Patanjala V3N1 2011 FINAL Isi
Patanjala V3N1 2011 FINAL Isi
WAWACAN BUHAER
KAJIAN STRUKTURAL DAN ANALISIS ISI
Oleh Agus Heryana
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jalan Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung
E-mail: agus.yana17@yahoo.co.id
Naskah diterima: 5 Januari 2011
Abstrak
Wawacan Buhaer adalah sebuah naskah koleksi Balai Pengelolaan Museum
Negeri Sribaduga Provinsi Jawa Barat dan cole Franaise dExtrme-Orient
(EFEO-Jakarta) yang ditulis tangan dengan menggunakan huruf Arab Pegon serta
dalam bahasa Sunda. Teks Wawacan Buhaer berisi mengenai tokoh Buhaer. Buhaer
adalah nama seorang pemuda miskin yang menjadi kaya karena faedah tiga buah
azimat sakti. Tujuan penelitian teks Wawacan Buhaer adalah untuk mengungkap
dan menyosialisasikan nilai budayanya. Guna mengungkap kandungannya, teks
Wawacan Buhaer dikaji dari sudut bidang sastra dengan menggunakan pendekatan
stuktural dan analisis isi. Hasil pengkajiannya memberikan gambaran bahwa di dalam
mencapai cita-cita atau keinginan seseorang harus mempunyai semangat, keteguhan
hati, ketabahan dan kesabaran dalam penderitaan, serta kekuatan atau kemampuan
diri di dalam menanggulangi rintangan atau gangguan.
Kata kunci: naskah, Wawacan Buhaer, kajian stuktural, analisis isi.
Abstracts
Wawacan Buhaer is a manuscript that belongs to Balai Pengelolaan
Museum Negeri Sribaduga, the Province of West Java and cole Franaise
dExtrme-Orient (EFEO), Jakarta. It is written in Arab Pegon with the
Sundanese language. It tells about Buhaer, a poor young man who became
rich because he had three magical amulets. The research tried to reveal and to
socialize its cultural values from literature point of view by means of structural
approach and content analysis. The result gives us view that if we have a desire
then we have to have the strength, either mentally or spiritually, to cope with
any kinds of obstacles.
Keywords: manuscript, Wawacan Buhaer, structural study, content analysis.
2011
A. PENDAHULUAN
2011
2011
Naskah
Wawacan
Buhaer
4
Franaise dExtrme-Orient (EFEO)Jakarta dengan nomor katalog EFEO/
KBN-91 No. Microfilm Ford Foundation:
- 67/KBN.411 a/166 c. Namun perlu
dicatat kondisi naskah masing-masing
menunjukkan ketidaklengkapan dalam
segi halaman. Naskah Museum
Sribaduga halaman pertama tidak ada,
hilang, tetapi isi ceritanya tamat.
Sedangkan naskah EFEO kondisinya
rusak dan isi ceritanya tidak tamat. Kedua
naskah WB tersebut telah dikaji melalui
kajian filologis1 (Heryana, 2010) guna
diperoleh teks naskah yang dapat
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah
akademis.
Perbandingan teks naskah WB
menunjukkan persamaan dan perbedaan
yang tidak mencolok. Hal ini
mengindikasikan kedua naskah tersebut
masih dalam satu versi cerita. Persamaan
yang pokok adalah bahasa, aksara,
susunan cerita, bahan tulisan dari kertas
dan tanda-tanda ejaan sebagaimana
diurai di bawah ini.
Naskah Buhaer ditulis dalam
aksara Arab-Pegon dengan menggunakan
bahasa Sunda masa kini. Tipe hurufnya
kecil-bulat dan lurus yang dapat dilihat
secara kasat mata pada huruf 1 (ra) ,
(wa) H (wa). Di samping itu pemakaian
huruf 3 (sin) tidak konsisten. Kadangkadang ada tanda gerigi pada lengkungan
kepalanya, seperti pada kata: susah
1
Pengertian filologi menurut Pradotokusumo
(2005: 9) adalah cabang ilmu sastra yang objek
studinya secara tradisional memasalahkan variasi
teks. Dalam perluasan artinya, filologi adalah ilmu
bahasa dan studi tentang kebudayaan bangsa-bangsa
beradab seperti yang diungkapkan dalam bahasa,
sastra, dan agama mereka, terutama yang sumbernya
didapat dari naskah-naskah sehingga secara umum
dapat disebut ilmu tentang naskah-naskah. Dalam
pada itu, inti kegiatan filologi adalah penentuan
bentuk teks yang paling dapat dipercaya. Untuk
menyusun kembali teks yang demikian diperlukan
pengetahuan mengenai pengarangnya, kebudayaan,
dan tradisi yang mempengaruhi karyanya (Sutrisno,
1979 : 46-8).
2011
2011
6
dengan penganalisaan karya sastra atau
menurut istilah Sudjiman adalah cerita
rekaan, maka yang terpenting adalah
alur, tema, dan tokoh (1988: 11).
Kekurangan pendekatan struktural dalam
karya sastra lepas dari dunia luar. Seolaholah anak buangan yang tidak tahu lagi
induknya. Oleh karena itulah, untuk
melengkapi kekurangan tersebut, pada
akhir uraian dikemukakan nilai budaya
yang terkandung dalam WB dengan
menggunakan metode analisis isi
(content analysis).
a. Alur Cerita
2011
7
b.Tokoh dan Penokohan
Pradotokusumo (1986: 53)
menjelaskan bahwa tokoh dalam karya
sastra adalah manusia-manusia yang
ditampilkan oleh pengarang dan memiliki
sifat-sifat yang ditafsirkan dan dikenal
pembacanya melalui apa yang mereka
lakukan. Kemudian Rusyana (1979: 128)
lebih menyoroti akan peranan para pelaku
dalam suatu karya sastra, maka ia
berpendapat bahwa pelaku (tokoh) itu
terdiri atas 3 peranan, yaitu: pelaku
utama, pelaku pelengkap, dan pelaku
figuran. Sedangkan Sujiman membedakan
tokoh tersebut menjadi tokoh sentral dan
tokoh bawahan. Tokoh sentral dapat
disamakan dengan tokoh utama atau
protagonis dan tokoh bawahan adalah
tokoh yang tidak sentral kedudukannya
di dalam cerita, tetapi kehadirannya
sangat diperlukan untuk menunjang atau
mendukung tokoh utama (Grimes, dalam
Sujiman, 1988: 19).
Dalam WB, tokoh yang lebih
menonjol adalah tokoh yang berperan
sebagai pelaku utama (tokoh sentral) di
samping pelaku pelengkap (tokoh
bawahan). Peranan Buhaer sebagai
pelaku utama lebih menonjol. Artinya,
seluruh alur cerita mengarah pada pelaku
tokoh utama ini, walaupun perlu
diperhatikan
bahwa
intensitas
kemunculan tokoh utama dalam suatu
cerita bukan salah satu syarat untuk
disimpulkan sebagai tokoh utama. Namun
yang lebih penting adalah bagaimana
peranan para tokoh itu membangun suatu
cerita (Sujiman, 1988: 18).
Penonjolan tokoh Buhaer sebagai
tokoh utama berkaitan erat dengan
maksud penyalin naskah, yakni
memberikan pesan melalui ujaran dan
tingkah laku tokohnya. Umumnya pada
cerita-cerita klasik para tokoh cerita selalu
digambarkan hitam-putih. Tokoh utama
8
selalu dikemukakan orang-orang yang
sempurna dan ideal. Ia selalu berada di
atas kebenaran. Sementara tokoh-tokoh
lawannya (antagonis) digambarkan orang
yang rendah dan tidak berilmu. Gambaran
benar dan salah demikian transparan,
kentara jelas; walaupun pada awalnya
negatif (sengsara, susah) namun pada
akhirnya selalu happy ending (berakhir
dengan kebahagian). Dalam bahasa
filsafat adalah kebenaran pasti
mengalahkan kejahatan.
Di dalam teks Buhaer, tokoh
utamanya bernama Buhaer. Nama
Buhaer berasal dari bahasa Arab yaitu
buhairah yang berarti danau kecil. Pada
konteks WB, Buhaer berarti lelaki kaya
di tengah-tengah orang miskin.
Pengertian nama Buhaer ini ternyata
sesuai dengan gambaran ceritanya,
walaupun pada awalnya digambarkan
tidak semestinya.
Gambaran tokoh Buhaer adalah
seorang anak lelaki berandal yang tidak
berbakti kepada orang tuanya. Perilakuperilaku negatif yang tidak sesuai dengan
norma dan aturan hidup dilakukannya
dengan tanpa penyesalan apa pun.
Mabuk dan judi menjadi pekerjaannya,
bahkan perilaku kasar terhadap
orangtunya pun ia lakukan. Akibat
semuanya itu harus ia bayar dengan
meninggalnya orangtua, sekaligus
menjadikan keluarganya miskin kembali.
Namun, ketulusan orang tuanya, Guna
Sabda yang mewariskan tiga buah jimat,
telah mampu mengubah perilakunya.
Buhaer menjadi orang terhormat,
layaknya sebuah danau kecil yang
memberi manfaat pada alam sekitarnya.
Karakter Buhaer sebagai mantan
preman terlihat pada kekerasan hati,
keberangan sekaligus kebodohannya
untuk mempersunting putri Raja
Melawati. Kekerasan hati ia perlihatkan
197 8
198 9
199 10
2011
9
tokoh-tokohnya. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan suasana
terjadinya peristiwa dalam suatu karya
sastra membangun latar cerita
(Sudjiman,1986: 46). Sebuah nama
Melawati atau Prabu Raden
Suriadipati telah sanggup memancing
kesan pembaca pada situasi latar sebuah
kerajaan masa lampau. Demikian pula
dengan tokoh-tokoh ceritanya yang penuh
dengan kesaktian mandraguna serta
balatentara telah cukup mengarahkan
pembaca pada situasi latar kerajaan.
Sementara itu, Hudson (dalam
Sudjiman,1988:44) membedakan latar
sosial dan latar fisik (material). Latar
sosial mencakup penggambaran keadaan
masyarakat, kelompok-kelompok sosial
dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup,
bahasa dan lain-lain yang melatari
peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan
latar fisik adalah tempat dalam wujud
fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan
sebagainya.
Latar WB adalah sebuah Kerajaan
Melawati yang membawahi 25 daerah
yang dikepalai oleh bupati. Kerajaan
Melawati dikepalai oleh Raja Raden
Suriadipati beserta permaisuri yang
dikaruniai seorang putri bernama
Ratnasari. Kehidupan di kerajaan sudah
barang tentu berkaitan dengan
keberlimpahruahan harta benda dan
pengikut serta kedudukan. Di lain pihak
latar kemiskinan yang dimiliki rakyatnya
dikemukakan melalui tokoh utamanya
(Guna Sabda, Nyi Sainah, dan Buhaer).
Selain itu, kepercayaan animisme dan
penghormatan kepada kaum agamawan
terlihat jelas pada peran jimat dan
samaran orang Arab. Jadi, naskah WB
dilatarbelakangi perbedaan latar sosial
dan adat istiadat masa itu.
10
Tinjauan budaya atas WB
menunjukkan adanya percampuran empat
kebudayaan. Unsur kebudayaan Hindu,
Islam, Jawa dan Eropa dapat dijumpai
pada beberapa peristiwa dan pemakaian
bahasanya. Kepercayaan pada jimat
yang merupakan senjata andalan tokoh
cerita serta mantera-mantera yang
digunakan menunjukkan sinkretisme
antara unsur Hindu dan Islam. Di
samping itu, pemakaian beberapa kata
atau kalimat dalam bahasa Indonesia
(Melayu) dan Jawa serta pola pikir yang
berbeda dengan wawacan pada
umumnya bisa dikaitkan adanya unsur
budaya Jawa dan Eropa.
d. Tema
2011
11
12
Jimat suling, jimat kopiah, dan jimat
cincin adalah tiga serangkai jimat yang
dihuni oleh makhluk halus yaitu jin. Jimat
suling merupakan rumah dua orang raja
jin, sedangkan jimat cincin dihuni patih jin.
Namun dalam jimat kopiah tak jelas
dikemukakan secara eksplisit siapa
penunggunya. Ketiga jimat ini memiliki
kekuatan gaib bagi siapa saja yang
memilikinya tanpa kecuali. Penyebutan
nama jin atau ejin tentu saja sebagai
sebab pengaruh agama Islam yang
berkembang masa itu. Sedangkan
kepercayaan pada kekuatan jimat
bukanlah berasal dari Islam, bahkan Islam
melarang keras terhadap kepercayaan itu.
Guna Sabda dan Buhaer Kecil
sebagai pemilik sekaligus pengguna
ketiga jimat itu menjadikannya sebagai
benda untuk meminta-minta. Dengan
kalimat lain cara mudah menyelesaikan
masalah adalah menggunakan jimat yang
dimilikinya. Oleh karena itulah, mudah
dipahami apabila tokoh Guna Sabda
digambarkan sebagai tokoh pemalas yang
kerjanya hanya meminta-minta kepada
jimat. Secara logika tindakan Guna Sabda
berbuat demikian dapat dibenarkan
dengan asumsi bahwa jika jimat suling
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
tanpa bekerja, buat apa bekerja?
Bukankah bekerja itu untuk memperoleh
penghasilan yang selanjutnya dibelanjakan
untuk memenuhi berbagai keperluan dan
kebutuhan hidup manusia? Pola pikir
semacam ini mungkin merata di kalangan
orang-orang yang sudah kaya dan
berpaham pragmatis. Namun demikian,
cerita Guna Sabda ternyata tidak berakhir
dengan kebahagiaan. Ia meninggal
karena memikirkan putranya yang
berkelakuan berandalan. Kekayaan yang
dimilikinya belum cukup membahagiakan
hatinya.
2011
13
2011
14
neda dua tuang putra bade nyusul
(mohon doa putramu akan menyusul perang). Demikian pula pada peristiwa
lain (VI Kinanti 11) Buhaer meminta doa
ibunya untuk mengikuti sayembara
menyembuhkan keluarga raja.
Keberhasilan Buhaer mencapai
cita-cita menikahi putri raja tidak lantas
membuat dirinya berubah tabiat. Ia tidak
malu membawa isterinya mengunjungi
sekaligus memboyong ibunya di desa.
Inilah bakti seorang anak kepada ibunya.
Keberhasilan menggapai cita-cita,
hakikatnya disebabkan kekuatan doa
orang tuanya.
e. Peran dan Fungsi Jimat
2011
15
Tabel
Peran dan Fungsi Jimat
No
1
Pelaku
Guna Sabda
Nama Jimat
Suling
(dua raja jin)
Peristiwa / Peran
Tujuan / Fungsi
Buhaer
Suling
Mengamen di emper
(II.16)
Meminta harta
benda / kekayaan
Buhaer
Suling
Melamar
Ratnasari
Suling
Membuang
Buhaer ke
puncak gunung
Buhaer
Cincin
Pulang ke
rumah,
Menyatroni istana
(III.2630)
Ke puri putri
Membuang
Buhaer ke hutan
Buhaer
Kopiah
Menghilang
Ratnasari
Suling
Buhaer
10
Buhaer
Buhaer mengobati
keluarga kerajaan (IXX)
11
Buhaer
Kopiah
Menyerang prajurit 25
negara (XI.12)
Memenangkan
peperangan
12
Buhaer
Suling
Penangkapan para
pemimpin pemberontak
yaitu 25 negara (XII.9)
Mengalahkan
musuh
13
Buhaer
Cincin
Menghancurkan
lawan
16
Apakah hal ini kelebihan sastra
yang dapat menjungkirbalikkan fakta dan
kenyataan? Ataukah suatu kelemahan?
