Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI

PEMERIKSAAN FUNGSI PARU DENGAN SPIROMETER


BLOK SISTEM RESPIRASI

Asisten :
Dwi Bamas Aji
G1A012063
Disusun Oleh:
Isri Nur Fazriyah

G1A013002

Dias Guita Alantus

G1A013019

Arina Khairunisa

G1A013031

Miftachul Hidayah

G1A013036

Sufiya Lisnawati

G1A013051

Sisilia Thalia J.S. Sare

G1A013063

RR. Fera Pratiwi

G1A013124

Putra Achsanal H

G1A012139

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Judul Praktikum
Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan Spirometer
B.
Tanggal Praktikum
Jumat, 6 Maret 2015
C.
Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah praktikum ini mahasiswa mampu melakukan pengukuran fungsi
paru dengan spirometri dan peakflow.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah praktikum ini mahasiswa dapat:
a. Menjelaskan pemeriksaan spirometri
b. Melakukan pemeriksaan spirometri
c. Menganalisa hasil pemeriksaan
D.

Dasar Teori
Sistem pernapasan mencakup paru-paru dan sistem saluran bercabang

yang menghubungkan tempat pertukaran gas dengan lingkungan luar. Udara


digerakkan melalui paru oleh suatu mekanisme ventilasi, yang terdiri atas
rongga toraks, otot interkostal, diafragma, dan komponen elastis jaringan paru.
Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi struktut saluran napas atas dan
bawah. Secara fungsional, struktur-struktur tersebut membentuk bagian
konduksi sistem, yang terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakea,
bronki (Yun. bronchos, pipa angin), bronkiolus, bronkiolus terminalis, dan
bagian respiratorik (tempat berlangsungnya pertukaran gas), yang terdiri atas
bronkiolus respiratorius, ductus alveolaris, dan alveoli. Alveoli merupakan
struktur mirip-kantong yang membentuk sejumlah besar bagian paru. Alveoli
adalah tempat utama bagi fungsi utama paru yaitu pertukaran O 2 dan CO2
antara udara yang dihirup dan darah (Mescher, 2011).
Bagian konduksi memiliki dua fungsi utama: menyediakan sarana bagi
udara yang keluar masuk paru dan mengondisikan udara yang dihirup tersebut.
Untuk menjamin kelangsungan pasokan udara yang kontinu, kombinasi tulang
rawan, serat elastin dan kolagen, serta otot polos, memberikan bagian konduksi

ini sifat kaku dan fleksibilitas serta ekstensibilitas yang diperlukan (Mescher,
2011).

Gambar. 1 Anatomi sistem pernapasan (Martini, 2012)

Terdapat dua tipe lapisan sel alveolar, yaitu pneumosit tipe I dan
pneumosit tipe II. Pneumosit tipe I merupakan lapisan tipis yang menyebar dan
menutupi lebih dari 90% daerah permukaan dan pneumosit tipe II yang
bertanggung jawab terhadap sekresi surfaktan. Alveolus pada hakekatnya
merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh jaringan kapiler
sehingga batas antara cairan dan gas membentuk tegangan permukaan yang
cenderung mencegah pengembangan saat inspirasi dan cenderung kolaps pada
waktu ekspirasi. Tetapi untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein
(surfaktan) yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi
resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps
alveolus pada waktu ekspirasi (Wilson, 2005).
Surfaktan merupakan campuran kompleks dari beberapa fosfolipid,
protein, dan ion-ion. Komponen yang paling penting adalah fosfolipid
dipalmitoilfosfatidilkolin,

surfaktan

apoprotein,

dan

ion

kalsium.

Dipalmitoilfosfatidilkolin, bersama dengan beberapa fosfolipid yang kurang


penting lainnya, bertanggung jawab untuk menurunkan tegangan permukaan.
Zat-zat ini tidak ter;arut dalam cairan, sebaliknya, malah menyebar ke seluruh

