Anda di halaman 1dari 10

DIURETIKA

I.

Tujuan

Memahami efek berbagai dosis diuretika pada tikus

Menghitung persentase volume kumulatif urine

II.

Dasar Teori
Obat-obatan yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine disebut

Diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat transpor ion yang menurunkan reabsorbsi Na+
dan ion lain seperti Cl+ memasuki urine dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam
keadaan normal bersama-sama air, yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan
keseimbangan osmotic. Perubahan Osmotik dimana dalam tubulus menjadi menjadi
meningkat karena Natrium lebih banyak dalam urine, dan mengikat air lebih banyak didalam
tubulus ginjal. Dan produksi urine menjadi lebih banyak. Dengan demikian diuretic
meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya serta komposisi ion didalam urine
dan darah.
Ada beberapa jenis Diuretik, yang sudah dikenal dan sering digunakan dalam
pengobatan klien dengan masalah gangguan cairan dan elektrolit. Jenis-jenis tersebut adalah
Penghambat Karbonik Anhidrase, Diuretik Kuat (loop Diuretik), Diuretik Tiazid, Diuretik
Hemat Kalium, Antagonis ADH dan Diuretik Osmotik ( Mary J Mycek, 2001), (Harian E.
Ives & David G Warnock dalam Bertram G. Katzung 2004).
Mekanisme Aksi Furosemide
Furosemide merupakan loop diuretic, yang mana menginhibisi reabsorpsi air pada
nefron dengan mengeblok sodium-potassium-chloride cotransporter (NKCC2) pada pars
ascendens tebal di lengkung Henle. Furosemide menghambat dengan inhibisi kompetitif pada
binding site klorida di kotransporter (symporter) sehingga terjadi penghambatan menghambat
transpor natrium dari lumen di lengkung Henle ke basolateral interstitium. Dengan demikian,
lumen menjadi hipertonis dan bagian interstisium menjadi kurang hipertonis yang mana akan
menurunkan gradien osmotik untuk reabsorpsi air pada seluruh nefron. Dengan menurunnya
gradien osmotik untuk reabsopsi air, maka jumlah air yang diekskresikan keluar meningkat
(diuresis). Oleh karena bagian pars ascendens tebal melakukan reabsorpsi natrium sebanyak
25% pada keseluruhan nefron,

furosemide dapat dikatakan sangat poten sebagai

antihipertensi (Anonim, 2005). Di samping itu, furosemide juga dapat menyebabkan


1

penurunan potensial positif lumen dari recycle ion K+. Pada keadaan normal, potensial positif
lumen dari recycle ion K+ digunakan untuk reabsorpsi kation divalen seperti Mg2+ dan Ca2+.
Dengan adanya penurunan potensial positif lumen tersebut, maka ion Mg2+ dan Ca2+ akan
lebih cepat diekskresikan. Penggunaan furosemide dalam jangka panjang dapat menyebabkan
hipomagnesemia, namun tidak menyebabkan hipokalsemia karena ion Ca2+ juga direabsorpsi
pada tubulus collectus distal (DCT). Justru pada penyakit hiperkalsemia, loop diuretics dapat
digunakan untuk mempercepat ekskresi Ca2+ (Katzung et al., 2007).

Gambar 3: Penghambatan NKCC2 dengan loop diuretics (Piascik, 2005).


Farmakokinetika Furosemide
Furosemid mencapai transporter Na-K-2Cl yang masuk dalam membrane luminal
dengan secara aktif disekresikan dari darah ke urin pada tubulus proksimal. Pengikatannya
dengan albumin yang tinggi (hingga 95%) meminimalkan filtrasi pada glomerulus.
Pengikatannya yang kuat dengan albumin memerangkap furosemid dalam plasma dan
membawanya ke tempat ekskresi asam organic pada tubulus proksimal. Pompa pengeluaran
ini memiliki aviditas terhadap obat obat loop diuretic sehingga obat obat tersebut lalu diambil
dari albumin dan dibawa melintasi sel ke lumen, dimana furosemid memperoleh akses ke
transporter Na-K-2Cl.
Lima puluh persen dari dosis furosemid diekskresikan sebagai obat utuh, tidak berubah
sampai ke urin; sisanya dikonjugasi dengan asam glukoronat di ginjal. Pada pasien yang
mengalami penurunan fungsi ginjal, waktu paruh furosemid dalam plasma menjadi lebih
lama karena ekskresi urin dan konjugasi ginjal mengalami penurunan.