Pada dunia sastra, hal-hal yang mustahil
terjadi pada dunia nyata justru mendapat
tempatnya, bahkan menjadi bumbu
penyedap. Siapa percaya Buhaer
mempunyai kuda sembrani yang terbang
bagai kapal terbang dan siapa pula
percaya sebuah suling
dapat
memporakporandakan wadyabalad
pemberontak dalam tempo singkat?
Apapun alasannya, akal sehat akan
membantahnya. Peranan akal tampaknya
dilecehkan sedemikian rupa, semisal kita
mendengarkan dongeng anak sebelum
tidur. Cerita jengkerik sebesar gunung atau
seorang bocah menaklukkan raksasa
dengan sekali tebas pedangnya atau
perang tanding dengan atraksi senjata
pusaka nan ampuh dari para tokohnya
adalah santapannya, situasi demikianlah
yang ada dalam teks cerita WB ini.
Seorang tokoh belum lengkap
apabila tidak disertai berbagai kesaktian
yang dapat menimbulkan kehebatan atau
keluarbiasaan. Suling yang dihuni oleh raja
jin, cincin yang dihuni oleh patih jin serta
kopiah yang membuat hilang di hadapan
seseorang merupakan atribut yang
melekat pada seorang tokoh. Penyertaan
atribut tersebut bukanlah tanpa makna.
Di dalamnya terkandung pesan seseorang
yang ingin dihormati dan diakui
eksistensinya haruslah memiliki sesuatu
yang lebih dari orang lain.
Saat Buhaer melawan tantangan
perang melawan 25 bupati, hanya ia
sendiri yang melayaninya. Ia menampik
bantuan raja dan patih Melawati. Ia yakin
akan kemampuan senjata andalannya,
yaitu jimat. Jimat menjadi tumpuan bukan
strategi atau siasat yang dirundingkan.
Semuanya diserahkan sepenuhnya pada
jimat miliknya. Seolah-olah jimat
2011
2011
17
_____. 2005.
Pengkajian Sastra. Jakatra:
Gramedia.
Rosidi, Ajip. 1966.
Kesusastraan Sunda Dewasa
ini. Cirebon: Tjupumanik
_____. 1983.
Ngalanglang Kasusastraan
Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
_____. 1986.
Deungkleung
Dengdek.
Bandung: Angkasa.
Rusyana, Yus.1969.
Galuring
Sastra
Sunda.
Bandung: tp.
Rusyana, Yus. Dan Ami Raksanagara.
1980.
Puisi Guguritan Sunda. Jakarta:
Pusat
Pembinaan
dan
Pengembangan Bahasa.
Sudjiman, Panuti.1984
Kamus Istilah Sastra. Jakarta:
Gramedia.
_____. 1988.
Memahami Cerita Rekaan.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Sukada, Made.1987.
Pembinaan Kritik Sastra
Indonesia. Bandung: Angkasa.
Sumardjo, Jakob.1984.
Memahami
Kesusastraan.
Bandung: Alumni.
Sutrisno, Sulastin. 1883.
Hikayat Hang Tuah. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Teeuw, A. 1982.
Khasanah Sastra Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
_____. 1984.
Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
18
Abstrak
Pondok pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam secara tradisional
yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Seiring dengan
perkembangan zaman, pondok pesantren tradisional berubah menjadi pondok
pesantren modern dengan tidak meninggalkan agama sebagai pijakan. Salah satunya
pesantren tradisional yang berkembang menjadi pesantren modern adalah Pesantren
Miftahul Huda Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini diharapkan dapat
mengungkap sejarah perkembangan Pesantren Miftahul Huda. Pengungkapan sejarah
Pesantren Miftahul Huda dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yaitu:
heuristik, kritik, intepretasi, dan historiografi. Dengan demikian, pondok pesantren
sekarang ini tidak hanya mengajarkan ilmu keagamaan saja tetapi ilmu pengetahuan
dan masalah keduniawian. Oleh karena itu, pondok Pesantren Miftahul Huda
mempunyai tiga peranan penting, yaitu: sebagai lembaga pendidikan Islam,
pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan masyarakat.
Kata kunci: pondok, pesantren, Miftahul Huda.
Abstract
Pondok Pesantren ia as an Islamic educational institution that lives and
grows within a society. As the time goes by pesantren gradually left its traditional
style behind, turning into a more modern one without leaving religion as the
basis of their educational system. One of which is Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. This research tries to study the history of
the Pesantren by using methods used in history: heuristics, critique,
interpretation, and historiography. The result is that today pesantren is also
teach general sciences as well as religious ones. Therefore Pesantren Miftahul
Huda has three important roles: as Islamic educational institution, as a place
for developing social and human resources.
Keywords: pondok, pesantren, Miftahul Huda.
2011
19
A. PENDAHULUAN
20
(Yacub, 1984: 66-67). Lembaga
pendidikan ini lebih banyak beroperasi di
pedesaan daripada di kota-kota apalagi
di kota besar.
Pada akhir abad ke-19
perkembangan pesantren digambarkan
berkembang sangat pesat yang dicirikan
dengan bertambah banyak umat Islam
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Ada
beberapa ulama yang berasal dari Jawa
seperti Syekh Nawawi dari Banten,
Syekh Mahfudz dari Pesantren Tremas
menjadi staf pengajar tetap di Masjidil
Haram Mekah. Mereka itu diakui
kebesarannya di Timur Tengah. Banyak
pondok pesantren ketika itu yang telah
mapan dan kuat (Yacub, 1984: 67).
Eksistensi pondok pesantren pada
suatu kawasan tertentu berbeda sekali
jika dibandingkan dengan adanya sekolah
lanjutan pertama/lanjutan atas lainnya
yang juga ada di daerah itu. Walaupun
sekolah lanjutan nonpesantren itu
dilengkapi dengan asrama pelajar dan
perumahan guru pengaruhnya terhadap
warga masyarakat di sekitarnya tetap
berbeda. Pada umumnya kontak lahir
batin antara warga pondok pesantren
dengan masyarakat di sekitarnya lebih
bergema dan mesra ketimbang hubungan
antara sekolah nonpesantren dengan
penduduk di sekelilingnya (Yacub,
1984:67). Malahan banyak pondok
pesantren yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari masyarakat di kawasan
tersebut. Hal ini dapat saksikan sendiri
pada Pondok Pesantren Miftahul Huda,
Manonjaya Tasikmalaya.
Sejak awal keberadaannya sampai
sekarang dan masa-masa yang akan
datang, pondok pesantren, selain
berfungsi sebagai lembaga pendidikan
keagamaan, juga berperan sebagai pusat
pengembangan masyarakat dan pusat
pengembangan Sumber Daya Manusia
(Departmen Agama, 2001: 2).
2011
2011
21
b.
22
dengan keahliannya pemimpin pondok
pesantrennya.
Setelah menimba ilmu agama Islam
di berbagai pesantren, Choer Affandi
pada tanggal 7 Agustus 1967 mendirikan
Pondok Pesantren Miftahul Huda terletak
di Kedusunan Pasirpanjang, Desa
Kalimanggis, Kecamatan Manonjaya,
Kabupaten Tasikmalaya. Di Desa
Kalimanggis terdapat enam buah Pondok
Pesantren dan enam buah Madrasah
Diniyyah. Pondok Pesantren Miftahul
Huda sendiri berada dalam satu komplek
yang terpisah dari perkampungan
penduduk.
Uwa Ajengan (sebutan akrab KH.
Choer Affandi), pendiri Pondok Pesantren
Miftahul Huda sengaja membuat komplek
Pesantren terpisah dari perkampungan
penduduk agar dapat mengawasi santri
dari pengaruh-pengaruh luar dan
dihubungkan dengan jalan aspal sepanjang
200 meter ke arah selatan.
Perlu dijelaskan ketika Pondok
Pesantren Miftahul Huda ini didirikan,
jalan ini hanya berbentuk pematang
sawah dan pada tahun 1980-an atas
bantuan bupati jalan tersebut diaspal.
Pada tahun 1992 jalan tersebut diperbesar
secara swadaya. Sebelah barat Pondok
Pesantren adalah Kampung Cisitukaler,
yang dihubungkan oleh jalan setapak
melalui kebun salak dan kolam ikan
sepanjang 300 meter. Sebelah timur dan
selatan adalah pesawahan yang cukup
luas. Sebagian besar sawah tersebut milik
Pondok Pesantren Miftahul Huda.
Pondok Pesantren Miftahul Huda
secara harfiyah berarti kunci petunjuk.
Nama ini diberikan oleh Uwa Ajengan
untuk menggambarkan harapannya agar
pondok pesantren yang dikelolanya dapat
mencetak orang-orang yang saleh dan
para ajengan (sebutan kiai di daerah
Sunda) yang nantinya dapat memberikan
2011
2011
23
Manonjaya. Sekarang daerah tersebut
terlihat lebih religius. Dahulu jangankan
ada masjid, memakai kain sarung saja
ditertawakan. Sekarang di daerah
tersebut, misalnya Rancapasung, sebuah
perkampungan petani memiliki Masjid dan
Madrasah yang dikelola oleh Alumnus
Pondok Pesantren Miftahul Huda.
Sementara di beberapa tempat lain
terdapat pengajian yang dikelola oleh
santri senior Miftahul Huda. Dengan
demikian proses Islamisasi (Baca:
Santrinisasi, meminjam istilah Geertz)
berjalan tanpa peran langsung Uwa
Ajengan. Sedangkan di bagian baratnya
adalah para ningrat Sukapura yang
umumnya mempertahankan kultur
feodalisme (Progress Report, 2009: 2-3).
Pada tahun ini juga, Pesantren
Miftahul Huda mencatatkan diri sebagai
yayasan yang bernama Yayasan
Pesantren Miftahul Huda (YAMIDA)
dengan akte notaris Riono Roeslam No:
34/PN/76/AN. Berhubung banyak
pendirinya yang telah meninggalkan
pesantren (waktu itu pengurusnya ada
dari kalangan santri senior), maka akte
ini diperbaharui pada tanggal 27 Juni 1987
di hadapan notaris Tuti Asijati Abdul Ghani
SH. (Progress Report, 2009: 3)
Secara bertahap, Pesantren
Miftahul Huda berusaha membeli tanah
di sekitarnya. Beberapa ratus tumbak
diperoleh dari ayah mantan Kades Komar
yang masih tinggal di dalam komplek
Pesantren Miftahul Huda. Semula ayah
mantan Kades Komar menolak untuk
menjual tanahnya, namun berkat
pertolongan dari Allah SWT, Uwa
Ajengan dapat meyakinkannya bahwa
tanah tersebut sangat dibutuhkan oleh
Pesantren Akhirnya ia bersedia untuk
menjual tanahnya dan sebagian hartanya
diwakafkan untuk keperluan-keperluan
Pesantren Miftahul Huda.
24
Obsesi Uwa Ajengan untuk
memperluas tanah tidak semuanya
tercapai, karena beberapa pemilik tanah
tersebut tidak mau menjual tanahnya
meskipun Uwa Ajengan bersedia untuk
membayar tanah tersebut dengan harga
yang tinggi. Menurut mereka, makna
tanah warisan jauh lebih berarti
dibandingkan dengan uang dan alasan
keagamaan. Tanah warisan mereka patut
dijaga dan diurus. Selain itu menurut
mereka tanah warisan tersebut untuk
mengenang masa-masa lalu hidupnya.
Dengan tetap memiliki tanah tersebut
berarti masih menghormati peninggalan
orang tua mereka, serta tetap mengenang
masa lalu yang dihabiskan di tanah
tersebut.
Dana untuk pembelian tanah-tanah
yang sekarang digunakan untuk Pesantren
Miftahul Huda adalah dari kas Pesantren.
Akan tetapi umumnya pembelian tanah
selalu diiringi dengan mobilisasi dana,
misalnya tanah di bagian barat, Pesantren
memobilisasi dana dari para orang tua/
wali Santri sebesar Rp 5.000.-(lima ribu
rupiah) per orang. Di samping itu,
pengasuh Pesantren juga mencari jalan
keluar dengan mengirim permohonan
bantuan untuk simpatisan dan para
donatur.
Saat ini, Pesantren Miftahul Huda
mempunyai tempat tersendiri seluas + 8
hektar persegi yang terdiri atas 18
asrama (10 asrama putra, 8 asrama putri),
masing-masing berlantai dua yang
berukuran kurang lebih 20 x 40 M2, 13
rumah Dewan Kiai yang memisahkan
antara asrama putra dan asrama putri,
sebuah masjid megah yang berukuran 40
x 50 m2 berlantai II, TUT, Poskestren,
Studio RASIMUDA (Radio Siaran
Miftahul Huda), Kantor Hamida, Ruang
Musyawarah (Gedung Serbaguna),
Madrasah Diniyyah, Ruang Perpustakaan,
2011
2011
25
sebutan kiai atau ajengan. Asrama untuk
para santri dalam lingkungan kompleks
pesantren bersama-sama dengan tempat
tinggal kiai, masjid untuk beribadat, ruang
untuk belajar dan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang lain. Kompleks
pesantren biasanya dikelilingi dengan
tembok untuk dapat mengawasi keluar
dan masuknya para santri sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Di Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya terdapat bangunan utama
yang terdiri atas masjid, rumah kiai,
tempat belajar (madrasah), pondok
wanita, dan pondok laki-laki.
c. Masjid
26
aktivitas administrasi dan kebudayaan.
Bahkan pada masa sekarang pun masih
ada kiai atau ajengan yang mengajar atau
memberikan wejangan dan anjuran
kepada murid-muridnya di masjid
(Dhofier, 1982: 49).
Di Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya terdapat sebuah masjid yang
cukup besar dan permanen berukuran 40
x 50 m2 berlantai 2, letaknya berada di
tengah kompleks pesantren.
d. Madrasah
Perubahan-perubahan yang
dialami oleh umat Islam Indonesia pada
awal abad ke-20 merupakan akibat
adanya gerakan pembaharuan.
Perubahan tersebut terjadi juga di Pondok
Pesantren Miftahul Huda Manonjaya,
terutama dalam bidang pendidikan,
khususnya sistem klasikal (madrasah).
Sekolah agama Islam (modern) dengan
sistem klasikal dan pengajaran di
dalamnya telah tersusun dalam kurikulum
(Yakub, 1984: 65).
Pada tahun 1967, Choer Affandi
membangun madrasah berukuran 30 x 8
m dan terbagi menjadi lima kelas. Setelah
beberapa waktu, masjid dan pondok santri
pun dibangun secara bertahap.
Pembangunan sarana fisik semakin
diperluas sejalan dengan semakin
banyaknya santri yang bermukim. Suatu
ciri khas cara pendirian gedungnya adalah
hampir seluruhnya dilakukan kiai dan
para santrinya dan dibantu oleh penduduk
sekitar.(Prasodjo et al., 1999: 6).
e . Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Kitab-kitab Islam klasik, terutama
karangan-karangan ulama yang
menganut paham Syafiiyah (madzhab
Imam Syafii) merupakan bahan
pengajaran formal yang diberikan di
lingkungan pesantren. Rupanya paham
2011
2011
27
Tasikmalaya. Pada umumnya, mereka
selain berstatus sebagai santri juga
sebagai pelajar atau mahasiswa, seperti
Pesantren Cipasung, Pesantren
Sukamanah, Pesantren Cintawana, dan
lain-lain. Jumlah santri di Pesantren
Miftahul Huda Manonjaya tahun 2009
seluruhnya berjumlah 1.976, dengan
perincian 1.327 santri putera dan 649
santri puteri yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia, di antaranya dari
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,
DKI Jakarta, Bandung, Sumatera,
Lampung, dan lain-lain.
Kegiatan lain yang dilakukan,
selain pengajian para santri, juga
dilakukan pengajian rutin untuk
penduduk sekitar dan alumni pesantren.
Pengajian ini dilaksanakan setiap malam
Kamis yang dihadiri tidak kurang dari
3.000 orang, sedangkan pengajian
Selasa pagi dihadiri kurang lebih 1.500
orang. Bentuk pendidikan lain yang
diberikan kepada para santri di
Pesantren Miftahul Huda Manonjaya
adalah berupa pelatihan pertanian,
peternakan ikan dan pertukangan.
Khusus bagi santri puteri diberikan
pelatihan PKK, merias pengantin dan
dekorasi.
3. Tujuan Pendidikan Pesantren
Miftahul Huda
28
a. Mencetak pribadi muslim yang
bertawakal kepada Allah SWT.
b. Mencetak Imam al-Muttaqin
(Sponsor manusia bertaqwa).
c. Mencetak Ulamaal-Amilin (Ulama
yang mengamalkan ilmu).
d. Terampil dalam membangun, agar
kelak tidak menggantungkan diri
kepada orang lain.
e. Mencegah adanya manusia jahat yang
timbul dari tidak adanya keimanan,
kebodohan dan kesombongan, yang
positif dapat merugikan negara
(Progress Report, 2009: 5).
Rumusan tujuan Pesantren ini
disusun pada saat mendirikan Pesantren
Miftahul Huda yang ada sekarang,
sedangkan saat mendirikan pesantren
sebelumnya Choer Affandi tidak
merumuskan tujuan tersebut secara
tertulis. Esensi dari kelima tujuan di atas
merupakan cita-cita dari para ulama dan
kiai di pesantren, hanya saja di antara
mereka ada yang berani mengatakan dan
ada pula yang tidak berani
mengatakannya, sedangkan Choer
Affandi sendiri termasuk orang yang
berani mengungkapkan tujuan tersebut.
Kelima poin di atas disusun secara
saksama, yang masingmasing poin
mempunyai sasaran dan target tersendiri
yaitu sebagai berikut:
a. Mencetak pribadi muslim yang
bertaqwa kepada Allah SWT.
maksudnya adalah pribadi muslim
yang mengamalkan ajaran Islam
secara konsekuen. Oleh karena hal
tersebut di atas, bagi para santri
Pondok Pesantren Miftahul Huda
dituntut dapat mengamalkan ajaran
ajaran agama Islam, kemudian
memberikan pengajaran dan
tuntunan, pendidikan (Warahan dan
Asuhan) serta memberikan sangsi
secara langsung. Sebagai contoh,
2011
2011
29
Ibtida (tingkat pemula), Tsanawy (tingkat
menengah), Mahad Aly (tingkat atas).
Masing-masing tingkatan ini
kemudian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu
kelas 1, kelas 2, dan kelas 3, sedangkan
untuk Mahad Aly dititikberatkan untuk
mengajarkan kembali pelajaran-pelajaran
yang sudah dipelajarinya (praktik
mengajar dan mengurus keorganisasian
pesantren) juga lebih ditekankan untuk
memperdalam keilmuan.
Kurikulum yang digunakan adalah
kurikulum yang disusun oleh Choer
Affandi dan dibantu para Dewan Kiai,
kitab-kitab yang dipelajarinya adalah
kitab-kitab Islam klasik karya para ulama
salaf. Secara garis besar kurikulum
Pendidikan Pesantren Miftahul Huda
lebih diarahkan pada enam bidang
pemahaman yaitu:
a. Pemahaman tentang pengetahuanpengetahuan kebahasaan dan logika,
yaitu bahasa Arab, yang disebut ilmu
Gremer (Greammer) dan Manthiq.
Adapun kitab yang digunakan untuk
pemahaman
dalam
bidang
kebahasaan di antaranya: kitab
Jurumiyah, Shorof Kailani,
Amtsilatul Tasrif, Imriti, Alfiyah
Ibnu Malik, Samarkondy.
b. Pemahaman
dalam
bidang
pengetahuan aqidah tentang
penekanan pada aspek ketauhidan,
kitab yang digunakan di antaranya:
Kitab Tijan Addaruri, Kifayatul
Awam, Khulasoh Ilmu Tauhid,
Majmuatul Aqidah, Jauhar
Tauhid, Ummul Barohin, Khoridatul
Bahiyah, dan Aqidah Islamiyyah.
c. Pemahaman dalam bidang syariah
tentang penekanan pada aspek
pengamalan ibadah dan muamalah
(Fiqih), kitab yang digunakan antara
lain: Kitab Safinah, Riyadaul
Badiah, Fathul Qorib, Fathul
30
Wahab,
Fathul
Muin,
Ianatuttholibin, dan Kifayatul
Akhyar.
d. Pemahaman dalam bidang Ushul
Fiqih, kitab yang dipergunakan antara
lain: Kitab Waroqot, Lathoiful
Isyaroh, Wushul, Jamul Jawami,
dan Asybah Wannadzoir.
e. Pemahaman dalam bidang Hadits dan
Tafsir, kitab yang dipergunakan adalah:
Kitab Arbain Nawawi, Riyadus
Sholihin, Tafsir Jalalen, Bukhory,
Shohih Muslim, dan Tafsir Ibnu
Katsir.
f. Pemahaman dalam bidang Akhlak dan
Tasauf yang penekanannya pada
aspek perilaku, kitab yang
dipelajarinya antara lain: Kitab
Akhlakul lil Banin, Sulamuttaufiq,
Talimul Mutaalim, Alajul Amrod,
Kifayatul Atqiya, Syubul Iman,
Nashoihul Ibad, dan Al-Hikam
(Progress Report, 2009: 6).
Santri yang sudah menduduki
tingkat Mahad Aly diberikan pelajaran
tambahan yang dapat memberikan
kontribusi terhadap materi pelajaran
pokok seperti ilmu Tarikh (ilmu Sejarah),
ilmu Arud Qowafi, dan ilmu Falak.
Selain kurikulum inti pengajaran di atas,
terdapat pula pelajaran ekstra kurikuler
yang meliputi keorganisasian, kegiatan
keterampilan seperti pertukangan,
peternakan,
pertanian,
dan
kewirawastaan.
Dalam menyampaikan proses
belajar mengajar, Pondok Pesantren
Miftahul Huda menerapkan tiga sistem,
yaitu:
a. Sistem Studi Individu (sorogan),
dilakukan sesudah Sholat Shubuh,
yang disentralkan di mesjid Miftahul
Huda. Dalam kegiatan ini para santri
2011
Miftahul
Huda
sebagai Lembaga
31
Kabupaten Tasikmalaya. Semula pondok
pesantren ini merupakan sebuah
pesantren yang sederhana dan sistem
pendidikannya masih bersifat tradisional.
Perkembangan Pondok Pesantren
Miftahul Huda dari tahun ke tahun makin
pesat dan sistem pendidikan pun berubah
dari sistem tradisional menjadi modern.
Pesantren Miftahul Huda sebagai
lembaga
keagamaan
selalu
mengupayakan agar para santrinya
mampu ber-akhlakul karimah dan
mendapat ilmu yang bermanfaat yang
dituangkan dalam tiga program pesantren,
yaitu: Ulama al Amilin (ulama yang
mampu mengamalkan ilmunya), Imam al
Muttaqin (memimpin ummat untuk
bertaqwa), dan Muttaqin (Manusia yang
bertahan dalam ketaqwaan).
Di samping itu, Pesantren
Darussalam menggalakkan semangat
gotong royong di kalangan santri dan
masyarakat sehingga tercipta satu
masyarakat yang saling tolong menolong,
saling mencintai, dan saling menghormati.
Dengan demikian, Pondok
Pesantren Miftahul Huda sebagai
lembaga keagamaan dan pendidikan
telah proaktif dalam memajukan dan
mencerdaskan kehidupan berbangsa,
khususnya umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
32
Dhofier, Zamakhsyari. 1983.
Tradisi Pesantren: Studi
tentang Pandangan Hidup
Kiai. Jakarta: LP3ES.
Fazari, K.H. Mahdar. 1996.
Ikhlas Mengabdi, Biografi
Uwa Ajengan K.H. Choer
Affandi. Tasikmalaya: Yayasan
Pesantren Miftahul Huda,
Manonjaya.
Hasbullah. 1999.
Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan.
Jakarta. Lembaga-lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan
(LSIK),
Hasymy, A. 1993.
Sejarah
Masuk
dan
Berkembangnya Islam di
Indonesia. Medan: Almaarif.
2011
33
Abstrak
Upacara tradisional merupakan kegiatan upacara yang berhubungan dengan
tradisi berbagai macam peristiwa pada masyarakat yang bersangkutan. Upacara
tradisional juga bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya. Oleh
karena itu, upacara tradisional dapat mengikat rasa solidaritas warga dan memiliki
nilai-nilai penting sebagai pedoman perilaku masyarakatnya. Namun, bukan tidak
mungkin upacara itu satu demi satu tersingkirkan. Di antaranya upacara dirasakan
tidak lagi bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya. Kekhawatiran tersebut
mendorong perlu dilakukannya penelitian upacara tradisional, agar masyarakat
terutama para generasi muda bisa tetap mengetahui tinggalan leluhur. Salah satu
upacara tradisional yang masih berlangsung adalah upacara Siraman dan Ngalungsur
Geni di Desa Dangiang, Kec. Banjarwangi, Kab. Garut. Upacara ini bertujuan untuk
menghormati leluhur dengan ziarah ke makamnya dan memelihara tinggalan leluhur
berupa benda keramat milik leluhur yaitu keris, golok, dan meriam. Penelitian ini
bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang melihat pada aspek
nilai dan konsep berpikir pada masyarakat tersebut, serta penggalian data melalui
observasi dan wawancara.
Kata kunci: upacara tradisional, upacara Siraman dan Ngalungsur Geni.
Abstract
Traditional ceremony is a kind of ceremony that has something to do
with the society in question. It is also an integral part of the culture of the
society itself. Therefore, traditional ceremony can make a bond within members
of the society and has valuable meaning as guidance for the behaviour of the
members of the society itself. Yet, the ceremonies are vanished one after another.
The reason is that the society does not think they are useful enough for them.
This research is based on that condition, hoping that young generation will
preserve this legacy. Upacara Siraman and Ngalungsur Geni are ones that are
still conducted in Desa Dangiang Kecamatan banjarwangi, Kabupaten Garut.
These two traditional ceremonies are intended to give honour to the ancestors
by visiting their tombs and preserving their legacy such as sacred things like
kris, machete, and canon. This is a descriptive research with qualitative
approach, seeking aspects of values and the societys concept of thinking. Data
are obtained through observation and interview.
Keywords: traditional ceremony, Upacara Siraman and Ngalungsur Geni.
2011
34
A. PENDAHULUAN
2011
35
36
Bawa dan benda-benda pusaka
peninggalannya, dianggap keramat dan
dihormati sebagai tokoh suci dan bendabenda pusaka yang mempunyai pengaruh
besar pada mayarakatnya. Latar
belakang sejarah hidupnya dalam
membuka pertama kali Desa Dangiang,
telah mengokohkan kepercayaan
masyarakat setempat, akan tuah dan
keramat makam leluhur serta bendabenda peninggalannya. Sebagai bentuk
penghormatan, maka dilakukan upacara
yang disebut dengan Ngalungsur Geni,
yakni upacara meneruskan (mewarisi)
kesaktian benda-benda pusaka milik
leluhur, sekaligus sebagai penghormatan
kepada leluhur sebagai cikal bakal pendiri
Desa Dangiang.
Desa Dangiang merupakan salah
satu desa dari wilayah Kecamatan
Banjarwangi, Kabupaten Garut.
Kecamatan Banjarwangi terdiri atas tiga
desa yakni Desa Banjarwangi, Desa
Dangiang, dan Desa Wangunjaya.
Adapun Desa Banjarwangi terdiri atas
Desa Banjarwangi, Talagasari, dan
Padahurip. Desa Dangiang terdiri atas
Desa Ciparamatan, Cikajang, Bojong,
dan Girijaya Bakti. Sedangkan Desa
Wangunjaya terdiri atas Desa
Wangunjaya, Talagajaya, Mulyajaya, dan
Tanjungjaya.
Desa Dangiang berada di bagian
selatan Kabupaten Garut, yang berjarak
kurang lebih 60 km dari daerah kabupaten
dan 11 km dari kecamatan. Jika ditempuh
dengan perjalanan bermotor, dari
Kabupaten Garut memakan waktu
kurang lebih 2 jam dan dari kecamatan
memakan waktu kurang lebih 0,5 jam.
Desa Dangiang memiliki batas-batas
wilayah sebagai berikut: di sebelah utara
Desa Cindian, sebelah selatan Desa Giri
Mukti,
sebelah
timur
Desa
Cipangramatan dan Desa Jayabakti.
2011
2011
37
38
Dilihat dari sistem kepercayaan,
semua penduduknya memeluk agama
Islam. Namun demikian, mereka juga
masih memegang teguh tradisi
kepercayaan nenek moyang (leluhur).
Hal ini tampak dari banyaknya penduduk
yang masih melakukan ziarah ke tempattempat keramat yakni makam para
leluhur pada hari-hari tertentu terutama
hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Muharram,
dan Maulud. Selain itu mereka juga
melaksanakan berbagai kegiatan upacara
adat seperti Sedekah Bumi, Tawasulan,
Mapag Sri, serta upacara Siraman dan
Ngalungsur Geni.
Secara administratif Desa
Dangiang dipimpin oleh seorang kepala
desa (Kades) yang dibantu beberapa
orang sebagai pegawai desa, kepala
urusan, dan pelaksana. Kepemimpinan
masyarakatnya diatur oleh dua tipe
kepemimpinan, yakni pemimpin formal
dan pemimpin informal. Kedua tipe
kepemimpinan tersebut berjalan selaras
dalam mengatur gerak dan langkah
masyarakat Desa Dangiang.
Di Desa Dangiang, selain terdapat
pemimpin formal, juga terdapat pemimpin
informal yang disebut kuncen. Dasar
hukum yang digunakan oleh pemimpin
informal ini adalah adat yang sudah
berlaku turun-temurun dan dipatuhi oleh
warganya. Dalam melaksanakan
perannya, kedua pemimpin ini saling
bekerja sama satu dengan lainnya. Tujuan
utama mereka adalah membawa
kehidupan masyarakat agar damai, rukun,
dan sejahtera.
Kedua model kepemimpinan
tersebut di atas memiliki tugas dan
kewenangan masing-masing. Pemimpin
formal melaksanakan semua urusan yang
terkait dengan administrasi kenegaraan,
seperti pembuatan KTP, kartu keluarga,
surat pengantar, atau berbagai surat
2011
39
40
hanya dihuni oleh seorang yang berasal
dari Mekah dan merupakan sahabat lama
Imam Safei. Alkisah merupakan orang
pertama yang menjadi haji di Propinsi
Jawa Barat, bahkan di Pulau Jawa.
Selama menetap di Dangiang mereka
kekurangan air hingga memutuskan untuk
berpindah tempat lagi. Sampailah
kemudian mereka ke hulu Sungai
Cidangiang lalu menetap di sana. Nu
Agung Tapa Seda Sakti Batara Turus
Bawa kemudian berkelana lagi sampai
mempunyai keturunan sepuluh anak,
yaitu: Sanghiang Resik Rarang
(makamnya di Banten), Pangeran
Dimanggung, Kyai Patih Gunung (Naga
Sakti), Sembah Rangga Manten, Prabu
Jaji Karang Bentang (Hulu S. Cikaso,
Cisompet, Garut), Seda Leuwih (makam
di Surabaya), Sunan Ranggalawe (Garut),
Kyai Mayak Sumber (Maleer, Garut),
Sanghiang Marengah (Cinengah,
Cisompet, Garut), dan Kyai Genduk
Mayak (Bojonglapang).
Seiring perjalanan waktu,
Sanghiang Resik Rarang menikah dengan
Raja Galuh Pakuan (Guru Gantangan)
dan mempunyai tiga anak yaitu: Sembah
Dalem Tanu Datar, Sunan Batu Wangi
(makamnya di Cindian), dan Eyang
Bungsu (Kampung Dukuh). Sembah
Dalem Tanu Datarlah yang kemudian
menurunkan masyarakat Dangiang
sekarang ini. Manakala Nu Agung Tapa
Seda Sakti Batara Turus Bawa dan
pengiringnya wafat, mereka dimakamkan
di Kampung Datar. Merekalah yang
secara turun-temurun harus dihormati
oleh masyarakat Desa Dangiang. Tata
cara untuk menghormatinya adalah
merawat peninggalannya yang berupa
benda-benda pusaka, dengan cara dicuci
atau dimandikan di setiap bulan Maulud.
Pelaksana upacara Ngalungsur Geni yang
pertama adalah Eyang Raden Demang
2011
41
42
makam pada sekitar pukul 09.15 WIB.
Setiba di makam, peziarah melaksanakan
upacara yang berlangsung lebih kurang
1 jam. Usai upacara, peziarah kembali ke
joglo dan tiba di joglo sekitar pukul 11.15
WIB.
Mencuci benda pusaka dilakukan
di Sungai Cidangiang yang berjarak lebih
kurang 300 m dari joglo. Peserta
upacara berangkat menuju sungai sekitar
pukul 08.30 WIB. Setiba di sungai,
upacara berlangsung lebih kurang selama
2 jam dan kembali tiba di joglo sekitar
pukul 10.45 WIB.
Doa dan makan bersama. Upacara
terakhir adalah doa dan makan bersama.
Upacara ini berlangsung lebih kurang
selama 1 jam, diikuti kurang lebih 300
warga yang berasal dari 2 desa. Sebanyak
kurang lebih 300 tumpeng terkumpul di
halaman rumah joglo. Pagi sekitar pukul
07.00 WIB, warga khususnya para ibu,
sudah melakukan hantaran tuang
dengan cara berjalan kaki membawa
tumpeng yang ditaruh di boboko atau
baskom.
e. Tempat Penyelenggaraan Upacara
2011
43
44
g. Pantangan
2011
2011
45
46
Membuka sejarah desa, acara ini
dilaksanakan pada hari Minggu,
waktunya pada malam hari seusai shalat
Isa. Acaranya diawali dengan semacam
ceramah dari kuncen tentang jati diri
manusia (baca: warga masyarakat
Dangiang) dan tentang tujuan upacara.
Paparan dari kuncen tersebut
dimaksudkan agar warga masyarakat
Dangiang mengenal jatidirinya dan tidak
mengaburkan makna dari pelaksanaan
upacara. Usai paparan tersebut
dilanjutkan dengan marhabaan, shalawat,
tahlil, dan membuka sejarah desa yang
juga dipimpin oleh kuncen. Pada hari itu
acara berlangsung hingga pukul 02.00
WIB. Usai acara, kuncen dan beberapa
peserta menuju ke makam Eyang Batara
Turus Bawa. Keberangkatan mereka ke
makam untuk melakukan semedi
(bertapa). Mereka bersemedi higga pagi
hari dan dilanjutkan dengan
melaksanakan upacara ziarah kubur
bersama dengan peserta ziarah yang baru
datang.
Ziarah kubur ke makam keramat
leluhur, peserta ziarah berkumpul di
joglo sekitar pukul 07.30 WIB. Mereka
datang dengan membawa perlengkapan
kosmetik dan kembang. Manakala
peserta ziarah sudah tampak banyak,
mereka berangkat menuju makam dengan
menempuh perjalanan sejauh 3 km.
Jalanan terjal, jalan setapak, dan
pematang mereka lalui, bukit mereka daki,
demikian pula selokan dan sungai mereka
seberangi hingga memakan waktu lebih
kurang 1 jam. Setiba di Sungai Cidangiang,
10 m dari makam, para peserta melepas
alas kaki kemudian membersihkan diri.
Mereka sekadar mencuci kaki atau
mandi, dan berwudhu. Beberapa langkah
kemudian sampailah peserta di komplek
makam Eyang Batara Turus Bawa.
Setiba di sana, peserta beristirahat sejenak
2011
2011
47
48
kedua tangan dan disandarkan di
pinggang sebelah kiri. Kurang lebih 300
tumpeng yang terkumpul berasal dari 2
desa. Tumpeng berisi nasi, lauk pauk, dan
beberapa alat kosmetik (bedak, lipstik,
minyak wangi, dan lain-lain). Alat
kosmetik dimaksudkan agar mereka yang
punya anak gadis cepat mendapat jodoh
dan dikaruniai wajah cantik. Acara diawali
ucapan rasa syukur dari kuncen kepada
Allah Yang Esa atas rahmat dan berkah
yang sudah diberikan kepada warga
masyarakat Dangiang khususnya, dan
desa lain pada umumnya. Acara
dilanjutkan dengan sambutan-sambutan,
yang pertama dari staf Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Garut,
kedua dari kepala desa, dan ketiga dari
ketua tim peliput. Usai acara sambutan
dilanjutkan dengan doa bersama yang
dipimpin oleh kuncen. Acara itu
berlangsung sekitar satu jam. Usai doa
bersama, warga mengambil lagi tumpeng
yang dibawanya untuk dimakan bersama
keluarganya di rumah. Mereka
menganggap tumpeng tersebut sudah
mendapat berkah dari doa dan ikrar yang
dipanjatkan kuncen. Sebagian lagi ada
tumpeng yang dimakan bersama untuk
suguhan para tamu undangan dan semua
peserta yang hadir. Makan bersama ini
sebagai wujud persatuan dan kesatuan
warga Desa Dangiang. Makan bersama
ini pula yang mengakhiri puncak upacara
Siraman dan Ngalungsur Geni, warga
pulang dengan perasaan senang dan
tenang, karena mereka yakin dengan
melaksanakan upacara tersebut maka
keselamatan dan keberkahan akan
mengiringi perjalanan hidupnya.
2011
dalam
Jakarta:
Budhisantosa, S. 1992.
Analisis Kebudayaan, tahun IV
no. 2. Jakarta: Depdikbud.
2011
49
50
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menginventarisasi tinggalan budaya di Situs Parumasan
Ciamis yang berhubungan dengan aspek kearifan lokal pada masyarakat tradisional
yang tinggal di sekitar situs. Fokus kajian ditujukan pada tinggalan budaya materi dan
nonmateri dalam konsepsi budaya masa lalu, termasuk pengelolaan lahan yang
disakralkan dan yang lebih bersifat profan bagi masyarakat sekitar, yang diterapkan
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
budaya, dengan pendekatan arkeologis secara deskriptif dan penalaran induktif. Cara
pengumpulan data dilakukan dengan survei atau pengamatan langsung terhadap Situs
Parumasan. Untuk memahami lebih jauh pandangan masyarakat terhadap keberadaan
Situs Parumasan, dilakukan pula wawancara dengan Juru Kunci Parumasan dan
masyarakat setempat. Hasil penelitian menunjukkan adanya kearifan lokal
berdasarkan tinggalan arkeologis, makna ritual keagamaan, dan upacara adat di
antaranya terjaganya kelestarian alam dan keberlangsungan hidup yang nyaman dan
aman.
Kata kunci: tinggalan budaya, arkeologis, kearifan lokal, Situs Parumasan.
Abstract
The purpose of this research is to make an inventory of cultural heritages
in the site of Parumasan in Ciamis that has a relationship to the local wisdom
of traditional community that lives around the site. The focus are material and
non-material cultural heritage that lived in old times, including sacred-land
management and a more profane ones that applied to their daily life. The author
has conducted a cultural research method with archaeological approach, either
desciptively or inductively. Data were obtained by surveying or observing
Parumasan site. Interview with juru kunci (key person) of Parumasan was also
perfomed in order to get data about the perspective of the site from the
communitys point of view. The result is that there is local wisdom based on
archaeological heritage, religious rites and adat ceremony resulting in
conservation of the nature as well as a peaceful life.
Keywords: cultural heritage, archaeology, local wisdom, Parumasan site.
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
2011
51
A. PENDAHULUAN
Salah satu kawasan di Indonesia
yang cukup banyak memiliki aset
masyarakat tradisional dengan latar
belakang budaya adalah bagian barat
Pulau Jawa. Salah satu komunitas
masyarakat tradisional yang masih eksis
sampai sekarang adalah masyarakat adat
di Situs Parumasan, Desa Banjaranyar,
Kecamatan Banjarsari, Kabupaten
Ciamis. Kehidupan mereka dapat dikaji
melalui penelusuran ritual keagamaan dan
upacara adat yang masih dilakukan, serta
beberapa tinggalan arkeologis yang ada
di kawasan permukiman dan lingkungan
alam sekitarnya.
2011
52
Penelitian ini dimaksudkan untuk
menginventarisasi tinggalan budaya, baik
budaya materi maupun budaya nonmateri.
Juga diharapkan dapat menjaring data
mengenai aspek kearifan lokal dan
lingkungannya pada masyarakat yang
tinggal di sekitar situs, berkaitan dengan
tinggalan arkeologis (benda bergerak/
artefak dan benda tak bergerak), tradisi
budaya, konsepsi kepercayaan, tata ruang
dan tata guna lahan dalam konsepsi
budaya masa lalu, termasuk pengelolaan
lahan yang diperuntukkan sebagai lokasi
pemujaan atau tempat yang disakralkan,
serta lahan yang lebih bersifat profan bagi
masyarakat sekitar yang diterapkan dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Adapun manfaat dari data yang
telah dijaring adalah menambah referensi
pengetahuan tentang budaya masa lalu
di
Parumasan
Ciamis.
Juga
menindaklanjuti apa yang seharusnya
dilakukan untuk mempertahankan
warisan budaya yang ada, sebagai
tinggalan arkeologis dan kearifan lokal.
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dan penalaran induktif. Cara
pengumpulan datanya dilakukan dengan
survei atau pengamatan langsung
terhadap situs Parumasan. Pengamatan
visual dilakukan untuk mendeskripsikan
dan mendokumentasikan keberadaan
tinggalan arkeologis, salah satunya
permukiman tradisional dilihat dari aspek
bentuk, bahan, ukuran, lingkungan, dan
sebagainya. Kemudian untuk memahami
lebih jauh pandangan masyarakat
terhadap keberadaan Situs Parumasan,
dilakukan pula wawancara dengan juru
kunci Parumasan dan masyarakat
setempat.
Sumberdaya budaya sebagai salah
satu kekayaan bangsa memiliki sifat
terbatas, unik, rapuh/mudah rusak, dan
tidak terbaharui. Hal ini menjadikannya
2011
2011
53
54
Konsep pembagian ruang atau
lahan pada suatu masyarakat berkaitan
erat dengan sistem religi atau
kepercayaan pada masyarakat adat. Oleh
karena sifatnya yang paling hakiki dalam
kehidupan, maka aspek religi atau
kepercayaan ini sangat sulit berubah,
namun mempengaruhi dan menjadi
landasan dalam perilaku kehidupan lainnya
(Permana, 1995: 75).
Sebagaimana orang Sunda lainnya,
penduduk sekitar Situs Parumasan adalah
komunitas dengan tipologi mayoritas
pemeluk agama Islam. Namun demikian,
sebagian dari mereka terutama kalangan
tua, masih memegang kuat tradisi dan
mitologi tentang adanya roh gaib yang
bersemayam di banyak petilasan dan
makam keramat di kampung tersebut.
Termasuk di dalamnya adalah
kepercayaan tentang keberadaan Bale
Bandung sebagai warisan budaya
karuhun mereka. Tradisi yang masih
dilaksanakan oleh masyarakat di sekitar
Situs Parumasan sampai saat ini antara
lain adalah mengadakan sesajen,
berkumpul (tumpengan) di Bale Bandung
pada hari-hari tertentu, membersihkan
benda-benda keramat, serta memelihara
dan menjaga tanah keramat yang
digunakan sebagai makam leluhur
mereka.
Situs
Parumasan
secara
administratif terletak di Desa Banjaranyar
(pemekaran dari Desa Cigayam/Sudarti,
2006, 11), Kecamatan Banjarsari,
Kabupaten Ciamis. Secara astronomis
berada pada koordinat 73035,9" LS dan
1083213,5" BT. Desa Banjaranyar
memiliki luas 1.131 hektar, dengan batasbatas wilayah sebagai berikut: sebelah
2011
55
56
Ciamis dan di luar Kota Ciamis. Misalnya
ke Pasar Banjarsari Ciamis, Pasar
Minggu Jakarta, Padaherang, Cepu/Solo
(Jawa Tengah), bahkan dikabarkan
bahwa pemasaran barang setengah jadi
tersebut sampai ke luar negeri, yaitu
Korea. Selain industri rumah tangga yang
mengolah kelapa, juga ada beberapa
industri rumah tangga lainnya yang
mengolah hasil kebun berupa makanan
tradisional, seperti pisang sale,
rangginang, opak ketan.
2011
57
2011
Singkat
Tinggalan
Bale Bandung
58
tanah sekitar satu meter, berdenah empat
persegi panjang dengan empat pintu
masuk yang terletak masing-masing satu
pintu di empat bagian dindingnya. Tidak
memiliki jendela dan untuk masuk ke
dalamnya harus menaiki empat anak
tangga. Pada bagian dalam berlantai
tanah dan bangunan ditopang oleh enam
tiang (enam soko guru). Konstruksi
bangunan dari rangka kayu dan beratap
ijuk. Sebenarnya, sebelum dilakukan
renovasi dinding Bale Bandung terbuat
dari bilik bambu. Terjadi perubahan bahan
pada zaman Juru Kunci Ki Padma
Diwangsa.
Rumah Tamu
Dapur
Situs Perumasan (Dok Bandung 2010
2011
59
2011
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
60
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Makam Kyai Bagus Santri dan istrinya berada di dalam kamar, sedangkan lima makam
keluarganya terletak di luar kamar, di dalam pagar (Dok. Balar Bandung, 2010).
2011
2011
61
62
4. Ritual-Ritual Keagamaan dan Upacara
Adat
2011
2011
63
64
para peziarah diharuskan berpakaian putih
dan hanya boleh diikuti oleh Sahabat
Parumasan dengan dipimpin oleh Juru
Kunci, sedang orang luar tidak boleh ikut
masuk ke dalam, hanya menunggu di luar
saja sebagai peserta tidak aktif.
Upacara Pertanian/Menanam Padi
Menjelang tanam dan panen
dilakukan upacara penghormatan
terhadap Dewi Sri (Dewi Padi). Sekarang
ini upacara hanya dilakukan sahabat
Parumasan di rumah masing-masing.
Mereka yang tidak mampu melakukan
upacara meminta tolong kepada Juru
Kunci atau sahabat, dengan membawa
air untuk diberi doa, agar dijauhkan dari
hama penyakit, serta dapat memperoleh
hasil yang berlimpah.
Upacara menanam padi ini
sekarang dilakukan oleh pribadi-pribadi di
rumahnya masing-masing pada waktu
tidak bersamaan. Mereka tidak
melakukannya secara terbuka setelah
ada larangan dari tokoh agama Islam
bahwa upacara tersebut dilarang dalam
agama. Menurut ceritanya, pada zaman
dahulu Upacara Menanam Padi
dilakukan secara serempak bersamasama, sehingga sangat meriah dan
mengundang banyak orang untuk
menyaksikan keramaian tersebut.
Diadakan sesajian berupa makanan dan
minuman, di antaranya ketupat, telur, kopi,
ayam kampung berbulu putih, beberapa
jenis bumbu dapur, dan lain-lain. Sesaji
inilah yang sangat ditentang kaum agama
karena merupakan pekerjaan mubazir dan
sia-sia, dianggap membuang-buang
makanan.
Upacara Siraman
Pada bulan Maulud diadakan
upacara Siraman, yaitu membersihkan
perkakas (parabot) dan benda keramat
2011
2011
65
66
nyata, dan selalu menjalankan ajaran
Islam sesuai yang digariskan Alquran
dan Sunnah. Kemudian, Sungai
Ciparumasan sebagai pembatas wilayah
sakral dan profan/nonsakral, merupakan
wilayah
yang
selalu
terjaga
kebersihannya, termasuk sungai yang
bebas dari sampah dan kotoran, sehingga
dapat tetap bersih dan dimanfaatkan
untuk membersihkan diri dan barangbarang sehari-hari, juga untuk
membersihkan benda-benda peninggalan
yang dikeramatkan. Beberapa tinggalan
arkeologis ini, keberadaannya menjadi
kearifan lokal yang memberi nilai-nilai
positif. Selain memelihara tinggalan
budaya juga memberi manfaat yang
dirasakan langsung oleh masyarakat
Parumasan dan penduduk setempat yang
ada di sekitarnya.
Kearifan Lokal Berdasarkan Makna
Ritual Keagamaan dan Upacara Adat
Kearifan lokal berdasarkan budaya
nonmateri dapat dikaji melalui makna
ritual keagamaan dan upacara adat, di
antaranya ziarah kubur ke makam
keramat, upacara-upacara adat, dan
kepercayaan akan wilayah sakral dan
profan. Berdasarkan pengertian kearifan
lokal yang telah disebutkan sebelumnya,
makna ziarah kubur yang dilakukan
secara bersama-sama dengan aturanaturan dan prosesi yang telah ditentukan,
mengingatkan kepada kita bahwa hidup
di dunia hanya sementara, setiap yang
hidup akan mati/menghadap Sang Maha
Pencipta.
Kemudian makna upacara adat
berupa kelahiran, perkawinan, dan
kematian, memberi pembelajaran dalam
menjalani hidup sehari-hari, bahwa kita
tidak bisa hidup sendiri, selalu
membutuhkan orang lain. Dengan adanya
penyelenggaraan upacara ini dapat
2011
67
Kemudian kepercayaan/keyakinan
adanya kekuatan yang menyatu dan
terpusat, tampak jelas dari ritual
keagamaan dan upacara adat
pemakaman jenazah. Sebagai manusia
yang berasal dari tanah, akan kembali ke
tanah dan menyatu dengan Sang
Pencipta. Cara menyelenggarakan
jenazah, terutama ketika memasukkan
jenazah ke liang lahat, selain mengikuti
ajaran Islan, juga mengikuti aturan adat
yang berlaku, yaitu posisi badan jenazah
dalam keadaan tengkurap dan menyatu
dengan tanah, seperti yang telah
dijelaskan.
C. PENUTUP
Beberapa tinggalan arkeologis di
Situs Parumasan dapat diidentifikasi, baik
yang tidak bergerak maupun yang
bergerak. Selain itu, ada tinggalan nonmateri berupa ritual-ritual yang masih
dijalankan oleh masyarakat adat
Parumasan dan penduduk di sekitarnya.
Kegiatan ritual berupa ziarah ke makam
keramat dan penyelenggaraan upacaraupacara adat. Masyarakat setempat
mendukung dalam bentuk nyata, yaitu
masih melakukan ritual ziarah dan
dijalankannya upacara-upacara adat pada
waktu-waktu tertentu. Mereka juga masih
tetap menjaga dan merawat lokasi situs
beserta tinggalan budaya dan perangkat
adatnya.
Berdasarkan tinggalan arkeologis
dan makna ritual keagamaan/upacara
adat, dapat ditemukan kearifan lokal pada
komunitas adat Parumasan. Berdasarkan
tinggalan arkeologis di antaranya
terjaganya kelestarian alam dan
keberlangsungan hidup yang nyaman dan
aman. Sementara itu, kearifan lokal
melalui makna ritual keagamaan/upacara
68
adat, yaitu tetap memegang teguh ajaran
Islam dan terjaganya nilai-nilai luhur
kebersamaan, gotong royong, saling
menghargai, serta kesadaran akan
kebersihan dan keindahan tempat
bermukim.
Keberadaan Situs Parumasan
dengan komunitas adatnya, memberi
dampak bagi masyarakat Parumasan dan
sekitarnya. Dampak positifnya berupa
terjaganya warisan budaya dan
pemasukan tambahan keuangan bagi
penduduk setempat ketika berlangsungnya
ritual ziarah kubur. Sementara itu, dampak
negatif yang ditimbulkan belum
ditemukan atau masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Artikel
2011
69
Abstrak
Sindiran adalah salah satu bentuk puisi Sunda lama yang terdiri atas sampiran
dan isi. Namun demikian kepuisiannya terbatas pada rima dan irama, bukan pada
diksi dan imajinasi seperti halnya puisi modern (sajak). Bahasanya mudah dipahami
seperti bahasa sehari-hari. Dalam sastra Indonesia bisa disebut pantun. Sisindiran
pantun merupakan puisi rakyat yang sangat digemari masyarakat. Sisindiran dapat
mengungkapkan atau mencerminkan perasaan, keadaan lingkungan, dan situasi
masyarakat desa, petani, dan lain sebagainya. Biasanya dituturkan dalam suasana
santai, berkelakar, berbincang-bincang, dan suasana formal, misalnya dalam upacara
adat perkawinan, melamar, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, sangat luwes,
mudah memasuki berbagai gendre sastra lainnya, seperti cerita pantun, wawacan,
novel, cerpen, novelet bahkan kadang-kadang muncul juga pada puisi modern. Dilihat
dari pembentukannya, kata sisindiran berasal dari bentuk dasar sindir sindir. Dengan
demikian sisindiran merupakan bentuk kata jadian yang diperoleh dengan cara
dwipurwa (pengulangan awal) disertai akhiran-an. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analisis yaitu seluruh data yang diperoleh dari lapangan dikumpulkan,
kemudian dianalisis dengan cara dikaji dan diklasifikasikan menurut struktur, isi, dan
fungsi yang dikandungnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Adanya
sisindiran dalam bentuk tertulis merupakan dokumentasi pengawetan karya sastra
agar tidak mengalami kepunahan, (2) Menunjang kemudahan untuk menyusun sejarah
sastra, serta pengembangan teori sastra, khususnya sastra lisan Sunda,.(3) Hasil
pendokumentasian ini akan sangat bermanfaat untuk perbendaharaan bahasa, sastra,
dan budaya daerah. Hasil akhir dari penelitian ini ungkapan-ungkapan dalam sisindiran
diharapkan menjadi bahan bacaan yang dapat menuntun generasi berikut ke jalan
kebaikan melalui ungkapan yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung
(menyindir).
Kata kunci: nilai-nilai, puisi, sisindiran, bahasa Sunda.
Abstract
Sisindiran is a type of old Sundanese poem. It consists of sampiran and
content. Sampiran is the first two rows that have nothing to do with the content
but functions as rhyme to the sentence of the content. Unlike modern poems,
2011
70
Dalam
perkembangannya
sisindiran sangat luwes mudah memasuki
berbagai gendre sastra lainnya, seperti
cerita pantun, wawacan, novel, cerpen,
novelet, bahkan kadang-kadang muncul
juga pada puisi modern. Kini sisindiran
tampaknya tidak mau ketinggalan, ia
dapat ditayangkan di televisi dan
materinya sangat menarik perhatian serta
diminati oleh masyarakat. Oleh karena itu
kiranya perlu dilakukan penelitian
terhadap fungsi sisindiran yang tersebar
di masyarakat, dan perlu dikumpulkan
untuk didokumentasikan.
Permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini berkaitan dengan struktur
fungsi dan isi sisindiran. Dari segi
strukturnya, sisindiran dibagi menjadi tiga
golongan yaitu: Paparikan, Rarakitan,
dan Wawangsalan. Sampiran dan isi
dalam paparikan mempunyai persamaan
bunyi yang berdekatan, misalnya:
2011
2011
71
72
dengan seni kawih, serta dapat dibawakan
dalam bermacam-macam jenis kesenian
misalnya reog, calung, wayang golek.
Selain itu sisindiran sering digunakan untuk
bergurau.
Dilihat dari pembentukannya, kata
sisindiran berasal dari bentuk dasar sindir.
Dengan demikian sisindiran merupakan
bentuk kata jadian yang diperoleh dengan
cara dwipurwa (pengulangan awal)
disertai akhiran an. Berdasarkan arti kata
asalnya dapat diketahui pula bahwa yang
menjadi patokan sisindiran bukan hanya
bentuknya, melainkan isinya, yaitu berupa
sisindiran atau bersifat menyindir.
2. Klasifikasi Sisindiran
R.Satjadibrata(1945)
mengelompokkan sisindiran menjadi dua
macam bentuk yaitu : (1) Paparikan dan
(2) Wawangsalan. Adapun contoh dari
paparikan tersebut adalah sebagai
berikut:
Samping hideung dina bilik
Kain hitam pada dinding
kumaha dituhurkeunana
bagaimana dikeringkannya
kuring nineung ka nu balik
aku rindu pada dia yang pulang
kumaha dituturkeunana
bagaimana harus dibarenginya
Contoh Wawangsalan:
Teu beunang dihurang sawah
Tak bisa diudang sawah
teu beunang dipikameumeut
tak bisa disayangi
Perbedaan antara paparikan dan
wawangsalan terlihat pada kedua contoh
di atas. Satu bait (pada) paparikan terdiri
atas empat lirik yang terbagi atas dua
bagian, yaitu bagian sampiran dan bagian
isi, yang berturut-turut terdiri atas larik
2011
73
74
ini karena adanya pertimbangan dan
keterbatasan jumlah halaman yang
membatasinya. Adapun nilai-nilai tersebut
di antaranya adalah sebagai berikut :
1) Nilai Pendidikan
2011
75
Nilai Agama
Nu ngaliwet dina dulang
disuluhan ku palapah
saha nu resep tutulung
meunang ganjaran ti Allah
Meuli wajit jeung jawadah
dipake hajat kiparat
masing rajin nya ibadah
ngalap ganjaran aherat
Sorabi make cipati
didahar seep sawadah
nya rabi titipan gusti
dikadar kuat ibadah
Ninyuh ubar ku cipati
diwadahan piring gelas
anu sobar tea pasti
ku Allah dipikawelas
Sing getol nginum jajamu
ambeh jadi kuat urat
sing getol neangan elmu
guna dunya jeung aherat
Bubur waluh dina panci
diawuran ku candana
Gusti anu Maha Suci
Henteu samar ka umatna
Jajambaran bubur lemu
kelewih picung diruang
untung jalma loba elmu
leuwih ti beunghar ku uang
Camcauh kahalodoan
jadina handapeun nangka
ari mungguh kabodoan
nungtunna kana doraka
Meuli limun meuli soldah
meuli baligo jeung huni
mun ayeuna teu ibadah
ngadagoan naon deui
2011
76
Morontod pelak solasih
daunna dipake ubar
ulah sok kaburu asih
teu aya batan nu sabar
3) Nilai Berkasih-kasihan
Pileuleuyan daun pulus
kararas cau manggala
pileuleuyan tungtung imut
lamun welas kuring bawa
Kasur jangkung bantal panjang
nya bogo di kacaikeun
anu jangkung kuring melang
nya bogoh urang jadikeun
Sukur-sukur disundungan
kuring mah nyair ka leuwi
sukur-sukur dipundungan
kuring mah rek nyiar deui
Kuring mah alim ka Bandung
hayang ka Sumedang bae
kuring mah alim dicandung
hayang ku sorangan bae
Baju tablo dibulao
kembangna katuncar mawur
ari bogoh ti bareto
terang-terang tos ku batur
Ngaput baju kurang benang
gantian ku kanteh bae
mun panuju geura teang
kuring mah rek daek bae
Ngimpi ngajul kembang tanjung
ngimpi ngala naga sari
ngimpi tepung jeung si jangkung
tara-tara ti sasari
2011
77
2011
Pipiti dikurah-karih
tetenong dibobokoan
lalaki jaman kiwari
hade omong pangoloan
Nu ngaliwat bau bawang
sampingna bau tarasi
kanu ngaliwat kuring hayang
mun seug teu boga salaki
Tarik angin ngadalingding
ninggang kana pare beukah
ditarik kawin ngaligincing
teu bogaeun keur ipekah
Hapeuk-hapeuk gula tiwu
leeh soteh kahujanan
aceuk-aceuk kuring milu
leweh soteh kaedanan
Montong sok hayang surundeng
kalapa di Bandung keneh
montong sok hayang ka ronggeng
balanjar ti indung keneh
78
Piring katuruban sendok
ngawadahan rujak huni
kuring ge baheula denok
ayeuna mah nini-nini
Peupeuyeuman-peupeuyeuman
diragian ge teu amis
peupeureuman-peupeureuman
diponian ge teu geulis
2011
79
Hanjakal ku handarusa
buntiris daunna kandel
hanjakal ku hade rupa
geulis teu bisa nyambel
2011
80
masing berasal dari dan dipengaruhi oleh
tiap-tiap jaman dan sosial budaya
setempat dan waktu mereka dibesarkan.
Pada umumnya karya-karya sastra
para pujangga lama hingga kini masih
tetap diagungkan, karena selain
mengandung kekayaan rohani,
perbendaharaan pikiran, dan cita-cita
nenek moyang yang luhur. Salah satu
karya-karya para pujangga tersebut yang
kini masih digemari dan dirasakan
keberadaannya yaitu puisi sisindiran
bahasa Sunda.
Sastra menampilkan gambaran
kehidupan yang mencakup hubungan
antara masyarakat, antara masyarakat
dengan seseorang, dan antarmanusia;
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
batin seseorang, yang sering menjadi
bahan sastra adalah pantulan hubungan
seseorang dengan orang lain atau dengan
masyarakat (Sapardi, 1978:1). Karya
sastra klasik dengan demikian dapat
dijadikan bahan untuk merekontruksi
tatanan masyarakat, pola-pola hubungan
sosial, aspirasi-aspirasi, sistem nilai
budaya yang didukung oleh masyarakat
dimana karya sastra itu lahir, serta situasi
yang berlangsung pada waktu itu.
Dengan kata lain, karya-karya sastra
lama dapat dijadikan sebagai sumber
informasi untuk mengetahui dan
memahami zaman yang telah lampau.
Mengkaji suatu karya sastra
dengan tujuan untuk memahami keadaan
masyarakat tidak cukup hanya dengan
menelaah karya sastra itu dari segi filologi
atau kritik teks saja, tetapi perlu juga
pendekatan litere antara lain melalui
struktur yang akan jelas menampilkan
pokok pikiran di seluruh cerita dan bagianbagiannya sampai yang paling kecil.
Dengan demikian akan muncul fungsi
cerita itu, karena tiap teks atau cerita
dilahirkan guna memenuhi suatu fungsi
(Sulastin, 1979 : 62).
2011
81
2011
82
keharusan, kata ulah (jangan)
menunjukkan larangan. Tiap-tiap kata itu
di dalam ujaran dipakai baik secara berdiri
sendiri maupun secara berpasangan
dengan kata-kata lain yang menunjukkan
pada akibat yang akan menimpa itu
tersimpul dalam kata-kata yang
mengandung ancaman, hukuman, semua
ini ditunjukkan oleh kata-kata ngarah
(supaya), matak (nanti akan) dan bisi
(kalau-kalau), seperti tersirat dalam katakata yang terdapat dalam puisi sisindiran
berikut ini :
Urang desa gunung bohong
Orang desa gunung bohong
resepna kana tarumpah
menyukai pada terumpah
poma pisan ulah bohong
jangan suka berbohong
sagala ning laku lampah
dalam setiap perbuatan
Kamana nya pelesiran
Kemana berjalan-jalan
ka ditu ka parapatan
ke sana ke perempatan
lampah nu goreng singkiran
perbuatan yang jelek jauhi
lampah nu hade turutan
perbuatan yang baik harus ditiru
2011
2011
83
84
DAFTAR PUSTAKA
2011
85
Abstrak
Penulisan sejarah keraton Cirebon ini bertujuan memberi interpretasi
bagaimana Kesultanan Cirebon memelihara stabilitas dan kedaulatan dalam periode
abad 15-18. Di samping itu, tulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
informasi tambahan mengenai sejarah Cirebon. Metode yang digunakan dalam
pengungkapan sejarah Kesultanan Cirebon ini menggunakan metode sejarah yaitu
heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Memasuki abad ke-17 hingga abad
ke-18, masa kejayaan dan kewibawaan Kesultanan Cirebon yang dibangun oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sejak abad 15 menjadi pudar dan
mengalami degradasi hingga terpecah-pecah menjadi dalam beberapa pusat
kekuasaan. Perpecahan terjadi akibat masing-masing keturunan saling berebut
kepentingan. Keterpurukan Kesultanan Cirebon semakin nyata, setelah tiga kekuatan
besar yaitu Mataram, Banten dan VOC ingin menjadikan Cirebon berada di bawah
kekuasaannya. Sejak awal abad ke-19, Kesultanan Cirebon sudah tidak ada lagi.
Wilayah Cirebon sudah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Belanda, serta para
sultannya dijadikan pegawai pemerintah kolonial Belanda.
Kata kunci: kesultanan, Cirebon, konflik.
Abstract
This paper tries to interpret how the Sultanate of Cirebon maintained its
stability and independency during the 15th18th centuries. Hopefully, this study
can be an additional information concerning the history of Cirebon. History
methods such as heuristics, critique, interpretation and historiography were
conducted for this study. By the 17th-18th centuries the Cirebon Sultanate that
was built by Sunan Gunung Jati in 15th century, almost had lost its glory and
fell into pieces due to conflict of interest amongst the aristocrats. It was even
worse when three great powers (Mataram, Banten, and VOC) made Cirebon
their vassal. The Sultanate of Cirebon finally disappeared in the 19th century.
Cirebon had become part of the Dutch and the sultans became servants to the
Dutch colonial government.
Keywords: sultanate, Cirebon, conflict.
2011
86
A. PENDAHULUAN
2011
2011
87
88
2011
2011
89
90
2011
Menjadi
Dua
2011
91
92
2011
2011
93
94
Sultan Sepuh
(1678),
dengan
membangun keraton baru di sebelah
barat Keraton Pakungwati dan disebut
Keraton Kasepuhan. Pangeran
Kartawijaya diangkat menjadi Sultan
Anom (1679) dengan gelar Sultan
Badrudin, dengan mendirikan Keraton
yang letaknya kurang lebih satu kilometer
sebelah utara Keraton Pakungwati yang
dikenal dengan Keraton Kanoman.
Sedangkan Pangeran Wangsakerta tidak
diangkat menjadi sultan dan tidak punya
wilayah kekuasaan dan Keraton sendiri.
Tempat tinggalnya hanya berupa rumah
besar biasa yang terletak di sebelah timur
Keraton Pakungwati dan berfungsi
sebagai kaprabon (paguron) (Lubis,
2010: 2).
Ketiga penguasa ini berusaha
untuk menjadikan diri sebagai penguasa
tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa ia
yang berhak atas kekuasaan tunggal
karena anak pertama. Sementara Sultan
Anom, juga berkeinginan yang sama
sehingga ia mencari dukungan kepada
Sultan Banten. Demikian pula dengan
Pangeran Wangsakerta, yang pernah
mejadi pengurus kerajaan saat kedua
kakaknya berada di Mataram, merasa
berhak menjadi penguasa tunggal.
2011
2011
95
96
2011
2011
97
98
2011
2011
99
_______. 1988.
Menjelang Penetapan Hari Jadi
Pemerintahan
Kabupaten
Cirebon. Pemerintah Kabupaten
Daerah Tingkat II Cirebon,.
Atja, dan Ekadjati, Edi. 1989.
Pustaka Rajya-rajya I Bhumi
Nusantara I. I. Suntingan Naskah
dan Terjemahan. Bandung: Bagian
Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda.
Ekadjati, Edi S. et. Al. 1991.
Sejarah
Perkembangan
Pemerintahan Provinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat. Bandung:
Pemerintah Provinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat.
______. 1978.
Babad Cirebon Edisi Brandes
Tinjauan Sastra dan Sejarah,
Bandung: Fakultas Sastra,
Universitas Padjadjaran.
Johan, Irma M. 1995/1996.
Penelitian Sejarah Kebudayaan
Cirebon dan Sekitarnya Antara
Abad XV-XIX: Tinjauan Bibliografi.
Makalah Diskusi Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutera, Cirebon:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, Proyek
IDSN.
Hasyim, Raffan. Peristiwa Penting di
Sekitar Abad 17-18, Berdasarkan
catatan Lisan dan Tulisan.
Makalah dalam Seminar Sejarah
Cirebon tanggal Cirebon 2010.
100
Lasmiyati. 1995.
Sejarah Keraton Kasepuhan di
Kotamadya Cirebon. Bandung: Balai
Kajian Jarahnitra.
Tedjasubrata. 1966.
Sedjarah Tjirebon Kawedar Bahasa
Daerah Tjirebon, Djilid II, Bagian III
IV, Tjirebon.
______. 2010.
Situasi Politik Kesultanan Cirebon
Abad ke 17-18. Makalah dalam
Seminar Sejarah Cirebon, BPSNT dan
Disporabudpar 28-29 September
Cirebon.
Rais, H. Mahmud, 1957.
Sedjarah Tjirebon (Stensilan).
Tjirebon.
Salana. 1978.
Sejarah Cirebon I (Stensilan).
Sudjana, T.D. 1995/1996.
Pelabuhan Cirebon Dahulu dan
Sekarang. Makalah Diskusi Cirebon
Sebagai Bandar Jalur Sutera. Cirebon:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, Proyek IDSN.
Sulendraningrat, P.S. 1968.
Nukilan Sedjarah Tjirebon Asli,
Tjetakan ke-2. Tjirebon: Pustaka.
______. 1975.
Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan
Gunung Jati Maulana Syarif
Hidayatullah. Cirebon: Lembaga
Kebudayaan Wilayah III Cirebon.
Sunardjo, Unang.R.H. 1983.
Meninjau Sepintas panggung
Sejarah Pemerintahan Kerajaan
Cirebon Tahun 1479-1809. Bandung:
Tarsito.
http://id.wikipedia.org/wiki/
Kesultanan_Cirebon
2011
101
Abstrak
Rumah tradisional Kampung Pulo dibangun oleh Embah Dalem Syarif
Muhammad, sekitar abad ke-17. Pembangunan keenam rumah dan sebuah masigit
yang kini berada di Desa Cangkuang Kecamatan Leles, Kabupaten Garut,
diperuntukkan keenam putrinya dan seorang putranya. Arsitektur tradisional rumah
Kampung Pulo, mencirikan unsur budaya Sunda, baik bentuk, struktur, dan ragam
hiasnya walau tidak secara langsung, tetapi tetap mempertahankan tata nilai yang
ada sepanjang perjalanan sejarahnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan
memahami peranan masyarakat di dalam mempertahankan arsitektur rumah serta
fungsi simbol-simbol dalam kehidupan masyarakat serta hubungannya dengan
arsitektur rumah Kampung Pulo. Adapun metode yang digunakan adalah metode
penelitian deskriptif analitis.
Kata kunci: arsitektur, tradisional, Kampung Pulo.
Abstract
Traditional houses of Kampung Pulo were built around 17th century by
Embah Dalem Syarif Muhammad. These houses comprise six houses for his
daughters and a mosque for his son. As a whole, the architecture of the houses
reflect Sundanese traditional architecture that preserved its values over history.
The goal of the research is to dig and to comprehend the role of the society in
preserving the architecture and the function of symbols in the society in relation
to the architecture itself. The methodology of research is based on Winarno
Surakhmad (1985:139): a method that is used to investigate and to solve
problems that covers collecting, analysing and interpreting data, as well as
making conclusion based on the research. The author has conducted a
descriptive-analytical method.
Keywords: architecture, traditional, Kampung Pulo.
2011
102
A. PENDAHULUAN
2011
2011
103
104
2011
105
106
2011
2011
107
108
2011
Tihang
Bilik
Panto
Bangbarung
Erang-erang
Jandela
Para/ Lalangit
2011
109
110
4. Organisasi Rumah
2011
2011
111
112
2011
2011
113
114
2011
2011
115
116
2011
2011
117
118
Tim
2011
119
Abstrak
Zaman yang serba tek (baca: teknologi) membuat ruang gerak hal-hal yang
berbau tradisional menjadi tidak leluasa. Bisa dikatakan nyaris semua sektor budaya
terkena imbasnya. Termasuk juga permainan anak-anak. Fenomena itu menggerakkan
dilakukannya penelitian terhadap permainan tradisional anak-anak. Tujuannya tidak
lain untuk menggali permainan tradisional yang ada di suatu daerah, dalam hal ini
Indramayu. Indramayu adalah kota kabupaten yang juga sudah tersentuh teknologi
dengan Balongan sebagai ikonnya. Kenyataan menunjukkan bahwa dari sejumlah
permainan yang pernah ada, tidak semuanya masih dilakukan. Ada permainan yang
sudah tidak dilakukan tetapi masih dikenal namanya, ada pula yang sudah tidak
dikenal sama sekali. Hal yang cukup menarik adalah dalam lingkup satu kabupaten
terdapat permainan yang jenisnya sama namun namanya berbeda. Hal ini bisa dipahami
terutama oleh karena adanya dua kultur di sana, pantai dan pertanian. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Kata kunci: permainan, tradisional, anak-anak.
Abstract
During this era of modern technology, traditional things became fade
away. The impacts are reflected on almost every cultural sectors, including
childrens games. This phenomenon has made the author conduct a research
on it, and the object was traditional childrens game in Indramayu. Indramayu
has witnessed many modern technologies, and Balongan is the icon. The author
finds that there are many traditional games that are not played any more, some
are still played, and the rest are only names that left. The author also finds an
interesting fact: in the same regency there are different kinds of games that
have same name. It probably because Indramayu has two subcultures: maritime
and agriculture. Descriptive method and qualitative approach were applied to
the research.
Keywords: games, traditional, children.
2011
120
A. PENDAHULUAN
Filsuf Belanda, Johan Huizinga,
mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk ludik, bermain (homo ludens),
seperti dikutip oleh Bambang Q-Anees
(2005:1). Huizinga berpendapat bahwa
kebudayaan atau apapun, tak lepas dari
unsur-unsur permainan. Aktivitas
pergantian peran, aturan main dan lain
sebagainya, terdapat dalam suatu
permainan. Unsur utama kebahagiaan
adalah mendapatkan kegembiraan yang
akan didapat dalam suatu permainan.
Orang yang bermain akan terlepas dari
waktu keseharian.
Ada permainan masa kini yang
disebut dengan permainan modern,
sebaliknya ada permainan masa lalu yang
disebut dengan permainan tradisional.
Istilah tradisional berasal dari kata tradisi
yang oleh Heddy Shri Ahimsa Putra
diartikan sebagai sejumlah kepercayaan,
pandangan atau praktek yang diwariskan
dari generasi ke generasi. Pewarisannya
tidak melalui tulisan melainkan secara
lisan atau lewat contoh tindakan. Adapun
istilah tradisional diartikan sebagai yang
telah diwariskan dari generasi ke generasi
dan diterima oleh umum.
Permainan tradisional merupakan
cerminan karakter dan falsafah hidup
masyarakatnya karena terlahir dari rahim
budayanya sendiri. Hal yang menonjol
dalam permainan tradisional adalah
bahwa permainan tradisional tercipta dari
suatu proses yang panjang. Proses yang
harus dilalui oleh anak-anak untuk sampai
pada tahap bermain. Prosesnya dimulai
dari mencari bahan untuk alat yang akan
digunakan, membuat alat, menentukan
aturan
main,
sampai
pada
memainkannya.
Alat permainan tradisional dibuat
melalui keterampilan tangan anak.
2011
121
122
2011
123
Gbr. 1: Hompimpah
2011
124
2011
2011
125
5. Engklekan
Engklekan pada dasarnya mengadu
ketangkasan dalam melangkah,
melompat, dan melempar gundu/wingka
pecahan genteng berbentuk uang logam.
Engklekan adalah permainan perorangan
dan minimal dilakukan oleh 2 orang.
Lapangannya dibuat dengan menggarisi
tanah dengan kayu atau kapur.
Langkah-langkah permainan
Engklekan sebagai berikut:
- Permainan dimulai berdasarkan
urutan hasil undian.
- Melemparkan gundu pada kotak
dalam lapangan, tanpa menyentuh
garis.
- Pemain dinyatakan menang apabila
selama giliran bermain berjalan mulus.
Engklekan dimainkan sore hari oleh
anak perempuan usia 8-13 tahun.
6. Gamparan
Istilah gamparan berasal dari kata
gampar yang artinya dibabuk dengan
kaki. Permainan ini sifatnya kelompok, 1
126
2011
127
Mangklung-mangklung
Ke edanan jaran belo
- Sebaliknya andaikata gagal
menangkap bola, maka terjadilah
pergantian peran.
8. Jaranan
Unsur dominan dalam permainan
ini adalah ketangkasan menangkap bola
di atas punggung lawan. Permainan ini
diiringi lantunan lagu yang bertujuan
meninabobokan musuh. Istilah jaranan
berasal dari kata jaran yang artinya
kuda.
Teknik permainan Jaranan sebagai
berikut:
- Pemain dibagi menjadi 2 kelompok
berdasarkan sut.
- Kelompok penghadang berdiri
melingkar sambil bergandengan
tangan untuk menjerat kelompok
lawan.
- Apabila kelompok penghadang
berhasil menjerat salah satu anggota
kelompok lawan, maka kelompok itu
mendapat giliran naik jaran,
sebaliknya demikian.
- Setelah berada di punggung jaran,
pemain mengoperkan bola pada teman
lainnya hingga satu putaran.
- Anggota yang diberi bola, berupaya
menyelamatkan tangkapan bolanya
jangan sampai jatuh ke tanah. Apabila
berhasil satu putaran dengan selamat
tanpa jatuh, maka kelompok
penunggang kuda mendapat hadiah
menunggang satu putaran sambil
memegang telinga jaran dan
bernyanyi.
Syair nyanyian dalam permainan
Jaranan
Jaranan-jaranan
Selentring ombake banyu
Mangklung-mangklung
Ke edanan jaran belo
9. Mul-mulan
Mul-mulan merupakan permainan
anak remaja untuk melatih berstrategi
dalam mempertahankan serangan lawan.
Permainan ini ada sejak jaman Darul
Islam (DI) yang bertekad mendirikan
Negara Islam yang lepas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Permainan
ini menggambarkan kondisi zaman itu.
Mul-mulan dimainkan 2 kelompok
pemain
yang
masing-masing
beranggotakan 9 orang. Langkah-langkah
permainan Mul-mulan sebagai berikut:
- Pemain memasuki daerah main
secara bergantian dan berupaya
membentuk barisan dengan bentuk
horizontal, vertikal, maupun diagonal,
dengan setiap barisnya terdiri atas 3
orang (bentuk pagar betis).
- Apabila dalam penyusunan pagar betis
berhasil dengan mulus diakhiri dengan
ucapan mul merdeka, maka
menanglah kelompok itu lalu
dilanjutkan dengan trik permainan
berikutnya.
- Apabila dalam penyusunan strategi
pagar betis itu tertutup pemain lawan
maka kalahlah kelompok itu dengan
nilai kekalahan 1.
- Pemain yang terkalahkan wajib
dikeluarkan dari kelompoknya.
2011
128
2011
2011
129
Permainan ini dimainkan anak lakilaki dan perempuan usia 5-10 tahun.
13. Ret-retan
Permainan diawali dengan undian
untuk menentukan penjaga benteng.
Berikut cara bermainnya:
- Penjaga benteng memejamkan
matanya untuk memberikan
kesempatan
teman-temannya
bersembunyi sambil menghitung dari
1 sampai 10.
- Penjaga benteng mencari temantemannya hingga ditemukan sambil
terus menjaga bentengnya agar tidak
terdahului yang lain memegang
benteng.
- Apabila salah satu teman yang
bersembunyi dapat ditemukan maka
penjaga benteng akan berteriak: Ong
si ..(nama yang ditemukan) sambil
berlari menuju benteng, kemudian
benteng dipegang sambil berteriak
retttt!!. Selanjutnya anak tersebut
dinyatakan mati dan siap
menggantikan posisi penjaga benteng
apabila semua temannya sudah
ditemukan.
- Apabila pada saat berlari menuju
benteng ternyata teman yang
ditemukan lebih dahulu menyentuh
benteng, maka anak tersebut dapat
melanjutkan permainannya dan bebas
dari hukuman sebagai calon penjaga.
- Jika semua anak yang bersembunyi
berhasil ditemukan, maka diadakan
undian untuk memilih calon penjaga
dengan cara si penjaga benteng tadi
menutup matanya dan menghadap ke
benteng. Kemudian semua pemain
berbaris satu-per satu di belakang si
penjaga. Penjaga lalu menebak nomor
urut temannya. Apabila tebakannya
tepat, maka anak yang tertebak
menggantikannya sebagai penjaga
130
Gbr. 2: Ret-retan
14. Panggalan
Panggalan merupakan permainan
perorangan. Permainan ini menggunakan
alat yang terbuat dari kayu atau bambu.
Alatnya berbentuk kerucut dengan
bagian bawah memakai kaki dan bagian
tengahnya ada lekukan. Bagian lekukan
merupakan tempat benang untuk
memutar alat tadi. Cara memainkannya,
benang dililitkan kemudian ditarik
sekuatnya agar alat tadi dapat berputar.
Panggal yang lebih dulu pecah, berhenti
berputar dan jatuh, dianggap kalah.
Selain dari kayu, panggal juga
dapat terbuat dari bambu. Buluh bambu
ditutup bagian atas dan bawahnya, dan
tengahnya dipasang sebuah kaki yang
tegak berdiri. Kaki tersebut dimaksudkan
agar panggal dapat berdiri sambil
berputar dan mengeluarkan suara yang
khas.
Sama halnya dengan di daerah
lainnya di Indramayu, di Lelea, Panggalan
merupakan permainan musiman dan lebih
2011
2011
131
17. Sampyong
Sampyong adalah jenis permainan
perorangan. Permainan Sampyong
menggunakan alat berupa tongkat dari
rotan berukuran sekitar 60 cm. Alat
tersebut digunakan untuk memukul lawan.
Permainan ini dilakukan di tengah
lapangan dan para penonton berdiri
mengelilingi pemain yang sedang
bertanding untuk saling mengalahkan.
Permainan diiringi dengan musik gamelan.
Pada permainan Sampyong
terdapat seorang wasit. Pemain
Sampyong bisa hanya remaja laki-laki
atau dicampur dengan perempuan dengan
syarat
yang perempuan harus
mengenakan celana panjang. Usia
pemain berkisar 20 tahun.
Setelah pemain yang akan
berhadapan sudah siap, maka keduanya
masuk arena dipandu oleh seorang wasit.
Dengan diiringi musik gamelan, kedua
pemain saling memukul. Bagian yang
dipukul harus bagian lutut ke bawah. Bagi
yang melanggar dinyatakan kalah.
Permainan diakhiri jika salah seorang
sudah dapat memukul lawan sebanyak 3
kali.
Manakala Sampyong masih
dilaksanakan, pelaksanaannya pada setiap
upacara Ngarot. Terakhir kali Sampyong
dilaksanakan sekitar tahun 1996.
18. Sayanghara/Panjat Pinang
Sayanghara bisa dimainkan
perorangan atau beregu. Istilah
sayanghara artinya sayembara.
Sayanghara menggunakan alat berupa
batang pinang atau bambu. Batang
tersebut ditanam di tanah supaya dapat
berdiri, kemudian dilaburi oli atau stempet
agar menjadi licin. Pada bagian paling atas
batang pinang yang berdiri tegak
digantungi benda seperti pakaian, rokok,
sabun, shampo, uang, dan jenis benda
132
2011
133
24. Semparan
Semparan biasa dimainkan oleh
anak-anak perempuan. Jumlah pemain
tidak dibatasi namun harus genap karena
harus
berpasangan.
Semparan
menggunakan alat berupa kerikil. Mereka
yang berhasil mengumpulkan batu lebih
banyak daripada lawannya adalah yang
menjadi pemenangnya. Sebaliknya yang
jumlah batunya lebih sedikit adalah yang
kalah. Bagi yang kalah akan dijiplek
ditepuk oleh yang menang yang
banyaknya telah ditentukan di awal
permainan.
Gbr. 4: Semparan
2011
134
2011
135
136
Abstrak
Pemimpin informal dalam suatu kampung adat sangat berperan penting dalam
kehidupan sehari-hari, oleh sebab itu eksistensinya tidak dapat dihilangkan. Ia tumbuh
dan berkembang serta muncul dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk
masyarakatnya. Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian
tentang Kajian mengenai Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal pada Masyarakat
Kampung Urug di Kabupaten Bogor. Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana,
mengapa dan dalam hal apa saja pemimpin adat di kampung adat tersebut berperan.
Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk
memperoleh data seluas-luasnya di lapangan dalam rangka mempelajari kondisi
masyarakat yang sedang diteliti. Kegiatan yang dilakukan adalah mencari dan
mengumpulkan data mengenai peranan pemimpin adat dalam kehidupan masyarakat.
Data dianalisis secara kualitatif dan diharapkan dapat menggambarkan mengenai
peranan pemimpin adat.
Kata kunci: fungsi peranan, pemimpin informal.
Abstract
Informal leaders play an important role in daily life of a kampung adat.
Therefore, his existence can not be eliminated. This kind of leaders grow and
develop within, by, and for his community. The author is interested in studying
the role and function of an informal leader in Kampung Urug in Kabupaten
Bogor, in order to know to what extent is his function and role in the community.
The author has conducted a descriptive method, the one that is used to get data
as vast as possible during fieldwork to study the community in question and
collecting information concerning the role of the adat leader in the life of the
society. Data were analysed qualitatively and hopefully they can describe the
role of the adat leader.
Keywords: function role, informal leader.
2011
137
A. PENDAHULUAN
138
2011
2011
139
140
2011
141
(dari kiri) Tokoh masyarakat, Olot Ukat, dan Olot Adang (alm.)
Sumber : Data penelitian tahun 2009
dibandingkan dengan pemimpin formal,
seperti rukun tetangga dan rukun warga,
yang terkait langsung dengan sistem
pemerintahan
dalam
mengisi
pembangunan dan pengembangan
daerahnya. Peran pemimpin informal
cenderung mengatur dan mengendalikan
kehidupan masyarakat yang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Pemimpin formal dan informal tadi
cukup seirama dalam mengatur roda
kehidupan masyarakat Kampung Urug.
Keduanya memiliki tugas dan tanggung
jawab yang berbeda, namun tetap saling
mendukung satu sama lainnya. Koordinasi
merupakan kunci sukses keduanya dalam
mengatur dan mengendalikan kehidupan
masyarakat Kampung Urug. Kampung
Urug sebagai salah satu kampung adat
memiliki satu struktur kepemimpinan
secara informal dalam arti suatu
2011
142
2011
2011
143
144
2011
2011
145
146
dengan
unsur-unsur
bagi
terselenggaranya proses belajar
mengajar. Pendidikan mencakup pula halhal yang bersifat abstrak yang kadangkadang tidak diajarkan di sekolah formal.
Oleh karena itu, wahana pendidikan
seorang anak manusia dibagi ke dalam
dua bagian besar, yaitu pendidikan formal
dan informal.
Pendidikan formal jelas arahnya.
Jelas jenjang pendidikannya dan jelas pula
materinya. Seseorang yang pernah
mengenyam pendidikan formal sedikit
banyak akan memperoleh selembar tanda
kelulusan pendidikannya, baik lulusan
sekolah dasar, lulusan sekolah lanjutan
tingkat pertama, maupun lulusan
pendidikan yang lebih tinggi lagi.
Sementara pendidikan informal
cenderung tidak menunjukkan tandatanda konkret dalam proses pendidikannya.
Adakah kelebihan dan kekurangan
dari adanya pembagian jalur pendidikan
di atas? Pada hakikatnya, kedua
pendidikan yang dimaksud saling
berkaitan. Artinya, kesinambungan
pendidikan seorang anak sangat
bergantung pada kedua pendidikan
tersebut. Seorang manusia yang sukses
di jalur pendidikan formal di atas kertas
mungkin akan memperoleh gambaran
masa depan yang cerah. Itu artinya tidak
akan mendapat kesulitan dalam hal
mencari mata pencaharian. Namun
berbeda dengan mereka yang tidak
mengenyam jalur pendidikan formal,
boleh dikatakan mereka dalam bayangan
madesu masa depan suram.
Tampaknya hubungan jalur pendidikan
formal dan informal pas bila dikatakan
sebagai hubungan saling mengisi.
Gambaran sebuah kampung adat
secara umum menunjukkan ketertutupan
dan ketertinggalan bagi adanya
pendidikan dunia luar. Orang sering
2011
2011
147
148
2011
2011
149
150
Pembangunan
sebenarnya
merupakan program perubahan yang
direncanakan dan dikehendaki.
Setidaknya pembangunan pada
umumnya merupakan kehendak
masyarakat yang diwujudkan dalam
sebuah keputusan yang diambil oleh para
pemimpin mereka. Keputusan tersebut
disusun dalam suatu perencanaan yang
selanjutnya direalisasikan. Pembangunan
tersebut mungkin hanya menyangkut satu
bidang kehidupan, namun mungkin juga
dilakukan secara simultan terhadap
berbagai bidang kehidupan yang
berkaitan. Bidang pembangunan yang
terlihat di Kampung Urug adalah
pembangunan fisik yang diperuntukkan
bagi kepentingan umum, di antaranya
masjid, MCK, dan jalan. Selain digunakan
sebagai tempat beribadah, mesjid juga
digunakan sebagai pusat kegiatan
keagamaan lainnya, seperti Mauludan dan
Rajaban. Peran pemimpin informal di
bidang pembangunan, khususnya
pembangunan masjid pun menjadi
indikator yang sangat penting. Oleh
karena itu, antara ketua adat dan pengurus
masjid harus bekerjasama dengan baik,
dalam arti saling memberi saran demi
mewujudkan kemajuan dalam bidang
keagamaan. Sedangkan pembangunan di
bidang pembuatan atau perbaikan MCK
ataupun jalan kiranya merupakan sarana
yang cukup penting dalam kehidupan
masyarakat Kampung Urug. Oleh karena
itu, pembangunan kedua sarana tersebut
diperoleh dari desa dan sebagian dari
swadaya masyarakat. Peran masyarakat
dalam pemperbaiki jalan dan MCK
2011
151
152
2011
2011
153
______.1992.
Beberapa Pokok Antropologi
Sosial, Jakarta : PT. Penerbit Dian
Rakyat.
Soekanto, Soejono .1990.
Sosiologi Suatu Pengantar,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sukarna.1987.
Social Control/Kontrol
Masyarakat. Cetakan ke-1.
Jakarta: Rajawali Press.
154
Abstrak
Menelusuri sejarah keberadaan sebuah kerajaan merupakan salah satu upaya
melakukan revitalisasi dengan semangat reformasi dengan mengambil hal-hal yang
baik dan membuang yang buruk. Kerajaan dalam sejarah bangsa Indonesia
menyimpan cerita kejayaan dengan berbagai pencapaian keunggulan budaya. Hal ini
dapat menjadi pelajaran dan sumber kearifan di dalam menjalani kehidupan berbangsa
dan bernegara. Atas dasar itu maka dilakukan penelitian mengenai sejarah Kerajaan
Sumedang Larang dengan tujuan untuk mengungkap proses berdiri dan
berkembangnya. Adapun metode yang digunakan adalah metode sejarah. Ternyata
Kerajaan Sumedang Larang memiliki catatan sejarah yang cukup panjang, karena
mengalami tiga masa dalam catatan sejarahnya, yaitu saat didirikan masa klasik menjadi
kerajaan bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran, menjadi kerajaan Islami dan merdeka,
serta menjadi kabupaten di bawah Kerajaan Islam Mataram.
Kata kunci: sejarah kerajaan, Jawa Barat.
Abstract
Tracing the history of a kingdom is one of the efforts to revitalize the
spirit of good old things and abandoning bad ones. In the history of Indonesian
people kingdoms have contributed to the glorious story of the peoples cultural
achievements. We can learn our lessons from the old wisdoms for the benefit of
our lives today. Based on this point of view, the author has conducted a research
on the Kingdom of Sumedang Larang in order to know its process of esblishment
and development. History method is used in this research. Actually, Sumedang
Larang had a quite long records of history because it had witnessed three
periods of time: a) as a vassal of the Sunda Kingdom of Pajajaran in its classical
period; b) as an independent Islamic kingdom, and c) as a kabupaten (regency)
under the Islamic Kingdom of Mataram.
Keywords: history of kingdom, West Java.
2011
2011
155
156
2011
2011
157
158
2011
2011
159
160
2011
2011
161
162
2011
2011
163
164
2011
2011
165
166
C. PENUTUP
2011
Adeng. 1999.
Pangeran Geusan Ulun Pendiri
Kerajaan Sumedang Larang
(1580-1608), dalam Budhiracana
Vol: 8. Bandung: BPSNT.
Adiwilaga, Anwas. 1975.
Beberapa Catatan tentang
Penulisan Sejarah Jawa Barat
Sekitar Permasalahannya.
Bandung: Proyek Penunjang
Peningkatan
Kebudayaan
Nasional Propinsi Jawa Barat.
Ayatrohaedi. 1998.
Nganjang ka Sumedang
Larang, Makalah. Bandung:
BKSNT Bandung.
Atmamihardja, R. Mamun, 1950.
Sadjarah Sunda I. Bandung:
Ganaco.
Atja. 1968.
Tjarita Parahijangan. Bandung:
Yayasan Kebudayaan Nusalarang.
________. 1970.
Tjarita Ratu Pakuan. Bandung:
Lembaga Bahasa.
________. 1986.
Negarakertabhumi 1-5. Karya
kelompok kerja di bawah
tanggung jawab Pangeran
Wangsakerta Panembahan
Cirebon, Proyek Penelitian dan
Pengkajian
Kebudayaan
(Sundanologi) Direktorat Jenderal
Kebudayaan,
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
2011
167
168
2011
169
Abstrak
Masjid Agung Banten Lama (Masjid Hasanuddin) adalah bangunan sakral
peninggalan Kesultanan Banten Lama. Kini masjid ini sudah berusia lebih dari empat
abad. Bangunannya memiliki bentuk arsitektur yang bernuansa Jawa, Belanda, dan
Cina. Dari masa ke masa dilakukan renovasi baik perbaikan maupun penambahan,
namun demikian bentuk keaslian arsitektur masjid relatif masih dapat dipertahankan.
Penelitian arsitektur Masjid Agung Banten Lama sangat menarik terutama untuk
mengetahui arsitektur tradisional yang memperkaya bangunan tersebut, mengingat
struktur bangunannya sudah sangat tua, namun masih tetap kokoh dan terpelihara
dengan baik. Penelitian ini meliputi arsitektur bangunan, fungsi, dan simbol. Adapun
metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif analitik. Arsitektur
bangunan yang dikaji sebatas pondasi, lantai, menara, momolo, serambi, bedug, kolam,
tempat wudhu, sumur kuno, tiang (pilar), umpak, mimbar, mihrab, jendela, pintu, dan
lubang angin.
Kata kunci: arsitektur, Masjid Agung Banten Lama (Masjid Hasanuddin)
Abstract
The Great Mosque of Old Banten (Hasanuddin Mosque) is a sacred
building of the Sultanate of Old Banten which is more than 400 years old. The
buildig itself has a Javanese, Dutch, and Chinese style. The original form is
preserved until today, although there were many renovations during its history.
It is interesting to study the architectural aspects of this mosque, for its structure
is very old but its strength is remarkable. This study covers tie building itself, its
function, and symbols accompanying it. The author has conducted a descriptiveanalytical method by studying the foundation of the building, the floor, the
minaret, momolo, serambi (the terrace), bedug, the pond, the place for ablution
(wudhu), the ancient well, the pillars, umpak (stairs), mimbar (the podium),
mihrab, and even the doors, the windows and ventilations.
Keywords: architecture, the Great Mosque of Old Banten (Hasanuddin Mosque).
2011
170
A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang
memiliki khasanah kebudayaan daerah
bagaikan untaian mutiara yang
membentang dari barat ke timur.
Sementara itu, unsur kebudayaan
merupakan sumber yang potensial bagi
terwujudnya kebudayaan nasional. Salah
satu unsur kebudayaan yang kini masih
tetap hidup dan dijadikan sebagai tuntunan
serta pedoman dalam kehidupan seharihari oleh suku-suku bangsa di Indonesia
adalah arsitektur tradisional.
Arsitektur tradisional sebagai salah
satu unsur kebudayaan sebenarnya
tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan suatu suku bangsa. Oleh
karena itu, tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa arsitektur tradisional
merupakan suatu hal yang dapat
memberikan ciri serta identitas suku
bangsa sebagai pendukung suatu
kebudayaan tertentu. Batasan tentang
arsitektur tradisional telah banyak
diberikan oleh para ahli. Batasan-batasan
tersebut secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa arsitektur tradisional
merupakan suatu bangunan yang bentuk,
struktur, fungsi, ragam hias, dan cara
membuatnya diwariskan dari suatu
generasi ke generasi berikutnya, serta
dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk
melaksanakan aktivitas kehidupan.
Peninggalan arsitektur tradisional
di wilayah Nusantara dapat dibagi
berdasarkan fungsinya menjadi dua jenis,
yaitu bangunan profan seperti rumah
tempat tinggal dan bangunan sakral (suci)
seperti rumah adat, bangunan tempattempat ibadah, dan sebagainya.
Bangunan-bangunan profan umumnya
banyak yang sudah mengalami
perubahan karena dibuat dengan bahan/
material yang kurang kuat, sedangkan
bangunan-bangunan yang bersifat sakral
2011
2011
171
172
2011
173
174
2011
175
176
2011
177
178
2011
179
180
j. Lubang Angin
Lubang angin di Masjid Agung
Banten Lama terdapat pada dinding
sebelah barat dan timur masjid. Lubang
angin yang terdapat di dinding sebelah
barat masjid berjumlah satu dan yang
terdapat di sebelah timur dua buah.
Lubang angin ini berfungsi sebagai
ventilasi atau sirkulasi angin agar di bagian
dalam tidak kekurangan udara segar.
Lubang angin yang terdapat di sebelah
barat berukuran 126 cm X 64 cm dan
yang terdapat di sebelah timur berukuran
167 cm X 53 cm. Bentuk lubang angin
adalah segi tiga yang disusun sedemikian
rupa sehingga membentuk berbagai
bidang seperti belah ketupat dan empat
persegi panjang. Pada lubang angin ini ada
hiasan berupa plesteran tembok yang
membentuk motif kertas tempel.
Di atas langit-langit atap paling atas
terdapat lubang angin. Lubang angin
tersebut terdapat pada kusen yang terbagi
dua, tiap bidang membentuk empat
persegi panjang dengan jeruji masingmasing enam buah yang menghasilkan
lubang-lubang angin sebagai ventilasi
agar udara yang ada di bawahnya tidak
pengap melainkan adem dan sejuk.
k. Bedug
Bedug merupakan kelengkapan
masjid khususnya di masjid-masjid yang
masih tradisional. Bedug dipukul jika tiba
waktunya shalat lima waktu (Subuh,
Dhuhur, Ashar, Magrib, Isya). Fungsi
(memukul) bedug yaitu untuk
memberitahukan kepada warga bahwa
waktu shalat telah tiba. Selain itu, bedug
juga digunakan pada waktu malam
takbiran yaitu untuk menyambut
datangnya hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha. Bedug ini adalah sebuah alat pukul
2011
2011
181
182
n. Tempat Berwudhu
Tempat berwudhu di Masjid Agung
Banten Lama tadinya berupa kolam yang
terletak di sebelah timur masjid tepatnya
di kaki serambi timur. Karena kondisi
airnya yang sudah tidak layak untuk
dijadikan sarana berwudhu, kemudian
tempat berwudhu dialihkan ke sebelah
utara masjid, tepatnya di muka pintu
masjid sebelah utara. Bangunan baru
berdiri secara permanen dengan atap
terpisah dari masjid dengan kran-kran
airnya berhadapan dan jumlahnya
banyak. Dengan demikian para
pengunjung baik yang akan melakukan
salat maupun peziarah tidak perlu
menunggu terlalu lama untuk berwudhu.
Sementara itu, untuk keperluan mandi/
BAB/BAK disediakan kamar mandi di
sebelah barat laut dekat mushola yang
masih berada di kompleks Masjid Agung
Banten Lama.
o. Sumur Kuno
Masjid Agung Banten Lama sejak
dahulu memiliki sebuah sumur yang
dikeramatkan dengan berbagai khasiat di
dalamnya. Sumur itu dinamakan sumur
kuno. Sumur kuno sejak dahulu sampai
sekarang belum pernah kering, walaupun
banyak digunakan orang terutama dengan
banyaknya
peziarah.
Keadaan
permukaan air sumur cukup dangkal
kurang lebih empat meter dari permukaan
tanah. Selain itu airnya tetap tawar
walaupun dekat laut, hanya berjarak
kurang lebih 1,5 km. Dinamakan sumur
kuno karena sumur ini sudah ada sejak
lama, diperkirakan bersamaan dengan
berdirinya Masjid Agung Banten Lama,
sekitar abad ke-16 Masehi atau empat
abad (400 tahun) yang lalu.
Sumur kuno ini memiliki kedalaman
empat meter dengan lebar 50 cm X 50
cm dan tinggi 1 m. Sebelum dipugar,
2011
183
184
2011
2011
185
186
DAFTAR PUSTAKA
Herrystiadi, Anton. 1990.
Masjid Agung Banten; sebuah
Tinjauan Arkeologi. Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia:
Jakarta.
Moh, Alimansyur et al. 1990/1991.
Arsitektur Tradisional Daerah
Sumatera Selatan. Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi
Kebudayaan
Daerah, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
2011
187
Tinjauan Buku
:
:
:
:
:
:
:
188
Beberapa pernyataan di atas menyiratkan kecemasan terhadap kondisi yang ada.
Sebenarnya, selalu ada hal-hal yang menggembirakan berkaitan dengan meningkatnya
publikasi para ahli naskah-naskah kuna. Salah satunya adalah penerbitan buku Tiga
Pesona Sunda Kuna yang dikerjakan sarjana Belanda J.J. Noorduyn dan A. Teeuw. Pada
awalnya Noorduyn yang menulis karya ini, namun karena kondisi kesehatan yang terus
memburuk, pekerjaan ini dilanjutkan rekannya, A.A. Teeuw. J.J. Noorduyn (1926-1994)
adalah mantan direktur KITLV, sedangkan A. Teeuw adalah Profesor Emeritus bidang
Bahasa dan Sastra Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden.
Sebagaimana dikatakan penerjemahnya, buku ini merupakan pencapaian tak
ternilai di bidang filologi, bahasa, dan sastra mengenai tatanan kehidupan masyarakat
Sunda Kuna. Selama ini penjelajahan mengenai kekayaan batin masyarakat Sunda,
khususnya sejarah dan kebudayaan, masih amat terbatas. Seakan-akan masa ratusan tahun
tersebut tidak memberikan informasi apa-apa. Upaya untuk merekonstruksi sejarah dan
kebudayaan Sunda dari sumber tertulis memiliki tantangan yang lebih besar lagi manakala
sumber-sumber berupa prasasti amat terbatas jumlahnya.
Sejak zaman kolonial, sarjana asing sudah melakukan penelitian terhadap naskahnaskah Sunda kuna, antara lain K.F. Holle dan C.M. Pleyte. Para ahli dari kalangan
masyarakat Sunda mulai melakukan penelitian filologis di penghujung tahun 1950-an atau
awal 1960-an.
Buku ini membahas tiga naskah Sunda kuna yang berasal dari abad ke-16, yaitu
Para Putera Rama dan Rawana; Pendakian Sri Ajnyana dan Kisah Bujangga Manik:
Jejak Langkah Peziarah. Ketiga naskah tersebut berupa teks puisi yang ditulis dalam
bentuk sajak delapan suku kata.
Teks Para Putera Rama dan Rawana bercerita mengenai para putera Rama yang
terlibat peperangan melawan putra Rawana. Teks ini menjadi menarik karena memiliki
sifat ganda. Di satu sisi, teks ini berkesesuaian dengan cerita-cerita Rama dalam tradisi
Asia Tenggara. Akan tetapi di sisi lain, teks ini memperlihatkan karakteristik cerita rakyat
Indonesia. Dapat dikatakan bahwa teks ini semacam epik rakyat (hal. 140).
Teks Pendakian Sri Ajnyana bercerita mengenai tokoh Sri Ajnyana yang turun
dari kahyangan menuju bumi. Dikatakan bahwa kekacauan melanda dunia disebabkan
semua hukum dan aturan tidak diindahkan manusia. Selain itu, manusia telah dirasuki
Dewa Kala (dewa kehancuran). Teks ini merupakan puisi didaktis yang khas yang secara
alegoris melukiskan bahwa setiap perbuatan tercela akan menimbulkan penderitaan,
siksaan, dan hukuman di neraka. Oleh karena itu, manusia harus bertobat kembali pada
ajaran agama, bertapa dan beribadat, dan akhirnya melakukan pembebasan rohaniah (hal.
156).
Teks Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah bercerita mengenai
Pangeran Jaya Pakuan atau Bujangga Manik atau Ameng Layaran yang melakukan
perjalanan ke daerah-daerah sepanjang Pulau Jawa. Puisi ini menyiratkan renungan berupa
189
pengembaraan yang panjang dalam usaha anak manusia membebaskan dirinya dari hawa
nafsu duniawi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sang peziarah melakukan tiga hal, yaitu
terus bertahan melawan godaan, menerapkan secara tepat ajaran agama, serta menjalani
tapabrata untuk melepaskan diri dari kungkungan dunia (hal. 179).
Secara khusus naskah Bujangga Manik merupakan sumber primer bagi penulisan
sejarah Sunda akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Naskah tersebut mencerminkan
kesadaran historisitas yang tinggi. Penulis naskah mencatat lebih dari 450 nama tempat,
termasuk di dalamnya 90 nama gunung dan 90 nama sungai. Geografi Pulau Jawa
setidaknya dapat dipetakan dengan baik.
Kedua penulis bukan saja membuat transkripsi dan translasi terhadap ketiga
naskah itu, tetapi juga memberi interpretasi yang lengkap mengenai detil-detil ketiga
naskah itu. Bagi ahli bahasa, buku ini penting sebagai dasar untuk melacak aspek
kebahasaan yang berkembang pada masa itu. Bagi budayawan, buku ini berharga untuk
melihat budaya sezaman. Bagi sejarawan, buku ini merupakan sumber primer penulisan
sejarah Sunda sekurang-kurangnya awal abad ke-16. Akhirnya, buku ini bermanfaat bagi
para peminat naskah kuna, khususnya yang berkenaan dengan khasanah kesundaan pada
masa lalu (Iim Imadudin).