Anda di halaman 1dari 12

DEFINISI AUTEKOLOGI DAN SINEKOLOGI

DEFINISI AUTEKOLOGI DAN SINEKOLOGI:


1.
Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau
organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh
autekologi misalnya mempelajari sejarah hidup suatu spesies organisme, perilaku,
dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita mempelajari hubungan antara
pohon Pinus merkusii dengan lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh
lain adalah mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia palembanica)
di padang alang-alang, dan lain sebagainya.
2.
Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang
tergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu.
Misalnya mempelajari struktur dan komposisi spesies tumbuhan di hutan rawa,
hutan gambut, atau di hutan payau, mempelajari pola distribusi binatang liar di
hutan alam, hutan wisata, suaka margasatwa, atau di taman nasional, dan lain
sebagainya.

Contoh Penelitian di bidang Autekologi :


ADAPTASI HUTAN BAKAU TERHADAP LINGKUNGANNYA
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di
atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi
oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana
terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitarmuara sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta
mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis
tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini
kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati
prosesadaptasi dan evolusi.
Luas dan Penyebaran
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama
di sekelilingkhatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan
mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha)
dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan
Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar.

Yakni di pantai timurSumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai
utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya
terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang
masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni.
Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan
bakau Indonesia.
Lingkungan fisik dan zonasi

Pandangan di atas dan di bawah air, dekat perakaran pohon bakau, Rhizophora sp.
Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi
lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu.
Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling
umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan
bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian
banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah
bergambut.
Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan
dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu
karang.
Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka
sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak
seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.
Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan
aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di
bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari
muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju
ombak besar.

Penggenangan oleh air pasang


Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan
bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak
lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala
terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk
zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar
yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap
digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas
tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di
atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam
(Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui
campuran bakauR. mucronata dengan jenisjenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain.
Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah(Nypa
fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan
didapatkan nirih (Xylocarpus spp.),teruntum (Lumnitzera
racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta(Excoecaria agallocha).
Bentuk-bentuk adaptasi
Menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi
dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan
organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di
daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.

Tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas
lumpur pantai.

Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar,


mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang.
Jenis-jenisapi-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar
napas(pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk
mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar
lutut (knee root), sementara pohon-pohonnirih (Xylocarpus spp.) berakar papan
yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di
atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula
kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang pori
pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam
melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora
mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam.
Air yang terserap telah hampir-hampirtawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam
di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung
di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama
gugurnya daun.
Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi
mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya.
Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan.
Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut daun
(stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga
mengurangi evaporasi dari daun.
Perkembangbiakan
Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis.
Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian
berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang
ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar
mempertahankan daya hidupnya.
Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat
mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak
dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah
berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau
(Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini
telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala
masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat
langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang,
tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa
arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di
tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan

beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah
luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan
hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut
dengan istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga
berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut
atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat tidur
(dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi
yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah
perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai
tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk
tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.
Suksesi hutan bakau
Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan
(forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan
di lahan basah(disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu
diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan
secara perlahan-lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat
berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini
diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk
vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus
yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam
sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi
mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin
banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak
cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia
alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru
seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.
Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus
tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona
berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.
Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh
lebih rumit. Karena tidak selalu hutan bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin
dapat habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya
zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.
Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas
mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari itu.
Kekayaan flora

Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar
54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai
jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di
lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan
hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera
Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis
mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).
Berikut ini adalah daftar suku dan genus mangrove sejati, beserta jumlah jenisnya
(dimodifikasi dari Tomlinson, 1986).
Penyusun utama
Suku

Genus, jumlah spesies

Acanthaceae (syn.:Avicenniaceae atauVe


Avicennia (api-api), 9
rbenaceae)
Combretaceae

Laguncularia, 11; Lumnitzera (teruntum),


2

Arecaceae

Nypa (nipah), 1

Rhizophoraceae

Bruguiera (kendeka), 6; Ceriops (tengar),


2; Kandelia(berus-berus),
1; Rhizophora (bakau), 8

Sonneratiaceae

Sonneratia (pidada), 5

Penyusun minor

Paku laut, Acrostichum aureum.