Secara umum, setengah dari dosis furosemid diabsorpsi tapi dengan rentang yang lebar
(10 100%). Variabilitas ini membuatnya sulit untuk diprediksi berapa furosemid yang
diabsorbsi oleh individu. Secara klinis, artinya farmasis perlu mengeksplorasi lebarnya
rentang dosis ini pada setiap pasien untuk mendapatkan dosis oral yang sesuai.
Waktu paruh dalam plasma untuk bumetanid kurang dari 1 jam, torsemid 3 4 jam, dan
furosemid ditengah tengahnya. Interval dosis tradisional furosemid melebihi waktu durasi
jumlah efektif obat mencapai tempat aksi. Artinya, pada akhir interval dosis ada beberapa
waktu obat berada pada jumlah yang kurang di tempat aksi. Selama itu, nefron menyerap
kembali sejumlah natrium, dan menyebabkan apa yang disebut retensi natrium balik atau
pengereman. Retensi natrium ini menjadi batas yang cukup untuk membatalkan natriuresis.
Hal ini terjadi bila obat tidak ada dalam waktu yang lama dan/atau karena asupan natrium
yang sangat tinggi sehingga konsumsi furosemid harus benar benar teratur.
Secara umum, profil farmakokinetika furosemid adalah sebagai berikut:

Absorpsi
Bioavailabilitasnya 64% dengan tablet dan 60% dengan larutan oral.

Distribusi
Pengikatan oleh protein 91 -99%

Metabolisme
Furosemide dimetabolisme oleh furosemid glukoronida di ginjal

Eliminasi
Waktu paruh kira kira 2 jam; furosemide diekskresikan di urin.

Onset
Untuk P.O 1 jam dan untuk IV 5 menit

Durasi
6 8 jam untuk P.O dan 2 jam untuk IV

Bentuk Sediaan, Dosis, dan Aturan Pakai Furosemide


Tablet atau larutan peroral pada orang dewasa dosis awalnya 40 mg pada pagi hari.
Lalu maintenance dose 20 40 mg perhari.
Pemberian secara injeksi intramuscular atau injeksi intravena dosis awalnya 20 50
mg, jika perlu dinaikkan 20 mg tetapi tidak kurang dari tiap 2 jam. Maksimal 1,5 g perhari.

Efek Samping Furosemide


Hiponatremia, hipokalemia, hipomagnesemia, hipotensi, pusing, ketulian sementara,
ekskresi kalsium meningkat (Depkes RI, 2000)

Hiponatremia, Hipokalemia
Furosemide merupakan loop diuretic, yang mana menginhibisi reabsorpsi air
pada nefron dengan mengeblok sodium-potassium-chloride cotransporter (NKCC2)
pada pars ascendens tebal di lengkung Henle. Oleh karena itu ion natrium, kalium dan
klorida akan banyak yang terbuang sehingga dapat menyebabkan hiponatremia dan
hipokalemia (Katzung et al., 2007).

Hipomagnesemia dan Ekskresi Kalsium Meningkat


Furosemide juga dapat menyebabkan penurunan potensial positif lumen dari
recycle ion K+. Pada keadaan normal, potensial positif lumen dari recycle ion K+
digunakan untuk reabsorpsi kation divalen seperti Mg2+ dan Ca2+. Dengan adanya
penurunan potensial positif lumen tersebut, maka ion Mg2+ dan Ca2+ akan lebih cepat
diekskresikan sehingga dapat menyebabkan hipomagnesemia dan ekskresi kalsium
yang meningkat (Katzung et al., 2007).
Hipotensi dan Pusing
Diuresis menyebabkan reduksi volume plasma dan stroke volume yang mana
menurunkan tekanan darah dan cardiac output. Hipotensi dapat menyebabkan gejala
yang lain seperti pusing (Dipiro et al., 2008).

Interaksi Furosemide dengan Obat Lain

Furosemide + Digoksin
Keadaan hipokalemia akan sehingga akan meningkatkan toksisitas digoksin.

Mekanisme furosemid adalah mengeblok reabsorbsi kalium ke basolateral interstitium


sehingga terjadi peningkatan ekskresi urin yang mengandung kalium. Keadaan ini dapat
menyebabkan hipokalemia. Penggunaan furosemid bersamaan dengan digoksin akan
meningkatkan kepekaan sel-sel otot jantung terhadap digoksin. Secara mekanisme kerja,
digoksin dapat bekerja tanpa adanya kalium. Adanya kondisi hipokalemia ini, menyebabkan
jumlah digoksin yang diperlukan untuk bekerja secara optimal akan meningkat yang mana
akan menimbulkan toksisitas digoksin (Katzung et al., 2007).

