Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

Complete Spinal Cord Injury (Frankel A) Setinggi Segmen T-9 dengan


Fraktur Dislokasi Vertebrae Thoracal IX + Ulkus Dekubitus

Oleh:
K M Azka Novriandi, S.Ked
04124705105
Pembimbing:
Dr.Rendra Leonas, Sp.OT (K)Spine

DEPARTEMEN ILMU BEDAH RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2013

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul

Complete Spinal Cord Injury (Frankel A) Setinggi Segmen T-9 dengan


Fraktur Dislokasi Vertebrae Thoracal IX + Ulkus Dekubitus

Oleh:
K M Azka Novriandi, S.Ked
04124705105

telah dilaksanakan dan disetujui pada bulan September 2013 sebagai salah satu
persyaratan

guna

mengikuti

ujian

Kepaniteraan

Klinik

Senior

di

Bagian/Departemen Ilmu Bedah FK Unsri/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin


Palembang Periode 19 Agustus 28 Oktober 2013.

Palembang, September 2013


Pembimbing,

Dr. Rendra Leonas, Sp.OT (K)Spine

BAB I
STATUS PASIEN
1.1 IDENTIFIKASI
a. Nama
b. Usia
c. Jenis Kelamin
d. Kebangsaan
e. Suku
f. Status Pernikahan
g. Pekerjaan
h. Agama

:
:
:
:
:
:
:
:
i.

Tn. Supian Effendi


28 tahun
Laki-laki
Indonesia
Jawa
Menikah
Petani
Islam
Alamat : Dusun IV Sekayu, Musi

Banyuasin
: 11 Juli 2013
: 737239

j. MRS
k. No. Rekam Medis

1.2 ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 15 September 2013)
Keluhan Utama:
Tidak dapat menggerakkan kedua tungkai bawah
Keluhan Tambahan:
Rasa baal pada kedua tungkai bawah, tidak dapat merasakan BAK dan BAB,
terdapat borok di bokong.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
6 Bulan SMRS, penderita terjatuh dari pohon dengan ketinggian 9 meter
dalam posisi terduduk. Setelah kejadian kedua tungkai bawah tidak dapat
digerakkan. Pasien juga merasa baal pada kedua tungkai bawah, serta tidak
dapat merasakan BAK dan BAB. 3 Bulan SMRS timbul borok di bokong
yang semakin membesar. Pasien kemudian berobat dan dirawat RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang karena keluhannya tidak berkurang.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan umum
Kesadaran
Pernafasan
Nadi

:
:
:
:

sakit sedang
compos mentis
20 x/menit
82 x/menit

Tekanan Darah
Suhu
Kulit

:
:
:

110/70 mmHg
36,5C
ulkus (d=10cm) di regio sakrum, ulkus
(d=5cm) di regio SIAS

Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Tenggorokan

:
:
:
:
:
:
:
:

Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)


Sekret (-)
tidak ada kelainan
tidak ada kelainan
tonsil tidak hiperemis, T1-T1
isokor, reflek cahaya +/+
JVP (5-2)cm H2O
tidak ada pembesaran KGB koli, aksila,

:
:

maupun inguinal
tidak ada kelainan
Denyut jantung 86x/menit,

Paru-paru
Abdomen

:
:

gallop (-)
Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien

Anus
Ekstremitas superior
Ekstremitas inferior
Status lokalis
Regio Ekstremitas Inferior
Inspeksi
:
Palpasi
:

:
:
:

tidak teraba, bising usus (+) normal.


TSA Longgar
tidak ada kelainan
lihat status lokalis dan neurologis

simetris, deformitas (-)


edema pretibia (-)

Regio Sakrum
Inspeksi

tampak ulkus (borok) dengan diameter 10 cm,

tepi tidak rata, dasar otot, pus (+), darah (-)


nyeri tekan (-)

tampak ulkus (borok) dengan diameter 5 cm, tepi

:
:

tidak rata, dasar otot, pus (+), darah (-)


nyeri tekan (-)
TSA longgar

Pupil
Leher
Kelenjar getah bening
Thorak
Jantung

Palpasi
Regio SIAS Sinistra
Inspeksi
Palpasi
Anus
Status Neurologis

murmur(-),

Fungsi Motorik
Ekstremitas Superior
Gerakan

Kanan
Cukup

Kiri
Cukup

Kekuatan
Tonus
Refleks Fisiologis
- Biceps
- Triceps
- Radius
- Ulna
Refleks Patologis
- Hoffman Ttromner
- Leri
- Meyer
Ekstremitas Inferior
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
- Paha
- Kaki
Refleks Fisiologis
- KPR
- APR
Refleks Patologis
- Babinsky
- Chaddock
- Oppenheim
- Gordon
- Schaeffer
- Rossolimo
- Mendel Bechtewer

