Anda di halaman 1dari 75

DESAIN

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL


TERPADU

Disusun oleh:
Yohandarwati
Lenny N. Rosalin
I D G Sugihamretha
Sanjoyo
Utin Kiswanti
Guntur Pawoko
Susiati Puspasari
Fithriyah

DIREKTORAT KEPENDUDUKAN, KESEJAHTERAAN


SOSIAL, DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
BAPPENAS
2003

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................
DAFTAR TABEL....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
BAB II PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR.................
A. Perlindungan Sosial..............................................................
B. Jaminan Sosial.......................................................................
C. Pendekatan............................................................................
BAB III SITUASI DAN ANALISIS KONDISI SAAT INI..................
A. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SOSIAL......................
A.1...................................................JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
....................................................................................................
A.2 .................................... JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN
MASYARAKAT............................................................................
A.3 .................PERLINDUNGAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN
..................................................................................................
A.4 PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT
RENTAN...................................................................................
A.5 JAMINAN PERLINDUNGAN DAN SANTUNAN
KEMATIAN (JASA RAHARJA)..................................................

B. KEARIFAN LOKAL DAN PELAKSANAAN


PERLINDUNGAN SOSIAL DI DAERAH..............................

B.1 KABUPATEN TAKALAR- SULAWESI SELATAN......................


B.2 KABUPATEN SIDOARJO- JAWA TIMUR..................................
B.3 KABUPATEN SLEMAN- JAWA TENGAH.................................
B.4 KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT KALIMANTAN
TENGAH..................................................................................
B.5 KOTA PADANG - SUMATERA BARAT....................................

C. ...........KONDISI DEMOGRAFI DAN EKONOMI YANG PERLU


DIPERHATIKAN DALAM PENGEMBANGAN
PERLINDUNGAN SOSIAL..................................................
C.1 ........................................................................KONDISI DEMOGRAFI
..................................................................................................
C.2 .........................................................KONDISI KETENAGAKERJAAN
..................................................................................................
C.3 KONDISI EKONOMI................................................................

BAB IV PERLINDUNGAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA........


(1) Malaysia.............................................................................
(2) Filipina...............................................................................
(3) Thailand.............................................................................
(4) Amerika Serikat.................................................................
BAB V REKOMENDASI: DESAIN SISTEM PERLINDUNGAN
SOSIAL TERPADU.................................................................
A. PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR...................
B. TUJUAN DAN SASARAN....................................................
C. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN...............

C.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Jaminan Sosial


..................................................................................................
C.2 Kebijakan dan Strategi Penajaman Bantuan Sosial...............

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

D. KETERKAITAN DENGAN PROGRAM PROGRAM


PEMBANGUNAN................................................................
D.1. Kebijakan Pengembangan Jaminan Sosial............................
D.2. Kebijakan Bantuan Sosial......................................................

E. RANCANGAN KELEMBAGAAN..........................................
F. SISTEM PENDANAAN.........................................................
G. PRIORITAS..........................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

ii

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Penduduk Lansia (60+) dan Penduduk Balita (0-4)
Indonesia Tahun 1980-2020............................................
Tabel 3.2. Jumlah dan Persentase Penduduk Lansia di Lima
Provinsi, 1995..................................................................
Tabel 3.3. Perkembangan TFR, IMR, e0 dan Persentase
Lansia di Indonesia..........................................................
Tabel 3.4. Perkembangan Pegawai yang Mendapatkan
Pensiun dan Pesangon, 1986-1993 (dalam ribuan)
.........................................................................................
Tabel 4.1. Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident
Fund di Malaysia.............................................................
Tabel 4.2. Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina
.........................................................................................

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

iii

BAB I
PENDAHULUAN

UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa:


Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang
bermartabat, dan Pasal 34 ayat 2 (amandemen keempat), bahwa:
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan. Di samping itu, Ketetapan MPR No.
X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh
Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 juga
menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial
nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih
menyeluruh dan terpadu.
Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2002 yang bertujuan
untuk menyusun suatu Undang-undang SJSN. Tim SJSN telah menyusun
suatu naskah akademik dan telah diserahkan kepada DPR dalam rangka
pengajuan RUU SJSN. Cakupan naskah akademis tersebut meliputi
jaminan sosial dengan pendekatan skema asuransi yang mewajibkan
pekerja formal untuk mengikuti jaminan sosial pada aspek jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja,
jaminan hari tua, pensiun dan kematian. Sedangkan bagi tenaga kerja
informal dan masyarakat miskin belum tercantum.
Sejak tahun 2002 Bappenas telah melakukan kajian awal mengenai
sistem perlindungan dan jaminan sosial yang pada intinya berupaya
untuk menuju ke arah pembentukan suatu Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial (SPJS) yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun ini Bappenas melakukan kajian yang lebih
mendalam dengan output suatu rekomendasi Desain Sistem
Perlindungan Sosial (SPS) Terpadu. Dalam implementasi SPS tersebut,
masyarakat yang bekerja, dunia usaha dan pemerintah diharapkan dapat
bersama-sama menanggung pendanaan sistem tersebut. Salah satu
rekomendasi kajian menyatakan perlunya suatu SPS yang dikaitkan
dengan sistem administrasi penduduk (unique number system). Dengan
demikian, identifikasi penduduk yang layak memperoleh perlindungan
sosial akan lebih tepat dan efisien.
Disadari bahwa pembentukan suatu SPS memerlukan waktu yang
panjang dan lama. Oleh karena itu, implementasi SPS dilakukan secara
bertahap. Tahap awal adalah membentuk kebijakan SPS berikut
perangkat pendukung baik dari aspek hukum dan kelembagaan. Dalam
naskah ini akan dipaparkan suatu desain SPS yang menyeluruh untuk
seluruh penduduk Indonesia dan terintegrasi. Namun demikian pada
tahap selanjutnya adalah diperlukan strategi pelaksanaan (termasuk
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

master plan) SPS di beberapa daerah yang disesuaikan dengan


kemampuan pemerintah, dunia usaha, masyarakat serta sasaran khusus
penduduk miskin.
Dalam tulisan ini, pertama, akan didefinisikan dahulu tentang
pengertian dan prinsip-prinsip dasar tentang jaminan dan perlindungan
sosial. Keadaan pelaksanaan jaminan dan perlindungan sosial saat ini
juga dijelaskan dalam tulisan ini. Sebagai bahan perbandingan tentang
pelaksanaan jaminan dan perlindungan sosial, dalam tulisan ini juga di
jelaskan secara singkat tentang pengalaman perlindungan dan jaminan
sosial di luar negeri. Kondisi makro ekonomi dan demografi di Indonesia
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan SPS di
Indonesia. Hal yang terpenting dalam tulisan ini adalah rekomendasi
Desain Sistem Perlindungan Sosial Terpadu yang akan dijelaskan dalam
tulisan ini meliputi aspek kebijakan, strategi, sasaran, program,
kelembagaan, dan pendanaan.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

BAB II
PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR
A. Perlindungan Sosial (social protection).
Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan
sosial dan jaminan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial,
ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian
banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara.
Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan
sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program
yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui
upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi
diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan; tidak berarti
bahwa perlindungan sosial merupakan keseluruhan dari kegiatan
pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial tidak
termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa istilah jaring pengaman sosial (social safety net) dan
jaminan sosial (social security) seringkali digunakan sebagai alternatif
istilah perlindungan sosial; akan tetapi istilah yang lebih sering
digunakan di dunia internasional adalah perlindungan sosial. ADB
membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar
tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii)
bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk
perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child
protection).
Namun, menurut Bank Dunia dalam World Bank Social Protection
Strategy, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi
perlindungan
sosial
tersebut
masih
tradisional.
Bank
Dunia
mendefinisikan perlindungan sosial sebagai: (i) jejaring pengaman dan
spring board; (ii) investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya
menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab, bukan
pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya.
Menanggapi konsep ADB dan Bank Dunia, menyejajarkan perlindungan
sosial dengan jejaring pengaman bisa berarti menyempitkan makna
perlindungan sosial itu sendiri.
Akan halnya ILO (2002) dalam Social Security and Coverage for
All, perlindungan sosial merupakan konsep yang luas yang juga
mencerminkan perubahan-perubahan ekonomi dan sosial pada tingkat
internasional. Konsep ini termasuk jaminan sosial (social security) dan
skema-skema swasta. Lebih jauh, dijelaskan bahwa sistem perlindungan
sosial bisa dibedakan dalam 3 (tiga) lapis (tier): Lapis (tier) Pertama
merupakan jejaring pengaman sosial yang didanai penuh oleh
pemerintah; Lapis Kedua merupakan skema asuransi sosial yang didanai
dari kontribusi pemberi kerja (employer) dan pekerja; dan Lapis Ketiga
merupakan provisi suplementari yang dikelola penuh oleh swasta.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa definisi tersebut berdasarkan


kontributor dana dalam tiap skema.
Interpretasi yang agak berbeda diberikan oleh Hans Gsager dari
German Development Institute. Gsager berpendapat bahwa sistemsistem
perlindungan
sosial
dimaksudkan
untuk
mendukung
penanggulangan situasi darurat ataupun kemungkinan terjadinya
keadaan darurat. Dia memilah-milah jenis-jenis perlindungan sosial
berdasarkan pelaksana pelayanan, yaitu pemerintah, pemerintah
bersama-sama dengan lembaga non pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan kelompok masyarakat.
Menurut Barrientos dan Shepherd (2003), perlindungan sosial
secara tradisional dikenal sebagai konsep yang lebih luas dari jaminan
sosial, lebih luas dari asuransi sosial, dan lebih luas dari jejaring
pengaman sosial. Saat ini perlindungan sosial didefinisikan sebagai
kumpulan upaya publik yang dilakukan dalam menghadapi dan
menanggulangi kerentanan, resiko dan kemiskinan yang sudah melebihi
batas (Conway, de Haan et al.; 2000).
Deutsche Stiftung fr Internationale Entwicklung (DSE) melalui
discussion report mengambil definisi perlindungan sosial yang
digunakan oleh PBB dalam United Nations General Assembly on Social
Protection, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah
dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang
menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya secara substansial
pendapatan/gaji yang diterima; memberikan bantuan bagi keluarga (dan
anak) serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman. Secara
lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses
pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak dasar manusia,
termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan, kesehatan dan
pendidikan, gizi dan tempat tinggal. Selain itu, perlindungan sosial juga
dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan
kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin.
Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat dibagi
menjadi dua sub-kategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan
asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran
sumberdaya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber daya;
sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan
pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi. Nampaknya
definisi inilah yang kemudian diadopsi dalam penyusunan konsep SJSN.
B. Jaminan Sosial (Social Security).
Seperti halnya perlindungan sosial, terdapat pula berbagai macam
interpretasi jaminan sosial (social security). ILO (2002) menyebutkan
bahwa jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan yang disediakan
dalam suatu masyarakat untuk masyarakat itu sendiri melalui berbagai
upaya dalam menghadapi kesulitan keuangan yang dapat terjadi karena
kesakitan, kelahiran, pengangguran, kecacatan, lanjut usia, ataupun
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

kematian. Lebih jauh dijelaskan bahwa jaminan sosial terdiri dari


asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, provident funds, dan
skema yang diselenggarakan oleh employer seperti kompensasi dan
program komplimenter lainnya.
Michael von Hauff dalam The Relevance of Social Security for
Economic Development mengutip kesepakatan dari the World Summit
for Social Development di Kopenhagen tahun 1995, bahwa sistem
jaminan sosial merupakan komponen esensial dari perluasan
pembangunan sosial dan dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Lebih
rinci, deklarasi summit tersebut antara lain mencanangkan to develop
and implement policies which ensure that all persons enjoy adequate
economic and social protection in the event of unemployment, sickness,
during motherhood and child-rearing, in the event of widowhood,
disability and in old age.
Selain untuk penanggulangan kemiskinan, jaminan sosial juga
berfungsi sebagai perlindungan bagi individual dalam menghadapi
kondisi kehidupan yang semakin memburuk yang tidak dapat
ditanggulangi oleh mereka sendiri (von Hauff dan de Haan; 1997).
Barrietos dan Shepherd (2003) menjelaskan bahwa jaminan sosial
lebih sempit dibandingkan perlindungan sosial. Jaminan sosial umumnya
dihubungkan dengan hal-hal yang menyangkut kompensasi dan program
kesejahteraan yang lebih bersifat statutory schemes.
Adapun bentuk jaminan sosial yang sudah diselenggarakan adalah
asuransi sosial yang mencakup asuransi kesehatan (Askes dan Asabri),
asuransi kesejahteraan sosial (Askesos), tabungan pensiun (Taspen),
jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek); kebijakan ketenagakerjaan
seperti cuti hamil, cuti haid, tunjangan sakit/kecelakaan yang dibayarkan
oleh perusahaan, dll.
C. Pendekatan.
Pendekatan yang selama ini digunakan lebih mengarah pada
pendekatan berdasarkan permintaan (demand-based). Bahkan dalam
naskah akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pun masih
tercermin pendekatan tersebut. Salah satu misi yang dicanangkan SJSN
adalah meningkatkan pelayanan sehingga seluruh penduduk merasa
perlu menjadi peserta SJSN. Semangat yang tercermin dalam misi ini
adalah pendekatan demand-based. Di sini diharapkan suatu saat nanti
keinginan untuk menjadi peserta dalam skema-skema SJSN akan timbul.
Hal ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan, sebab dalam
pelaksanaannya, yang dapat terjadi adalah penyelenggaraan pelayanan
dengan spirit yang tidak berbeda dengan apa yang ada saat ini.
Kemungkinan yang akan terjadi adalah pelayanan pemerintah yang
minimal karena penduduk yang memerlukan pelayanan pemerintah;
bukan karena sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah untuk
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

menghargai dan menghormati hak penduduk, serta melayani dan


memenuhi kebutuhan penduduk.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

BAB III
SITUASI DAN ANALISIS KONDISI SAAT INI
A. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SOSIAL
A.1. JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
(a). Latar Belakang
Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia
secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek,
Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek
didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada
PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun
1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan
program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966.
Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang
dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri
sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri (Lihat Tabel 1).
(b). JAMSOSTEK
Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan
pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi
sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta
keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait
dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian,
jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya
pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya
rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu
bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat
kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan
kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang.
Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat
total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari
tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan
jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk
keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan
kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan
gawat darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi
sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan
penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban
pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan
mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya
didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal
ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah


terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila
mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek
dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah akan
memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero.
Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh
jaminan sosial tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan
tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24 persen - 1,742 persen
dari upah per bulan dan atau per tahun, bergantung pada kelompok jenis
usaha (terdapat 5 kelompok usaha), dan dibayar (ditanggung)
sepenuhnya oleh pengusaha (selaku pemberi kerja). Demikian pula
dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan pengusaha yaitu
sebesar 0,30 persen dari upah per bulan. Sementara itu, iuran JPK juga
merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6 persen dari upah per
bulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3 persen dari upah
per bulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga, serta mempunyai
batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan iuran JHT
ditanggung secara bersama yaitu sebesar 3,70 persen dari upah per
bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2 persen dari upah per bulan
ditanggung oleh pekerja.
Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara
perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT Jamsostek. Setiap
perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang
atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per
bulan diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini.
Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang
diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa
sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di
Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah
pekerja mereka belum tercover dalam Jamsostek.
Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai
1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu
klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim
yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun.
Namun demikian, posisi PT Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp
530 milyar pada Juni 2002.
(c). TASPEN
Untuk itu pada tahun 1992 telah ditetapkan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun sebagai landasan hukum
bagi
penyelenggaraan
program
pensiun.
Di
samping
itu,
penyelenggaraan program jaminan kesejahteraan PNS diatur dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun;
Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan
Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian; dan Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

Perubahan atas
Kepegawaian.

UU

No.

Tahun

1974

tentang

Pokok-pokok

Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN


(Persero) ditetapkan sebagai penyelenggara program asuransi sosial
bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT).
Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan beberapa
program lainnya seperti Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan
untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM.
Pengelolaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No.
11 Tahun 1969 pendanaan pensiun dibebankan kepada APBN. Sistem ini
disebut sebagai pendanaan pay as you go (seorang PNS begitu
pensiun langsung dibayar) dan telah dilakukan sampai dengan akhir
1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah
menetapkan sistem pendanaan pensiun dengan pola current cost
financing yaitu suatu metode gabungan pay as you go dengan sistem
funded dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran peserta program
pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan ini, beban pembayaran pensiun
yang dialokasikan dari APBN adalah sebesar 75 persen dan dari
akumulasi iuran peserta sebesar 25 persen dari seluruh beban
pembayaran pensiun PNS.
Sumber dana program tabungan hari tua PNS diperoleh dari
iuran peserta sebesar 3,25 persen dari penghasilan peserta setiap bulan.
Sedangkan sumber dana untuk program dana pensiun PNS diperoleh
dari iuran peserta sebesar 4,75 persen dari penghasilan peserta setiap
bulan. Penghasilan yang dimaksud disini adalah gaji pokok + tunjangan
istri + tunjangan anak. Disamping itu, PNS juga dikenakan iuran sebesar
2,00 persen dari penghasilan peserta setiap bulan untuk membayar
iuran program kesehatan.
Formula manfaat program tabungan hari tua sejak Januari 2001
sampai dengan sekarang didasarkan pada keputusan direksi dengan
formula: (0,55 x MI 1 x P2000) + (0,55 x MI 2 x (P2001 P2000)). MI 1:
Masa Iuran sejak menjadi peserta sampai dengan berhenti. MI 2: Masa
Iuran sejak 2001 sampai dengan berhenti. Sedangkan formula manfaat
program pensiun adalah 2,5 persen x masa kerja x penghasilan dasar
pensiun. Pelaksanaan pembayaran program tabungan hari tua dan
pensiun dilakukan melalui 4000 titik kantor bayar melalui PT. Taspen
(Persero), Bank, dan Kantor Pos.
Sasaran program jaminan sosial hari tua/pensiun yang dilaksanakan oleh PT
(Persero) Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil, kecuali PNS di lingkungan
Departemen Pertahanan Keamanan. Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak
3.932.766 orang dengan rincian sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602
orang PNS pusat. Yang berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundang yang
berlaku adalah peserta; atau janda/duda dari peserta, dan janda/duda dari penerima pensiun;
atau yatim piatu dari peserta, dan yatim piatu dari penerima pensiun; atau orang tua dari
peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah peserta; atau
istri/suami, anak atau ahli waris peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia.
(d). ASABRI
Program kesejahteraan bagi anggota TNI diatur dalam beberapa
Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang
Pemberian Pensiun dan Onderstand Angkatan Perang RI; Undangundang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun
dan Tunjangan bagi Mantan prajurut TNI dan Anggota POLRI; Undangundang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI;
dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI. Dalam
penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur dalam
PP Nomor 25 Tahun 1981, dimana diantaranya diatur mengenai
besarnya iuran bagi setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua
(THT) dan Pensiun.
(e). ASKES
Sistem perlindungan sosial yang ada saat ini adalah Sistem
Asuransi Kesehatan (yang diselenggarakan oleh PT Askes), untuk
memberikan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku. Ruang
lingkup pelayanan yang diberikan antara lain, konsultasi medis dan
penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum
dan atau paramedis, pemeriksaan dan pengobatan gigi, dan lainnya.
Visi ke depan PT Askes adalah menjadi spesialis asuransi
kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan untuk mengantisipasi
penerapan Jaminan Sosial Nasional yang sedang disusun pemerintah.
Dengan pengalaman mengelola asuransi kesehatan selama 34 tahun
dengan 14 juta peserta, PT Askes berharap menjadi market leader dan
center of excellence asuransi kesehatan.
Potongan iuran wajib atau premi untuk dana pemeliharaan
kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), dan penerima pensiun
beserta anggota keluarganya, diatur melalui Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden yang masih berlaku sampai sekarang adalah
Keputusan Presiden No. 8 tahun 1977, menyatakan bahwa 2 persen dari
penghasilan pegawai digunakan untuk pemeliharaan kesehatan Pegawai
Negeri dan Penerima Pensiun. Kemudian dengan UU No. 43 tahun 1999,
pasal 32, dinyatakan bahwa untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan
pemerintah menanggung subsidi dan iuran yang besarnya ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Selain menyelenggarakan asuransi kesehatan sosial bagi pegawai
negeri sipil, pensiunan, veteran dan perintis kemerdekaan, PT Askes
juga menyelenggarakan Askes komersial untuk perusahaan swasta yang
memerlukan jaminan pemeliharaan kesehatan karyawan
.
Berkaitan dengan otonomi daerah, PT Askes menawari pemerintah
kabupaten/kota untuk membelikan produk suplemen/menambah premi
untuk pegawai negeri dan keluarganya, sehingga jika berobat tidak
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

10

perlu lagi iur biaya. Sebagai contoh, di Kalimantan Timur, seluruh


pegawai negeri sudah diberi paket suplemen. Pemerintah Daerah Papua
juga mengundang PT Askes untuk mengelola jaminan pemeliharaan
kesehatan rakyatnya.
Selain
itu,
untuk
meningkatkan
komunikasi,
Askes
menyelenggarakan pertemuan rutin dengan organisasi provider
(penyedia jasa layanan kesehatan), seperti Asosiasi Rumah Sakit Daerah
(Arsada) dan rumah sakit perusahaan jawatan. Askes juga memiliki situs
web dan e-mail untuk berkomunikasi. Saat ini Askes sedang menyiapkan
buku saku untuk peserta maupun provider, serta berencana
menyediakan formulir keluhan yang bisa dikirim ke Direktur Askes
maupun kantor cabang sebagai mekanisme kontrol bagi Askes maupun
provider.
A.2

JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT

(a) Latar Belakang


Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama makin mahal.
Tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perseorangan
menyebabkan tidak semua anggota masyarakat mampu untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Selain itu, kemampuan
pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat rendah.
Tanpa sistem yang menjamin pembiayaan kesehatan, maka akan
semakin banyak masyarakat yang tidak mampu yang tidak memperoleh
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan
menyebabkan masyarakat sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang
layak. Semestinya harga yang tidak terjangkau masyarakat ini bisa
dikendalikan dengan asuransi kesehatan sosial. Namun, apabila hendak
mengikuti asuransi, tidak banyak masyarakat yang mampu membayar
premi asuransi komersial.
Cara terbaik untuk mengatasi tingginya pembiayaan kesehatan
adalah memperbaiki pembiayaan kesehatan dengan jaminan kesehatan
sosial. Asuransi kesehatan dipandang sebagai salah satu alternatif
pemecahan masalah pembiayaan kesehatan. Namun permasalahannya
adalah hingga kini manajemen sistem asuransi banyak mengalami
hambatan untuk mengimplementasikan konsep-konsep asuransi.
Bila ditinjau dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 28H
(1) menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Demikian pula dalam
Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan konstitusi
WHO, yang menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental
setiap individu. Oleh karena itu negara bertanggung jawab untuk
mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya terpenuhi.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

11

Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan


keluarga miskin (Gakin), melalui program jaminan pemeliharaan
kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) khususnya untuk pelayanan
kesehatan dasar yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan
dan pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB
paru).
Kemudian, pada akhir tahun 2001 disalurkan dana subsidi bahan
bakar minyak (PDPSE) untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga
miskin. Program ini diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis
dengan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin
melalui subsidi biaya operasional Puskesmas, Bidan di Desa, Gizi,
Posyandu, Pemberantasan penyakit menular (P2M) dan rujukan RS.
(b) Konsep JPKM
Masalah kesehatan masyarakat semakin kompleks, namun upaya
kesehatan yang diwujudkan pemerintah belum sepenuhnya memuaskan
masyarakat. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) yang
diperkirakan bisa mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang bermutu belum sepenuhnya dipahami oleh
masyarakat.
JPKM mengarah kepada penyelenggaraan asuransi kesehatan
komersial. JPKM bukan asuransi biasa, melainkan asuransi plus. Dalam
arti, mengambil dana masyarakat dalam bentuk premi, kemudian
melaksanakan pembiayaan kesehatan secara paripurna dan terkendali
lewat pembayaran prospektif kepada penyedia pelayanan kesehatan,
disertai sistem kendali mutu dan pemantauan utilisasi.
Untuk menjamin kesinambungan pembiayaan pelayanan kesehatan
bagi keluarga miskin, pemerintah meluncurkan sistem jaminan
kesehatan dalam bentuk jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga
miskin (JPK Gakin). Nantinya, subsidi pemerintah untuk keluarga miskin
tidak langsung disalurkan ke pemberi pelayanan kesehatan (puskesmas,
bidan atau rumah sakit), melainkan lewat badan penyelenggara jaminan
pemeliharaan kesehatan (Bapel JPK).
Bapel JPK bertugas mengelola kepesertaan, membayarkan dana ke
pemberi pelayanan kesehatan serta menjaga mutu pelayanan kesehatan.
Pemerintah
daerah/dinas
kesehatan
bertindak
sebagai
pembina/pengawas. Dengan sistem ini akan terjadi pemisahan fungsi
yang tegas dan saling mengontrol. Keluarga miskin didorong
memanfaatkan pelayanan serta dilayani secara terpadu oleh puskesmas
dan rumah sakit.
UU No. 23 tahun 1992 telah menetapkan bahwa JPKM sebagai
cara yang terbaik karena diterapkan kendali biaya, kendali mutu dan
kendali pemerataan kebutuhan bagi pesertanya. Sampai dengan akhir
tahun 2002, cakupan JPKM baru mencapai 20,2 persen (Data Susenas)
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

12

dengan coverage 6,3 persen keluarga miskin yang memperoleh kartu


sehat JPSBK.
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/Menkes/Per/VII/1993
mencantumkan adanya suatu paket pemeliharaan kesehatan yang berisi
kumpulan pelayanan kesehatan. Paket ini diselenggarakan oleh suatu
badan penyelenggara untuk kepentingan peserta dalam rangka
melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan, yang meliputi rawat
jalan, rawat inap, gawat darurat dan penunjang.
Penetapan biaya pelayanan kesehatan per kapita (kapitasi) yang
dibayar oleh penyelenggara kepada PPK dihitung berdasarkan ketetapan
tentang jenis pelayanan, utilisasi/kunjungan, dan biaya satuan (unit
cost). Berdasarkan asumsi di tingkat pusat kapitasi pelayanan kesehatan
(yankes) Gakin untuk paket harkes standar/dasar dengan tarif Perda
subsidi, seperti berikut:
N
o
1
2
3
4

Jenis Pelayanan
Rawat jalan Tk I
(Puskesmas)
Rawat
jalan
spesialistik
(RS
Pemerintah)
Rawat Inap (5 hari)
Gawat Darurat

Kunjungan
Rata-rata
Peserta
14,00

Tarif Perda
(Rp)

Biaya
Per kapita

1.000

140

2,00

5.000

100

0,290
0,037

200.000
20.000

580
7

Jumlah biaya pelayanan kesehatan per kapita per bulan adalah Rp. 827,Dengan memperhitungkan biaya administrasi penyelenggara sebesar 8
persen, maka dihitung premi sebesar = 100/92 x Rp. 827,- = Rp.
899,-/kapita/bulan atau premi Gakin sebesar = 4 x Rp. 899,- = Rp.
3.596,-/keluarga/bulan.
Dalam jangka panjang JPK Gakin akan diintegrasikan dengan
asuransi sosial kesehatan yang mencakup seluruh penduduk. Asuransi
sosial kesehatan bersifat wajib bagi seluruh penduduk, sedangkan JPKM
bersifat sukarela. Untuk pembayarannya, premi bagi keluarga miskin
dibayar oleh pemerintah, sedangkan keluarga mampu diminta membayar
sendiri preminya.
Paket pelayanan standar untuk keluarga miskin meliputi rawat
jalan di puskesmas, rawat jalan spesialistis di rumah sakit, rawat inap di
rumah sakit sesuai kebutuhan medik untuk rata-rata lima hari serta
pelayanan gawat darurat di puskesmas maupun rumah sakit. Sedangkan
jenis perawatan bagi keluarga miskin yang telah dilaksanakan di rumah
sakit adalah persalinan, tuberkulosis paru, gastroenteritis/gangguan
pencernaan, bedah, tifoid, gastritis/radang lambung, febris/demam,
hernia, asma, dan malaria.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

13

Pemerintah berniat untuk mengintegrasikan program bantuan


pemeliharaan kesehatan keluarga miskin dengan asuransi sosial
kesehatan. Selain itu, adanya upaya pemerintah pusat untuk mendorong
pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam memelihara
kesehatan penduduk miskin lewat kontribusi dana.
Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah (APBN,
APBD I, dan APBD II) dan masyarakat (rumah tangga, perusahaan, dan
asuransi/jaminan kesehatan) masih sangat rendah, berkisar 2,5 persen
dari produk domestik bruto (PDB). Nilai tersebut setara dengan
US$12/kapita/tahun.
Dari besaran pembiayaan kesehatan setahun, kontribusi
pemerintah berkisar 30 persen (US$ 3,5/kapita). Sementara kontribusi
masyarakat berkisar 75-80 persen berupa pengeluaran rumah tangga
atau membayar dari kantong sendiri. Hanya sebagian kecil (berkisar 20
persen) yang merupakan pengeluaran terorganisasi oleh perusahaan
asuransi/jaminan kesehatan.
A.3

PERLINDUNGAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN

(a). Latar Belakang


Dengan terjadinya krisis multi dimensi yang dialami Indonesia
sejak tahun 1997, maka terjadi penurunan kesejahteraan hidup
masyarakat secara riil, yang ditandai antara lain dengan semakin
melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power parity). Akibat
adanya krisis, kebanyakan pendapatan keluarga mengalami penurunan
secara drastis. Hal ini berakibat pula pada menurunnya seluruh
komponen pengeluaran keluarga tersebut. Salah satu komponen
pengeluaran keluarga adalah pengeluaran pendidikan. Jika suatu
keluarga sudah miskin sebelum krisis, maka setelah krisis keluarga
tersebut akan jatuh lebih miskin lagi. Keadaan ini memaksa keluarga
tersebut mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh anggota
keluarganya untuk bekerja/mencari pendapatan tambahan, tanpa
terkecuali anak-anak yang masih berada pada usia sekolah. Jika hal ini
terjadi, maka anak-anak yang seharusnya berada di sekolah, mereka
menjadi drop-out, karena alasan ekonomi membantu menambah
pendapatan keluarga.
Fenomena tersebut di atas menuntut upaya Pemerintah untuk
segera mengatasinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui
JPS, antara lain dengan memberikan bantuan biaya pendidikan dalam
bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Karena target
Pemerintah adalah menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP), maka pemberian beasiswa tersebut
diprioritaskan bagi murid Sekolah Dasar/SD dan SLTP, ditambah dengan
murid Sekolah Menengah Umum/SMU dari keluarga miskin saja.
Sementara itu, mahasiswa dari keluarga miskin apabila keluarganya

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

14

tidak mampu membiayainya lagi maka mereka akan secara terpaksa


menjadi drop-out.
(b) Landasan Hukum
Landasan hukum bagi pembangunan dan jaminan sosial di bidang
pendidikan adalah UUD 1945 Amandemen keempat tanggal 10 Agustus
2002, baik pada Pembukaan, maupun dalam beberapa pasalnya. Dalam
Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan nasional
adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Sedangkan Pasal 31 dalam ayat-ayatnya menyatakan sebagai
berikut: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dalam undang-undang; dan (3) Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selanjutnya, Pasal 34 dalam ayat-ayatnya menyatakan bahwa: (1) Fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara; dan (2) Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
Landasan hukum lainnya adalah: UU No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai
Batas Usia Minimum Anak Bekerja; dan UU No. 1 Tahun 2000 tentang
Ratifikasi Konvensi ILO 182 mengenai Pelanggaran dan Bentuk-bentuk
Terburuk
Pekerja
Anak;
serta
Keputusan
Presiden
tentang
Penanggulangan Kemiskinan.
(c) Konsep Sistem Perlindungan Pendidikan
Sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan yang
ada saat ini adalah sistem perlindungan dan jaminan sosial dalam rangka
mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk miskin
agar dapat tetap bertahan dan atau melanjutkan pendidikannya. Untuk
itu, Pemerintah telah mengembangkan program Jaring Perlindungan
Sosial (JPS) bidang pendidikan. Kegiatan utama pada JPS bidang
pendidikan diprioritaskan pada upaya-upaya seperti mengurangi angka
putus sekolah yang cenderung meningkat, khususnya pada tingkat SD
dan SLTP yang merupakan paket Wajib Belajar Sembilan Tahun, dan
untuk mencegah menurunnya kualitas pendidikan dasar. Kegiatan
tersebut dilaksanakan melalui pemberian bantuan beasiswa untuk murid
SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI)/Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB),
SLTP/Madrasah Tsanawiyah (MTs.)/SLTP Luar Biasa (SLTPLB), dan
SMU/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah (MA)/Sekolah
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

15

Menengah Luar Biasa (SMLB). Di samping itu, juga diberikan dana


bantuan operasional (DBO) bagi SD/MI/SDLB, SLTP/MTs./SLTPLB, dan
SMU/SMK/MA/SMLB, yang dimaksudkan untuk mendukung biaya
operasional dan pemeliharaan sekolah, agar penyelenggaraan
pendidikan di sekolah dapat terlaksana dengan lancar.
Kegiatan JPS bidang pendidikan didanai dengan APBN dan
Pinjaman Luar Negeri (PLN), yang berasal dari World Bank (WB) dan
Asian Development Bank (ADB). Pengalokasian pendanaan adalah
sebagai berikut:
a.
ADB : 16 provinsi; DKI, Jateng, Jatim, Bali,
NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sulut, Sulteng,
Sulsel, Sultra, Maluku, dan Irian Jaya.
b.
WB : 11 provinsi di luar ADB; DI Aceh,
Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung,
Jabar, DI Yogyakarta, dan Timtim.
c.
APBN
:
Beasiswa untuk tingkat SD
dan SMU, DBO untuk setingkat SMU, serta sasaran lainnya
di luar ADB dan WB.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan sistem perlindungan
dan jaminan sosial di bidang pendidikan, melalui skema JPS telah
ditetapkan: 1) sasaran dan sumber dana; 2) persyaratan siswa penerima
beasiswa bagi siswa SD/MI/SDLB, dan siswa SLTP/MTs./SLTPLB, dan
siswa SMU/SMK/MA/SMLB, serta 3) persyaratan bagi sekolah penerima
dana bantuan operasional (DBO). Di samping itu, untuk efisiensi dan
efektivitas pencapaian tujuan JPS, telah dibentuk: 1) Tim Koordinasi,
baik di tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kotamadya, termasuk
Kecamatan dan Desa di dalamnya; 2) mekanisme penyaluran dana dan
mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban penyaluran dana; dan 3)
sistem monitoring dan evaluasi.
Sehubungan dengan akan berakhirnya JPS, maka Pemerintah
(dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional), telah melaksanakan
program serupa, yaitu melalui Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM), pada periode 2002/2003.
Pada dasarnya mekanisme pelaksanaan program PKPS BBM ini
menggunakan sistem yang sama dengan JPS, hanya sumber dananya
berasal
dari
APBN
murni.
Program
ini
juga
memberikan
beasiswa/Bantuan Khusus Murid (BKM) dan Bantuan Khusus Sekolah
(BKS), sebagaimana JPS dengan pemberian beasiswa dan DBO-nya.
Pada periode Januari Juni 2003, BKM ini akan diberikan kepada
2,2 juta siswa SD (7 persen dari total siswa SD); 1 juta siswa SLTP (10
persen dari total siswa SLTP); dan 400 ribu siswa SMU (8 persen dari
total siswa SMU). Jumlah bantuan yang akan diberikan per tahun
masing-masing sebesar Rp 120.000,00 bagi siswa SD, Rp 240.000,00
bagi SLTP, dan Rp 300.000,00 bagi SMU. Adapun untuk periode Juli
Desember 2003, BKM tersebut akan diberikan kepada 5,75 juta siswa SD
(19 persen dari total siswa SD); 1,75 juta siswa SLTP (18 persen dari
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

16

total siswa SLTP); dan 600 ribu siswa SMU (12 persen dari total siswa
SMU), dengan jumlah bantuan yang sama dengan periode sebelumnya.
Adapun besarnya DBO atau BKS masing-masing adalah Rp 2 juta
bagi SD, Rp 4 juta bagi SLTP, dan Rp 10 juta bagi SMU. Data
selengkapnya mengenai realisasi JPS bidang pendidikan yang telah
dilaksanakan sejak tahun 1998-2003, dapat dilihat pada Tabel Realisasi
Pemberian Bantuan JPS Bidang Pendidikan 1998/1999-2002/2003
(terlampir).
Di samping JPS bidang pendidikan, pada tahun 1998-2002, ADB
juga telah memberikan bantuan pendidikan dalam bentuk JPS bidang
sosial (JPS-BS). Bantuan ini berbentuk beasiswa bagi anak jalanan dan
anak terlantar, yang diberikan secara block-grant kepada Rumah
Singgah dan Panti Asuhan di 8 kota besar. Kedelapan kota besar tersebut
adalah DKI, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, Medan,
Makassar, dan Palembang. Pada awalnya sempat terjadi duplikasi
sasaran antara JPS pendidikan dengan JPS-BS, namun sejak
diberlakukannya uang registrasi bagi penerima beasiswa JPS-BS,
kemungkinan tersebut dapat dikurangi.
Untuk mengembangkan skema yang sudah ada dalam kaitannya
dengan SPJS di bidang pendidikan, diusulkan beberapa alternatif konsep
awal SPJS di bidang pendidikan, antara lain: 1) pemberlakuan ketentuan
khusus dalam berbagai ketentuan yang berkaitan dengan masalah
keuangan, seperti uang pangkal, uang gedung, ujian sekolah, ujian
nasional; 2) pemberlakuan model subsidi silang dalam pembiayaan
pendidikan; 3) pengalokasian dana khusus bagi daerah terpencil, daerah
bencana alam, dan daerah kerusuhan; 4) pemberian beasiswa khusus
untuk anak-anak putus sekolah, anak-anak dari keluarga miskin, anakanak yang tidak tamat dalam program wajib belajar, anak yatim piatu,
anak-anak terlantar; 5) penyediaan layanan pendidikan bagi anak-anak
cacat; dan 6) pemberian beasiswa khusus untuk anak-anak yang
memiliki kemampuan luar biasa.
(d) Sasaran
Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS
adalah keluarga-keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di
perkotaan. Mereka adalah keluarga-keluarga yang termasuk kategori
Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I dan keluarga miskin
lainnya (karena alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain termasuk
siswa SD, SLTP, dan SMU.
Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan
adalah: 1) anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR
per bulan; 2) anak-anak dan satuan pendidikan daerah terpencil, daerah
bencana alam, daerah kerusuhan; 3) anak-anak yang berasal dari
keluarga miskin, anak-anak yatim piatu, anak-anak terlantar; 4) anakanak cacat; dan 5) anak-anak yang berprestasi.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

17

Adapun sasaran bagi JPS-BS adalah anak jalanan dan anak


terlantar yang bersekolah, dengan sepengetahuan dari Rumah
Singgah/Panti Asuhan yang bersangkutan.
A.4

PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT RENTAN

(a) Latar Belakang


Dalam kurun waktu 57 tahun sejak Indonesia merdeka telah
banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengangkat
kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, hingga saat ini pula kemiskinan
masih menjadi masalah utama yang harus ditangani bersama. Sampai
dengan tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin
telah mencapai sekitar 37,5 juta jiwa (Susenas 2000), dan 13,4 juta di
antaranya tergolong penduduk yang sangat miskin (crust of the poor).
Pemerintah, dalam mengupayakan kesejahteraan sosial rakyat
terutama masyarakat yang tergolong rentan seperti penduduk miskin,
lanjut usia, anak, penyandang cacat ganda (fisik dan mental), serta
penduduk yang tinggal di kawasan terpencil, telah menyelenggarakan
beberapa bentuk perlindungan sosial.
Namun hingga saat ini penduduk rentan serta yang bekerja di
sektor informal pada umumnya belum tersentuh oleh skema-skema
tersebut sehingga mereka berada dalam posisi yang sangat rentan
terhadap ketidak stabilan perekonomian yang terjadi baik di
lingkungannya maupun di Indonesia secara umum. Oleh sebab itu,
diperlukan suatu sistem yang dapat memberikan perlindungan dan
jaminan sosial bagi mereka dalam menghadapi ketidak stabilan ekonomi
maupun sosial.
Salah satu upaya pemerintah untuk memberikan jaminan sosial
yang sepatutnya diterima oleh penduduk miskin, adalah melakukan ujicoba skema Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Melalui Askesos,
penduduk miskin yang bekerja di sektor informal diharapkan akan dapat
menikmati sistem asuransi sosial yang kemudian dapat menurunkan
resiko ancaman ketidaksejahteraan sosial sebagai akibat dari pencari
nafkah menderita sakit, mengalami kecelakaan, ataupun meninggal
dunia.
(b) Kondisi Saat Ini
Saat ini dengan berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial
yang diselenggarakan pemerintah seperti yang telah diutarakan
sebelumnya, tidak dapat disangkal bahwa dalam penyelenggaraannya,
skema-skema tersebut saling tumpang tindih. Bahkan, terjadi keragaman
dalam pengertian dan cakupan dari skema-skema tersebut, misalnya:
(1) Bantuan sosial. JPS merupakan bagian dari perlindungan
sosial yang diberikan oleh pemerintah dalam menghadapi masa krisis
ekonomi. Sebagai rescue project, maka JPS tidak direncanakan untuk
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

18

bertahan dan berlanjut setelah masa krisis berakhir. Saat ini JPS telah
memasuki tahap akhir (exit strategy), selama tahun 1998 hingga 2002
telah berhasil memberikan perlindungan sosial bagi sebagian penduduk
penduduk miskin dan rentan selama masa krisis ekonomi berlangsung.
Adapun perlindungan yang diberikan melalui JPS adalah di bidang
kesehatan (kartu sehat), pendidikan (beasiswa dan dana bantuan
operasional), kesejahteraan sosial (a.l. anak jalanan), keluarga
berencana (kontrasepsi), dan usaha ekonomi (padat karya).
Ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi kondisi krisis
ekonomi, tercermin dalam pelaksanaan proyek JPS yang mengalami
berbagai hambatan. Proyek JPS tidak terbentuk melalui sebuah
perencanaan yang matang, melainkan melalui pengambilan keputusan
darurat (seringkali disebut sebagai crash program). Sebagai akibatnya
mekanisme penetapan sasaran penerima manfaat JPS tidak tepat,
penyaluran dana tidak lancar, dan cakupan bantuan tidak konsisten,
serta terjadi kebocoran dana selama masa lima tahun pelaksanaan JPS.
Oleh karena itu, sistem perlindungan yang diharapkan di masa
mendatang harus mencakup perlindungan secara otomatis dan
sistematis dari dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan, terutama
bagi kelompok penduduk rentan.
Bentuk perlindungan sosial lain yang telah dilaksanakan
pemerintah adalah pemberian subsidi beras bagi penduduk miskin saat
terjadi paceklik panjang maupun krisis. Selama masa krisis ekonomi,
Operasi Pasar Khusus (OPK) beras memungkinkan penduduk miskin
untuk membeli beras seharga kurang dari setengah dari harga resmi.
Namun, menurut studi dari SMERU, terjadi kebocoran dana dan salah
target dalam pelaksanaannya, yakni mencapai sekitar 50%.
Pemerintah juga telah memberikan perlindungan sosial dalam
bentuk Kompensasi Kenaikan BBM sejak dicabutnya subsidi BBM pada
tahun 2001. Hingga kini bantuan tersebut masih berlanjut khusus untuk
bidang kesehatan, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, usaha kecil
dan menengah, dan pertanian. Kompensasi Kenaikan BBM akan berakhir
pada tahun 2004.
Bantuan sosial yang diselenggarakan pemerintah (melalui
Departemen Sosial) diberikan pada penduduk miskin, korban bencana
alam/konflik, korban tindak kekerasan, dan pekerja migran yang
bermasalah. Bentuk bantuan umumnya berupa biaya pangan
(permakanan), transport dari tempat asal ke tempat pengungsian dan
sebaliknya pada saat pemulangan/relokasi pengungsi, serta biaya
perbaikan tempat tinggal.
(2) Jaminan sosial. Saat ini upaya pemerintah dalam menjamin
kesejahteraan sosial adalah dengan Jaminan Kesejahteran Sosial (JKS),
yang juga masih dalam tahap uji coba. Bentuk dari Jaminan
Kesejahteraan Sosial ini terbagi dua, yaitu: (1) Bantuan Kesejahteraan
Sosial; dan (2) Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos).
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