Furosemide + Litium
Loop diuretics dapat meningkatkan kadar litium serum dan dapat menyebabkan

toksisitas litium. Penurunan ion natrium yang disebabkan oleh diuresis pada lengkung Henle
akan meningkatkan reabsorpsi natrium dan litium sebagai kompensasi pada tubulus
proksimal. Oleh karena reabsorpsi litium meningkat, maka kadar litium dalam serum
meningkat, menyebabkan toksisitas litium (Anonim, 2012).

Furosemide + Antibiotik Aminoglikosida

Furosemide meningkatkan ototoksik antibiotika aminoglikosida. Ototoksisitas dapat


dihubungkan secara langsung dengan peningkatan konsentrasi plasma pada loop diuretics.
Ototoksisitas obat ini dapat menyebabkan ketergantungan (Katzung et al., 2007).

Furosemide + OAINS
Furosemide berperan dalam sintesis prostaglandin ginjal yang berperan dalam

mekanisme hipotensi renal, sehingga penggunaan OAINS seperti indomethacin dapat


menghambat kerja furosemide dengan menurunkan sintesis prostaglandin ginjal (Katzung et
al., 2007).
III.

Alat dan Bahan

Hewan percobaan: tikus putih jantan, usia kurang lebih 2 bulan


Obat yang digunakan : Larutan Furosemid natrium 1%
Dosis obat : Furosemid natrium 10; 15; dan 20 mg/kgbb (i.p)
Aquadest/NaCl 0,90% yang diberikan secara peroral 50 ml/kgbb
Alat yang digunakan:
Timbangan tikus, alat suntik dan jarum suntik yang sesuai, kandang khusus untuk
pengamatan (metabolic cage/diuretic cage), tabung berskala untuk penampungan urin, kertas
indikator universal.

IV.

Perhitungan Dosis

Golongan R
Furosemid : 15 mg

Vp : 2,4 mg x 1ml = 0,24 ml

Berat tikus : 160 g


Dosis : 160

= 0,16 ml

10 mg
NaCl 0,9%

1000

160

= 0,16 x 15 mg = 2,4 mg

1000

Furosemid : 10 mg
Berat tikus : 170 g
Dosis : 170

x 10 mg = 1,7 mg

x 50 = 8 ml

Vp : 1,7 mg x 1 ml = 0,17 ml
10 mg
NaCl 0,9% : 170

x 50 = 8,5 ml

1000

1000

Furosemid : 20 mg

Vp : 3,3 mg x 1 ml = 0,33 ml

Berat tikus : 165 g


Dosis : 165

x 20 mg = 3,3 mg

1000

V.

10 mg
NaCl 0,9% : 165 x 50 = 8,25 ml
1000

Prosedur

Tikus dipuasakan makan selama lebih kurang 8 jam, minum tetap diberikan

Tikus diberikan air hangat atau NaCl fisiologik secara peroral sebanyak 50 ml/kgbb
kemudian disuntik furosemid.

Tempatkan tikus pada kandang khusus yang tersedia dan tampung urin yang diekskresikan:
catat jumlah urin kumulatif setiap kurun 15 menit selama 1 jam.

Tikus yang mendapat obat furosemid, setelah akhir percobaan diberikan NaCl sebanyak 7 ml
secara peroral.

VI.

Hasil
Golongan R (Hasil 1)

Kelompok

Berat Badan

Vol Aqua

170

Kejernihan
urine
Jernih

160

jernih

3
4

160
165

8
8

jernih

Kelompok
15
1,6
1,4

1
2
3
4
Kelompok

Volume Urine
30
45
2,4
4,3
2,2
1,6
0,8
0,6

pH

Tak
berwarna
Tak
berwarna
bening

6
7
7

Volume Kumulatif Urine


60
0,2
1

Frekuensi urinasi
15
30
45
60
1
2
2
2
1
1
3
1
1
2

1
2
3
4

Warna urine

6,7
5,6
0
3,8
Frekuensi urinasi per jam
3
6
0
7

Golongan (Hasil 2)
Kelompok

Berat Badan

Vol Aqua

1
2
3
4

130
120
130
125

5
6
6,5
6,2

Kelompok
1
2
3
4

15
3,2
2
-

Kejernihan
urine
jernih
jernih
jernih
-

Volume Urine
30
45
3
2
3
1
2,9
1
-

Warna urine

pH

bening
bening
bening
-

7
6
7
7

Volume Kumulatif Urine


60
2
1,2
1,3
-

7
8,4
7,2
-

Kelompok

Frekuensi urinasi
15
30
45
60
2
3
1
2
3
1
1
2
2
1
3
-

1
2
3
4

Frekuensi urinasi per jam


6
7
8
-

Golongan (Hasil 3)
Kelompok

Berat Badan

Vol Aqua

120

Kejernihan
urine
jernih

2
3
4

140
130
150

6
5
6,5

jernih
jernih
-

Kelompok
1
2
3
4
Kelompok
1
2
3
4

15
0,9
1,8
1,9
-

Volume Urine
30
45
2,7
1,4
1,2
2,9
2,2
0,4
-

Warna urine

pH

Tak
berwarna
kekuningan
bening
-

7
7
7,5
-

Volume Kumulatif Urine


60
1,6
1,8
-

Frekuensi urinasi
15
30
45
60
1
2
1
1
1
1
4
2
2
1
2
-

6,6
5,9
6,3
Frekuensi urinasi per jam
5
6
7
-

Presentase volume kumulatif urin tikus yang di ekskresikan :