5
Normal

5
Normal

Normal
Normal
Normal
Normal

Normal
Normal
Normal
Normal

Negatif
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif

Kanan
Tidak ada
0
Menurun

Kiri
Tidak ada
0
Menurun

(-)
(-)

(-)
(-)

Menurun
Menurun

Menurun
Menurun

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Fungsi Sensorik
Anestesi mulai dari ujung jari kaki hingga setinggi 3 - 4 jari di atas umbilikus
Fungsi Vegetatif
- Miksi
-

Defekasi

: Inkontinensia Uri
: Inkontinensia Alvi

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 11 Juli 2013
Hemoglobin
: 13,7g/dl
Hematokrit
: 38%

(13,2-17,3 g/dl)
(43-49 %)

Leukosit
:
Albumin
:
Globulin
:
Protein total
:
Natrium
:
Kalium
:
Tanggal 25 agustus 2013
Hemoglobin
:
Hematokrit
:
Leukosit
:
Albumin
:
Globulin
:
Protein total
:
Natrium
:
Kalium
:

6,6.103/mm3
3,6 g/dl
3,4 g/dl
7,0 g/dl
144 mEq/L
4,3 mEq/L

(4,5-11.103/mm3)
(3,5 - 5,0 g/dl)
(2,6 - 3,6 g/dl)
(6,4 8,3 g/dl)
(135 155 mEq/L)
(3,5 5,5 mEq/L)

13,8g/dl
39%
5,5.103/mm3
3,8 g/dl
3,2 g/dl
7,0 g/dl
143 mEq/L
4,8 mEq/L

(13,2-17,3 g/dl)
(43-49 %)
(4,5-11.103/mm3)
(3,5 - 5,0 g/dl)
(2,6 - 3,6 g/dl)
(6,4 8,3 g/dl)
(135 155 mEq/L)
(3,5 5,5 mEq/L)

Pemeriksaan Radiologi
Rontgen Thoracolumbal AP/Lat tanggal 11 Juli 2013

Kesan:
Fraktur kompresi vertebra thorakal IX
CT Scan pada tanggal 28 Agustus 2013
Hasil CT Scan Vertebral Sentrasi Th 9 potongan aksial, sagital. Tebal
potongan 1cm dengan hasil sebagai berikut :

Hasil pemeriksaan :

Tampak fraktur pada permukaan atas bagian depan corpus vertebra

thorakal IX
Corpus thorakal IX tampak bergeser ke belakang
Tampak gambaran spinal stenosis setinggi Thorakal IX
Kesan :
Tampak tanda-tanda penekanan spinal cord level Th IX
1.5 DIAGNOSIS KERJA
Complete Spinal Cord Injury (Frankel A) Setinggi Segmen T-9 dengan
Fraktur Dislokasi Vertebrae Thoracal IX + Ulkus dekubitus.
1.6 PENATALAKSANAAN
IVFD RL gtt xx/menit
Ceftriaxone 2x1 gr
Ganti verban/ hari
Diet Nasi Biasa
Tatalaksana konsevatif dengan thorakolumbal sacral orthosis (TLSO)
1.7 PROGNOSIS
Quo ad Vitam
Quo ad Functionam

:
:

Bonam
Dubia at malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tulang Belakang
Vertebra adalah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan
melindungi medulla spinalis. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang
yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal
(vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang

lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu (vertebra


sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea) (Jong WD, 2005).

