Anda di halaman 1dari 189

1

Wawacan Buhaer ... (Agus Heryana)

WAWACAN BUHAER
KAJIAN STRUKTURAL DAN ANALISIS ISI
Oleh Agus Heryana
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jalan Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung
E-mail: agus.yana17@yahoo.co.id
Naskah diterima: 5 Januari 2011

Naskah disetujui: 21 Februari 2011

Abstrak
Wawacan Buhaer adalah sebuah naskah koleksi Balai Pengelolaan Museum
Negeri Sribaduga Provinsi Jawa Barat dan cole Franaise dExtrme-Orient
(EFEO-Jakarta) yang ditulis tangan dengan menggunakan huruf Arab Pegon serta
dalam bahasa Sunda. Teks Wawacan Buhaer berisi mengenai tokoh Buhaer. Buhaer
adalah nama seorang pemuda miskin yang menjadi kaya karena faedah tiga buah
azimat sakti. Tujuan penelitian teks Wawacan Buhaer adalah untuk mengungkap
dan menyosialisasikan nilai budayanya. Guna mengungkap kandungannya, teks
Wawacan Buhaer dikaji dari sudut bidang sastra dengan menggunakan pendekatan
stuktural dan analisis isi. Hasil pengkajiannya memberikan gambaran bahwa di dalam
mencapai cita-cita atau keinginan seseorang harus mempunyai semangat, keteguhan
hati, ketabahan dan kesabaran dalam penderitaan, serta kekuatan atau kemampuan
diri di dalam menanggulangi rintangan atau gangguan.
Kata kunci: naskah, Wawacan Buhaer, kajian stuktural, analisis isi.
Abstracts
Wawacan Buhaer is a manuscript that belongs to Balai Pengelolaan
Museum Negeri Sribaduga, the Province of West Java and cole Franaise
dExtrme-Orient (EFEO), Jakarta. It is written in Arab Pegon with the
Sundanese language. It tells about Buhaer, a poor young man who became
rich because he had three magical amulets. The research tried to reveal and to
socialize its cultural values from literature point of view by means of structural
approach and content analysis. The result gives us view that if we have a desire
then we have to have the strength, either mentally or spiritually, to cope with
any kinds of obstacles.
Keywords: manuscript, Wawacan Buhaer, structural study, content analysis.

2011

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 1-17

A. PENDAHULUAN

Ungkapan Sunda berbunyi sing


saha melak bonteng tangtu hasilna ge
bonteng. Sing saha nu melak kadu
hasilna ge kadu (Siapa yang menanam
mentimun akan berbuah mentimun. Siapa
yang menanam duren akan berbuah duren
juga). Ungkapan ini memberikan
pengajaran kepada kita bahwa hasil yang
dicapai seseorang sangat bergantung
pada apa yang dikerjakannya. Pengajaran
yang sangat berharga ini seringkali
dipatahkan oleh kenyataan yang
kontradiktif. Seorang tokoh tiba-tiba saja
muncul menjadi penguasa daerah tanpa
diketahui latar belakangnya. Seorang
pahlawan muncul tanpa diketahui jasanya.
Tidak menutup kemungkinan akan muncul
seorang pecundang menjadi pahlawan
yang dihormati.
Karya sastra dalam pandangan
sosiologi merupakan cerminan suatu
masyarakat (Teeuw,184:153). Ungkapan
tersebut lebih disebabkan pandangan
pembaca terhadap karya sastra. Artinya,
pembaca tidak sekadar memahami karya
sastra sebagai sebuah dunia otonom yang
terlepas dari kenyataan, tetapi ia
memahami adanya keterkaitan antara
karya sastra dengan kenyataan serta
masyarakat itu sendiri yang menjadi
(penentu) penerima karya sastra. Jadi,
karya sastra yang baik akan
memantulkan bayang-bayang suatu
masyarakat yang menjadi latar belakang
kisahnya. Sekurang-kurangnya karya
sastra memberi jawaban atas pertanyaan
kelompok masyarakat mana yang
terdapat di dalamnya. Sebuah contoh
adalah kisah Nagabonar yang telah
difilmkan dalam layar lebar. Pada
dasarnya kisah tersebut merupakan
petualangan seorang pecundang yang
bernasib baik menjadi seorang pahlawan.
Gelar pecundang biasannya diberikan

kepada kelompok sosial tertentu yang


memiliki kejelekan atau kejahatan dan
tidak diperhitungkan. Kisah tersebut
secara tidak langsung memberi makna
jangan remehkan seseorang, sekalipun
pecundang. Sebab di dalam dirinya
tersembunyi kekuatan yang tidak
diketahui orang lain, bahkan oleh dirinya
sendiri.
Kisah pecundang menjadi
pahlawan atau penyelamat dalam dunia
sastra bukanlah hal yang asing, salah satu
kisah yang senada dengan itu dalam
sastra lama Sunda adalah Wawacan
Buhaer. Dalam wujud fisiknya,
Wawacan Buhaer (selanjutnya disingkat
WB) masih berupa naskah yang ditulis
menggunakan aksara Pegon dan bahasa
Sunda. Kisahnya sendiri mengenai
seorang pemuda miskin dan berandal dari
kalangan rakyat jelata yang ingin
mempersunting putri raja. Keinginannya
itu telah mengantarkan pada berbagai
petualangan dan penderitaan. Namun
berkat kegigihan, optimisme dan bantuan
azimat sakti serta doa orang tua, tokoh
Buhaer dapat mencapai cita-citanya.
WB merupakan naskah kelompok
sastra karena mengetengahkan unsurunsur cerita. Cerita itu sendiri
mengandung arti kisahan nyata atau
rekaman dalam ragam prosa atau puisi
yang tujuannya menghibur atau
memberikan informasi kepada pendengar
atau pembacanya (Sudjiman,1986:14).
Penyampaian informasi ini terjadi melalui
jalinan peristiwa yang saling berkaitan
satu dengan yang lainnya dan membangun
(struktur) cerita yang utuh.
Seorang peneliti sastra yang ingin
menganalisis suatu karya sastra dapat
memanfaatkan berbagai pendekatan,
antara lain menurut Abram (1953: 3-20):

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Wawacan Buhaer ... (Agus Heryana)


1. Pendekatan objektif
yang
mementingkan karya sastra sebagai
stuktur mandiri;
2. Pendekatan ekspresif,
yang
mementingkan penulis sebagai
pencipta;
3. Mimetik, yang mengutamakan
penilaiannya dalam hubungan karya
seni dengan kenyataan;
4. Pragmatik, yang mengutamakan
peranan
pembaca sebagai
penyambut karya sastra.
Keempat pendekatan yang
diajukan oleh Abram ini pada
kenyataannya tidak dipakai seluruhnya
dalam penganalisisan sebuah karya
sastra. Dalam arti penganalisisannya lebih
berfokus pada satu pendekatan saja.
Sehubungan dengan itu pendekatan yang
dipakai apabila merujuk pada pendapat
Abram adalah pendekatan objektif atau
dalam istilah lain adalah strukturalisme.
Pendekatan yang dimaksud
(objektif atau struktur) bertitik tolak pada
suatu anggapan bahwa sebuah karya
sastra atau peristiwa dalam masyarakat
menjadi suatu keseluruhan karena ada
relasi timbal balik antara bagianbagiannya dan antara bagian dengan
keseluruhan. Dengan kata lain, kesatuan
sturuktual mencakup setiap bagian dan
sebaliknya bahwa setiap bagian
menunjukkan kepada keseluruhan ini dan
bukan yang lain (Luxemburg, 1984: 38).
Demikian pula Teeuw (1982)
merumuskan strukturalisme sebagai
berikut: Asumsi dasar strukturalisme
adalah sebuah karya merupakan
keseluruhan, kesatuan makna yang bulat,
mempunyai koherensi intransik, dalam
keseluruhan itu setiap bagian unsur
memainkan peranan yang hakiki;
sebaliknya unsur dan bagian mendapat
makna seluruhnya dari makna
keseluruhan teks: lingkaran hermeneutik.

2011

Dalam kalimat lain, teks karya sastra


adalah sesuatu yang konstan, mantap,
tidak berubah sepanjang masa sesuai
dengan ciptaan penulisnya. Strukturnya
pun sesuatu yang utuh bulat yang bagian
bagian dan anasir-anasirnya ikut
menentukan makna keseluruhan makna
dan sebaliknya oleh makna keseluruhan
teks itu fungsi dan maknanya masingmasing ditentukan. Artinya, perubahan
dalam teks mengakibatkan perubahan
dalam arti dan makna, baik keseluruhan
maupun bagian dan anasir-anasirnya
(Teeuw,1984: 250).
Adapun yang dimaksud dengan
struktur ialah suatu karya sastra itu
menjadi suatu kesatuan karena hubungan
antar-unsurnya, dan sebaliknya juga
antara unsur-unsurnya dengan keseluruhan.
Hubungan ini tidak selalu merupakan
hubungan yang positif seperti keserasian
dan keselarasan, tetapi juga hubungan
yang negatif seperti pertentangan atau
konflik. Analisis sturuktural bertujuan
menelaah seteliti mungkin hubungan,
jalinan dan keterkaitan semua unsur karya
sastra yang menghasilkan suatu
keseluruhan yang koheren.
Dalam praktiknya sebuah teks sastra
diurai ke dalam berbagai unsur yang
membentuknya. Dalam hal ini adalah
latar, tokoh, tema atau amanat, dan alur
dikaji secara detil, yang pada gilirannya
membentuk kesimpulan dalam
pengungkapan atau penafsiran sebuah
teks sastra.
B. HASIL DAN BAHASAN
1.

Naskah

Wawacan

Buhaer

Ada dua naskah WB yang


ditemukan di dua tempat yang berbeda
yaitu: pertama, Balai Pengelolaan
Museum Sribaduga Provinsi Jawa Barat,
dengan nomor registrasi 6592 dan nomor
inventaris 07.145 dan kedua, cole

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

4
Franaise dExtrme-Orient (EFEO)Jakarta dengan nomor katalog EFEO/
KBN-91 No. Microfilm Ford Foundation:
- 67/KBN.411 a/166 c. Namun perlu
dicatat kondisi naskah masing-masing
menunjukkan ketidaklengkapan dalam
segi halaman. Naskah Museum
Sribaduga halaman pertama tidak ada,
hilang, tetapi isi ceritanya tamat.
Sedangkan naskah EFEO kondisinya
rusak dan isi ceritanya tidak tamat. Kedua
naskah WB tersebut telah dikaji melalui
kajian filologis1 (Heryana, 2010) guna
diperoleh teks naskah yang dapat
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah
akademis.
Perbandingan teks naskah WB
menunjukkan persamaan dan perbedaan
yang tidak mencolok. Hal ini
mengindikasikan kedua naskah tersebut
masih dalam satu versi cerita. Persamaan
yang pokok adalah bahasa, aksara,
susunan cerita, bahan tulisan dari kertas
dan tanda-tanda ejaan sebagaimana
diurai di bawah ini.
Naskah Buhaer ditulis dalam
aksara Arab-Pegon dengan menggunakan
bahasa Sunda masa kini. Tipe hurufnya
kecil-bulat dan lurus yang dapat dilihat
secara kasat mata pada huruf 1 (ra) ,
(wa) H (wa). Di samping itu pemakaian
huruf 3 (sin) tidak konsisten. Kadangkadang ada tanda gerigi pada lengkungan
kepalanya, seperti pada kata: susah
1
Pengertian filologi menurut Pradotokusumo
(2005: 9) adalah cabang ilmu sastra yang objek
studinya secara tradisional memasalahkan variasi
teks. Dalam perluasan artinya, filologi adalah ilmu
bahasa dan studi tentang kebudayaan bangsa-bangsa
beradab seperti yang diungkapkan dalam bahasa,
sastra, dan agama mereka, terutama yang sumbernya
didapat dari naskah-naskah sehingga secara umum
dapat disebut ilmu tentang naskah-naskah. Dalam
pada itu, inti kegiatan filologi adalah penentuan
bentuk teks yang paling dapat dipercaya. Untuk
menyusun kembali teks yang demikian diperlukan
pengetahuan mengenai pengarangnya, kebudayaan,
dan tradisi yang mempengaruhi karyanya (Sutrisno,
1979 : 46-8).

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 1-17


, tetapi di lain tempat tanpa garis
gerigi-lengkung. Artinya huruf sin cukup
ditulis dengan garis lurus saja seperti pada
kata suka
.
Teks naskah menggunakan dua
macam tanda baca, yaitu, pertama garis
miring ganda dalam bentuk kecil ( // )
(kuring //
gancang kumawani //) sebagai tanda
batas larik (padalisan). Kedua, tanda
seperti dua huruf /tha/ yakni tanda
sebagai tanda batas bait (pada). Di
samping itu, tanda
ini dipakai pula
untuk menandai pergantian nama pupuh
dengan cara menempatkan tanda itu
sebanyak empat sampai dengan tujuh
buah di sebelah kiri dan kanan pupuh,
misalnya,
(pupuh
sinom)
Naskah Wawacan Buhaer ditulis
dalam bentuk puisi (tembang). Puisi
dalam pengertian tradisional adalah
karangan yang terikat oleh aturan-aturan
persajakan yang disebut pupuh. Pupuh
itu sendiri terdiri atas beberapa macam
yang setiap pupuh mempunyai aturan dan
karakter tersendiri.
Naskah Wawacan Buhaer itu
sendiri ditulis dengan menggunakan 10
pupuh, yaitu: (1) Dangdanggula sebanyak
1 kali , (2) Sinom sebanyak 1 kali, (3)
Pangkur sebanyak 2 kali, (4)
Asmarandana sebanyak 2 kali, (5)
Kinanti sebanyak 2 kali, (6) Magatru
sebanyak 2 kali, (7) Durma sebanyak 1
kali, (8) Mijil sebanyak 2 kali, (9) Ladrang
sebanyak 1 kali, dan (10) Balakbak
sebanyak 1 kali.
2. Ringkasan Cerita

Dikisahkan seorang pemalas


bernama Guna Sabda dari Kampung
Paminggir. Ia mempunyai 3 (tiga) azimat
warisan orang tuanya berupa suling, ali
(cincin), dan ketu (kopiah). Ketiga azimat

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Wawacan Buhaer ... (Agus Heryana)


itu memiliki keistimewaan yang berbeda,
yaitu: suling untuk memanggil raja jin,
cincin untuk memanggil patih jin, dan
kopiah untuk menghilang dari pandangan
mata.
Guna Sabda beristrikan Nyi Sainah
yang dikaruniai seorang anak lelaki
bernama Buhaer Kecil. Keadaan Guna
Sabda pada awalnya seorang miskin.
Namun berkat khasiat azimatnya, ia
kemudian menjadi orang terkaya di
kampungnya.
Tabiat Buhaer Kecil sangat
berbeda dengan ayahnya. Ia seorang
berandal, pemabuk, penjudi dan sangat
tidak hormat kepada orang tuanya. Hal
ini menjadi penyebab Guna Sabda
meninggal dunia. Ia sakit karena
memikirkan kelakuan anaknya. Sebelum
meninggal dunia, ia berwasiat kepada
isterinya untuk memberikan tiga
azimatnya kepada anaknya, Buhaer
Kecil, saat dewasa nanti.
Setelah Guna Sabda meninggal
dunia, kehidupan Nyi Sainah kembali
miskin. Harta kekayaan yang berlimpah
ruah itu habis dijual oleh anaknya kecuali
tiga azimat peninggalan suaminya.
Pada satu saat ketiga azimat itu
diberikan kepada anaknya. Buhaer
mencoba khasiat suling azimat. Ia
membawanya untuk mengamen. Tiupan
suling telah menyebabkan keluarnya 2
raja jin yang patuh dan setia kepada
pemilik suling itu. Buhaer meminta
kekayaan dari raja jin tersebut.
Permintaannya dikabulkan dan akhirnya
Buhaer menjadi orang terkaya kembali
di desanya, Kampung Paminggir.
Buhaer menginginkan seorang
isteri, putri Raja Melawati, bernama
Ratnasari. Putri nan cantik ini menjadi
rebutan 25 raja bawahan Kerajaan
Melawati. Berbagai cara telah ditempuh
Buhaer untuk memperdaya dan menarik

2011

hati putri raja, namun yang terjadi adalah


dirinya yang selalu diperdaya oleh
kelicikan Putri Ratnasari.
Pengalaman memakan buah
beracun di sebuah hutan telah melahirkan
ide untuk memperdaya kelicikan Putri
Ratnasari. Ia menyamar sebagai penjual
buah-buahan yang dikhususkan untuk
keluarga kerajaan. Pasca memakan buah
tersebut keluarga kerajaan terkena
penyakit aneh. Semua dukun dan tabib
tidak sanggup menyembuhkannya.
Sampai akhirnya Raja mengeluarkan
sayembara yang berisi janji untuk
menjadikan Putri Ratnasari sebagai isteri
bagi siapa saja yang menyembuhkannya.
Buhaer yang mempunyai obat penawar,
berupa buah berwarna putih, dapat
menyembuhkan semua penyakit yang
diidap keluarga kerajaan.
Kesembuhan keluarga Kerajaan
Melawati
telah
mendatangkan
kegembiraan untuk Buhaer. Tetapi,
tidaklah demikian untuk para 25 raja
bawahan Melawati; mereka kecewa dan
memandang rendah Buhaer yang pada
akhirnya menantang perang. Terjadilah
perang. Dalam peperangan itu, Buhaer
menjadi pahlawannya. Ia dengan azimat
yang dimilikinya sangat mudah
mengalahkan dan menaklukkan ke-25
raja itu. Akhir cerita atas kemenangan
itu Buhaer diangkat menjadi raja
Melawati sekaligus mempersunting Putri
Ratnasari. Dan sebagai penutup, Buhaer
Kecil tidak lupa untuk memboyong ibunya
ke istana.
3. Struktur Karya Sastra

Penganalisisan naskah WB dari segi


sastra lebih menitikberatkan pada aspek
intrinsik, yakni menganalisis karya itu
sendiri tanpa melihat kaitannya dengan
data di luar cipta sastra tersebut
(Sukada,1987: 51). Dalam hubungannya

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

6
dengan penganalisaan karya sastra atau
menurut istilah Sudjiman adalah cerita
rekaan, maka yang terpenting adalah
alur, tema, dan tokoh (1988: 11).
Kekurangan pendekatan struktural dalam
karya sastra lepas dari dunia luar. Seolaholah anak buangan yang tidak tahu lagi
induknya. Oleh karena itulah, untuk
melengkapi kekurangan tersebut, pada
akhir uraian dikemukakan nilai budaya
yang terkandung dalam WB dengan
menggunakan metode analisis isi
(content analysis).
a. Alur Cerita

Seorang yang menganggap karya


sastra sebagai stuktur yang mandiri, plot
atau alur harus mempunyai suatu
wholeness atau keutuhan. Pembaca
suatu karya sastra selalu mencoba
memahami fungsi unsur-unsur atau
peristiwa-peristiwa dalam rangka
keseluruhan plotnya. Kaum formalis
memperkenalkan beberapa istilah dan
pengertian yang penting bagi suatu teks
yang bersifat epik (Sujiman, 1986:41).
Istilah yang dimaksud antara lain: Motif
adalah suatu kesatuan struktural yang
paling kecil yang berfungsi sebagai
penghubung unsur-unsur yang
mendukung stuktur cerita; fabula (cerita)
adalah suatu rantai motif dalam urutan
kronologis dan sujet (plot) adalah
penyajian motif-motif yang telah disusun
secara artistik atau menurut Foster, cerita
adalah urutan peristiwa dalam hubungan
waktu, sedang alur adalah hubungan
sebab akibat yang ada antara peristiwaperistiwa dalam cerita (Foster, 1947: 87).
Berdasarkan rangkaian cerita
terdapat dua macam plot yang lazim
dijumpai dalam karya-karya sastra, yaitu
plot lurus (linear) dan plot arus balik
(flash back). Plot atau alur lurus adalah
urutan penceritaan yang searah. Alur ini

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 1-17


biasanya diawali dengan perkenalan para
tokoh, kemudian peristiwa-peristiwa yang
mengikutinya secara berurutan sampai
pada akhir cerita. Adapun alur sorot balik
(flash back) adalah susunan penceritaan
dalam gerak maju mundur. Artinya cerita
tidak selalu diawali dengan perkenalan,
tetapi seolah-olah mulai dari tengah dan
memotong kejadian.
Alur WB apabila dianalisis lebih
rinci sebenarnya terdiri atas dua cerita,
yaitu, pertama cerita tentang Guna
Sabda dan Sainah hingga kelahiran
anaknya, Buhaer. Kedua, cerita Buhaer
yang dimulai sejak kematian ayahnya,
Guna Sabda, hingga perjuangan mencapai
cita-citanya mempersunting putri raja.
Secara umum alur cerita WB dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Riwayat Guna Sabda dengan jimat
wasiatnya, yang membuat dirinya
kaya.
2. Kelahiran Buhaer serta tabiatnya
yang berandal menjadi sebab
meninggalnya sang ayah.
3. Penyampaian wasiat ayahnya
kepada Buhaer.
4. Buhaer menjadi orang yang kaya
berkat jimat wasiat.
5. Keinginan untuk meminang putri
Raja Melawati, Ratnasari.
6. Buhaer selalu diakali dan ditipu putri
raja.
7. Buhaer menemukan buah bulgan
yang mempunyai 4 (empat) warna,
yang masing-masing warna
mempunyai khasiat berbeda.
8. Buhaer menyamar menjadi
pedagang Arab yang berjualan buah
bulgan.
9. Keluarga raja tertimpa penyakit
yang tidak ada obatnya.
10. Sayembara.
11. Tabib dan dukun tidak sanggup
menyembuhkan.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Wawacan Buhaer ... (Agus Heryana)


12. Buhaer menyembuhkan penyakit
raja dan putri.
13. Raja Salawe Negri menangtang
perang.
14. Buhaer menaklukkan Raja Salawe
Negri.
15. Pernikahan Buhaer dengan Putri
Ratnasari.
16. Buhaer memboyong ibunya ke
istana.
Dalam pada itu, alur cerita WB
bersifat lurus. Satu peristiwa dengan

peristiwa berikutnya saling menguatkan.


Di dalamnya tidak ditemukan loncatanloncatan cerita. Alur cerita mengalir dari
hulu ke hilir sebagaimana alur cerita yang
dikemukakan oleh Sudjiman (1988: 30).
Ia mengemukakan, struktur umum alur
terbagi atas tiga bagian besar, yaitu awal,
tengah, dan akhir. Bagian awal terdiri atas
paparan (exposition), rangsangan
(inciting moment) , gawatan (rising
action). Bagian tengah terdiri atas tikaian
(conflict), rumitan (complication), dan
klimaks. Adapun bagian akhir terdiri atas
leraian (falling action) dan selesaian.
Penerapan alur pada cerita Wawacan
Buhaer adalah sebagai berikut.
2011

7
b.Tokoh dan Penokohan
Pradotokusumo (1986: 53)
menjelaskan bahwa tokoh dalam karya
sastra adalah manusia-manusia yang
ditampilkan oleh pengarang dan memiliki
sifat-sifat yang ditafsirkan dan dikenal
pembacanya melalui apa yang mereka
lakukan. Kemudian Rusyana (1979: 128)
lebih menyoroti akan peranan para pelaku
dalam suatu karya sastra, maka ia
berpendapat bahwa pelaku (tokoh) itu
terdiri atas 3 peranan, yaitu: pelaku
utama, pelaku pelengkap, dan pelaku
figuran. Sedangkan Sujiman membedakan
tokoh tersebut menjadi tokoh sentral dan
tokoh bawahan. Tokoh sentral dapat
disamakan dengan tokoh utama atau
protagonis dan tokoh bawahan adalah
tokoh yang tidak sentral kedudukannya
di dalam cerita, tetapi kehadirannya
sangat diperlukan untuk menunjang atau
mendukung tokoh utama (Grimes, dalam
Sujiman, 1988: 19).
Dalam WB, tokoh yang lebih
menonjol adalah tokoh yang berperan
sebagai pelaku utama (tokoh sentral) di
samping pelaku pelengkap (tokoh
bawahan). Peranan Buhaer sebagai
pelaku utama lebih menonjol. Artinya,
seluruh alur cerita mengarah pada pelaku
tokoh utama ini, walaupun perlu
diperhatikan
bahwa
intensitas
kemunculan tokoh utama dalam suatu
cerita bukan salah satu syarat untuk
disimpulkan sebagai tokoh utama. Namun
yang lebih penting adalah bagaimana
peranan para tokoh itu membangun suatu
cerita (Sujiman, 1988: 18).
Penonjolan tokoh Buhaer sebagai
tokoh utama berkaitan erat dengan
maksud penyalin naskah, yakni
memberikan pesan melalui ujaran dan
tingkah laku tokohnya. Umumnya pada
cerita-cerita klasik para tokoh cerita selalu
digambarkan hitam-putih. Tokoh utama

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

8
selalu dikemukakan orang-orang yang
sempurna dan ideal. Ia selalu berada di
atas kebenaran. Sementara tokoh-tokoh
lawannya (antagonis) digambarkan orang
yang rendah dan tidak berilmu. Gambaran
benar dan salah demikian transparan,
kentara jelas; walaupun pada awalnya
negatif (sengsara, susah) namun pada
akhirnya selalu happy ending (berakhir
dengan kebahagian). Dalam bahasa
filsafat adalah kebenaran pasti
mengalahkan kejahatan.
Di dalam teks Buhaer, tokoh
utamanya bernama Buhaer. Nama
Buhaer berasal dari bahasa Arab yaitu
buhairah yang berarti danau kecil. Pada
konteks WB, Buhaer berarti lelaki kaya
di tengah-tengah orang miskin.
Pengertian nama Buhaer ini ternyata
sesuai dengan gambaran ceritanya,
walaupun pada awalnya digambarkan
tidak semestinya.
Gambaran tokoh Buhaer adalah
seorang anak lelaki berandal yang tidak
berbakti kepada orang tuanya. Perilakuperilaku negatif yang tidak sesuai dengan
norma dan aturan hidup dilakukannya
dengan tanpa penyesalan apa pun.
Mabuk dan judi menjadi pekerjaannya,
bahkan perilaku kasar terhadap
orangtunya pun ia lakukan. Akibat
semuanya itu harus ia bayar dengan
meninggalnya orangtua, sekaligus
menjadikan keluarganya miskin kembali.
Namun, ketulusan orang tuanya, Guna
Sabda yang mewariskan tiga buah jimat,
telah mampu mengubah perilakunya.
Buhaer menjadi orang terhormat,
layaknya sebuah danau kecil yang
memberi manfaat pada alam sekitarnya.
Karakter Buhaer sebagai mantan
preman terlihat pada kekerasan hati,
keberangan sekaligus kebodohannya
untuk mempersunting putri Raja
Melawati. Kekerasan hati ia perlihatkan

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 1-17


pada aksi penculikan dan upaya lain
dalam mencapai keinginannya.
Keberangan diperlihatkan kepada ibunya
yang mencoba mengingatkan dirinya agar
mengurungkan niatnya. Sementara
kebodohannya secara tak sadar ia
perlihatkan pada saat jimat suling dan
kopiah dapat dirampas Putri Ratnasari.
Pengalaman dibodohi Putri
Ratnasari
telah
memunculkan
kecerdasan untuk membalasnya melalui
keajaiban buah bulgan. Dalam hal ini sifat
Buhaer dapat dikatakan sebagai orang
yang cepat belajar. Selain itu, ia berani
bertanggung jawab atas semua
pekerjaannya sekalipun nyawa sebagai
taruhannya. Berikut petikan naskah WB
kanto XI Pupuh Magatru bait 7-11
sebagai berikut:
196 7

Jedur mariem ajidan sarsan


/geus/ kumpul
turuktuk tamburna nitir
kornel ajidan kumendur
Di alun-alun ngabaris
pada nangtang ting haraok

Meriam disulut ajudan sersan


berkumpul
tambur ditabuh bertalu-talu
kornel ajudan komandan
di alun-alun berbaris
siap menantang perang.

197 8

Coba geura bijil maneh


dukun baru
mantu raja Melawati
anu masyhur (32) teguh
simbul
mun enya digjaya sakti
coba urang silih tarok

Ayo ke luar kau dukun baru !

198 9

Raden patih ngadangu


nangtangna musuh
unjukan ka kangjeng gusti
abdi neda idin pupuh
ku Buhaer geus ka kuping
Buhaer ka patih ngomong

raden patih mendengar tantangan


musuh
melapor ke raja.
Hamba mohon izin perang.
Terdengar oleh Buhaer
Buhaer berkata kepada patih,:

199 10

He juragan rangga patih


kaula nun
montong teuing palay jurit
anggur jaga kangjeng ratu
maju jurit kuma abdi

Hai Rangga Patih hamba saya.

tingali bae ti gedong


200 11

Ki Buhaer niru dangdan


para ratu
nyoren pedang nganggo topi
geus tuluy ka alun-alun
jeung dua tambur parjurit
dangah ka lebah babancong

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

mantu Raja Melawati


yang mashur tangguh.
Bila benar digjaya sakti
mari kita saling bacok.

