Anda di halaman 1dari 13

TATA KELOLA PERUSAHAAN

Tinjauan Prinsip-Prinsip Corporate Governance dan Struktur Governance

Kelompok 3
Anggota:
Aisyah Istiqomah

(1306483933)

Lia Mustikawati

(1306484734)

Manna Noverika Lestari

(1306484772)

Putri Anandayu

(1306485062)

Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Depok, September 2014

STATEMENT OF AUTHORSHIP
Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas
terlampir adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang
lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk


makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas
bahwa kami menyatakan menggunakannya.

Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan
atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Mata Ajaran

: Tata Kelola Perusahaan

Judul Makalah/Tugas : Tinjauan Prinsip-prinsip Corporate Governance dan


Struktur Governance
Tanggal

: 11 September 2014

Dosen

: Desi Adhariani S.E., Ak., M.Si.

1. Nama

: Aisyah Istiqomah

2. Nama

: Lia Mustikawati

NPM

: 1306483933

NPM

: 1306484734

TTD

TTD

3. Nama

: Manna Noverika L.

4. Nama

: Putri Anandayu

NPM

: 1306484772

NPM

: 1306485062

TTD

TTD

Tinjauan Prinsip-prinsip Corporate Governance dan Struktur Governance

A.

Jurnal The Power of Monitoring


Peraturan tata kelola baru, dibentuk setelah banyak skandal keuangan yang

terjadi melibatkan perusahan-perusahan besar dunia yang mempengaruhi sistem


perekonomian dunia. Runtuhnya Enron merupakan salah satu faktor terbentuknya
peraturan tata kelola perusahaan yang baru. Tata kelola perusahaan berfokus pada
efisiensi manajemen internal dan menilai Dewan Direksi sebagai instrumen tata
kelola perusahaan karena mampu menghubungkan investor dengan manajer.
Dewan Komisaris dianggap dapat menyelesaikan permasalahan agensi yang
melekat dalam manajemen suatu perusahaan. Tetapi keberadaan Dewan
Komisaris juga dapat menimbulkan suatu permasalahan baru karena anggota
Dewan Komisaris juga memaksimalkan kepentingannya masing-masing dan tidak
selalu mencerminkan kepentingan pemegang saham.
Berdasarkan jurnal The Power of Monitoring, terdapat dua jenis tingkat
kepengurusan di dalam negara-negara di Eropa dan Amerika. Negara-negara
Anglo-Saxon (Australia, Kanada, Inggris, Amerika Serikat, dan Selandia Baru)
biasanya menggunakan satu tingkat kepengurusan (one tier board) sedangkan
negara-negara di kontinental Eropa (seluruh dataran Eropa kecuali UK, Ireland,
Iceland, Malta, dan Republic of Cyprus) menggunakan dua tingkat kepengurusan
(two tier boards).

I. One Tier and Two Tier Boards


Negara-negara yang berada di dataran kontinental Eropa, menggunakan
sistem two tier boards berdasarkan undang-undang yang mereka miliki.
Sedangkan untuk negara-negara Anglo Saxon menggunakan sistem one tier
board.

1.