Gambar 1. Anatomi Tulang Belakang


Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh
karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di
anterior. Pada pandangan dari samping, pilar tulang belakang membentuk
lengkungan atau lordosis di daerah servikal dan lumbal. Keseluruhan vertebra
maupun masing-masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya
merupakan satu kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan
gerakan antar korpus ruas tulang belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra
servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit
karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan vertebra
lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal tetapi
makin ke bawah lingkup geraknya semakin kecil (Jong WD, 2005).
Secara umum, struktur tulang belakang tersusun atas dua yaitu :
1. Korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya.

10

2. Elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas


lamina, pedikel, prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars
artikularis, ligamentum-ligamentum supraspinosum dan intraspinosum,
ligamentum flavum, serta kapsul sendi (Jong WD, 2005).
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus
neuralis di belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri,
sepasang lamina, 2 pedikel, 1 prosesus spinosus, serta 2 prosesus transversus.
Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang
servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut
odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus
neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk
segitiga dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil.
Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah
komponen jaringan lunak yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum
longitudinal posterior, ligamentum flavum, ligamentum interspinosus, dan
ligamentum supraspinosus (Jong WD, 2005).
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen
tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan
tiga pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas
korpus serta diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di
belakang kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis
lateralis. Tulang belakang dikatakan tidak stabil, bila kolom vertikal terputus
pada lebih dari dua komponen (Jong WD, 2005).

11

Gambar 2. Sendi dan Ligamen Kolumna Vertebra


Medulla spinalis berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf
yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh.
Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma
yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher,
hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan
seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak
terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang
sakral mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi (Jong WD, 2005).
2.2 Hubungan Tulang Belakang dan Medulla Spinalis

Gambar 3. Medulla spinalis


dan tulang belakang (Greene,2004)

Panjang normal medula spinalis orang dewasa adalah 42-45 cm, pada
bagian superior dilanjutkan oleh batang otak, dan bagian inferior dilanjutkan
oleh konus medularis. Selama perkembangannya, kanalis sentralis mengalami
perluasan kearah lateral pada dua bagian yaitu pembesaran servical
(intumensensia servikalis) dan pembesaran lumbal (intumensia lumbalis)
yang masing-masing membentuk pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral.
Medula spinalis dibagi menjadi kira-kira 8 segmen servikal, 12 segmen
torakal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sacral, dan beberapa segmen koksigeal
yang kecil. Masing-masing segmen bervariasi dalam panjangnya, namun di

12

dalam sumsum tulang belakang sendiri tidak ditemukan adanya batas-batas


yang tegas di antara segmen-segmen tersebut (Felten dan Jozefowicz, 2003).

Gambar 4. Potongan melintang medulla spinalis (Gondim, 2013)

Potongan

melintang

dari

medulla

spinalis

tulang

belakang

memperlihatkan sulkus mediana dorsalis, kolumna dorsalis, kolumna


lateralis, komissura putih ventralis, kolumna ventralis, fisura ventralis, fisura
mediana ventralis, kolumna kelabu ventralis, komisura kelabu ventralis,
kanalis sentralis, septum mediana dorsalis (Felten dan Jozefowicz, 2003).
Masing-masing segmen medula spinalis mempunyai 4 akar serabut saraf
yang terletak di daerah ventral dan dorsal medulla spinalis, masing-masing
akar dibentuk oleh 1-8 serabut saraf. Pada akar dorsalis didapatkan ganglion
spinal yang berdekatan dengan akar ventralis, yaitu yang berisi badan-badan
sel saraf. Akibat ada perbedaan dari kecepatan pertumbuhan antara sumsum
tulang belakang dan tulang belakang, maka segmen tulang belakang
mengalami pergeseran kearah atas dari vertebra yang bersesuaian, dengan
ketidaksesuaian ini pada segmen paling bawah dibagian lumbosakral, akarakar saraf berjalan turun ke bagian bawah sumsum tulang belakang untuk
membentuk kauda equina (Blumenfeld, 2003).
2.3 Fraktur Vertebra Torakalis

13

Penyebab tersering cedera torakolumbal adalah jatuh dari ketinggian


serta kecelakaan lalu lintas. Jatuh dari ketinggian dapat menimbulkan patah
tulang vertebra tipe kompresi. Pada kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan
tinggi dan tenaga besar sering didapatkan berbagai macam kombinasi gaya,
yaitu fleksi, rotasi, maupun ekstensi sehingga tipe frakturnya adalah fraktur
dislokasi (Jong WD, 2005).
Terdapat dua tipe berdasarkan kestabilannya, yaitu:
-

Cedera stabil : jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla
spinalis

anterior, komponen

vertebral

tidak

bergeser

dengan

pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla


spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur adalah
-

contoh cedera stabil.