19

Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) diberikan kepada individual,


keluarga, kelompok, atau komunitas yang tidak mampu. BKS terbagi
dalam dua skema, yaitu skema permanen dan skema sementara. BKS
Permanen diberikan secara terus menerus pada penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) yang permanen seperti lansia terlantar,
anak terlantar, anak yatim piatu miskin, dan penyandang cacat fisik dan
mental (cacat ganda). Adapun BKS Sementara diberikan dalam kurun
waktu tertentu kepada PMKS non permanen seperti korban bencana
alam dan sosial.
Menyimak skema-skema BKS, nampak bahwa skema BKS
Permanen mirip dengan salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam
program pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Dalam program
pengembangan potensi kesejahteraan sosial, pelayanan sosial juga
diperuntukkan bagi lanjut usia terlantar dan penyandang cacat.
Perbedaan dari kedua upaya tersebut hanya pada mekanismenya. BKS
permanen yang diujicobakan saat ini adalah Jaminan Kesejahteraan
Sosial Gotong Royong (JKS-GR). JKS-GR memberikan modal usaha
kepada kelompok-kelompok penduduk miskin yang tergabung dalam
koperasi-koperasi, kelompok usaha bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil
usaha dari kelompok-kelompok tersebut kemudian disisihkan sebagian
untuk membantu kesejahteraan PMKS permanen tadi. Dengan kata lain,
jaminan kesejahteraan sosial tidak diberikan secara langsung pada
PMKS, tetapi dengan melalui kelompok-kelompok sosial dan ekonomi
yang ada di masyarakat. Sedangkan mekanisme yang digunakan dalam
program pengembangan potensi kesejahteraan sosial dana diberikan
secara langsung kepada PMKS.
Kelemahan dari skema JKS-GR ini adalah bahwa kelompokkelompok yang menjadi sasaran penerima bantuan modal umumnya
adalah kelompok masyarakat yang tergolong miskin dengan penghasilan
yang sangat terbatas. Penghasilan dari usaha kelompok bisa
diperkirakan hanya akan cukup untuk keperluan mereka sendiri. Dengan
mensyaratkan mereka untuk membagikan sebagian dari hasil usaha
mereka pada PMKS permanen, tentu akan terasa sangat membebani.
Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini, apakah bila JKS-GR ini bisa
berjalan dengan sukses dan kemudian dapat diterapkan secara nasional,
maka kegiatan serupa di program pengembangan potensi kesejahteraan
sosial akan dihapuskan? Patut dicatat bahwa mekanisme JKS-GR ini
merupakan bentuk pelibatan masyarakat secara langsung dalam
penyelenggaraan upaya meningkatkan kesejahteraan sosial bagi
penduduk rentan.
Demikian pula halnya dengan BKS Sementara yang serupa dengan
salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program pembangunan
bidang kesejahteraan sosial dengan sasaran utama penerima manfaat
(target beneficiary) adalah korban bencana alam dan bencana sosial
untuk menstimulasi keberdayaan mereka menuju kemandirian.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

20

Bentuk lain dari JKS adalah Asuransi Kesejahteraan Sosial


(Askesos) yang saat ini juga masih dalam tahap uji coba.
Keanggotaannya masih bersifat sukarela dan terbatas dengan sasaran
utama sebagai klien adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin
dan bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak,
pedagang sayur, dll. Skema asuransi ini hampir sama atau bahkan sama
dengan ujicoba yang dilakukan oleh Jamsostek dalam upayanya
meningkatkan cakupan kepesertaan ke sektor informal. Pemerintah
dalam hal ini Departemen Sosial berharap dapat kelak
mengembangkan Askesos dalam skala nasional dan dengan keanggotaan
yang bersifat wajib, berlaku bagi semua orang. Walaupun demikian,
tantangan yang dihadapi untuk menyukseskan skema ini sangat besar,
dengan berbagai kelemahannya yang harus diatasi terlebih dahulu.
Kelemahan-kelemahan skema Askesos adalah: a) rancangan
struktur organisasi yang kurang mencerminkan fungsi instansi
pemerintah sebagai fasilitator dan regulator serta terlalu panjang
berjenjang; b) penetapan besaran premi/iuran yang menggunakan nilai
nominal, sehingga kurang mencerminkan kondisi dan kemampuan
penduduk miskin di daerah yang tentu saja berbeda; c) penetapan
besaran klaim yang menggunakan nilai nominal, sehingga kurang
mencerminkan kondisi, kebutuhan dan kemampuan penduduk miskin di
daerah yang tentu saja berbeda; d) penetapan jenis pertanggungan yaitu
persyaratan yang cukup berat bagi peserta untuk mendapatkan klaim,
seperti keterangan dokter yang ditunjuk, keterangan kepala sektor
kepolisian setempat, keterangan ketua RT dan RW, keterangan dari
kelurahan dan berita acara yang dibuat oleh petugas Askesos. Semua
dokumen tersebut diperlukan untuk mendapatkan klaim yang berkisar
antara Rp 100.000 sampai Rp 600.000 tergantung lama keanggotaan
dan jenis klaim. Persyaratan klaim tersebut masih belum pro-poor, sebab
penduduk miskin tidak mempunyai cukup uang untuk transpor harus ke
sana ke mari untuk mengurus semua dokumen-dokumen tersebut, belum
lagi beban administrasi yang harus mereka tanggung.
Selain kelemahan tersebut, skema Askesos juga akan sangat
memberatkan pemerintah, sebab sharing premi-nya sangat timpang.
Pemerintah harus menanggung sebagaian besar dari beban premi sebab
pesertanya adalah penduduk yang tidak mampu, yang berpenghasilan
sangat minim. Selain itu, seluruh atau sebagian besar biaya administrasi
juga harus ditanggung pemerintah. Bila skema ini diperluas hingga
tingkat
nasional,
kemungkinannya
adalah
pemerintah
harus
menanggung sebagian besar premi dari sekitar 37,5 juta orang atau
paling tidak 13,4 juta orang yang sangat miskin, padahal kemampuan
keuangan negara sangat terbatas, dan pemerintah telah pula
menanggung sebagian dari beban asuransi yang telah lebih dulu
berjalan seperti Jamsostek, Askes, Taspen, Jasa Raharja, dan Asabri.
Satu bentuk perlindungan sosial yang belum terselenggara dengan
baik adalah perlindungan hukum. Masyarakat miskin, cacat, terlantar,
lansia, dan anak-anak, menjadi semakin tidak berdaya dengan tidak
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

21

adanya perlindungan hukum. Hak-hak mereka akan dengan mudah


terlindas tanpa adanya perlindungan hukum. Studi yang dilakukan oleh
Univ. Muhammadiyah mengindikasikan bahwa salah satu faktor utama
lingkaran setan kemiskinan yang sulit dipecahkan, adalah lemahnya
posisi orang miskin di dalam sistem hukum. Oleh sebab itu,
perlindungan hukum adalah sangat esensial bagi penduduk miskin.
Menurut studi tersebut, sebagian besar anak yang berkonflik
dengan hukum menjalani persidangan tanpa didampingi oleh pengacara,
dan walaupun tidak ada pidana mati bagi anak-anak, sebagian besar
hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman penjara, bukan hukuman
denda ataupun hukuman non-penjara lainnya. Selain itu, meningkatnya
jumlah anak yang dieksploitasi dan diperlakukan salah oleh orang
dewasa baik secara fisik dan emosional merupakan indikasi yang kuat
akan kebutuhan yang besar bagi anak akan perlindungan hukum yang
memadai.
A.5

JAMINAN PERLINDUNGAN DAN SANTUNAN KEMATIAN


(JASA RAHARJA)

(a) Latar Belakang


Program
jaminan
sosial
pemerintah
yang
memberikan
perlindungan dan santunan kematian adalah Perusahaan Negara
Kerugian Jasa Raharja yang berdiri sejak tanggal 1 Januari 1965
dengan tugas khusus mengelola pelaksanaan UU No.33 dan UU No. 34
tahun 1964. UU No.33/64 Jo PP No. 17/65 merupakan bentuk santunan
kepada masyarakat yang mengalami musibah, kecelakaan dalam
perjalanan. Sedangkan UU No. 34/64 Jo PP No. 18/65 merupakan bentuk
santunan kepada masyarakat dari kerugian akibat kecelakaan atau
musibah saat menggunakan transportasi umum.
Undang-undang no 33/64 Jo PP no.17/65 berisi tentang: (1) korban
yang berhak atas santunan meliputi setiap penumpang sah dari alat
angkutan penumpang umum yang mengalami kecelakaan diri, yang
diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum, selama penumpang
yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut yaitu saat naik dari
tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan; (2) kendaraan
bermotor umum (bis) yang berada dalam kapal ferry, apabila kapal ferry
tersebut mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis yang menjadi
korban akan diberikan jaminan ganda; (3) bagi penumpang mobil plat
hitam yang mendapat izin resmi sebagai alat angkutan penumpang
umum, seperti mobil pariwisata, mobil sewa, dan lain-lain terjamin juga;
(4) jaminan bagi penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya
tidak diketemukan dan atau hilang didasarkan kepada putusan
pengadilan negeri.
Sedangkan ruang lingkup UU no 34/64 Jo PP No 18/65 menyatakan
bahwa korban yang berhak atas santunan, adalah pihak ketiga yaitu: (1)
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

22

setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang
menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari
penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, sebagai contoh
adalah pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan bermotor; (2) setiap
orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor dan
ditabrak, dimana pengemudi kendaraan bermotor yang ditumpangi
dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini
para penumpang kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi; (3)
tabrakan dua atau lebih kendaraan bermotor apabila dalam laporan hasil
pemeriksaan kepolisian dinyatakan bahwa pengemudi yang mengalami
kecelakaan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan, maka baik
pengemudi maupun penumpang kendaraan tersebut tidak terjamin; (4)
pada kasus tabrak lari akan terlebih dahulu dilakukan penelitian atas
kebenaran kasus kejadiannya; (5) pejalan kaki di atas rel atau jalanan
kereta api dan atau menyeberang sehingga tertabrak kereta api serta
pengemudi/penumpang
kendaraan
bermotor
yang
mengalami
kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan kerat api; (6) pejalan kaki atau
pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang dengan sengaja
menerobos palang pintu kereta api yang sedang difungsikan
sebagaimana lazimnya kereta api akan lewat, apabila tertabrak kereta
api maka korban tidak terjamin.
(b) Besaran Premi Dan Santunan
Iuran Wajib dan santunannya diatur dalam SK Menteri Keuangan
No. 415/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan iuran wajib dana
pertanggungan wajib kecelakaan penumpang alat angkutan penumpang
umum di darat, sungai/danau, ferry/ penyeberangan, laut dan udara.
Untuk Sumbangan Wajib dan santunannya diatur dalam SK Menteri
Keuangan No.416/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan
sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan. Teknis pengenaan
premi adalah; (1) Iuran Wajib: setiap penumpang yang akan
menggunakan alat transportasi umum membayarkan iuran wajib yang
disatukan dengan ongkos angkut pada saat membeli karcis atau
membayar tarif angkutan dan pengutipan ini dilakukan oleh masingmasing operator (pengelola) alat transportasi tersebut; (2) Sumbangan
Wajib: pembayarannya dilakukan secara periodik (setiap tahun) di kantor
Samsat pada saat pendaftaran atau perpanjangan SIM.
Pembayaran premi dalam program asuransi kecelakaan dikenal
dengan 2 (dua) bentuk yaitu Iuran Wajib (IW) dan Sumbangan Wajib
(SW). IW dikenakan kepada penumpang alat transportasi umum seperti
kereta api, pesawat terbang, bus dan sebagainya. Sedangkan khusus
penumpang kendaraan bermotor umum di dalam kota dan kereta api
jarak pendek (kurang dari 50 km) dibebaskan dari pembayaran IW
tersebut. SW dikenakan kepada pemilik / pengusaha kendaraan
bermotor.
Besarnya santunan UU No. 33 & 34 tahun 1964 yang ditetapkan
berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Keuangan
RI
No.
415/KMK.06/2001 dan 416/KMK.06/2001 tanggal 17 Juli 2001:
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

23

Jenis Risiko

Angkutan Umum
Darat, Laut

Udara

Meninggal

Rp.10.000.000,-

Rp.50.000.000,-

Cacat tetap

Rp.10.000.000,-

Rp.50.000.000,-

Biaya Rawatan

Rp. 5.000.000,-

Rp.25.000.000,-

Biaya Kubur

Rp. 1.000.000,-

Rp. 1.000.000,-

B. KEARIFAN LOKAL DAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN


SOSIAL DI DAERAH
B.1

KABUPATEN TAKALAR- SULAWESI SELATAN

Di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, programprogram yang berhubungan dengan perlindungan sosial berada pada
beberapa dinas, yaitu Dinas Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,
Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan Pendidikan Nasional.
Perlindungan sosial di bidang kesehatan dilaksanakan melalui
strategi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), yang
berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan. Ciri-cirinya adalah
berkesinambungan, terjaga mutunya, dan terkendali biayanya, yang
dilaksanakan melalui sistem pelayanan kesehatan prabayar yang
paripurna (menyeluruh) dan berjenjang, dengan pelayanan tingkat
pertama yang bermutu dan efisien. Pemeliharaan kesehatan paripurna
tersebut mencakup upaya-upaya: promotif (peningkatan kesehatan),
preventif (pencegahan penyakit), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif
(pemulihan).
Selain itu, ada suatu sistem jaminan sosial yang dikembangkan
seperti dana sehat, yaitu dengan penyediaan biaya kesehatan yang tidak
diperoleh masyarakat; dana untuk ibu hamil resiko tinggi, dengan
sasaran pasangan usia subur (PUS) dari keluarga Prasejahtera dan
Sejahtera I. Skema yang dilaksanakan adalah dengan tabungan dan dana
talangan/dana abadi (dari UNICEF).
Bantuan dan jaminan sosial di bidang pendidikan, perlu diberikan
pada anak, khususnya pada usia pendidikan dasar 7-15 tahun. Namun,
permasalahan yang terjadi di Kabupaten Takalar adalah meningkatnya
angka drop out sekolah, akibat banyaknya anak yang bekerja membantu
orang tuanya, karena sebagian besar mereka hidup di bawah garis
kemiskinan. Khusus bagi yang berdomisili di daerah pesisir pantai
kebanyakan mereka membantu orang tuanya mencari nafkah di laut.
Selain itu, banyak pula anak usia pendidikan dasar yang pindah ke kota
dan bekerja sebagai tukang batu, tukang becak, dan sebagainya.
Di bidang ketenagakerjaan, para pegawai menginginkan adanya
perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan jaminan sosial. Hal ini
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

24

karena beberapa kasus kecelakaan dan penyakit akibat pekerjaan yang


kurang mendapat perhatian dari perusahaan tempat mereka bekerja,
dan hal tersebut mengakibatkan hilangnya penghasilan pegawai yang
bersangkutan sementara tidak bekerja.
Dalam hal pemberian jaminan sosial, Pabrik Gula Takalar (yang
bernaung di bawah PTPN XIV), memberikan jaminan sosial bagi
karyawannya dalam bentuk jaminan kesehatan yang diselenggarakan
melalui klinik dan dokter perusahaan dan RS Pemerintah dan swasta.
Sedangkan, PT Jasa Raharja memberikan perlindungan sosial kepada
seluruh penduduk tanpa kecuali, yaitu untuk korban kecelakaan lalu
lintas sebagai penumpang dan korban kecelakaan lalu lintas umum.
Selain itu, ada suatu kelompok sistem kearifan lokal yang
berhubungan dengan jaminan sosial yaitu kelompok Sinoman, yang
mengumpulkan sejumlah dana untuk memberi bantuan bagi keluarga
orang yang meninggal.

B.2

KABUPATEN SIDOARJO- JAWA TIMUR

Pada saat ini, pembangunan Kabupaten Sidoarjo menekankan pada


dua aspek prioritas yaitu; meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Pro
Growth) dan pembangunan sosial yang nya (dan Pro Poor). Dengan
demikian upaya-upaya penurunan penduduk miskin serta peningkatan
ekonomi lokal menjadikan sasaran utama.
Pelaksanaan bantuan dan jaminan sosial di bidang pendidikan
dilakukan melalui; (a) Block Grant yang diberikan kepada institusi
pendidikan (SD dan SLTP) di kabupaten untuk Beasiswa dan subsidi
biaya minimal mencakup transportasi, seragam, dan alat tulis sekolah
bagi siswa; dan bantuan sosial air bersih bagi tenaga pendidik; (b)
Perlindungan sosial bidang pendidikan termasuk PADU dan Kejar Paket
A, B, dan C; (c) Life skill saat ini termasuk dalam bantuan sosial dengan
sasaran diutamakan bagi anak muda yang tidak sekolah, tidak bekerja,
dan miskin.
Di bidang kesehatan pelayanan kesehatan membutuhkan dana Rp
3 miliar per tahun untuk pelayanan kesehatan gratis di puskesmas bagi
450 ribu kepala keluarga. Namun demikian dari segi pendanaan belum
mencukupi karena saat ini total APBD saat ini hanya Rp 5 miliar. Untuk
itu, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun 2003,
telah dilakukan uji coba pelaksanaan JPKM di satu kecamatan. Biaya
yang diperlukan untuk memperoleh Pelayanan dasar di Puskesmas
adalah Rp. 2000 setiap KK dan dibayarkan kepada Badan Pelaksana
JPKM di Kab Sidoarjo. Sebagai perbandingan bila penyelenggaraan
melalui ASKES memerlukan biaya Rp. 15.000 setiap KK.
Perlindungan bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di
Kab. Sidoarjo saat ini mencapai 16 ribu orang dengan 22 jenis masalah
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

25

kesejahteraan sosial. Dinas sosial telah memprioritaskan


rehabilitasi anak jalanan, WTS, dan gelandangan.

dalam

Sedangkan Dinas Tenaga Kerja, juga menjalankan bantuan sosial,


asuransi, dan pelayanan sosial bagi tenaga kerja. Metode yang
digunakan untuk asuransi adalah tripartite, dengan sharing beban premi
antara pekerja, perusahaan/employer, dan pemerintah.
Di samping itu, Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3)
menekankan pentingnya Jaminan Sosial bagi perempuan, sehubungan
dengan kesehatan reproduksi wanita (haid, hamil, melahirkan, dan
menyusui) serta perlindungan hukum bagi perempuan dan anak
dimasukkan dalam skema Perlindungan Sosial (SPS), sebab perempuan
dan anak, terutama yang miskin sangat rentan tanpa perlindungan
hukum. Perlu dipikirkan selain skema bantuan sosial di bidang hukum,
juga skema jaminan sosialnya.
B.3

KABUPATEN SLEMAN- JAWA TENGAH

Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai pelayan masyarakat


senantiasa berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
berbagai program yang telah dilaksanakan antara lain adalah program
JPS bidang pendidikan dalam bentuk pemberian beasiswa, BKS, dan
DBO; program bantuan sosial; pengelolaan program kesehatan; dan
program jaminan sosial tenaga kerja. Di samping itu telah dikembangkan
juga berbagai sistem perlindungan dan jaminan sosial di lingkungan
perguruan tinggi seperti di UGM, dan UII.
Di bidang pendidikan, dalam rangka untuk menanggulangi
meningkatnya anak putus sekolah telah dilakukan program JPS melalui
beasiswa, DBO, dan BKS.
Mengingat keterbatasan anggaran
pembangunan pemerintah, pemerintah daerah Sleman berupaya untuk
mencari dana dari pihak swasta melalui pemberian beasiswa dari
beberapa perusahaan nasional.
Dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan sosial di
lingkungan Universitas Islam Indonesia, Kabupaten Sleman, telah
dibentuk kelembagaan yaitu Lembaga Amal Zakat Infaq dan Shadaqah
(LAZIS); Pusat pengelolaan bantuan Sosial dan Kesehatan (PP
BANSOSKES); dan Dana Pensiun. UII memberikan beasiswa kepada
siswa-siswi SD-SMU berdasarkan rekomendasi dosen dan karyawan UII.
Di samping itu UII juga memberikan bantuan bidang kesehatan
masyarakat di sekitar kampus terpadu dengan kartu sehat.
Di bidang tenaga kerja, Kabupaten Sleman telah melaksanakan
berbagai kebijakan ketenagakerjaan melalui program jaminan sosial
tenaga kerja meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian,
jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

26

Di bidang sosial, kebijakan bantuan sosial pelaksanaannya melalui


program pendampingan usaha sosial ekonomis produktif (USEP), dan
program bantuan sosial. Di dalam pelaksanaan pendampingan kelompok
USEP, pemerintah daerah Sleman memberikan bimbingan sosial dan
memberikan stimulan modal usaha bergulir, dan mengadakan simpan
pinjam. Kelompok USEP di Kab. Sleman sebanyak 171 kelompok masingmasing adalah 88 kelompok USEP IRT (Ibu Rumah Tangga); 33
kelompok USEP LU (Lanjut Usia); dan 50 kelompok USEP KT (Karang
Taruna). Di samping itu diberikan juga bantuan sosial bagi penanganan
bayi terlantar sebanyak 10 kasus, bantuan panti sosial untuk 977 orang
untuk 24 panti sosial dengan dana bantuan Rp. 806 juta melalui dana
dekonsentrasi, dan bantuan korban bencana alam.
Peserta dari UGM menyampaikan beberapa pokok pikiran
berkaitan dengan pengembangan sistem jaminan sosial nasional antara
lain; badan penyelenggara (BPJS) harus tidak hanya satu, dan dapat
mengakomodir badan penyelenggara daerah yang sudah ada (Bapel
JPKM); paket pelayanan dan manfaat layanan harusnya sama, standar
serta tarif rumah sakit dan dokter di atur; peran pemerintah pusat dan
daerah harus jelas; semua bentuk pengelolaan harus berorientasi not-for
profit.
B.4