permukaan alveoli, karena salah satu bagian dari molekul fosfolipid bersifat
hidrofilik dan terlarut dalam air yang melapisi alveoli. Sedangkan bagian
lemak dari molekul ini bersifat hidrofobik dan lebih mengarah ke udara,
sehingga membentuk permukaan hidrofobik lipid yang berkontak dengan udara
(Guyton, 2008).
Pembentukan dan pengeluaran surfaktan oleh sel pneumosit tipe II
bergantung pada beberapa faktor, yaitu kematangan sel-sel alveolus dan sistem
enzim biosintetik, kecepatan pergantian surfaktan yang normal, ventilasi yang
memadai, dan aliran darah ke dinding alveolus. Suraktan relatif lambat
terbentuk pada kehisupan fetal, sehingga bayi yang lahir dengan jumlah
surfaktan yang sedikit (biasanya pada kelahiran prematur) dapat berkembang
menjadi sindrom gawat napas pada bayi. Surfaktan disintesis secara cepat dari
asam lemak yang diekstraksi dari darah, dengan kecepatan pergantiannya yang
cepat. Sehingga bila aliran darah ke daerah paru terganggu (misalnya karena
emboli paru), maka jumlah surfaktan pada daerah tersebut akan berkurang.
Produksi surfaktan dirangsang oleh ventilasi aktif, volume tidal yang memadai,
dan hiperventilasi periodik (cepat dan dalam) yang dicegah oleh konsentrasi O2
tinggi pada udara yang diinspirasi. Sehingga pemberian O 2 konsentrasi tinggi
dalam waktu yang lama atau kegagalan untuk bernapas cepat dan dalam pada
pasien yang menggunakan ventilasi mekanik akan menurunkan produksi
surfaktan dan menyebabkan kolaps alveolar (ateletaksis). Defisiensi surfaktan
dianggap sebagai faktor penting pada patogenesis sejumlah penyakit paru,
termasuk sindrom gawat napas akut (ARDS) (Wilson, 2005).

Gambar. 2 Alveolus (Martini, 2012)

Terdapat dua konsep yang saling berkaitan yang berperan dalam


elastisitas paru, yaitu compliance dan recoil elastik. Kata compliance merujuk
kepada seberapa banyak upaya dibutuhkan untuk meregangkan atau
mengembangkan paru. Sedangkan istilah recoil elastik

merujuk kepada

seberapa mudah paru kembali ke bentuknya semula setelah diregangkan.


Sehingga sifat elastik paru terutama bergantung pada dua faktor, yaitu jaringan
ikat yang sangat elastik di paru dan tegangan permukaan alveolus. Faktor
kedua yang berperan dalam stabilitas alveolus adalah saling ketergantungan
antara alveolus-alveolus yang berdekatan. Setiap alveolus dikelilingi oleh
alveolus lain yang saling berhubungan melalui jaringan ikat. Jika alveolus
mulai kolaps maka alveolus-alveolus sekitar akan teregang karena dindingnya
tertarik dalam arah alveolus yang mengecil. Selanjutnya, alveolus-alveolus
sekitar mengalami recoil sebagai resistensi terhadap peregangan, menghasilkan
gaya yang mengembangkan alveolus yang kolaps dan karenanya membantunya
tetap terbuka. Fenomena ini disebut interdependensi alveolus (Sherwood,
2012).
Proses fisiologi pernapasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi 3 stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan keluar. Stadium kedua, transportasi, yang
harus ditinjau dari beberapa aspek :
1. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna)
dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan.
2. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya
dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus.
3. Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah.
Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu
saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai
sampah metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru (Wilson, 2005).
Paru-paru dapat dikembangkempiskan melalui dua cara, yaitu
diafragma akan bergerak turun naik untuk memperbesar atau memperkecil
rongga dada, dan depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau

memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Pernapasan abdominal


dilakukan melalui gerakan diafragma. Selama inspirasi, kontraksi diafragma
menarik permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian, selama ekspirasi
diafragma mengadakan relaksasi dan sifat elastis daya lenting paru (elastic
recoil), dinding dada, struktur abdominal akan menekan paru-paru. Namun
selama bernapas kuat, daya elastis tidak cukup kuat untuk menghasilkan
ekspirasi cepar yang diperlukan, sehingga diperlukan tenaga ekstra otot-otot
abdominal, yang mendorong isi abdomen ke atas melawan dasar diafragma
(Guyton, 2008).
Metode kedua untuk mengembangkan paru adalah dengan mengangkat
iga (pernapasan thoracal). Pengembangan paru, ini dapat terjadi karena pada
posisi istirahat, iga miring ke bawah dan sternum turun kebelakang ke arah
kolumna vertebralis. Bila rangka iga dielevasikan, tulang iga langsung maju
sehingga sternum sekarang bergerak kedepan menjauhi spinal, membentuk
jarak anteroposterior dada kira-kira 20% lebih besar selama inspirasi
maksimum dibandingkan selama ekspirasi. Otot-otot yang mengelevasikan
rangka dada dapat diklasifikasikan sebagai otot inspirasi dan otot-otot yang
mendepresikan rangka iga disebut sebagai otot ekspirasi (Guyton, 2008).