Cedera tidak stabil : cedera yang dapat bergeser dengan gerakan
normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek. Fraktur medulla
spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligamen
posterior. Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan
pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi
yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai
stabilitas vertebra, ada tiga unsur yamg harus dipertimbangkan yaitu
kompleks posterior (kolumna posterior), kompleks media dan
kompleks anterior (kolumna anterior).

Pembagian kolumna vertebralis adalah sebagai berikut :


1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan 2/3
bagian anterior dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis.
2. kolumna media yang terbentuk dari 1/3 bagian posterior dari corpus
vertebralis, diskus dan annulus vertebralis.
3. kolumna

posterior

permukaan,
supraspinosa.

arkus

yang
tulang

terbentuk
posterior,

dari

pedikulus,

ligamen

sendi-sendi

interspinosa

dan

14

Gambar 5. Kolumna vertebralis


Berdasarkan mekanisme cederanya, dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur kompresi (Wedge fractures)
Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan
membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering
yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh
kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun
mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker
dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut
menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi.
Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya
daripada ukuran vertebra sebenarnya.

Gambar 6. Fraktur kompresi


2. Fraktur remuk (Burst fractures)
Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara
langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk
ke kanalis spinalis. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi
korpus vertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang

15

lebih berat dibanding fraktur kompresi. Tepi tulang yang menyebar atau
melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada
fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan
medulla spinalis dan menyebabkan paralisis atau gangguan syaraf parsial.
Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan
terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi.
Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk
mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut
merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi.
Biasanya dengan scan MRI, fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi
trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.

Gambar 7. Fraktur remuk


3. Fraktur dislokasi
Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena
kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan
sehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi
tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak.
Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan
kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi,
penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen
akan terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada
ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya
kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian

16

anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan


terjadi fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur
akan melewati lamina dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan
keluarnya serabut syaraf.

Gambar 8. Fraktur dislokasi


4.

Cedera pisau lipat (Seat belt fractures)


Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tibatiba mengerem sehingga membuat vertebra dalam keadaan fleksi,
dislokasi fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction.
Kombinasi fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang belakang
pertengahan membentuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada
bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh
penderita terlempar kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus
vertebra kemungkinan dapat hancur selanjutnya kolumna posterior dan
media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.

Gambar 9. Seat Belt Fraktur


2.4 Trauma Medulla Spinalis
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik
langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis

17

sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan


menetap atau kematian (PERDOSI, 2005).
Manifestasi Klinis
Cedera pada segmen servikal di atas T1 medulla spinalis menyebabkan
kuadriplegia dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level
tulang vertebra yang mengalami cedera adalah dimana tulang tersebut yang
mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada medulla spinalis. Level
kelainan neurologis dari cedera ini dapat ditentukan hanya dengan
pemeriksaan klinis.
Cedera medulla spinalis juga dapat dikategorikan sebagai paraplegia
tidak komplit, paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit dan
kuadriplegia komplit. Setiap fungsi sensoris atau motoris di bawah level
cedera merupakan cedera yang tidak komplit, seperti sensasi atau gerakan
volunter pada ekstremitas bawah dan sacral sparing (sensasi perianal,
kontraksi sphincter ani secara volunter, atau fleksi jempol kaki volunter).
Diagnosis klinik adanya fraktur thorakolumbal didapatkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kecurigaan yang
tinggi akan adanya cedera pada vertebra pada pasien trauma sangat penting
sampai kita mengetahui secara tepat bagaimana mekanisme cedera pasien
tersebut. Setiap pasien dengan cedera tumpul diatas klavikula, cedera kepala
atau menurunnya kesadaran, harus dicurigai adanya cedera cervical sebelum
curiga lainnya. Dan setiap pasien yang jatuh dari ketinggian atau dengan
mekanisme kecelakaan high-speed deceleration harus dicurigai ada cedera
thoracolumbal. Selain itu patut dicurigai pula adanya cedera medulla
spinalis, jika pasien datang dengan nyeri pada leher, tulang belakang dan
gejala neurologis pada tungkai. 13
Pemeriksaan klinik pada punggung hampir selalu menunjukkan tandatanda fraktur yang tak stabil namun fraktur remuk yang disertai paraplegia
umunya bersifat stabil. Sifat dan tingkat lesi tulang dapat diperlihatkan dengan
sinar-X, sedangkan sifat dan tingkat lesi saraf dengan CT atau MRI.
Pemeriksaan neurologik harus dilakukan dengan amat cermat. Tanpa
informasi yang rinci, diagnosis dan prognosis yang tepat tidak mungkin