KABUPATEN
TENGAH

KOTAWARINGIN

BARAT

KALIMANTAN

Di Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah,


program-program yang berhubungan dengan bantuan dan jaminan sosial
berada pada beberapa dinas, yaitu Dinas Kesehatan, Sekretariat
Kabupaten, Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan Pendidikan dan
Pengajaran.
Di tengah masyarakat Kab. Kotawaringin telah terbentuk beberapa
skema kearifan lokal yaitu Rukun Kematian, Jaminan bagi Anak Yatim
Piatu, dan Anak Asuh (yang tinggal menyatu dan bekerja pada keluarga
angkatnya selama menempuh pendidikan/bersekolah, dan biaya hidup
serta pendidikannya ditanggung oleh keluarga angkatnya tersebut).
Untuk koordinator pelaksana PJS (Program Jaminan Sosial)
terpadu, diharapkan kelak dibentuk satu lembaga baru yang membawahi
seluruh penyelenggara PJS yang telah ada saat ini dan menambahkan
satu
program
(jamsos
masyarakat
secara
umum)
untuk
mengakomodasikan kearifan lokal yang telah berkembang di masyarakat
saat ini.
Selain PJS-nya, akan dipertimbangkan pula aspek keamanan
termasuk dalam cakupan manfaat jaminan sosial sektor informal,
terutama bagi pedagang kaki lima.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

27

B.5

KOTA PADANG - SUMATERA BARAT

Pemerintah Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, melalui Surat


Edaran Walikota telah mengumpulkan zakat seluruh pejabat struktural
Kota Padang sebesar 2,5 persen dari gaji. Pengumpulan dana dilakukan
oleh Badan Amil Zakat di bawah pengawasan Majelis Ulama setempat.
Dana tersebut selanjutnya digunakan sebagai dana bantuan sosial bagi
penduduk miskin. Skema ini akan segera diikuti oleh beberapa
kabupaten di Provinsi Sumatera Barat.
Selain itu, sejumlah paguyuban terbentuk di kalangan masyarakat,
terutama masyarakat rantau Sumatera Barat, seperti Gebu Minang,
Ikatan Keluarga Daerah Pariaman, dan Ikatan Sulit Air Sepakat.
Paguyuban ini didirikan dengan tujuan untuk membangun daerah dan
masyarakat asal mereka. Merupakan tradisi budaya Minang (seperti
badoncek dan batagak kudo-kudo) untuk bersama-sama menanggung
pembangunan daerah dan saling membantu, sehingga mekanisme
pendanaan pembangunan sarana sosial publik dan pemberian bantuan
bagi anggota masyarakat yang miskin atau tertimpa bencana sudah
terbentuk dan membudaya.
Masyarakat perguruan tinggi tidak ketinggalan dalam membangun
skema perlindungan sosial bagi anggotanya. Perlindungan sosial yang
telah ada saat ini adalah bantuan pengobatan dan perawatan kesehatan.
Untuk tahun 2004 telah dirancang skema perlindungan sosial yang
mencakup aspek pendidikan, kesehatan, dan hukum, baik dalam bentuk
bantuan maupun jaminan sosial.
C.

KONDISI DEMOGRAFI DAN EKONOMI YANG PERLU


DIPERHATIKAN DALAM PENGEMBANGAN PERLINDUNGAN
SOSIAL

Dalam mengembangkan Sistem Perlindungan Sosial (SPS) perlu


memperhatikan kondisi sosial ekonomi penduduk mengingat, pertama,
bahwa kondisi sosial ekonomi penduduk itulah yang perlu menjadi
pijakan sekaligus muara dari sistem perlindungan dan jaminan sosial
yang akan dikembangkan. Sebagai pijakan dalam arti bahwa SPS yang
akan dikembangkan berangkat dari kondisi sosial ekonomi penduduk
yang ada, yang dengan demikian maka apa yang akan dikembangkan
diharapkan dapat lebih realistis sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Sebagai muara dalam arti bahwa SPS yang akan dikembangkan pada
akhirnya ditujukan kepada seluruh penduduk. Kedua, kondisi seluruh
penduduk juga perlu diperhatikan mengingat konstitusi memberikan
mandat bahwa sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan adalah
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, bagi setiap orang, yang
berarti mencakup seluruh penduduk (universal coverage).
Uraian pada bagian ini akan dipilah dalam tiga bagian:

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

28

a. Kondisi Demografi, yang akan menguraikan tentang makin


besarnya
tekanan
demografis
terhadap
perlunya
sistem
perlindungan sosial. Dalam kaitan SPS uraian kondisi demografi
yang amat relevan adalah berkaitan dengan pergeseran struktur
penduduk ke arah penduduk tua (aging population)
b. Kondisi Ketenagakerjaan, yang akan menggambarkan tentang
situasi penduduk usia ekonomis dalam kaitannya dengan
kemampuan mereka mengikuti SPS yang akan dikembangkan
c. Kondisi Ekonomi, yang di samping akan menguraikan tentang
kemampuan ekonomis penduduk utamanya adalah penduduk
miskin yang menjadi sasaran bantuan sosial dalam SPS juga akan
menguraikan
secara
sekilas
kondisi
perekonomian
dan
kemampuannya dalam mendukung SPS yang akan dikembangkan.
C.1

KONDISI DEMOGRAFI1

Kondisi demografi yang perlu mendapat perhatian berkaitan


dengan pengembangan SPS utamanya adalah berkaitan dengan
kecenderungan terjadinya pergeseran struktur penduduk Indonesia yang
mengarah kepada struktur penduduk tua (aging population) yaitu makin
banyaknya penduduk lanjut usia (lansia). Pengembangan SPS menjadi
makin mendesak jika dilihat dari makin banyaknya jumlah dan proporsi
penduduk lansia.
(a). Penduduk Lansia Makin Banyak
Data yang ada menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia
meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun baik dari segi jumlah
maupun persentase. Kalau pada tahun 1971 jumlah penduduk lansia (60
tahun ke atas) di Indonesia baru sekitar 5,3 juta maka pada tahun 1990
jumlah tersebut meningkat dua kali lipat lebih yaitu menjadi 12,8 juta.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2000 jumlah penduduk lansia (60 tahun
ke atas) Indonesia sudah mencapai 14,75 juta jiwa atau sekitar 7,25
persen dari seluruh penduduk Indonesia. Pada dekade-dekade
mendatang jumlah dan persentase lansia akan tumbuh berlipat ganda.
Pada tahun 2020 penduduk lansia Indonesia diperkirakan akan mencapai
10 persen lebih.
Peningkatan jumlah penduduk lansia tersebut jauh lebih besar
dibanding dengan peningkatan jumlah penduduk balita (bawah lima
tahun, Tabel 1.1). Post-war baby boom di Indonesia yang terjadi pada
dekade '60-'70-an diperkirakan akan mengakibatkan aged-population
boom pada dua dekade permulaan di abad 21. Generasi yang lahir pada
tahun '60-'70-an saat ini tahun 90-an sedang memasuki kehidupan
keluarga dan pada tahun 2010-2020-an akan memasuki tahap lanjut
usia.
Tabel 3.1.
Tulisan pada bagian ini banyak diktip dari Mundiharno, Determinan Sosial Ekonomi
Intergenerational Transfer: Analisis Data IFLS I, thesis, Universitas Indonesia, 1999
1

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

29

Penduduk Lansia (60+) dan Penduduk Balita (0-4)


Indonesia Tahun 1980-2020
Penduduk Balita
Penduduk Lansia
Jumlah
Perse Jumlah
Persen
n
a
1971
19.098.693 16,1
5.306.874
4,5
1980a
21.190.672 14,4
7.998.543
5,5
b
1985
21.550.364 13,4
9.440.999
5,8
a
1990
21.552.150 11,9
9.917.209
5,5
1995c
21.609.150 11,0
13.600.962 6,9
2000d
21.715.900 10,3
15.958.400 7,6
d
2005
21.957.100 9,7
18.351.100 8,1
a
BPS, Penduduk Indonesia 1971, 1980 dan 1990
hasil Sensus
b
BPS, Penduduk Indonesia 1985 hasil SUPAS 1985
c
BPS. Penduduk Indonesia 1995, Hasil SUPAS 1995
d
BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi
1995-2005, Seri: S7, BPS, Jakarta, Indonesia, Maret
1998
Secara absolut penduduk lansia Indonesia saat ini jumlahnya
sudah besar, lebih besar dibanding jumlah lansia di sejumlah negara
yang saat ini sudah mengalami masalah penduduk tua seperti Korea
Selatan apalagi Singapura dan Hongkong. Jumlah penduduk lansia
Indonesia yang pada tahun 1995 diperkiraan sebanyak 13,6 juta, jauh
lebih besar dibanding jumlah lansia di Korea Selatan yang hanya 3,99
juta untuk tahun 1995; dan hampir separuh jumlah lansia di Jepang
yang sekitar 25,14 juta untuk tahun yang sama, 1995.2
Kenyataan ini dapat diinterpretasikan bahwa persoalan yang
dihadapi di Korea Selatan dan juga di Jepang dalam hal pelayanan
terhadap lansia secara relatif juga dihadapi oleh Indonesia, meskipun
proses penuaan penduduk (aging population) di Korea Selatan dan
Jepang lebih dahulu berlangsung. Persentase penduduk lansia terhadap
total penduduk di Jepang tahun 1990 sebesar 17,2 persen, sementara
persentase penduduk lansia di Indonesia untuk tahun yang sama baru
5,5 persen.
Jika dilihat per provinsi, ternyata beberapa provinsi telah
mengalami proses penuaan penduduk dibanding dengan apa yang terjadi
secara nasional. Meskipun persentase penduduk lansia secara nasional
baru sekitar 7 persen, namun secara lokal persentase penduduk lansia
di beberapa provinsi sudah di atas 7 persen. Ada lima provinsi yang
persentase penduduk lansianya (pada tahun 1995) sudah di atas 7
persen. Kelima provinsi tersebut adalah DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali,
Jawa Tengah dan Sumatera Barat (Tabel 1.2).

Diolah dari United Nations, World Population Prospect 1996 revision, medium
variant New York, 1998.
2

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

30

Tabel 3.2.
Jumlah dan Persentase Penduduk Lansia di Lima
Provinsi, 1995
Provinsi
di Jumlah
Persen
Indonesia
D.I. Yogyakarta
366.917
12,6
Jawa Timur
3.201.653
9,5
Bali
259.441
8,9
Jawa Tengah
2.610.833
8,8
Sumatera Barat
345.022
7,9
Sumber:
BPS, Survei Penduduk Antar Sensus 1995
Jumlah penduduk lansia juga terkonsentrasi di provinsi-provinsi di
Pulau Jawa. Jumlah penduduk lansia di Pulau Jawa dan Bali mencapai
68.8 persen dari seluruh lansia yang ada di Indonesia.
Jumlah dan persentase penduduk lansia di lima provinsi khususnya
Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur hampir sama dengan kondisi di
beberapa negara maju. Persentase penduduk lansia di Provinsi DI
Yogyakarta (12,6 persen) dan Jawa Timur (9,5 persen) lebih besar
dibanding persentase lansia di Singapore (9,21 persen) dan Korea
Selatan (9,03 persen).
(b). Penyebab Meningkatnya Penduduk Lansia
Pada dasarnya penuaan penduduk terjadi karena adanya pergeseran struktur umur penduduk. Di tingkat nasional, pergeseran
struktur umur penduduk lebih disebabkan oleh fertilitas dan mortalitas;
faktor migrasi tidak terlalu banyak berpengaruh. Sementara di tingkat
lokal khususnya di daerah pedesaan faktor migrasi sangat
berpengaruh terhadap terjadinya penuaan penduduk (aging population).
Menurunnya angka kelahiran penduduk di satu sisi dan
meningkatnya angka harapan hidup di sisi lain menyebabkan terjadinya
perubahan struktur penduduk suatu negara. Waktu yang dicapai suatu
negara dalam melakukan penurunan fertilitas berpengaruh terhadap
cepat tidaknya proses perubahan struktur penduduk suatu negara.
Dari sisi waktu penurunan angka kelahiran (fertility rate), PBB
mengelompokkan negara-negara di dunia ke dalam tiga kategori sebagai
berikut:
a.
Pre-initiation countries, yaitu negara-negara yang penurunan
angka kelahirannya belum dimulai sampai tahun 1990
b.
Late initiation countries, yaitu negara-negara yang angka
kelahirannya dimulai antara kurun waktu 1950-1990
c.
Early intiation countries, yaitu negara-negara yang penurunan
angka kelahirannya telah berlangsung sebelum tahun 19503
3

Hugo, Graeme, "Review of The Population Ageing Situation and Major Ageing Issues at
Local Levels", dalam Productive Ageing in Asia and The Pacific, ESCAP,
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

31

Indonesia sebagaimana negara ASEAN lainnya seperti Malaysia,


Philipina, Singapura dan Thailand - dikategorikan PBB ke dalam late
initiation countries. Angka kelahiran (CBR dan TFR) di Indonesia baru
mulai menurun sejak tahun 1960-1965. CBR Indonesia diperkirakan
mulai menurun dari 45,4 pada kurun 1955-1960 menjadi 42,9 pada
kurun 1960-1965. Sedang TFR-nya menurun dari 5,67 pada kurun
1955-1960 menjadi 5,42 pada kurun 1960-1965. Sejak kurun 1960-1965
angka kelahiran (CBR dan TFR) Indonesia mengalami penurunan terus
menerus hingga sekarang (UN, World Population Prospect 1990, p.
432).
Penurunan fertilitas di satu sisi dan meningkatnya angka harapan
hidup (life expectancy) di sisi lain menyebabkan terjadinya proses
penuaan penduduk Indonesia. Tabel 2.1 memperlihatkan adanya
hubungan antara tingkat fertilitas yang makin menurun, IMR yang
makin menurun, angka harapan hidup yang makin meningkat dan makin
besarnya proporsi penduduk tua.
Tabel 3.3.
Perkembangan TFR, IMR, e0 dan Persentase Lansia di Indonesia
Tahun
TFR
IMR
e0
%
Lansia
(60+)***
1971*
5,605
145
45,73
4,5
1980*
4,680
109
52,21
5,5
1990*
3,326
71
59,80
6,3
1995**
2,926
66
60,19
6,9
2000**
2,608
57
61,71
7,6
2005**
2,324
48
63,45
8,1
Sumber:
* BPS, Tren Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, BPS, Jakarta, 1994
** Eduard Bos et al., World Population Projection, Estimates and
Projections with Related Demographic Statistics 1994-1995. A World
Bank Book,
The John Hopkins University Press, Baltimore and
London, 1994, pp. 270-271
*** Hasil SP 1971, SP 1980, SP 1990 dan SUPAS 1995 serta hasil
proyeksi
Keterangan:
a
TFR 1971, 1980 dan 1980 masing-masing dihitung menurut kurun
waktu 1967-1970, 1976-1979 dan 1986-1989.
b
TFR 1995, 2000 dan 2005 dihitung antar kurun waktu tersebut
(1990-1995, 1995-2000, 2000-2005
c
Estimasi IMR BPS menggunakan metode TRUSSEL (p, 68)
d
Estimasi TFR menggunakan metode anak kandung (Own Children)

Dari Tabel tersebut tampak bahwa bersamaan dengan penurunan


tingkat fertilitas, di satu sisi dan penurunan IMR serta peningkatan
angka harapan hidup disisi lain, persentase penduduk lansia di Indonesia
terus mengalami peningkatan secara signifikan. Penurunan TFR dari
5,605 pada tahun 1971 menjadi 2,926 pada tahun 1995 serta
peningkatan angka harapan hidup dari 45,7 pada tahun 1971 menjadi
60,2 tahun pada tahun 1995 telah menyebabkan terjadinya peningkatan
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

32

proporsi penduduk lansia (60+) dari 4,5 persen pada tahun 1971
menjadi 6,9 persen pada tahun 1995.
Dalam skala lokal, migrasi turut mempengaruhi ageing population
di suatu daerah melalui dua pola (i) migrasi masuk penduduk tua ke
suatu daerah (pedesaan) akibat retirement migration (migrasi karena
pensiun), dan; (ii) migrasi keluar penduduk muda (young out-migration)
akibat dorongan faktor ekonomi di daerah lain.
(c). Kondisi Penduduk Lansia
Pertanyaan kemudian bagaimana kondisi penduduk lansia yang
makin banyak tersebut. Siapakah yang menopang kehidupan mereka;
seberapa besar dari mereka yang sudah memperoleh dukungan
institusional secara formal (institusional support), seberapa besar dari
mereka yang tercover dalam sistem bantuan dan jaminan sosial,
darimana mereka memperoleh dukungan jika tidak termasuk dalam
skema sistem bantuan dan jaminan sosial yang ada?
Data yang ada menunjukkan jumlah penduduk lansia yang
tercakup oleh sistem jaminan sosial baik dalam bentuk asuransi maupun
tabungan hari tua (pensiun) masih amat sedikit. Masih cukup banyak
penduduk lansia yang belum (tidak) memperoleh jaminan sosial baik
berupa dana pensiun maupun asuransi.
Tabel 3.4.
Perkembangan Pegawai yang Mendapatkan Pensiun dan Pesangon,
1986-1993 (dalam ribuan)
Pegawai yang Mendapat Pensiun
Jumlah
Jumlah
Pegawai
pegawai
Pegawai
Pegawai
Pegawai
yang
yang
Pemerintah Pemerintah BUMN
Mendapat
Mendapat
Pusat
Daerah
Pensiun
Pesangon
dari ASTEK
1986
2 947,2
438,4
142,3
3 527,9
2 606,1
1987
2 978,5
446,1
147,7
3 572,3
3 005,8
1988
3 156,2
468,7
154,9
3 779,8
3 334,9
1989
3 265,5
473,3
170,3
3 909,1
3 602,3
1990
3 291,1
480,2
170,5
3 941,8
3 929,1
1991
3 428,0
489,9
178,4
4 096,3
4 469,0
1992
3 516,9
497,8
183,7
4 198,4
5 041,9*
1993
3 594,2
507,1
109,7
4 211,0
Sumber: PT Taspen Jakarta (sebagaimana dikutip dari Hugo) dalam BPS,
Laporan Sosial Indonesia 1997; Lanjut Usia (Lansia), BPS, Jakarta,
Maret 1998, p. 63

Dari sekitar 13,3 juta lansia yang ada di Indonesia pada tahun
1995 diperkirakan hanya sekitar tiga puluh persen (4,2 juta jiwa)

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

33

penduduk lansia yang mendapatkan jaminan hari tua berupa pensiun.