Jangan sekali-kali ke medan jurit,


jaga saja paduka raja.
Medan jurit akulah yang
menanggung
diam saja di gedung.
Ki Buhaer berdandan meniru para
raja
menyandang pedang memakai topi
berangkat ke alun-alun
berdua dengan prajurit yang
bertambur
tengadah ke arah babancong

2011

Wawacan Buhaer ... (Agus Heryana)


Beralih pada tokoh antagonis yang
merupakan lawan tokoh utama,
digambarkan berkarakter angkuh,
menganggap enteng orang lain,
berbangga diri dengan pengikutnya. Sifatsifat itu terdapat pada 25 bupati yang
merasa lebih mulia kedudukan dan
martabatnya dibandingkan dengan
Buhaer dari kaum rakyat jelata.
Peperangan yang dipicu rasa dengki 25
bupati terhadap keberhasilan Buhaer
menikahi Putri Ratnasari telah
meruntuhkan harga diri dan
kedudukannya. Mereka bertekuk lutut
kepada Buhaer, seorang raja muda mantan
preman dari kalangan kaum miskin.
c. Latar atau Setting

Sebuah latar dalam karya sastra


sangat berperan dalam menentukan
keutuhan sebuah cerita. Tidaklah tepat
sebuah cerita kerajaan zaman Majapahit
dengan berlatar belakang situasi dan
kondisi masa sekarang yang penuh
dengan persenjataan modern; kecuali
untuk sesuatu maksud yang ditujukan
sebagai sarkasme atau ironi. Akan tetapi
untuk tujuan yang terakhir ini, pada sastra
klasik, tidaklah mungkin terjadi. Sebab
tujuan (karya) sastra masa itu lebih
bersifat sebagai hiburan, pepatah atau
pedoman hidup. Jarang-jarang sebuah
karya sastra masa lalu diperuntukkan
menyindir atau bentuk protes penyair
terhadap situasi yang berkembang pada
saat itu. Dengan demikian, jelaslah bahwa
latar atau setting dalam pemahaman
tradisional merupakan unsur paling
penting dalam karya sastra.
Latar dalam praktiknya tidaklah
berdiri sendiri. Ia tidak bisa dipisahkan
dengan unsur-unsur lainnya di dalam
hubungannya membentuk suatu keutuhan
struktur, sehingga latar hadir bersama
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
2011

9
tokoh-tokohnya. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan suasana
terjadinya peristiwa dalam suatu karya
sastra membangun latar cerita
(Sudjiman,1986: 46). Sebuah nama
Melawati atau Prabu Raden
Suriadipati telah sanggup memancing
kesan pembaca pada situasi latar sebuah
kerajaan masa lampau. Demikian pula
dengan tokoh-tokoh ceritanya yang penuh
dengan kesaktian mandraguna serta
balatentara telah cukup mengarahkan
pembaca pada situasi latar kerajaan.
Sementara itu, Hudson (dalam
Sudjiman,1988:44) membedakan latar
sosial dan latar fisik (material). Latar
sosial mencakup penggambaran keadaan
masyarakat, kelompok-kelompok sosial
dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup,
bahasa dan lain-lain yang melatari
peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan
latar fisik adalah tempat dalam wujud
fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan
sebagainya.
Latar WB adalah sebuah Kerajaan
Melawati yang membawahi 25 daerah
yang dikepalai oleh bupati. Kerajaan
Melawati dikepalai oleh Raja Raden
Suriadipati beserta permaisuri yang
dikaruniai seorang putri bernama
Ratnasari. Kehidupan di kerajaan sudah
barang tentu berkaitan dengan
keberlimpahruahan harta benda dan
pengikut serta kedudukan. Di lain pihak
latar kemiskinan yang dimiliki rakyatnya
dikemukakan melalui tokoh utamanya
(Guna Sabda, Nyi Sainah, dan Buhaer).
Selain itu, kepercayaan animisme dan
penghormatan kepada kaum agamawan
terlihat jelas pada peran jimat dan
samaran orang Arab. Jadi, naskah WB
dilatarbelakangi perbedaan latar sosial
dan adat istiadat masa itu.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

10
Tinjauan budaya atas WB
menunjukkan adanya percampuran empat
kebudayaan. Unsur kebudayaan Hindu,
Islam, Jawa dan Eropa dapat dijumpai
pada beberapa peristiwa dan pemakaian
bahasanya. Kepercayaan pada jimat
yang merupakan senjata andalan tokoh
cerita serta mantera-mantera yang
digunakan menunjukkan sinkretisme
antara unsur Hindu dan Islam. Di
samping itu, pemakaian beberapa kata
atau kalimat dalam bahasa Indonesia
(Melayu) dan Jawa serta pola pikir yang
berbeda dengan wawacan pada
umumnya bisa dikaitkan adanya unsur
budaya Jawa dan Eropa.
d. Tema

Setiap karya sastra, baik prosa


maupun puisi, tidak hanya memaparkan
peristiwa demi peristiwa, tetapi di
dalamnya terdapat maksud dan tujuan
tertentu yang ingin disampaikan
pengarangnya. Dengan kata lain, ada
unsur yang sangat esensial yang
mengarahkan cerita pada satu tujuan
tertentu. Unsur yang dimaksud adalah
tema.
Tema adalah gagasan, ide, atau
pilihan utama yang mendasari suatu karya
sastra, demikianlah menurut Sudjiman
(1988b: 50 dan 55). Selanjutnya,
Sumardjo (1984: 57) mengartikan bahwa
tema adalah pokok pembicaraan dalam
sebuah cerita. Cerita bukan hanya
sekadar berisi rentetan kejadian yang
disusun dalam sebuah bagan, tetapi
susunan bagan itu sendiri harus
mengandung
maksud
tertentu.
Pengalaman yang dibeberkan pada
sebuah cerita harus mempunyai
permasalahan. Jadi, membicarakan tema
berarti mengupas tentang pokok
permasalahan. Dengan demikian, tema
dapat juga dikatakan gagasan atau ide-

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 1-17


ide utama yang ingin disampaikan
pengarang, baik secara eksplisit maupun
implisit.
Dalam sebuah cerita terkandung
beberapa tema, tetapi kita dapat
menentukan mana tema yang pokok, dan
mana yang merupakan tema sampingan.
Untuk kedua macam tema ini, Rusyana
(1979: 120) mengistilahkan tema utama
dan tema sampingan atau tema egoik dan
tema spiritual. Apabila kita mengacu pada
pengertian yang disampaikan Rusyana
tersebut, maka kita akan menyatakan
bahwa tema sentral dari WB adalah:
1) Pencapaian kedudukan atau jabatan
tidak lagi berdasarkan keturunan
(terah), tetapi diperoleh dengan
perjuangan individu.
2) Pengabaian kekuasaan kaum
bangsawan.
3) Adanya perubahan cita-cita.
Adanya cerita yang berpijak pada
rakyat biasa, seorang manusia dalam
strata sosial urang lembur, orang desa,
menginginkan kedudukan yang mustahil
tercapai pada masa itu, kemustahilan itu
terjadi apabila dikaitkan dengan kerangka
umum cerita wawacan yang banyak
menampilkan sosok tokoh cerita dalam
strata sosial golongan feodal dan ulama.
Isi cerita wawacan umumnya
berkisar pada hegemoni (kekuasaan)
kaum feodal dan kaum ulama (Rosidi,
1966: 12). Kedua hegemoni ini dilukiskan
demikian sakti, pintar, agung dan berbagai
nilai positif ditujukan kepada mereka,
keturunan bangsawan dan ulama. Pada
wawacan Buhaer yang terjadi adalah
kebalikannya. Hegemoni kaum feodal
dan ulama diabaikan sama sekali, seolaholah ingin menjungkirbalikkan mitos
tersebut.
Tokoh Buhaer adalah wakil
masyarakat bawah yang menginginkan
kedudukan di lingkungan istana. Secara

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

11

Wawacan Buhaer ... (Agus Heryana)


sederhana cerita Buhaer memberi pesan
bahwa untuk mencapai kedudukan tinggi
itu tidak lagi berpangkal pada terah atau
turunan, melainkan harus dicapai melalui
tekad dan kemampuan diri. Kedudukan,
pangkat, dan kekayaan tidaklah berarti
apa-apa tanpa disertai ilmu pengetahuan
dan mengoptimalkan potensi diri.
4. Kajian Nilai

Poerwadarminta (1985) mengartikan


nilai adalah kadar isi yang memiliki sifatsifat atau hal-hal yang penting atau
berguna bagi kamanusiaan. Bertolak dari
pengertian itu, maka dalam suatu karya
sastra akan terkandung banyak nilai, yaitu
selain nilai sastra itu sendiri yang lebih
cenderung pada nilai estetis, juga terdapat
nilai-nilai budaya, nilai sosial, keagamaan,
dan nilai-nilai moral. Nilai estetis dapat
dipahami melalui penelaahan intuisi dan
apresiasi yang menyentuh aspek rasa.
Sedangkan untuk memahami nilai-nilai
budaya, nilai sosial, keagamaan dan nilai
moral suatu karya sastra memerlukan
pendalaman pemahaman latar belakang
sosial budaya masyarakat saat karya
sastra itu lahir dan didukung. Akan tetapi
aspek-aspek nilai tersebut satu sama lain
saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu kandungan nilai suatu
karya sastra (lama) merupakan unsur
yang hakiki dari karya sastra itu secara
keseluruhan.
Ungkapan nilai-nilai yang terdapat
dalam suatu nilai karya sastra, bukan saja
akan memberikan pengertian tentang
latar belakang sosial budaya masyarakat
pendukung karya sastra yang
bersangkutan, melainkan juga akan dapat
mengungkapkan ide-ide atau gagasan
pengarang dalam menanggapi situasisituasi yang ada di sekelilingnya. Hal ini
dimungkinkan, karena karya sastra adalah
tuangan kemampuan pengarang dalam
2011

mengekspresikan situasi yang ada pada


zamannya. Sebagaimana dikemukakan
oleh Djoko Damono (1979: 4-5), bahwa
sastra mencerminkan norma-norma yakni
ukuran perilaku yang oleh anggota
masyarakat diterima sebagai cara yang
benar untuk bertindak dan menyimpulkan
sesuatu. Sastra juga mencerminkan nilainilai yang secara sadar diformulasikan
dan diusahakan oleh warganya dalam
masyarakat.
Ada beberapa nilai yang perlu
dikemukakan dalam kandungan cerita
WB, yaitu: (1) kebahagiaan tidak terletak
pada kekayaan (2) keteguhan hati, (3)
optimisme, (4) bakti anak kepada orang
tua (5) fungsi jimat, (6) animisme dan
dinamisme
a. Kebahagiaan Tidak Terletak pada
Kekayaan

Buhaer seorang anak berandal


yang memperoleh warisan jimat dari
ayahnya bernama Guna Sabda. Adanya
jimat itu membuat Buhaer memperoleh
berbagai kemudahan dalam mencukupi
kebutuhan hidupnya, sekaligus juga
menjadi orang terkaya. Namun semua itu
belum memuaskan hatinya. Ada sesuatu
yang belum lengkap, yaitu kehadiran
isteri.
Keinginan untuk beristeri muncul
manakala Buhaer bertemu dengan
seorang puteri raja di sebuah tempat.
Pertemuan tanpa rencana ini berbuah
hasrat untuk meminangnya. Upaya
Buhaer mewujudkan keinginannya untuk
menikahi putri raja telah mengantarkan
dirinya berpetualang. Berbagai peristiwa
baik suka maupun duka dialaminya demi
mencapai satu tujuan, yaitu menikahi putri
raja. Dalam menghadapi berbagai
rintangan itu, Buhaer selalu dibantu atau
meminta bantuan kepada penghuni jimat
miliknya.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

12
Jimat suling, jimat kopiah, dan jimat
cincin adalah tiga serangkai jimat yang
dihuni oleh makhluk halus yaitu jin. Jimat
suling merupakan rumah dua orang raja
jin, sedangkan jimat cincin dihuni patih jin.
Namun dalam jimat kopiah tak jelas
dikemukakan secara eksplisit siapa
penunggunya. Ketiga jimat ini memiliki
kekuatan gaib bagi siapa saja yang
memilikinya tanpa kecuali. Penyebutan
nama jin atau ejin tentu saja sebagai
sebab pengaruh agama Islam yang
berkembang masa itu. Sedangkan
kepercayaan pada kekuatan jimat
bukanlah berasal dari Islam, bahkan Islam
melarang keras terhadap kepercayaan itu.
Guna Sabda dan Buhaer Kecil
sebagai pemilik sekaligus pengguna
ketiga jimat itu menjadikannya sebagai
benda untuk meminta-minta. Dengan
kalimat lain cara mudah menyelesaikan
masalah adalah menggunakan jimat yang
dimilikinya. Oleh karena itulah, mudah
dipahami apabila tokoh Guna Sabda
digambarkan sebagai tokoh pemalas yang
kerjanya hanya meminta-minta kepada
jimat. Secara logika tindakan Guna Sabda
berbuat demikian dapat dibenarkan
dengan asumsi bahwa jika jimat suling
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
tanpa bekerja, buat apa bekerja?
Bukankah bekerja itu untuk memperoleh
penghasilan yang selanjutnya dibelanjakan
untuk memenuhi berbagai keperluan dan
kebutuhan hidup manusia? Pola pikir
semacam ini mungkin merata di kalangan
orang-orang yang sudah kaya dan
berpaham pragmatis. Namun demikian,
cerita Guna Sabda ternyata tidak berakhir
dengan kebahagiaan. Ia meninggal
karena memikirkan putranya yang
berkelakuan berandalan. Kekayaan yang
dimilikinya belum cukup membahagiakan
hatinya.

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 1-17


b. Keteguhan Hati

Buhaer yang berkecukupan dan


dipandang kaya di desanya membangkitkan
niatan untuk mempersunting putri raja.
Niat untuk melamar putri raja mendapat
tantangan besar dari ibunya sendiri.
Kekhawatiran seorang ibu terhadap
anaknya tentu tidak dapat disalahkan,
sebab telah banyak bupati atau raja
yang melamar sang putri, tetapi
semuanya ditolak. Apalagi diri anaknya,
Buhaer, yang hanya golongan rakyat
biasa. Buhaer seolah-olah tak peduli
atas kekhawatiran ibunya itu. Ia malah
menyalahkan ibunya karena membuat
kecil hatinya, bukannya memberi
semangat.
Keteguhan hati Buhaer mempersunting putri raja diuji oleh berbagai
rintangan. Rintangan pertama adalah
keengganan putri terhadap dirinya tidak
menyurutkan semangat, tetapi dengan
segala kemampuan yang dimilikinya ia
berusaha sekeras mungkin. Kedua,
tipu daya putri yang merampas jimat
miliknya telah membuat dirinya
menderita lahir batin. Namun,
penderitaan itu dijadikan sebuah
tantangan layaknya di medan perang.
Pengalaman dibuang di sebuah hutan
menghasilkan pemikiran untuk
memperdaya putri raja dan keluarganya.
Ketiga, rintangan terakhir adalah para
bupati dan raja bawahan Raja Melawati
yang merasa tersaingi oleh dirinya.
Status sosial bangsawan terusik oleh
Buhaer yang berasal dari golongan
sosial rendahan, rakyat biasa. Hal itu
digambarkan dengan terjadinya
tantangan perang (pemberontakan)
para bupati terhadap Raja Melawati.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

13

Wawacan Buhaer ... (Agus Heryana)


c. Optimisme

Optimisme lawannya adalah


pesimisme. Dalam sebuah ungkapan
yang sederhana, kedua kata itu
dipadankan dengan kata besar hati
(optimis) dan kecil hati (pesimis).
Besar hati mengandung makna penuh
harapan baik. Apapun yang dihadapi
dalam mencapai tujuan disikapi dengan
kebesaran hati atau kedewasaan sikap.
Sikap ibunya yang membuat dirinya kecil
hati dilawannya dengan keras.

Buhaer ngagaok nyentak,


indung naha kitu teuing,
lain bet aya kuduwa,
hayang boga minantu putri,
anggur mawa leutik ati,
kawula mowal ngagugu,
Nyi Sainah tuluy jawab,
Agus kuma dinya teuing,
ari bisa ngalamar ka anak
raja
(II/23/46)

Buhaer berkata tegas


ibu mengapa begitu
bukannya mendukung
mempunyai menantu putri (raja)
malah membuat kecil hati
aku tidak akan menuruti (keinginan
ibu)
Nyi Sainah berkata
Anakku terserah saja
kalau kau mampu meminang anak
raja.

kemudian meraba kepala


jimat suling sudah dicuri
lantas meraba saku,
masih ada azimatnya
cincin azimat dan ketu azimat,
yaitu kopiah putih
gunanya untuk menghilang

Buhaer suka kacida,


Ki Buhaer maca alhamdulilah,
puji syukur ka yang agung,
kieu ge pirang-pirang,
aya keneh milik wasiat ti indung,

buhaer suka cita


Ia mengucap alhamdulillah,
puji sukur kepada yang agung,
Sungguh patut disyukuri
berkah doa ibu keberuntungan
dipihaknya
cincin lantas dicoba
dipakai di jari manis
(III/9/59-III/10/60)

tuluy ali teh dipecak,


dipake dina jariji

Kutipan bait menunjukkan


kesyukuran Buhaer yang masih
mempunyai dua buah azimat lagi. Hal itu
berarti dirinya akan keluar dari kesulitan
dan terus akan melanjutkan perang
dengan putri raja bernama Ratnasari.
d. Bakti Anak Kepada Orang Tua

Optimisme haruslah muncul saat


seseorang menghadapi kegentingan agar
dalam dirinya timbul kesadaran pikiran
untuk bertindak jernih. Penderitaan yang
menimpa dirinya tidak harus kehilangan
tujuan utamanya. Tatkala Buhaer
kehilangan jimat dan dirinya berada di
tengah hutan, nyaris ia putus asa. Selaku
manusia, hal yang wajar ia menangis dan
bersedih Buhaer leuwih nalangsa,
tungtungna ngareguh ceurik(Buhaer
sangat nelangsa, akhirnya menangis).
Kesedihan kehilangan jimat tak
berlangsung lama masih ada harapan
untuk keluar dari keterpurukan.

2011

Tuluy ngarampaan sirah,


geus teu aya jimat suling dipaling,
tuluy ngarampaan saku,
aya keneh jimatna,
jimat ali nya eta jeung jimat ketu,
kopeah nu bodas tea,
watekna kana ngaleungit

Beberapa teks menunjukkan


adanya rasa hormat Buhaer kepada
ibunya. Pada A. II Sinom 12 Buhaer
meminta izin untuk pergi ke pasar.
Pertemuan dengan putri di pasar
menimbulkan hasrat untuk melamarnya.
Oleh karena itu ia meminta doa restu
ibunya (A.II Sinom 21). Saat ditimpa
penderitaan, ia pun masih ingat kepada
ibunya (A.III.Pangkur 10-11) untuk
meminta berkah doanya.
Tampaknya posisi ibu menjadi
penting sebagai kekuatan moral dalam
menghadapi berbagai persoalan, dalam
hal ini adalah peperangan. Pada saat akan
berangkat perang, Buhaer berkata

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

14
neda dua tuang putra bade nyusul
(mohon doa putramu akan menyusul perang). Demikian pula pada peristiwa
lain (VI Kinanti 11) Buhaer meminta doa
ibunya untuk mengikuti sayembara
menyembuhkan keluarga raja.
Keberhasilan Buhaer mencapai
cita-cita menikahi putri raja tidak lantas
membuat dirinya berubah tabiat. Ia tidak
malu membawa isterinya mengunjungi
sekaligus memboyong ibunya di desa.
Inilah bakti seorang anak kepada ibunya.
Keberhasilan menggapai cita-cita,
hakikatnya disebabkan kekuatan doa
orang tuanya.
e. Peran dan Fungsi Jimat

Buhaer Kecil digambarkan


seorang yang berandal dan tak mau
diatur. Hal ini pula yang menyebabkan
ayahnya meninggal dunia. Namun
demikian kesadaran dirinya atas segala
perbuatannya terjadi saat ia menerima
warisan jimat ayahnya.
Bermula dari keraguan Buhaer
atas khasiat suling azimat, ia menjadi
orang kaya di desanya. Azimat suling
ternyata dapat memenuhi kebutuhannya.
Jadi, dalam hal ini terjadi perubahan
fungsi dan peran suling. Suling yang
awalnya sebagai barang atau alat
kesenian (hiburan) dan pelipur lara kini
setelah menjadi jimat berubah menjadi
penjaga, penolong dalam berbagai
kesulitan. Fungsi suling sebagai hiasan
semata beralih menjadi sebuah azimat
yang harus dirawat dan dijaga lebih dari
biasanya.
Kita memandang azimat yang
dimiliki tokoh Buhaer telah melampaui
fungsi barang sesungguhnya. Suling tidak
dimaknai sebagai alat hiburan, kopiah
sebagai penutup kepala, dan cincin
sebagai hiasan jari manis, tetapi
semuanya telah berubah menjadi benda-

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 1-17


benda yang memiliki kekuatan tersendiri.
Kekuatan itu muncul oleh adanya para
penunggu masing-masing ketiga benda
itu. Suling menjadi rumah dua raja jin,
cincin menjadi tempat tinggal dua patih
jin, dan kopiah memiliki khasiat untuk
menghilang.
Dalam keseluruhan cerita Buhaer,
ketiga jimat (suling, kopiah, dan cincin)
tampaknya berperan besar dalam
mengantarkan tokoh cerita mencapai
cita-citanya. Persoalan-persoalan yang
dihadapi tokoh sangat mudah dipecahkan
melalui penggunaan ketiga jimat itu.
Namun perlu dicatat bahwa azimat
bersifat netral. Ia tak peduli siapa yang
menyuruhnya dan juga tak peduli apa
yang dikerjakannya. Yang penting bagi
penunggu jimat (makhluk halus) adalah
memenuhi dan melaksanakan perintah
majikannya. Seandainya tuan atau
majikannya telah berganti pun ia akan
tetap patuh sekalipun musuh tuannya
yang pertama. Berikut dikemukakan
peran dan fungsi azimat pada cerita
Buhaer.
Pada Tabel di bawah menunjukkan
kepada kita bahwa dominasi pengguna
azimat adalah pemilik atau pemegang
jimat itu sendiri. Sedangkan adanya nama
Ratnasari sebagai pengguna jimat tidak
lebih untuk memperlihatkan kenetralan
fungsi azimat. Artinya penunggu azimat
tidak pernah peduli siapa tuan
sebenarnya. Penggunaan azimat tidaklah
sembarang dipergunakan hal ini
bergantung pada situasi dan kondisi
tertentu. Sekurang-kurangnya ada 10
peristiwa yang menyebabkan pelaku
(tokoh cerita) menggunakan azimat.
Secara rinci intensitas kemunculan azimat
suling lebih banyak, yaitu 6 peristiwa,
kopiah 2 peristiwa, dan cincin 2 peristiwa.
Azimat suling diminati karena
penunggunya adalah dua orang raja jin

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

15

Wawacan Buhaer ... (Agus Heryana)

Tabel
Peran dan Fungsi Jimat
No
1

Pelaku
Guna Sabda

Nama Jimat
Suling
(dua raja jin)

Peristiwa / Peran

Tujuan / Fungsi

Nyi Sainah menagih janji


dan meminta kecukupan
sandang pangan (I.67)

Memenuhi kebutuhan hidup

Buhaer

Suling

Mengamen di emper
(II.16)

Meminta harta
benda / kekayaan

Buhaer

Suling

Menculik Putri Ratnasari


(II.2629)

Melamar

Ratnasari

Suling

Merampas jimat suling


(III.26)

Membuang
Buhaer ke
puncak gunung

Buhaer

Cincin

Ke luar dari puncak


gunung menggunakan
kuda sembrani (III.914)

Pulang ke
rumah,

Menyatroni istana
(III.2630)

Ke puri putri

Merampas kopiah (IV.4


7)

Membuang
Buhaer ke hutan

(dua patih jin)


6

Buhaer

Kopiah
Menghilang

Ratnasari

Suling

Peristiwa geger di istana


Melawati; keluarga raja
sakit (VX)

Buhaer

Buhaer meminta jimat


yang dirampas (IX.610)

10

Buhaer

Buhaer mengobati
keluarga kerajaan (IXX)

11

Buhaer

Kopiah

Menyerang prajurit 25
negara (XI.12)

Memenangkan
peperangan

12

Buhaer

Suling

Penangkapan para
pemimpin pemberontak
yaitu 25 negara (XII.9)

Mengalahkan
musuh

13

Buhaer

Cincin

Buhaer berubah wujud


menjadi raksasa

Menghancurkan
lawan

yang tentunya lebih tinggi kemampuan


dan kekuasaannya dari pada jimat cincin
yang ditunggui dua patih jin. Kedua
jimat (cincin dan kopiah) dipakai dalam
posisi sebagai cadangan.
f. Animisme dan Dinamisme

Membaca teks-teks sastra masa


lalu (klasik), pembaca sering dihadapkan
pada peristiwa atau perilaku para tokoh
ceritanya yang mempunyai watak
superior. Peristiwa yang aneh-aneh,
dalam istilah setempat kajadian aheng,
dan hal-hal yang berbau takhayul-mistis,
sering tersaji dalam sastra-sastra yang
2011

dimaksud. Memang tidak bisa dipungkiri


lagi hal itu sering ditemukan dan
tampaknya sudah menjadi trade mark.
Dan dalam hal ini pun kita dipaksa untuk
memahami -untuk tidak disebut
mempercayai- jalan pikiran para
pengarang masa lalu. Kita dipaksa
untuk mempercayai kesuperioran atau
kehebatan tokoh cerita tidak bersumber
pada peristiwa-peristiwa yang lazim dan
wajar dalam keseharian. Dalam arti,
kekuatan atau kesaktian seseorang (tokoh
cerita) diperoleh dengan cara yang dapat
diterima akal pikiran sehat.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

16
Apakah hal ini kelebihan sastra
yang dapat menjungkirbalikkan fakta dan
kenyataan? Ataukah suatu kelemahan?
Pada dunia sastra, hal-hal yang mustahil
terjadi pada dunia nyata justru mendapat
tempatnya, bahkan menjadi bumbu
penyedap. Siapa percaya Buhaer
mempunyai kuda sembrani yang terbang
bagai kapal terbang dan siapa pula
percaya sebuah suling
dapat
memporakporandakan wadyabalad
pemberontak dalam tempo singkat?
Apapun alasannya, akal sehat akan
membantahnya. Peranan akal tampaknya
dilecehkan sedemikian rupa, semisal kita
mendengarkan dongeng anak sebelum
tidur. Cerita jengkerik sebesar gunung atau
seorang bocah menaklukkan raksasa
dengan sekali tebas pedangnya atau
perang tanding dengan atraksi senjata
pusaka nan ampuh dari para tokohnya
adalah santapannya, situasi demikianlah
yang ada dalam teks cerita WB ini.
Seorang tokoh belum lengkap
apabila tidak disertai berbagai kesaktian
yang dapat menimbulkan kehebatan atau
keluarbiasaan. Suling yang dihuni oleh raja
jin, cincin yang dihuni oleh patih jin serta
kopiah yang membuat hilang di hadapan
seseorang merupakan atribut yang
melekat pada seorang tokoh. Penyertaan
atribut tersebut bukanlah tanpa makna.
Di dalamnya terkandung pesan seseorang
yang ingin dihormati dan diakui
eksistensinya haruslah memiliki sesuatu
yang lebih dari orang lain.
Saat Buhaer melawan tantangan
perang melawan 25 bupati, hanya ia
sendiri yang melayaninya. Ia menampik
bantuan raja dan patih Melawati. Ia yakin
akan kemampuan senjata andalannya,
yaitu jimat. Jimat menjadi tumpuan bukan
strategi atau siasat yang dirundingkan.
Semuanya diserahkan sepenuhnya pada
jimat miliknya. Seolah-olah jimat

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 1-17


merupakan tulang punggungnya. Hidup
dan mati; kalah atau menang terletak
pada kesaktian dan keampuhan jimat.
Animisme dan dinamisme tampaknya
belum sirna dalam kehidupan manusia.
Percaya dan yakin sebuah benda
mengandung kekuatan adalah pokok
pangkal kepercayaan animisme dan
dinamisme.
Bagaimanakah situasi sekarang
dalam dunia nyata? Apakah kepercayaan
pada makhluk gaib sudah pupus? Sebuah
pertanyaan yang gampang-gampang sulit.
Disebut gampang, kita bisa mengatakan
ya. Sulitnya adalah membuktikan
secara faktual. Siapa orangnya yang mau
ditunjuk hidung bahwa ia sering ke dukun
atau memiliki dan mempercayai senjata
pusaka? Namun masyarakat Indonesia
mengenal mumi Indonesia, manusia
berukuran mini, yang dikenal dengan
sebutan Jengglot. Jengglot ini diyakini
memiliki kekuatan gaib yang berasal dari
seorang yang memiliki aji Bethoro
Karang. Orang yang mempunyai aji
tersebut, tubuhnya tidak hancur melainkan
mengecil serta kuku dan rambutnya
tumbuh melilit tubuhnya sendiri. Dalam
hari-hari tertentu, sering membuat ulah
apabila tidak diberi makan. Makanannya
tak lain adalah darah manusia (?). Berita
ini menjadi berita sensasional yang
menimbulkan kepenasaran orang banyak.
Dan satu hal yang perlu dicatat adalah
pemilik Jengglot tersebut merupakan
orang terpandang dan terpelajar.
C. PENUTUP

Teks Wawacan Buhaer bukanlah


naskah sarat ajaran, melainkan sebuah
cerita rekaan yang memiliki makna
tersembunyi. Makna menjadi penting
manakala dikaitkan dengan nilai-nilai
budaya yang relatif berlaku pada masa
itu hingga dewasa ini. Nama Buhaer pada

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Wawacan Buhaer ... (Agus Heryana)


dasarnya telah menunjukkan keseluruhan
makna yang terdapat dalam kandungan
ceritanya. Buhaer yang memiliki asal
makna sebuah danau kecil di tempat
terpencil, seolah-olah menjadi pelepas
dahaga bagi para musafir, pejalan di
padang pasir. Dengan kalimat lain, jadilah
diri kita seorang dermawan, seorang
pemurah yang menjadi tempat berlindung
orang-orang sekitar.
Cerita Buhaer sebenarnya
sederhana dan menarik untuk
dikembangkan melalui pengemasan
tangan-tangan terampil. Tidak berlebihan
apabila cerita ini diadaptasikan dalam
bentuk cerita anak atau komik. Mudahmudahan dengan cara demikian khasanah
cerita tradisional dapat ditransformasikan
dan menambah khasanah cerita anak
Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Abram, M.H. 1958.
The Mirror and the Lamp:
Romantic Theory and the Critikal
Tradition. New York: Norton.
Heryana, Agus. 2010.
Wawacan Buhaer: Satu Kajian
Filologis. Bandung: Universitas
Padjadjaran.
Djoko Damono, Sapardi. 1979.
Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
van Luxemburg, Jan. 1986,
Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta :
Gramedia.
Pradotokusumo, Partini Sarjono. 1986.
Kakawin Gajah Mada. Bandung:
Binacipta.

