Makalah Konstipasi Fix
Makalah Konstipasi Fix
DEFINISI
Kata constipation atau konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang
mempunyai arti bergerombol bersama, yaitu suatu istilah yang berarti menyusun ke
dalam menjadi bentuk padat. Dalam menentukan adanya konstipasi terdapat tiga
aspek yang perlu diperhatikan, yaitu frekuensi BAB, konsistensi tinja, dan temuan
pada pemeriksaan fisik.
Pada anak berusia sama atau kurang dari 4 tahun adanya konstipasi
ditentukan berdasarkan ditemukan minimal salah satu gejala klinis berikut, (1)
defekasi kurang dari 3 kali seminggu, (2) nyeri saat b.a.b, (3) impaksi rektum, dan
(4) adanya masa feses di abdomen.
Kriteria untuk anak berusia di atas 4 tahun agak berbeda, digunakan kriteria
sebagai berikut, (1) frekuensi b.a.b kurang atau sama dengan dua kali seminggu
tanpa menggunakan laksatif, (2) dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis
dalam seminggu, dan (3) teraba masa feses di abdomen atau rektum pada
pemeriksaan fisis.
Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan
dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi defekasi kurang
dari tiga kali per minggu dan konsistensi tinja lebih keras dari biasanya.
Konstipasi merupakan defekasi tidak teratur yang abnormal dan juga
pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya sulit dan kadang
menimbulkan nyeri. (Smeltzer and Bare, 2001)
Konstipasi adalah kondisi sulit atau jarang untuk defekasi. Karena frekuensi
berdefekasi berbeda pada setiap individu, definisi ini ersifat subjektif dan dianggap
sebagai penurunan relative jumlah buang air besar pada individu. Pada umumnya,
pengeluaran defekasi kurang dari satu setiap 3 hari yang dianggap mengindikasikan
konstipasi. (Corwin, 2008)
2. KLASIFIKASI
Menurut Hadi (1995) konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Konstipasi simpel (konstipasi yang diakibatkan oleh gangguan fungsi):
Rektal stasis (dyschezia)
Kolon stasis
b. Konstipasi simtomatik (konstipasi sebagai gejala suatu penyakit):
Konstipasi sebagai gejala penyakit akut:
- dehidrasi
- obstruksi intestinal
- apendisitis akut
- post hematamesis
Konstipasi sebagai gejala penyakit kronik:
- kelainan pada traktus gastrointestinal
- kelainan pada pelvis
- penyakit umum di organ lain
3. EPIDEMIOLOGI
Hasil analisis data mendapatkan median usia subyek adalah 36 tahun,
dengan median lingkar perut 81,40 cm (obesitas sentral) dan indeks massa tubuh
24 kg/m2 (kelebihan berat badan). Sedangkan prevalensi konstipasi didapatkan
mulai dari 47,6% (keluhan mengejan saat defekasi) sampai 63,8% (keluhan
gangguan
pencernaan
selama
hari/minggu).
Prevalensi
dari
gangguan
pencernaan fungsional sebesar 52,9% dan ditemukan secara bermakna lebih besar
prevalensi pada subyek yang berusia kurang dari 30 tahun. Tingginya prevalensi
gangguan pencernaan fungsional pada pekerja perempuan perlu segera diatasi
untuk mencegah masalah kesehatan yang akan ditimbulkannya.
Konstipasi sering terjadi pada anak. Loening-Baucke melaporkan prevalensi
konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22,6% sedangkan untuk usia di
bawah 4 tahun hanya memiliki prevalensi kejadian konstipasi sebesar 16%. Pada
studi longitudinal, Saps dkk melaporkan 16% anak usia 9 sampai 11 tahun
menderita konstipasi. Konstipasi yang tersering adalah konstipasi fungsional.
Didapati 90% sampai 97% kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan
suatu konstipasi fungsional.
Konstipasi yang terjadi pada lansia berbeda dengan konstipasi pada usia
muda, sebagian besar problem konstipasi pada lansia berhubungan dengan
penurunan otalitas kolon terbatas ke anorekturo, yaitu berupa kegagalan relaksasi
otot-otot di dasar pinggul selama proses defekasi.(Purba,2003:151)
4. ETIOLOGI
contoh, konstipasi sering terjadi pada orang sakit yang melakukan istirahat
yang panjang.
2) Kelainan anatomi (struktur) : fissura ani, hemoroid, striktur, dan tumor, abses
perineum, megakolon.
3) Kelainan endokrin dan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, DM,
dan kehamilan.