18

ditentukan. Pemeriksaan rektum juga harus dilakukan. Pemeriksaan tentang


tanda-tanda shock juga sangat penting.
Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior dan
lateral, dan bila perlu tomografi. Rontgen tulang belakang dilakukan untuk
melihat kerusakan vertebra (rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi
tidak untuk jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang). Jika pasien
memiliki gejala atau terdapat trauma sumsum tulang belakang, dilakukan
CT-Scan atau MRI yang akan menunjukkan lebih detail dibanding rontgen.
CT scans lebih baik daripada MRI dalam menunjukkan tulang, sedangkan
MRI biasanya lebih baik dalam menunjukkan jaringan lunak seperti
sumsum tulang belakang. Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan
tanpa memindahkan atau mengubah posisi penderita.
Mielografi dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik,
seperti kelumpuhan, tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak
tampak fraktur.
Grading system pada cedera medulla spinalis :
1.
a.
b.
c.
d.
e.

Klasifikasi Frankel :
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
Grade B : motoris (-), sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)


a. Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
b. Grade B : hanya sensoris (+)
c. Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
d. Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
e. Grade E : motoris dan sensoris normal
2.5 Penatalaksanaan
Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi
dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan gangguan
neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk
stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat
dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting
sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang

19

belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau


dekubitus dapat dicegah.
Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan
reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis,
dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang
terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan
dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula
spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara
laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang. Perhatian
utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu
dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan
alas yang keras.
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau
sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita
yang patut dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa
nyeri di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan
pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan
jalan napas dan sirkulasi.Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus
diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap di tengah dengan
menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk menyangga leher pada
saat pengangkutan.
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan
pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan
penunjang seperti radiologik dapat dilakukan. Pada umumnya terjadi
paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat hematom retroperitoneal
sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung. Pemasangan kateter tetap
pada fase awal bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung kemih
yang berlebihan, yang lumpuh akibat syok spinal. Selain itu pemasangan
kateter juga berguna untuk memantau produksi urin, serta mencegah
terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering. Perhatian perlu

20

diberikan untuk mencegah terjadinya pneumoni dan memberikan nutrisi


yang optimal.

BAB III
Analisis Kasus
Seorang laki-laki berusia 28 tahun, masuk rumah sakit pada tanggal 11
Juli 2013 dengan dengan keluhan utama tidak dapat menggerakkan kedua
tungkai bawah. Pada anamnesis lebih lanjut, didapatkan informasi riwayat
perjalanan penyakit, yaitu 6 Bulan SMRS, penderita terjatuh dari pohon
dengan ketinggian 9 meter dalam posisi terduduk. Setelah kejadian kedua
tungkai tidak dapat digerakkan. Pasien juga merasa baal pada kedua tungkai,
serta tidak dapat merasakan BAK dan BAB. 3 Bulan SMRS timbul borok
di bokong yang semakin membesar. Pasien kemudian berobat dan dirawat
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang karena merasa kondisinya tidak
membaik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tidak ada kelainan pada status
generalis. Pada pemeriksaan status lokalis inspeksi di regio sakrum dan
region SIAS sinistra menunjukkan adanya ulkus dekubitus. Pada cedera
medulla spinalis terjadi gangguan sirkulasi darah ke substansia grisea medulla
spinalis yang dapat menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi

21

perdarahan. Hal-hal tersebut menyebabkan kerusakan mielin dan akson.