2011

17
_____. 2005.
Pengkajian Sastra. Jakatra:
Gramedia.
Rosidi, Ajip. 1966.
Kesusastraan Sunda Dewasa
ini. Cirebon: Tjupumanik
_____. 1983.
Ngalanglang Kasusastraan
Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
_____. 1986.
Deungkleung
Dengdek.
Bandung: Angkasa.
Rusyana, Yus.1969.
Galuring
Sastra
Sunda.
Bandung: tp.
Rusyana, Yus. Dan Ami Raksanagara.
1980.
Puisi Guguritan Sunda. Jakarta:
Pusat
Pembinaan
dan
Pengembangan Bahasa.
Sudjiman, Panuti.1984
Kamus Istilah Sastra. Jakarta:
Gramedia.
_____. 1988.
Memahami Cerita Rekaan.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Sukada, Made.1987.
Pembinaan Kritik Sastra
Indonesia. Bandung: Angkasa.
Sumardjo, Jakob.1984.
Memahami
Kesusastraan.
Bandung: Alumni.
Sutrisno, Sulastin. 1883.
Hikayat Hang Tuah. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Teeuw, A. 1982.
Khasanah Sastra Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
_____. 1984.
Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 18-32

18

SEJARAH PESANTREN MIFTAHUL HUDA


MANONJAYA TASIKMALAYA
Oleh Adeng
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jl. Cinambo 136 Ujungberung Bandung.
Naskah diterima: 21 Desember 2010

Naskah disetujui: 16 Februari 2011

Abstrak
Pondok pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam secara tradisional
yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Seiring dengan
perkembangan zaman, pondok pesantren tradisional berubah menjadi pondok
pesantren modern dengan tidak meninggalkan agama sebagai pijakan. Salah satunya
pesantren tradisional yang berkembang menjadi pesantren modern adalah Pesantren
Miftahul Huda Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini diharapkan dapat
mengungkap sejarah perkembangan Pesantren Miftahul Huda. Pengungkapan sejarah
Pesantren Miftahul Huda dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yaitu:
heuristik, kritik, intepretasi, dan historiografi. Dengan demikian, pondok pesantren
sekarang ini tidak hanya mengajarkan ilmu keagamaan saja tetapi ilmu pengetahuan
dan masalah keduniawian. Oleh karena itu, pondok Pesantren Miftahul Huda
mempunyai tiga peranan penting, yaitu: sebagai lembaga pendidikan Islam,
pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan masyarakat.
Kata kunci: pondok, pesantren, Miftahul Huda.
Abstract
Pondok Pesantren ia as an Islamic educational institution that lives and
grows within a society. As the time goes by pesantren gradually left its traditional
style behind, turning into a more modern one without leaving religion as the
basis of their educational system. One of which is Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. This research tries to study the history of
the Pesantren by using methods used in history: heuristics, critique,
interpretation, and historiography. The result is that today pesantren is also
teach general sciences as well as religious ones. Therefore Pesantren Miftahul
Huda has three important roles: as Islamic educational institution, as a place
for developing social and human resources.
Keywords: pondok, pesantren, Miftahul Huda.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Pesantren Miftahul Huda ... (Adeng)

19

A. PENDAHULUAN

Pesantren sebuah lembaga


pendidikan Islam tidak hanya berfungsi
sebagai lembaga pendidikan semata,
tetapi juga berfungsi sebagai salah satu
benteng pertahanan umat Islam, pusat
dakwah dan pusat pengembangan
masyarakat muslim di Indonesia. Pada
masa sebelum kemerdekaan, pesantren
telah memainkan peranan besar dalam
meningkatkan pengetahuan agama dan
menjadi pilihan utama bagi pendidikan
masyarakat Indonesia.
Seiring dengan perkembangan
zaman dan mulai maraknya sistem
pendidikan formal, pesantren pun terus
berperan untuk mengikutinya dengan
tidak meninggalkan agama sebagai dasar
pijakan. Perkembangan ini sudah mulai
tampak sejak awal abad ke-20, dengan
berdirinya pesantren-pesantren modern
dan berubahnya pesantren tradisional
menjadi pesantren modern. Di pesantren
terjadi pergeseran orientasi, tidak hanya
mengajarkan masalah uhkrowi
(keagamaan) tetapi juga masalah
keduniawian. Hai ini tercermin dari
penyesuaian-penyesuaian yang telah
pesantren lakukan dalam menghadapi
zaman yang semakin maju.
Berdasarkan uraian di atas dan
masih sedikitnya penelitian mengenai
keberadaan pesantren, maka dirasakan
perlu dilakukan penelitian mengenai
Pesantren Miftahul Huda Manonjaya,
Tasikmalaya. Dengan demikian,
penelitian ini diharapkan dapat
mengungkap perkembangan Pesantren
Miftahul Huda Manonjaya dari awal
berdiri hingga sekarang.
Selanjutnya ruang lingkup
penelitian ini terbatas pada ruang
geografis
daerah
Kabupaten
Tasikmalaya. Sedangkan, fokus
penelitiannya adalah Pesantren Miftahul
2011

Huda Manonjaya sebagai pusat


penyebaran dan pendidikan Agama Islam.
Pengungkapan Sejarah Pesantren
Miftahul Huda Manonjaya ini dilakukan
dengan menggunakan metode sejarah,
yang meliputi empat tahap, yaitu heuristik,
kritik, interpretasi, dan historiografi. Pada
tahap heuristik dicari dan dihimpun data
tulisan berupa dokumen-dokumen dari
pesantren dimaksud dan perpustakaanperpustakaan, baik yang ada di
Tasikmalaya maupun di Kota Bandung.
Pada tahap kritik, untuk mendapatkan
data yang valid dan terpercaya dilakukan
pengujian terhadap data yang diperoleh.
Selanjutnya, pada tahap interpretasi, data
mengalami proses pemberian makna dan
penafsiran sehingga fakta-fakta tersebut
dapat menjelaskan objek studi secara
jelas dan lengkap. Proses terakhir adalah
historiografi yang bertujuan untuk
merangkaikan fakta yang berhasil
dihimpun dalam sebuah jalinan kisah
sejarah yang objektif.
B. HASIL DAN BAHASAN
1. Sejarah Berdirinya Pondok
Pesantren
Miftahul
Huda
Manonjaya

Belum ditemukan sumber yang


menegaskan secara jelas sejak kapan
berdirinya pondok pesantren di Indonesia.
Data tertulis tentang lembaga-lembaga
pendidikan tradisional di Indonesia yang
ditemukan yaitu dari laporan pemerintah
Belanda tahun 1831 yang menyebutkan
bahwa pada tahun 1853 terdapat lembaga
pendidikan Islam tradisional dengan
jumlah murid 14.929 orang. Jumlah itu
meningkat lagi dalam laporan tahun 1885
menjadi 16.556 di seluruh Jawa- Madura,
kecuali Kesultanan Jogyakarta. Jumlah
murid pada saat itu sekitar 222.663

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

20
(Yacub, 1984: 66-67). Lembaga
pendidikan ini lebih banyak beroperasi di
pedesaan daripada di kota-kota apalagi
di kota besar.
Pada akhir abad ke-19
perkembangan pesantren digambarkan
berkembang sangat pesat yang dicirikan
dengan bertambah banyak umat Islam
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Ada
beberapa ulama yang berasal dari Jawa
seperti Syekh Nawawi dari Banten,
Syekh Mahfudz dari Pesantren Tremas
menjadi staf pengajar tetap di Masjidil
Haram Mekah. Mereka itu diakui
kebesarannya di Timur Tengah. Banyak
pondok pesantren ketika itu yang telah
mapan dan kuat (Yacub, 1984: 67).
Eksistensi pondok pesantren pada
suatu kawasan tertentu berbeda sekali
jika dibandingkan dengan adanya sekolah
lanjutan pertama/lanjutan atas lainnya
yang juga ada di daerah itu. Walaupun
sekolah lanjutan nonpesantren itu
dilengkapi dengan asrama pelajar dan
perumahan guru pengaruhnya terhadap
warga masyarakat di sekitarnya tetap
berbeda. Pada umumnya kontak lahir
batin antara warga pondok pesantren
dengan masyarakat di sekitarnya lebih
bergema dan mesra ketimbang hubungan
antara sekolah nonpesantren dengan
penduduk di sekelilingnya (Yacub,
1984:67). Malahan banyak pondok
pesantren yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari masyarakat di kawasan
tersebut. Hal ini dapat saksikan sendiri
pada Pondok Pesantren Miftahul Huda,
Manonjaya Tasikmalaya.
Sejak awal keberadaannya sampai
sekarang dan masa-masa yang akan
datang, pondok pesantren, selain
berfungsi sebagai lembaga pendidikan
keagamaan, juga berperan sebagai pusat
pengembangan masyarakat dan pusat
pengembangan Sumber Daya Manusia
(Departmen Agama, 2001: 2).

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 18-32


Perkembangan pesantren dari
tahun ke tahun makin berkembang.
Ketika pada tahun 1920-an pesantren
besar hanya mengasuh 200 orang, maka
pada tahun 1930-an jumlah santri pada
pesantren besar melonjak dengan drastis
mencapai lebih 1500 orang (Yacub,1984:
67). Hal ini menunjukkan perkembangan
agama Islam di Indonesia sangat pesat.
Di Kabupaten Tasikmalaya pesantren
yang sudah cukup maju (pesantren
besar), misalnya Pesantren Miftahul
Huda. Pesantren Manonjaya yang
dipimpin oleh Kiai Haji Choer Afandi
berkembang cukup pesat.
Untuk menguraikan riwayat
singkat berdirinya Pesantren Miftahul
Huda, terlebih dahulu akan diuraikan
riwayat singkat Kiai Haji Choer Affandi
yang ternyata sangat erat atau tidak dapat
dipisahkan dengan riwayat hidup Kiai
tersebut. Oleh karena itu, menguraikan
berdirinya Pesantren Miftahul Huda di
dalamnya pasti termasuk riwayat singkat
kehidupan Kiai Haji Choer Affandi.
Kiai Haji Choer Affandi yang
sebelumnya bernama Onong Husen
dilahirkan pada hari senin tanggal 12
September 1923 di Kampung
Palumbungan Desa Cigugur Kecamatan
Cigugur Kewedanaan Cijulang
Kabupaten Ciamis. Beliau adalah anak
ke-2 dari 3 bersaudara, dari pasangan
Raden Mas Abdullah bin Hasan Rubai
dan Siti Animah binti Marhalan. Raden
Mas Abdullah adalah seorang petani, di
samping sebagai agen Polisi Belanda
berpangkat Kopral. Raden Mas Abdullah
masih memiliki keturunan Mataram,
karenanya memakai gelar Mas dan juga
ada darah menak Sukapura keturunan
dari Dalem Sawidak ke-33 sehingga gelar
Raden pun melekat pada namanya.
Sedangkan Siti Animah berasal dari Wali
Godog Garut. Jadi, pada diri Onong Husen

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Pesantren Miftahul Huda ... (Adeng)


yang kelak kita kenal sebagai Kiai Haji
Choer Affandi, mengalir darah ulama dan
menak. Dari hasil perkawinan Raden
Mas Abdullah dengan Siti Animah lahir
tiga orang anak, dua putera dan satu
puteri, yaitu: Husein, Onong Husen, dan
Husnah. Dari tiga saudara ini, hanya
Onong Husen yang menjadi kiai.
Melihat garis keturunan dari kedua
orang tua tersebut, Onong Husen atau
Choer Affandi adalah keluarga terhormat
atau keturunan ningrat. Walaupun beliau
keturunan menak, semasa kecilnya
Choer Affandi dididik oleh kedua orang
tuanya secara keras dan disiplin. Hal ini
terlihat apabila beliau melakukan suatu
pelanggaran, kedua orang tuanya
memberikan hukuman yang sangat berat.
Latar belakang pendidikan Choer
Affandi adalah lulusan sekolah
Bumiputera (Inlanndsche School).
Beliau tidak melanjutkan sekolah ke
tingkat yang lebih tinggi, karena beliau
dilarang oleh neneknya (ibu dari ayah)
untuk melanjutkan sekolah. Padahal
waktu itu beliau sudah lulus mengikuti
saringan ujian masuk ke sekolah Normal
School. Alasannya, Choer Affandi harus
meneruskan tradisi kekiaian kakek
buyutnya, Kiai Alfi Hasan. Menurut
neneknya, dialah orang yang tepat
meneruskan menjadi kiai. Dengan
bujukan neneknya inilah Choer Affandi
mengurungkan niatnya melanjutkan
sekolah ke Normal School dan menerima
untuk dimasukkan ke pesantren.
Tahun 1936 adalah saat pertama
kalinya Choer Affandi memasuki dunia
pesantren. Choer Affandi pernah mengaji
di beberapa pesantren, yaitu:
a. Pesantren Cipancur, Kabupaten
Tasikmalaya, selama 6 bulan. Di
pesantren ini ia belajar kepada Kiai
Dimyati.

2011

21
b.

Pesantren Pangkalan, Kabupaten


Ciamis. Di Pesantren ini ia belajar
kepada Kiai Abdul Hamid untuk
mempelajari Ilmu Tauhid. Kiai Abdul
Hamid adalah seorang Kiai
Nahdlatul Ulama yang sangat anti
Belanda.
c. Pesantren Cikalang. Setelah satu
bulan belajar di pesantren ini, ia diusir
oleh kiainya karena diketahui sebagai
santri NU yang anti Belanda.
d. Pesantren Sukamanah, Kabupaten
Tasikmalaya. Di pesantren ini ia
belajar kepada Kiai Haji Zaenal
Musthafa.
e. Pesantren Jembatan Lima, Jakarta
Selatan. Di pesantren ini ia belajar
kepada Kiai Haji Mansyur selama 2
bulan untuk mempelajari ilmu falak.
f. Pesantren Tipar, Kecamatan Cisaat
Sukabumi. Di pesantren ini ia belajar
kepada Kiai Haji Mahfudz selama 3
bulan untuk mempelajari ilmu logika.
g. Pesantren Gunungpuyuh, Kabupaten
Sukabumi. Di pesantren ini ia belajar
kepada Kiai Haji Ahmad Sanusi
selama 3 bulan untuk mempelajari
Ilmu Hadits dan Tafsir.
h. Pesantren Wanasuka, Kabupaten
Ciamis. Di pesantren ini ia belajar
kepada Rd. Haji Didi Abdul Majid
untuk mempelajari Ilmu Tashowuf.
i. Pesantren Grenggeng, Kebumen
Jawa Tengah, di pesantren ini ia
belajar kepada Kiai Sayuti untuk
belajar ilmu kemakrifatan (Prasodjo
et al., 1999: 13-16).
Pengalamannya memperdalam
ilmu agama Islam ke berbagai tempat
bukan berarti beliau suka berpindahpindah tempat atau tidak kerasan. Tiap
pesantren pada masa itu mempunyai
kurikulumnya yang berbeda dan masingmasing mempunyai keistimewaan, sesuai

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

22
dengan keahliannya pemimpin pondok
pesantrennya.
Setelah menimba ilmu agama Islam
di berbagai pesantren, Choer Affandi
pada tanggal 7 Agustus 1967 mendirikan
Pondok Pesantren Miftahul Huda terletak
di Kedusunan Pasirpanjang, Desa
Kalimanggis, Kecamatan Manonjaya,
Kabupaten Tasikmalaya. Di Desa
Kalimanggis terdapat enam buah Pondok
Pesantren dan enam buah Madrasah
Diniyyah. Pondok Pesantren Miftahul
Huda sendiri berada dalam satu komplek
yang terpisah dari perkampungan
penduduk.
Uwa Ajengan (sebutan akrab KH.
Choer Affandi), pendiri Pondok Pesantren
Miftahul Huda sengaja membuat komplek
Pesantren terpisah dari perkampungan
penduduk agar dapat mengawasi santri
dari pengaruh-pengaruh luar dan
dihubungkan dengan jalan aspal sepanjang
200 meter ke arah selatan.
Perlu dijelaskan ketika Pondok
Pesantren Miftahul Huda ini didirikan,
jalan ini hanya berbentuk pematang
sawah dan pada tahun 1980-an atas
bantuan bupati jalan tersebut diaspal.
Pada tahun 1992 jalan tersebut diperbesar
secara swadaya. Sebelah barat Pondok
Pesantren adalah Kampung Cisitukaler,
yang dihubungkan oleh jalan setapak
melalui kebun salak dan kolam ikan
sepanjang 300 meter. Sebelah timur dan
selatan adalah pesawahan yang cukup
luas. Sebagian besar sawah tersebut milik
Pondok Pesantren Miftahul Huda.
Pondok Pesantren Miftahul Huda
secara harfiyah berarti kunci petunjuk.
Nama ini diberikan oleh Uwa Ajengan
untuk menggambarkan harapannya agar
pondok pesantren yang dikelolanya dapat
mencetak orang-orang yang saleh dan
para ajengan (sebutan kiai di daerah
Sunda) yang nantinya dapat memberikan

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 18-32


bimbingan
keagamaan
kepada
masyarakat.
Awalnya, pesantren ini terletak di
tengah-tengah Kampung Gombongsari,
Desa Cisitukaler, kurang lebih satu
kilometer arah barat daya dari lokasi
sekarang ini. Ketika itu, pesantren sudah
mempunyai sebuah madrasah dan dua
asrama putra dan putri, karena tidak ada
lahan kosong yang tersedia untuk
membangun Asrama yang lain.
Sementara itu, Uwa Ajengan pun tidak
mampu mengawasi santrinya dari
pengaruh eksternal. Atas dasar tersebut
dan petunjuk seorang gurunya, yaitu KH.
Raden Didi Abdul Majid, Uwa Ajengan
memilih lokasi yang sekarang. Waktu itu
hanya merupakan kebun kelapa dan
rumput ilalang setinggi orang dewasa dan
sering digunakan untuk mengadu ayam.
Sebelum memutuskan pindah ke lokasi
yang sekarang, Uwa Ajengan ditawarkan
untuk mendirikan pesantren di tiga tempat
oleh para dermawan. Namun setelah
sholat Istikhoroh (sholat minta petunjuk
ketika menghadapi dilema), Uwa Ajengan
memutuskan untuk pindah ke lokasi
sekarang. Perlu dikemukakan pula,
bahwa lazimnya dalam tradisi pesantren
bila seorang dermawan menawarkan
wakaf tanah untuk mendirikan pesantren,
juga membantu kehidupan kiai dalam
kebutuhan sehari-hari sebelum mandiri.
Proses pendirian Pondok Pesantren
Miftahul Huda ini dimulai dari nol. Tanah
seluas 520 tumbak (satu tumbak 14 meter
persegi) diperoleh dari Hj. Mardiyah,
salah seorang ningrat kaya di daerah
Manonjaya. Tanah seluas 220 tumbak
diwakafkan untuk pesantren, sementara
sisanya seluas 300 tumbak dibeli dengan
angsuran. Terkadang Uwa Ajengan
membayar dengan uang, kerbau, kuda dan
hasil cocok tanam, bahkan sebagai
pembayaran tersebut dari hasil penjualan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Pesantren Miftahul Huda ... (Adeng)


tanah kekayaan Uwa Ajengan di tanah
kelahirannya Cigugur, Ciamis Selatan.
Pada tanggal 7 Agustus 1967,
dimulailah peletakan batu pertama yang
dihadiri oleh Bupati Tasikmalaya, Kolonel
Husain Wangsa Atmaja dan direstui oleh
Panglima Kodam Siliwangi Mayjen
Ibrahim Adjie. Bangunan yang pertama
didirikan adalah madrasah berukuran 30
x 40 meter yang terdiri atas empat
ruangan, tiga ruangan untuk belajar
sekaligus tempat tidur santri putri, dan
satu ruangan untuk tidur keluarga kiai.
Pembangunan madrasah dilakukan
secara mandiri oleh Uwa Ajengan
bersama kurang lebih 200 santrinya, mulai
dari pembuatan dan pembakaran bata
merah hingga pendirian bangunan.
Masyarakat Cisitukaler sesekali
bergotong-royong dibantu oleh
pemerintah desa Pasirpanjang.
Sementara masyarakat pedusunan
Pasirpanjang tidak pernah membantu
sama sekali. Perbedaan persepsi dua
komunitas ini disebabkan akar kultural
komunitas tersebut. Sejak zaman Belanda
telah memiliki pesantren dan ajengan lokal
yang cukup ternama (istilah ini dipinjam
dari katagori Hiroko untuk menunjukkan
pengaruh dan kapasitas keilmuan ajengan
yang terbatas, umumnya pengaruh
mereka hanya sebatas dalam lingkup
desa). Sedangkan masyarakat pedusunan
Pasirpanjang terbagi dua bagian, di
bagian timur kedusunan tersebut adalah
basis massa BTI (Barisan Tani
Indonesia), Organisasi Petani yang
berafiliasi ke PKI. Menurut beberapa
informasi dikatakan bahwa sebelum
meletus G 30 S/PKI, masyarakat tersebut
sering menertawakan bila ada seseorang
yang memakai sarung, sebagai cermin
konfrontasi kultural terhadap santri.
Daerah basis PKI tersebut membujur ke
arah timur dan desa lainnya sekitar

2011

23
Manonjaya. Sekarang daerah tersebut
terlihat lebih religius. Dahulu jangankan
ada masjid, memakai kain sarung saja
ditertawakan. Sekarang di daerah
tersebut, misalnya Rancapasung, sebuah
perkampungan petani memiliki Masjid dan
Madrasah yang dikelola oleh Alumnus
Pondok Pesantren Miftahul Huda.
Sementara di beberapa tempat lain
terdapat pengajian yang dikelola oleh
santri senior Miftahul Huda. Dengan
demikian proses Islamisasi (Baca:
Santrinisasi, meminjam istilah Geertz)
berjalan tanpa peran langsung Uwa
Ajengan. Sedangkan di bagian baratnya
adalah para ningrat Sukapura yang
umumnya mempertahankan kultur
feodalisme (Progress Report, 2009: 2-3).
Pada tahun ini juga, Pesantren
Miftahul Huda mencatatkan diri sebagai
yayasan yang bernama Yayasan
Pesantren Miftahul Huda (YAMIDA)
dengan akte notaris Riono Roeslam No:
34/PN/76/AN. Berhubung banyak
pendirinya yang telah meninggalkan
pesantren (waktu itu pengurusnya ada
dari kalangan santri senior), maka akte
ini diperbaharui pada tanggal 27 Juni 1987
di hadapan notaris Tuti Asijati Abdul Ghani
SH. (Progress Report, 2009: 3)
Secara bertahap, Pesantren
Miftahul Huda berusaha membeli tanah
di sekitarnya. Beberapa ratus tumbak
diperoleh dari ayah mantan Kades Komar
yang masih tinggal di dalam komplek
Pesantren Miftahul Huda. Semula ayah
mantan Kades Komar menolak untuk
menjual tanahnya, namun berkat
pertolongan dari Allah SWT, Uwa
Ajengan dapat meyakinkannya bahwa
tanah tersebut sangat dibutuhkan oleh
Pesantren Akhirnya ia bersedia untuk
menjual tanahnya dan sebagian hartanya
diwakafkan untuk keperluan-keperluan
Pesantren Miftahul Huda.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

24
Obsesi Uwa Ajengan untuk
memperluas tanah tidak semuanya
tercapai, karena beberapa pemilik tanah
tersebut tidak mau menjual tanahnya
meskipun Uwa Ajengan bersedia untuk
membayar tanah tersebut dengan harga
yang tinggi. Menurut mereka, makna
tanah warisan jauh lebih berarti
dibandingkan dengan uang dan alasan
keagamaan. Tanah warisan mereka patut
dijaga dan diurus. Selain itu menurut
mereka tanah warisan tersebut untuk
mengenang masa-masa lalu hidupnya.
Dengan tetap memiliki tanah tersebut
berarti masih menghormati peninggalan
orang tua mereka, serta tetap mengenang
masa lalu yang dihabiskan di tanah
tersebut.
Dana untuk pembelian tanah-tanah
yang sekarang digunakan untuk Pesantren
Miftahul Huda adalah dari kas Pesantren.
Akan tetapi umumnya pembelian tanah
selalu diiringi dengan mobilisasi dana,
misalnya tanah di bagian barat, Pesantren
memobilisasi dana dari para orang tua/
wali Santri sebesar Rp 5.000.-(lima ribu
rupiah) per orang. Di samping itu,
pengasuh Pesantren juga mencari jalan
keluar dengan mengirim permohonan
bantuan untuk simpatisan dan para
donatur.
Saat ini, Pesantren Miftahul Huda
mempunyai tempat tersendiri seluas + 8
hektar persegi yang terdiri atas 18
asrama (10 asrama putra, 8 asrama putri),
masing-masing berlantai dua yang
berukuran kurang lebih 20 x 40 M2, 13
rumah Dewan Kiai yang memisahkan
antara asrama putra dan asrama putri,
sebuah masjid megah yang berukuran 40
x 50 m2 berlantai II, TUT, Poskestren,
Studio RASIMUDA (Radio Siaran
Miftahul Huda), Kantor Hamida, Ruang
Musyawarah (Gedung Serbaguna),
Madrasah Diniyyah, Ruang Perpustakaan,

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 18-32


Ruang Pelatihan Mesin, Lapangan Olah
Raga, Gedung Olah Raga, sebuah
Madrasah dua lantai dan Aula tiga lantai,
ruang belajar Putra-Putri, kantin-kantin
Pesantren, dapur umum, 10 WC/MCK,
satu buah Truk Pesantren dan sebuah Suq
Shogir (mini market) yang memiliki omzet
puluhan juta rupiah tiap bulannya, dengan
sirkulasi Rp.750.000,- per hari sampai
dengan Rp 1.500.000,-, juga seluruh
aktivitas menggunakan komputer canggih
dengan sistem online.
2. Profil Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya
a. Unsur-unsur Pesantren

Pondok pesantren merupakan


salah satu lembaga pengajaran agama
Islam yang secara umum dilakukan
dengan cara nonklasikal, dipimpin oleh
seorang kiai sekaligus pemilik pesantren
tersebut. Pada umumnya lokasi-lokasi
pesantren di Jawa Barat terletak di
daerah pedalaman, termasuk pesantrenpesantren yang ada di Tasikmalaya. Hal
ini disebabkan oleh politik yang berkuasa
pada masa itu, yaitu bertalian dengan
masuknya kolonial Belanda ke dalam
pusat pemerintahan bangsa pribumi.
Adapun tujuan terbentuknya
pondok pesantren, yaitu sebagai berikut:
1) Tujuan Umum:
Membimbing anak didik untuk menjadi
manusia yang berkepribadian Islam
yang dengan ilmu agamanya ia
sanggup menjadi mubaligh Islam dalam
masyarakat sekitar melalui ilmu dan
amalnya.
2) Tujuan Khusus:
Mempersiapkan para santri untuk
menjadi orang alim dalam ilmu agama
yang diajarkan oleh kiai yang
bersangkutan serta mengamalkannya
dalam masyarakat (Hasbullah, 1999:
24).

