalan yang benar.
Satu-satunya cara adalah dengan senantiasa "berpegang teguh kepada Hidayah Agama
Allah".Mudah-mudahan kita semua senantiasa berada di dalam lindungan Rahmat dan
InayahNya. Amin.
DIBAWAH NAUNGAN
SYARI'AT ISLAM
yang manusiawi. Dalam setiap keadaan terjadi kedzaliman atau keaniayaan. Dalam
berbagai bentuk. Dia tampil ke permukaan bertepatan dengan saat-saat manusia
meninggalkan aturan-aturan. Atau dikala orang mencecerkan hukum-hikum Allah dan
syari'at Agama-NYA (Syari'at Islam). Peringatan Allah Subhanahu wa ta'ala,
menyebutkan :
Senantiasa orang-orang kafir (orang-orang yang meninggalkan hukum-hukum Allah) itu,
ditimpa bahaya, sebab perbuatan mreka sendiri, bahkan tiba bahaya itu dekan rumah
mereka (dalam negeri sendiri), sehingga datang janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak
pernah memungkiri janji" (Q.S. XIII-Ar-Ra'ad, ayat 31).
Janji Allah, berupa munculnya rasa takut karena ulah manusia jua. Hilangnya
tauhid bertukar syirik, merupakan salah satu penyebabnya. Hilangnya aman lantaran
tumbuhnya kufur. Terbangnya iman dari lubuk hati, sirna-lah aman dari kehidupan.
Merajalelanya kedzaliman disebabkan lupa kepada hukum-hukum Allah (hududallah).
Kebahagiaan manusia dan lingkungan yang aman terancam punah. Tanaman
kehidupan yang baik tak kunjung menjadi kenyataan. Semuanya terjadi karena kesalahan
manusia semata. Ukuran "benar-nya suatu kebenaran sering diukur dari kualitas
pelakunya. Kualitas kebenaran terabaikan. Kualitas kebenaran, ukurannya adalah syari'at
(aturan-aturan) Agama Allah (Islam). Asasnya adalah iman dan taqwa kepada Allah
semata.
Realisasi taqwa adalah kerelaan melaksanakan hukum Allah Yang Maha Kuasa.
Suka atau tidak. Di dalam syari'at itu, tercakup semua aturan, yang menyangkut harkat
kemanusiaan. Semua kaedahnya tertera dengan jelas, didalam syariat Islam.
Iman, tidak berarti hanya sekedar percaya kepada adanya Allah, tanpa diikuti
serta perilaku. Perilaku itu berupa amal-shaleh. Unsurnya adalah ikhlas, bersih dan lurus.
Ukurannya, sesuai dengan kehendak Allah - yang dimani- semata. Amal, merupakan
konsekwensi logis dari iman.
Aktivitas; sedemikian, melahirkan ibadah-ibadah yang benar. Teguh dan kokoh
pada setiap perintah Allah. Terjauh dari semua unsur keaniayaan. Baik itu menyangkut
hubungan individu, atau hubungan yang luas, hubungan masyarakat. Sampai kepada
suatu tatanan kehidupan yang menyeluruh. Suatu aturan (syari'at), ruang lingkungannya
universal. Tidak membedakan pangkat dan derajat. Tidak mengenal perbedaan bangsa
dan bahasa. Pelaksanaan aturan-aturannya tidak hanya terbatas pada kedudukan elit, juga
tidak pada perbedaan kulit.