Selain itu, pasien ini telah mengalami tekanan imobilisasi yang lama
(berbaring 4 bulan) sehingga jaringan otot, dan suplai darah bergeser ke arah
yang lebih rendah dan terjadi peningkatan gesekan. Pada daerah yang tertekan
terjadi peregangan dan mikrosirkulasi serta iskemia jaringan yang berlanjut
pada nekrosis kulit dan ulkus dekubitus.
Pemeriksaan status neurologis didapatkan fungsi motorik ekstremitas
inferior 0, dengan fungsi sensorik ekstremitas inferior anestesia setinggi 3-4
jari di atas umbilikus, serta pasien juga mengalami inkontinensia urin et alvi.
Hal ini menunjukkan telah terjadi trauma medulla spinalis total pada pasien
karena pasien kehilangan fungsi motorik, sensorik, bahkan otonom
sepenuhnya dibawah T-9. Apabila diklasifikasikan sesuai dengan Frankel
Classification maka truma medulla spinalis pada pasien ini termasuk kategori
Frankel A, yaitu fungsi motorik tidak ada dan fungsi sensorik tidak ada.
Pemeriksaan penunjang laboratorium, dalam hal ini darah rutin dan kimia
darah tidak menunjukkan adanya kelainan. Pada rontgen thorakolumbal
AP/Lat tanggal 11 Juli 2012 didapatkan gambaran kompresi dan dislokasi
pada vertebra thorakal IX. Pasien selanjutnya juga menjalani pemeriksaan
CT-Scan untuk melihat kerusakan tulang lebih jelas. Dari pemeriksaan CTScan tanggal 28 Agustus 2013 ditemukan tampak fraktur pada permukaan
atas bagian depan corpus vertebra thorakal IX, corpus thorakal IX tampak
bergeser ke belakang, tampak gambaran spinal stenosis setinggi Thorakal IX.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
ditegakkan diagnosis pasien ini adalah Spinal Cord Injury Frankel A dan
Fraktur Dislokasi Vertebra Thorakal IX + Ulkus Dekubitus.
Penatalaksanaan pada pasien saat ini adalah IVFD RL gtt xx/menit,
antibiotik ceftriaxone 2x1 gr, ganti verban setiap hari untuk perawatan ulkus
dekubitus, dan diet nasi biasa agar asupan nutrisi pasien tetap terjaga.
Selanjutnya

pasien

di

berikan

penatalaksanaan

konservatif

dengan

thorakolumbal sacral orthosis. Berdasarkan literature, fraktur dislokasi


merupakan fraktur yang tidak stabil, seharusnya pasien diberikan tatalaksana
operatif namun melihat keadaan klinis pasien yang sudah dapat mobilisasi

22

dan juga tidak mengeluh adanya nyeri punggung lagi maka tatalaksana dapat
kita berikan dengan konservatif.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, sedangkan quo ad
functionam malam. Prognosis ditentukan dari luas lesi (pada pasien ini
trauma medulla spinalis komplit), tindakan dini (penatalaksaan pasien ini
terlambat), dan komplikasi penyulit dalam hal ini ulkus dekubitus.

DAFTAR PUSTAKA
Blumenfeld H. 2002. Neuroanatomy Through Clinical Cases. Sanauer
Assiciates, Inc.
Boos N. dan Aebi M. 2008. Spinal Disorders: Fundamental of Diagnosis and
Treatment. Springer.
Dennis H. H. dan Tak H. H. 2011. A Review of Thoracolumbar Spine Fracture
Classifications. Journal of Orthopaedics and Trauma. Vol 1. Singapore
Gondim F. A. 2013. Topographic and Functional Anatomy of The Spinal Cord.
Tersedia dalam: http://emedicine.medscape.com/article/1148570-overview,
diakses tanggal 20 Juli 2013
Greene W. B. 2006. Netters Orthopaedics (1st Edition). Elsevier. U.S. A
Sjamsuhidajat R. Dan Jong W. D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah (edisi ke-2).
EGC, Jakarta, Indonesia.
Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran (edisi ke-6).
Terjemahan oleh: Liliana Sugiharto, dkk. EGC, Jakarta, Indonesia.

23

Anda mungkin juga menyukai