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Pesantren Miftahul Huda ... (Adeng)


Tiap pesantren mempunyai tiga
unsur dasar atau pokok, yaitu: pengasuh,
santri, dan sarana fisik. Pengasuh terdiri
atas kiai (orang Sunda menyebutnya
ajengan) dan guru. Guru laki-laki disebut
ustadz sedangkan guru wanita disebut
ustadzah. Santri adalah murid yang
sedang menuntut ilmu agama Islam di
sebuah pesantren. Sedangkan sarana
fisik, yaitu: masjid, pondok, madrasah
(tempat belajar) dan kitab-kitab Islam
klasik. Menurut Zamakhsyari Dhofier,
sebuah pesantren mempunyai lima
elemen dasar, yaitu: pondok, masjid, santri,
pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan
kiai. Suatu lembaga pengajaran Islam
yang telah berkembang sehingga
mempunyai lima elemen dasar disebut
pesantren (Dhofier, 1982: 44).
Di Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya terdapat tiga unsur dasar atau
lima elemen dasar seperti dikemukakan
oleh Zamakhsyari Dofier, seperti pondok
laki-laki dan wanita, masjid, santri lakilaki dan wanita, pengajaran kitab-kitab
Islam klasik, dan ajengan atau kiai.
b. Pondok

Setiap pesantren biasanya


mempunyai pondok, yaitu tempat tinggal
(semacam asrama) santri selama belajar
di pesantren. Istilah pondok mungkin
berasal dari pengertian asrama para
santri atau tempat tinggal yang dibuat dari
bambu. Kata pondok juga berasal dari
bahasa Arab, funduq yang berarti hotel
atau asrama. Pondok tempat untuk
membentuk kepribadian seorang calon
ulama atau kiai.
Dengan demikian, sebuah pesantren
pada dasarnya adalah sebuah asrama
pendidikan Islam tradisional, di mana para
siswanya tinggal bersama dan belajar
bersama di bawah bimbingan seorang
guru atau lebih yang dikenal dengan

2011

25
sebutan kiai atau ajengan. Asrama untuk
para santri dalam lingkungan kompleks
pesantren bersama-sama dengan tempat
tinggal kiai, masjid untuk beribadat, ruang
untuk belajar dan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang lain. Kompleks
pesantren biasanya dikelilingi dengan
tembok untuk dapat mengawasi keluar
dan masuknya para santri sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Di Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya terdapat bangunan utama
yang terdiri atas masjid, rumah kiai,
tempat belajar (madrasah), pondok
wanita, dan pondok laki-laki.
c. Masjid

Masjid merupakan unsur atau


elemen yang tidak dapat dipisahkan
dengan pesantren dan dianggap tempat
yang paling tepat untuk mendidik para
santri. Terutama dalam praktik shalat
lima waktu, khutbah dan shalat Jumat
serta pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Selain itu, para santri mendapat tambahan
pengetahuan berupa pengajaran agama
Islam dan bagaimana cara melaksanakan
khutbah pada waktu mengikuti shalat
Jumat, baik di lingkungan pesantren
tempat mereka belajar maupun pada
waktu melakukan shalat Jumat di
tempat-tempat lain, ketika sedang
bepergian atau berlibur di tempat
tinggalnya masing-masing.
Status masjid sebagai pusat
pendidikan dalam tradisi pesantren
merupakan manisfestasi universalisme
dari sistem pendidikan Islam tradisional.
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW
yang dimulai dari Masjid Al-Qubba yang
didirikan dekat Madinah, masjid telah
menjadi pusat pendidikan Islam. Kaum
muslimin dimanapun mereka berada
selalu menggunakan masjid sebagai
tempat pertemuan, pusat pendidikan,

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

26
aktivitas administrasi dan kebudayaan.
Bahkan pada masa sekarang pun masih
ada kiai atau ajengan yang mengajar atau
memberikan wejangan dan anjuran
kepada murid-muridnya di masjid
(Dhofier, 1982: 49).
Di Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya terdapat sebuah masjid yang
cukup besar dan permanen berukuran 40
x 50 m2 berlantai 2, letaknya berada di
tengah kompleks pesantren.
d. Madrasah

Perubahan-perubahan yang
dialami oleh umat Islam Indonesia pada
awal abad ke-20 merupakan akibat
adanya gerakan pembaharuan.
Perubahan tersebut terjadi juga di Pondok
Pesantren Miftahul Huda Manonjaya,
terutama dalam bidang pendidikan,
khususnya sistem klasikal (madrasah).
Sekolah agama Islam (modern) dengan
sistem klasikal dan pengajaran di
dalamnya telah tersusun dalam kurikulum
(Yakub, 1984: 65).
Pada tahun 1967, Choer Affandi
membangun madrasah berukuran 30 x 8
m dan terbagi menjadi lima kelas. Setelah
beberapa waktu, masjid dan pondok santri
pun dibangun secara bertahap.
Pembangunan sarana fisik semakin
diperluas sejalan dengan semakin
banyaknya santri yang bermukim. Suatu
ciri khas cara pendirian gedungnya adalah
hampir seluruhnya dilakukan kiai dan
para santrinya dan dibantu oleh penduduk
sekitar.(Prasodjo et al., 1999: 6).
e . Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Kitab-kitab Islam klasik, terutama
karangan-karangan ulama yang
menganut paham Syafiiyah (madzhab
Imam Syafii) merupakan bahan
pengajaran formal yang diberikan di
lingkungan pesantren. Rupanya paham

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 18-32


Syafiiyah mempunyai pengaruh yang
cukup besar di Indonesia, seperti tampak
pada kitab-kitab fiqh yang banyak
dipelajari di pesantren-pesantren
(Prasodjo et al., 1975: 60). Tujuan utama
mempelajari kitab-kitab Islam klasik
adalah untuk mendidik calon ulama, dan
kiai atau ajengan. Santri-santri yang
bercita-cita menjadi ulama harus belajar
bertahun-tahun di pesantren dengan
tujuan utama menguasai berbagai cabang
pengetahuan Islam. Untuk mencapai
tujuan itu, para santri diwajibkan
mempelajari kitab-kitab Islam klasik yang
disusun oleh para Ulama Salaf.
f. Santri

Menurut Profesor Johns istilah


santri berasal dari bahasa Tamil yang
berarti guru mengaji, sedangkan C.C.
Berg berpendapat bahwa istilah tersebut
berasal dari kata shastri yang dalam
bahasa India berarti orang yang tahu
buku-buku suci agama Hindu, atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama
Hindu, kata shastri berasal dari kata
shastra yang berarti buku-buku suci,
buku-buku agama atau buku-buku tentang
ilmu pengetahuan (Dhofier, 1982: 18).
Santri adalah murid pesantren,
biasanya tinggal dalam pondok atau
asrama, meskipun ada kalanya tinggal
dirumah sendiri di sekitar pesantren
(Prasodjo, 1975: 6). Dalam suatu
pesantren santri merupakan elemen yang
penting, tanpa mereka pondok akan
kosong, karena tidak berpenghuni.
Berdasarkan tradisi pesantren dan
menurut penggolongan tempat tinggal
para santri, maka terdapat dua kelompok
santri, yaitu: pertama santri mukim atau
tetap, yaitu siswa-siswa yang berasal dari
daerah yang jauh dan menetap dalam
pondok di kompleks pesantren. Kedua
santri kalong (santri nonformal), yaitu

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Pesantren Miftahul Huda ... (Adeng)


siswa yang berasal dari desa-desa atau
tempat-tempat di sekitar pesantren.
Mereka datang ke pesantren hanya untuk
mengikuti pelajaran dalam waktu tertentu
dan setelah selesai kembali lagi ke
rumahnya.
Perbedaan pesantren kecil dan
besar dapat dilihat dari komposisi santri
kalong. Semakin besar dan terkenal
sebuah pesantren, semakin besar jumlah
santri mukimnya. Dengan demikian
pesantren kecil akan memiliki lebih
banyak santri kalong daripada santri
mukim. Ada tiga alasan mengapa santri
mukim ingin menetap agak lama atau
cukup lama di sebuah pesantren:
1) Ia ingin mempelajari kitab-kitab
lain yang membahas Islam secara
lebih mendalam di bawah
bimbingan kiai yang memimpin
pesantren tersebut.
2) Ia ingin memperoleh pengalaman
kehidupan pesantren, baik dalam
bidang pengajaran, keorganisasian
maupun hubungan dengan
pesantren-pesantren yang terkenal.
3) Ia ingin memusatkan studinya di
pesantren tanpa disibukkan oleh
kewajiban sehari-hari di rumah
keluarganya. Di samping itu,
dengan tinggal di sebuah pesantren
yang sangat jauh letaknya dari
kampungnya sendiri, ia tidak mudah
pulang-pergi meskipun kadangkadang menginginkannya (Dhofier,
1982: 51-52 ).
Di Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya, santri yang mukim seluruhya
adalah santri yang tidak sekolah atau
dalam tradisi pesantren disebut santri
khusus. Mereka adalah siswa yang tidak
melanjutkan sekolah dan memilih untuk
memfokuskan diri belajar ilmu agama di
pesantren. Hal ini berbeda dengan
pesantren lain yang berada di Kabupaten

2011

27
Tasikmalaya. Pada umumnya, mereka
selain berstatus sebagai santri juga
sebagai pelajar atau mahasiswa, seperti
Pesantren Cipasung, Pesantren
Sukamanah, Pesantren Cintawana, dan
lain-lain. Jumlah santri di Pesantren
Miftahul Huda Manonjaya tahun 2009
seluruhnya berjumlah 1.976, dengan
perincian 1.327 santri putera dan 649
santri puteri yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia, di antaranya dari
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,
DKI Jakarta, Bandung, Sumatera,
Lampung, dan lain-lain.
Kegiatan lain yang dilakukan,
selain pengajian para santri, juga
dilakukan pengajian rutin untuk
penduduk sekitar dan alumni pesantren.
Pengajian ini dilaksanakan setiap malam
Kamis yang dihadiri tidak kurang dari
3.000 orang, sedangkan pengajian
Selasa pagi dihadiri kurang lebih 1.500
orang. Bentuk pendidikan lain yang
diberikan kepada para santri di
Pesantren Miftahul Huda Manonjaya
adalah berupa pelatihan pertanian,
peternakan ikan dan pertukangan.
Khusus bagi santri puteri diberikan
pelatihan PKK, merias pengantin dan
dekorasi.
3. Tujuan Pendidikan Pesantren
Miftahul Huda

Pondok Pesantren Miftahul Huda


didirikan dengan visi dan misi yang jelas,
yaitu tamuruuna bil maruf wa
tanhauna anil munkar yakni menyeru
manusia untuk berbuat kebajikan dan
melarang berbuat kejahatan. Salah satu
upaya untuk merealisasikan misi di atas
adalah melalui bentuk pendidikan yang
berpolakan Salafiyah.
Misi di atas dijabarkan ke dalam
bentuk tujuan pendidikan Pesantren
Miftahul Huda sebagai berikut:

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

28
a. Mencetak pribadi muslim yang
bertawakal kepada Allah SWT.
b. Mencetak Imam al-Muttaqin
(Sponsor manusia bertaqwa).
c. Mencetak Ulamaal-Amilin (Ulama
yang mengamalkan ilmu).
d. Terampil dalam membangun, agar
kelak tidak menggantungkan diri
kepada orang lain.
e. Mencegah adanya manusia jahat yang
timbul dari tidak adanya keimanan,
kebodohan dan kesombongan, yang
positif dapat merugikan negara
(Progress Report, 2009: 5).
Rumusan tujuan Pesantren ini
disusun pada saat mendirikan Pesantren
Miftahul Huda yang ada sekarang,
sedangkan saat mendirikan pesantren
sebelumnya Choer Affandi tidak
merumuskan tujuan tersebut secara
tertulis. Esensi dari kelima tujuan di atas
merupakan cita-cita dari para ulama dan
kiai di pesantren, hanya saja di antara
mereka ada yang berani mengatakan dan
ada pula yang tidak berani
mengatakannya, sedangkan Choer
Affandi sendiri termasuk orang yang
berani mengungkapkan tujuan tersebut.
Kelima poin di atas disusun secara
saksama, yang masingmasing poin
mempunyai sasaran dan target tersendiri
yaitu sebagai berikut:
a. Mencetak pribadi muslim yang
bertaqwa kepada Allah SWT.
maksudnya adalah pribadi muslim
yang mengamalkan ajaran Islam
secara konsekuen. Oleh karena hal
tersebut di atas, bagi para santri
Pondok Pesantren Miftahul Huda
dituntut dapat mengamalkan ajaran
ajaran agama Islam, kemudian
memberikan pengajaran dan
tuntunan, pendidikan (Warahan dan
Asuhan) serta memberikan sangsi
secara langsung. Sebagai contoh,

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 18-32


para santri diwajibkan untuk
melaksanakan shalat berjamaah,
kalau saja mereka kedapatan tidak
melaksanakan shalat berjamaah,
maka mereka akan diberikan sanksi,
yaitu dijilid.
b. Mencetak Imam al-Muttaqin
(sponsor
orang
bertaqwa)
maksudnya jika mereka telah
mendapat predikat taqwa, maka
mereka akan aktif memimpin ke arah
taqwa.
c. Mencetak Ulama al-Amilin,
maksudnya ulama yang dapat
mengamalkan ilmunya. Perlu
diketahui pula, bahwa mencari ilmu
itu sulit, namun mengamalkannya
jauh lebih sulit. Oleh karena itu,
metode yang diterapkan di Pondok
Pesantren Miftahul Huda adalah
membiasakan diri untuk berbuat
saleh dan ber-akhlakul karimah.
d. Mencetak pribadi yang terampil,
maksudnya adalah para santri dan
Alumni Pondok Pesantren Miftahul
Huda harus mampu menjadi orang
yang mandiri dengan berbekal ilmu
dan keterampilan. Kami tidak
mengharapkan ada Alumni Pondok
Pesantren Miftahul Huda yang hanya
mampu memberikan penerangan
tentang agama saja, tetapi mereka
harus dapat menghidupi diri dan
keluarganya. Untuk itu mereka harus
dapat hidup mandiri (Zelftandez dan
Self Determination). Untuk dapat
hidup mandiri dia harus terampil, jika
mereka dapat hidup mandiri, maka
mereka akan leluasa dalam
menegakkan hak, serta leluasa dalam
menumpas kebathilan tanpa adanya
keterkaitan yang bersifat moral atau
pun material. Untuk kepentingan itu,
mereka para santri diberi
pengalaman keterampilan yang

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Pesantren Miftahul Huda ... (Adeng)


sangat praktis yang dimiliki oleh
Pondok Pesantren Miftahul Huda
khususnya, seperti masalah
pertukangan, peternakan, pertanian,
dan keorganisasian.
e. Mencegah adanya manusia jahat,
maksudnya
adalah
upaya
pencegahan munculnya orang-orang
yang tidak bertanggung jawab.
Pendidikan
pesantren untuk
mengarahkan pada bidang keimanan,
keilmuan dan ketaqwaan yang akan
menjadi benteng pertahanan
sekaligus pencegahan terhadap
adanya manusia-manusia yang tidak
bertanggung jawab. Salah satu tugas
Pesantren adalah membina para
santri agar kelak mereka mampu
membina masyarakat luas, para
alumni sendiri diharapkan dapat
membantu
bersama-sama
menanamkan dan menyirami
keimanan masyarakat, sehingga
kebodohan dan kesombongan dapat
ditekan sekecil mungkin (Progress
Report, 2009: 6).
Tujuan yang paling utama dari
pendidikan Pondok Pesantren Miftahul
Huda adalah mencetak kader ulama yang
tetap komitmen terhadap dunia Islam,
setidaknya mampu menjadi pemimpin bagi
diri sendiri dan keluarganya.
4. Kurikulum Pendidikan Pesantren

Pada umumnya, sistem pendidikan


di pesantren tidak mengenal
penjenjangan, kurikulum, silabus dan
sistem evaluasi. Akan tetapi, di Pondok
Pesantren Miftahul Huda ini telah sejak
lama mencoba mengembangkan sistem
Salafiyah menjadi pendidikan semi
formal, di mana penjenjangan, kurikulum
pengajaran, silabus, dan sistem evaluasi
disusun berdasarkan jenjang pendidikan
yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

2011

29
Ibtida (tingkat pemula), Tsanawy (tingkat
menengah), Mahad Aly (tingkat atas).
Masing-masing tingkatan ini
kemudian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu
kelas 1, kelas 2, dan kelas 3, sedangkan
untuk Mahad Aly dititikberatkan untuk
mengajarkan kembali pelajaran-pelajaran
yang sudah dipelajarinya (praktik
mengajar dan mengurus keorganisasian
pesantren) juga lebih ditekankan untuk
memperdalam keilmuan.
Kurikulum yang digunakan adalah
kurikulum yang disusun oleh Choer
Affandi dan dibantu para Dewan Kiai,
kitab-kitab yang dipelajarinya adalah
kitab-kitab Islam klasik karya para ulama
salaf. Secara garis besar kurikulum
Pendidikan Pesantren Miftahul Huda
lebih diarahkan pada enam bidang
pemahaman yaitu:
a. Pemahaman tentang pengetahuanpengetahuan kebahasaan dan logika,
yaitu bahasa Arab, yang disebut ilmu
Gremer (Greammer) dan Manthiq.
Adapun kitab yang digunakan untuk
pemahaman
dalam
bidang
kebahasaan di antaranya: kitab
Jurumiyah, Shorof Kailani,
Amtsilatul Tasrif, Imriti, Alfiyah
Ibnu Malik, Samarkondy.
b. Pemahaman
dalam
bidang
pengetahuan aqidah tentang
penekanan pada aspek ketauhidan,
kitab yang digunakan di antaranya:
Kitab Tijan Addaruri, Kifayatul
Awam, Khulasoh Ilmu Tauhid,
Majmuatul Aqidah, Jauhar
Tauhid, Ummul Barohin, Khoridatul
Bahiyah, dan Aqidah Islamiyyah.
c. Pemahaman dalam bidang syariah
tentang penekanan pada aspek
pengamalan ibadah dan muamalah
(Fiqih), kitab yang digunakan antara
lain: Kitab Safinah, Riyadaul
Badiah, Fathul Qorib, Fathul

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

30
Wahab,
Fathul
Muin,
Ianatuttholibin, dan Kifayatul
Akhyar.
d. Pemahaman dalam bidang Ushul
Fiqih, kitab yang dipergunakan antara
lain: Kitab Waroqot, Lathoiful
Isyaroh, Wushul, Jamul Jawami,
dan Asybah Wannadzoir.
e. Pemahaman dalam bidang Hadits dan
Tafsir, kitab yang dipergunakan adalah:
Kitab Arbain Nawawi, Riyadus
Sholihin, Tafsir Jalalen, Bukhory,
Shohih Muslim, dan Tafsir Ibnu
Katsir.
f. Pemahaman dalam bidang Akhlak dan
Tasauf yang penekanannya pada
aspek perilaku, kitab yang
dipelajarinya antara lain: Kitab
Akhlakul lil Banin, Sulamuttaufiq,
Talimul Mutaalim, Alajul Amrod,
Kifayatul Atqiya, Syubul Iman,
Nashoihul Ibad, dan Al-Hikam
(Progress Report, 2009: 6).
Santri yang sudah menduduki
tingkat Mahad Aly diberikan pelajaran
tambahan yang dapat memberikan
kontribusi terhadap materi pelajaran
pokok seperti ilmu Tarikh (ilmu Sejarah),
ilmu Arud Qowafi, dan ilmu Falak.
Selain kurikulum inti pengajaran di atas,
terdapat pula pelajaran ekstra kurikuler
yang meliputi keorganisasian, kegiatan
keterampilan seperti pertukangan,
peternakan,
pertanian,
dan
kewirawastaan.
Dalam menyampaikan proses
belajar mengajar, Pondok Pesantren
Miftahul Huda menerapkan tiga sistem,
yaitu:
a. Sistem Studi Individu (sorogan),
dilakukan sesudah Sholat Shubuh,
yang disentralkan di mesjid Miftahul
Huda. Dalam kegiatan ini para santri

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 18-32


bebas memilih guru sorogan yang
diambil dari para santri senior,
sedangkan materi yang diajarkan
disesuaikan dengan jenjang para santri
itu sendiri.
c. Sistem Klasikal, yaitu pengajian yang
dilakukan di kelas sesuai dengan
kurikulum yang berlaku untuk masingmasing jenjang. Untuk tingkat
Tsanawy dan Mahad Aly mudarisnya adalah Dewan Kiai, sedangkan
bagi tingkat Ibtida, mudaris-nya
adalah santri senior.
d. Kuliah Umum, yaitu pengajian yang
dilakukan di masjid yang dipimpin oleh
Pimpinan Umum atau Dewan
Pimpinan, materi pelajarannya adalah
Tafsir Jalalain.
Adapun yang disebut Guru atau
Ustadz di Pondok Pesantren Miftahul
Huda adalah para santri senior yang layak
atau memenuhi kriteria sebagai
supervisor di ruangan kelas. Kelayakan
seseorang untuk mengadakan proses
belajar mengajar di Pondok Pesantren
Miftahul Huda adalah berdasarkan hasil
penyeleksian dan diklasifikasikan
menurut kemampuan ilmiahnya.
Di bawah ini terdapat empat
klasifikasi Guru/Ustadz di Pondok
Pesantren Miftahul Huda, yaitu:
a. Guru Besar, yaitu guru yang dituakan
dalam keilmuannya dan dijadikan
sebagai nara sumber sekaligus
sebagai Top Leader di Pondok
Pesantren Miftahul Huda.
b. Dewan Kiai, yaitu para putra Choer
Affandi, menantu dan cucu.
c. Dewan Guru adalah santri senior yang
duduk di tingkat Mahad Aly.
d. Santri yang dianggap mampu dan
dipercaya oleh pesantren untuk
menyampaikan materi pelajaran
dalam sorogan.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Pesantren Miftahul Huda ... (Adeng)


5. Pesantren
Manonjaya
Pendidikan

Miftahul
Huda
sebagai Lembaga

Islam adalah agama ilmu yang


menghapuskan segala bentuk kebodohan,
juga sebagai agama cahaya yang
mengeluarkan manusia dari kegelapan.
Oleh karena itu, Islam sangat menghargai
orang-orang yang berilmu.
Islam telah mewajibkan para
pemeluknya untuk menuntut ilmu
pengetahuan tanpa dibatasi waktu dan
tempat. Di samping itu Islam adalah
agama dakwah yang menuntut umatnya
untuk menciptakan suatu perubahan dari
suatu keadaan yang tidak baik menjadi
keadaan yang lebih baik menurut atau
sesuai kemampuannya masing-masing.
Setiap muslim terikat diri untuk
mendakwahkan Islam sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya, walaupun
hanya satu ayat, dan sesuai pula dengan
kemampuannya.
Tujuan pendidikan Islam bukan
hanya membentuk pribadi-pribadi muslim
yang benar-benar bertaqwa kepada Allah
SWT, tetapi juga membentuk muslimmuslim yang dapat mendakwahkan
ajaran Islam yang telah dimilikinya. Untuk
kepentingan itu diperlukan waktu
pendidikan cukup lama. Itu sebabnya
para kiai tidak hanya menyediakan sebuah
masjid atau langgar juga pondok-pondok
sederhana yang disediakan terutama bagi
santri yang datang dari tempat-tempat
yang jauh, maka terbentuklah sebuah
pesantren.
C. PENUTUP

Pondok Pesantren Miftahul Huda,


secara resmi didirikan pada tanggal 7
Agustus 1967 oleh Al-Mukarrom K.H.
Choer Affandi. Pesantren Miftahul Huda
terletak di Dusun Pasirpanjang, Desa
Kalimanggis, Kecamatan Manonjaya,
2011

31
Kabupaten Tasikmalaya. Semula pondok
pesantren ini merupakan sebuah
pesantren yang sederhana dan sistem
pendidikannya masih bersifat tradisional.
Perkembangan Pondok Pesantren
Miftahul Huda dari tahun ke tahun makin
pesat dan sistem pendidikan pun berubah
dari sistem tradisional menjadi modern.
Pesantren Miftahul Huda sebagai
lembaga
keagamaan
selalu
mengupayakan agar para santrinya
mampu ber-akhlakul karimah dan
mendapat ilmu yang bermanfaat yang
dituangkan dalam tiga program pesantren,
yaitu: Ulama al Amilin (ulama yang
mampu mengamalkan ilmunya), Imam al
Muttaqin (memimpin ummat untuk
bertaqwa), dan Muttaqin (Manusia yang
bertahan dalam ketaqwaan).
Di samping itu, Pesantren
Darussalam menggalakkan semangat
gotong royong di kalangan santri dan
masyarakat sehingga tercipta satu
masyarakat yang saling tolong menolong,
saling mencintai, dan saling menghormati.
Dengan demikian, Pondok
Pesantren Miftahul Huda sebagai
lembaga keagamaan dan pendidikan
telah proaktif dalam memajukan dan
mencerdaskan kehidupan berbangsa,
khususnya umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama. 1981.


Al-Quran dan Terjemahannya.
Jakarta: Proyek Penerjemahan
Alquran.
_______. 2001.
Visi dan Misi, serta Program
Pendidikan Keagamaan dan
Pondok Pesantren. Jakarta:
Direktorat
Jenderal,
Kelembagaan Agama Islam.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

32
Dhofier, Zamakhsyari. 1983.
Tradisi Pesantren: Studi
tentang Pandangan Hidup
Kiai. Jakarta: LP3ES.
Fazari, K.H. Mahdar. 1996.
Ikhlas Mengabdi, Biografi
Uwa Ajengan K.H. Choer
Affandi. Tasikmalaya: Yayasan
Pesantren Miftahul Huda,
Manonjaya.
Hasbullah. 1999.
Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan.
Jakarta. Lembaga-lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan
(LSIK),

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 18-32


Miftahul Huda Maksimalkan Tri
Program Pesantren, dalam
Majalah Pesantren Trend,
Menuju
Syakhshiyyah,
Thoyyibah, Tasikmalaya, 2006.
Progress Raport, 2009.
Pesantren
Miftahulhuda.
Tasikmalaya: Tp.
Prasodjo, Imam B. et al. 1999.
Sisi Lain Pesantren Miftahul
Huda. Cet. Ke-1. Tasikmalaya:
Yayasan Pesantren Miftahul
Huda, Manonjaya: Tp.
Yacub, H.M. 1984.
Pondok
Pesantren
dan
Pembangunan Masyarakat
Desa. Bandung: Angkasa.