Dengan penerapan iman secara benar dan utuh ini, muncullah suatu sistem
keadilan yang indah. Terpatri dalam sejarah, tentang kisah Al Makhzumiyan, sosok
seorang pembesar (Quraisy) yang terpandang. Dikala ia melakukan tindak pencurian,
korupsi dan manipulasi pada jabatannya semasa itu. Dia ditangkap, diadili dan dijatuhi
hukuman. Hukuman potong tangan. Beberapa pemuka Quraisy berpendapat, sebaiknya
diajukan saja permohonan ampunan (grasi) kepada Muhammad Rasulullah (Shallallahu
'alaihi wasallam). Mengingat Al-Makhzumiyan termasuk seorang anggota keluarga
Quraisy yang disegani. Lagi pula Muhammad Rasulullah SAW, juga seorang putra
Quraisy yang "terbaik" dan mulia. "Kita coba memanfaatkan situasi ini...," demikian
usulan pemimpin-pemimpin Quraisy yang lainnya. Hubungan keluarga dan tali darah,
mungkin bisa merubah putusan syari'at yang ditimpakan. Begitulah jalan fikiran
pembesar Quraisy umumnya waktu itu. Diutuslah seorang shahabat yang dikenal dekat
dengan Muhammad SAW, sebagai perantara. Usamah bin Zaid, pilihan yang tepat. Dia
akan dipilih menjadi utusn menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, menga-
jukan permohonan "maaf" dari sang koruptor al Makhzumiyah ini.
Hubungan "kekerabatan" ditampilkan Shahabat dan kenalan, dipilihkan sebagai
formula pembuka jalan. Demi nama baik keluarga Quraisy, kiranya Al-Makhzumiyah
tidak jadi dijatuhi hukuman. Setidak-tidaknya agar hukuman kepadanya menjadi ringan.
Jangan ditimpakan hukum "potong tangan", yang bisa dianggap "mempermalukan
seumur hidup.
Tatkala permohonan seperti itu disampaikan oleh Usamah bin Zaid kepada
Rasulullah SAW, mukanya berubah merah padam. Beliau menjadi marah, lantas balik
bertanya. Satu pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Adakah kalian meminta keringanan dari suatu ketetapan dari satu
keputusan yang telah ditetapkan oleh Allah....???"
Usamah bin Zaid, dan juga para sahabat lainnya menjadi terdiam dan kecut.
Rasulullah SAW menyampaikan pidato dihadapan orang banyak, yang pada waktu itu.
Amanat yang berisikan garis-garis yang jelas. Amanat itu menjelaskan tentang cara-cara
menumbuhkan aman. Tentang penyebab hilangnya stabilitas. Tentang penerapan
nilai-nilai keadilan dalam mencapai kemakmuran. Tentang kemakmuran yang adil, yang
didambakan setiap insan, dalam setiap kurun.
Sabda Rasullullah SAW ini pendek dan padat, jelas lagi bernas. Isinya menembus
jauh relung-relung dihampir atau hati nurani insani. Jika diterapkan tidak akan ada lagi
para pencoleng. Tidak akan ada pula ditemui lagi para koruptor dan pencuri, yang bisa
berlindung dengan aman, karena tak terjangkau tangan-tangan hukum.
AL-QUR'AN
MAMPU MENGANGKAT
DERAJAT MANUSIA YANG HINA
Rahmat
Setiap Rasul membawa rahmat bagi ummat manusia. Dengan sejarah yang
disampaikannya dari Allah yang mengutusnya. Tetapi, rahmat yang dibawa Rasul-Rasul
pendahulu, sebelum Muhammad SAW, hanya terbatas kepada kaumnya semasa saja.
Nabi Muhammad membawa rahmat bagi seluruh ummat manusia, tidak hanya di
zaman dia diutus (semasa hidupnya semata). Tetapi telah 15 abad berlalu, akan berlaku
selalu sepanjang masa, berabad-abad mendatang, hingga datangnya batas kiamat.
Ajarannya pun, tidak hanya terbatas bagi lingkungan tanah kelahirannya, tetapi
melingkupi seluruh sudut bumi, dan lagi universal.
Kalau kita mau meneliti sejarah kemanusiaan, mulai manusia pertama, dan kita
bandingkan dengan keadaan manusia kita sekarang, banyak hal yang kita temui untuk
dikaji dan diteliti. Kita sependapat, jumlah manusia masa lalu, lebih sedikit dari manusia
masa kini. Secara macro, jumlah manusia selalu bertambah. Penduduk bumi, semakin
padat, dan bahkan dijadikan salah satu pasal dari problema yang mendunia.