Sisanya, 70 persen lansia belum tersentuh oleh dana pensiun.
Demikian pula dengan asuransi kesehatan, cakupannya masih
terbatas. Menurut Thabrany pada 1998 baru sekitar 14 persen penduduk
(atau sekitar 27-30 juta jiwa) yang telah mendapat jaminan kesehatan,
yang umumnya dalam bentuk JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat)4. Hasil pengolahan data IFLS II (1997) yang dilakukan
Mundiharno juga menunjukkan angka yang berdekatan dimana hanya 13
persen responden yang memiliki jaminan kesehatan termasuk
didalamnya Askes, Astek, asuransi swasta lain, klinik karyawan dan
penggantian biaya pengobatan5.
Disamping cakupan jaminan sosial yang masih rendah, dukungan
institusi (institusional support) yang diberikan oleh pemerintah kepada
penduduk lansia juga masih belum memadai, setidaknya jika dilihat dari
terbatasnya jumlah Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) yang ada relatif
dibanding dengan jumlah lansia yang membutuhkannya.
Cakupan penanganan negara terhadap lansia yang terlantar
melalui sistem panti masih amat rendah. Data yang ada mengungkapkan
bahwa lansia terlantar yang ada pada tahun 1991 diperkirakan sebanyak
1.811.484 jiwa6. Sementara panti sosial tresna werdha (PSTW) yang ada
di seluruh Indonesia hanya 155 PSTW dengan daya tampung hanya
sekitar 7.756 lansia atau kurang dari setengah (0,43) persen. Dari
jumlah PSTW tersebut hanya 55,5 persen (86 PSTW) dikelola swasta,
sisanya 69 PSTW dikelola dan didirikan oleh pemerintah (dalam hal ini
Departemen Sosial). Gambaran ini menunjukkan bahwa kemampuan
pemerintah untuk menangani permasalahan lansia bahkan lansia
terlantar yang merupakan keharusan ditangani oleh pemerintah sesuai
amanat konstitusi masih rendah.
Rendahnya kemampuan negara dalam memberikan dukungan
institusional (institutional support) sebagaimana dikemukakan dimuka
menyebabkan keberadaan penduduk lansia jauh lebih banyak ditopang
oleh keluarga dan masyarakat. Amat terbatasnya dukungan institusi
(institutional support) terhadap keberadaan lansia baik dalam bentuk
bantuan sosial (seperti melalui panti jompo dsb.) maupun asuransi sosial
(asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, pensiun dan
sejenisnya) membawa implikasi pada pentingnya peranan dukungan
keluarga (familial support) terhadap keberadaan lansia.
Pertanyaannya, dalam pola seperti apa dukungan keluarga itu
diberikan kepada penduduk lansia? Dukungan keluarga terhadap
keberadaan lansia dapat diwujudkan dalam pola koresidensi ataupun
4

Thabrany, Hasbullah, Asuransi Kesehatan Pilihan Kebijakan Nasional, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Jakarta, 1998, pp-6-7
5
Mundiharno, "Determinan Sosial Ekonomi Kepesertaan Asuransi Kesehatan", Laporan Penelitian Hibah
Bersaing Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1999
6
Soepardo, Istikanah Promotion of The Social Well-Being of Elderly People in Indonesia: A Brief Statement,
dalam UN ESCAP, Productive Ageing in Asia and the Pacific, UN, New York, 1993, p. 83
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

34

dalam bentuk intergenerational transfer. Hanya pola dukungan keluarga


tersebut juga perlu dicermati mengingat perkembangan dan perubahan
sosial ekonomi yang terjadi.
Beberapa perubahan berikut bisa jadi berpengaruh pada
menurunnya kuantitas dan kualitas dukungan keluarga terhadap
penduduk lansia:
- Adanya kecenderungan terjadi perubahan nilai keluarga dari
extended family ke nuclear family. Perubahan nilai keluarga
tersebut diduga akan mengurangi dukungan keluarga kepada
lansia (khususnya anak kepada orang tua) mengingat makin
sedikitnya orang tua yang tinggal bersama dengan anak-anaknya.
Terbatasnya ukuran tempat tinggal (terutama di daerah perkotaan)
di satu sisi dan perubahan budaya keluarga di sisi lain turut
mempengaruhi makin sedikitnya orang tua yang tinggal bersama
anak-anaknya.
- Makin banyaknya wanita yang masuk ke pasar kerja diduga
turut pula mengurangi dukungan keluarga terhadap lansia. Waktu
wanita yang semula banyak digunakan untuk mengurus keluarga
kini banyak yang tersedot ke pasar kerja. Data yang ada
memperlihatkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Wanita,
meskipun masih lebih rendah dibanding dengan TPAK Pria,
mengalami peningkatan secara berarti dari 33,1 persen pada
tahun 1971 menjadi 38,8 persen pada tahun 1990.
- Makin terhimpitnya norma-norma keluarga akibat modernisme,
termasuk akibat perubahan struktur ekonomi juga dapat
menyebabkan makin rendahnya dukungan keluarga pada lansia.
David & Combs (sebagaimana dikutip Ogawa & Retherford, 1993)
menyebutkan bahwa perubahan struktur ekonomi dari peasantagrarian economy ke urban-industrial economy turut mengubah
pola dukungan anak terhadap orang tuanya. Dalam peasantagrarian economy produksi cenderung bersifat family based dan
unspecialized. Karenanya konflik antar generasi juga dapat
diminimalkan. Dalam kondisi seperti itu anak menaruh hormat
yang begitu besar terhadap orang tuanya. Sedang dalam urbanindustrial economy produksi tidak lagi bersifat family based.
Pekerjaanpun cenderung bersifat spesialis. Pekerjaan diperoleh
melalui pasar kerja yang memerlukan seseorang sebagai individu
bukan sebagai anggota keluarga tertentu. Antara orang tua dan
anaknya seringkali berada pada tempat yang berjauhan. Dalam
kondisi seperti itu maka hubungan antara orang tua dan anaknya
juga berkurang, yang pada gilirannya turut mempengaruhi rasa
hormat dan penghargaan anak terhadap orang tuanya.
Kekuatiran terhadap makin surutnya dukungan keluarga terhadap
orang tua (lansia) telah banyak dikemukakan oleh banyak ahli,
khususnya para sosiolog yang mengamati hal tersebut di negara-negara

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

35

maju. Tuntutan pekerjaan yang banyak menyita waktu penduduk usia


produktif telah mengurangi perhatian mereka terhadap para lansia. Di
beberapa negara maju di Asia seperti Hongkong dan Singapura tradisi
meluangkan waktu untuk merawat orang tua hampir punah dan hal itu
merupakan masalah sosial yang cukup berarti. Di Singapura para anak
bahkan diwajibkan
untuk mendukung kehidupan orang tuanya.
Frons, Jeffiers dan Nelson (1982, 10) sebagaimana dikutip Hugo
menyatakan:
"Asian sociologist believe that the ever increasing flight from
the countryside to the cities in search of better, easier jobs
strains family ties. As the younger generation becomes more
affluent, more materialistic --and more preoccupied with a youth
oriented Western culture-- the traditional regard for elderly is
vanishing7
Gejala serupa bisa pula terjadi di Indonesia dengan jenis dan kadar
yang berbeda. Banyaknya penduduk muda yang melakukan migrasi ke
kota (young out-migration) untuk mencari pekerjaan yang lebih baik
dapat berpengaruh terhadap dukungan mereka kepada orang tua.
Memusatnya investasi yang diikuti oleh proses industrialisasi di
daerah perkotaan yang selanjutnya berdampak pada banyaknya
kesempatan kerja di daerah perkotaan telah mejadi salah satu faktor
penyebab penting terjadinya migrasi penduduk muda dari desa ke kota.
Banyaknya migrasi keluar penduduk muda dari desa ke kota-kota besar
telah menyebabkan terjadinya struktur piramida penduduk desa yang
kosong di tengah (hollow middle); proporsi penduduk tua dan anak-anak
makin besar sementara proporsi penduduk dewasa-nya makin sedikit.
Banyak lansia di desa, yang kemudian, ditinggal anak-anaknya pergi ke
kota.
Berbagai perubahan sosial ekonomi tersebut menggambarkan
bahwa ke depan tidaklah cukup hanya mengandalkan dukungan
keluarga dan masyarakat (family & social support) terhadap keberadaan
lansia secara terus menerus. Oleh karena itu perlu dibangun dan
dikembangkan suatu dukungan institusional (institutional support) yang
sifatnya lebih sistemik dan permanen. Dalam kaitan inilah maka dari sisi
kondisi demografis, pengembangan sistem perlindungan sosial yang
komprehensif/terpadu mutlak diperlukan dan tidak dapat ditunda-tunda
lagi.
C.2

KONDISI KETENAGAKERJAAN

Sebagaimana dikemukakan dimuka bahwa secara demografis,


kebutuhan akan pengembangan sistem perlindungan dan jaminan sosial
sudah sangat mendesak terutama jika dikaitkan dengan makin
Graeme Hugo, "Review of The Population Ageing Situation and Major Ageing Issues
at Local Levels", dalam Productive Ageing in Asia and The Pacific, ESCAP, New York,
1993, p. 40
7

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

36

banyaknya penduduk lansia (baik secara absolut maupun relatif) di satu


sisi, sementara dukungan kelembagaan yang ada masih rendah di sisi
lain. Namun sistem jaminan sosial akan dapat dikembangkan secara
lebih sistemik dan permanen jika didukung oleh kemampuan ekonomis
dari penduduk usia produktif atau penduduk usia kerja. Karena
penduduk usia kerja itulah yang berperan besar dalam memberikan
kontribusi pada sistem perlindungan dan jaminan sosial. Dalam kaitan
itulah maka perlu dilihat bagaimana kondisi penduduk usia ekonomis
melalui dinamika ketenagakerjaan yang terjadi. Bagaimanakah kondisi
ketenagakerjaan Indonesia, apakah amat mendukung dikembangkannya
sistem jaminan sosial atau justru masih diwarnai oleh berbagai kendala
dalam pengembangan jaminan sosial.
Dalam kaitan pengembangan SPS ada beberapa fenomena utama
yang perlu dicermati dalam dunia ketenagakerjaan antara lain masih
tingginya angka pengangguran, banyaknya tenaga kerja yang bekerja di
sektor informal, rendahnya upah dan masih sedikitnya yang tercakup
dalam sistem jaminan sosial tenaga kerja.
(a).Tingginya Angka Pengangguran
Salah satu fenomena yang menonjol kalau kita melihat kondisi
ketenagakerjaan Indonesia adalah angka penganggurannya yang tinggi
baik angka pengangguran terbuka (open unemployment) dan apalagi
angka setengah pengangguran (underemployment) baik yang kentara
(visible underemployment) maupun yang tidak kentara (invisible
underemployment).
Hasil Sensus Penduduk 2000 memperlihatkan bahwa dari 95,65
juta angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja ada sekitar 5,81 juta jiwa
yang belum bekerja paling sedikit 1 jam selama seminggu sebelum
survei. Atau dengan kata lain ada angka pengangguran terbuka (open
unemployment) adalah sebesar 6,1 persen.
Komposisi Tenaga Kerja, 2000
Komposisi
Jumlah
Persen
Penduduk
203.456.000
Bukan Tenaga Kerja
62.285.195
30,6
Tenaga Kerja
141.170.805
69,4
Bukan Angkatan Kerja
45.519.844
32,2
Angkatan Kerja
95.650.961
67,8
Pekerja
89.837.730
93,9
Pengangguran
5.813.231
6,1

70
60,17

60
50
39,83

40

Data terakhir
menunjukkan bahwa
jumlah penganggur
terbuka tersebut

30
20
6,98

9,2

10

SISTEM PERLINDUNGAN
SOSIAL
TERPADU
Pengangguran
Bekerja < 15
Bekerja < 36
Bekerja < 42
Terbuka

Jam

Jam

Jam

37

meningkat menjadi 9,13 juta jiwa atau sekitar 9,06 persen pada tahun
2002.
Angka pengangguran tersebut akan makin besar jika dilihat
dengan ukuran angka setengah pengangguran (under employment) baik
setengah pengangguran kentara (yang bekerja dibawah 36 jam per
minggu) maupun setengah pengangguran tidak kentara (yang
bekerjanya penuh waktu di atas 36 jam per minggu tetapi
penghasilannya tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidupnya).
Untuk melihat angka pengangguran di negara berkembang seperti
Indonesia tidak cukup dengan melihat angka pengangguran terbuka
tetapi perlu pula melihat angka setengah pengangguran karena
permasalahan.
Hasil Sensus Penduduk 2000 menunjukkan bahwa dari 89,8 juta
yang bekerja terdapat sekitar 9,2 persen pekerja yang bekerja hanya
kurang dari 15 jam per minggu, bahkan 39,83 persen di antaranya
bekerja dibawah 36 jam per minggu. Dengan demikian angka setengah
pengangguran kentara mencapai hampir 40 persen; sebuah angka yang
sangat tinggi.
Tingginya angka pengangguran tersebut terjadi karena besarnya
supply tenaga kerja (labor surplus) akibat tekanan demografis di satu
sisi, sementara di sisi lain kesempatan kerja (employment opportunities)
masih sangat terbatas akibat rendahnya investasi. Data yang ada
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1996 s.d 2000
angkatan kerja kita bertambah sekitar 1,5 juta per tahun dari sekitar
88,2 juta angkatan kerja pada tahun 1996 bertambah menjadi 95,7 juta
angkatan kerja pada tahun 2000. Dengan demikian setiap tahunnya ada
tambahan sekitar 1,5 juta orang yang masuk ke pasar kerja dan
karenanya memerlukan lapangan kerja baru. Padahal di sisi lain
perkembangan investasi yang ada (akan diuraikan kemudian) belum
mampu menciptakan lapangan kerja sebesar itu.

(b) Rendahnya Kualitas dan Upah Tenaga Kerja


Tekanan demografis yang diperlihatkan dari besarnya jumlah
(kuantitas) angkatan kerja tersebut tidak diimbangi dengan kualitas
yang memadai.
Data yang ada
menunjukkan bahwa
sekitar
60
persen
angkatan
kerja
Indonesia
berpendidikan SD ke
bawah.
Sementara
yang
berpendidikan
SLTP hanya sekitar 16

Proporsi Angkatan Kerja Indonesia Menurut


Pendidikan, 2000

4.6
19.4

59.9

16.1

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

38
SD Kebaw ah

SLTP

SLTA

PT

persen, SLTA (19,4 persen) dan hanya 4,6 persen angkatan kerja yang
tamat perguruan tinggi.
Dengan kualitas (dari segi pendidikan) yang masih rendah maka
bisa dimaklum jika proporsi tenaga kerja yang memiliki upah rendah
jauh lebih besar.
Struktur Upah
Rata-rata Upah
1.000.000 keatas
800.000
-999.999
600.000799.999
400.000
599.999
< 400.000
KHM

Persen
15.53
9.22
15.98
20.42
38.85
416,886

Data Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) 2002


menunjukkan bahwa sekitar 38,9 persen pekerja di Indonesia memiliki
upah dibawah Rp 400.000,- per bulan. Padahal kebutuhan hidup
minimum (KHM) mereka pada tahun yang sama sebesar Rp 416.886,-.
Dengan demikian ada sekitar 40 persen pekerja yang upahnya tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya.
(c) Banyak Pekerja di
Informal

Sektor
32.294.758

Rendahnya
investasi
yang berakibat pada
sangat
terbatasnya
lapangan
kerja
di
sektor formal ditambah
dengan
kualitas
(tingkat
pendidikan) yang rendah, berakibat pada banyaknya pekerja yang di
sektor formal. Data yang ada menunjukkan bahwa dari 90,8 juta pekerja
sekitar 64,4 persen bekerja di sektor informal. Sementara yang bekerja
di sektor formal hanya sekitar 35,6 persen.
58.512.659

Gambaran ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas secara


umum memang tampak belum menggembirakan. Kondisi ketenaga
kerjaan yang tidak menguntungkan tersebut tentu saja menjadi
tantangan besar dalam mengembangkan sistem perlindungan dan
jaminan sosial:
- Tingginya angka penganguran secara umum mengisyaratkan masih
banyaknya penduduk usia ekonomis (dan apalagi bukan usia
ekonomis) yang tidak memiliki penghasilan. Banyaknya penduduk
yang tidak berpenghasilan berimplikasi pada banyaknya penduduk

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

39

yang tidak bisa membayar premi/iuran yang berarti makin banyak


penduduk yang memiliki akses ke sistem jaminan (asuransi) sosial.
Rendahnya kualitas tenaga kerja juga bisa menjadi sebuah tantangan
besar kaitannya dalam memberikan pengertian tentang perlunya
jaminan sosial yang perlu mereka ikuti.
Sementara banyaknya pekerja yang memiliki upah rendah dibawah
KHM mengindikasikan banyaknya pekerja yang mengalami kesulitan
untuk membayar premi dalam kaitan dengan sistem jaminan
(asuransi) sosial yang akan dikembangkan.
Banyaknya pekerja yang bekerja di sektor informal memberikan
gambaran tentang makin sulitnya mengorganisir sesamanya untuk
ikut bergabung dalam suatu skema jaminan sosial.

(d) Cakupan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Masih Rendah


Potret buram kondisi ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas
bertambah lagi ketika dikaitkan dengan masih rendahnya pekerja yang
tercakup dalam jaminan sosial tenaga kerja.
Proporsi Pekerja yang Tercakup Jaminan Sosial
1997
89,602,8
35
Jumlah Pekerja
85,405,5
29
Jumlah Penganggur
4,197,30
6
Jumlah Pekerja di Sektor 31,744,2
Formal
58
Jumlah Pekerja di Sektor 53,661,2
Informal
71
Jumlah Peserta Jamsostek
13,388,0
56
Jumlah Pegawai Negeri Sipil
Jumlah Peserta Jamsostek &
PNS
Proporsi Peserta Jamsostek
14.9
terhadap Angkatan Kerja
Proporsi Peserta Jamsostek
15.7
terhadap Pekerja
Proporsi Peserta Jamsostek
42.2
terhadap Pekerja Sektor
Formal
Angkatan Kerja

1998
92,734,9
32
87,672,4
49
5,062,48
3
30,331,0
46
57,341,4
03
14,959,1
38

16.1
17.1
49.3

1999
94,847,1
78
88,816,8
59
6,030,31
9
31,936,2
51
56,880,6
08
16,424,1
28

2000
95,650,96
1
89,837,73
0
5,813,231

31,530,56
6
58,307,16
4
18,140,88
6
3,945,778
22,086,66
4
17.3
19,0
(23,1)*
18.5
20,2
(24,6)*
51.4
57,5
(70,0)*

Data yang ada memperlihatkan bahwa pada tahun 2000 baru


sekitar separuh (57,5 persen) pekerja di sektor formal (selain PNS) yang
sudah terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Jumlah tersebut makin kecil
jika dipertajam lagi kepada keaktifan mereka menjadi peserta. Jika
ditambah dengan PNS, ada sekitar sekitar 70 persen pekerja sektor
formal yang terdaftar dalam skema jaminan sosial.
Namun jika angka proporsi jaminan sosial diperluas ke pekerja
sektor informal maka terlihat bahwa cakupan jaminan sosial yang ada
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

40

masih sangat rendah. Tabel di atas memperlihatkan bahwa hanya


seperlima pekerja (formal dan informal) yang sudah tercakup oleh
jaminan sosial tenaga kerja. Selama 22 tahun sejak beroperasinya pada
tahun 1977, PT Jamsostek baru mampu mencakup sekitar 18,1 juta
pekerja atau 20 persen dari seluruh pekerja. Jumlah tersebut akan
berkurang lagi jika dipertajam terhadap mereka yang benar-benar aktif
memberikan premi.
Masih relatif sedikitnya pekerja yang mempunyai jaminan sosial
dalam kondisi ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas
menggambarkan situasi yang dilematik. Di satu sisi, rendahnya cakupan
tersebut mengharuskan perlunya memperluas cakupan kepesertaan ke
seluruh pekerja bahkan angkatan kerja. Namun di sisi lain, tingginya
pengangguran, rendahnya upah, banyaknya pekerja informal merupakan
kendala besar dalam mengembangkan sistem jaminan sosial yang ada.
Dan karena itu timbulnya pertanyaan klasik, dari mana kita mulai;
membenahi
kondisi
ketenagakerjaan
terlebih
dahulu
atau
mengembangkan sistem jaminan sosial tenaga kerja terlebih dahulu.
Secara pragmatis keduanya tentu perlu dikerjakan secara paralel.
C.3 KONDISI EKONOMI
Uraian di atas dapat disebut sebagai sebuah potret buram
terhadap kondisi yang perlu dicermati dalam mengembangkan SPS.
Potret buram tersebut masih bertambah jika dikaitkan dengan tingkat
kesejahteraan ekonomi penduduk, utamanya berkaitan dengan rata-rata
pendapatan, jumlah penduduk miskin dan jumlah mereka yang masuk
kategori PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).
Upaya pengembangan SPS tidak bisa dilepaskan dari kondisi
perekonomian baik kondisi ekonomi penduduk dalam arti pendapatan
mereka maupun kondisi makro ekonomi. Kondisi perekonomian itulah
yang amat menentukan berhasil tidaknya pengembangan SPS yang
berkelanjutan.
Data yang ada menunjukkan bahwa pendapatan per kapita (PDB
per kapita) Indonesia yang meskipun jika dilihat dari harga berlaku
mengalami kenaikan secara signifikan tetapi jika dilihat dari harga
konstan 1993 pendapatan perkapita penduduk Indonesia belum pulih
sebagaimana kondisi sebelum krisis, tahun 1997. Jika dilihat dari harga
berlaku, pendapatan per kapita Indonesia meningkat dari Rp 3,2 juta
pada tahun 1997 menjadi Rp 7,59 juta pada tahun 2002. Namun jika
dilihat dari harga konstan tahun 1993, pendapatan per kapita pada
tahun 2002 (Rp 2,01 juta) masih lebih rendah dibanding pendapatan per
kapita tahun 1997 (Rp 2,21 juta). Pendapatan per kapita sebesar itu
lebih rendah dibanding beberapa negara lain yang sudah memiliki
sistem jaminan sosial yang cukup baik.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

41

ribu rupiah

8.000,0
7.000,0
6.000,0
5.000,0
4.000,0
3.000,0
2.000,0
1.000,0
0,0

7.594,3
6.145,1 6.398,2
5.421,9
4.760,8
3.205,7
2.706,0
2.349,1 2.102,6 2.212,6
2.004,6
1.859,9 1.983,6
1.874,8 1.870,3 1.933,6 1.970,72.012,9

94

95

96

97
Hrg Berlaku

98

99

00

01

02

Hrg Konstan '93

Angka pendapatan per kapita yang meskipun rendah sebagaimana


disajikan di atas belumlah cukup untuk melihat kondisi penduduk secara
nyata mengingat distribusi pendapatan yang tidak merata, di mana
sebagian kecil penduduk menguasai sebagian besar pendapatan
sementara sebagian besar penduduk hanya menguasai sebagian kecil
pendapatan.
Tidak meratanya distribusi pendapatan tersebut antara lain dapat
dilihat dari banyaknya jumlah penduduk miskin ditengah-tengah
sebagaian kecil penduduk yang memiliki pendapatan sangat tinggi. Data
yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin
di Indonesia mencapai 38,4 juta jiwa atau sekitar 18,9 persen dari
seluruh penduduk Indonesia. Sebagian dari penduduk miskin tersebut
menyandang masalah kesejahteraan sosial.
Pendapatan per kapita yang rendah dan penduduk miskin yang
banyak tentu saja merupakan tantangan besar tersendiri dalam upaya
mengembangkan SPS. Tantangan tersebut akan dapat diatasi jika
kondisi perekonomian Indonesia mengalami kemajuan yang berarti.
Sayangnya, data yang ada menunjukkan bahwa kondisi perekonomian
Indonesia masih belum begitu menggembirakan baik dilihat dari angka
pertumbuhan ekonomi, angka investasi, perkembangan ekspor dan laju
inflasi.
Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif rendah
dibanding beberapa negara ASEAN lain yang pernah mengalami krisis
ekonomi. Pada tahun 2002 perekonomian Indonesia tumbuh 3,66 persen,
yang meskipun lebih tinggi dibanding tahun 2001, namun angka
pertumbuhan sebesar itu masih lebih rendah dari target yang ditetapkan
pemerintah sebesar 4 persen dalam asumsi APBN 2002. Angka
pertumbuhan tersebut lebih didorong oleh permintaan konsumsi rumah
tangga dan pemerintah yang tumbuh masing-masing 4,72 persen dan
12,79 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu sulit untuk
dapat menyerap angkatan kerja yang lebih banyak sebagaimana
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

42

diuraikan di atas. Apalagi jika dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang


ada lebih didorong oleh permintaan konsumsi.
Pertumbuhan ekonomi
yang
rendah
akan
80.000
tumbuh lebih tinggi
58.816
57.938
jika
antara
lain
60.000
53.120
didorong oleh nilai
40.000
25.262
investasi yang besar.
15.426
15.056
20.000
13.586
10.892
9.744
Sayangnya
data
0
tentang nilai investasi
1998
1999
2000
2001
2002
di
Indonesia
juga
PMDN (Miliar Rp)
PMA (Juta USD)
belum
memperlihatkan
angka yang menggembirakan, bahkan ada kecenderungan terjadi
penurunan. Nilai investasi PMDN yang disetujui pada tahun 2002 hanya
sebesar Rp 25,26 trilyun atau hanya separuh dari nilai yang sama pada
tahun 2001. Demikian pula nilai investasi PMA yang disetujui pada tahun
2002 yang hanya sebesar USD 9,74 trilyun merupakan nilai investasi
yang paling rendah sepanjang lima tahun terakhir sejak tahun 1998.
Dengan investasi yang rendah seperti itu sulit untuk mengharapkan
terjadi percepatan dalam pemulihan ekonomi Indonesia.
100.000

92.410

Sementara data tentang nilai ekspor Indonesia juga relative


mengalami stagnasi dalam tiga tahun terakhir. Nilai ekspor Indonesia
yang pada tahun 2000 mencapai USD 62,12 milyar mengalami
penurunan pada dua tahun berikutnya.Pada tahun 2001 nilai ekspor
Indonesia hanya sebesar USD 56,3 milyar dan naik sedikit menjadi USD
57 milyar pada tahun 2002.
Dengan
kondisi
perekonomian
yang
belum
begitu
menggembirakan sebagaimana diuraikan di atas maka masih agak sulit
untuk mengembangkan SPS dalam skema asuransi sosial yang
mengharuskan penduduk untuk membayar premi. Dengan kondisi
seperti itu maka pengembangan SPS akan lebih menekankan pada
bantuan sosial yang dananya berasal dari pemerintah baik APBN
maupun APBD.
Sayangnya, APBN Indonesia juga masih defisit. Proyeksi yang
dilakukan BAPPENAS memperkirakan bahwa APBN 2004 diperkirakan
masih mengalami defisit sebesar Rp 24,4 trilyun. Defisit anggaran
diperkirakan akan terus berlanjut dan mengalami masa sulit terutama
pada tahun 2004-20068.