Two Tier Boards


Sistem two tier boards adalah sistem yang wajib digunakan di Denmark,

Finlandia, Jerman, Swedia, Austria, dan perusahaan besar di Belanda. Sedangkan

di Prancis, Portugal, Swiss, dan Spanyol, perusahaan dapat memilih salah satu
dari kedua sistem yang ada.
Permasalahan pokok yang dibahas dalam tata kelola perusahaan terletak
pada pengorganisasian dan divisi personal serta pengawasan oleh two tier boards.
Oleh karena itu, pengarahan dan pengawasan dalam sebuah perusahaan menjadi
terpisah.
Tujuan yang ingin dicapai oleh manajemen adalah menjalankan aktivitas
bisnis perusahaan sesuai dengan kepentingan yang dimiliki oleh stakeholders.
Namun tanggung jawab ini secara lebih luas sangat bertentangan, karena akan
selalu ada perbedaan kepentingan antara stakeholders dan juga manajemen yang
menjalankan bisnis perusahaan. Hal ini lah yang disebut sebagai agency problem.
Dalam hal ini, peran Dewan Komisaris tidak semudah yang dibayangkan dan
sering disalah artikan, meskipun fungsi Dewan Komisaris telah ditentukan
mengenai suatu pertemuan, pengawasan dan pemberhentian Dewan Direksi.
Untuk memahami akibat yang disebabkan oleh masalah tersebut, perlu diketahui
bagaimana seharusnya interaksi yang berjalan di dalam perusahaan yang diatur
dalam hukum perusahaan.
Dalam sistem two tier boards, Dewan Direksi dipilih oleh Dewan
Komisaris. Dewan Komisaris juga melakukan kontrak dengan Dewan Direksi
serta bertanggung jawab atas pekerjaan mereka. Sedangkan Dewan Direksi
bertugas untuk mengelola perusahaan, mewakili perusahaan dan memberikan
informasi mengenai perusahaan kepada Dewan Komisaris. Hal inilah yang
membuat sistem ini sering di kritik karena dapat menimbulkan kolusi antara dua
badan tersebut.Umumnya anggota dari salah Dewan Direksi tidak dapat menjabat
sebagai Dewan Komisaris pada saat yang bersamaan, begitu pula sebaliknya.
Di dalam perusahan dengan kepemilikan yang terkonsentrasi, kecil
kemungkinan Dewan Komisaris dapat melindungi kepentingan pemegang saham
minoritas yang berlawanan dengan manajemen dan pemegang saham besar
lainnya.
Jabatan direktur yang saling berkaitan juga dianggap sebagai masalah dalam
sistem ini. Hubungan jabatan direktur ini terbentuk jika anggota dari Dewan

Komisaris suatu perusahaan juga menjadi anggota Dewan Komisaris atau Dewan
Direksi di perusahaan lain.
Pemisahan antara manajemen dan pengawasan dapat mengakibatkan
inefisiensi, karena seharusnya manajemen dan pengawas saling bekerjasama
untuk mencapai tujuan perusahaan. Sejak tata kelola perusahaan diperkenalkan,
fokus dari kinerja Dewan Komisaris didalam sistem two tier boards mengalami
perubahan menjadi pemberian saran dan konseling.

2.

Anglo Saxon Way: One Tier Board


Bertolak belakang dengan Two-Tier Boards yang banyak di adopsi oleh

negara yang menganut hukum sipil, model One-Tier Board mengakui fungsi
manajemen dan kontrol sebagai satu kesatuan dalam suatu badan dewan direksi
yang memiliki kuasa secara keseluruhan. Anggota dewan dipilih dalam dalam
rapat umum yang biasanya dilaksanakan setahun sekali.
Untuk menjalankan fungsi kontrol, direktur eksekutif yang juga bekerja dalam
bidang manajerial harus dibedakan dengan sesama anggota dewan direksi yang
merupakan direktur non-eksekutif dan tidak terlibat langsung dalam kegiatan
bisnis

perusahaan.

Sedangkan

bagi

direktur

non-eksekutifyang

bersifat

independen, berdasarkan Combined Code yang merupakan salah satu persyaratan


bagi perusahaan yang terdaftar di London Stock Exchange, harus dianggap tidak
independen dalam arti memiliki kontrak kerja dalam jangka waktu panjang
dengan perusahaan, tambahan remunerasi, dsb. Hal ini di pertimbangkan justru
untuk meningkatkan independensi daripada direktur non-eksekutif agar tidak
memiliki ketergantungan kepada CEO agar dapat membela kepentingan
pemegang saham tanpa takut menerima sangsi apapun. Berdasarkan Combine
Code, setidaknya setengah dari anggota dewan direksi harus terdiri dari direktur
non-eksekutif
Independensi juga merupakan faktor penting bagi komposisi dari dewan
komite, yang cukup umum dalam model One-Tier Boards. Komite audit
merupakan bagian dari syarat perusahaan yang terdaftar dalam bursa saham.