Bahkan setiap detik, jumlah manusia di dunia makin bertambah. Ilmu kedokteran
yang berkembang, mengantisipasi angka kematian. Ilmu kedokteran pun, berusaha
memperpanjang usia manusia, melalui program peningkatan kesehatan, dan
pemeliharaannya. Jumlah penduduk dunia pada tahun 1980 (satu dasawarsa) lalu, terang
berbeda dengan jumlah penduduk dunia hari ini (1992). Tendensinya meningkat. Satu
ukuran bagi kesejahteraan hidup manusia.
Bila kita sadar, mencoba mengambil garis balik penduduk dunia dari masa ke
masa, kita pasti akan melihat jumlah penduduk manusia di dunia, angkanya terus
menurun. Semakin jauh kita mundur, semakin sedikit jumlah yang kita hitung. Akhirnya,
kita sampai kepada hitungan awal, hanya dua orang saja (Adam dan Hawa).
Dari sinilah pertambahan penduduk itu, sebagai cikal bakalnya. Pertambahan
penduduk, merupakan sesuatu yang sangat alami, sesuai dengan hukum alam, terdiri dari
dua jenis manusia lelaki dan wanita. Bahkan, Al-Qur'an menjelaskan lebih rinci, diawali
dari manusia seorang diri (Adam), kemudian daripadanya dijadikan seorang pasangan
(Hawa). Dari keduanya berkembangbiaklah manusia, hingga kini, esok dan seterusnya.
(lihat QS.4 An-nisa' - ayat 1).
Bahasa
Manusia ditakdirkan untuk menjadi penduduk bumi. Dia ditugaskan untuk
membina segala sesuatu yag ada di sekelilingnya, untuk menunjang suatu peradaban
Luar Biasa
Kejadian manusis sungguh luar biasa. Kita yakin, manusia pertama itu,
benar-benar ada. Dan dia pasti tidak kera, juga tidak monyet, ataupun onta. Manusia
pertama itu adalah manusia juga, seperti kita. Itu pasti. Sebelum ada dibumi, jelas ada
pendahulu kita. Hubungan terpendek, adalah ibu dan bapak kita masing-masing.
Bersambung terus ke atas, hingga sampai pada manusia asal, manusia pertama.
Hukum ini, berterima dalam jalur pikiran manusia. Sebelum kita ada, kita tidak
mengetahui, kita ada dimana, bahkan tidak tahu bagaimana keadaan kita. Alangkah
minimnya ilmu kita tentang diri kita ini, sebelumnya. Namun kita yakin, keberadaan kita
melalui satu proses "kelahira". Tidak seorang manusia pun, yang keberadaannya di sini,
tanpa melalui "rahim ibu". Walaupun di dalam penciptaan "bayi tabung" sekalipun hingga
hari ini.
Sungguh luar biasa, penciptaan manusia, yang mengetengahkan satu proses, dari
sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Tidak kah hal ini mengundang kita untuk
merenungkan keberadaan kita sekarang? Dan banyak lagi pertanyaan yang tindih
bertindih. Akhirnya, hanya bermuara kepada Maha Suci Allah, Maha Pencipta.
pengabdian. Merasa diri kecil dihadapan Yang Maha Pemberi, Maha Rahman dan Maha
Rahim. Penghambaan, merupakan bukti dari sebuah kecintaan yang luhur, siapapun yang
mencintai sesuatu, berarti dianya bersedia memperhambakan diri kepada yang
dicintainya.
Bahasa lahir, seiring dengan keberadaan manusia. Kemudian kehidupan
berkembang, dengan bertambahnya bangsa dan panjangnya masa yang dilalui.
"Dan Dia (Allah) ajarkan kepaa Adam nama-nama (benda) seluruhnya" (QS. 2
Al-Baqarah, ayat 31). Peristiwa ini, sudah lama terjadi. Sejak bumi pertama kali didiami
manusia pertama (Adam). Allah mengajarkan pengertian-pengertian tentang
benda-benda, memberikan kepada manusia akal, yang mampu menyerap ilmu, kemudian
mengungkapkan dalam berbicara.