Suharmen, Gambaran APBN dalam Jangka Menangah, paper disampaikan dalam


FGD 30 Desember 2003
8

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

43

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

44

BAB IV
PERLINDUNGAN SOSIAL
DI BERBAGAI NEGARA

Penyelenggaraan
Perlindungan
Sosial
merupakan
suatu
mekanisme universal di dalam memelihara dan meningkatkan
kesejahteraan
rakyat
suatu
negara.
Meskipun
prinsip-prinsip
universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis pada mekanisme
bantuan dan asuransi sosial, namun dalam penyelenggaraanya terdapat
variasi yang luas. Variasi program, tingkat manfaat, dan tingkat iuran di
berbagai negara tidak dapat dihindari karena beragamnya tingkat sosial
ekonomi dan budaya penduduk di negara tersebut. Badan penyelenggara
juga bervariasi dari yang langsung dikelola oleh pemerintah sampai yang
diserahkan kepada swasta. Variasi tersebut tidak lepas dari sejarah
berkembangnya sebuah sistem perlindungan sosial di negara tersebut.
Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya dan
karenanya berbagai contoh tersebut perlu disajikan disini sebagai
rujukan bagi pengembangan Sistem Perlindungan Sosial. Dalam bab ini
akan disajikan secara garis besar sistem perlindungan sosial di beberapa
negara tetangga dan negara maju agar dapat diambil pelajaran
bagaimana suatu sistem perlindungan sosial dimulai dan bagaimana
kondisi yang dapat harapkan kelak di kemudian hari.
(1) Malaysia
Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia
berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan
perkembangan sistem jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara.
Pada tahun 1951 Malaysia sudah memulai program tabungan wajib
pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF)
melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri
yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi
EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai
pemerintah mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan
pemerintah. Selain itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan
kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security
Organization (SOCSO). Oleh karena pemerintah federal Malaysia
bertanggung jawab atas pembiayaan dan penyediaan langsung
pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk, maka pelayanan kesehatan
tidak masuk dalam program yang dicakup sistem jaminan sosial di
Malaysia.
Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi.
Namun demikian, dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor
informal dapat menjadi peserta EPF atau SOCSO secara sukarela.
Termasuk sektor informal adalah mereka yang bekerja secara mandiri
dan pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan pegawai pemerintah
yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut program EPF secara
sukarela.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

45

Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan


kelompok
penduduk
yang
dilayani
mempunyai
satu
badan
penyelenggara. Program EPF dikelola oleh Central Provident Fund
(CPF), sebuah badan hukum di bwah naungan Kementrian Keuangan.
Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang terdiri atas wakil
pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-tugas
khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi.
Penyelenggaraan pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung
oleh kementerian keuangan karena program tersebut merupakan
program tunjangan pegawai (employment benefit) dimana pegawai tidak
berkontribusi. Program jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat
dikelola oleh SOCSO yang dalam bahasa Malaysia disebut Pertubuhan
Keselamatan Sosial (PERKESO).
Manfaat (benefits) yang menjadi hak peserta terdiri atas: (1)
Peserta dapat menarik jaminan hari tua berupa dana yang dapat diambil
seluruhnya (lump sum) untuk modal usaha, menarik sebagian lump sum
dan sebagian dalam bentuk anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan
menarik hasil pengembangannya saja tiap tahun sementara pokok
tabungan tetap dikelola CPF. (2) Peserta dapat menarik tabungannya
ketika mengalami cacat tetap, meninggal dunia (oleh ahli warisnya), atau
meninggalkan Malaysia untuk selamanya. (3) Peserta juga dapat menarik
dananya untuk membeli rumah, ketika mencapai usia 50 tahun, atau
memerlukan biaya perawatan di luar fasilitas publik yang ditanggung
pemerintah. (4) Ahli waris peserta berhak mendapatkan uang duka
sebesar RM 1.000-30.000, tergantung tingkat penghasilan, apabila
seorang peserta meninggal dunia.
Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah,
bertambah dari tahun ke tahun seperti disajikan dalam Tabel berikut.
Jumlah iuran tersebut ditingkatkan secara bertahap untuk menyesuaikan
dengan tingkat upah dan tingkat kemampuan penduduk menabung.
Dalam program EPF di Malaysia, sekali seorang mengikuti program
tersebut, maka ia harus terus menjadi peserta sampai ia memasuki usia
pensiun yang kini masih 55 tahun (Kertonegoro, 1998)9.
Tabel 4.1. Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident Fund di
Malaysia.
Tahun

Iuran

Tenaga Iuran

Kerja
1952

Pemberi Total

Kerja

Juni

5%

5%

10%

1975
Juli 75 Nop

6%

7%

13%

80
Des 80 Des

9%

11%

20%

92
9

Kertonegoro, S. Sistem dan Program Jaminan Sosial di Negara-negara ASEAN. Yayasan Tenaga Kerja
Indonesia, Jakarta, 1998.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

46

Jan 93 Des 95
Jan 96 -

10%
11%

12%
12%

22%
23%

(2) Filipina
Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosialnya sejak
tahun 1948, akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru
disahkan pada tahun 1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal
pengembangan jaminan sosial dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas
di tahun 1948. Namun demikian, UU tersebut ditolak oleh kalangan
bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen UU tersebut dan
diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tersebut mulai
diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok
pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti
program JS. Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang
menerima penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut.
Selanjutnya di tahun 1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah
lebih dari P1.000 sebulan kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti
program JS. Program Jaminan Sosial tersebut dikenal dengan Social
Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak
23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50 persen dari anggkatan kerja,
termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto
dan Wibisana, 2002).i Untuk pegawai negeri, pemerintah Filipina
menyelenggarakan
program
tersendiri
yang
disebut
sebagai
Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal
yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai
negeri. Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem jaminan sosial
tersendiri yang dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program
jaminan sosial pegawai pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat
dikatakan sebagai program tunjangan pegawai (employment benefit)
dibandingkan sebagai program jaminan sosial menurut defisini
universal.
Pada
awalnya
program
jaminan
sosial
tersebut
menyelenggarakan program jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat,
maternitas, kecelakaan kerja dan kesehatan. GSIS memberikan berbagai
pelayanan ekstra, selain pelayanan tersebut, seperti program
pemberdayaan ekonomi dan asuransi umum (Purwanto & Wibisana,
2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah Filipina
mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875)
yang memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS
dan GSIS) menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health
Insurance Corporation (PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat
nirlaba (SSS, 2001).10
Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1)
uang tunai selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling
sedikit 4 (empat) hari, baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri.
(2) Untuk peserta wanita yang hamil, keguguran, atau melahirkan
diberikan uang tunai sebesar antara P24.000-P31.200 (antara Rp 4,4
juta- Rp 6,2 juta). Manfaat lain (3) yang menjadi hak peserta adalah uang
tunai yang dibayarkan secara lump sum atau bulanan bagi peserta yang
10

Purwanto, E dan Wibisana, W. Laporan Studi Banding Jaminan Sosial di Filipina. 18 Juni 2002.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

47

menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan disebabkan
oleh kecelakaan kerja. Manfaat selanjutnya (4) adalah jaminan hari tua
(baik lump sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki masa
pensiun (60 tahun). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan kematian
(5) berupa uang tunai atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris
peserta yang meninggal dunia. Dan yang terakhir (6) adalah jaminan
kecelakaan kerja yang dibayarkan apabila terjadi kecelakaan kerja.
Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat diterima bersamaan dengan
manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat yang berhak diterima,
peserta harus memenuhi persyaratan kepesertaan tertentu (qualifying
conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat diberikan
fasilitas kredit (loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang
mendesak dengan bunga 6 persen setahun untuk pinjaman di bawah
P15.000 dan 8 persen setahun untuk pinjaman lebih dari P15.000.
Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4 persen
sebulan (tidak termasuk iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan
kerja) yang dibayar bersama antara majikan (5,04 persen) dan pegawai
(3,36 persen). Batas maksimum upah untuk perhitungan iuran adalah
P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk jaminan kecelakaan kerja
adalah 1 persen dengan maksium iuran sebesar P1.000 per karyawan
yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran untuk
tenaga kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan
yang dinyatakan oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan
batas minimum sebesar P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri,
yang dikelompokan sebagai pekerja membayar sendiritidak melalui
pemberi kerja, batas minimum penghasilan adalah P3.000 sebulan.
Untuk memudahkan perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24
kelompok upah dan besarnya iuran untuk masing-masing kelompok
upah. Iuran untuk asuransi kesehatan adalah 2,5 persen upah sebulan
untuk menjamin biaya rawat inap saja (rawat jalan tidak dijamin).
Dengan demikian total iuran menjadi 10,9 persen (tanpa kecelakaan
kerja) dan 11,9 persen (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada
GSIS, tingkat iuran lebih tinggi yaitu 12 persen dari pemberi kerja
(pemerintah) dan 9 persen dari pekerja (Purwanto & Wibisana, 2002).
PhilHealth merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang
kini memiliki keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50 persen
penduduk Filipina). Anggota Philhealth terdiri atas 55 persen pegawai
swasta, 24 persen pegawai pemerintah, 9 persen penduduk tidak
mampu, 11 persen peserta sukrela (informal), dan 2 persen adalah
peserta khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak
peserta adalah jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun
swasta dengan standar pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah
sakit didasarkan pada sistem biaya jasa per pelayanan (fee for service)
mengingat cara inilah yang kini diterima oleh rumah sakit. Pelayanan
rawat jalan sementara ini belum dijamin, karena diasumsikan penduduk
mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang tidak menjadi beban
berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3% dari gaji yang
diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun demikian,
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

48

iuran yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5 persen yang ditanggung
bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal.
Sedangkan bagi sektor informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh
peserta dan bagi penduduk miskin, iuran ditanggung pemerintah pusat
dan daerah (Purwanto & Wibisana, 2002). Pada tahun 2003 ini,
PhilHealth menerima banyak sekali permintaan dari pemberi kerja untuk
memperluas jaminan dengan mencakup jaminan rawat jalan. Para
pemberi kerja akan menambahkan iuran guna memperluas jaminan
tersebut (Dueckue, 2003).11
Tabel 4.2. Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina
Program
Iuran
Iuran
Total
Tenaga
Pemberi
Kerja
kerja
Jaminan
sosial,
5,04%
3,36%
8,4%
SSS
Kecelakaan kerja
1%
1,0%
Jaminan
sosial,
9%
12%
21,0%
GSIS
Kesehatan,
1,25%
1,25%
2,5%
PhilHealth
Total:
Swasta
6,29%
5,61%
11,9%
Pemerintah
10,25%
12%
22,25%
(3) Thailand
Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan
bagi pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan.
Program yang diatur oleh UU Jaminan Sosial di Thailand dimulai pada
tahun 1990 Pemerintah Thailand mengeluarkan UU Jaminan Sosial,
namun demikian implementasinya baru dimulai enam bulan kemudian,
yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola oleh suatu
badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri dari 15 orang yang
mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing 5 (lima)
orang. Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di
bawah Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula
program tersebut wajib bagi pemberi kerja dengan 20 karyawan atau
lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja
yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja dengan satu
atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO
adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh tenaga kerja formal
telah menjadi peserta
(4) Amerika Serikat
Jaminan sosial di Amerika pertama kali diundangkan pada tanggal
14 Agustus 1935 yang pada awalnya dikenal dengan naman OASDI
program (Old-Age, Survivors, and Disability Insurance). Undang-undang
jaminan sosial tersebut disetujui setelah terjadinya depresi ekonomi di
11

Dueckue, P. PhilHealth today. Presentation on the Social Health Insurance Meeting, Bangkok, July 3-6, 2003

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

49

Amerika di awal tahun 1930an. Awalnya, UU jaminan sosial Amerika


tidak mencakup asuransi sosial kesehatan (Medicare). Program
Medicare dalam sistem jaminan sosial di Amerika baru masuk 30 tahun
kemudian, yaitu di tahun 1965 sehingga nama lain kini dikenal dengan
OASDHI (H di antara D dan I sebagai singkatan dari Health). Program
OASDI, tanpa kesehatan, pada hakikatnya mirip dengan program
pensiun kita dimana peserta memperoleh manfaat uang tunai ketika
mencapai usia pensiun, ahli waris peserta yang memenuhi syarat
menerima manfaat jika peserta meninggal, dan
apabila peserta
menderita cacat. Menjelang UU Jaminan Sosial di Amerika diberlakukan,
usulan untuk membuat program ini sukarela juga sudah diajukan dengan
alasan pelanggaran atas hak kebebasan. Namun demikian, pilihan
tersebut tidak diadopsi dalam UU karena bukti-bukti menunjukkan
bahwa program sukarela tidak efektif. Sebenarnya Amerika termasuk
terbelakang dalam mengembangkan jaminan sosialnya dibandingkan
dengan Jerman dan Inggris (Rejda, 1988). 12 Pada prinsipnya, sistem
Jaminan Sosial di Amerika diselenggarakan dengan satu undang-undang
dan diselenggarakan olah satu badan pemerintah (Social Security
Administration). Dengan demikian, program Jaminan Sosial Amerika
bersifat monopolistik dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan
kesehatan. Hanya saja, jaminan kesehatannya (Medicare) terbatas untuk
penduduk berusia 65 tahun keatas atau yang menderita cacat tetap atau
penderita sakit ginjal yang mematikan.

12

Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. Prentice Hall, New Jersey, 1988 p25.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

50

BAB V
REKOMENDASI:
DESAIN SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
A. PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR
Sistem perlindungan sosial di sini diartikan sebagai sebuah
sistem yang berkelanjutan yang memberikan perlindungan kepada
seluruh warga negara melalui seperangkat instrumen publik, terhadap
kesulitan ekonomi dan sosial yang berakibat pada tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar warga negara baik disebabkan karena terhentinya,
turunnya, atau tidak mencukupinya penghasilan, sakit, hamil,
kecelakaan, cacat, hari tua, kematian, bencana alam maupun
kerusuhan sosial.
Dengan pengertian seperti itu maka perlindungan sosial di sini
memiliki beberapa prinsip dasar sebagai berikut:
1. Merupakan Program Publik, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini
ditujukan kepada dan bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang
pengelolaanya dilakukan di bawah pengawasan negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
2. Perlindungan dasar, yang berarti bahwa memberikan perlindungan
yang bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat manusia
3. Resiko Sosial-Ekonomis, perlindungan dalam menghadapi resiko
berbagai peristiwa sosial-ekonomis yang mengakibatkan tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara.
4. Berkelanjutan, dalam arti berkesinambungan baik dalam jangkapanjang maupun jangka pendek
5. Lintas Sektor, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini perlu
dilakukan melalui kerjasama dan koordinasi yang baik antar sektor
baik sektor ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, sosial, keuangan,
kependudukan, perindustrian, perdagangan, dan sektor terkait
lainnya.
Dari sisi jenis dan cara pembiayaan, perlindungan sosial ini mencakup
beberapa aspek sebagai berikut:
1. Jaminan sosial yang terdiri dari:
a. Asuransi Sosial, dimana seluruh warga negara membayar
iuran/premi guna membiayai kemungkinan terjadinya resiko
sosial-ekonomi yang dialami dengan ciri-ciri antara lain
kepesertaan bersifat wajib bagi setiap warga negara dan
dikelola dengan motif not for profit (keuntungan dikembalikan
kepada peserta).
b. Tabungan Hari Tua, dimana seluruh warga negara yang berusia
ekonomis (15-60 tahun) dan memiliki penghasilan diwajibkan
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

51

untuk menabung sejumlah tertentu untuk memupuk dana yang


akan digunakan sebagai tunjangan hari tua baik berupa
tunjangan paska karya maupun uang pensiun
2. Bantuan sosial, dimana negara memberikan bantuan sosial
(subsidi) kepada setiap warga negara yang mengalami resiko
sosial ekonomi sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
minimumnya baik berupa pangan, sandang, papan, kesehatan
maupun pendidikan.
Di samping kedua kelompok di atas (jaminan sosial dan bantuan
sosial) ada lagi kategori Asuransi Komersial yang kepesertaannya
bersifat sukarela dan pengelolaannya bersifat komersial (profit motif).
Kategori ini tidak dimasukkan dalam kerangka SPS mengingat
sasaran dari asuransi komersial pada umumnya adalah penduduk
berpenghasilan tinggi. Dan karena motif pengelolaannya adalah for
profit (mengambil keuntungan) maka perkembangannya diserahkan
kepada mekanisme pasar dimana pemerintah hanya mengeluarkan
regulasi-regulasi guna menjaga kepentingan publik.
Dalam hal jaminan sosial (asuransi sosial dan tabungan hari tua)
peran pemerintah berada dalam dua domain yaitu disamping sebagai
pembuat undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan
jaminan sosial (regulatory body) juga sebagai pengawas dan pemberi
mandat kepada para pengelola (operator) jaminan sosial. Dengan
demikian peran pemerintah di sini bersifat quasi publik.
Dalam hal bantuan sosial pemerintah berikut segenap
perangkatnya berperan sebagai operator (pelaksana) undang-undang.
Seluruh mekanisme pelaksanaan bantuan sosial diselenggarakan oleh
perangkat-perangkat pemerintah yang ada.
Sedang dalam hal asuransi komersial pemerintah semata-mata
berperan sebagai pembuat undang-undang (regulatory body),
sementara pengelolaan operasional asuransi komersial sepenuhnya
diserahkan kepada mekanisme pasar.
B. TUJUAN DAN SASARAN
Fokus dalam pengembangan sistem perlindungan sosial di sini
diarahkan pada jaminan sosial (asuransi sosial dan tabungan hari tua)
dan bantuan sosial. Yaitu bagaimana mengembangkan sistem jaminan
sosial yang mencakup sebanyak-banyak warga negara dan
mengefektifkan bantuan sosial agar benar-benar dapat diterima oleh
warga negara yang benar-benar membutuhkannya.
Tujuan sistem ini pada akhirnya adalah:
a. Untuk mendorong sebanyak mungkin warga negara agar mau dan
mampu menjadi peserta jaminan sosial sehingga warga negara yang
memperoleh bantuan sosial menjadi semakin kecil. Semakin banyak
warga negara yang tercakup dalam skema jaminan sosial akan
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

52

memperkecil kemungkinan warga negara tersebut dalam kategori


yang memperoleh bantuan sosial.
b. Mempertajam berbagai bantuan sosial yang dilakukan oleh berbagai
sektor agar bantuan sosial yang diberikan dapat lebih tepat sasaran,
terkoordinasi, efisien dan efektif.
Sasaran jaminan sosial adalah setiap warga negara yang
memiliki penghasilan. Sedang sasaran bantuan sosial adalah
penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
minimumnya (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan)
baik yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat permanen maupun
yang bersifat temporer.
Idealnya setiap warga negara terlindungi oleh salah satu dari
tiga (utamanya dua) kategori skema perlindungan sosial sebagaimana
disebutkan di atas. Setiap warga negara yang berpenghasilan
diharapkan menjadi peserta jaminan sosial (apakah dalam bentuk
asuransi sosial ataupun tabungan hari tua atau kedua-duanya).
Penduduk yang memiliki berpenghasilan tinggi di samping menjadi
peserta jaminan sosial sebagian mungkin menjadi peserta dalam
asuransi komersial yang memberikan
benefit sesuai yang
diinginkannya. Sementara penduduk yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup minimumnya setelah memenuhi persyaratan tertentu
(antara lain melalui test kebutuhan mean test) dapat memperoleh
bantuan sosial yang bersifat subsidi dari pemerintah. Dengan
kerangka seperti itu diharapkan setiap warga negara dapat
memperoleh kehidupan yang layak sesuai harkat dan martabatnya
sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi negara.
C. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
Kebijakan dan strategi pengembangan sistem perlindungan
sosial ini pertama-tama dirumuskan dengan melihat kondisi dan
permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pelaksanaan
perlindungan sosial selama ini. Hal-hal yang sudah dilaksanakan
dengan baik terus dikembangkan, dan yang kurang perlu diperbaiki di
masa mendatang. Perumusan strategi dan kebijakan yang didasarkan
pada kondisi dan permasalahan sebagaimana diuraikan pada bab-bab
sebelumnya ini penting dilakukan agar kebijakan dan strategi yang
akan dikembangkan kedepan sama sekali tidak terputus dari apa yang
telah dilakukan dan karenanya merupakan upaya perbaikan yang
berkesinambungan dan terus menerus (continues improvement). Hal
itu dilakukan karena pada dasarnya selama ini pemerintah telah
melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan perlindungan sosial
hanya saja berbagai kegiatan tersebut dilakukan secara terpisah
untuk masing-masing sektor, sehingga yang perlu dilakukan adalah
memetakan seluruh kegiatan yang selama ini telah dilakukan dan
mengembangkannya secara lebih baik, efektif dan terkoordinasi di
masa depan.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