4) Kelainan syaraf : stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple,
lesi sumsum tulang belakang, penyakit Chagas, disotonomia familier.
5) Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, mixed connective-tissue
disease.
6) Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi,
bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium,
senyawa kalsium), calcium channel blockers (verapamil), OAINS (ibuprofen,
diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan
stimulans jangka panjang.
7) Gangguan psikologi (depresi).
b. Konstipasi fungsional(kontipasi simple atau temporer)
1) Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi.
2) Irritabel bowel syndrome
3) Konstipasi dengan dilatasi kolon : idiopathic megacolon or megarektum
4) Konstipasi tanpa dilatasi kolon : idiopathic slow transit constipation
5) Obstruksi intestinal kronik.
6) Rectal outlet obstruction : anismus, tukak rectal soliter, intusesepsi.
7) Daerah pelvis yang lemah : descending perineum, rectocele.
8) Mengejan yang kurang efektif (ineffective straining)
c. Penyebab lain
1) Diabetes mellitus
2) Hiperparatiroid
3) Hipotiroid
4) Keracunan timah (lead poisoning)
5) Neuropati
6) Penyakit Parkinson
7) Skleroderma
8) Idiopatik :Transit kolon yang lambat, pseudo-obstruksi kronik.(ipd)
5. FAKTOR RESIKO
Ada dua faktor besar yang mempengaruhi terjadinya konstipasi, yaitu :
a. faktor fungsional (dikenal juga dengan istilah Irritable Bowel Syndrom atau IBS).
Seperti, gaya hidup dan pola makan. Misalnya bagi mereka yang bekerja di
kantor dan sering menghabiskan waktu dengan duduk dan kurang bergerak.
Pola makan yang kurang baik; di mana jarang sekali mendapat asupan berserat,
bisa menyebabkan konstipasi. Begitu pula, jika sering sekali mengonsumsi
makanan yang tinggi kandungan lemaknya. Kurang minum air juga bisa
menyebabkan kostipasi. Dalam 24 jam, minumlah 8-10 gelas air. Stres yang
terjadi karena beban pikiran pun bisa mengakibatkan konstipasi.
b. faktor organik yang terjadi karena kelainan pada sel syaraf pada permukaan
usus, tempat di mana proses BAB terjadi
6. PATOFISIOLOGI
Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan gejala dari
adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh. Pengobatan pada konstipasi
harus diawali dengan usaha untuk menetapkan penyebabnya. Gangguan pada
saluran pencernaan, gangguan metabolisme atau gangguan sistem endokrin dapat
menjadi hal-hal yang terkait dengan timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya hasil
dari diet rendah serat atau penggunaan obat-obat yang menyebabkan konstipasi
seperti obat-obat golongan opiat. Di samping itu, hal-hal yang berawal dari
gangguan psikis juga dipercaya menyebabkan konstipasi, penurunan kekuatan otot
dinding abdomen dan kemungkinan penurunan aktifitas fisik. Bagaimana pun juga,
frekuensi pergerakan usus tidak berkurang pada usia produktif. Selain itu, penyakit
penyakit yang dapat menyebabkan konstipasi, seperti kanker kolon dan diverticulitis,
akan meningkat kemungkinannya seiring dengan bertambahnya umur (Dipiro et al,
2005).
dosis yang
lebih
besar akan
menyebabkan konstipasi lebih sering. Opiat memberi efek pada seluruh segmen
dari usus, namun lebih nyata pada kolon. Mekanisme umum dari opiat dalam
menghasilkan konstipasi adalah dengan memperpanjang waktu transit pada usus
dengan menyebabkan kontraksi yang tidak mendorong makanan. Mekanisme lain
yang berkontribusi adalah dengan meningkatkan absorpsi elektrolit. Seluruh turunan
opiat diasosiasikan menyebabkan konstipasi, namun tingkat penghambatan fungsi
intestinalnya berbeda. Penggunaan opiat secara oral akan menyebabkan efek
konstipasi lebih besar daripada penggunaan secara parenteral (Dipiro et al, 2005).
Sedangkan obat-obat antikolinergik menghambat fungsi usus dengan aksi
parasimpatolitik pada berbagai bagian dalam saluran pencernaan khususnya pada
kolon dan rektum. Obat-obat antikolinegik ini sangat umum digunakan baik oleh
pasien di rumah sakit maupun pasien rawat jalan. Suatu penelitian menunjukkan
penggunaan
kebutuhan laksatif pada 800 perawatan pasien. Pada pasien dengan umur lebih dari
65 tahun, obat-obat antikolinergik, aspirin, furosemide, ni- troglycerin, dan
amitriptyline dikorelasikan sebagi penyebab konstipasi (Dipiro et al, 2005).
7. MANIFESTASI KLINIS
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah:
(ASCRS, 2002)
1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2. Mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rectum saat BAB
6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
Tonus rectum
Tonus dan kekuatan sfingter
Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
Adakah timbunan massa feses
Adakah massa lain (misalnya hemoroid)
Adakah darah
Adakah perlukaan di anus
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-faktor
resiko penyebab konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit,
anemia yang berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya.
Prosedur lain misalnya anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua
pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, wasir dan
keganasan.
Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang
terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan
adanya massa feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi
kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium
Enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan intensif ini
dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil
dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema, proktosigmoidoskopi,
kolonoskopi) atau fisiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi, menometri,
dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi bisanya dikerjakan pada konstipasi
yang baru tejadi sebagai pprosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum.
Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya
riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi.
Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan
melakukan pemeriksaan radioologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan
zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi,
sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
dewasa
kemungkinan
berhubungan
dengan
kondisi
patologi
kolon.
Sedangkan konstipasi yang telah berlangsung lama (kronis) sejak masa bayi
kemugkinan berhubungan dengan masalah neurologis. Selain itu harus diketahui
pola makan pasien dan atau kebiasaan dalam penggunaan laksatif atau katartik.
a. Pengobatan non-farmakologis
1) Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku
yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya.
Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan pada waktu 5-10 menit
setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk
BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap
terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini.
disarankan setidaknya
mengkonsumsi
10
perharinya. Buah, sayur dan sereal adalah contoh bahan makanan kaya
serat. Selain itu terdapat juga produk obat yang merupakan agen pembentuk
serat
masal
seperti
koloid psylium
4) Pembedahan
Pada beberapa pasien konstipasi tindakan pembedahan diperlukan. Hal ini
karena adanya keganasan kolon atau obstruksi saluran gastrointestinal
sehingga diperlukan reseksi usus. Selain itu pembedahan juga diperlukan
pada kasus konstipasi yang disebabkan oleh pheokromositoma.
b. Pengobatan farmakologis
Pada pengobatan dan
pencegahan
konstipasi
pemberian
agen
pembentuk serat mutlak diberikan. Suatu jenis agen pembentuk serat ini sudah
mencukupi, dan harus digunakan dalam diet harian terutama pada penderita
konstipasi kronis. Kecuali agen difenilmetana dan turunan antrakuinon tidak
boleh digunakan pada terapi rutinitas dasar.
Sedangkan pada pasien konstipasi akut, penggunaan laksatif sewaktuwaktu diperbolehkan. Konstipasi akut dapat dihilangkan dengan pemberian
supositoria gliserin, atau jika kurang efektif dapat juga diberikan sorbitol oral,
difenilmetan atau turunan antrakuinon dosis rendah, atau garam pencahar
(garam magnesium/garam inggris). Namun jika gejala ini tidak hilang dalam
waktu lebih dari 1 minggu maka penderita harus melakukan pemeriksaan lanjut
dan menerima terapi dengan rejimen lain.
Pilihan obat yang dapat digunakan dalam terapi farmakologis konstipasi
adalah:
1) Emolien. Emolien adalah agen surfaktan dari dokusat dan garamnya yang
bekerja dengan memfasilitasi pencampuran bahan berair dan lemak dalam
usus halus. Produk ini meningkatkan sekresi air dan elektrolit dalam usus.
Pencahar emolien ini tidak efektif dalam mengobati konstipasi namun
berguna untuk pencegahan, terutama pada pasien pasca infark miokard,
penyakit perianal akut, atau operasi dubur. Secara umum dokusat relatif
aman, namun berpotensi meningkatkan laju penyerapan usus sehingga
berpotensi meningkatkan penyerapan zat-zat yang berpotensi racun.
2) Lubrikan. Merupakan laksatif dari golongan minyak mineral yang akan efektif
bila digunakan secara rutin. Lubrikan diperoleh dari penyulingan minyak
bumi.
Lubrikan
bekerja
dengan
membungkus
feses
sehingga
dancasathrol.
Bakteri
usus
memetabolismekan
konstipasi.
(Eisenberg, A.1996).
Biasakan pola buang air besar yang teratur setiap hari, misalnya setiap pagi
hari.
Tunggu sampai keinginan buang air besar muncul untuk ke toilet, jangan
terburu-buru dan jangan menunda keinginan untuk buang air besar muncul
untuk ke toilet.
Konsultasikan kedokter anda bila anda tetap sulit buang air besar