Suku

Genus, jumlah spesies

Acanthaceae

Acanthus (jeruju), 1; Bravaisia, 2

Bombacaceae

Camptostemon, 2

Cyperaceae

Fimbristylis (mendong), 1

Euphorbiaceae

Excoecaria (kayu buta-buta), 2

Lythraceae

Pemphis (cantigi laut), 1

Meliaceae

Xylocarpus (nirih), 2

Myrsinaceae

Aegiceras (kaboa), 2

Myrtaceae

Osbornia, 1

Pellicieraceae

Pelliciera, 1

Plumbaginaceae

Aegialitis, 2

Pteridaceae

Acrostichum (paku laut), 3

Rubiaceae

Scyphiphora, 1

Sterculiaceae

Heritiera (dungun)2, 3

http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_bakau

REVIEW:
Hutan bakau suatu ekologi hutan dalam bidang kajian autekologi yang
merupakan ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme
secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Diantarannya Hutan ini
tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi
bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun
di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang
dibawanya dari hulu. Kemampuan adaptasi dalam menghadapi lingkungan yang
ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara
fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan
hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula
bentuk-bentuk adaptasifisiologis tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan
akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai. Adaptasi lain yang penting
diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan
bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di
atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa

lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya
hidupnya.

Contoh Penelitian di bidang Sinekologi :


DOMINASI DAN STRUKTUR POHON FLORISTIK HUTAN RAWA GAMBUT
PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
`1. Dominasi dan Struktur Pohon Floristik Hutan Rawa Gambut
Richard (1984) dan Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) memakai istilah dominasi
komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik suatu tipe hutan. Kekayaan floristik
hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah
dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks. Lebih
lanjut dikatakan bahwa sebagian sesar hutan hujan tropika mempunyai komposisi
jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan diduga dalam bentuk asosiasi
atau konsosiasi. Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan bahwa
komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa
jenis).
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil dan
komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada
suatu kominitas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebyt dapat
menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan.
Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika
berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi pohon
dibedakan menjadi tiga golongan (Halle et al., 1978), yaitu :
(1) Pohon masa datang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai
kemampuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon
tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa
mendatang akanmenggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan.
(2) Pohon masa kini (tree of the present), yaitu pohon-pohon yang sedang
berkembang penuh dan merupakan pohon yang dominan (menentukan) dalam
stratifikasi saat ini.
(3) Pohon masa lampau (tree of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dn
mulai mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati.
Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah, maka
perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk
reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan
sangat beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang
hampir sama.
Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam
pengelolaan hutan. Samingan (1996) menjelaskan dalam kerangka pemanfaatan