Kesimpulannya, pemisahan ketua dewan dengan CEO dan rekomendasi


Combine Code agar setengah dari dewan direksi terdiri dari anggota non-eksekutif
yang independen merupakan bentuk pemisahan fungsi manajerial dan kontrol.

II.

Sistem Manakah yang Lebih Baik?


Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.

Penjabarannya dapat dilihat dari Bagan SWOT masing-masing sistem di bawah


ini.
SWOT

Kekuatan

One-Tier Boards

Two-Tier Boards

Masing-masing direktur

Pemisahan atas pemimpin

memiliki akses langsung

manajerial dan kontrol

terhadap informasi yang


dibutuhkan

Kelemahan

Dewan Direksi masih

Dewan Pengendalian

berada di bawah CEO

bergantung pada
informasi dari Dewan
Manajerial

Peluang

Anggota dewan

Dewan Pengendalian

memahami kegiatan

dapat menjadi agen yang

operasional

kuat bagi pemegang


saham

Ancaman

Tidak terjaminnya

Keuntungan dalam

pemenuhan kepentingan

membela kepentingan

pemegang saham

pemegang saham masih


dipertanyakan

B.

Prinsip-prinsip Corporate Governance menurut OECD

1.

Menjamin dasar untuk sebuah kerangka tata keloal perusahaan yang efektif
Kerangka tata kelola perusahaan harus mendukung pasar yang transparan
dan efisien, konsisten dengan peraturan hukum dan secara jelas

menyampaikan pembagian tanggung jawab di antara berbagai pengawas,


regulasi, dan penegakan otoritas.
2.

Hak pemegang saham dan fungsi utama kepemilikan


Kerangka tata kelola perusahaan harus melindungi dan memfasilitasi
pelaksanaan hak-hak pemegang saham.

3.

Kesetaraan perlakuan terhadap pemegang saham


Kerangka tata kelola perusahaan harus menjamin kesetaraan perlakuan
terhadap semua pemegang saham, termasuk minoritas dan pemegang saham
asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan mendapatkan
perbaikan/ganti rugi yang efektif untuk pelanggaran hak-hak mereka.

4.

Peran stakeholders di dalam tata kelola perusahaan


Kerangka tata kelola perusahaan harus mengetahui hak-hak stakeholders
yang diterbitkan oleh hukum atau melalui perjanjian timbal balik (mutual
agreement) dan mendorong kerja sama yang aktif antara perusahaan dan
stakeholders

dalam

menciptakan

kesejahteraan,

pekerjaan,

dan

keberlanjutan secara finansial.


5.

Pengungkapan dan transparansi


Kerangka tata kelola perusahaan harus menjamin bahwa secara tepat waktu
dan akurat pengungkapan dibuat pada semua hal yang material mengenai
perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tata kelola
dari perusahaan.

6.

Tanggung jawab dewan (komisaris dan direksi)


Kerangka tata kelola perusahaan harus menjamin panduan strategi
perusahaan, pengawasan yang efektif atas manajemen oleh dewan,
akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham.

C.

Asas Good Corporate Governance menurut KNKG

1.

Transparansi (transparency)
Perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan
cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan, untuk
menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis. Selain mengungkapkan
permasalahan yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan,

perusahaan juga harus berinisiatif untuk mengungkapkan hal yang penting


dalam pengambilan keputusan oleh pemangku kepentingan.
2.

Akuntabilitas (accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan
sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan
kepentingan

pemegang

saham

dan

pemangku

kepentingan

lain.

Akuntabilitas merupakan prasayarat untuk mencapai kinerja

yang

berkesinambungan.
3.