Gambar. 3 Inspirasi Pulmonal (Martini, 2012)

Gambar. 3 Ekspirasi Pulmonal (Martini, 2012)

Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas


melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis. Berikut adalah faktor-faktor
yang memengaruhi kecepatan difusi gas melalui membran pernapasan
(Guyton, 2008) :
1.
2.
3.
4.

Ketebalan membran.
Luas permukaan membran.
Koefisien difusi gas dalam substansi membran.
Perbedaan tekanan antara kedua sisi membran.

Uji faal paru bertujuan untuk mengetahui apakah fungsi paru seseorang
individu dalam keadaan normal atau abnormal. Pemeriksaan faal paru biasanya
dikerjakan berdasarkan indikasi atau keperluan tertentu, misalnya untuk
menegakkan diagnosis penyakit paru tertentu, evaluasi pengobatan asma,
evaluasi rehabilitasi penyakit paru, evaluasi fungsi paru bagi seseorang yang
akan mengalami pembedahan toraks atau abdomen bagian atas, penderita
penyakit paru obstruktif menahun, akan mengalami anestasi umum sedangkan
yang bersangkutan menderita penyakit paru atau jantung dan keperluan
lainnya. Secara lengkap uji faal paru dilakukan dengan menilai fungsi ventilasi,
difusi gas, perfusi darah paru dan transport gas O2 dan CO2 dalam peredaran
darah (Alsagaff, 2005).
Untuk keperluan praktis dan uji skrining, biasanya penilian faal paru
seseorang cukup dengan melakukan uji fungsi ventilasi paru. Apabila fungsi

ventilasi nilainya baik, dapat mewakili keseluruhan fungsi paru dan biasanya
fungsi-fungsi paru lainnya juga baik. Penilaian fungsi ventilasi berkaitan erat
dengan penilaian mekanika pernapasan. Untuk menilai fungsi ventilasi
digunakan spirometer untuk mencatat grafik pernapasan berdasarkan jumlah
dan kecepatan udara yang keluar atau masuk ke dalam spirometer (Alsagaff,
2005).
Spirometri merupakan suatu metode sederhana yang dapat mengukur
sebagian terbesar volume dan kapasitas paru-paru. Spirometri merekam secara
grafis atau digital volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa. Volume
Ekspirasi Paksa (VEP) atau Forced Expiratory Volume (FEV) adalah volume
dari udara yang dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum
dengan usaha paksa minimum, diukur pada jangka waktu tertentu. Biasanya
diukur dalam 1 detik (VEP1). Kapasitas Vital paksa atau Forced Vital Capacity
(FVC) adalah volume total dari udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah
inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Pemeriksaan
dengan spirometer ini penting untuk pengkajian fungsi ventilasi paru secara
lebih mendalam. Jenis gangguan fungsi paru dapat digolongkan menjadi dua
yaitu gangguan fungsi paru obstruktif (hambatan aliran udara) dan restriktif
(hambatan pengembangan paru) (Alsagaff, 2005).
Volume dan kapasitas paru merupakan salah satu indikator ada tidaknya
gangguan fungsi paru yang dapat diukur melalui spirometer. Beberapa macam
volume dan kapasitas paru antara lain (Sherwood, 2012) :
1. Volume alun napas (tidal volume, TV). Volume udara yang masuk atau
keluar paru selama satu kali bernapas. Nilai rerata pada kondisi istirahat =
500 ml.
2. Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume, IRV). Volume
udara tambahan yang dapat secara maksimal dihirup di atas volume alun
napas istirahat. IRV dicapai oleh kontraksi maksimal diafragma, otot
interkostal eksternal, dan otot inspirasi tambahan. Nilai rerata = 3000 ml.
3. Kapasitas inspirasi (inspiratory capacity, IC). Volume udara maksimal
yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi tenang normal (IC = IRV + TV).
Nilai rerara = 3500 ml

4. Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume, ERV). Volume


udara

tambahan

yang

dapat

secara

aktif

dikeluarkan

dengan

mengontraksikan secara maksimal otototot ekspirasi melebihi udara yang


secara normal dihembuskan secara pasif pada akhir volume alun napas
istirahat. Nilai rerata = 1000 ml.
5. Volume residual (residual volume, RS). Volume udara minimal yang
tertinggal di paru bahkan setelah ekspirasi maksimal. Nilai rerata = 1200
ml. Volume residual tidak dapat diukur secara langsung dengan spirometer,
karena volume udara ini tidak keluar dan masuk paru. Namun, volume ini
dapat ditentukan secara tak langsung melalui teknik pengenceran gas yang
melibatkan inspirasi sejumlah tertentu gas penjejak tak berbahaya
misalnya helium.
6. Kapasitas residual fungsional (functional residual capacity, FRC). Volume
udara di paru pada akhir ekspirasi pasif normal (FRC = ERV + RV). Nilai
rerata = 2200 mL
7. Kapasitas vital (vital capaciry,YC). Volume udara maksimal yang dapat
dikeluarkan dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal. Subyek
perrama-rama melakukan inspirasi maksimal lalu ekspirasi maksimal (VC
= IRV + TV + ERV). VC mencerminkan perubahan volume maksimal
yang dapat terjadi pada paru. Hal ini jarang digunakan, karena kontraksi
otot maksimal yang terlibat melelahkan, tetapi berguna untuk memastikan
kapasitas fungsional paru. Nilai rerata = 4500 ml.
8. Kapasitas paru total (total lung capacity, TLC). Volume udara maksimal
yang dapat ditampung oleh paru (TLC = VC + RV). Nilai rerara = 5700 ml
9. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume in one
second, FEV1). Volume udara yang dapat dihembuskan selama detik
pertama ekspirasi dalam suatu penentuan VC. Biasaya FEV1 adalah sekitar
80% dari VC

yaitu, dalam keadaan normal 80% udara yang dapat

dihembuskan secara paksa dari paru yang telah mengembang maksimal


dapat dihembuskan dalam satu detik. Pengukuran ini menunjukkan laju
E.
1.
2.
3.
4.

aliran udara paru maksimal yang dapat dicapai.


Alat dan Bahan
Spirometri
Tisu
Tinta spirometri
Mounth piece dispposible

5.
F.

Penjepit hidung
Cara Kerja

Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru


a.
b.

Siapkan alat pencatatan atau spirometri.


Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada probandus, posisi

c.

probandus menghadap alat.


Nyalakan alat (power on). Masukan/atur data probandus berupa nama

dan umur.
d.
Hubungkan probandus dengan alat dengan cara menyuruh probandus
memasukan mounth piece ke dalam mulutnya dan tutuplah hidung
dengan penjepit hidung.
e.
Intruksikan probandus untuk bernapas tenang terlebih dahulu untuk
f.
g.

beradaptasi dengan alat.


Tekan tombol start alat spirometri untuk memulai pengukuran.
Mulai dengan pernapasan tenang sampai timbul perintah dari alat
untuk ekspresi maksimal (tidak terputus). Bila dilakukan secara benar

h.

akan keluar data dan kurva di layar spirometri.


Bila perlu tanpa melepaskan mounth piece, ulangi pengukuran dengan

i.

inspirasi dalam dan ekspirasi yang maksimal.


Setelah selesai lepaskan mounth piece, periksa data dan kurva
dilanjutkan dengan mencetak hasil perekaman (tekan tombol print).

Pemeriksaan Kapasitas Vital Paksa Paru (FVC=Force Vital Capacity)


a.
b.

Siapkan alat pencatatan atau spirometri.


Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada probandus, posisi

probandus menghadap alat.


c.
Nyalakan alat (power on). Masukan/atur data probandus berupa nama
dan umur.
d.
Intruksikan probandus untuk inspirasi dalam dari luar alat.
e.
Segera setelah siap, tekan tombol start dilanjutkan dengan ekspirasi
dengan kuat melalui alat.
f.
Bila perlu tanpa melepaskan mounth piece, ulangi pengukuran dengan
g.

inspirasi dalam dan ekspirasi yang maksimal.


Setelah selesai lepaskan mounth piece, periksa data dan kurva
dilanjutkan dengan mencetak hasil perekaman (tekan tombol print).

BAB II
ISI dan PEMBAHASAN
A. Hasil Praktikum
1.

Nama Probandus : Tressa


Umur
: 19 tahun
Tinggi badan
: 156 cm
Berat badan
: 55 kg
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan tiga kurva
pemeriksaan yaitu kurva kapasitas vital paru (SVC), kapasitas vital paksa
paru (FVC) dan volume udara maksimal (MVV)
Pada hasil pemeriksaan kapasitas vital paru didapatkan nilai kapasitas
vital sebesar 5,59 L. Volume total 0,39 L, volume cadangan inspirasi 1,34 L,
volume cadangan ekspirasi 087 L.