Hasymy, A. 1993.
Sejarah
Masuk
dan
Berkembangnya Islam di
Indonesia. Medan: Almaarif.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Upacara Siraman Dan Ngalungsur Geni ... (Ani Rostiyati)

33

UPACARA SIRAMAN DAN NGALUNGSUR GENI


DI DESA DANGIANG KABUPATEN GARUT
Oleh Ani Rostiyati
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jl. Cinambo No. 136 Ujungberung-Bandung 40294
Naskah diterima: 28 Desember 2010

Naskah disetujui: 22 Februari 2011

Abstrak
Upacara tradisional merupakan kegiatan upacara yang berhubungan dengan
tradisi berbagai macam peristiwa pada masyarakat yang bersangkutan. Upacara
tradisional juga bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya. Oleh
karena itu, upacara tradisional dapat mengikat rasa solidaritas warga dan memiliki
nilai-nilai penting sebagai pedoman perilaku masyarakatnya. Namun, bukan tidak
mungkin upacara itu satu demi satu tersingkirkan. Di antaranya upacara dirasakan
tidak lagi bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya. Kekhawatiran tersebut
mendorong perlu dilakukannya penelitian upacara tradisional, agar masyarakat
terutama para generasi muda bisa tetap mengetahui tinggalan leluhur. Salah satu
upacara tradisional yang masih berlangsung adalah upacara Siraman dan Ngalungsur
Geni di Desa Dangiang, Kec. Banjarwangi, Kab. Garut. Upacara ini bertujuan untuk
menghormati leluhur dengan ziarah ke makamnya dan memelihara tinggalan leluhur
berupa benda keramat milik leluhur yaitu keris, golok, dan meriam. Penelitian ini
bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang melihat pada aspek
nilai dan konsep berpikir pada masyarakat tersebut, serta penggalian data melalui
observasi dan wawancara.
Kata kunci: upacara tradisional, upacara Siraman dan Ngalungsur Geni.
Abstract
Traditional ceremony is a kind of ceremony that has something to do
with the society in question. It is also an integral part of the culture of the
society itself. Therefore, traditional ceremony can make a bond within members
of the society and has valuable meaning as guidance for the behaviour of the
members of the society itself. Yet, the ceremonies are vanished one after another.
The reason is that the society does not think they are useful enough for them.
This research is based on that condition, hoping that young generation will
preserve this legacy. Upacara Siraman and Ngalungsur Geni are ones that are
still conducted in Desa Dangiang Kecamatan banjarwangi, Kabupaten Garut.
These two traditional ceremonies are intended to give honour to the ancestors
by visiting their tombs and preserving their legacy such as sacred things like
kris, machete, and canon. This is a descriptive research with qualitative
approach, seeking aspects of values and the societys concept of thinking. Data
are obtained through observation and interview.
Keywords: traditional ceremony, Upacara Siraman and Ngalungsur Geni.
2011

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

34

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 33-49

A. PENDAHULUAN

Upacara tradisional merupakan


kegiatan upacara yang berhubungan
dengan tradisi suatu masyarakat.
Upacara tradisional merupakan sistem
aktivitas atau rangkaian tindakan yang
ditata oleh tradisi atau aturan yang berlaku
dalam masyarakat dan berhubungan
dengan berbagai macam peristiwa dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Upacara tradisional menurut
Budhisantoso (1992:7) adalah tingkah
laku resmi yang dibakukan untuk
peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan
pada kegiatan teknis sehari-hari, akan
tetapi mempunyai kaitan dengan
kepercayaan akan adanya kekuatan di
luar kemampuan manusia. Pada definisi
di atas, yang dimaksudkan sebagai
kekuatan di luar kemampuan manusia di
antaranya adalah kekuatan supra-natural.
Sebagai contoh adalah roh nenek moyang
pendiri desa dan roh leluhur. Mereka
dianggap masih memberikan perlindungan
kepada keturunannya.
Berbagai upacara dikembangkan
oleh manusia dengan maksud atau tujuan
tertentu. Pertama untuk menyampaikan
gagasan dan pengalaman. Kedua untuk
mengukuhkan pendapat dan normanorma sosial serta agama dengan
menggunakan simbol. Menurut
Budhisantoso (1992:8), beragam upacara
yang dikembangkan oleh masyarakat
pada hakikatnya terbagi dalam dua
katagori. Kedua jenis katagori upacara
tadi adalah upacara lintasan hidup dan
upacara meruwat.
Upacara lintasan hidup adalah
upacara yang dilakukan untuk menandai
peristiwa perkembangan fisik dan sosial
seseorang. Perkembangan fisik dari mulai
waktu lahir, menginjak dewasa, kawin,

dan kemudian mati. Upacara ini


dimaksudkan
untuk
menandai
perpindahan dari suatu fase kehidupan ke
fase lain. Adapun upacara meruwat yaitu
upacara yang dilakukan untuk
menertibkan kembali keadaan yang
dirasa terganggu. Caranya dengan
menghilangkan penyebabnya ataupun
dengan memberikan imbalan pada
leluhur yang dianggap telah dilupakan
orang.
Dari paparan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwasanya upacara
tradisional memiliki peranan yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat.
Namun demikian, bukan tidak mungkin
upacara itu satu demi satu tersingkirkan.
Berbagai faktor bisa menjadi
penyebabnya. Di antaranya: berkurangnya
lahan pertanian, berkurangnya pemilik
tanah pertanian di pedesaan, dan upacara
dirasakan tidak lagi bermanfaat bagi
masyarakat
pendukungnya.
Kekhawatiran tersebut mendorong perlu
dilakukannya penelitian tentang upacara
tradisional yang masih berlangsung.
Dengan demikian kelak jejak tinggalan
leluhur masih bersisa. Salah satu upacara
tradisional yang masih berlangsung
adalah upacara Siraman dan Ngalungsur
Geni di Desa Dangiang, Kec
Banjarwangi, Kab. Garut. Pada intinya
upacara ini bertujuan untuk menghormati
leluhur dengan ziarah ke makamnya dan
memelihara tinggalan leluhur yang berupa
benda keramat milik leluhur. Benda-benda
keramat berupa keris, golok, dan meriam
ini dipercaya masyarakat memiliki
kesaktian dan daya supernatural. Oleh
karena itu perlu dipelihara dengan
dimandikan tiap tahun sekali pada bulan
Maulud.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Upacara Siraman Dan Ngalungsur Geni ... (Ani Rostiyati)


B. HASIL DAN BAHASAN
1. Desa Dangiang: Lokasi,
Penduduk, Kehidupan Sosial
Budaya, dan Kuncen

Upacara Ngalungsur Geni adalah


upacara adat yang masih dipegang teguh
dan diwarisi secara turun-temurun oleh
masyarakat Dangiang. Kepercayaan
terhadap roh-roh halus, leluhur, dan cikal
bakal desa merupakan manifestasi
keteguhan hati yang berakar kuat di
sanubari masyarakat Dangiang. Memang
dalam masyarakat pedesaan umumnya,
cara berpikir masyarakatnya tidak bisa
dipisahkan dari lingkungan alam. Irama
alam merupakan irama hidup masyarakat,
mereka terikat secara akrab dengan alam
semesta dan kekuatannya. Orang selalu
berpartisipasi dengan irama alam dan
secara mental mereka tidak lepas dari
kekuatannya (Mulder, 1973:66).
Berkenaan dengan peranan
leluhur, maka perlu dikemukakan satu
konsep pemujaan leluhur yaitu konsep
keluhuran. Keluhuran adalah segala sifat
yang bernilai mulia, agung, halus, dan
tinggi. Jas dan sifat yang dimiliki oleh
leluhur ini mengakibatkan masyarakat
selalu melakukan kontak dengannya agar
mendapatkan berkah keselamatan.
Prinsip konsep keluhuran sama dengan
prinsip kedewaan atau ketuhanan, karena
mencirikan sesuatu yang mengawang
mutlak di atas situasi aktual dan seolaholah bebas di luar jangkauan panca indra
manusia. Dalam sistem kepercayaan
pemujaan pada leluhur, bagi masyarakat
pedesaan termasuk juga Desa Dangiang,
leluhur (karuhun) dianggap mempunyai
otoritas karena dianggap mampu
melindungi dan memecahkan segala
persoalan manusia. Dengan demikian
leluhur menduduki posisi supra dan
masuk dalam puncak hirarki tata alam
semesta.
2011

35

Prinsip di atas, sama dengan


konsep berpikir dalam struktur model
buatan Leach, yakni menempatkan
leluhur atau Tuhannya dalam puncak
hirarki tata alam semesta. Dalam hal ini,
Eyang Gusti Batara Turus Bawa dianggap
sebagai leluhur yang harus dihormati dan
diletakkan pada puncak hirarki tata alam
semesta.
Sedangkan
manusia
(masyarakat) terletak di bawah susunan
tata alam semesta. Maka untuk mencapai
keselarasan atau keharmonisan tata alam
semesta ini, dibuat jembatan sebagai
mediator yang menghubungkan leluhur
(dunia sana) dengan manusia (dunia sini),
yakni dengan melakukan upacara (ritual
atau selamatan).
Taylor, dalam bukunya Primitive
Culture, mengemukakan bahwa
tumbuhnya religi umat manusia
berpangkal pada keyakinan terhadap
adanya jiwa sebagai substansi yang
menyebabkan adanya kehidupan. Apabila
manusia itu mati, jiwa itu tetap hidup dan
bertempat tinggal pada tempat-tempat
tertentu. Jiwa yang melepaskan diri dari
badan wadaq itu dinamai spirit yang
dapat berbuat baik maupun buruk
terhadap manusia.
Pernyataan Taylor tersebut, sesuai
dengan kepercayaan yang dianut sebagian
besar masyarakat di Indonesia, di dalam
berhadapan dengan dunia sekitarnya.
Adanya istilah keramat yang
diperuntukkan bagi tempat atau benda dan
pohon tertentu, dianggap sebagai tempat
spirit yang ada di sekitar manusia. Sudah
barang tentu, makam dan benda yang
dikeramatkan tersebut memiliki latar
belakang unik, misalnya sejarah hidup
orang dan benda-benda yang
dikeramatkan tersebut dianggap sangat
luar biasa. Demikian pula halnya yang
dilakukan oleh masyarakat Desa
Dangiang, Eyang Gusti Batara Turus

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

36
Bawa dan benda-benda pusaka
peninggalannya, dianggap keramat dan
dihormati sebagai tokoh suci dan bendabenda pusaka yang mempunyai pengaruh
besar pada mayarakatnya. Latar
belakang sejarah hidupnya dalam
membuka pertama kali Desa Dangiang,
telah mengokohkan kepercayaan
masyarakat setempat, akan tuah dan
keramat makam leluhur serta bendabenda peninggalannya. Sebagai bentuk
penghormatan, maka dilakukan upacara
yang disebut dengan Ngalungsur Geni,
yakni upacara meneruskan (mewarisi)
kesaktian benda-benda pusaka milik
leluhur, sekaligus sebagai penghormatan
kepada leluhur sebagai cikal bakal pendiri
Desa Dangiang.
Desa Dangiang merupakan salah
satu desa dari wilayah Kecamatan
Banjarwangi, Kabupaten Garut.
Kecamatan Banjarwangi terdiri atas tiga
desa yakni Desa Banjarwangi, Desa
Dangiang, dan Desa Wangunjaya.
Adapun Desa Banjarwangi terdiri atas
Desa Banjarwangi, Talagasari, dan
Padahurip. Desa Dangiang terdiri atas
Desa Ciparamatan, Cikajang, Bojong,
dan Girijaya Bakti. Sedangkan Desa
Wangunjaya terdiri atas Desa
Wangunjaya, Talagajaya, Mulyajaya, dan
Tanjungjaya.
Desa Dangiang berada di bagian
selatan Kabupaten Garut, yang berjarak
kurang lebih 60 km dari daerah kabupaten
dan 11 km dari kecamatan. Jika ditempuh
dengan perjalanan bermotor, dari
Kabupaten Garut memakan waktu
kurang lebih 2 jam dan dari kecamatan
memakan waktu kurang lebih 0,5 jam.
Desa Dangiang memiliki batas-batas
wilayah sebagai berikut: di sebelah utara
Desa Cindian, sebelah selatan Desa Giri
Mukti,
sebelah
timur
Desa
Cipangramatan dan Desa Jayabakti.

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 33-49


Desa Dangiang memiliki luas lebih
kurang 1.045.82 Ha. Berada pada
ketinggian 10 sampai 500 m di atas
permukaan laut. Suhu udara berkisar
antara 10 sampai 33 derajat Celcius
dengan jumlah curah hujan antara 200
sampai 300 mm per tahun. Kondisi Desa
Dangiang sebagian besar berbukit sampai
bergunung, dan rumah-rumah penduduk
berada di kaki pegunungan.
Dilihat dari segi topografinya,
Desa Dangiang terdiri atas sawah seluas
456 ha, tanah kering seluas 632 ha, tanah
negara seluas 10 ha, tanah pekarangan
seluas 10 ha, tanah kuburan seluas 3 ha,
kolam seluas 11,5 ha, dan pemukinan
penduduk seluas 24.7 ha. Sawah di Desa
Dangiang cukup subur, dengan sistem
irigasi yang cukup baik dapat mengairi
sawah sepanjang tahun sehingga tidak
mengalami kekeringan.
Jumlah penduduk Desa Dangiang
tercatat 4.525 jiwa, terdiri atas 2.175 lakilaki dan 2.350 perempuan, serta Kepala
Keluarga (KK) berjumlah 1.100 jiwa.
Sebagian besar penduduk Desa Dangiang
memeluk agama Islam. Ada 3 masjid
sebagai sarana peribadatan dan 5
mushola. Nuansa Islami sangat nampak,
terlihat dari banyaknya anak yang belajar
mengaji tiap sore di surau (langgar).
Selain sarana peribadatan, juga
tersedia sarana pendidikan meskipun
belum cukup memadai. Terdapat 3 SD, 1
SMP, 3 PAUD, dan 1 TK yang digunakan
untuk media belajar anak-anak Desa
Dangiang. Jika ingin melanjutkan ke
SLTA, mereka harus pergi ke Cikajang
yang berjarak kurang lebih 40 km.
Jauhnya perjalanan ini menyebabkan
anak-anak di Desa Dangiang banyak
yang tidak melanjutkan sekolah ke SLTA.
Tidak heran, hanya sedikit anak-anak
Desa Dangiang yang mengenyam bangku
SLTA, mereka lebih banyak lulusan SLTP

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Upacara Siraman Dan Ngalungsur Geni ... (Ani Rostiyati)


dan SD. Selain jauh, ekonomi juga menjadi
alasan utama kenapa mereka tidak
melanjutkan ke SLTA.
Di bidang mata pencaharian,
sebagian besar masyarakat bekerja
sebagai petani sawah atau kebun serta
pekerjaan yang berkaitan dengan hutan
seperti pencari kayu dan bambu.
Sekalipun dalam jumlah relatif sedikit,
terdapat pula penduduk dengan mata
pencaharian di luar bidang pertanian di
antaranya sebagai pedagang, pengusaha,
dan pegawai negeri sipil (PNS).
Penduduk Desa Dangiang hampir
semua memeluk agama Islam. Adapun
pola pemukiman
termasuk tipe
mengelompok, yakni menempati
sepanjang jalan kecil dan gang dengan
arah menghadap ke jalan. Biasanya
rumah baris pertama yang menghadap
jalan akan diikuti oleh rumah-rumah lain
di belakangnya. Arah rumah yang
demikian lebih mementingkan jalinan
hubungan sosial dengan tetangga agar
terus terjalin. Di Desa Dangiang mengalir
Sungai Cidangiang. Sungai tersebut
dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan
masyarakat, di antaranya untuk mencuci,
mandi, dan kakus. Kelompok rumah
lainnya menempati lahan yang berada
jauh dari jalan atau sungai yakni di sekitar
sawah atau kebun yang terletak di daerah
perbukitan. Pemilik rumah yang
mendirikan rumah di lokasi ini karena
mereka tidak memiliki lahan di tempat
lain atau sengaja mendirikan rumah
dengan maksud agar dekat dengan sawah
atau ladang miliknya.
Tidak diketahui secara pasti sejak
kapan Desa Dangiang ada. Menurut
sumber tradisi, sejak kedatangan Eyang
Batara Turus Bawa, seorang prajurit
Mataram, yang menghindari kejaran
kompeni bersembunyi di desa tersebut.
Menurut sejarahnya, Eyang Batara Turus

2011

37

Bawa dan istrinya, Sembah Ibu Lungguh


Gumuling, ibunya Sembah Ibu Murba
Kawasa, beserta tujuh pengiringnya
berkelana dari Mataram sampai ke hilir
Desa Bojong, Kecamatan Banjarwangi,
Kabupaten Garut. Setiba di sebuah sungai,
mereka mandi. Seusai mandi, mereka
menyimpan meriam Si Guntur Geni di
Gunung Tingaragung di dalam rumpun
bambu kuning. Meriam tersebut
diharapkan akan diambil anak cucunya
kelak. Mereka selanjutnya melanjutkan
perjalanan ke Langkob Dangiang yang
hanya dihuni oleh seorang yang berasal
dari Mekah dan merupakan sahabat lama
Imam Safei. Alkisah merupakan orang
pertama yang menjadi haji di Provinsi
Jawa Barat, bahkan di Pulau Jawa.
Selama menetap di Dangiang mereka
kekurangan air hingga memutuskan untuk
berpindah tempat lagi. Sampailah
kemudian mereka ke hulu Sungai
Cidangiang lalu menetap di sana. Nu
Agung Tapa Seda Sakti Batara Turus
Bawa kemudian berkelana lagi sampai
mempunyai keturunan sepuluh anak,
salah satunya, yakni anak pertama
bernama Sanghiang Resik Rarang.
Seiring perjalanan waktu,
Sanghiang Resik Rarang menikah dengan
Raja Galuh Pakuan (Guru Gantangan)
dan mempunyai tiga anak yaitu: Sembah
Dalem Tanu Datar, Sunan Batu Wangi
(makamnya di Cindian), dan Eyang
Bungsu (Kampung Dukuh). Sembah
Dalem Tanu Datarlah yang kemudian
menurunkan masyarakat Dangiang
sekarang ini. Nu Agung Tapa Seda Sakti
Batara Turus Bawa dan pengiringnya
wafat, mereka dimakamkan di Kampung
Datar. Merekalah yang secara turuntemurun dihormati oleh masyarakat Desa
Dangiang sebagai cikal bakal atau leluhur
Desa Dangiang.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

38
Dilihat dari sistem kepercayaan,
semua penduduknya memeluk agama
Islam. Namun demikian, mereka juga
masih memegang teguh tradisi
kepercayaan nenek moyang (leluhur).
Hal ini tampak dari banyaknya penduduk
yang masih melakukan ziarah ke tempattempat keramat yakni makam para
leluhur pada hari-hari tertentu terutama
hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Muharram,
dan Maulud. Selain itu mereka juga
melaksanakan berbagai kegiatan upacara
adat seperti Sedekah Bumi, Tawasulan,
Mapag Sri, serta upacara Siraman dan
Ngalungsur Geni.
Secara administratif Desa
Dangiang dipimpin oleh seorang kepala
desa (Kades) yang dibantu beberapa
orang sebagai pegawai desa, kepala
urusan, dan pelaksana. Kepemimpinan
masyarakatnya diatur oleh dua tipe
kepemimpinan, yakni pemimpin formal
dan pemimpin informal. Kedua tipe
kepemimpinan tersebut berjalan selaras
dalam mengatur gerak dan langkah
masyarakat Desa Dangiang.
Di Desa Dangiang, selain terdapat
pemimpin formal, juga terdapat pemimpin
informal yang disebut kuncen. Dasar
hukum yang digunakan oleh pemimpin
informal ini adalah adat yang sudah
berlaku turun-temurun dan dipatuhi oleh
warganya. Dalam melaksanakan
perannya, kedua pemimpin ini saling
bekerja sama satu dengan lainnya. Tujuan
utama mereka adalah membawa
kehidupan masyarakat agar damai, rukun,
dan sejahtera.
Kedua model kepemimpinan
tersebut di atas memiliki tugas dan
kewenangan masing-masing. Pemimpin
formal melaksanakan semua urusan yang
terkait dengan administrasi kenegaraan,
seperti pembuatan KTP, kartu keluarga,
surat pengantar, atau berbagai surat

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 33-49


keterangan. Pemimpin informal
mengelola masyarakat dari sisi spiritual
dan adat yang tidak mungkin dilakukan
oleh pemimpin formal seperti pelaksanaan
upacara adat, konsultasi tentang nasib,
penentuan hari baik, perjodohan, dan lain
sebagainya.
Dengan tugas dan fungsi pemimpin
informal yang begitu banyak,
menunjukkan bahwa peran dan
kedudukan pemimpin informal sangat
penting. Kuncen merupakan pemimpin
adat, menduduki tempat tertinggi dalam
struktur masyarakat desa Dangiang.
Jabatan kuncen diperoleh melalui garis
keturunan yang jatuh pada turunan lakilaki yakni anak laki-laki atau adik lakilaki. Hal ini sangat bergantung pada
kesiapan dan kelayakan turunan yang
akan menggantikan jabatan sesepuh adat.
Kuncen dalam menjalankan tugasnya
yang berkaitan dengan adat atau tradisi
juga dibantu oleh wakil kuncen. Sebagai
pemimpin informal, kuncen juga sering
dimintai pendapat dan nasihat dalam rapat
formal maupun informal, baik di bidang
adat, masyarakat, pembangunan, dan
politik.
Demikianlah, kuncen sebagai
pemimpin adat di Desa Dangiang,
ternyata mempunyai peranan penting
dalam menjaga tradisi atau adat istiadat
agar tidak tergerus oleh zaman.
2. Upacara Siraman dan Ngalungsur
Geni Di Desa Dangiang

Upacara tradisional pada


umumnya mempunyai tujuan untuk
menghormati, mensyukuri, memuja dan
meminta keselamatan pada leluhur
(karuhun) dan Tuhannya. Demikian pula
pada upacara Siraman dan Ngalungsur
Geni yang dilakukan masyarakat Desa
Dangiang, bertujuan sebagai ungkapan
rasa syukur pada Tuhan YME dan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Upacara Siraman Dan Ngalungsur Geni ... (Ani Rostiyati)


penghormatan pada leluhur serta
tinggalannya yang berupa benda-benda
pusaka. Benda-benda pusaka tinggalan
leluhur ini dianggap sebagai benda
keramat yang berjasa dalam melawan
penjajah merebut kemerdekaan RI.
Benda-benda pusaka ini dicuci dan
dibersihkan tiap tahun sekali pada tanggal
14 bulan Maulud. Air bekas cucian ini
dipercaya masyarakat dapat memberi
berkah keselamatan, kesehatan, dan
keberhasilan. Upacara ini juga sebagai
penghormatan pada leluhur (karuhunnya)
yang dianggap sebagai cikal bakal pendiri
Desa Dangiang dan pertama kali yang
mengadakan upacara tersebut.
Berikut ini akan diuraikan secara
deskriptif (empiris) tentang prosesi
upacara Siraman dan Ngalungsur Geni
di Desa Dangiang, Kecamatan
Banjarwangi, Kabupaten Garut, dari
tahap awal sampai akhir.
a. Nama Upacara dan Tahap-tahapnya

Upacara Siraman dan Ngalungsur


Geni yang dilaksanakan masyarakat
Dangiang merupakan tradisi yang sudah
turun-temurun dilakukan tiap tahun sekali
pada bulan Maulud, tepatnya 14 Maulud.
Upacara Siraman dan Ngalungsur Geni
memiliki makna siraman artinya mencuci,
ngalungsur berarti mewariskan atau
meneruskan, dan geni adalah salah satu
nama benda pusaka meriam bernama
Guntur Geni. Guntur Geni merupakan
senjata peninggalan dari Eyang Gusti
Batara Turus Bawa, yakni salah satu
pendiri Desa Dangiang. Dengan
demikian upacara Siraman dan
Ngalungsur Geni memiliki arti mencuci
dan meneruskan (mewarisi) kesaktian
benda-benda pusaka milik leluhur,
sekaligus sebagai penghormatan pada
leluhur sebagai cikal bakal pendiri desa.
Benda-benda pusaka tersebut disimpan
2011

39

di dalam peti khusus berukuran kurang


lebih 1 x 2 m, yang diletakkan di rumah
joglo, yakni sebuah rumah khusus tempat
menyimpan benda pusaka. Ngalungsur
Geni inilah kemudian diartikan
menurunkan atau mengeluarkan bendabenda pusaka peninggalan leluhur yang
disimpan di rumah joglo maupun yang
disimpan oleh perorangan di rumah-rumah
warga, untuk kemudian dicuci atau
dimandikan di setiap bulan Maulud.
Upacara Siraman dan Ngalungsur
Geni terdiri atas lima tahap yaitu:
ngalirap, membuka sejarah desa, ziarah
kubur, mencuci benda pusaka, dan doa
bersama.
b. Latar Belakang Sejarah Upacara

Tidak diketahui secara pasti sejak


kapan upacara Siraman dan Ngalungsur
Geni dilaksanakan. Warga masyarakat
Dangiang hanya tahu bahwa upacara ini
berlangsung dari tahun ke tahun.
Upacara ini dilaksanakan demi
menghormati leluhur yang telah membuka
wilayah Dangiang yaitu Eyang Batara
Turus Bawa. Menurut sejarahnya, Eyang
Batara Turus Bawa dan istrinya Sembah
Ibu Lungguh Gumuling, ibunya Sembah
Ibu Murba Kawasa, beserta tujuh
pengiringnya yaitu: Sunan Wangi, Sunan
Laya Paseban, Sunan Jaya Pakuan,
Sunan Bagus Teteg, Sunan Kaso Jagat,
Sunan Sapu Jagat, dan Sunan Bagus
Panyalin, mereka berkelana dari
Mataram sampai ke hilir Desa Bojong,
Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten
Garut. Setiba di sebuah sungai mereka
mandi. Seusai mandi mereka lalu
menyimpan meriam si Guntur Geni di
Gunung Tingaragung di dalam rumpun
bambu kuning. Meriam tersebut
diharapkan akan diambil anak cucunya
kelak. Mereka selanjutnya melanjutkan
perjalanan ke Langkob Dangiang yang

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

40
hanya dihuni oleh seorang yang berasal
dari Mekah dan merupakan sahabat lama
Imam Safei. Alkisah merupakan orang
pertama yang menjadi haji di Propinsi
Jawa Barat, bahkan di Pulau Jawa.
Selama menetap di Dangiang mereka
kekurangan air hingga memutuskan untuk
berpindah tempat lagi. Sampailah
kemudian mereka ke hulu Sungai
Cidangiang lalu menetap di sana. Nu
Agung Tapa Seda Sakti Batara Turus
Bawa kemudian berkelana lagi sampai
mempunyai keturunan sepuluh anak,
yaitu: Sanghiang Resik Rarang
(makamnya di Banten), Pangeran
Dimanggung, Kyai Patih Gunung (Naga
Sakti), Sembah Rangga Manten, Prabu
Jaji Karang Bentang (Hulu S. Cikaso,
Cisompet, Garut), Seda Leuwih (makam
di Surabaya), Sunan Ranggalawe (Garut),
Kyai Mayak Sumber (Maleer, Garut),
Sanghiang Marengah (Cinengah,
Cisompet, Garut), dan Kyai Genduk
Mayak (Bojonglapang).
Seiring perjalanan waktu,
Sanghiang Resik Rarang menikah dengan
Raja Galuh Pakuan (Guru Gantangan)
dan mempunyai tiga anak yaitu: Sembah
Dalem Tanu Datar, Sunan Batu Wangi
(makamnya di Cindian), dan Eyang
Bungsu (Kampung Dukuh). Sembah
Dalem Tanu Datarlah yang kemudian
menurunkan masyarakat Dangiang
sekarang ini. Manakala Nu Agung Tapa
Seda Sakti Batara Turus Bawa dan
pengiringnya wafat, mereka dimakamkan
di Kampung Datar. Merekalah yang
secara turun-temurun harus dihormati
oleh masyarakat Desa Dangiang. Tata
cara untuk menghormatinya adalah
merawat peninggalannya yang berupa
benda-benda pusaka, dengan cara dicuci
atau dimandikan di setiap bulan Maulud.
Pelaksana upacara Ngalungsur Geni yang
pertama adalah Eyang Raden Demang

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 33-49


Tanu Datar, beliau adalah cucu dari Eyang
Batara Turus Bawa. Penerusnya adalah
mereka yang masih merupakan
keturunan Eyang Raden Demang Tanu
Datar.
Apa yang dikemukakan di atas
memberikan gambaran bahwa upacara
Ngalungsur Geni yang dilakukan oleh
masyarakat Dangiang berawal dari
datangnya Sembah Dalem Tanu Datar ke
Desa Dangiang dengan membawa bendabenda pusaka bersama para pengikutnya.
Beliau menetap di Desa Dangiang
sampai menurunkan anak cucu. Sembah
Dalem Tanu Datar dan keturunannya ini
kemudian dianggap sebagai cikal bakal
atau leluhur Desa Dangiang yang harus
dihormati masyarakat Dangiang. Tata
cara menghormatinya adalah dengan
melaksanakan upacara Ngalungsur Geni
yakni mencuci benda-benda pusaka milik
leluhur yang terdiri dari keris, bedil,
meriam, tombak, pedang, samurai, dan
badik.
Adapun silsilah keturunan dari
Sembah Dalem Tanu Datar, dimulai dari
juru kunci pertama sampai juru kunci ke17, adalah sebagai berikut: Sembah Naga
Bali, Sembah Nayasari, Sembah
Wirasara, Sembah Sara Delepa, Sembah
Cakra Nerya, Sembah Cakra Singa,
Sembah Renggong, Sembah Tandur
Maju, Sembah Marta Diraksa, Sembah
Madyan, Sembah Babiba, Sembah
Markiri, Sembah Sumia Parana, Sembah
Arif, Sembah Ardaip, Sembah Junidah,
Sembah Abdal Adin, Karas, dan Ajengan
Entang.
Sembah Naga Bali adalah orang
pertama yang mengambil benda pusaka
di Gunung Tengaragung, kemudian benda
pusaka tersebut disimpan di Desa
Dangiang. Konon kabarnya, seminggu
menjelang tanggal14 Maulud, meriam si
Guntur Geni akan menjelma menjadi

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Upacara Siraman Dan Ngalungsur Geni ... (Ani Rostiyati)


senjata yang mengeluarkan bunyi seperti
suara guntur. Ini sebagai tanda akan
dilaksanakannya upacara Ngalungsur
Geni. Memang benar adanya, warga
selalu mendengar suara gemuruh bak
guntur di sekitar rumah joglo, seminggu
menjelang tanggal 14 Maulud.

41

akan mendapat berkah melalui air yang


digunakan untuk mencuci benda-benda
pusaka tersebut. Bagi yang memiliki suatu
penyakit, air tersebut dipercaya dapat
menyembuhkan sakit, mendapatkan
pasangan hidup, dan awet muda. Caranya
dengan mengusapkan air pada bagian
tubuh yang sakit atau dengan cara mandi.

c. Maksud dan Tujuan Upacara

Upacara Siraman dan Ngalungsur


Geni dilaksanakan oleh warga
masyarakat Dangiang dengan tujuan
untuk menghormati leluhur yang telah
berjasa di daerahnya. Cara mereka
menghormati dengan merawat bendabenda pusaka peninggalannya. Jangan
ditinggalkan kalau patah-patah tinggalkan
saja, demikian pesan dari orang tua-tua
terkait dengan pelaksanaan upacara
Ngalungsur Geni. Terkait dengan pesan
itu maka upacara Ngalungsur Geni selalu
dilaksanakan pada setiap tahunnya.
Pelaksanaan upacara yang rutin
dilaksanakan pada akhirnya mensugesti
warga masyarakat menjadi tenang
hidupnya. Warga masyarakat Dangiang
menjadi tidak berani tidak melaksanakan
upacara. Apabila mereka melewatkan
pelaksanaan upacara, mereka khawatir
akan terjadi sesuatu yang tidak
diharapkan yang dapat menimpa warga
masyarakat Dangiang.
Pada tahapan upacara ziarah
kubur, kuncen menegaskan bahwa tujuan
dari ziarah kubur bukan untuk meminta
sesuatu kepada leluhur yang
dimakamkan. Mereka berziarah untuk
mendoakan leluhur yang dimakamkan
tersebut. Adapun pada tahapan upacara
mencuci benda-benda pusaka, tujuannya
semata-mata untuk merawat bendabenda pusaka peninggalan leluhur.
Menurut kuncen, dengan merawat
peninggalan leluhur tentu akan mendapat
balasan dari Allah. Warga masyarakat
2011

d. Waktu Penyelenggaraan Upacara

Upacara Siraman dan Ngalungsur


Geni dilaksanakan pada setiap bulan
Maulud, harinya hari Senin. Penentuan
waktu pelaksanaan tersebut bukan tanpa
alasan. Hari Senin adalah hari kelahiran
Nabi Muhammad Saw. dan oleh
karenanya hari tersebut dianggap hari
yang baik. Apabila upacara tidak dapat
dilaksanakan pada hari Senin karena
berbagai hal, maka upacara dapat
dilaksanakan pada hari Kamis. Pada
tahun ini upacara dilaksanakan pada hari
Senin.
Ada lima tahapan dalam upacara
Ngalungsur Geni yaitu: ngalirap,
membuka sejarah desa, ziarah kubur,
mencuci benda-benda pusaka, dan doa
bersama. Kelima tahapan tersebut
masing-masing waktu pelaksanaannya
sebagai berikut.
Ngalirap, membuat pagar baru di sekitar
rumah joglo, seminggu sebelum puncak
upacara. Pagi sekitar pukul 08.00 WIB.,
warga bergotong-royong membuat pagar,
membersihkan joglo, jalan, masjid, dan
makam. Kegiatan ini selesai hingga sore
hari.
Membuka sejarah desa dilaksanakan
pada malam menjelang puncak upacara
keesokan hari. Tepatnya Minggu malam,
waktunya pada pukul 21.00 WIB. dan
berakhir pukul 02.00 WIB dini hari.
Ziarah kubur dilaksanakan pada
hari Senin. Peziarah berangkat dari joglo
sekitar pukul 08.00 WIB dan tiba di

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

42
makam pada sekitar pukul 09.15 WIB.
Setiba di makam, peziarah melaksanakan
upacara yang berlangsung lebih kurang
1 jam. Usai upacara, peziarah kembali ke
joglo dan tiba di joglo sekitar pukul 11.15
WIB.
Mencuci benda pusaka dilakukan
di Sungai Cidangiang yang berjarak lebih
kurang 300 m dari joglo. Peserta
upacara berangkat menuju sungai sekitar
pukul 08.30 WIB. Setiba di sungai,
upacara berlangsung lebih kurang selama
2 jam dan kembali tiba di joglo sekitar
pukul 10.45 WIB.
Doa dan makan bersama. Upacara
terakhir adalah doa dan makan bersama.
Upacara ini berlangsung lebih kurang
selama 1 jam, diikuti kurang lebih 300
warga yang berasal dari 2 desa. Sebanyak
kurang lebih 300 tumpeng terkumpul di
halaman rumah joglo. Pagi sekitar pukul
07.00 WIB, warga khususnya para ibu,
sudah melakukan hantaran tuang
dengan cara berjalan kaki membawa
tumpeng yang ditaruh di boboko atau
baskom.
e. Tempat Penyelenggaraan Upacara

Rangkaian upacara Ngalungsur


Geni dilaksanakan di beberapa tempat
yang memiliki keterkaitan sejarah dengan
leluhur Dangiang. Ada tiga tempat yang
digunakan untuk melaksanakan upacara.
Tempat yang pertama adalah joglo.
Joglo merupakan tempat pelaksanaan
marhaban, salawat, tahlil, membuka
sejarah desa, tempat berkumpul peserta
ziarah dan mencuci benda pusaka, serta
tempat doa bersama. Tempat yang kedua
adalah makam leluhur, yaitu makam
Eyang Gusti Batara Turus Bawa. Tempat
yang ketiga adalah Sungai Cidangiang,
yaitu sungai tempat mencuci bendabenda pusaka.