Responsibilitas (responsibility)
Perusahaan

harus

mematuhi

peraturan

perundang-undangan

serta

melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan


sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan
mendapat pengakuan sebagai good governance citizen.
4.

Independensi (independency)
Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing
organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi
oleh pihak lain.

5.

Kewajaran dan Kesetaraan (fairness)


Dalam

melaksanakan

kegiatannya,

perusahaan

harus

senantiasa

memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan


lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

D.

Isu Penerapan Good Corporate Governance di Indonesia


Pedoman umum Good Corporate Governance di Indonesia disusun oleh

Komite Nasional Kebijakan Governance yang terakhir diterbitkan pada tahun


2006. Pada umumnya metode penerapan pedoman Good Corporate Governance
dilakukan dengan sifat comply-explain dan diterapkan secara sukarela. Perusahaan
diharapkan dapat menerapkan pedoman tersebut dan mengungkapkan hal yang
belum diterapkan di dalam laporan tahunan.
Beberapa pokok pedoman GCG diadopsi peraturan Bapepam-LK dan
bersifat wajib, pembentukan komite audit dan komisaris independen dalam sebuah

perusahaan.Bapepam-LK juga mewajibkan emiten dan perusahaan publik untuk


mengungkapkan pelaksanaan GCG dalam laporan tahunan seperti frekuensi rapat
dan hal mengenai remunerasi dewan komisaris dan direksi. Kewajiban
pengungkapan prosedur dan jumlah remunerasi ini, diatur dalam peraturan
Bapepam-LK No.X.K.6 tahun 2006.
Jumlah komisaris independen di Indonesia tidak diatur secara rinci dalam
pedoman GCG di Indonesia tetapi hanya diatur bahwa salah satu dari komisaris
independen tersebut harus memiliki latar belakang akuntansi atau keuangan.
Sedangkan menurut Bapepam-LK, Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki
minimal satu komisaris independen dan Bursa Efek mewajibkan 30% dari anggota
dewan komisaris merupakan Komsaris Independen.
Di Indonesia, sebuah perusahaan yang memiliki hubungan langsung dengan
publik, wajib memiliki Komite Audit dan komite-komite lainnya dapat dibenuk
sesuai dengan kebutuhan. Peraturan mengenai Komite Audit bagi Emiten dan
Perusahaan Publik diatur dalam peraturan Bapepam-LK No.IX.I.5. Peraturan ini
mewajibkan perusahaan memiliki minimal tiga orang anggota dan salah satunya
merupakan merupakan Komisaris Independen Perusahaan yang bertugas sebagai
ketua Komite Audit. Oleh karena itu Bapepam LK juga mengeluarkan peraturan
No.IX.I.7 mengenai Emiten dan Perusahaan Publik wajib memiliki Unit Audit
Internal dan menjalankan fungsi Audit Internal.
Beberapa isu penerapan good governance di Indonesia:
1.

Pedoman Umum GCG di Indonesia hanya merupakan acuan


Pelaksanaan GCG di Indonesia ini bersifat voluntary dan tidak terdapat
sanksi apabila perusahaan tidak menerapkan pedoman ini. Saat ini,
Bapepam-LK telah mengadopsi beberapa substansi yang terdapat dalam
Pedoman Umum GCG ke dalam peraturan-peraturannya yang bersifat
mandatory dan apabila perusahaan tidak mematuhinya maka akan
dikenakan sanksi. Meskipun demikian, alangkah lebih baik apabila
Bapepam-LK dapat mewajibkan perusahaan terbuka untuk dapat mencapai
standar good corporate governance di dalam aktivitas operasinya sehingga
akan menciptakan laju perdagangan yang kondusif di pasar modal

2.