hutan perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon.
Selain itu Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya
mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi; hutan alam merupakan salah satu
aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi
adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan
karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunaan dalam menentukan
stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis
dominan, kodominan dan tertekan (Richards, 1984).
Interaksi dalam suatu komunitas tercermin dari struktur dan komposisi vegetasi.
Stratifikasi yang terjadi pada suatu komunitas tumbuhan di hutan terjadi karena
adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis
vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dari lapisan paling atas menguasai pohon-pohon
yang ada dibawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).
Dominasi suatu jenis ditentukan oleh indeks nilai pentingnya. Jenis vegetasi yang
dominan adalah yang paling tinggi indeks nilai pentingnya. Menurut MuellerDumbois dan Ellenberg (1974), indeks nilai penting adalah jumlah dari frekuensi
relatif, dominasi relatif dan kerapatan relatif. Kegunaan mengetahui struktur baik
vertikal maupun horizontal oleh para ahli dilihat dari berbagai aspek. Menurut
Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), struktur tegakan secara horizontal berguna
sebagai dasar (a) penaksiran volume kayu per satuan luas, (b) penentuan jarak
tanam, dan (c) penilaian biaya pemungutan hasil hutan. Soerianegara dan Indrawan
(1984) menambahkan, struktur vegetasi hutan merupakan salah satu aspek ekologi
yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Sedangkan struktur vertikal
sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya, yaitu toleransi suatu jenis
terhadap cahaya matahari (Smith, 1980).
Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi stratifikasi tajuk dalam hutan hujan
tropikake dalam lima lapisan sebagai berikut :
(1) Lapisan A, lapisan teratas, ditandai oleh tajuk yang terputus, biasanya tinggi
pohon 30 meter ke atas.
(2) Lapisan B, secara umum tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 20 meter
sampai 30 meter.
(3) Lapisan C, tajuk tidak terputus, tinggi pohon antara 4 meter sampai 20 meter.
(4) Lapisan D, lapisan perdu dan semak, tinggi antara 1 meter sampai 4 meter.
(5)Lapisan E, lapisan tumbuhan penutup tanah, tinggi kurang 1 meter.
Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), diagram profil hutan adalah salah
satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horizontal, tetapi diagram
profil hanya bersifat kuantitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili
komunitas hutan.
Dalam pembuatan diagram profil, perubah yang diukur adalah tinggi pohon total,
tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Tarquebiau, 1982).
Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon dengan
cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut (a) unit regenarasi

(eco-unit), (b) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan (c) mosaik suksesi (a


silvatic-unit).

2. Pola Sebaran Spasial Floristik Hutan Rawa Gambut

Pola sebaran spasial vegetasi merupakan karakter penting dalam komunitas ekologi
hutan rawa gambut. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal yang dilakukan
untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat mendasar dari
kehidupan suatu organisme (Ludwig & Reynold, 1988). Pola sebaran spasial ini
merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor
intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).
Menurut Ludwig & Reynold (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran
spasial adalah :
(1) Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misalnya
angin, intensitas cahaya, dan air).
(2) Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi
(3) Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya
kompetisi).
(4) Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa
faktor di atas.Terdapat tiga pola dasar sebaran spasial, yaitu (a) acak atau random,
(b) mengelompok atau clump, (c) seragam atau uniform (Odum, 1986; Ludwig &
Reynold, 1988; McNaughton&Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat dari
lingkungan yang homogen (Odum, 1986; Ludwig & Reynold, 1988) atau perilaku
yang non selektif (Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton&Wolf, 1990). Pola sebaran
non acak (mengelompok atau seragam) menunjukan bahwa terdapatnya suatu
faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold, 1988). Bila sebaran
tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada suatu titik
meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang lain di
dekatnya. Sedangkan pola sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang
berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok.
Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi
organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit (Krebs,
1978). Selanjutnya Krebs (1978) menyatakan bahwa tumbuhan dalam fase awal
kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan.
Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain iklim, faktor edafis dan interaksi
dengan tumbuhan lain.
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropika merupakan kunci penting untuk
memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama, et.al., 1999).
Manokaran (1992) mengungkapkanberdasarkan penelitian mengenai pola spasial di
Hutan Cadangan Pasoh Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies
tergantung pada topografi, kelembaban tanah posisi pohon induk, dan celah kanopi.