53

Dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan yang


dihadapi maka ke depan dirumuskan kebijakan dan strategi
pengembangan sistem perlindungan sosial sebagai berikut:
C.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Jaminan Sosial
Pengembangan sistem jaminan sosial ke depan antara lain
mencakup beberapa kebijakan dan strategi pokok sebagai berikut:
1. Memperluas kepesertaan
Salah satu masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan jaminan
sosial selama ini adalah masih relatif rendahnya cakupan
kepesertaan, baik kepesertaan di sektor formal terlebih lagi di
sektor informal.
a. Memperluas kepesertaan di Sektor Formal
Selama ini pelaksanaan jaminan sosial bagi penduduk usia
produktif (tenaga kerja) lebih fokus pada tenaga kerja di sektor
formal baik pekerja pemerintah (PNS) maupun pekerja swasta.
Dilihat dari cakupan kepesertaan, jaminan sosial di sektor
pemerintah (PNS) tidak ada masalah baik yang dilakukan oleh
PT Askes, PT Taspen maupun PT ASABRI. Semua pegawai
negeri (baik sipil maupun militer) tercakup dalam skema
tersebut; PT Askes dan PT Taspen untuk PNS dan PT ASABRI
untuk anggota militer. Dengan demikian di sektor pemerintah,
tidak ada masalah berkaitan dengan perluasan kepesertaan.
Masalah yang timbul adalah berkaitan dengan cakupan
kepesertaan jaminan sosial di sektor swasta. Sebagaimana
diuaraikan di atas bahwa data yang ada memperlihatkan pada
tahun 2000 baru sekitar separuh (57,5 persen) pekerja di sektor
formal (di luar PNS) yang sudah terdaftar sebagai peserta
Jamsostek. Selama 22 tahun sejak beroperasinya pada tahun
1977, PT Jamsostek baru mampu mencakup sekitar 18,1 juta
pekerja. Jumlah tersebut adalah jumlah yang terdaftar. Jika
dipertajam
terhadap
mereka
yang
benar-benar
aktif
memberikan premi maka jumlah kepesertaan tersebut akan
makin kecil.
Jika melihat data tahun 2000, masih ada sekitar 13,39 juta
pekerja di sektor formal yang belum tercakup dalam jaminan
sosial. Masih banyaknya pekerja (baik secara absolut maupun
relatif) yang belum menjadi peserta jaminan sosial mendorong
perlunya strategi dalam memperluas kepesertaan jaminan sosial
di sektor formal.
b. Mengembangkan kepesertaan di Sektor Informal

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

54

Masalah cakupan kepesertaan jaminan sosial makin berat


dihadapi di tenaga kerja sektor informal. Selama ini belum ada
lembaga yang menangani secara sistematis tentang bagaimana
mendorong kepesertaan jaminan sosial di tenaga kerja sektor
informal. PT Jamsostek sebagai pelaksana jaminan sosial masih
berkonsentrasi untuk mengembangkan kepesertaan di tenaga
kerja sektor formal. Itupun cakupannya masih terbatas. Padahal
proporsi pekerja di sektor informal justru lebih besar dibanding
pekerja di sektor formal.
Data yang ada menunjukkan bahwa dari 90,8 juta pekerja
sekitar 64,4 persen bekerja di sektor informal. Sementara yang
bekerja di sektor formal hanya sekitar 35,6 persen. Jika
dibanding dengan jumlah seluruh pekerja (formal dan informal)
yang berjumlah 89,8 juta (tahun 2000) maka cakupan peserta
jaminan sosial 20,2 persen. Proporsi tersebut bertambah kecil
lagi jika dibanding dengan angkatan kerja (tahun 2002) yang
berjumlah 95,65 juta dan jumlah peserta yang terdaftar pada
Jamsostek sebanyak 18,14 juta (tahun 2000) maka proporsi
angkatan kerja yang tercakup oleh Jamsostek baru 18,97
persen. Padahal idealnya seluruh angkatan kerja dapat dicakup
dalam Jamsostek.
Dengan cakupan kepesertaan yang rendah seperti itu maka
perlu ada kebijakan dan program yang dapat meningkatkan
cakupan kepesertaan jamsostek.
2. Memperkuat kelembagaan
a.
Kelembagaan Pelaksana
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa selama ini sudah
ada beberapa lembaga yang menjadi pelaksana jaminan sosial di
Indonesia. Beberapa lembaga tersebut adalah PT Askes, PT
Taspen, PT ASABRI, PT Jamsostek, PT Jasa Raharja dan lain-lain.
Dengan berbagai dinamika kelebihan dan kelemahannya para
pelaku jaminan sosial tersebut telah menjalankan fungsinya
masing-masing. Oleh karena para pelaku/ pelaksana jaminan
sosial sudah ada maka strategi yang perlu dikembangkan
pertama-tama adalah memperkuat kelembagaan yang sudah ada
(agar masing-masing mampu memperluas cakupan peserta dan
meningkatkan
kinerjanya)
dibanding
harus
membuat
kelembagaan baru yang dapat berbenturan dengan lembagalembaga pelaksana yang sudah ada.
Strategi memperkuat (empowering) kelembagaan yang sudah
ada ini dilakukan dengan mengeluarkan seperangkat kebijakan
yang memungkinkan masing-masing lembaga pelaksana dapat
lebih memperluas cakupan kepesertaan dan meningkatkan
kinerjanya.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

55

b.

Kelembagaan Pengawas
Selama ini pengawasan terhadap lembaga pengelola jaminan
sosial
dilakukan
secara
terpisah
oleh
masing-masing
departemen teknis yang terkait. PT Askes pengawasan teknisnya
dilakukan
oleh
Departemen
Kesehatan,
PT
Jamsostek
pengawasannya teksnisnya dilakukan oleh Departemen Tenaga
Kerja, PT Taspen pengawasannya dilakukan oleh Departemen
Keuangan, PT ASABRI pengawasannya dilakukan oleh Mabes
ABRI dan seterusnya. Dengan pengawasan yang terpisah seperti
itu maka kesan yang muncul adalah bahwa jaminan sosial
dilakukan secara sektoral tanpa ada keterpaduan satu sama lain.
Dengan melihat kenyataan seperti itu maka perlu dibentuk
suatu lembaga pengawas yang baru yang dapat memantau dan
mendorong
masing-masing
lembaga
pelaksana
dalam
meningkatkan kinerjanya.

c.

Koordinasi antar Lembaga


Salah satu masalah krusial yang dihadapi dalam pelaksanaan
dan pengawasan jaminan sosial di Indonesia adalah koordinasi,
baik koordinasi antar lembaga pengelola maupun koordinasi
antar instansi pengawas. Lemahnya koordinasi tersebut
berakibat pada tidak adanya keterpaduan yang saling mengisi
antara program yang dikembangkan oleh lembaga yang satu
dengan lembaga yang lain. Oleh karena itu koordinasi antar
lembaga menjadi bagian penting yang perlu dikembangkan
dalam memperkuat kelembagaan yang ada.

3. Meningkatkan kualitas pelayanan


Masalah lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
jaminan sosial yang selama ini ada adalah berkaitan dengan
kualitas pelayanan. Ada kesan bahwa pelayanan yang diberikan
oleh pengelola jaminan sosial baik itu oleh PT Jamsostek
maupun PT Askes misalnya, kurang sesuai dengan harapan
masyarakat sehingga banyak keluhan yang muncul berkaitan
dengan kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor; ada yang terkait dengan
manajemen internal badan pengelola (seperti kualitas SDM,
sistem kompensasi dsb.) tetapi ada yang terkait dengan
kebijakan makro seperti besarnya iuran yang ditetapkan, sistem
pembiayaan/pendanaan, sistem pengawasan dan sebagainya.
Masalah-masalah yang terkait dengan manajemen internal
badan pengelola biar diselesaikan oleh pihak manajemen
pengelola sendiri. Sedang masalah yang perlu diperhatikan
dalam kaitan pada kerangka dasar ini adalah masalah-masalah
yang terkait dengan kebijakan makro. Oleh karena itu salah satu
rumusan strategi dalam pengembangan sistem jaminan sosial
adalah bagaimana menyusun kebijakan makro yang mendorong
terjadinya peningkatan kualitas pelayanan badan pengelola.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

56

4. Memperluas jenis manfaat (benefit) yang diberikan


kepada peserta
Sebagaimana diuraikan di atas, jenis manfaat yang selama ini
diberikan oleh badan pengelola adalah sebagai berikut:
a. PT Jamsostek, manfaat yang diberikan antara lain Jaminan
Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan, dan Jaminan Hari Tua
b. PT Askes, manfaat yang diberikan berupa asuransi kesehatan
dengan cakupan pelayanan antara lain meliputi Rawat Jalan,
Rawat Inap, Persalinan dan sebagainya.
c. PT Taspen, manfaat yang diberikan berupa Dana Pensiun dan
Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT.
TASPEN juga membayarkan beberapa skema lainnya seperti
Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan untuk
Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM.
d. PT ASABRI
e. PT Jasa Raharja, memberikan santunan kepada masyarakat
dari kerugian akibat kecelakaan atau musibah saat
menggunakan transportasi umum.
Jenis
manfaat
tersebut
belum
mencakup
seluruh
kemungkinan resiko sosial ekonomi yang dihadapi oleh
seseorang. Oleh karena itu kedepan perlu dirumuskan berbagai
jenis manfaat baru yang secara esensial dibutuhkan oleh setiap
penduduk. Rumusan tentang berbagai jenis manfaat tersebut
merupakan salah satu strategi kebijakan pengembangan sistem
jaminan sosial.
5. Menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai
basis data kepesertaan Jaminan Sosial
Data kepesertaan merupakan salah satu hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan jaminan sosial, apalagi jika
dikaitkan dengan upaya untuk memperluas cakupan kepesertaan
secara menyeluruh (universal coverage). Pengelolaan cakupan
jaminan sosial secara menyeluruh bagi seluruh penduduk dapat
dimungkinkan jika didukung oleh data kepesertaan yang baik,
terintegrasi, sehingga terhindar dari adanya duplikasi.
Selama ini pemerintah sedang mengembangkan Nomor Induk
Kependudukan yang bersifat unik bagi masing-masing warga
negara. NIK yang sedang dikembangkan tersebut diharapkan dapat
pula digunakan bagi keperluan pengelolaan jaminan sosial,
sehingga masing-masing lembaga pengelola dapat menggunakan
NIK tersebut sebagai basis data kepesertaannya. Itulah sebabnya
maka salah satu strategi yang perlu dikembangkan adalah
bagaimana menggunakan NIK sebagai basis data kepesertaan
jaminan sosial, yang dengan demikian nomor kepesertaan jaminan
sosial dapat paralel dengan data kependudukan secara keseluruhan

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

57

sebagaimana telah dilakukan oleh berbagai negara maju yang telah


menerapkan sistem serupa.
Kelima hal itulah yang menjadi strategi
mengembangkan sistem jaminan sosial kedepan.

dasar

dalam

C.2 Kebijakan dan Strategi Penajaman Bantuan Sosial


1. Lebih Mengefektifkan berbagai program bantuan sosial
yang dilakukan oleh pemerintah:
a.

Meningkatkan koordinasi antar sektor


Selama ini bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah
sudah dilakukan secara per sektor, diantaranya sektor sosial,
kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, kependudukan, dan
agama.
Ke depan upaya pemberian bantuan sosial yang dilakukan
secara per sektor tetap dilanjutkan karena hal itu terkait
dengan administrasi kebijakan publik yang ada. Hanya yang
perlu ditingkatkan adalah koordinasi antar sektor agar
berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh masingmasing sektor tidak terjadi tumpang tindih dan dapat lebih
tepat sasaran.

b.

Mempertajam sasaran program bantuan sosial


Salah satu masalah penting yang perlu diperhatikan dalam
pemberian bantuan sosial adalah bagaimana agar bantuan
sosial tersebut dapat lebih tepat sasaran, diterima oleh yang
benar-benar membutuhkannya. Harus ada upaya yang
sungguh-sungguh dan sistematis dalam mengenali sasaran
dari berbagai program bantuan sosial, sehingga dana
bantuan sosial yang terbatas benar-benar dapat sampai pada
penduduk yang benar-benar membutuhkannya. Banyak
program yang perlu dilakukan berkaitan dengan penajaman
dan pengenalan sasaran. Salah satu di antaranya adalah
dengan mengembangkan test kebutuhan (mean test) sebagai
salah satu instrumen untuk meyakinkan bahwa dana bantuan
sosial yang akan diberikan benar-benar sesuai dan tepat
sasaran.

c.

Mempercepat upaya pengentasan kemiskinan


Berbagai program bantuan sosial yang diberikan
pemerintah pada akhirnya bermuara pada upaya untuk
mendorong penduduk agar terlepas dari kemiskinan
sehingga dengan demikian mereka dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara mandiri. Makin banyak
penduduk yang miskin akan makin banyak pula dana yang
diperlukan untuk program bantuan sosial. Oleh karena itu

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

58

salah satu strategi dalam pemberian bantuan sosial adalah


bagaimana mempercepat upaya pengentasan kemiskinan.
2. Mempertahankan dan Mengembangkan Kearifan Lokal
Salah satu hal positif yang perlu dicermati dalam
pengembangan sistem perlindungan sosial adalah adanya
kearifan-kearifan sosial yang berkembang di masyarakat lokal.
Ada mekanisme sosial yang berkembang di beberapa kelompok
masyarakat
yang
sebenarnya
terkait
erat
dengan
pengembangan sistem perlindungan sosial. Beberapa di
antaranya adalah yang berkembang di Bali, Jawa Tengah,
Sumatera dan beberapa masyarakat lain.
Di Bali misalnya, berkembang apa yang disebut sebagai iuran
dana kesehatan untuk membantu para pemangku adapt yang
kehidupannya masih sulit. Di Banyumas ada yang disebut
sebagai Paguyuban 17 dimana masyarakat mengumpulkan
iuran yang digunakan untuk memberikan bantuan bagi keluarga
yang ditinggalkan oleh pencari nafkah utama, yang meninggal
dunia. Di Kabupaten Asahan, Sumatera, dibentuk apa yang
disebut sebagai Ikatan Sosial Kemalangan Pajak Ikan Kisaran
(ISKAPI) dimana memberikan santunan kemalangan (meninggal
dunia) dan pengurusan pemakaman. Setiap anggota wajib
memberikan santunan sebesar Rp 500 kepada anggota yang
tertimpa musibah.
Beberapa contoh di atas menggambarkan bahwa sebenarnya
di beberapa kelompok masyarakat telah berkembang kearifan
sosial yang pada dasarnya sangat erat kaitannya dengan sistem
perlindungan sosial. Dan karena itu apa yang berkembang di
masyarakat perlu diperhatikan, dipertahankan dan jika
memungkinkan perlu dikembangkan dalam cakupan yang lebih
luas.
3. Memperkuat Dukungan Keluarga dan Masyarakat
Jumlah penduduk miskin di Indonesia juga masih sangat besar.
Pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin mencapai 38,4 juta jiwa
atau sekitar 18,9 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Sebagian dari penduduk miskin tersebut menyandang masalah
kesejahteraan sosial. Data yang ada mengungkapkan bahwa lansia
terlantar yang ada pada tahun 1991 diperkirakan sebanyak
1.811.484 jiwa13. Namun cakupan penanganan negara terhadap
lansia yang terlantar melalui sistem panti masih amat rendah.
Sementara panti sosial tresna werdha (PSTW) yang ada di seluruh
Indonesia hanya 155 PSTW dengan daya tampung hanya sekitar
7.756 lansia atau kurang dari setengah (0,43) persen. Dari jumlah
PSTW tersebut hanya 55,5 persen (86 PSTW) dikelola swasta,
13

Soepardo, Istikanah Promotion of The Social Well-Being of Elderly People in Indonesia: A Brief
Statement, dalam UN ESCAP, Productive Ageing in Asia and the Pacific, UN, New York, 1993, p. 83
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

59

sisanya 69 PSTW dikelola dan didirikan oleh pemerintah (dalam


hal ini Departemen Sosial).
Terbatasnya kemampuan pemerintah dalam memberikan
bantuan sosial baik terhadap penduduk miskin maupun terhadap
keberadaan penduduk lansia mengisyaratkan perlunya dan
pentingnya dukungan keluarga dan partisipasi masyarakat. Oleh
karena itu salah satu strategi dan kebijakan yang perlu
dikembangkan dalam pengembangan Sistem Perlindungan Sosial
adalah dengan memperkuat dukungan keluarga dan partisipasi
masyarakat.
D.

KETERKAITAN DENGAN PROGRAM PROGRAM


PEMBANGUNAN

Dengan memperhatikan kebijakan dan strategi pengembangan


sebagaimana diuraikan di atas maka program-program pembangunan
baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang harus
mencakup hal-hal sebagai berikut:
D.1. Kebijakan Pengembangan Jaminan Sosial
1). Perluasan Cakupan Kepesertaan
a. Mendorong PT Jamsostek untuk dapat memperluas cakupan
kepesertaan mencapai sekitar 100 persen dari seluruh pekerja
swasta di sektor formal antara lain dengan memberikan
kewenangan yang lebih luas dalam melakukan law enforcement
terhadap perusahaan-perusahaan yang belum mengikutkan
pekerjanya dalam jaminan sosial
b. Merancang sebuah konsep (termasuk --tetapi tidak terbatas
pada-- merancang kelembagaan baru, jika dianggap perlu)
tentang pengelolaan jaminan sosial bagi tenaga kerja di sektor
informal
c. Melakukan uji coba (pilot project) secara sistematis dan
berkesinambungan dalam rangka memperluas kepesertaan
jaminan sosial bagi pekerja di sektor informal
d. Melakukan kampanye nasional tentang pentingnya sistem
jaminan sosial bagi setiap warga negara
e. Melakukan advokasi dan technical assistance ke pemerintahpemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) agar masingmasing
daerah
memiliki
perhatian
terhadap
perlunya
kepesertaan warganya dalam sistem jaminan sosial
2). Penguatan Kelembagaan
a. Mengkaji dan merumuskan berbagai kebijakan yang dapat
memperkuat keberadaan lembaga-lembaga pengelola jaminan
sosial (PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, PT ASABRI, PT Jasa
Raharja, Bapel JPKM) agar melaksanakan fungsinya sebagai
pengelola jaminan sosial secara efektif, efisien dan terkoordinasi
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

60

b. Menetapkan bentuk badan hukum lembaga pengelola jaminan


sosial yang memungkinkan lembaga pengelola tersebut
mencapai visi dan misinya sebagai pengelola jaminan sosial
yang not for profit
c. Membentuk dan mengaktifkan forum koordinasi antar lembaga
pengelola jaminan sosial, pemerintah dan perwakilan peserta
dalam rangka membangun kebersamaan guna memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan jaminan
sosial
d. Membentuk sebuah Komite Pengawas yang antara lain bertugas
dan berwenang memonitor dan mengkoordinasi pelaksanaan
jaminan sosial yang dilakukan oleh berbagai lembaga pengelola
e. Dan lain-lain
3). Peningkatan Kinerja Lembaga Pengelola Jaminan Sosial
a. Menetapkan indikator-indikator kinerja keberhasilan lembaga
pengelola secara obyektif dan transparan
b. Melakukan monitoring secara berkesinambung terhadap kinerja
keberhasilan lembaga pengelola
c. Mendorong lembaga pengelola untuk meningkatkan kinerja
pelayanannya kepada para peserta
d. Dan lain-lain
4). Perluasan Manfaat
a. Mendorong lembaga pengelola untuk merumuskan berbagai
jenis resiko sosial ekonomi yang belum tercakup dalam manfaat
yang dikelola oleh lembaga pengelola tersebut
b. Menetapkan besarnya iuran/premi yang diperlukan guna
mencakup berbagai resiko baru yang akan dimasukkan dalam
manfaat yang dikelola oleh lembaga pengelola
c. Mengkoordinasikan berbagai manfaat yang dikelola oleh
masing-masing lembaga pengelola agar tidak terjadi duplikasi
antara satu dan lainnya
d. Dan lain-lain

5). Pengembangan NIK - Basis Data Kepesertaan


a. Mendorong
instansi
berwenang
untuk
dapat
segera
menyelesaikan penyusunan Nomor Induk Kependudukan
sebagai basis data kependudukan yang dapat digunakan oleh
berbagai sektor terkait
b. Mendorong lembaga-lembaga pengelola jaminan sosial untuk
menggunakan NIK sebagai basis data kepesertaan jaminan
sosial
c. Dan lain-lain
D.2. Kebijakan Bantuan Sosial