Komunitas bisnis dan publik pada umumnya, masih belum memahami


prinsip-prinsip dan praktek GCG secara luas.
Faktor yang menyebabkan permasalahan CG di Indonesia :
Mekanisme pengendalian pasar di Indonesia didominasi oleh sejumlah
kecil konglomerat yang memiliki potensi dengan rezim kekuasaan.
Pengembangan strategi dan posisi kompetitif, baik di BUMN maupun
perusahaan-perusahaan yang memiliki koneksi politik yang kuat, tidak
didasarkan pada efisiensi dan kinerja keuangan tetapi, berdasarkan
jaringan hubungan personal dengan struktur kekuasaan.
Adanya pandangan bahwa praktik corporate governance hanya suatu
bentuk kepatuhan terhadap peraturan, sehingga penerapan GCG tidak
dilakukan sepenuh hati.
Tingginya tindak penyelewangan (fraud) dan korupsi di Indonesia
Untuk meningkatkan penerapan budaya GCG di Indonesia, diperlukan
pendekatan atau sosialisasi yang komprehensif dan penegakan hukum yang
lebih nyata. Selain itu, diperlukan juga dukungan dari sektor publik agar
public governance dapat pula menerapkan tata kelola yang baik dalam
pemerintahannya sehingga tercipta lingkungan yang mendukung prinsipprinsip GCG yang pada akhirnya akan mengakomodasi kepenting semua
pihak (stakeholders).
Perubahan corporate governance masih menyisakan hal-hal yang harus
diperbaiki, seperti kesesuaian dan penyelarasan berbagai peraturan
perundangan yang terkait. Demikian pula dengan hal-hal yang terkait
dengan otonomi daerah, permasalahan yang timbul dalam kerangka regulasi
adalah pemberlakuan undang-undang otonomi daerah yang cenderung
kebablasan tanpa diikuti dengan kesadaran danm pemahaman good
governance itu sendiri.
Upaya good governance yang sedang berjalan ini perlu diarahkan pada
upaya untuk mengubah pendekatan kepatuhan (compliance) kepada
kesesuaian (conformance) dengan praktik-praktik terbaik kelas dunia
sebagai wujud kesadaran akan arti penting pengelolaan perusahaan secara
profesional,

beretika,

dan bertanggung jawab.

Upaya

lain

untuk

meningkatkan penerapan GCG di Indonesia adalah dengan memperkuat


pengawasan pasar oleh Bapepam dan BEJ melalui pengembangan teknologi
SDM yang profesional.
3.

Perusahaan menganggap bahwa biaya pelaksanaan GCG lebih mahal


dibandingkan manfaat yang diperolehnya.
Laporan tahunan sebagian perusahaan terbuka hanya mengungkapkan
informasi umum seperti visi dan misi tanpa lebih jauh mengungkapkan
keterbukaan informasi atau corporate action yang telah dilakukan.

4.

Penegakan hukum yang masih lemah


Prinsip GCG mengharuskan jaminan kesetaraan perlakuan dan perlindungan
atas hak-hak semua pemegang saham dari berbagai kemungkinan
penyalahgunaan. Di Indonesia, memang telah diatur UU mengenai
perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, tetapi lemahnya
penegakan hukum dan praktik pengadilan maka efektivitasnya menjadi
terbatas.

5.

Penerapan GCG di Indonesia didukung pula oleh keberadaan media massa,


terutama media massa bisnis, yang saat ini memiliki peranan cukup penting
sebagai pengawas eksternal perusahaan.
Melalui pemberitaan yang disebarkan oleh media, masyarakat luas dapat
mengetahui informasi-informasi mengenai tata kelola perusahaan dan
pelaksanaannya. Media juga dapat melakukan berbagai penilaian yang dapat
memengaruhi pandangan masyarkat terhadap perusahaan tersebut dan
akhirnya berpengaruh pada reputasi perusahaan. Oleh sebab itu, muncul
suatu tekanan bagi perusahaan untuk membuat kebijakan dan berperilaku
baik sesuai dengan norma sosial yang dianggap pantas oleh publik guna
menjaga reputasi perusahaan.