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 33-49


1). Joglo termasuk dalam katagori
bangunan semi permanen. Bangunan ini
berbahan setengah tembok dan
setengah bilik serta beratap ijuk. Bahan
dan bentuk bangunan joglo
dipertahankan sampai sekarang karena
memang tidak boleh berubah. Adapun
bangunan tambahan yang terletak di
samping joglo bentuknya boleh
permanen dan beratap genteng. Joglo
tersebut dipercaya dijaga oleh seekor
ular. Di joglo tersimpan sekitar sepuluh
sampai lima belas benda pusaka.
Benda-benda pusaka tersebut disimpan
dalam sebuah peti di satu ruang kecil
yang letaknya di atas, yang untuk
mengambilnya menggunakan sebuah
tangga. Peti wadah benda pusaka
hanya boleh dibuka pada tanggal 14
Maulud dan hanya boleh dibuka oleh
kuncen. Pada setiap bulan Maulud,
berkisar tanggal 5- 11, selalu terjadi
getaran dan suara gemuruh yang
datang dari bangunan joglo. Namun
demikian tidak seperti biasanya, tahun
ini getaran dan suara gemuruh itu hanya
berlangsung 3 hari. Kadangkala suarasuara itu terdengar sampai ke tiga desa.
Suara-suara itu seperti mengingatkan
warga kalau sudah waktunya bendabenda pusaka itu harus dibersihkan.
2). Makam Eyang Batara Turus Bawa.
Makam ini terletak di Kampung Datar.
Eyang Gusti Batara Turus Bawa adalah
orang yang pertama kali tinggal di
Dangiang yang kemudian menurunkan
juru kunci yang ke-17 sekarang. Dahulu
Dangiang berupa gunung dan hutan.
3). Sungai Cidangiang, sungai ini
memiliki keterkaitan sejarah dengan
leluhur Dangiang. Dahulu para leluhur
Dangiang manakala hendak shalat
Jumat, mereka berwudhu di Sungai
Cidangiang tersebut.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Upacara Siraman Dan Ngalungsur Geni ... (Ani Rostiyati)


f. Persiapan dan Perlengkapan Upacara

Pelaksanaan upacara Ngalungsur


Geni memerlukan beberapa persiapan
dan perlengkapan. Kegiatan persiapan
dilakukan seminggu sebelum puncak
upacara, berupa musyawarah antara
kuncen, wakil kuncen, dengan para
pembantunya. Mereka bermusyawarah
untuk menentukan tanggal pelaksanaan
upacara. Hasil musyawarah diumumkan
kepada warga masyarakat melalui
pengeras suara yang ada di masjid.
Kegiatan
selanjutnya
adalah
membersihkan makam dan mengganti
pagar (ngalirap) di komplek makam
Eyang Gusti Batara Turus Bawa, dan
membersihkan joglo.
Upacara Ngalungsur Geni
dilaksanakan secara swadaya. Dengan
kata lain, pembiayaannya ditanggung
bersama oleh seluruh warga masyarakat.
Sehubungan dengan itu, sejak seminggu
sebelumnya dilakukan penggalangan dana
dari tiap-tiap kepala keluarga (KK).
Besarnya sumbangan bergantung
keikhlasan masing-masing. Minggu
malam, menjelang pelaksanaan upacara,
dilaksanakan marhabaan, shalawat, tahlil,
dan membuka sejarah desa. Acara
tersebut dilaksanakan di joglo.
Perlengkapan yang harus disiapkan untuk
kegiatan malam itu berupa tikar untuk
keperluan alas duduk peserta.
Senin pagi, kaum ibu disibukkan
dengan membeli bahan-bahan untuk
membuat tumpeng dari warung terdekat.
Bahan baku tumpeng adalah beras
dengan lauk pauk yang terdapat pada
tumpeng terdiri atas: telur, kentang, tahu,
tempe, kerupuk udang, ikan atau daging
ayam. Selain bahan-bahan tersebut,
disiapkan pula bumbu-bumbunya, di
antaranya berupa: bawang merah, bawang
putih, sereh, salam, daun bawang, garam,
cabe merah, kelapa, kunyit, dan gula merah.
2011

43

Seluruh bahan yang tersedia


kemudian diolah pada pagi hari itu juga.
Beberapa alat yang digunakan di
antaranya adalah: baskom, seeng,
aseupan, cobek dan mutunya, katel,
parutan kelapa, dan sinduk. Selain
makanan berat, ada pula yang
menyertakan makanan ringan di
antaranya berupa: opak, wajid, dan
rengginang.
Selain mempersiapkan untuk
keperluan tumpeng, kaum ibu juga
mempersiapkan perlengkapan kosmetik
untuk keperluan suaminya mengikuti
ziarah kubur. Ada pula yang
mempersiapkan kembang. Khusus
kuncen, selain membawa perlengkapan
kosmetik juga membawa seureuh (daun
sirih). Ragam perlengkapan kosmetik di
antaranya berupa: hand body, minyak
wangi, krem wajah, talk, dan krem rambut.
Perlengkapan tersebut ada yang dibawa
dengan wadah kantong plastik, ada pula
yang dibungkus dengan sejenis lap, dan
sebagainya.
Pada acara pencucian benda
pusaka, benda pusaka yang dicuci adalah
benda pusaka yang disimpan di joglo dan
yang disimpan di rumah-rumah. Benda
pusaka yang tersimpan di joglo berupa
meriam, keris, pedang, badik, dan tombak.
Adapun yang tersimpan di rumah-rumah
pada umumnya berupa pedang. Bahan
untuk mencuci benda pusaka adalah air
Sungai Cidangiang. Bahan untuk
pengawet agar benda pusaka tidak
berkarat digunakan jeruk nipis. Setelah
digosok dengan jeruk nipis, benda pusaka
tersebut dikeringkan dengan kawul yakni
serutan bambu agar cepat kering tidak
berkarat. Adapun kemenyan digunakan
untuk merajah atau doa mantra, dengan
harapan agar asap yang membumbung
ke atas bisa mengantarkan doa sampai
ke Yang Maha Kuasa.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

44
g. Pantangan

Ada beberapa pantangan yang


diberlakukan untuk peserta upacara
Ngalungsur Geni, yaitu:
Pertama, 10 m dari makam leluhur,
peserta ziarah tidak diperbolehkan
mengenakan alas kaki, tidak
diperbolehkan mengambil bebatuan dan
memetik bunga yang ada di sana, Jarak
10 m itu ditandai oleh sebuah sungai yaitu
Sungai Cidangiang. Sungai inilah yang
digunakan peserta ziarah untuk
membersihkan diri dengan mandi dan
mencuci kaki, mencuci muka, atau
berwudhu sebelum masuk ke wilayah
makam. Apabila pantangan tersebut
dilanggar, dipercaya berakibat hidup
sengsara bagi pelanggarnya.
Kedua, ada yang mengatakan bahwa
perempuan tidak diperbolehkan ikut serta
berziarah. Pantangan tersebut menjadi
wacana oleh karena selama ini tidak
pernah terlihat ada peziarah perempuan.
Namun demikian pantangan tersebut
sepertinya sifatnya tidak mutlak. Oleh
karena menurut informasi salah satu
pembantu
kuncen,
sebenarnya
perempuan diperbolehkan saja ikut serta
berziarah hanya mengingat perjalanan
menuju makam leluhur demikian berat,
dikhawatirkan mereka tidak akan kuat.
Namun demikian perempuan yang
sedang menstruasi tidak diperbolehkan
ziarah. Perempuan yang sedang
menstruasi dikatakan dalam keadaan
kotor sedangkan ziarah ke makam leluhur
harus dalam keadaan suci atau bersih.
Ketiga, pejabat pemerintah seperti
halnya lurah, tidak diperbolehkan
berziarah. Pantangan ini diberlakukan
karena dahulu ada anggapan kalau
pejabat identik dengan penjajah. Apabila
lurah ingin berziarah, ia akan meminta
tolong kuncen untuk mewakili.

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 33-49


Keempat, perempuan yang sedang
menstruasi tidak dipebolehkan memegang
benda pusaka. Hal ini disebabkan
perempuan yang sedang menstruasi
dianggap dalam keadaan kotor,
sedangkan memegang benda pusaka
harus dalam keadaan suci atau bersih.
Kelima, peti yang merupakan wadah
benda pusaka yang terdapat di joglo
tidak diperbolehkan dibuka selain pada
tanggal 14 Maulud. Peti tersebut juga
tidak diperbolehkan dibuka oleh orang lain
selain kuncen.
Keenam, pantang mengubah bentuk
maupun bahan bangunan joglo. Artinya,
atap joglo harus dari ijuk dan berdinding
setengah tembok dan setengah bilik.
Ketujuh, pantang bagi perempuan untuk
memimpin upacara sekalipun masih
keturunan leluhur Dangiang.
Kedelapan, apabila seseorang niat
berziarah bersama orang lain dengan
jumlah tertentu kemudian manakala
hendak berangkat ada salah seorang yang
membatalkan atau peziarah bertambah
seorang, mereka masih diperbolehkan
berziarah. Namun demikian apabila yang
membatalkan dan yang berziarah
berkurang atau bertambah lebih dari satu,
niat ziarah harus dibatalkan.
Kesembilan, selain hari Senin atau
Kamis tidak diperbolehkan melaksanakan
ziarah kubur oleh karena itu upacara
hanya bisa dilaksanakan pada kedua hari
itu.
h. Makna yang Terkandung dalam Simbol
Upacara

Upacara Ngalungsur Geni


merupakan suatu rangkaian aktivitas yang
di dalamnya menggunakan sejumlah
perlengkapan. Ada di antara aktivitas dan
perlengkapan yang digunakan tersebut
memiliki makna dan perlu diberi
penjelasan. Hal ini dilakukan demi tidak

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Upacara Siraman Dan Ngalungsur Geni ... (Ani Rostiyati)


mengaburkan tujuan upacara. Makna
atau penjelasannya sebagai berikut:
- Tumpeng, dimaksudkan untuk
membedakan antara makanan seharihari dengan makanan upacara. Bentuk
tumpeng yang meruncing ke atas
bermakna ungkapan rasa syukur yang
ditujukan kepada Yang Esa. Tumpeng
juga sebagai simbol sebagai sesuatu
yang
paling
atas
tempat
bersemayamnya Tuhan YME.
- Daun sirih yang diletakkan di atas
makam dimaksudkan sebagai
pengganti daun kurma yang dahulu
digunakan oleh Nabi Muhammad Saw.
- Perlengkapan kosmetik, perlengkapan
ini baunya wangi, penggunaannya ada
dua maksud. Kosmetik yang
disemprotkan ke makam bermakna
bahwa warga masyarakat Dangiang
harus bisa mengharumkan nama leluhur
yang dimakamkan tersebut. Dengan
kata lain warga masyarakat Dangiang
harus bisa menjaga nama baik leluhur
dengan tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan adat-istiadat
setempat. Kosmetik yang digunakan
untuk keperluan sendiri dimaksudkan
untuk ngala berkah. Maksudnya,
dengan menggunakan kosmetik yang
sudah didoai dalam acara ziarah kubur,
mereka akan mendapatkan berkah
dengan dikabulkan keinginannya.
Mendoakan dan mengharumkan nama
orang yang sudah berjasa di daerahnya,
juga orang yang saleh, tentu akan
mendapat berkah dari Allah.
- Kembang, dalam hal ini kembang
mawar, kembang mawar baunya
harum. Oleh karenanya sama halnya
dengan perlengkapan kosmetik,
kembang dimaksudkan untuk
mengharumkan nama leluhur.
- Air cucian benda pusaka, air ini
dipercaya bisa berfungsi sebagai

2011

45

obat. Pelaku upacara percaya


bahwa dengan merawat benda-benda
pusaka peninggalan leluhur akan
mendatangkan berkah yang berasal
dari Allah SWT melalui air tersebut.
- Pantangan mengenakan sandal ke
komplek makam dimaksudkan agar
komplek makam terjaga kebersihannya.
- Pantangan tidak boleh memetik bunga
atau mengganggu tanaman di wilayah
sekitar makam dimaksudkan agar
daerah tersebut terjaga keasriannya.
- Pantangan tidak boleh mengambil
bebatuan di wilayah sekitar makam
dimaksudkan agar daerah tersebut tidak
mudah longsor.
i. Jalannya Upacara menurut Tahapannya

Upacara Ngalungsur Geni terdiri


atas lima tahapan yaitu: ngalirap,
membuka sejarah desa, ziarah kubur,
mencuci benda pusaka, dan doa bersama.
Ngalirap, adalah kegiatan yang
dilakukan warga untuk mempersiapkan
upacara dengan cara membersihkan
makam, masjid, jalan, joglo, dan
mengganti pagar bambu yang sudah
rusak. Kegiatan ini dilakukan warga
dengan cara bergotong royong, dari pagi
hingga sore hari. Biasanya dilakukan
seminggu sebelum upacara berlangsung
dan diumumkan pada waktu shalat Jumat,
saat warga berkumpul di masjid.
Pengumuman dilakukan oleh kuncen,
bahwa upacara Ngalungsur Geni akan
dilakukan tanggal 14 Maulud dan
sebelumnya harus membersihkan joglo,
mengganti pagar sekitar joglo, dan
membersihkan makam. Sebagian warga
harus mencari bambu di hutan, kemudian
bambu tersebut dipotong, dibelah, dan
diserut. Serutan bambu (kawul) akan
digunakan untuk mengelap benda pusaka
agar cepat kering.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

46
Membuka sejarah desa, acara ini
dilaksanakan pada hari Minggu,
waktunya pada malam hari seusai shalat
Isa. Acaranya diawali dengan semacam
ceramah dari kuncen tentang jati diri
manusia (baca: warga masyarakat
Dangiang) dan tentang tujuan upacara.
Paparan dari kuncen tersebut
dimaksudkan agar warga masyarakat
Dangiang mengenal jatidirinya dan tidak
mengaburkan makna dari pelaksanaan
upacara. Usai paparan tersebut
dilanjutkan dengan marhabaan, shalawat,
tahlil, dan membuka sejarah desa yang
juga dipimpin oleh kuncen. Pada hari itu
acara berlangsung hingga pukul 02.00
WIB. Usai acara, kuncen dan beberapa
peserta menuju ke makam Eyang Batara
Turus Bawa. Keberangkatan mereka ke
makam untuk melakukan semedi
(bertapa). Mereka bersemedi higga pagi
hari dan dilanjutkan dengan
melaksanakan upacara ziarah kubur
bersama dengan peserta ziarah yang baru
datang.
Ziarah kubur ke makam keramat
leluhur, peserta ziarah berkumpul di
joglo sekitar pukul 07.30 WIB. Mereka
datang dengan membawa perlengkapan
kosmetik dan kembang. Manakala
peserta ziarah sudah tampak banyak,
mereka berangkat menuju makam dengan
menempuh perjalanan sejauh 3 km.
Jalanan terjal, jalan setapak, dan
pematang mereka lalui, bukit mereka daki,
demikian pula selokan dan sungai mereka
seberangi hingga memakan waktu lebih
kurang 1 jam. Setiba di Sungai Cidangiang,
10 m dari makam, para peserta melepas
alas kaki kemudian membersihkan diri.
Mereka sekadar mencuci kaki atau
mandi, dan berwudhu. Beberapa langkah
kemudian sampailah peserta di komplek
makam Eyang Batara Turus Bawa.
Setiba di sana, peserta beristirahat sejenak

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 33-49


untuk melepas lelah sambil menunggu
peserta yag masih berada di jalan. Lebih
kurang pukul 09.15 WIB, peserta ziarah
memasuki komplek makam. Di sana
kuncen dan peziarah lain sudah menunggu
sejak dini hari. Acara dimulai dengan
kuncen meletakkan daun sirih di atas
makam. Kuncen menjelaskan tujuan
ziarah yaitu mendoakan orang yang
diziarahi bukan meminta sesuatu pada
orang yang diziarahi. Kuncen dan peserta
ziarah membuka perlengkapan kosmetik,
berdoa dengan dipimpin kuncen, tahlil,
peserta ziarah bersalaman dengan
kuncen dan dengan sesama peziarah,
terakhir adalah doa bersama. Selanjutnya
bagi yang memiliki suatu maksud yang
besar, mereka akan menuju bangunan
tempat tersimpannya sebuah batu.
Mereka akan menyampaikan maksudnya
pada Allah sekaligus memohon untuk
dikabulkan. Ada kepercayaan apabila
batu itu bisa terangkat oleh yang
mempunyai maksud maka akan
terkabullah apa yang diinginkan. Semakin
tinggi batu terangkat maka semakin besar
harapan untuk bisa terkabul. Terakhir
adalah peziarah pulang menuju joglo
untuk berkumpul bersama dengan peserta
yang pulang dari Sungai Cidangiang
mengikuti acara doa bersama (syukuran).
Mencuci benda pusaka di Sungai
Dangiang, peserta upacara maupun
penonton berkumpul di joglo pada sekitar
pukul 08.00 WIB. Acara diawali dengan
pembantu kuncen membuka ruang tempat
penyimpanan benda pusaka, membuka
peti, lalu mengeluarkan benda-benda
pusaka yang ada di dalamnya. Manakala
semua benda pusaka sudah dikeluarkan
lalu dibawa ke Sungai Cidangiang yang
berjarak 300 m dari joglo. Caranya, peti
yang berisi benda-benda pusaka dipikul
oleh dua orang dan diarak menuju ke
Sungai Dangiang dengan diikuti warga di

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Upacara Siraman Dan Ngalungsur Geni ... (Ani Rostiyati)


belakanganya. Setiba di sungai, bendabenda pusaka tersebut dicuci satu per
satu. Pertama adalah benda-benda
pusaka yang disimpan di joglo dan yang
kedua benda pusaka milik perorangan.
Benda-benda pusaka tersebut dicuci atau
dimandikan sambil peserta upacara
bersalawat. Manakala benda-benda
pusaka dicuci, masyarakat menyeburkan
diri di sungai sambil membasuh mukanya
dengan air bekas cucian tersebut, dengan
harapan untuk mendapat berkah. Air
cucian tersebut dipercaya bisa membawa
berkah seperti menjadi obat segala
macam penyakit, bisa menjadikan awet
muda, enteng jodoh, memudahkan rezeki,
dan sebagainya. Caranya, keris yang
sudah dicuci di sungai dikucurkan di atas
mata orang yang menderita sakit mata.
Ada juga yang mengambil air bekas cucian
dengan cara dimasukkan ke dalam botol
air mineral. Usai semua benda pusaka
dicuci, peserta upacara kembali ke joglo
untuk mengikuti acara doa bersama
(syukuran). Rombongan ini tiba di joglo
jauh lebih cepat dibandingkan rombongan
peziarah. Maklum saja karena jarak
tempuhnya berbeda.
Kira-kira pukul 11.00 WIB, seluruh
peserta upacara baik rombongan dari
makam, rombongan dari Sungai
Dangiang, warga, dan tamu undangan
berkumpul bersama di rumah joglo untuk
melaksanakan ikrar dan doa bersama
yang dipimpin kuncen. Warga yang
datang diperkirakan mencapai 500 orang,
berasal dari 2 desa yakni Desa Dangiang
dan Desa Jayabakti. Adapun tumpeng
yang terkumpul kurang lebih 300 buah.
Tamu yang hadir terdiri atas para sesepuh,
tokoh masyarakat, aparat desa, staf dari
Disbudpar, LKMD, dan karang taruna.
Para tamu undangan duduk di dalam
rumah joglo, mengikuti upacara
pembersihan benda-benda pusaka yang

2011

47

dipimpin oleh kuncen. Pertama-tama,


benda pusaka tersebut digosok dengan
jeruk nipis agar tidak berkarat, setelah itu
dilap dengan kawul yakni serutan bambu
agar kering, dan diberi doa oleh kuncen.
Pembersihan ini dilakukan secara
bergiliran agar semua mendapat bagian
untuk memegang benda pusaka tersebut.
Setelah selesai, semua benda pusaka
dimasukkan dalam peti dan disimpan
kembali di bagian atas rumah joglo.
Selanjutnya adalah doa bersama yang
dipimpin oleh kuncen agar masyarakat
selalu diberi keberkahan oleh Yang Maha
Kuasa dan juga para leluhur. Usai doa
bersama, warga mengambil lagi tumpeng
yang dibawanya untuk dimakan bersama
keluarganya di rumah. Mereka
menganggap tumpeng tersebut sudah
mendapat berkah dari doa dan ikrar yang
dipanjatkan kuncen. Sebagian lagi ada
tumpeng yang dimakan bersama untuk
suguhan para tamu undangan dan semua
peserta yang hadir. Makan bersama ini
sebagai wujud persatuan dan kesatuan
warga Desa Dangiang. Makan bersama
ini pula yang mengakhiri puncak upacara
Siraman dan Ngalungsur Geni. Warga
pulang dengan perasaan senang dan
tenang, karena mereka yakin dengan
melaksanakan upacara tersebut maka
keselamatan dan keberkahan akan
mengiringi perjalanan hidupnya.
Acara doa bersama (syukuran), acara
di joglo pada sekitar pukul 11.15 WIB.
Pada saat itu hampir semua warga
masyarakat Desa Dangiang dan
Jayabakti, khususnya ibu-ibu, berkumpul
di joglo. Mereka datang ke joglo dengan
membawa tumpeng. Ada yang datang
sekitar pukul 07.00 WIB, pukul 09.00
WIB, dan sebagainya.Tumpeng pada
umumnya dibawa dengan wadah
boboko dan baskom, membawanya
dengan digendong atau diangkat dengan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

48
kedua tangan dan disandarkan di
pinggang sebelah kiri. Kurang lebih 300
tumpeng yang terkumpul berasal dari 2
desa. Tumpeng berisi nasi, lauk pauk, dan
beberapa alat kosmetik (bedak, lipstik,
minyak wangi, dan lain-lain). Alat
kosmetik dimaksudkan agar mereka yang
punya anak gadis cepat mendapat jodoh
dan dikaruniai wajah cantik. Acara diawali
ucapan rasa syukur dari kuncen kepada
Allah Yang Esa atas rahmat dan berkah
yang sudah diberikan kepada warga
masyarakat Dangiang khususnya, dan
desa lain pada umumnya. Acara
dilanjutkan dengan sambutan-sambutan,
yang pertama dari staf Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Garut,
kedua dari kepala desa, dan ketiga dari
ketua tim peliput. Usai acara sambutan
dilanjutkan dengan doa bersama yang
dipimpin oleh kuncen. Acara itu
berlangsung sekitar satu jam. Usai doa
bersama, warga mengambil lagi tumpeng
yang dibawanya untuk dimakan bersama
keluarganya di rumah. Mereka
menganggap tumpeng tersebut sudah
mendapat berkah dari doa dan ikrar yang
dipanjatkan kuncen. Sebagian lagi ada
tumpeng yang dimakan bersama untuk
suguhan para tamu undangan dan semua
peserta yang hadir. Makan bersama ini
sebagai wujud persatuan dan kesatuan
warga Desa Dangiang. Makan bersama
ini pula yang mengakhiri puncak upacara
Siraman dan Ngalungsur Geni, warga
pulang dengan perasaan senang dan
tenang, karena mereka yakin dengan
melaksanakan upacara tersebut maka
keselamatan dan keberkahan akan
mengiringi perjalanan hidupnya.

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 33-49


C. PENUTUP
Upacara tradisional merupakan
salah satu tradisi yang masih dilaksanakan
oleh sebagian masyarakat Indonesia,
terutama di pedesaan. Tentu saja ini
termasuk aset budaya yang perlu
mendapat perhatian serius untuk tujuan
pelestarian, pengembangan, dan
pemanfaatan. Terlebih lagi ketika
pemerintah menempatkan aspek
pariwisata berbasis budaya sebagai salah
satu sumber devisa negara. Upaya ke
arah itu tidak bisa ditawar lagi menjadi
salah satu skala prioritas utama. Untuk
kepentingan itulah dilakukan kegiatan
penelitian upacara tradisional yakni
upacara Siraman dan Ngalungsur Geni
di Desa Dangiang Kabupaten Garut.
Upacara Siraman dan Ngalungsur
Geni yang dilakukan masyarakat
Dangiang, merupakan tradisi turuntemurun sejak jaman nenek moyang yang
berakar kuat di sanubari masyarakatnya.
Untuk masa sekarang, ternyata upacara
adat tersebut masih tetap relevan karena
terbukti memiliki banyak fungsi, yakni
sebagai norma sosial (memuat nilai-nilai
penting sebagai acuan masyarakatnya),
sosial kontrol (pengendalian sosial),
spiritual (keagamaan), psikologis
(menjadikan rasa tenang dan aman), dan
pariwisata (wisata budaya). Itulah
sebabnya, penelitian upacara tradisional
perlu dilakukan, sebagai upaya
pendokumentasian agar masyarakat,
khususnya generasi muda tetap bisa
mewarisi,
melestarikan,
dan
mengembangkan upacara tradisional
tersebut sebagai salah satu tradisi
peninggalan leluhur.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Upacara Siraman Dan Ngalungsur Geni ... (Ani Rostiyati)


DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa, Heddy Shri. 2006.


Esei-esei Antropologi. Teori,
Metodologi, dan Etnografi.
Yogyakarta: Kepel Press.
Brouwer, M.A.W. 1988.
Alam
Manusia
Fenomenologi.
Gramedia.

dalam
Jakarta:

Budhisantosa, S. 1992.
Analisis Kebudayaan, tahun IV
no. 2. Jakarta: Depdikbud.

2011

49

Mulder, Niels. 1973.