Volume urin yang diekskresikan dalam jam x 100% =
Volume air yang diberikan per oral

Hasil 1
Kelompok

1
2
3
4

Presentase volume
kumulatif urin tikus
yang di ekskresikan
111,67%
70%
47,5%

Hasil 2
Kelompok

1
2
3
4

Presentase volume
kumulatif urin tikus
yang di ekskresikan
132%
140%
110,76%
- (control)

Hasil 3
Kelompok

1
2
3
4
VII.

Presentase volume
kumulatif urin tikus
yang di ekskresikan
132%
98,34%
126%
- (control)
Pembahasan

Pada percobaan pengujian efek berbagai dosis diuretic yang diujikan pada tikus putih
jantan, usia kurang lebih 2 bulan, menggunakan beberapa dosis furosemid yaitu, furosemid
natrium 10; 15; dan 20 mg/kgbb, obat furosemid konsentrasi dalam larutannya adalah 1%.
Cara pengujian pada tikus adalah tikus dibagi dalam beberapa kelompok, masing-masing
kelompok diberikan dosis larutan furosemid 1% yang berbeda-beda.
Setelah dilakukan nya pengujian diuretic dan dilakukan pengamatan terhadap efek
diuretiknya seperti, frekuensi urinasi, volume kumulatif, warna, kejernihan, pH, pada tikus
putih jantan, maka dapat dihitung persentase volume kumulatif urin pada tikus.
Hasil yang dapat menunjukkan efek positif jika persentasenya melebihi 75% (80%100%) dari volume air yang disediakan. Pada percobaan hasil yang menunjukkan efek positif
9

adalah pada Hasil percobaan yang ke-3, dengan menggunakan dosis furosemid 15 mg/kgbb,
persentase volume kumulatif urinnya 98,34%, Hasil percobaan yang lainnya tidak
menunjukkan efek positif, karena hasilnya ada yang lebih dari 75% (80%-100%), seperti
111,67% (hasil 1), 132%, 140%, 110,76% (hasil 2), 132%, 126% (hasil 3), dan ada yang
kurang dari 75% seperti 47,5%, 70% hasil (hasil 1), padahal dosis furosemid yang digunakan
sudah benar yaitu 10, 15, dan 20 mg/kgbb (iso vol 45), hasil negative itu dikarenakan pada
saat memberikan obat furosemid melalui oral, obatnya kebanyakan tidak masuk semua ke
dalam saluran cerna tikus, karena obatnya ada yang tumpah sedikit, sehingga dosis yang
diberikan kurang tetap, dan menunjukkan hasil yang kurang bagus.

VIII. Kesimpulan
Pada praktikum pengujian efek berbagai dosis diuretic dengan menggunakan larutan
furosemid dengan dosis 10, 15, dan 20 mg/kgbb, dosis yang diberikan sudah benar, karena
dosis furosemid pada manusia adalah sebesar 10, 15, 20, 40, dan 80 mg/kgbb (iso vol 45).
Jika dilihat dari hasilnya sudah ada yang menunjukkan persentase volume kumulatif urin
tikus yang menunjukkan efek positif, namun hasil yang lainnya tidak menunjukkan
persentase yang positif, tetapi jika dibandingkan dengan control, tikus yang diberikan obat
furosemid menunjukkan efek diuretic seperti frekuensi urinasi, dan volume urin kumulatif,
sedangkan pada control tidak menunjukkan adanya frejuensi urinasi dan volume urin
kumulatif pada tikus. Sehingga dapat disimpulkan obat furosemid natrium dengan dosis 10
mg/kgbb, 15 mg/kgbb, dan 20 mg/kgbb dapat menunjukkan efek diuretic pada tikus putih
jantan.

IX.
-

Daftar Pustaka
Depkes RI, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 72, CV. Sagung Seto,
Jakarta.

Dipiro, J.T., et al., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh


Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc., New York, pp. 151-152, 158-159.

Katzung, B., et al., 2007, Basic and Clinical Pharmacology, McGraw-Hill Medical,
New York.

10

Anda mungkin juga menyukai