E.

Peranan Regulator Terkait Prinsip Corporate Governance

1.

Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Bapepam-LK


berperan dalam melindungi kegiatan pasar modal, berdasarkan tiga lembaga
yang berfungsi untuk mengatur, membina, dan mengawasi kegiatan di
dalam pasar modal.

2.

Sebagai regulator Pasar Modal, Bapepam dan LK memiliki kewenangan


dalam menentukan kebijakan dan menetapkan peraturan-peraturan.

3.

Bapepam dapat memastikan bahwa berbagai peraturan dan ketentuan yang


ada, terus menerus disempurnakan, serta berbagai pelanggaran yang terjadi
akan mendapatkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

4.

Bapepam telah mendorong implementasi prinsip-prinsip GCG di Indonesia


dengan menerbitkan peraturan dan kebijakan yang terkait dengan GCG.
Peraturan tersebut menyangkut keputusan Bapepam mengenai prinsip:

Transparansi,

yang

mewajibkan

perusahaan

mengungkapkan

informasi kepada publik, disclosure mengenai aspek yang terkait


dengan pemegang saham, transaksi material, dan perubahan dalam
aktivitas bisnis inti, keputusan mengenai merger dan akuisisi
perusahaan publik, serta ketentuan tentang apakah suatu perusahaan
tengah dalam proses peradilan kepailitan.

Kewajaran, untuk perlindungan kepentingan dan hak pemegang


saham, ketentuan mengenai benturan kepentingan dalam transaksitransaksi tertentu, dan ketentuan mengenai penawaran tender.

Responsibilitas dan akuntabilitas, keputusan mengenai merger dan


akuisisi perusahaan publik terkait dengan kewajiban Direksi dan Dewan
Komisaris untuk membuat pernyataan kepada Bapepam dan RUPS
bahwa

merger

dan

akusisi

yang

hendak

dilakukan

telah

mempertimbangkan secara matang dengan memperhatikan kepentingan


stakeholders, kepentingan publik, kepentingan perusahaan, persaingan
yang sehat, dan jaminan akan terpenuhinya hak-hak pemegang saham
publik termasuk kewajiban untuk memiliki komite audit (Thomas S.
Kaihatu, 2006).

Daftar Referensi

Brandle & Jurgen Noll. 2004. The Power of Monitoring. German Law Journal,
Vol.5 No. 11, 1349-1371.
Kaihatu, Thomas S. 2006. Good Corporate Governance dan Penerapannya di
Indonesia. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.8 No.1, 1-9.
http://puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/1957.pdf
Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia.
Maksum, Azhar. 2005. Tinjauan Atas Good Corporate Governance di
Indonesia.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/744/1/08E00104.pdf?origin=p
ublication_detail
Nursalmi. 2012. Peranan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan dalam Mewujudkan Prinsip Good Corporate Governance pada
Perusahaan Terbuka Guna Memberikan Perlindungan Para Pemegang
Saham.
OECD. 2004. OECD Corporate Governance Principles.
Purnamasari, Fitriana. 2014. Pengaruh Penerapan Mekanisme Good Corporate
Governance Terhadap Kinerja Suatu Perusahaan.
http://fitriana49e.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2014/01/28/pengaruh-penerapanmekanisme-good-corporate-governance-terhadap-kinerja-suatu-perusahaan/
Siahaan, Ester Ro Uli. 2013. Isu Corporate Governance: Peran Media Dalam
Menjadi Pengawas Eksternal Perusahaan.
http://deka-cg.blogspot.com/2013/06/isu-corporate-governance-peranmedia.html
Tim Studi Pengkajian . 2006. Studi Penerapan Prinsip-prinsip OECD 2004
dalam Peraturan Bapepam Mengenai Corporate Governance.
Tim Studi. 2010. Kajian Tentang Pedoman Good Corporate Governance di
Negara-Negara Anggota ACMF.

Anda mungkin juga menyukai