Hasil yang didapat bahwa kapasitas vital paru sebesar 5,59 L,


sehingga didapatkan nilai normal.
Selanjutnya hasil pemeriksaan kapasitas vital paksa paru didapat
angka untuk FVC 2.07 sedangkan untuk FEV1 sebesar 1,95. Sehingga
FEV1/FVC= 1.97/2.07=96,6 %, sedangkan untuk MVV didapatkan 68 L/m
Hasil di ketahui bahwa probandus restrictive lung disease indikasinya
adalah apabila FEV1/FVC > 85%.
2.

Hasil
Probandus:
Nama
Umur
Tinggi badan
Berat badan

: Angga
: 20 tahun
: 170 cm
: 58 kg

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil


pemeriksaan kapasitas vital paru (SVC), kapasitas vital paksa paru (FVC),
dan volum udara maksimal (MVV) yaitu:
VC
: 2,97 L (64,3%)
FVC : 4,62 L (50,4%)
FEV1 : 3,98 L (57,3%)
FEV1/FVC : 3,98/4,62x100% = 86,14%
MVV : 180,3 L/m (30,7%)
3. Interpretasi hasil
Untuk dapat menginterpretasi hasil dari tes spirometi perlu
diketahui poin vital hasil normal spirometer berupa (Booker, 2008):
1. FEV1, FVC dan VC antara 80% - 120% sesuai referensi nilai usia,
gender, tinggi dan ras.
2. Nilai FEV1/FVC antara 75% atau lebih dari 80% sesuai referensi nilai
usia, gender, tinggi dan ras.
Dan sesuai dengan teoriklasifikasi gangguan ventilasi berikut (Guyton
et al., 2006) :
1. Gangguan restriksi

: Vital

Capacity (VC) < 80% nilai prediksi;


FVC < 80% nilaiprediksi
2. Gangguan obstruksi : FEV1 < 80%
nilai prediksi; FEV1/FVC < 75%
nilai prediksi
3. Gangguan restriksi dan obstruksi
: FVC < 80% nilai prediksi;
FEV1/FVC < 75% nilai prediksi.
4. Normal

KVP

80%,

VEP1/KVP 75%
Berdasarkan kriteria diatas nilai FEV1, FVC, VC, dan nilai
FEV1/FVC, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa probandus mempunyai
gangguan ventilasi, yaitu gangguan restriksi.
B. Pembahasan
Untuk volume paru sendiri terbagi menjadi 2, yaitu volume static dan
volume dinamik. Kedua jenis volume paru merupakan volume yang dapat di

ukur menggunakan kecuali Volume Residu, Kapasitas Total paru dan


Kapasitas Residu Fungsional:
a. Volume Statik
i.
Volume Tidal ( VT )
ii.
Volume Cadangan Inspirasi ( VCI )
iii.
Volume Cadangan Ekspirasi ( VCE )
iv.
Volume Residu ( VR )
v.
Kapasiti Vital ( KV )
vi.
Kapasiti Vital Paksa ( KVP )
vii.
Kapasiti Residu Fungsional ( KRF )
viii.
Kapasiti Paru Total ( KPT )
b. Volume Dinamik
i.
Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama ( VEP1 )
ii.
Maximal Voluntary Ventilasi ( MVV )
1.
Vital Capacity (VC): adalah jumlah udara (dalam liter)
yang keluar dari paru sewaktu pernapasan yang normal.
Responden diinstruksi untuk menginhalasi dan mengekspirasi
secara normal untuk mendapat ekspirasi yang maksimal. Nilai
normal biasanya 80% dari jumlah total paru. Akibat dari
elastisitas paru dan keadaan toraks, jumlah udara yang kecil
akan tersisa didalam paru selepas ekspirasi maksimal. Volume
2.

ini disebut residual volume (RV) (Guyton, 2006).


Forced vital capacity (FVC): Seetelah mengekspirasi
secara maksimal, responden disuruh menginspirasi dengan
usaha maksimal dan mengekspirasi secara kuat dan cepat. KVP
adalah volume udara yang diekspirasi ke dalam spirometri

3.

dengan usaha inhalasi yang maksimum ( Ganong, 2005).


Maximal voluntary ventilation (MVV): Responden akan
bernapas sedalam dan secepat mungkin selama 15 detik.
Rerata volume udara (dalam liter) menunjukkan kekuatan otot

respiratori. (Guyton, 2006).