Kepribadian
Jawa
dan
Pembangunan
Nasional.
Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sutrisno, Mudji. 2005.
Teori-teori
Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Koentjaraningrat. 1987.
Pengantar
Antropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
Laksono, P.M. 1985.
Tradisi dan Struktur dalam
Masyarakat Jawa. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68

50

KEARIFAN LOKAL BERDASARKAN


TINGGALAN BUDAYA
DI SITUS PARUMASAN CIAMIS
Oleh Lia Nuralia
Balai Arkeologi Bandung
Jln. Raya Cinunuk Km. 17 Cileunyi Bandung 40623
Telp. (022) 7801665, Email: liabalar@yahoo.com
Naskah diterima : 5 Januari 2011

Naskah disetujui: 23 Februari 2011

Abstrak
Penelitian ini bertujuan menginventarisasi tinggalan budaya di Situs Parumasan
Ciamis yang berhubungan dengan aspek kearifan lokal pada masyarakat tradisional
yang tinggal di sekitar situs. Fokus kajian ditujukan pada tinggalan budaya materi dan
nonmateri dalam konsepsi budaya masa lalu, termasuk pengelolaan lahan yang
disakralkan dan yang lebih bersifat profan bagi masyarakat sekitar, yang diterapkan
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
budaya, dengan pendekatan arkeologis secara deskriptif dan penalaran induktif. Cara
pengumpulan data dilakukan dengan survei atau pengamatan langsung terhadap Situs
Parumasan. Untuk memahami lebih jauh pandangan masyarakat terhadap keberadaan
Situs Parumasan, dilakukan pula wawancara dengan Juru Kunci Parumasan dan
masyarakat setempat. Hasil penelitian menunjukkan adanya kearifan lokal
berdasarkan tinggalan arkeologis, makna ritual keagamaan, dan upacara adat di
antaranya terjaganya kelestarian alam dan keberlangsungan hidup yang nyaman dan
aman.
Kata kunci: tinggalan budaya, arkeologis, kearifan lokal, Situs Parumasan.
Abstract
The purpose of this research is to make an inventory of cultural heritages
in the site of Parumasan in Ciamis that has a relationship to the local wisdom
of traditional community that lives around the site. The focus are material and
non-material cultural heritage that lived in old times, including sacred-land
management and a more profane ones that applied to their daily life. The author
has conducted a cultural research method with archaeological approach, either
desciptively or inductively. Data were obtained by surveying or observing
Parumasan site. Interview with juru kunci (key person) of Parumasan was also
perfomed in order to get data about the perspective of the site from the
communitys point of view. The result is that there is local wisdom based on
archaeological heritage, religious rites and adat ceremony resulting in
conservation of the nature as well as a peaceful life.
Keywords: cultural heritage, archaeology, local wisdom, Parumasan site.
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kearifan Lokal Berdasarkan Tinggalan ... (Lia Nuralia)

51

A. PENDAHULUAN
Salah satu kawasan di Indonesia
yang cukup banyak memiliki aset
masyarakat tradisional dengan latar
belakang budaya adalah bagian barat
Pulau Jawa. Salah satu komunitas
masyarakat tradisional yang masih eksis
sampai sekarang adalah masyarakat adat
di Situs Parumasan, Desa Banjaranyar,
Kecamatan Banjarsari, Kabupaten
Ciamis. Kehidupan mereka dapat dikaji
melalui penelusuran ritual keagamaan dan
upacara adat yang masih dilakukan, serta
beberapa tinggalan arkeologis yang ada
di kawasan permukiman dan lingkungan
alam sekitarnya.

Permukiman masyarakat tradisional


tersebut dari segi arkeologis dapat
dijadikan sebagai data dalam studi
mengenai tinggalan arkeologis dan
kearifan budaya (lokal) di kawasan situs.
Selain itu, juga dapat dijadikan sebagai
data untuk menjelaskan bagaimana
kehidupan pada suatu permukiman yang
berada dekat situs arkeologi dapat
berlangsung selama ini, termasuk juga
menjelaskan friksi-friksi antar- aspek
yang ada di dalam lingkup permukiman,
berkaitan dengan keberadaan situs. Friksi
tersebut mencakup kearifan tradisional
(lokal), melalui ritual keagamaan dan
upacara adat yang dilakukan oleh
masyarakat di sekitar situs (Tim Peneliti,
2010: 1).

Keletakan wilayah Kabupaten Ciamis


dalam Peta Provinsi Jawa Barat

Keletakan Kecamatan Banjarsari


dalam Peta Kabupaten Ciamis

Situs Parumasan dikatakan situs


karena merupakan wilayah yang memiliki
tinggalan budaya, baik materil maupun
nonmateril. Pemilik situs adalah penduduk
setempat, yaitu masyarakat adat
Parumasan yang dipimpin oleh seorang
sesepuh yang dinamakan Juru Kunci.
Juri Kunci yang ada sekarang bernama
Fadli Diwangsa, merupakan keturunan
ke-19 dari para juru kunci sebelumnya.

Keberadaan tinggalan arkeologis


dan eksistensi tradisi lama yang masih
dipertahankan dan dijalankan oleh
sebagian masyarakat di Situs Parumasan
dan sekitarnya, merupakan keunikan yang
menarik sebagai kearifan lokal yang perlu
dikaji lebih dalam. Apa dan bagaimana
wujud tinggalan dan kearifan lokal
tersebut, dan bagaimana dampaknya
terhadap masyarakat di sekitarnya, akan
dijelaskan dalam uraian selanjutnya.

2011

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

52
Penelitian ini dimaksudkan untuk
menginventarisasi tinggalan budaya, baik
budaya materi maupun budaya nonmateri.
Juga diharapkan dapat menjaring data
mengenai aspek kearifan lokal dan
lingkungannya pada masyarakat yang
tinggal di sekitar situs, berkaitan dengan
tinggalan arkeologis (benda bergerak/
artefak dan benda tak bergerak), tradisi
budaya, konsepsi kepercayaan, tata ruang
dan tata guna lahan dalam konsepsi
budaya masa lalu, termasuk pengelolaan
lahan yang diperuntukkan sebagai lokasi
pemujaan atau tempat yang disakralkan,
serta lahan yang lebih bersifat profan bagi
masyarakat sekitar yang diterapkan dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Adapun manfaat dari data yang
telah dijaring adalah menambah referensi
pengetahuan tentang budaya masa lalu
di
Parumasan
Ciamis.
Juga
menindaklanjuti apa yang seharusnya
dilakukan untuk mempertahankan
warisan budaya yang ada, sebagai
tinggalan arkeologis dan kearifan lokal.
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dan penalaran induktif. Cara
pengumpulan datanya dilakukan dengan
survei atau pengamatan langsung
terhadap situs Parumasan. Pengamatan
visual dilakukan untuk mendeskripsikan
dan mendokumentasikan keberadaan
tinggalan arkeologis, salah satunya
permukiman tradisional dilihat dari aspek
bentuk, bahan, ukuran, lingkungan, dan
sebagainya. Kemudian untuk memahami
lebih jauh pandangan masyarakat
terhadap keberadaan Situs Parumasan,
dilakukan pula wawancara dengan juru
kunci Parumasan dan masyarakat
setempat.
Sumberdaya budaya sebagai salah
satu kekayaan bangsa memiliki sifat
terbatas, unik, rapuh/mudah rusak, dan
tidak terbaharui. Hal ini menjadikannya

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68


sebagai suatu hal yang seharusnya
dilindungi, dilestarikan, dan sedapat
mungkin juga dimanfaatkan. Sumberdaya
budaya memiliki nilai penting dari segi
sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan,
serta ekonomi. Situs sebagai salah satu
sumberdaya yang memiliki nilai-nilai
penting, dalam pengelolaannya harus
memperhatikan rambu-rambu tertentu
(Atmosudiro, 2006: 2-4).
Keberadaan Situs Parumasan
memberikan informasi baru tentang
keberadaan komunitas masyarakat
tradisional yang masih menjalankan adat
istiadat masa lalu, disertai dengan
perangkat ritual berupa bangunan lama,
makam dan benda-benda keramat.
Peninggalan budaya masa lalu tersebut
merupakan wujud eksistensi suatu
budaya tertentu di lingkungan dan tempat
yang tertentu pula. Bangunan, makam,
dan benda-benda keramat tersebut dapat
dikatakan sebagai tinggalan arkeologis,
sedangkan tradisi atau ritual tertentu yang
masih dijalankan oleh komunitasnya
merupakan kearifan lokal yang dapat
memberi pengaruh terhadap masyarakat
di sekitarnya. Kondisi ini dapat
bermanfaat, baik bagi penduduk setempat
maupun bagi masyarakat di sekitarnya.
Pengertian kearifan lokal menurut
Advanced English-Inonesian Dictionary
(Salim, 1991: 492, 970) terdiri atas dua
kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal
(local). Lokal berarti setempat,
sedangkan kearifan berarti kebijaksanaan.
Kearifan lokal atau local wisdom
merupakan gagasan-gagasan, nilai-nilai,
pandangan-pandangan setempat yang
bersifat kebijaksanaan, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya.
Masyarakat Parumasan berada di
wilayah administratif Jawa Barat, yang
sebagian besar adalah masyarakat etnis

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kearifan Lokal Berdasarkan Tinggalan ... (Lia Nuralia)


Sunda dengan adat istiadat Sunda yang
mereka pakai. Ada tiga karakteristik
orang Sunda, yaitu: 1. Luhung elmuna
(tinggi ilmunya), memiliki kemampuan
untuk terus belajar dan memahami
teknologi modern; 2. Pengkuh agamana
(kuat agamanya), berpegang teguh pada
nilai-nilai agama (Islam) dan
merealisasikannya dalam kehidupan
sehari-hari; dan 3. Jembar budayana
(berbudaya tinggi), wujud ideal sebagai
akumulasi dari sikap dan tindakan
berdasarkan kesopansantunan (handap
asor), toleransi ketika muncul perbedaan
dan bekerja sama secara sosial
(sabilulungan).
Pengelolaan sumber daya alam
hutan dan lingkungan yang terjadi selama
ini menyebabkan terjadinya degradasi dan
deforestasi hutan yang luar biasa, dengan
mengatasnamakan pembangunan dan
pembelaan terhadap hajat hidup orang
banyak. Dampak aktivitas tersebut
mengakibatkan kesengsaraan alam
(leuweung ruksak), mengganggu
kelangsungan sistem hidrologis dan iklim
mikro (cai beak) dan keterpurukan
masyarakat yang terstruktur (manusa
balangsak).
Paradigma Sunda buhun (kuno)
menjelaskan bahwa manusia adalah
bagian/seke seler (istilah ekologi: sub
system) dari alam semesta, sehingga
harus mengikuti aturan kesemestaan,
bukan melawan (Sunda: ngarempak).
Aturan tersebut dikenal dengan pamali
(tabu) atau buyut (kabuyutan). Paham
yang meyakini bahwa manusia memiliki
kekuasaan lebih besar melalui akalnya
dibandingkan dengan makhluk lainnya,
sehingga alam dianggap sebagai benda
yang diperlakukan sesuka hati, adalah
kontradiktif dengan nilai-nilai luhur
pengetahuan lokal (indigenous
knowledge). Dalam kearifan lokal (local

2011

53

wisdom) semua benda, termasuk


manusia, di balik penampakan fisikmaterialnya terdapat kekuatan metafisik,
di antara kedua kekuatan terdapat
indenpendensi (saling berpengaruh).
Selanjutnya di balik wujud (indrawi),
bentuk (beraneka ragam), dan sifat
(keteraturan) alam semesta ini, terdapat
kekuatan yang menyatu (integrated) dan
terpusat. Inilah yang diyakini masyarakat
Sunda dalam basis pengetahuan
teologinya (ketuhanan) sebagai Hyang
Tunggal (Tuhan Yang Esa). Alam
semesta dan dirinya mempresentasikan
kekuatan yang tunggal (Dialah Tuhan
Yang Esa). (Senyum-ITB, 2009).
Dampak yang akan muncul dalam
pemanfaatan arkeologi beserta dengan
sumberdayanya terdiri atas dua kutub,
yaitu dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif yang dapat dilihat adalah
munculnya kecenderungan orang untuk
memberi perhatian pada arkeologi dan
sumberdayanya, sedangkan dampak
negatif muncul seiring dengan kegiatan
pemanfaatan sumberdaya arkeologi yang
sangat eksploitatif. Dari segi keilmuan,
dampak negatif yang dihasilkan oleh
popularisasi arkeologi membuat
persepsi orang tentang arkeologi yang
sebenarnya akan menyimpang (Prasodjo,
2006a: 4).
Masyarakat lokal sebagai pemukim
yang bertempat tinggal di sekitar situs
memiliki potensi sosial, budaya, politik
maupun ekonomis yang dapat
dikembangkan, sehingga akan menimbulkan
ketergantungan bagi masyarakat sekitar.
Ketergantungan tersebut menunjukkan
adanya relasi atau hubungan timbal balik
yang saling menguntungkan di antara
kedua belah pihak, yaitu antara situs
arkeologi dengan masyarakat sekitar
(Prasodjo, 2006b: 3).

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

54
Konsep pembagian ruang atau
lahan pada suatu masyarakat berkaitan
erat dengan sistem religi atau
kepercayaan pada masyarakat adat. Oleh
karena sifatnya yang paling hakiki dalam
kehidupan, maka aspek religi atau
kepercayaan ini sangat sulit berubah,
namun mempengaruhi dan menjadi
landasan dalam perilaku kehidupan lainnya
(Permana, 1995: 75).
Sebagaimana orang Sunda lainnya,
penduduk sekitar Situs Parumasan adalah
komunitas dengan tipologi mayoritas
pemeluk agama Islam. Namun demikian,
sebagian dari mereka terutama kalangan
tua, masih memegang kuat tradisi dan
mitologi tentang adanya roh gaib yang
bersemayam di banyak petilasan dan
makam keramat di kampung tersebut.
Termasuk di dalamnya adalah
kepercayaan tentang keberadaan Bale
Bandung sebagai warisan budaya
karuhun mereka. Tradisi yang masih
dilaksanakan oleh masyarakat di sekitar
Situs Parumasan sampai saat ini antara
lain adalah mengadakan sesajen,
berkumpul (tumpengan) di Bale Bandung
pada hari-hari tertentu, membersihkan
benda-benda keramat, serta memelihara
dan menjaga tanah keramat yang
digunakan sebagai makam leluhur
mereka.

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68


utara dan timur berbatasan dengan Desa
Cigayam; selatan berbatasan dengan
Pasawahan Kalijaya; dan barat
berbatasan dengan Desa Karyamukti
(Monografi Desa Banjaranyar Tahun
2009/2010).
Lahan Desa Banjaranyar
dimanfaatkan sebagai lahan sawah
seluas 150,2 hektar; pertanian lahan
kering seluas 518 hektar; permukiman
seluas 13,5 hektar; lahan perkebunan
swasta seluas 348 hektar; lahan kas desa
seluas 94,5 hektar; lapangan seluas 3
hektar; kantor pemerintah seluas 1
hektar; dan hutan lindung seluas 3 hektar.
Berdasarkan tipologi desa tersebut, Desa
Banjaranyar merupakan desa yang
berada di sekitar hutan dengan kondisi
bentang wilayah perbukitan. Jarak ke
ibukota kecamatan sejauh 11 km, ke
ibukota kabupaten sekitar 66 km
(Monografi Desa Banjaranyar Tahun
2009/2010).

A. HASIL DAN BAHASAN


1. Keadaan Alam dan Mata Pencaharian
Penduduk Parumasan

Situs
Parumasan
secara
administratif terletak di Desa Banjaranyar
(pemekaran dari Desa Cigayam/Sudarti,
2006, 11), Kecamatan Banjarsari,
Kabupaten Ciamis. Secara astronomis
berada pada koordinat 73035,9" LS dan
1083213,5" BT. Desa Banjaranyar
memiliki luas 1.131 hektar, dengan batasbatas wilayah sebagai berikut: sebelah

Peta Desa Banjaranyar,


Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kearifan Lokal Berdasarkan Tinggalan ... (Lia Nuralia)

Industri rumah tangga


pengolahan kelapa Home Industry 5454
(Dok. Balar Bandung, 2010)

Budidaya pertanian di Desa


Banjaranyar di antaranya adalan tanaman
kacang tanah seluas 20 hektar, dengan
hasil rata-rata 1,05 ton/hektar; ubi kayu
seluas 50 hektar dengan hasil 6 ton/hektar.
Komoditas buah-buahan, seperti tanaman
buah mangga seluas 5 hektar dengan hasil
1 ton/hektar; kebun durian seluas 10
hektar; kebun pisang seluas 50 hektar
dengan hasil 1 ton/hektar. Tanaman
perkebunan di Desa Banjaranyar dikelola
oleh masyarakat dan swasta
(perusahaan). Perkebunan yang dikelola
masyarakat adalah perkebunan kelapa
dengan luas 200 hektar dan hasilnya 0,25
ton/hektar; kebun kopi dengan luas 5
hektar; dan kebun coklat dengan luas 10
hektar dengan hasil 0,7 ton/hektar.
Perkebunan yang dikelola oleh
perusahaan swasta adalah kebun karet
seluas 300 hektar dengan hasil 0,2 ton/
hektar. Kemudian areal hutan di Desa
Banjaranyar khususnya terdiri atas hutan
masyarakat adat seluas 103 hektar dan
di antaranya merupakan hutan lindung
seluas 3 hektar. Sementara itu, juga
berkembang industri rumah tangga
pembuatan tepung tapioka, dan
pengolahan kelapa menjadi kopra
(wawancara dengan Bapak Adi
Karyadi).
2011

55

Masyarakat Desa Cigayam,


termasuk Desa Banjaranyar, pada
umumnya bermata pencaharian sebagai
petani/buruh tani. Ada juga yang bekerja
mengolah makanan tradisional sebagai
industri rumah tangga, di antaranya
membuat keripik pisang, opak ketan (asin
dan manis), keripik kentang. Kegiatan
ini dilakukan di waktu-waktu tertentu atau
bulan-bulan tertentu, ketika ada pesanan
untuk keperluan hajatan atau keramaian.
Biasanya kerja seperti ini adalah kerja
sampingan para petani/buruh tani sambil
menunggu waktu panen tiba. Akan tetapi,
ada juga yang menjadikan industri rumah
tangga sebagai sumber penghasilan
utama. Selain beberapa industri makanan
tersebut, juga ada pabrik aci/tapioka yang
cukup banyak menampung pekerja.
Pabrik tapioka ini mengolah bahan mentah
(singkong) menjadi aci (bahan setengah
jadi). Setelah itu dijual ke kota untuk
dijadikan berbagai jenis makanan dari aci
tersebut.
Beberapa tanaman buah-buahan
dan sayuran yang ada di Desa
Banjaranyar adalah kelapa, singkong,
pisang, petai, duren, alpukat, jagung, dan
lain-lain. Juga ada beberapa tanaman
perkebunan dan sawah, seperti karet,
kopi, kakao, cengkeh, kapol, padi, dan lainlain. Sementara itu, hasil ternak dari Desa
Banjaranyar di antaranya domba,
kambing, ikan (ikan mas, mujair, gurame,
bawal, dan lain-lain), sapi, ayam kampung,
bebek.
Salah satu industri rumah tangga
yang cukup maju adalah produksi
pengolahan kelapa setengah jadi. Salah
satunya adalah milik Bapak Ajat Sudrajat
yang diberi lebel Home Industry 5454.
Kelapa mentah diolah menjadi barang
setengah jadi seperti kopra, koko, batok
kalapa/tempurung, air kelapa, dan lainlain. Barang setengah jadi ini dijual ke
pengepul besar/bandar yang ada di daerah

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68

56
Ciamis dan di luar Kota Ciamis. Misalnya
ke Pasar Banjarsari Ciamis, Pasar
Minggu Jakarta, Padaherang, Cepu/Solo
(Jawa Tengah), bahkan dikabarkan
bahwa pemasaran barang setengah jadi
tersebut sampai ke luar negeri, yaitu
Korea. Selain industri rumah tangga yang
mengolah kelapa, juga ada beberapa
industri rumah tangga lainnya yang
mengolah hasil kebun berupa makanan
tradisional, seperti pisang sale,
rangginang, opak ketan.

2. Tinggalan Arkeologis di Situs


Parumasan

Situs Parumasan adalah tinggalan


arkeologi periode Islam dengan komunitas
adatnya yang masih memiliki keterikatan
dengan makam keramat, melalui ritualritual yang selalu dilakukan pada waktuwaktu tertentu. Dinamakan Situs
Parumasan karena sesuai dengan nama
kampungnya,
yaitu
Kampung
Parumasan. Sementara itu, kata
Parumasan menurut pengertian
masyarakat di lokasi penelitian berarti
Negara Bening Suci. Ada juga
pengertian lainnya, yaitu Parumasan yang
berarti Ngarumasakeun atau sebagai
manusia harus merasa bahwa hidup tidak
memiliki kekuatan apa pun.

Industri rumah tangga pisang sale


(Dok. Balar Bandung, 2010)

Keletakan Bale Bandung, Tempat Tinggal Juru Kunci,


dan Komplek Makam Kyai Bagus Santri di Situs Parumasan Ciamis
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

57

Kearifan Lokal Berdasarkan Tinggalan ... (Lia Nuralia)


Di Situs Parumasan terdapat
beberapa objek tinggalan yang terdiri atas
makam keramat, bangunan Bale
Bandung, dan hutan larangan. Makam
keramat yang ada diduga sebagai makam
penyebar agama Islam di daerah ini, yaitu
makam Kyai Bagus Santri. Sementara itu,
ritual yang selalu dijalankan oleh
komunitasnya adalah ritual kliwonan,
yaitu ziarah kubur ke makam keramat
Kyai Bagus Santri pada malam Jumat
Kliwon (35 hari sekali). Ritual ini
dilaksanakan dengan menyelenggarakan
pengajian, ziarah, dan tawasulan, yang
diakhiri dengan makan bersama di lokasi.
Makanan dimasak di tempat, sedangkan
bahan-bahan masakannya dibawa
masing-masing oleh para peziarah.
Tinggalan arkeologi di lokasi
penelitian yang berhasil di inventarisasi
adalah:
a. Bale Bandung, merupakan balai
pertemuan dan penyimpanan bendabenda keramat peninggalan Kyai
Bagus Santri;
b. Masjid, berada di sebelah utara Bale
Bandung. Kondisinya sudah dipugar/
berubah menjadi bangunan masjid
saat ini dan posisi sekarang bukan
tempat awalnya masjid, karena
sebelumnya berada di barat Bale
Bandung;
c. Rumah Juru Kunci, Dapur dan tempat
penginapan atau Rumah Tamu.
Dibangun dengan menggunakan
bahan bilik bambu;
d. Komplek Makam Kyai Bagus Santri,
yang diziarahi setiap Jumat Kliwon,
kecuali bulan Mulud dan Ramadhan;
e. Hutan larangan, merupakan areal
hutan seluas kurang lebih 2 hektar, di
dalamnya terdapat kompleks makam
keramat Kyai Bagus Santri, Petilasan
Siti Fatimah, dan Makam Depok
Kulon;

2011

f. Makam Depok Kulon adalah petilasan


karuhun Parumasan, diziarahi setiap
8 tahun 1 kali dan hanya orang tertentu
yang dapat mengikuti ziarah;
g. Petilasan Siti Fatimah, diduga pernah
disinggahi Siti Fatimah (salah
seorang anak Nabi Muhammad)
yang hanya diziarahi kaum
perempuan;
h. Bale Alit yang terletak di sebelah
selatan Bale Bandung, tetapi
sekarang ini tinggal sisa-sisa
fondasinya saja, berupa batu yang
berserakan, namun tertata dan
menandakan bekas bangunan, dan
seperti dipagar oleh tumbuhan perdu.
Menurut keterangan Enem, Bale Alit
merupakan bekas tempat paniisan
dari Kyai Bagus Santri.
3. Deskripsi
Arkeologis

Singkat

Tinggalan

Bale Bandung

Bale Bandung merupakan tempat


pertemuan dan pelaksanaan berbagai
upacara adat di Situs Parumasan.
Bangunan ini terbuat dari bahan kayu
pada bagian atasnya, sedangkan bagian
bawahnya terbuat dari susunan batu kali,
yang sekarang ini sudah direkatkan
dengan semen dan pasir (hasil renovasi).
Bale Bandung ditinggikan dari permukaan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

58
tanah sekitar satu meter, berdenah empat
persegi panjang dengan empat pintu
masuk yang terletak masing-masing satu
pintu di empat bagian dindingnya. Tidak
memiliki jendela dan untuk masuk ke
dalamnya harus menaiki empat anak
tangga. Pada bagian dalam berlantai
tanah dan bangunan ditopang oleh enam
tiang (enam soko guru). Konstruksi
bangunan dari rangka kayu dan beratap
ijuk. Sebenarnya, sebelum dilakukan
renovasi dinding Bale Bandung terbuat
dari bilik bambu. Terjadi perubahan bahan
pada zaman Juru Kunci Ki Padma
Diwangsa.

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68


ini sudah tidak ada dan tidak dibangun
kembali. Tidak dijelaskan mengapa
demikian.

Rumah Juru Kunci

Rumah Tamu

Bale Bandung Situs Parumasan Ciamis

Rumah Juru Kunci, Rumah Tamu,


dan Dapur
Selain Balai Bandung, ada tiga
bangunan lain, yaitu Rumah Juru Kunci,
Rumah Tamu, dan Dapur. Ketiga
bangunan ini juga terbuat dari bilik bambu
seluruh dindingnya, memiliki jendela dan
pintu, beratap genteng dengan konstruksi
bangunan dan atap berangka kayu. Di
bagian dalam berlantai tanah dan khusus
untuk Rumah Tamu ruangan dibagi
menjadi tiga bagian, satu ruangan cukup
luas dan dua ruangan kecil di sudut kiri
dan kanan pada bagian belakang
bangunan. Menurut cerita Juru Kunci,
sebenarnya ada satu bangunan lagi yang
dinamakan Saung Jangkung. Sekarang

Dapur
Situs Perumasan (Dok Bandung 2010

Kompleks Makam Kyai Bagus Santri


Pada kompleks makam Kyai
Bagus Santri terdapat 7 makam. Makammakam tersebut ditempatkan pada posisi
terpisah oleh bilik bambu setengah badan
dan diberi pintu, yaitu: 2 makam di dalam
ruangan dalam (seperti kamar) dan 5
makam di luar kamar, tetapi tetap berada
di dalam dipagari bilik bambu dan diberi
pintu. Makam-makam tersebut berada di
dalam hutan larangan atau hutan tutupan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kearifan Lokal Berdasarkan Tinggalan ... (Lia Nuralia)

59

yang berada tidak jauh dari Bale


Bandung. Ketujuh makam tersebut
merupakan makam para pendahulu
Parumasan dan sekaligus sebagai leluhur
dari Juru Kunci/Kuncen Parumasan.

Rumah Juru Kunci Situs Parumasan Ciamis

Makam Kyai Bagus Santri dan Istri

Dapur Situs Parumasan Ciamis

Ki Fadli Diwangsa, juru kunci ke-19


(Dok. Balar Bandung, 2010)

Rumah Tamu Situs Parumasan Ciamis

Juri Kunci yang ada sekarang


bernama Fadli Diwangsa, merupakan
keturunan ke-19 dari juru-juru kunci
sebelumnya. Kedelapan belas Juru Kunci
sebelumnya dapat dirinci sebagai berikut:
1.
2.

Nabi Muhammad SAW


Punika Kyai Sajati

2011

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Apu Putra Dipati Pamalang


Apu Putra PanembahanGumilap
Apu Putra Kyai Teja Putih
Apu Putra Kyai Wirasari
Apu Putra Bagus Santri
Apu Putra Musair
Apu Putra Mangun
Apu Putra Mangun Kersa

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68

60
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Apu Putra Malang Kersa


Apu Putra Maya Kerta
Apu Putra Maya Dilana
Apu Putra Maja Diwangsa
Apu Putra Dipa Diwangsa
Apu Putra Ki Padma Diwangsa
Apu Putra Kyai Nata Diwangsa
Apu Putra Kyai Fadli Citra
Diwangsa

Juru Kunci di Parumasan diangkat


secara turun temurun dan berdasarkan
wangsit atau petunjuk yang datang. Juru
Kunci berakhir masa jabatannya ketika
ia meninggal dunia. Pada saat masih
hidup biasanya sudah ada orang atau
keturunannya dari pihak laki-laki, dengan
status kekeluargaan paling tinggi, yang
dicalonkan untuk menggantikannya.
Biasanya anak kandung laki-laki atau
anak kemenakan dari pihak kakak lakilaki yang tertua, atau yang tinggi
kedudukannya dalam silsilah keluarga.
Calon pengganti juga harus berilmu dan
mampu melakukan tugasnya, mengerti
adat istiadat yang harus diembannya, serta
mendapat wangsit atau petunjuk gaib.
Syarat-syarat tersebut harus terpenuhi.
Apabila seorang pengganti yang sesuai
secara silsilah keluarga, tetapi dianggap
tidak mampu atau tidak mumpuni, harus
dicari calon lain yang lebih memenuhi

Komplek Makam Kyai Bagus Santri


di Situs Parumasan Ciamis
syarat. Anak kandung laki-laki Juru
Kunci tidak otomatis dapat menggantikan
kedudukan ayahnya (wawancara dengan
Bapak Enem dan Bapak Edi Santana).
Menurut Kuncen Fadli Diwangsa,
Kunci Parumasan yang ke-15 (Uwak
dari Kuncen yang sekarang) pernah
menggali ilmu di beberapa pesantren,
sehingga dia pintar membaca Alquran dan
ajaran keagamaan lainnya. Pengangkatan
Kuncen dilakukan secara turun temurun
kepada orang yang mempunyai hak
(masih memiliki keturunan dengan Kyai
Bagus Santri), serta juga didasarkan pada
ilapat atau wangsit. Masa tugas kuncen
adalah sejak diangkat sampai meninggal
dunia atau seumur hidup.

Makam Kyai Bagus Santri dan istrinya berada di dalam kamar, sedangkan lima makam
keluarganya terletak di luar kamar, di dalam pagar (Dok. Balar Bandung, 2010).