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

61

1). Koordinasi lintas sektor dalam pelaksanaan bantuan


sosial
a. Bantuan Kesejahteraan Sosial
Bantuan ini dipilahkan dalam dua kelompok sasaran, yaitu:
- Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) Permanen yaitu
pemberian biaya permakanan (dalam bentuk uang) secara
terus menerus bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) permanen seperti lansia terlantar, anak
terlantar, anak yatim piatu miskin dan penyandang cacat
ganda (fisik dan mental)
- BKS Sementara yaitu pemberian uang atau barang bagi
PMKS non permanen seperti korban bencana alam dan
bencana sosial
Bantuan sosial tersebut terutama diarahkan untuk para
penyandang masalah sosial yang mengalami kesulitaan dalam
memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hal pangan, sandang dan
papan.
Bantuan sosial dilakukan oleh Departemen Sosial sebagai
leading sektor dengan berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait
lainnya.
b. Bantuan Sosial Kesehatan Keluarga Miskin
Bantuan sosial kesehatan antara lain diarahkan untuk
memberikan pelayanan kesehatan secara murah dan gratis kepada
penduduk miskin baik dalam bentuk pelayanan langsung (seperti
imunisasi, pos pelayanan terpadu (posyandu) bagi balita, posyandu
bagi lansia, sanitasi lingkungan dan sebagainya) maupun dalam
bentuk pembiayaan kesehatan seperti kartu sehat/ karyu miskin
dan Jaminan Pemelirahaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin)
dan lain sebagainya
Bantuan sosial ini dilakukan oleh Departemen Kesehatan
sebagai leading sektor dengan berkoordinasi dengan sektor-sektor
terkait lainnya.

c. Bantuan Sosial Pendidikan Bagi Keluarga Miskin


Bantuan sosial di sektor pendidikan berkaitan dengan
membantu
keluarga
yang
tidak
mampu
untuk
dapat
menyekolahkan anak-anaknya paling tidak sampai jenjang
pendidikan 9 tahun. Bagi anak-anak yang memiliki bakat dan
kemampuan intelektual yang tinggi tetapi keluarganya tidak
mampu membiayai pendidikannya dibantu dengan melalui skema
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

62

beasiswa. Berbagai upaya tersebut selama ini sebenarnya sudah


dilakukan dan karena itu ke depan tinggal dikembangkan lebih
lanjut. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana agar dana
bantuan sosial pendidikan yang jumlahnya terbatas tersebut dapat
benar-benar sampai pada sasaran yang tepat.
Bantuan sosial ini dilakukan oleh Departemen Pendidikan
Nasional sebagai leading sector dengan berkoordinasi dengan
sektor-sektor terkait lainnya.
d. Bantuan Sosial Ketenagakerjaan
Bantuan sosial ketenagakerjaan diarahkan untuk membantu
tenaga kerja agar dapat masuk ke pasar kerja memperoleh
pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Bantuan tersebut
dilakukan baik pada tahap pre employment, employment maupun
post employment. Bantuan pada tahap pre employment diberikan
antara lain dalam bentuk bimbingan dan pelatihan untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang
diperlukan oleh pasar kerja. Bantuan pada tahap employment
antara lain diberikan dalam bentuk informasi pasar kerja,
perlindungan yang berkaitan dengan kondisi dan kesejahteraan
pekerja, tunjangan pengangguran dan sebagainya. Sedang bantuan
sosial pada tahap post employment antara lain diberikan dalam
bentuk promosi ketenagakerjaan bagi lansia produktif untuk
berkarya
sesuai
dengan
kemampuan,
pengetahuan
dan
pengalamannya.
Bantuan sosial ketenagakerjaan dilakukan oleh Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai leading sektor dengan
berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait lainnya.
e. Bantuan Sosial Lainnya
Selain bantuan sosial yang dilakukan oleh sektor-sektor
sebagaimana disebutkan di atas juga ada upaya bantuan sosial
yang dilakukan oleh berbagai sektor lain seperti sektor
Kependudukan dan KB (oleh Departemen Dalam Negeri dan
BKKBN), sektor agama (oleh Departemen Agama) dan sebagainya.
Berbagai bentuk bantuan sosial tersebut perlu dikoordinasikan
satu sama lain baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun
evaluasinya. Koordinasi tersebut sangat diperlukan sehingga tidak
terjadi duplikasi baik duplikasi dalam kegiatan maupun duplikasi
dalam sasaran. Dengan demikian dana yang terbatas yang
disediakan untuk berbagai upaya bantuan sosial tersebut dapat
benar-benar tepat sasaran penggunaannya.
2). Bantuan Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

63

Bantuan sosial yang juga sangat penting dilakukan adalah


bagaimana mengurangi jumlah penduduk miskin (absolut) yang
jumlahnya sangat besar. Upaya ini dilaksanakan secara lintas
sektoral dan telah disusun strategi penanggulangan kemiskinan
yang diarahkan pada strategi sebagai berikut14:
a. Perluasan Kesempatan
i)
meningkatkan
alokasi
fiscal
bagi
penanggulangan
kemiskinan (DAU, DAK dan dukungan bagi prasarana)
ii) menicptakan suatu sistem pajak (progresif) dan subsidi
yang adil/berpihak pada kaum miskin
iii) meningkatkan
investasi
publik
dan
swasta
untuk
mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang mampu
menciptakan lapangan kerja baik melalui sektor riil maupun
pembangunan sarana prasarana
iv) meningkatkan stabilitas ekonomi, terutama yang berkaitan
dengan harga bahan-bahan kebutuhan pokok yang
dibutuhkan oleh masyarakat miskin
v) memberikan akses terhadap kredit/pinjaman bagi kaum
miskin
b. Pemberdayaan Masyarakat Miskin
i) bantuan manajemen dan informasi bagi organisasi komunitas
kaum miskin
ii) membentuk organisasi-organisasi lintas stakeholders agar
tercipta konsultasi antara pemerintah dan rakyat
iii) memperkuat mekanisme penegakan hukum dalam rangka
memasukkan peraturan masyarakat lokal ke dalam
kerangka otonomi daerah
iv) memperkuat akses masyarakat terhadap kebutuhan pokok
v) meningkatkan kapasitas lembaga dan organisasi masyarakat
lokal untuk mengembangkan demokrasi, meningkatkan
partisipasi
vi) memperkuat akses masyarakat miskin kepada sumberdaya
keuangan, keterampilan berorganisasi secara modern serta
penanaman budaya industri
vii) mengembangkan akses yang baik dan setara terhadap
kesempatan kerja (bagi pekerja di sektor formal dan
informal)
viii) mengembangkan jaringan kerjasama antara organisasi
kemasyarakatan, pemerintah dan sektor swasta
c. Peningkatan Sumberdaya Manusia
i) meningkatkan penyediaan kebutuhan pokok dan pelayanan
bagi masyarakat miskin (untuk kebutuhan pangan,
pendidikan, kesehatan, air bersih, prasarana, serta fasilitas
pokok lainnya)
Point-point pada bagian ini diambil dari Rohmad Supriyadi, Dokumen Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Nasional, paper disampaikan dalam FGD tanggal 7
Januari 2004
14

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

64

ii) meningkatkan kualitas pelayanan dan prasarana pendidikan


yang lebih baik (yaitu wajib belajar 9 tahun)
iii) memberikan potongan harga/subsidi yang adil dan memadai
pada beragam pelayanan sosial pokok
iv) menyediakan bantuan fasilitas dan prasarana sosial ekonomi
yang mampu mendukung kegiatan eonomi produktif yang
dijalankan oleh masyarakat miskin
v) memberikan kegiatan pendidikan dan latihan dalam rangka
kapasitas dan kewirausahaan bagi masyarakat miskin, serta
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
vi) memperbaiki akses dan peraturan yang berkaitan dengan
UKM
vii) membantu rumah tangga dan kelompok masyarakat miskin
untuk
mengembangkan
wirausaha
serta
budaya
produktifnya
viii) mengembangkan produk yang dihasilkan oleh jaringan
pemasaran di antara UMKM
3). Pengembangan kearifan lokal
Upaya ini diarahkan untuk menggali, mempertahankan, dan
mengembangkan kearifan-kearifan sosial yang telah tumbuh di
berbagai komunitas lokal. Secara informal berbagai komunitas di
berbagai daerah sebenarnya telah mengembangkan berbagai
skema sosial guna menanggulangi berbagai persoalan sosial yang
dihadapi anggotanya. Hanya selama ini berbagai skema sosial yang
telah berkembang secara informal tersebut tidak berada dalam
jangkauan kebijakan publik. Padahal peran berbagai skema
informal tersebut sangat penting, karena di samping tumbuh atas
inisiatif masyarakat juga karena sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi sosial setempat.
Ke depan perlu dikembangkan berbagai upaya baik yang
bersifat langsung maupun tidak langsung untuk dapat menggali
dan mengembangkan berbagai skema informal tersebut dalam
sistem perlindungan sosial yang akan dikembangkan.
4). Kegiatan berkaitan dengan upaya memperkuat dukungan
keluarga dan partisipasi masyarakat
Penguatan dukungan keluarga dan masyarakat antara lain
bertujuan untuk:
a. meningkatkan dan membina peran keluarga dalam membantu
anggota keluarga dan anggota masyarakat lain yang
memerlukan bantuan sosial baik dalam bentuk material maupun
non material

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

65

b. meningkatkan dan membina peran serta masyarakat, organisasi


sosial, lembaga swadaya masyarakat dan sektor swasta dalam
membantu mengatasi berbagai masalah sosial yang dihadapi
E. RANCANGAN KELEMBAGAAN
Rancangan kelembagaan sistem perlindungan sosial diarahkan
pada pendekatan konvergen. Hal ini diperlukan guna meningkatkan
keterpaduan, efisiensi dan efektifitas, serta tepat sasaran. Kelak,
dalam penyelenggaraan sistem perlindungan sosial perlu dibentuk
suatu institusi yang berfungsi khusus untuk mengelola pelaksanaan
berbagai bentuk perlindungan sosial berdasarkan suatu peraturan
perundangan-undangan. Institusi tersebut akan menjadi penanggung
jawab dalam pelaksanaan berbagai skema dan bentuk perlindungan
sosial dengan mempertimbangkan kearifan lokal serta partisipasi
keluarga dan masyarakat.
F. SISTEM PENDANAAN
Pendanaan dalam pengelolaan jaminan sosial berbeda dengan
pendanaan dalam pengelolaan bantuan sosial. Dana pengelolaan jaminan
sosial (asuransi sosial dan tabungan hari tua) berasal dari peserta
(pemberi kerja dan pekerja), sedang dana bantuan sosial merupakan
subsidi yang sepenuhnya berasal dari pemerintah. Kalaupun pemerintah
mengeluarkan dana untuk jaminan sosial adalah dalam kaitan
pemerintah sebagai pemberi kerja yang harus mengeluarkan dana
jaminan sosial bagi para pekerjanya (sipil ataupun militer).
a.

Pendanaan Jaminan Sosial

Ada beberapa sistem berkaitan dengan pendanaan jaminan sosial.


Secara umum dari segi pembiayaannya, jaminan sosial dapat dibedakan
atas:
- Pay-as-you-go sistem yaitu suatu jaminan yang dibayarkan dari
iuran pada tahun yang sama atau funded sistem (dibentuk dana
cadangan sebelum pembayaran jaminan) yang digunakan untuk
pembiayaan hari tua.
- Fee-for-service sistem yaitu suatu imbalan yang dibayarkan pada
setiap jasa yang diberikan atau prepayment sistem yaitu suatu imbalan
yang dibayarkan di muka sesuai tarif/iuran yang ditentukan khususnya
untuk pembiayaan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pembiayaan pay-as-you-go umumnya digunakan dengan metode
defined-benefit, sedangkan funded sistem digunakan dalam metode
define contributions. Dan pembayaran fee-for-service umumnya
digunakan
dalam
metode
indemnity
insurance,
sedangkan
prepayment sistem digunakan dalam managed care.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

66

Berbagai sistem pembiayaan sebagaimana diuraikan di atas


digunakan oleh masing-masing pengelola jaminan sosial sesuai
kebutuhannya. Dalam kaitan ini perlu ada kajian yang komprehensif
tentang sistem pembiayaan (pendanaan) mana yang lebih sesuai
untuk masing-masing badan pengelola sehingga masing-masing
badan pengelola dapat lebih meningkatkan kinerjanya. Termasuk pula
kemungkinan melakukan penarikan iuran jaminan sosial melalui pajak
(sosial security tax).
b. Pendanaan Bantuan Sosial
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dana untuk bantuan sosial
berasal dari subsidi pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan
demikian dana bantuan sosial tersebut sebagian besar berasal dari
APBN ataupun APBD. Sayangnya kondisi APBN saat ini belum begitu
mendukung. Menurut BAPPENAS untuk APBN 2004 diperkirakan masih
mengalami defisit sebesar Rp 24,4 trilyun. Dengan kondisi seperti itu
maka pengeluaran pemerintah masih lebih banyak untuk pengeluaran
rutin, dimana pengeluaran rutin rutin pemerintah lebh ditujukan untuk
(a) menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara dan
meningkatkan kualitas pelayaan publik; (b) memenuhi kewajiban
membayar bunga hutang; (c) melaksanakan program subsidi dalam
rangka mengurangi beban masyarakat miskin dan membantu kelompok
usaha kecil menengah; (d) mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu
2004; (e) menyediakan dana cadangan umum untuk mengantisipasi tidak
tercapainya sasaran ekonomi makro, ketidaksesuaian pelaksanaan
kebijakan yang direncanakan dengan pelaksanaannya, dan; (f)
menghadapi keadaan darurat seperti bencana alam.
Defisit anggaran diperkirakan akan terus berlanjut dan mengalami
masa sulit terutama pada tahun 2004-2006 dikarenakan beberapa hal
seperti (a) pembayaran hutang luar negeri dan dalam negeri yang sudah
mulai jatuh tempo; (b) semakin terbatasnya pembiayaan yang berasal
dari dalam negeri; (c) sulitnya upaya peningkatan penerimaan negara
(pajak) sebagai akibat dari belum pulihnya kondisi perekonomian
nasional15.
Dengan kondisi APBN yang masih defisit seperti itu maka bisa
diduga bahwa kemampuan negara dalam membiayai bantuan sosial
masih terbatas. Dan untuk itu perlu ada penajaman tentang kegiatan
bantuan sosial mana yang perlu mendapat prioritas lebih tinggi. Upaya
penanggulangan kemiskinan tampaknya menjadi salah satu fokus
program bantuan sosial yang perlu mendapat prioritas tinggi. Dengan
dapat mengatasi kemiskinan maka berarti penduduk yang menjadi
sasaran bantuan sosial makin berkurang, dan kemudian diharapkan
dapat mengikuti berbagai bentuk jaminan sosial.

Suharmen, Gambaran APBN dalam Jangka Menangah, paper disampaikan dalam


FGD 30 Desember 2003
15

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

67

G. PRIORITAS
Rancangan kebijakan dan program sebagaimana diuaraikan di atas
--karena-berbagai keterbatasan yang ada-- tentu saja tidak bisa
dilaksanakan secara serentak. Dan oleh karena itu maka perlu dibuat
skala prioritas tentang program mana yang akan dilakukan terlebih
dahulu.
Dengan mempertimbangkan bahwa kerangka hukum tentang
jaminan sosial khususnya yang terkait dengan Rancangan UndangUndang Jaminan Sosial masih dalam proses penggodogan di tingkat
legislatif, sementara di sisi lain kondisi sosial ekonomi masyarakat
memperlihatkan masih banyak yang perlu memperoleh bantuan sosial.
Sehingga, dalam satu sampai tiga tahun kedepan upaya implementasi
kebijakan dan program sistem perlindungan sosial sebagaimana
diuraikan di atas masih diprioritaskan pada kebijakan bantuan sosial.
Selanjutnya, sebagaimana diuraikan di atas maka strategi kebijakan
bantuan sosial diarahkan untuk lebih mengefektifkan berbagai program
bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah melalui atau dengan (a)
meningkatkan koordinasi antar sektor; (b) mempertajam sasaran
program bantuan sosial, dan (c) mempercepat upaya pengentasan
kemiskinan. Dengan demikian diharapkan dalam satu hingga tiga tahun
kedepan pelaksanaan bantuan sosial dapat dilakukan secara lebih efektif
dan lebih tepat sasaran melalui kerangka kebijakan yang terpadu dan
terkoordinasi antar sektor terkait.
Setelah kerangka kebijakan bantuan sosial dapat dilakukan secara
lebih efektif, terkoordinasi dan tepat sasaran serta sejalan dengan
makin baiknya kondisi sosial ekonomi masyarakat, maka baru kebijakan
perlindungan sosial lebih diarahkan pada peningkatan jangkauan
kepesertaan dan kinerja jaminan sosial. Karena sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa meskipun tekanan demografis menunjukkan
tentang perlunya segera diwujudkan sistem jaminan sosial yang lebih
memadai, namun kondisi sosial ekonomi masyarakat masih belum
mendukung untuk itu. Besarnya angka pengangguran, banyaknya
pekerja di sektor informal, rendahnya penghasilan (upah), rendahnya
pertumbuhan ekonomi (akibat rendahnya investasi dan ekspor) yang
berdampak pada terbatasnya kesempatan kerja, merupakan beberapa
hal pokok yang menyebabkan belum memungkinkannya dilakukan
berbagai upaya yang terkait dengan usaha peningkatan kepesertaan dan
kinerja jaminan sosial. Oleh karena itu maka prioritas kebijakan dan
program perlindungan sosial dalam satu hingga tiga tahun kedepan
masih pada bantuan sosial, baru kemudian lebih diprioritaskan kepada
jaminan sosial.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

68

DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank. Social Protection Strategy. ADB. Manila. 2001
Armando Barrientos and Andrew Shepherd. Chronic Poverty and Social
Protection. University of Manchester, Inggris. 2003
BAPPENAS. Peta Kemiskinan di Indonesia. BAPPENAS. Mei 2003
BPS. Data dan Informasi Kemiskinan 2002 Buku 1: Provinsi. BPS.
Jakarta. Desember 2002
------. Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002. BPS. Jakarta. Februari
2003
------. Laporan Perekonomian Indonesia 2002, BPS. Jakarta. Desember
2002
Bambang Purwoko (2002). Social Protection in Indonesia. Social
protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam].
Friedrich-Ebert-Stiftung. Bonn. 2002
Canagarajah, Sudharshan & S.V. Sethuraman. Social Protection and the
Informal Sector in Developing Countries: Challenges and
Opportunities, Social Protection Discussion Paper Series. The
World Bank. December 2001.
Deutsche Stiftung fur internationale Entwicklung-DSE. Discussion
Report Beyond Safety Nets: The Challenge of Social Protection
in a Globalizing World.
--------------------------------------------------------------------. Social Protection as a
Factor of National Cohesion: The Practice and Experience of
China. Ma Fengzhi. Peking University. China.
--------------------------------------------------------------------. Moving Social Protection
Beyond a Safety Net Approach in Latin America and the
Caribbean. Ana Sojo, Economic Commission for Latin America
and Caribbean-ECLAC United Nations. Chile.
--------------------------------------------------------------------. Linking Informal and
Formal Social Security Systems. Hans Gsager. German
Development Institute.
--------------------------------------------------------------------. Social Protection System
for Older People in Bangladesh. Zarina Nahar Kabir. Stockholm
Gerontology Research Center. Sweden.
Eduardo T. Gonzalez and Rosario Gregorio Manasan. Social Protection in
Philippines. Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by
Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung, Bonn. 2002.
Holzmann, Robert & Steen Jorgensen. Social Protection as Social Risk
Management: Concptual Underpinnings for the Social Protection
Sector Strategy Paper, Social Protection Discussion Paper
Series. The World Bank. January 1999
International Labor Organization. Social Security and Coverage for All.
ILO. 2002
International Social Security Association (ISSA). The Social Security
Reform Debate. In Search of a New Consensus. A Summary. ISSA.
1998.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

69

Iryanti, Rahma. Perlindungan Sosial Tenaga Kerja (Mengantisipasi


Perubahan Dalam Pasar Kerja). paper disampaikan dalam FGD.
13 Januari 2004
Jorgensen, Steen Lau & Julie Van Domelen. Helping the Poor Manage
Risk Better: The Role of Social Funds, Social Protection
Discussion Paper Series. The World Bank. 1999
Kantor Menteri Kependudukan & UNFPA. Rencana Aksi Nasional
Dukungan Keluarga dan Masyarakat terhadap kehidupan Lansia.
Jakarta. 1999
Kiswanti, Utin. Kajian Awal Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial
bagi Masyarakat Rentan. paper disampaikan dalam FGD 13
Januari 2004.
Michael von Hauff. The Relevance of Social Security for Economic
Development. 200_
Mundiharno. Kondisi Demografi-Ekonomi yang Perlu Diperhatikan
dalam Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial di Indonesia.
paper disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003.
Mundiharno. Determinan Sosial Ekonomi Intergenerational Transfer:
Analisis Data IFLS I. Thesis. Universitas Indonesia. 1999.
Perwira, Daniel et al., Perlindungan Tenaga Kerja Melalaui Sistem
Jaminan Sosial: Pengalaman Indonesia. kertas kerja.SMERU. Juni
2003.
Purwoko. Bambang. FACS Program: Australian System. paper
disampaikan dalam FGD 13 Januari 2004
Purwoko, Bambang, Proteksi Sosial. paper disampaikan dalam FGD 30
Desember 2003.
Ragayah Haji Mat Zin, Hwok Aun Lee, and Saaidah Abdul-Rahman.
Social Protection in Malaysia. Social protection in Southeast &
East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung. Bonn.
2002.
Ratman, Dadang Rizki, Perlindungan Sosial di Bidang Kesehatan.
outline paper disampaikan FGD 13 Januari 2004.
Standing, Guy, Unemployment and Income Security. Paper.
International Labour Organization. June 2000
Sudarsono, Budiman, Aspek Hukum dalam Jaminan dan Perlindungan
Sosial. paper disampaikan dalam FGD 7 Januari 2004.
Suharmen, Gambaran APBN dalam Jangka Menengah. paper
disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003.
Supriyadi, Rohmad, Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Nasional. paper disampaikan dalam FGD 7 Januari 2004.

SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU

70

Anda mungkin juga menyukai