Manusia pun dibedakan dengan makhluk lainnya, diantaranya dengan
kemampuan berbicara, dan mensyukuri ni'mat Allah. Al-Qur'anlah pertama kali
mengajarkan kepada kita, Allah mengajarkan pertama kali pula kepada manusia, ilmu
berkata-kata, melalui pengenalan benda-benda. Karena itu, menurut hemat saya,
bagaimanapun bentuk ilmu pengetahuan pada saat sekarang dan masa datang. Al-Qur'an
tetap sebagai sumber segala ilmu dan pengetahuan. Al-Qur'an akan tetap menjadi
penuntun manusia, agar tidak terjerumus kepada dalamnya jurang kehinaan.
1. Buka kan "pintu hati" dan "pintu rumah" kita bagi mereka yang memerlukan bantuan
dalam rangka pemulihan ini. Tunjukkan minat kepada keadaan mereka dengan ikhlas dan
sungguh-sungguh.
Andaikata pun kita belum dapat memberikan bantuan kepada mereka sewaktu itu juga,
sekurang-kurangnya sokongan moril kita harus berikan.
Hati yang lebih lega dan kembali berisi harapan niscaya akan menambah himmah
mereka untuk bekerja terus. Sekurang-kurangnya, akan menambah daya tahan mereka
dan menghindarkan diri mereka pada perbuatan-perbuatan yang menyalahi hukum Syar'iy
atau duniawi. Sekali-kali jangan mereka meninggalkan kita dengan bermacam-macam
perasaan, yang mematahkan hati mereka untuk menjumpai kita kembali.
2. Untuk kelancaran usaha pemulihan, diperlukan cara pencatatan yang sederhana dari
mereka yang bertebaran itu, mengenai namany, alamatnya, kecakapannya dan lain-
lainnya. Catatan-catatan semacam itu diperlukan untuk memudahkan hubungan
menghubungkan mereka dengan bermacam-macam bidang pekerjaan, sewaktu-waktu kita
mengetahui terbukanya sesuatu kesempatan bekerja atau sumber pencaharian, yang sesuai
dengan kecakapan dan kemampuan mereka.
pekerjaannya, hendaklah dia berusaha sedapat mungkin, merintiska jalan bagi teman-
teman yang masih bertebaran.
5. Tunjukkan minat kepada usaha-usaha yang telah atau sedang dilaksanakan oleh
seseorang atau sekelompok berupa perusahaan sendiri, umpamanya dibidang pertanian,
peternakan atau perusahaan kecil dan sebagainya. Mereka ini termasuk golongan yang
berani merintis dan mempunyai inisiatif.
Ada dua cara yang dimanapun juga tidak akan mendapatkan penghargaan, yakni ;
cara sembrono yang tak tahu aturan, dan cara pengemis yang mintak-mintak dikasihani.
Jawabnya; Sudah tentu masing-masing kita perlu mengusahakan agar dapur tetap
berasap. Ini kewajiban kita sebagai kepala keluarga. Tetapi dalam pada itu, sudah menjadi
pembawaan bagi seorang pemimpin bila ia hendak dianggap sebagai pemimpin bahwa dia
terus memikirkan dan mengikhtiarkan kesejahteraan bagi umat yang dipimpinnya, di
samping itu berusaha memenuhi kewajiban terhadap diri dan rumah tanggannya sendiri
dengan sesatpun tidak memutuskan harapan atau ma'unah dan kerahiman Ilahi dalam
keadaan bagaimanapun.
Amal dan ikhtiar kita dalam dua bidang kewajiban ini senantiasa sejalan dan
berjalin. Terkadang-kadang titik berat itu mungkin berkisar-kisar di antara dua bidang itu,
menurut tuntutan keadaan disesuatu waktu. Tetapi kedua-duanya tetap terjalin, dalam
bagaimanapun juga.