3. Celah Kanopi/ Rumpang Floristik Hutan Rawa Gambut

Celah kanopi (rumpang atau gap atau chablis) merupakan kejadian alam yang
umum dijumpai di hutan tropika. Celah terjadi akibat pohon yang mati/patah/ rebah
batang atau dahan pohon oleh berbagai faktor seperti mati karena usia, angin,
tanah longsor, penebangan pohon dan sebagainya (Hartshorn, 1986). Selanjutnya
Whitmore (1986) mengungkapkan bahwa selain terbentuknya celah rebahnya
pohon-pohon besar akan menghasilkan gundukan atau lubang pada tanah akibat
terbongkarnya tanah oleh akar-akar pohon yang rebah. Terbentuknya celah
merupakan titik kritis bagi permudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon
penyusun tajuk hutan di hutan rawa gambut.
Celah di hutan oleh Halle (1976) dibagi menjadi tiga bagian: (a) the crown gap
(celah yang disebabkan tajuk pohon), (b) the epicenter (daerah yang menerima
tumbukan batang pohon dan dahan-dahan besar), dan (c) the periphery around the
epicenter (daerah tumbukan ranting-ranting kecil dan daun). Pada daerah crown
gap, cahaya matahari akan langsung mengenai vegetasi yang ada dan
pembentukan hutan akan cepat tanpa melalui tahap pionir. Pada daerah epicenter,
tanah akan langsung mendapat cahaya matahari, bahkan pohon-pohon muda
banyak yang rusak, karena daerah ini merupakan bagian yang kuat mendapat
tumbukan tajuk. Pada daerah epicenter, silvigenesis dimulai dari tumbuhan herba
pada waktu selama dua tahun. Batang pohon akan hilang pada waktu sepuluh
tahun, tumbuhan herba akan hilang dan digantikan oleh komunitas pionir sampai
umur 25 tahun komunitas dominan. Di bawah tegakan pionir mulai tumbuh jenis
nomads, setelah berumur 30 tahun komunitas pionir akan lenyap pada waktu
bersamaan, setelah 40-50 tahun komunitas nomads akan berkuasa. Tidak seperti
pionir, komunitas nomads tidak mati pada waktu yang bersamaan, oleh karena itu
flora akan kaya oleh komunitas nomads. Komunitas nomads dapat 100hidup
tahun. Selanjutnya komunitas nomads akan mati dan digantikan oleh pohon-pohon
jenis klimaks dan flora yang kaya akan jenis. Komunitas 200 tahun.chablis akan
sama dengan komunitas sekitarnya celah mengakibatkan pengurangn kompeteisi
akar dan perubahan iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya,
peningkatan temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986). Celah
juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang
mati, mengurangi kompetisi akar, serta merubah relief mikro dan profil tanah
(Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti
berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pon
yang ada dibawahnya. Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pon
sangat berkaitan erat dengan ukuran celah dan posisi spesies dalam celah,
terutama pada tingkat semai. Ketahanan dan keberadaan pon pada tingla semai
adalah lebih besar pada celah dibabdingkan kanopi tertutup (Gray&Spies, 1996).
Permudaan dalam celah adalah statu mekanisme penting dalam memelihara
populasi dan comunitas dalam hutan rawa gambut. Karakteristik celah berupa
ukuran dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap
keberhasilan permudaan (Yamamoto, 1995). Usuran celah juga dapat

mempengaruhi jenis mana yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn,


1986). Keadaan menyangkut celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan
menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta
menghasilkan dinamika pada komposisi dab struktur comunitas tegakan (Hartshorn,
1986).
Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai usuran,
karenanya ukuran celah merupakan suatu hal penting yang berpengaruh terhadap
komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat yang
mendukung penyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh terhadap
pola sebaran spasial jenis pon dikemukakan oleh Armesto et.al. (1986) dalam
Yamamoto (1995) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar
(seperti gempa, badai) meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random,
sedangkan celah yang diakibatkan pohon tumbang (seperti penebangan dan
penyaradan) meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara
mengelompok.

Label: DOMINASI DAN STRUKTUR POHON FLORISTIK HUTAN RAWA GAMBUT


PROPINSI RIAU

http://elfisuir.blogspot.com/2010/06/dominasi-dan-struktur-pohon-floristik.html
REVIEW:
Dominasi dan struktur pohon floristic hutan rawa gambut merupahan kajian dalam
bidang sinekologi karena mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam
satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu. Diantarannya
Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan
seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan
yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar hutan hujan tropika
mempunyai komposisi jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan diduga
dalam bentuk asosiasi atau konsosiasi. Soerianegara dan Indrawan (1984)
menambahkan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan
komunitas (beberapa jenis).
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil dan
komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada
suatu kominitas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebut dapat
menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai