Anda di halaman 1dari 7

Burnout

1. Pengertian Burnout
Istilah burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbert
Freudenberger pada tahun 1973 (dalam Sutjipto, 2001). Freudenberger memberikan ilustrasi
tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang
terbakar habis (burned-out), suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan berbagai
aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Seseorang
yang terkena burnout juga demikian keadaannya, dari luar segalanya terlihat utuh, namun di
dalamnya kosong dan penuh masalah (seperti gedung yang terbakar tadi).
Burnout merupakan suatu problem yang kemunculannya memperoleh tanggapan yang baik,
sebab hal itu terjadi ketika seseorang mencoba mencapai suatu tujuan yang tidak realistis dan
pada akhirnya mereka kehabisan energi dan kehilangan perasaan tentang dirinya dan terhadap
orang-orang lain (Gehmeyr, 2000).
Menurut Freudenberger (dalam Farber, 1991), burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang
disebabkan karena seseorang bekerja terlalu intens, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu
banyak dan terlalu lama serta memandang kebutuhan dan keinginan mereka sebagai hal kedua.
Hal tersebut menyebabkan mereka merasakan adanya tekanan-tekanan untuk memberi lebih
banyak. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri mereka sendiri, dari klien yang amat
membutuhkan, dan dari kepungan para administrator (penilik atau pengawas dan sebagainya),
dengan adanya tekanan-tekanan ini, maka dapat menimbulkan rasa bersalah, yang pada
gilirannya mendorong mereka untuk menambah energi dengan lebih besar. Ketika realitas yang
ada tidak mendukung idealisme mereka, maka mereka tetap berupaya mencapai idealisme
tersebut sampai akhirnya sumber diri mereka terkuras, sehingga mereka mengalami kelelahan
atau frustrasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian harapan. Maslach (dalam Sutjipto, 2001)
mengemukakan bahwa burnout merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout
merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosional,
depersonalisasi, maupun low personal accomplishment. Pekerjaan yang berorientasi melayani
orang lain dapat membentuk hubungan yang bersifat asimetris antara pemberi dan penerima
pelayanan. Seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan memberikan perhatian,
pelayanan, bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa, atau pasien, hubungan yang tidak
seimbang tersebut dapat menimbulkan ketegangan emosional yang berujung dengan terkurasnya
sumber-sumber emosional.
Kondisi emosional seseorang seperti merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai
akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat merupakan burnout (Pines dan Aronson dalam
Republika, 5 Agustus 1993). Burnout adalah suatu bentuk ketegangan atau tekanan psikis yang
berhubungan dengan stres, dialami seseorang dari hari ke hari, ditandai dengan kelelahan fisik,
mental
dan
emosional
(Etzion
dalam
Republika,
5
Agustus
1993).
Cherniss (dalam Sutjipto, 2001) menyatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap dan
perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak
dengan klien maupun bersikap sinis dengan mereka, membolos, sering terlambat, dan keinginan
pindah kerja yang kuat. Burnout digambarkan oleh Bernardin (dalam Rosyid, 1996) sebagai
suatu keadaan reaksi emosional pada orang yang bekerja pada pelayanan kemanusiaan dan

berkaitan erat dengan masyarakat. Menurut Hess (dalam Sutjipto, 2001), burnout bukan
penyakit, burnout merupakan reaksi terhadap harapan dan tujuan yang tidak realistis terhadap
perubahan yang diinginkan, pekerjaan yang mempunyai tuntutan interaksi emosional yang relatif
konstan dengan orang lain, dan tujuan jangka panjang yang sulit dicapai.
Tekanan psikis yang dirasakan seseorang yang bekerja di lingkungan yang melibatkan banyak
orang dan bergerak di bidang pelayanan merupakan burnout (Corcini dalam Sutjipto, 2001).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa burnout terjadi pada
tingkat individu dan merupakan pengalaman yang bersifat psikologis karena melibatkan
perasaan, sikap, motif, harapan, dan dipersepsi individu sebagai pengalaman negatif yang
mengacu pada situasi yang menimbulkan distres, ketidaknyamanan atau dis-fungsi.
2. Faktor-faktor Penyebab Burnout
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, nampak bahwa penekanan burnout terletak
pada karakteristik individu, dan wujud dari sindrom itu tampak pada interaksinya terhadap
lingkungan kerja. Kedua hal ini secara umum merupakan sumber burnout (Sutjipto, 2001).
Maslach (dalam Sutjipto, 2001) berpendapat bahwa sumber utama timbulnya burnout adalah
karena adanya stres yang berkembang secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan
penerima pelayanan dalam jangka panjang. Maslach secara tersirat sebenarnya juga mengakui
bahwa sangatlah penting mencari faktor di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara
pemberi dan penerima pelayanan, selain itu analisis juga perlu untuk mengkaji faktor individu
yang ada pada pemberi pelayanan yang turut memberi sumbangan terhadap timbulnya burnout.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut dapat dilihat bahwa, timbulnya burnout karena
adanya:
1. Karakteristik Individu Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan
timbulnya burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor
kepribadian (Sutjipto, 2001).
a. Faktor Demografik Berdasarkan hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis
kelamin antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres
dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Orang berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur
jika dibandingkan dengan pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau secara emosional
lebih mampu menangani tekanan yang besar. Maslach (dalam Sutjipto, 2001) menemukan
bahwa pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi, sedangkan wanita yang burnout
cenderung mengalami kelelahan emosional. Proses sosialisasi pria cenderung dibesarkan dengan
nilai kemandirian sehingga diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional,
sebaliknya wanita dibesarkan lebih berorientasi pada kepentingan orang lain (yang paling nyata
mendidik anak) sehingga sikap-sikap yang diharapkan berkembang dari dalam dirinya adalah
sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu, dan kelembutan. Perbedaan cara dalam
membesarkan pria dan wanita berdampak bahwa setiap jenis kelamin memiliki kekuatan dan
kelemahan terhadap timbulnya burnout. Seorang pria yang tidak dibiasakan untuk terlibat
mendalam secara emosional dengan orang lain akan rentan terhadap berkembangnya
depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat secara emosional dengan orang lain akan
cenderung rentan terhadap kelelahan emosional. Terhadap latar belakang etnis, hasil penelitian
Maslach (dalam Sutjipto, 2001) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat burnout yang
cukup signifikan antara masyarakat keturunan Afrika (negro) dengan masyarakat Caucasian,

pada para pekerja pelayanan sosial. Masyarakat keturunan Afrika cenderung memiliki burnout
yang lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat Caucasian. Hal ini bisa terjadi karena
mayarakat keturunan Afrika berasal dari ligkungan masyarakat yang menekankan pada hubungan
kekeluargaan dan persahabatan, oleh karena itu mereka sudah terbiasa dengan hubungan yang
melibatkan emosi, seperti menghadapi konflik atau harapan yang tidak realistis. Kondisi
masyarakat keturunan Afrika di Amerika Serikat juga menentukan adanya hal ini, yakni sudah
terbiasa mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan karena adanya diskriminasi dan
kemiskinan. Latar belakang kehidupan seperti itu, akan mendorong individu lebih siap mental
dalam menghadapi masalah dan kejadian yang menyakitkan yang dapat menimbulkan burnout.
Farber (1991) menyatakan bahwa dari sisi usia, pekerja di bawah usia empat puluh tahun paling
berisiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan burnout, demikian halnya dengan hasil
penelitian Maslach (dalam Sutjipto, 2001), bahwa burnout paling banyak dijumpai pada individu
yang berusia muda. Hal ini wajar, sebab para pekerja pemberi pelayanan di usia muda dipenuhi
dengan harapan yang tidak realistik, jika dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih tua.
Seiring dengan pertambahan usia pada umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil,
lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang lebih realistis. Status perkawinan juga
berpengaruh terhadap timbulnya burnout. Profesional yang berstatus lajang lebih banyak yang
mengalami burnout daripada yang telah menikah (Sutjipto, 2001). Seseorang yang memiliki anak
jika dibandingkan dengan yang tidak memiliki anak, maka seseorang yang memiliki anak
cenderung mengalami tingkat burnout yang lebih rendah, karena seseorang yang telah
berkeluarga pada umumnya cenderung berusia lebih tua, stabil, dan matang secara psikologis,
lalu keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang dalam
menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional, dan kasih sayang dan dukungan sosial dari
keluarga dapat membantu seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan serta
seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis (Maslach dalam
Sutjipto, 2001).
Profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan terhadap burnout jika
dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi (Maslach dalam Sutjipto, 2001).
Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis sehingga
ketika dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan,
maka munculah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout. Profesional
yang tidak berpendidikan tinggi cenderung kurang memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak
menjumpai
banyak
kesenjangan
antara
harapan
dan
kenyataan.
Caputo (1991) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara status profesional dengan
burnout. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih berisiko terhadap burnout jika
dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh waktu.
b. Faktor Kepribadian Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah
individu yang idealis dan antusias, mereka adalah individu-individu yang memiliki sesuatu yang
berharga (Firdaus, 2005). Pines (dalam Sutjipto, 2001) mencatat bahwa burnout lebih banyak
terjadi pada nilai dan usaha sebagian besar orang untuk memenuhi cita-cita pekerjaan mereka.
Pemberi layanan yang obsesional, penuh kasih, idealis, dan berdedikasi cenderung lebih rentan
mengalami "sindrom guru yang terpukul", suatu gangguan yang dipaparkan Bloch (dalam
Farber, 1991) dengan cara yang hampir sama dengan yang dipaparkan orang lain mengenai

burnout. Individu-individu ini, karena memiliki komitmen yang berlebihan, dan melibatkan diri
secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika imbalan dari usahanya tidaklah
seimbang, mereka akan merasa gagal dan berdampak pada menurunnya penilaian terhadap
kompetensi diri. Individu yang memiliki konsep diri rendah rentan terhadap burnout (Maslach
dalam Sutjipto, 2001; Firdaus, 2005). Karakteristik individu yang memiliki konsep diri rendah
yaitu tidak percaya diri dan memiliki penghargaan diri yang rendah, mereka pada umumnya
dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap pasrah, dalam bekerja mereka tidak
yakin sehingga menjadi beban kerja berlebihan yang berdampak pada terkurasnya sumber diri.
Penilaian diri yang negatif ini menyebabkan individu lebih menitikberatkan perhatian pada
kegagalan dalam setiap hal sehingga menyebabkan perasaan tidak berdaya dan apatis (Cherniss
dalam Sutjipto, 2001). Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perfeksionis, yaitu individu
yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna sehingga akan sangat mudah
merasa frustrasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai, individu yang perfeksionis
rentan terhadap burnout (Freudenberger dalam KCM, 07 Februari 2002; Caputo dalam Firdaus,
2005).
Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga merupakan salah satu karakteristik
kepribadian yang dapat menimbulkan burnout. Maslach (dalam Sutjipto, 2001) menyatakan
bahwa seseorang ketika melayani klien pada umumnya mengalami emosi negatif, misalnya
marah, jengkel, takut, cemas, khawatir dan sebagainya, bila emosi-emosi tersebut tidak dapat
dikuasai, mereka akan bersikap impulsif, menggunakan mekanisme pertahanan diri secara
berlebihan atau menjadi terlarut dalam permasalahan klien. Kondisi tersebut akan menimbulkan
kelelahan emosional. Individu yang introvert juga rentan mengalami ketegangan emosional yang
lebih besar saat menghadapi konflik, karena mereka cenderung menarik diri dari kerja, dan hal
ini akan menghambat efektivitas penyelesaian konflik (Kahn dalam Firdaus, 2005).
Meehling (dalam Farber, http://Age_Erasers_For_Men/zrp) menyatakan bahwa kepribadian
seperti locus of control sebagai prediktor yang signifikan terhadap burnout. Rotter (dalam
Cherniss, http://Age_Erasers_For_Men/zrp) menjelaskan bahwa individu dengan locus of control
eksternal meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan yang dialami disebabkan oleh kekuatan di
luar diri, mereka meyakini bahwa dirinya tidak berdaya terhadap situasi sehingga mudah
menyerah dan bila berlanjut mereka bersikap apatis terhadap pekerjaan. Tuntutan emosional
seringkali disebabkan oleh kombinasi antara harapan yang sangat tinggi dengan situasi stres yang
kronis.
2. Lingkungan Kerja Masalah beban kerja yang berlebihan adalah salah satu faktor dari
pekerjaan yang berdampak pada timbulnya burnout Beban kerja yang berlebihan bisa meliputi
jam kerja, jumlah individu yang harus dilayani, tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan
rutin dan yang bukan rutin dan pekerjaan administrasi lainnya yang melampaui kapasitas dan
kemampuan individu. Beban kerja yang berlebihan dapat mencakup segi kuantitatif yang berupa
jumlah pekerjaan dan kualitatif yaitu tingkat kesulitan pekerjaan tersebut yang harus ditangani,
dengan beban kerja yang berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya
ketegangan emosional saat melayani klien sehingga dapat mengarahkan perilaku pemberi
pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari diri untuk terlibat dengan klien
(Sutjipto, 2001; Freudenberger dalam KCM, 07 Februari 2002; Firdaus, 2005).
Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan burnout (Caputo, 1991;

Sutjipto, 2001; Freudenberger dalam KCM, 07 Februari 2002). Sisi positif yang dapat diambil
bila memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja yaitu mereka merupakan sumber
emosional bagi individu saat menghadapi masalah dengan klien (Maslach dalam Sutjipto, 2001).
Individu yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa nyaman, diperhatikan,
dihargai atau terbantu oleh orang lain. Sisi negatif dari rekan kerja yang dapat menimbulkan
burnout adalah terjadinya hubungan antar rekan kerja yang buruk, hal tersebut bisa terjadi
apabila hubungan mereka diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya dan saling bermusuhan.
Cherniss (dalam Sutjipto, 2001) mengungkapkan sejumlah kondisi yang potensial terhadap
timbulnya konflik antar rekan kerja, yaitu perbedaan nilai pribadi, perbedaan pendekatan dalam
melihat permasalahan dan mengutamakan kepentingan pribadi dalam berkompetisi. Dukungan
sosial yang tidak ada dari atasan juga dapat menjadi sumber stres emosional yang berpotensi
menimbulkan burnout (Farber, 1991; Pines dan Aronson dalam Sutjipto, 2001; Firdaus, 2005).
Kondisi atasan yang tidak responsif akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan
ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak akan
bermakna.
Kahn (dalam Firdaus, 2005) mengemukakan bahwa adanya konflik peran merupakan faktor yang
potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran ini muncul karena adanya tuntutan yang
tidak sejalan atau bertentangan, contohnya sebagai pekerja sosial ia harus melakukan kerja
lembur namun sebagai seorang ibu ia juga harus memperhatikan kebutuhan keluarga pula.
Farber (1991) mengemukakan bahwa, keacuhan siswa, ketidakpekaan penilik sekolah atau
pengawas, orang tua siswa yang tidak peduli, kurangnya apresiasi masyarakat dengan pekerjaan
mereka, kritik masyarakat, pindah kerja yang tidak dikehendaki, kelas yang terlalu padat, kertas
kerja yang berlebihan, bangunan fisik sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi dan gaji yang
tidak memadai merupakan beberapa faktor lingkungan sosial yang turut berperan menimbulkan
burnout.
3. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan Bekerja melayani orang lain
membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar dan memahami orang lain dalam
keadaan krisis, frustrasi, ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger dalam Farber, 1991; Maslach,
dalam Sutjipto, 2001). Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan
terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja dapat menyebabkan
stres emosional karena keterlibatan antarmereka dapat memberikan penguatan positif atau
kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya. Umumnya, selama bekerja pemberi pelayanan
sering menghadapi klien yang bermasalah, misalnya ketidakmampuan, kegagalan dalam tes,
kesulitan belajar atau kesulitan lainnya. Dalam hal ini, pemberi layanan tersebut dituntut untuk
membantu, memperhatikan, dan peka terhadap kebutuhan mereka. Fokus perhatian pada
permasalahan yang secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama merupakan potensi
terhadap berkembangnya pandangan negatif dan sinis terhadap klien, yang pada akhirnya dapat
menimbulkan sindrom burnout. Para pekerja di bidang sosial sering menerima umpan balik yang
negatif (Sutjipto, 2001), hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat terhadap pelayanan
sehingga individu kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Pemberi
pelayanan jika dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada umumnya tidak memberi
pujian, sebab mereka menganggap bahwa memang seharusnya seperti itu. Hal lain yang turut
menyebabkan rendahnya penghargaan adalah bahwa penerima pelayanan tidak mampu

memberikan umpan balik positif karena keterbatasan mereka, misalnya siswa dengan
keterbelakangan mental. Dengan keadaan yang selalu menerima umpan balik yang negatif ini,
maka pada diri pemberi pelayanan akan terbentuk sikap yang negatif terhadap penerima
pelayanan.
Pemberi pelayanan sering menghadapi karakteristik penerima pelayanan yang sulit ditangani
atau klien yang bermasalah berat, dan hal ini akan mendatangkan stres emosional (Sutjipto,
2001). Maslach (dalam Sutjipto, 2001) memberikan contoh situasi kerja yang menekan secara
emosional, yaitu merawat pasien bagian psikiatri yang tidak mampu menolong diri sendiri.
Individu terus dihadapkan pada kondisi yang menekan secara emosional akan mudah merasa
kesal, marah, tertekan, jengkel, dan perasaan tidak enak lainnya, apalagi bila ditambah oleh
perilaku klien yang tidak memberikan umpan balik yang positif, maka akan turut menimbulkan
perasaan yang tidak menyenangkan.
3. Aspek-aspek Burnout Pines dan Aronson (dalam Firdaus, 2005) mengatakan bahwa orang
yang terjangkit burnout akan mengalami kelelahan fisik, mental, dan emosional, yakni:
1. Kelelahan fisik (physical exhaustion), yaitu suatu kelelahan yang bersifat sakit fisik dan energi
fisik.
2. Kelelahan emosional (emotional exhaustion), yaitu suatu kelelahan pada individu yang
berhubungan dengan perasaan pribadi yang ditandai dengan rasa tidak berdaya dan depresi.
3. Kelelahan mental (mental exhaustion), yaitu suatu kondisi kelelahan pada individu yang
berhubungan
dengan
rendahnya
penghargaan
diri
dan
depersonalisasi.
Freudenberger dan Jenkins (KCM, 07 Februari 2002) mengatakan bahwa tanda-tanda masalah
gejala
burnout
dapat
dilihat
dari
beberapa
aspek,
yakni:
a. Dari segi fisik bisa berupa nyeri dada yang sebagai sebuah tanda menuju sindrom burnout,
masalah pada saluran pencernaan, nyeri punggung, sakit kepala, sulit tidur dan seringnya
penderita mendapatkan penyakit-penyakit ringan seperti flu dan gangguan pada kulit seperti
jerawat, eksim dan gatal-gatal.
b. Dari segi mental, kurangnya daya tahan, yang dicirikan dengan rasa seperti habis digebuki,
dapat menjadi pertanda akan terjadinya burnout.
c. Dari segi psikis berupa depresi dan sikap mudah tersinggung, akan tetapi yang lebih menarik
adalah berkembangnya perasaan menjadi manusia super, yakni merasa sanggup menangani
segala sesuatu, tidak memerlukan bantuan dan sehingga menjadi tinggi hati karenanya.
4. Tanda-tanda Individu yang Burnout Burnout digunakan untuk merujuk pada situasi dimana
pada awalnya merupakan "panggilan" menjadi sekedar pekerjaan, artinya seseorang tidak lagi
hidup untuk bekerja tetapi bekerja sekedar untuk hidup, dengan kata lain burnout merujuk pada
hilangnya antusias, kegembiraan, dan suatu perasaan yang mempunyai misi di dalam pekerjaan
seseorang.
Cherniss (dalam Sutjipto, 2001) menyatakan bahwa ketika seseorang mulai memperhatikan
tanda-tanda atau gejala-gejala burnout yang dinyatakan di dalam literatur, makna konsep burnout
meluas lebih jauh, karenanya, tanda dan gejala yang biasanya dikaitkan dengan burnout pada
program
layanan
kemanusiaan
adalah
sebagai
berikut:
1. Resistensi yang tinggi untuk pergi kerja setiap hari.
2. Terdapat perasaan gagal di dalam diri.
3. Cepat marah dan sering kesal.

4. Rasa bersalah dan menyalahkan.


5. Keengganan dan ketidakberdayaan.
6. Negatifisme.
7. Isolasi dan penarikan diri.
8. Perasaan capek dan lelah setiap hari.
9. Sering memperhatikan jam saat bekerja.
10. Sangat pegal setelah bekerja.
11. Hilang perasaan positif terhadap klien.
12. Menunda kontak dengan klien, membatasi telepon dari klien dan kunjungan kantor.
13. Menyamaratakan klien.
14. Tidak mampu menyimak apa yang klien ceritakan.
15. Merasa tidak mobile.
16. Sinisme terhadap klien dan sikap menyalahkan.
17. Gangguan tidur/sulit tidur.
18. Menghindari diskusi mengenai pekerjaan dengan teman kerja.
19. Asyik dengan diri sendiri.
20. Mendukung tindakan untuk mengontrol perilaku, misalnya menggunakan obat penenang.
21. Sering demam dan flu.
22. Sering sakit kepala dan gangguan pencernaan.
23. Kaku dalam berpikir dan resisten terhadap perubahan.
24. Rasa curiga yang berlebihan dan paranoid.
25. Pengunaan obat-obatan yang berlebihan.
26. Konflik perkawinan dan keluarga.
27. Sering membolos.
Orang yang terjangkit burnout akan mengalami kelelahan fisik, mental, dan emosional
(Pines dan Aronson dalam Firdaus, 2005), yakni:
1. Kelelahan fisik (physical exhaustion), seperti sakit kepala, demam, sakit punggung (rasa
ngilu), tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, mual-mual, gelisah.
2. Kelelahan emosional (emotional exhaustion), seperti merasa tidak berharga, rasa benci, rasa
gagal, tidak peka, sinis, acuh tak acuh, selalu menyalahkan, kurang toleran, konsep diri rendah.
3. Kelelahan mental (mental exhaustion), misalnya rasa bosan, mudah tersinggung, mengeluh,
meratap, suka marah, tidak peduli dengan orang lain, putus asa.

Anda mungkin juga menyukai