Malah justeru di sa'at serba sulit itulah Umat menghajatkan benar bahwa para pemimpin
mereka dapat dirasakan berada ditengah-tengah mereka dalam suka dan duka, dalam arti;
tetap bersama-sama menghadapi persoalan mereka walaupun mereka tahu bahwa para
pemimpin mereka itu tidak bisa, dengan serta merta, mengatasi berbagai kesulitan-
kesulitan yang mereka alami.
tidaklah terbatas hingga itu saja. Satu dan lainnya dikemukakan sebagai penggugah
dan pengantar pemikiran. Kita percaya kepada pengalaman-pengalaman daya pikir daya
cipta masing-masing kita yang sama-sama menghadapi kesempurnaan lagi dalam
praktiknya, sambil berjalan.
Mungkin pula dari apa yang tersebut diatas timbul pendapat seolah-olah apa yang
dikemukakan itu adalah barang lama, tidak ada yang baru.
Syukurlah kalau ternyata itu semua adalah hal-hal yang sudah lama dikerjakan
orang, dan lantaran itu tentu, kitapun dapat mengerjakannya, asal mau.
Yang sudah terang ialah, bahwa barang yang lama itu tetap bagi kita akan baru,
selama kita tidak atau belum kerjakan.
Barangkali juga dirasakan, bahwa di antara hal-hal itu ada yang demikian barunya
sehingga sukar, malah rasa-rasa tak mungkin dapat mencapainya. Semboyan kita ialah ;
BANTULAH
SAUDARAMU
ALLAH AKAN MEMBANTU KAMU
Alhamdulillah, sekali-kali walaupun hanya satu jam kita sudah mulai bertemu
dengan Matahari. Warnanya tidak lagi kelabu walaupun asap belum habis. Sekali-kali
hujan pun mulai turun pada beberapa tempat. Namun asap belum juga reda. Warna
Matahari masih kemerahan, mengingatkan kita tentang pahitnya warna kehidupan di
desa-desa terpencil yang terseok-seok akibat kemarau panjang.
Diantaranya Lunang Silaut. Penduduknya sudah mulai minum air kubangan
bercampur luluk karena air bersih sulit dicari. Sebatas pemberitaan Surat Kabar di daerah
ini, terungkap pula kabar bahwa bantuan air harus dibayar masyarakat Rp. 2.500 bagi
yang memerlukan.
Mungkin ini sekedar untuk membantu ongkos membawa dari tempat yang jauh
sampai ke Lunang Silaut. Wajar saja untuk membawanya dengan mobil tentu diperlukan
bensin. Suatu hal yang lumrah saja sebenarnya.
Akan tetapi dalam kasus Lunang menjadi terasa berat karena sebahagian
masyarakatnya telah mulai memakan nasi campur ubi. Bagi mereka sangat tidak mampu
untuk membeli air. Keprihatian lembaga-lembaga Islam termasuk Muhammadiyah
Wilayah Sumatera Barat berupa ajakan agar kita memperlihatkan rasa ukhuwah yang
mendalam sesama Muslim dengan segera mengumpulkan dana bantuan untuk masyarakat
di daerah sulit itu, perlu disahuti. Makin cepat makin baik.
Yang diperlukan umat kita di Lunang Silaut hari ini bukanlah pakaian, melainkan
yang bertalian dengan perut dan makanan. Kebutuhan vital untuk hidup. Syukur juga
musibah ini tidak terjadi selama pemilu 1997. Bila terjadi pada saat-saat kampanye,
rasanya tidak perlu risau benar, karena kita yakin bantuan akan berdatangan dari segala
pihak, terutama yang sedang melaksanakan kampanye.
Dikala maraknya kampanye menggigit suara umat sudah selesai, beban ini
terpulanglah kepada lembaga-lembaga kemasyarakatan (seperti Muhammadiyah
Artinya :
Yang tidak mau tahu urusan sesama umat Muslim sebenarnya tidak pantas disebut
kelompok Muslim.
Begitulah Rasulullah SAW
Mudah-mudahan kita tidak tergolong kedalam klasifikasi yang disebut Rasulullah
SAW ini. Mari kita bantu Saudara kita yang sebenarnya sangat menunggu bantuan kita.
Dan kita sukseskan bersama program yang sudah di gerakan oleh Muhammadiyah
Wilayah Sumatera Barat.
Refleksi dari ibadah ini adalah lahirnya sikap pengorbanan yang tulus, penuh
kerelaan dengan kesadaran yang tinggi sebagai pembuktian tanggung jawab makhluk
terhadap khaliknya.
MAKNAWI IBADAH adalah lahirnya watak positif sebagai hasil jalinan hubungan
komunikatif dengan ma’bud (hablum minallah), membentuk sisi kejiwaan (psychological
side-effect) yang terlihat jelas pada sikap;
ikhlas (bersih), redha (siap sedia), shabar (tahan uji), istiqamah (disiplin), qanaah
(hemat), jihad (rajin dan berani), taat (setia), syukur nikmat (pandai berterima kasih),
yang merupakan dasar-dasar akhlaq mulia dan menjadi tugas pokok risalah keutusan
Muhammad SAW 3.
hidup dengan prinsip ta’awunitas (saling menolong, bekerja sama dan sama-sama
bekerja).
Untuk itu, Allah menyediakan balasan (pahala) ibadah kurban ini berupa “hasanah
pada setiap helai bulu ternak yang di korbankan” , dan merupakan amalan yang paling di
senangi Allah di yaumun-nahar (hari raya kurban), inilah puncak kegembiraan muttaqin
(orang yang mawas diri) 4 .
Di simpulkan, HIKMAH ibadah 5 adalah pembuktian yang nyata dari;
1. tauhidiyah (shalat, nusuk, hidup-mati), ditujukan kepada Allah, dengan sikap prilaku
hubbullah, menghidupkan sunnah al muwahhidin, dan membudayakan mawaddah wa
rahmah (hubungan kasih sayang sesama manusia) 6,
2. syukur atas nikmat Allah, berarti tunduk, cinta, pengakuan, memuji, dan
mempergunakan di jalan yang di redhai Allah 7 ,
3. taqwa (mawas diri) kepada Allah dengan tafakkur (berfikir) dan tadzakkur (berzikir)
atas hidayah-Nya, dan ihsan 8 yaitu sikap peduli sesama.
(ilmu, kefahaman mendalam tentang Alqur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang IA
kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi Al Hikmah (ilmu) itu, maka ia
benar- benar telah di anugerahi karunia (nikmat) yang banyak. Dan hanya orang - orang
yang berakal- lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman- firman Allah)" (Al
Baqarah, QS. 2 ayat 269).
Kalaulah umat Islam masih saja "mendua", maksudnya tidak sepenuh hati
menjadikan Alqur'an sebagai pedoman hidup, maka selama itu pulalah umat Islam akan
ditimpa berbagai macam kegelisahan dengan berbagai bentuk penderitaan. Sebab, umat
Islam yang menderita itu, tidak bisa dilepaskan dari keingkarannya pada kebenaran
ayat-ayat Alqur'an. Oleh sebab itu, marilah kita benar-benar menjadikan Alqur'an sebagai
pedoman hidup yang membawa kesejahteraan secara keseluruhan.
Semua di lakukan mengharap redha Allah sebagai aplikasi terutama dari nilai Alquran.
Selain berkembang kearah yang positif, tidak jarang dampak negatif menyertai,
tatkala kesiapan moral spiritual tidak di seiringkan dengan laju perkembangan material.
Laju pertumbuhan materiil yang tidak di imbangi kesadaran akhlaq mulia (moralitas
spiritual) akhirnya menyisakan “limbah budaya” yang berpengaruh pada penurunan
kualitas manusia. Limbah budaya, tampak pada perilaku yang tidak normatif, seperti
kehidupan materialistis tanpa mengindahkan batas -batas antara halal dan haram, antara
boleh dan tidak.
Hajat hidup tidak semata pemenuhan kebutuhan materiil, malah lebih oleh kepuasan
spiritual yang melahirkan rasa aman, rasa bahagia dan hidup yang tenteram. Merebut
materi semata dengan menghalalkan serba cara, bisa menghapuskan kecintaan terhadap
sesama manusia dengan hilangnya kerukunan dan kesantunan.
kehidupan ukhrawi tidak kena mengena (tidak relevan) dengan kegiatan duniawi (paham
sekularisme).
Akibat lebih jauh, manusia leluasa merampas hak orang lain untuk "struggle for
life". Muaranya adalah kehidupan hedonistik, berkembangnya kriminalitas, sadisma,
pergaulan tak bermoral (a-moral), akhirnya mengundang hilangnya kepercayaan di
tengah pergaulan hidup, kemudian menjelma menjadi krisis (dharra’) yang sulit di atasi.
TANTANGAN HIDUP dan situasi krisis betapapun hanya bisa teratasi oleh adanya
kepedulian sesama dalam wawasan tauhid, tawadhu’ (pengabdian luhur), taqarrub (rela
berkurban), amanah (jujur beramal), tazkiyatun-nafsi (bersih bertindak), ta-allaful qulub
(bersatu hati), tawakkal (berserah diri dengan usaha), sebagai akhlaq ibadah kepada
Allah, yang merupakan refleksi dari ibadah kurban.
Ingin mendapatkan sesuatu secara mudah tanpa harus mengerahkan potensi secara
optimal akan mengundang kehidupan tanpa kewajaran, bisa menghilangkan hak esensial
manusia. Disamping bisa pula menghapus penghormatan manusia terhadap sesama, atau
meluncurnya nilai-nilai kualitas manusia, dengan kehidupan liberalis yang menjangkiti
sebahagian negeri maju, dan bergerak sangat cepat sebagai limbah budaya di tengah arus
globalisasi.
Kenyataan ini menyertai juga gerak ekonomi yang tidak lagi merujuk kepada
kemashalahatan orang banyak, tetapi mengarah kepada penumpukan keuntungan pribadi
semata.
akan dengarkan dan kami akan ta'ati. (Insya Allah). Demikianlah satu "cuplikan" sejarah,
peri kehidupan para sahabat Rasulullah yang masih mengalami masa-masa "nubuwwah".
Para sahabat saling memupuk "dhamir" masyarakat (social responsibility).
Mereka memulai dengan menawarkan diri sendiri jadi sasaran "amar ma'roef dan
nahi moenkar", guna menyuburkan kekuataan pengendalian diri (self control) dan
pengkoreksian diri dari masyarakat (social control). Hal itu terjadi, karena teramalkannya
dengan sungguh-sungguh Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala),
"(tetapi) hendaklah kami bertolong-tolongan atas kebaikan dan bakti
(ketakwaan), dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan
permusuhan, dan hendaklah kamu takut kepada Allah, karena sesungguhnya Allah itu
sangat keras siksanya" (QS.V Al-ma'idah, ayat 2)
Tegur Sapa
"Ta'awun (saling pertolongan), sebuah aktivitas konkret. Dia bisa bersifat
koreksian dan tegoran. Bukanlah sebuah "tegoran" diartikan sebagai satu tanda kebencian
atu permusuhan terhadap pribadi seseorang yang melakukan kesalahan itu sendiri. Tidak
harus diartikan begitu. Maka titik tolak kita sebagai seorang Muslim dan Muslimah dalam
melakukan tugas "tegur-sapa" (istilah di Minangkabau-nya, senteng babilai/singkek
ba-uleh ta-tuka ba-anjak/ba-rubah basapo), karena "rasa kebencian" semata. Bukan
didorong "rasa benci".
MERASAKAN LEZAT
HUBUNGAN ROHANI
Hubungan jiwa antara pemimpin dan yang dipimpin tidak dijalin dengan suatu
pidato jawaban yang panjang-panjang, supaya sesuai gayung dengan sambut, seperti yang
sering di dengar dalam acara-acara resepsi. Akan tetapi melalui satu perhubungan rohani
yang teguh dan ikhlas, yang terbit dari cita-cita hendak bersama-sama dalam kegembiraan
dan kedukaan, hendak sesakit dan sesenang, hendak sehidup dan semati.
Berbahagialah seorang pemimpin yang mempunyai hubungan bathin seperti itu,
dengan ummat yang dicintainya dan mencintainya. Beruntunglah pula satu umaat yang
ditengah-tengahnya ada pemimpin tempat mengarahkan perasaan suka di waktu senang,
menunjukkan perasaan duka di zaman susah. Alangkah lezatnya hubungan rohani
semacam itu, hubungan rohani yang terbit dari se-cita-cita dan se-aqidah.
Hubungan rohani yang seperti itu bertambah dalam artinya dan tidak kurang
kekuatannya bila datang marabahaya yang menimpa satu ummat. Sebab dalam
kenang-kenangan ummat itu kesusahan yang sama diderita lebih dalam bekasnya
daripada kesenangan yang sama-sama dirasai.
Pertalian rohani yang seperti itu terbit dari satu hubungan yang rapat berdasar
kepada sama harga menghargai. Timbul dari nasib yang satu, dari kebudayaan yang satu,
yang telah terjalin dan berlapis dalam sejarah ummat sampai menjadi satu pusaka lama
harta bersama, aqidah yang sama - sama hendak diperlindungi dan dipertahankan.
Apabila cita-cita dan pertalian rohani itu sudah menjadi ikatan yang dipertalikan
oleh perjalanan sejarah, maka waktu malapetaka datang menimpa tidak ada beban berat
yang tak mungkin terpikul, tak ada korban besar yang tak mungkin direlakan oleh semua
yang ada dalam ikatan, untuk memelihara keselamatan bersama untuk mencapai kejayaan
bersama. Sungguh lezat hubungan rohani yang seperti itu. Luruskan Niat
Akan tetapi kelezatannya tidak mungkin dikecap selama belum lengkap syarat
dan rukunnya, yaitu aqidah dan ukhuwwah. Suatu bentuk dan susunan hidup berjamaah
yang diredhai Allah yang dituntut oleh syari'at Islam, mengikuti jejak Risalah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan tuntutan Kitabullah.
Kita sekarang merintis merambah jalan guna menjelmakan hidup berjamaah
sedemikian yang belum kunjung terjelma di negeri kita ini, kecuali dalam khutbah alim
ulama, pepatah petitih ahli adat, dan pidato para cerdik cendekia. Kita rintiskan dengan
cara dan alat-alat sederhana tetapi dengan api cita-cita yang berkobar-kobar dalam dada
kita masing-masing.
Ini nawaitu kita dari semula. Ia murah, tapi tak dapat dibeli. Ia dekat, tapi tak
mungkin dicapai, sebelum terpenuhi bahan dan ramuannya. Tak mempan disorongkan
dengan perintah halus atau yang semacamnya itu. Kita jagalah agar api nawaitu itu jangan
padam atau berobah di tengah jalan. Kita ikatkan ukhuwwah yang ikhlas bersendikan
Iman dan Taqwa. Maka, tidak seorang pun yang berpikirkan sehat di negeri kita ini yang
akan keberatan terhadap penjelmaan masyarakat yang semacam itu.
Nilai amal kita, besar atau kecil, terletak dalam niat yang menjadi motif untuk
melakukannya. Tinggi atau rendahnya nilai hasil yang dicapai sesuai pula dengan tinggi
atau rendahnya mutu niat orang yang mengejar hasil itu. Amal kita yang sudah dan kita
kerjakan tetapi tujuan nawaitu nya kita anjak. Semoga dijauhkan Allah jualah kita semua
dan keluarga kita dari kehilangan nawaitu di tengah jalan. Amin.