Untuk mengetahui adanya kelainan pada fisiologi pulmo, rasio
FEV1/FVC dapat digunakan sebagai pedoman diagnosis. Pada
orang normal, rasio FEV1/FVC adalah 75% atau lebih dari 80%.
Namun pada pasien dengan kelainan obstruksi akan terjadi
penurunan FVC sekaligus penurunan rasio FEV1/FVC. Sebaliknya,
pasien dengan kelainan restriksi akan mengalami penurunan FVC
tanpa mempengaruhi nilai rasio FEV1/FVC.

Persiapan pasien sebelum melakukan pemeriksaan tes spirometri


sangatberpengaruh pada hasil. Persiapan tersebut antara lain (Booker,
2008):
a.
b.
c.
d.

Menghindari makan makanan berat selama 2 jam sebelum tes dimulai.


Tidak merokok dalam rentan waktu 1 jam sebelum tes spirometri.
Tidak mengonsumsi alcohol sel selama 4 jam sebelum tes spirometri.
Mengenakan baju yang longgar dan nyaman yang tidak menghambat
pernapasan.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hasil pemeriksaan

menjadi tidak valid salah satunya adalah alat belum disesuaikan dengan
setting nilai normal orang Indonesia (masih diatur dengan setting Eropa)
sehingga tentu tidak sesuai. Selain itu dapat pula disebabkan beberapa hal
antara lain (Booker, 2008):
a. Pemeriksaan beberapa kali gagal karena pasien batuk dan tersedak,
terburu-buru, maupun tidak kuat dalam melakukan prosedur.
b. Mouth piece yang digunakan tidak intak akibat terlalu basah oleh
saliva probandus.
c. Kemungkinan kebocoran alat atau adanya gangguan pada sistem
database alat.
d. Tinggi badan dan berat badan probandus hanya berdasarkan perkiraan.
Nilai Normal Faal Paru Indonesia
Beberapa faktor dapat mempengaruhi nilai normal faal paru
seseorang. Karena alasan itulah sebelum melakukan pemeriksaan spirometri
dimasukkan data mengenai identitas pasien, umur, tinggi badan, berat badan,
jenis kelamin dan ras. Spirometri yang tersedia saat ini belum menyediakan
nilai normal faal paru untuk orang Indonesia. Nilai normal faal paru
berdasarkan data dari negara lain kurang tepat bila dipakai untuk orang
Indonesia, sebab fungsi faal paru dipengaruhi oleh (Alsagaff, 1993):

Postur tubuh

Lingkungan tempat tinggal

Etnis atau suku bangsa

Nutrisi
Bila kita menggunakan nilai normal faal paru dari negara atau bangsa

lain tentu hasilnya kurang tepat, seperti hasil yang menunjukkan adanya
kelainan faal paru padahal seharusnya hasil yang diperoleh normal bila
menggunakan nilai normal orang Indonesia (Alsagaff, 1993).
Pelitian tim Pneumobile yang dilakukan di Jakarta dan Surabaya
menghasilkan nilai faal paru orang Indonesia yang paling mewakili. Prosedur
penelitian tersebut disesuaikan dengan rekomendasi American Thoracic
Society (ATS). Adanya nilai tersebut petugas kesehatan akan mendapatkan
diagnosis yang tepat untuk orang Indonesia. Berikut tabel nilai normal faal
paru hasil penelitian Tim Pneumobile (Alsagaff, 1993):

C. Aplikasi Klinis
a. Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK)
PPOK adalah suatu penyakit paru yang ditandai oleh peningkatan
resistensi saluran napas yang terjadi akibat penyampitan lumen saluran
napas bagian bawah. Ketika resistensi saluran napas meningkat, harus
diciptakan gradien tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan
kecepatan aliran udara. Karena itu orang dengan PPOK harus berusaha
lebih kuat untuk bernapas (Sherwood,2011).
Penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi
berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak
sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.
Spirogram pada pasien penyakit paru obstruktif, karena pasien
mengalami kesulitan dalam mengosongkan paru daripada mengisinya
maka TLC( Total Lung Capacity) pada hakikatnya normal. Akan tetapi ada
peningkatan RV (Residual Volume), FRC (Fungsional Residual Capacity)

yang terjadi akibat tambahan udara yang terperangkap dalam paru setelah
ekspirasi normal maupun paksa. Karna RV meningkat, maka VC (Vital
Capacity) berkurang. Selain itu juga ada penurunan FEV1 (force
expiratory volume in 1 second), dan FEV1/FVC (Sylvia: 2005).

Gambar: Perbandingan spirometri pasien denngan PPOK dan orang normal (Wijaya
Putra, Paramarta. Et al. 2011. Diagnosis Dan Tataaksana PPOK. Universitas Udayana)

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung


Disease (GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:
i.

Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal

ii.

Derajat I (PPOK ringan)


Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, Dengan atau tanpa produksi
sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 80%

iii.

Derajat II (PPOK sedang)


Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat
aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%

iv.

Derajat III (PPOK berat)


Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4.Eksaserbasi lebih
sering terjadi
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%

v.

Derajat IV (PPOK sangat berat)


Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%
PPOK mencakup tiga penyakit kronis yaitu Bonkitis kronik, asma

dan Emfisema. Menurut beberapa sumber, ada hubungan etiologik dan


sekuensial antara bronkitis kronik dan emfisema, tetapi tampaknya tak ada
hubungan antara kedua penyakit itu dengan asma (Sylvia, 2005).
1. Bronkitis Kronik
Bronchitis

kronik

didefinisikan

sebagai

adanya

batuk

produktifyang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun


berturut turut.Sekresi yang menumpuk dalam bronchiolus mengganggu
pernapasan yang efektif.
Merokok atau pemajanan terhadap terhadap polusi adalahpenyebab
utama bronchitis kronik. Pasien dengan bronchitis kronik lebihrentan
terhadap

kekambuhan

infeksi

saluran

pernapasan

bawah.

Kisaraninfeksi virus, bakteri, dan mikroplasma dapat menyebabkan


episodebronchitis akut. Eksaserbasi bronchitis kronik hampir pasti
terjadi selamamusim dingin. Menghirup udara yang dingin dapat
menyebabkanbronchospasme bagi mereka yang rentan (Smeltzer &
Bare, 2001).
Pengertian yang sama juga didapat dari sumber lain, bahwa
Bronchitis

kronis

hipersekresibronchus

adalah
secara

kelainan
terus

yang

menerus.

ditandai
Bronchitis

oleh
Kronis

merupakan suatugangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan


mucus yang berlebihandalam bronchus dan bermanifestasi sebagai
batuk kronis dan pembentukansputum selama sedikitnya 3 bulan dalam

setahun sekurang-kurangnyadalam 2 tahun berturut-turut (Sylvia,


Price, & Wilson, 2005).
2. Emfisema
Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim
paru yang ditandai oeh pembesaran aveolus dan ductus alveolaris yang
tidak normal, serta destruksi dinding alveolar (Sylvia, 2005). Penyakit
irreversibe ini timbul mealui dua cara berbeda. Emfisema paing sering
terjadi karna pelepasan berebihan enzim tripsin dari makrofag alveous
sebagai mekanisme pertahanan terhadap pajanan kronik zat iritan.
Penyebab yang lain adalah ketidakmampuan tubuh secara genetis
menghasilkan

alfa1-

antitripsin

sehingga

jaringan

paru

tidak

terlindungi dari tripsin (sherwood,2011)


Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal dan disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis
emfisema menurut morfologinya:
a. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada
bronkiolus dan meluas ke perifer, mengenai terutamanya
bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat kebiasaan
merokok yang telah lama.
b. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh
alveolus distal dan bronkiolus terminal serta paling banyak
pada bagian paru bawah. Emfisema tipe ini adalah tipe yang
berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi 1antitripsin.
c. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa
atau berhampiran pleura (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2003).
3. Asma

Asma bronkiale adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya


respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil
pengobatan (Soeparman, 1990).
Pengertian lain dari asma adalah suatu penyakit jalan nafas
obstruktif intermitten, reversible, bahwa trakea dan bronki berespons
dalam

secara

hiperaktif

terhadap

stimuli

tertentu.

Asma

dimanifestasikan dengan penyempitan jalan nafas yang mengakibatkan


dispnea, batuk dan mengi (Smeltzer & Bare, 2002).
Prinsip yang mendasari asma menurut beberapa definisi diatas
bahwa pada asma bronkial ini terjadi penyempitan bronkus yang
bersifat reversible yang terjadi oleh karena bronkus yang hiperaktif
mengalami kontaminasi dengan antigen. Asma bronkial juga bisa
dikatakan suatu sindrom yang ditandai dengan adanya sesak nafas dan
wheezing yang disebabkan oleh karena penyempitan menyeluruh dari
saluran nafas intra pulmonal.
b. Kelainan Paru Restriktif
Kelainan Paru Restriktif adalah gangguan pengembangan paru oleh
sebab apapun. Gangguan ventilasi restritif ditandai dengan peningkatan
kekuan paru, toraks atau keduanya, akibat penurunan keregangan dan
penurunan semua volume paru, termasuk kapasitas vital. Kerja pernapasan
meningkat untuk mengatasi daya elastik alat pernapasan sehingga napas
menjadi cepat dan dangkal. Akibat fisiologi yang terbatas ini ada
hipoventilasi aveolar dan ketidakmampuan mempertahankan tekanan gas
darah norma (Sylvia 2011).
Spirogram pada penyakit paru restriktif dimana paru kurang
complient maka didapatkan hasil kapasitas paru total, kapasitas inspirasi
serta kapasitas vital (VC) berkurang karna paru tidak bisa mengembang
secara normal. Presentasi VC yang dapat dihembuskan dalam satu detik
normalnya adalah 80% atau bahkan lebih tinggi karena udara dapat
mengalir bebas disaluran napas (Sherwood,2010).

Gambar: Perbedaan spirogram pada penyakit gangguan restriktif dan obstrutif. (Maestu,
Luis Puente. Et al.Lung Function Tests in Clinical Decision-Making .Arch
Bronconeumol. 2012;48:161-9. - Vol. 48 Num.05 DOI: 10.1016/j.arbr.2011)

Pola penyakit pernapasan restriktif secara kasar mungkin dapat


dibagi menjadi dua subgroup berdasarkan lokasi patologisnya (Sylvia,
2011):
i.

Ekstrapulmonal
Istilah ekstrapulmonal menyatakan bahwa jaringan paru itu
sendiri kemungkinan normal. Gangguan patologis yang sering
terjadi pada keadaan ini adalah hipoventilasi alveolar,
meskipun ini tak sepenuhnya benar pada kasus kifoskoliosis.
Penyebab dari hipoventilasi alveolar ini sendiri adalah
gangguan SSP yang menghentikan transmisi impuls saraf ke
otot-otot pernafasan, gangguan neuromuskular, serta trauma
rongga toraks.

ii.

Intrapulmonal
Terdapat banyak penyakit yang menyerang alveolus
ataupun interstisial paru, baik lokal maupun difus, yang dapat
mengakibatkan gangguan pernapasan. Jarinan paru yang masih
sehat dapat mengalami kerusakan akibat serangan bakteri,
virus, fungus, protozoa, atau sel-sel ganas serta inhalasi debu
dan asap yang merangsang.
Penyebab intrapulmonal

pada

disfungsi

pernapasan

restriktif mencakup gangguan pleura ( efusi atau radang pleura,

dan pneumotoraks) serta gangguan parenkim paru (atelektasis,


pneumonia, fibrosis pulmonal, dan sindrom disterss pernafasan
dewasa (ARDS).

BAB III
KESIMPULAN
1.

Pemeriksaan fungsi/faal paru dapat dilakukan dengan alat


spirometri

2.

Spirometri ini menghitung kekuatan, kecepatan dan

3.

volume udara yang dikeluarkan


Spirometri dilakukan dengan cara pasien meniup sekuatkuatnya melalui suatu alat yang dihubungkan dengan mesin spirometer yang
secara otomatis akan menghitung kekuatan, kecepatan, dan volume udara

4.

yang dikeluarkan sehingga dapat diketahui kondisi faal paru pasien


Hasil dari pemeriksaan probandus menyatakan bahwa
probandus menderita penyakit restriktif.

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H, Mangunegoro H. 1993. Nilai Normal Faal Paru Orang Indonesia
pada Usia Sekolah dan Pekerja Dewasa Berdasarkan Rekomendasi
American Thoracic Spciety (ATS) 1987. Surabaya : Airlangga University
Press.
Alsagaff, dkk. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press
Booker, Rachel. 2008. Vital Lung Fungction Your essential reference forthe
management assessment of lung function.London : class publishing
Brunner and Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Editor: Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. Jakarta: EGC. 2001
Ganonget al. 2009.Review of Medical Physiology.23rded. New York: McGraw and
Hill.
Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
EGC
Maestu, Luis Puente. Et al. Lung Function Tests in Clinical Decision-Making .
Arch

Bronconeumol.

2012;48:161-9.

Vol.

48

Num.05

DOI:

10.1016/j.arbr.2011
Martini, Frederic, Judi L.Nath, Edwin F. Bartholomew. 2012. Fundamental of
anatomy &physiology. Ninth Edition. San Fransisco: Pearson Education,
Inc.
Mescher, Anthony L. 2011. Histologi dasar Junqueira:teks & atlas. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson dan Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi:
konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC
Wijaya Putra, Paramarta. Et al. 2011. Diagnosis Dan Tataaksana PPOK.
Universitas Udayana

Anda mungkin juga menyukai