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kearifan Lokal Berdasarkan Tinggalan ... (Lia Nuralia)


Makam Keramat Kyai Bagus
Santri terletak di dalam hutan larangan,
mengelompok dengan makam-makam
lainnya, yaitu istri dan keluarganya yang
seluruhnya berjumlah 17 makam, sesuai
dengan rakaat dalam shalat yang lima
waktu dalam ajaran Islam. Akan tetapi,
makam yang dijumpai sekarang ini ada
tujuh makam yang dipagar bambu
sekelilingnya. Makam Kyai Bagus Santri
dan istrinya, Dewi Purbasari, terletak di
bagian paling dalam dipagar bambu lagi,
sedangkan lima makam lainnya berjejer
di bagian luarnya seperti membentuk
huruf L. Kelima makam tersebut
dikatakan, yaitu: Ki Musair, Ki Mangun,
Ki Mangun Kersa, Ki Malang Kersa, dan
Ki Maya Kerta.
Makam-makam yang ditemukan
tersebut terletak di tanah yang lebih tinggi
dari sekitarnya, berupa tumpukan batu
andesit, dengan pohon-pohon di atasnya.
Lingkungan makam berupa hutan yang
terdiri atas berbagai jenis tanaman, salah
satunya adalah pohon jati. Sebelum kita
masuk ke dalam makam, harus berdoa
dulu di depan pintu gerbangnya, yang
dilakukan oleh Juru Kunci atau yang
mewakilinya. Selain makam Kyai Bagus
Santri, ada juga makam keramat berupa
petilasan yang juga suka diziarahi, yaitu
Petilasan Siti Fatimah dan Petilasan
Depok Kulon. Khusus untuk Petilasan Siti
Fatimah hanya diziarahi oleh kaum
perempuan dengan memakai kebaya

2011

61

Petilasan Siti Fatimah di dalam


hutan larangan Situs Parumasan
(Dok. Balar Bandung, 2010)

putih. Sedangkan Depok Kulon diziarahi


delapan tahun sekali dengan memakai
kain sarung, berpeci, dan berbaju warna
putih. Khusus untuk Juru Kunci harus
memakai bendo dan jas warna putih.
Benda-Benda Arkeologis Bergerak
Selain benda-benda tidak bergerak
yang ada di lokasi, juga terdapat bendabenda peninggalan lainnya yang disimpan
di Bale Bandung, yaitu benda bergerak
berupa artefak, di antaranya naskah kuno,
keris (sekitar 100 buah), badig, tombak,
guci. Benda-benda ini ada yang dianggap
suci, ada juga yang dianggap biasa.
Benda-benda yang disucikan atau
dikeramatkan hanya bisa dilihat pada saat
Mauludan dan tidak sembarang orang
dapat memegang atau melihatnya. Pada
saat acara Mauludan, benda-benda
keramat itu dicuci dan dibersihkan.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68

62
4. Ritual-Ritual Keagamaan dan Upacara
Adat

Lokasi Situs Parumasan memiliki


batas-batas daerah atau batas kampung
adat, yang ditandai oleh sungai, yaitu
Sungai Ciparumasan di sebelah timur,

khususnya bagi mereka yang masih


memegang teguh adat. Hal ini merupakan
kearifan lokal yang dapat memberi makna
dan merupakan warisan budaya yang
perlu dipertahankan. Di antaranya adalah
ritual-ritual yang berupa ziarah kubur.
Ritual-ritual tersebut berjalan
cukup lancar atau tidak mendapat
rintangan yang signifikan, walaupun ada
juga yang menentangnya karena
dianggap tidak sesuai dengan ajaran
agama Islam. Ritual-ritual yang dilakukan
masyarakat adat Parumasan sebagai
berikut: Ziarah Jumat Kliwon
(Kaliwonan); Ziarah Delapan Tahunan;

Sungai Ciparumasan, menuju hutan


larangan di Situs Parumasan Ciamis
(Dok. Balar Bandung, 2010).

Sungai Cirajayu di sebelah barat, Sungai


Cigayam di utara, dan Sungai Cibabakan
di selatan. Batasan kampung adat
tersebut menjadi batasan yang ditabukan
atau dilarang untuk acara-acara tertentu.
Beberapa tabu atau larangan yang masih
dipatuhi oleh komunitas masyarakat adat
Parumasan adalah: Tidak boleh
memelihara kuda; Tidak boleh buang air
kecil sambil berdiri dan menghadap utara;
Tidak boleh makan memakai dua tangan
sekaligus; Masuk ke makam keramat/
hutan larangan tidak boleh menggunakan
alas kaki; Sebelum masuk ke makam/
hutan larangan, terlebih dahulu mencuci
kaki di sungai yang menjadi pintu masuk
atau pembatas kawasan sakral hutan
larangan; dan sebelum masuk ke Bale
Bandung harus membuka alas kaki.
Komunitas adat Parumasan
memiliki beberapa ritual yang merupakan
tradisi yang mengandung nilai-nilai luhur
kehidupan dan dapat menjadi pegangan
hidup dalam menjalani hidup sehari-hari,

Upacara Siraman; Upacara Pertanian/


Menanam Padi; Upacara Kematian; dan
Kegiatan Kesenian.
Ritual-ritual diselenggarakan oleh
Juru Kunci sebagai pemimpinnya, diikuti
oleh para sahabat (anggota komunitas)
dan disaksikan oleh masyarakat umum,
baik penduduk setempat maupun yang
sengaja datang dari luar untuk melihat
penyelenggaraan adat tersebut. Juru
Kunci yang disebut Bapak Kunci diikuti
oleh istri dan anak cucu beserta keluarga
dekat. Para sahabat merupakan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kearifan Lokal Berdasarkan Tinggalan ... (Lia Nuralia)


penduduk setempat yang tinggal di
Parumasan atau di luar wilayah
Parumasan, bahkan mereka yang
bermukim di luar kota yang memiliki
keterikatan adat dengan komunitas
Parumasan (wawancara dengan Ki Fadli
Diwangsa, Bapak Enem, dan Bapak Edi
Santana).
Pada saat acara ritual berlangsung,
misalnya ziarah kubur ke makam Kyai
Bagus Santri, selain peserta ziarah, acara
menjadi meriah dengan disaksikan oleh
masyarakat umum di luar peserta ziarah.
Walaupun untuk keadaan sekarang tidak
seramai waktu-waktu sebelumnya, tetapi
masyarakat masih ada yang menyaksikan
dan meramaikan suasana. Selain hanya
melihat penyelenggaran acara ziarah,
juga ada yang berdagang di sekitar lokasi.
Selain berjualan makanan pokok,
makanan ringan, minuman, jajanan orang
tua dan anak-anak yang siap santap, ada
juga yang menjajakan hasil kebun dan
barang-barang mentah untuk keperluan
ziarah dan keperluan sehari-hari yang
dapat dibawa pulang (wawancara
dengan Ki Fadli Diwangsa, Bapak Enem
dan Bapak Edi Santana).
Ziarah Jumat Kliwon (Kaliwonan)
Ritual Kaliwonan dilakukan pada
hari Jumat Kliwon menurut ketentuanketentuan yang telah berlaku. Pada saat
Kliwonan ada sesaji, terdiri atas beberapa
jenis makanan dan minuman, yaitu kopi
pahit/kopi manis, minuman cing cau,
makanan rurujakan, makanan ringan
berupa potongan pisang, roko/cerutu, dan
lain-lain. Menurut keterangan Juru Kunci,
masyarakat yang datang ziarah tidak
hanya penduduk desa setempat, tetapi
juga dari desa-desa lain, seperti dari
Cikupa dan Banjarsari. Juga ada yang
datang dari luar Ciamis, di antaranya
Bandung, Jakarta, Cirebon, dan kota-kota

2011

63

lainnya. Hal itu terutama terjadi pada


masa dulu. Mereka datang pada
umumnya untuk minta berkah
keselamatan, minta rezeki yang banyak,
dan minta didekatkan dengan jodoh.
Ziarah Jumat Kliwon dilakukan
setiap bulan, kecuali bulan Maulid dan
Ramadhan. Kegiatan ziarah kubur dimulai
dengan beberesih di pagi hari,
membersihkan lingkungan makam dari
sampah dedaunan yang jatuh, dimulai dari
makam sampai ke Sungai Ciparumasan.
Setelah beberesih, berkumpul di masjid
untuk selanjutnya melaksanakan shalat
Jumat. Setelah shalat Jumat kemudian
berkumpul di Bale Bandung dan kegiatan
ziarah dimulai melalui beberapa alur,
yaitu: 1. Juru Kunci diikuti Wakil Juru
Kunci dan para sahabat mulai beriringan
dari rumah Juru Kunci ke Bale Bandung;
2. Bersama-sama masuk ke Bale
Bandung; 3. Pada waktu shalat Jumat
tiba, ke luar Bale menuju Mushola; dan
4. Selesai shalat Jumat bersiap-siap
menuju makam keramat di hutan
larangan.
Setelah ziarah dan tawasulan di
makam Kyai Bagus Santri, para peziarah
kembali ke Bale Bandung untuk
menyantap makanan yang telah disiapkan
oleh para ibu. Tentunya makanan tersebut
baru boleh disantap, ketika sudah diberi
doa-doa oleh kuncen. Semua makanan
harus habis, apabila masih tersisa akan
dibagikan kepada semua sahabat yang
ikut ziarah untuk dibawa pulang.
Ziarah Delapan Tahunan
Kegiatan Ziarah Delapan Tahunan
ini tidak jauh berbeda dengan kegiatan
Kaliwonan, yang membedakan adalah
rentang waktu pelaksanaan, yaitu hanya
dilakukan sekali dalam 8 tahun. Tempat
yang diziarahi adalah makam Depok
Kulon. Dalam melaksanakan ziarah ini,

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

64
para peziarah diharuskan berpakaian putih
dan hanya boleh diikuti oleh Sahabat
Parumasan dengan dipimpin oleh Juru
Kunci, sedang orang luar tidak boleh ikut
masuk ke dalam, hanya menunggu di luar
saja sebagai peserta tidak aktif.
Upacara Pertanian/Menanam Padi
Menjelang tanam dan panen
dilakukan upacara penghormatan
terhadap Dewi Sri (Dewi Padi). Sekarang
ini upacara hanya dilakukan sahabat
Parumasan di rumah masing-masing.
Mereka yang tidak mampu melakukan
upacara meminta tolong kepada Juru
Kunci atau sahabat, dengan membawa
air untuk diberi doa, agar dijauhkan dari
hama penyakit, serta dapat memperoleh
hasil yang berlimpah.
Upacara menanam padi ini
sekarang dilakukan oleh pribadi-pribadi di
rumahnya masing-masing pada waktu
tidak bersamaan. Mereka tidak
melakukannya secara terbuka setelah
ada larangan dari tokoh agama Islam
bahwa upacara tersebut dilarang dalam
agama. Menurut ceritanya, pada zaman
dahulu Upacara Menanam Padi
dilakukan secara serempak bersamasama, sehingga sangat meriah dan
mengundang banyak orang untuk
menyaksikan keramaian tersebut.
Diadakan sesajian berupa makanan dan
minuman, di antaranya ketupat, telur, kopi,
ayam kampung berbulu putih, beberapa
jenis bumbu dapur, dan lain-lain. Sesaji
inilah yang sangat ditentang kaum agama
karena merupakan pekerjaan mubazir dan
sia-sia, dianggap membuang-buang
makanan.
Upacara Siraman
Pada bulan Maulud diadakan
upacara Siraman, yaitu membersihkan
perkakas (parabot) dan benda keramat

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68


yang disimpan di Bale Bandung.
Beberapa perkakas yang selalu
dibersihkan pada upacara ini di antaranya:
keris, badig, mangkuk perunggu, mangkuk
keramik.
Upacara Kematian
Upacara
kematian
pada
masyarakat Parumasan tidak berbeda
dengan masyarakat Islam pada
umumnya. Mayat dimandikan, dikafani,
disahalatkan dan dikuburkan. Namun, ada
perbedaan yang mencolok dengan ajaran
Islam pada umumnya, yaitu pada saat
menguburkan. Satu hal yang dianggap
bertentangan dengan syariah Islam
adalah tata cara mengubur jenazah. Pada
masyarakat adat Parumasan, jenazah
dikubur dalam liang lahat dalam posisi
tengkurap, sedangkan dalam Islam harus
berbaring miring dengan posisi
menghadap kiblat (barat). Alasan
komunitas adat mengambil posisi tersebut
berdasarkan keyakinan yang sudah dianut
secara turun temurun bahwa kedatangan/
kelahiran seorang manusia dalam posisi
tengkurap ketika keluar dari rahim ibu,
sehingga ketika kembali menghadap Sang
Pencipta harus dalam posisi yang sama,
yaitu tengkurap.
Menurut keterangan Bapak Edi
Santana, posisi menguburkan mayat
seperti itu merupakan perwujudan dari
penghormatan pada bumi/tanah, karena
kita sebagai manusia diciptakan dari
saripati tanah (bumi) dan kita kembali ke
bumi. Dengan kata lain bumi telah
berjasa besar bagi seluruh umat manusia.
Hal senada juga diungkapkan oleh tokoh
Parumasan yang lain, yaitu Bapak Enem.
5. Kearifan Lokal Melalui Budaya Materi
dan Nonmateri

Komunitas adat Parumasan dalam


menjalankan hidup sehari-harinya selalu

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kearifan Lokal Berdasarkan Tinggalan ... (Lia Nuralia)


berpedoman pada ajaran Islam dan
aturan adat yang berlaku. Walaupun
sekarang ini sudah mengalami
pergeseran/kelonggaran dalam adat,
tetapi tetap memegang teguh keyakinan
dan kepercayaan yang telah
dijalankannya secara turun temurun. Ada
beberapa kearifan lokal yang dapat
dikelompokkan menjadi dua, berdasarkan
tinggalan budaya yang ada, sebagai
berikut:
a. Kearifan lokal melalui budaya materi
berdasarkan tinggalan arkeologis; dan
b. Kearifan lokal melalui budaya
nonmateri berdasarkan ritual-ritual
keagamaan dan upacara adat.
Kearifan
Lokal
Berdasarkan
Tinggalan Arkeologis
Kearifan lokal melalui budaya
materi dapat dikaji berdasarkan beberapa
tinggalan arkeologis, di antaranya hutan
larangan, Bale Bandung, pemukiman
(rumah juru kunci, rumah tamu, dan
dapur), makam keramat, dan Sungai
Ciparumasan. Hutan Larangan dalam
rangkaian kearifan lokal komunitas adat
Parumasan dijadikan sebagai Hutan
Lindung, yang merupakan warisan yang
patut dipertahankan untuk kesejahteraan
dan kelestarian lingkungan.
Pengelolaan sumber daya alam
hutan dan lingkungan yang terjadi selama
ini, di beberapa daerah di Indonesia,
menyebabkan terjadinya degradasi dan
deforestasi hutan yang luar biasa, dengan
mengatasnamakan pembangunan dan
pembelaan terhadap hajat hidup orang
banyak. Dampak aktifitas tersebut
mengakibatkan kesengsaraan alam
(leuweung ruksak), mengganggu
kelangsungan sistem hidrologis dan iklim
mikro (cai beak) dan keterpurukan
masyarakat yang terstruktur (manusa
balangsak). Hal ini tidak terjadi pada

2011

65

alam di lingkungan Situs Parumasan,


karena adanya kapatuhan masyarakat
setempat untuk tetap menjaga kelestarian
hutan dan menghormati larangan yang
berlaku. Hal ini merupakan salah satu
kearifan lokal berdasarkan tinggalan
budaya materi.
Kearifan lokal atau local wisdom
merupakan gagasan-gagasan, nilai-nilai,
pandangan-pandangan setempat yang
bersifat kebijaksanaan, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh
anggota
masyarakatnya.
Berdasarkan pengertian ini, kepatuhan
untuk menjaga hutan larangan,
merupakan pandangan masyarakat
setempat yang bersifat kebijaksanaan,
penuh kearifan, dan bernilai baik. Secara
fisik dapat dilihat langsung, kondisi hutan
larangan di Parumasan masih asli dan
rimbun, sumber air dan udara bersih tetap
terjaga. Kemudian pohon-pohon/tanaman
yang bermanfaat sebagai pengikat
cadangan air tanah, cadangan sumber
makanan dan kayu bakar, tetap
terpelihara dan dapat dimanfaatkan untuk
kelangsungan hidup manusia ke depan.
Bale Bandung dan Pemukiman
(Rumah Juru Kunci, Rumah Tamu,
Dapur, dan halaman) sebagai perwujudan
bentuk rumah di masa lalu, terbuat dari
bahan-bahan alami yang tidak
menimbulkan polusi, memberi nuansa
kelapangan dan kebersihan, sehingga
dapat menyelenggarakan hidup seharihari dengan tenang dan nyaman.
Kepercayaan tentang keberadaan Bale
Bandung sebagai warisan budaya
karuhun mereka, masih kuat dan
menjadi pegangan untuk tetap
melaksanakan tradisi (Purwitasari, 2007:
128).
Makam Keramat Tokoh Penyebar
Agama Islam merupakan perwujudan
dari keyakinan dan kepercayaan yang

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

66
nyata, dan selalu menjalankan ajaran
Islam sesuai yang digariskan Alquran
dan Sunnah. Kemudian, Sungai
Ciparumasan sebagai pembatas wilayah
sakral dan profan/nonsakral, merupakan
wilayah
yang
selalu
terjaga
kebersihannya, termasuk sungai yang
bebas dari sampah dan kotoran, sehingga
dapat tetap bersih dan dimanfaatkan
untuk membersihkan diri dan barangbarang sehari-hari, juga untuk
membersihkan benda-benda peninggalan
yang dikeramatkan. Beberapa tinggalan
arkeologis ini, keberadaannya menjadi
kearifan lokal yang memberi nilai-nilai
positif. Selain memelihara tinggalan
budaya juga memberi manfaat yang
dirasakan langsung oleh masyarakat
Parumasan dan penduduk setempat yang
ada di sekitarnya.
Kearifan Lokal Berdasarkan Makna
Ritual Keagamaan dan Upacara Adat
Kearifan lokal berdasarkan budaya
nonmateri dapat dikaji melalui makna
ritual keagamaan dan upacara adat, di
antaranya ziarah kubur ke makam
keramat, upacara-upacara adat, dan
kepercayaan akan wilayah sakral dan
profan. Berdasarkan pengertian kearifan
lokal yang telah disebutkan sebelumnya,
makna ziarah kubur yang dilakukan
secara bersama-sama dengan aturanaturan dan prosesi yang telah ditentukan,
mengingatkan kepada kita bahwa hidup
di dunia hanya sementara, setiap yang
hidup akan mati/menghadap Sang Maha
Pencipta.
Kemudian makna upacara adat
berupa kelahiran, perkawinan, dan
kematian, memberi pembelajaran dalam
menjalani hidup sehari-hari, bahwa kita
tidak bisa hidup sendiri, selalu
membutuhkan orang lain. Dengan adanya
penyelenggaraan upacara ini dapat

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68


menjalin kebersamaan antarsesama dan
memberi pengajaran tentang nilai-nilai
luhur pergaulan antarsesama, saling
menghargai dan kerja sama dalam satu
komunitas.
Selanjutnya kepercayaan akan
batas-batas wilayah yang sakral dan
profan, yang dibatasi oleh Sungai
Ciparumasan dan sungai-sungai lainnya,
juga memberi rasa percaya diri dan
kesadaran yang tinggi akan adanya
makhluk gaib, yang harus kita hormati
keberadaannya. Hal ini berdampak positif
pada kelestarian lingkungan, yaitu dapat
menjaga wilayah di areal sakral dengan
baik, dan memelihara peninggalanpeninggalan yang ada di dalamnya, yang
memberi pembelajaran tentang moral dan
etika, serta nilai-nilai estetika dan gotong
royong.
Kemudian budaya Sunda yang
merupakan basis budaya masyarakat
Parumasan, dapat dikaji dari tiga nilai luhur
sebagai berikut: 1. Luhung elmuna (tinggi
ilmunya); 2. Pengkuh agamana (kuat
agamanya); dan 3. Jembar budayana
(berbudaya tinggi), wujud ideal sebagai
akumulasi dari sikap dan tindakan
berdasarkan kesopansantunan (handap
asor), toleransi ketika muncul perbedaan
dan bekerja sama secara sosial
(sabilulungan).
Masyarakat adat Parumasan
terbukti memiliki ilmu yang tinggi dan
dapat mengikuti teknologi modern.
Sampai sekarang mereka berhasil
bertahan dan meneruskan warisan
budaya para leluhurnya, tetapi juga
mengikuti perubahan/kemajuan zaman.
Selain tetap memelihara adat kebiasaan
yang berlaku turun termurun, juga mencari
ilmu ke berbagai daerah untuk kemajuan
masyarakat dan wilayahnya, serta
menggunakan teknologi listrik untuk
penerangan di wilayah pemukiman dan
sekitarnya.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kearifan Lokal Berdasarkan Tinggalan ... (Lia Nuralia)


Dalam hal keyakinan juga sangat
kuat memegang teguh nilai-nilai agama
(Islam), walau ada sebagian kecil yang
sedikit bertentangan dengan ajaran Islam,
seperti yang telah disebutkan. Terakhir
mengenai budaya tinggi, mereka memiliki
tata krama atau sopan santun dalam hal
menerima tamu, menghargai perbedaan,
dan selalu berusaha bekerja sama atau
bergotong royong dalam menyelenggarakan
kegiatan bersama, di antaranya bersih
desa, penyelenggaraan pemakaman,
mendirikan rumah.
Manusia adalah bagian dari alam
semesta, sehingga harus mengikuti aturan
kesemestaan. Aturan tersebut dikenal
dengan pamali (tabu) dan tetap
menjalankan nilai-nilai luhur pengetahuan
lokal. Dalam pengertian kearifan lokal
semua benda, termasuk manusia, di balik
penampakan fisik-materialnya terdapat
kekuatan metafisik, di antara keduanya
saling mempengaruhi satu sama lain.
Selanjutnya di balik wujud, bentuk, dan
sifat alam semesta ini, terdapat kekuatan
yang menyatu dan terpusat. Inilah yang
diyakini masyarakat Sunda, termasuk
komunitas adat Parumasan, dalam basis
pengetahuan ketuhanan sebagai Hyang
Tunggal. Alam semesta dan dirinya
mempresentasikan kekuatan yang
tunggal.
Komunitas adat Parumasan dan
masyarakat yang hidup di sekitarnya
mengenal adanya tabu atau larangan.
Salah satunya tidak boleh memelihara
kuda. Dalam keseharian dapat dijumpai
dan masih dijalankan oleh sebagian besar
masyarakat Parumasan. Tidak ada
seorang pun yang memelihara kuda, juga
mematuhi tabu-tabu lainnya. Kondisi ini
membuat alam lingkungan pemukiman
mereka bersih dari kotoran kuda dan
kehidupan sehari-hari berjalan aman dan
nyaman dengan kepatuhan akan tabu-tabu
lainnya.
2011

67

Kemudian kepercayaan/keyakinan
adanya kekuatan yang menyatu dan
terpusat, tampak jelas dari ritual
keagamaan dan upacara adat
pemakaman jenazah. Sebagai manusia
yang berasal dari tanah, akan kembali ke
tanah dan menyatu dengan Sang
Pencipta. Cara menyelenggarakan
jenazah, terutama ketika memasukkan
jenazah ke liang lahat, selain mengikuti
ajaran Islan, juga mengikuti aturan adat
yang berlaku, yaitu posisi badan jenazah
dalam keadaan tengkurap dan menyatu
dengan tanah, seperti yang telah
dijelaskan.
C. PENUTUP
Beberapa tinggalan arkeologis di
Situs Parumasan dapat diidentifikasi, baik
yang tidak bergerak maupun yang
bergerak. Selain itu, ada tinggalan nonmateri berupa ritual-ritual yang masih
dijalankan oleh masyarakat adat
Parumasan dan penduduk di sekitarnya.
Kegiatan ritual berupa ziarah ke makam
keramat dan penyelenggaraan upacaraupacara adat. Masyarakat setempat
mendukung dalam bentuk nyata, yaitu
masih melakukan ritual ziarah dan
dijalankannya upacara-upacara adat pada
waktu-waktu tertentu. Mereka juga masih
tetap menjaga dan merawat lokasi situs
beserta tinggalan budaya dan perangkat
adatnya.
Berdasarkan tinggalan arkeologis
dan makna ritual keagamaan/upacara
adat, dapat ditemukan kearifan lokal pada
komunitas adat Parumasan. Berdasarkan
tinggalan arkeologis di antaranya
terjaganya kelestarian alam dan
keberlangsungan hidup yang nyaman dan
aman. Sementara itu, kearifan lokal
melalui makna ritual keagamaan/upacara

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

68
adat, yaitu tetap memegang teguh ajaran
Islam dan terjaganya nilai-nilai luhur
kebersamaan, gotong royong, saling
menghargai, serta kesadaran akan
kebersihan dan keindahan tempat
bermukim.
Keberadaan Situs Parumasan
dengan komunitas adatnya, memberi
dampak bagi masyarakat Parumasan dan
sekitarnya. Dampak positifnya berupa
terjaganya warisan budaya dan
pemasukan tambahan keuangan bagi
penduduk setempat ketika berlangsungnya
ritual ziarah kubur. Sementara itu, dampak
negatif yang ditimbulkan belum
ditemukan atau masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Artikel

Atmosudiro, Sumijati. 2006.


Managemen Sumber Arkeologi
dan Kendala Penerapan,
makalah
pada
Pelatihan
Pengelolaan
Sumberdaya
Arkeologi Tingkat Dasar,
Yogyakarta, 20-26 September
2006. (Tidak diterbitkan)
Monografi Desa Banjar anyar. 2009/
2010.
Desa Banjar anyar, Kecamatan
Banjarsari, Kabupaten Ciamis.
Permana, Cecep Eka. 1995.
Tata Ruang Masyarakat
Pendukung Budaya Megalitik:
Kasus Masyarakat Baduy dalam
Berkala Arkeologi Tahun XVEdisi Khusus. Yogyakarta: Balai
Arkeologi Yogyakarta. Hal. 74-77.
Prasodjo, Tjahjono. 2006.
Arkeologi Publik, makalah
pada Pelatihan Pengelolaan

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 50-68


Sumberdaya Arkeologi Tingkat
Dasar, Yogyakarta, 20-26 September
2006. (Tidak diterbitkan)
Prasodjo, Tjahjono. 2006b.
Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pengelolaan Sumberdaya
Arkeologi, makalah pada
Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya
Arkeologi Tingkat Dasar,
Yogyakarta, 20-26 September
2006. (Tidak diterbitkan)
Purwitasari, Tiwi. 2007.
Bale Bandung: Wujud Tradisi
Religi dalam Pengelolaan
Lingkungan dalam Agus Aris
Munandar (penyunting) Bhakta
Astiti. Bandung: Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia. Hal. 127-136.
Salim, Peter. 1991.
Advanced English-Indonesian
Dictionary. Jakarta: Modern
English Press.
Sudarti. 2006.
Laporan Hasil Penelitian
Arkeologi di Kecamatan
Banjarsari dan Sekitarnya,
Kabupaten Ciamis, Provinsi
Jawa Barat (tidak diterbitkan).
Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Tim Peneliti. 2010.
Aspek Kearifan Budaya dan
Lingkungannya di Situs
Parumasan Kec. Banjarsari,
Kab. Ciamis, Prov. Jawa Barat.
Laporan Hasil Penelitian. Bandung:
Balai Arkeologi Bandung (Tidak
Diterbitkan).
Senyum-ITB, 2009 Kearifan Lokal di
Hulu DAS Citanduy, dalam
http:www facebook.com note
php? note.id = 86528033415,
diakses 3 Januari 2011 pukul
14.30 WIB.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

69

Nilai-Nilai Yang Terkandung ... (Aam Masduki)

NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG


DALAM PUISI SISINDIRAN BAHASA SUNDA
DI KABUPATEN BANDUNG
Oleh Aam Masduki
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jl. Cinambo no. 136 Ujungberung-Bandung
Naskah diterima :31 Desember 2010

Naskahdisetujui : 21 Februari 2011

Abstrak
Sindiran adalah salah satu bentuk puisi Sunda lama yang terdiri atas sampiran
dan isi. Namun demikian kepuisiannya terbatas pada rima dan irama, bukan pada
diksi dan imajinasi seperti halnya puisi modern (sajak). Bahasanya mudah dipahami
seperti bahasa sehari-hari. Dalam sastra Indonesia bisa disebut pantun. Sisindiran
pantun merupakan puisi rakyat yang sangat digemari masyarakat. Sisindiran dapat
mengungkapkan atau mencerminkan perasaan, keadaan lingkungan, dan situasi
masyarakat desa, petani, dan lain sebagainya. Biasanya dituturkan dalam suasana
santai, berkelakar, berbincang-bincang, dan suasana formal, misalnya dalam upacara
adat perkawinan, melamar, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, sangat luwes,
mudah memasuki berbagai gendre sastra lainnya, seperti cerita pantun, wawacan,
novel, cerpen, novelet bahkan kadang-kadang muncul juga pada puisi modern. Dilihat
dari pembentukannya, kata sisindiran berasal dari bentuk dasar sindir sindir. Dengan
demikian sisindiran merupakan bentuk kata jadian yang diperoleh dengan cara
dwipurwa (pengulangan awal) disertai akhiran-an. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analisis yaitu seluruh data yang diperoleh dari lapangan dikumpulkan,
kemudian dianalisis dengan cara dikaji dan diklasifikasikan menurut struktur, isi, dan
fungsi yang dikandungnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Adanya
sisindiran dalam bentuk tertulis merupakan dokumentasi pengawetan karya sastra
agar tidak mengalami kepunahan, (2) Menunjang kemudahan untuk menyusun sejarah
sastra, serta pengembangan teori sastra, khususnya sastra lisan Sunda,.(3) Hasil
pendokumentasian ini akan sangat bermanfaat untuk perbendaharaan bahasa, sastra,
dan budaya daerah. Hasil akhir dari penelitian ini ungkapan-ungkapan dalam sisindiran
diharapkan menjadi bahan bacaan yang dapat menuntun generasi berikut ke jalan
kebaikan melalui ungkapan yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung
(menyindir).
Kata kunci: nilai-nilai, puisi, sisindiran, bahasa Sunda.
Abstract
Sisindiran is a type of old Sundanese poem. It consists of sampiran and
content. Sampiran is the first two rows that have nothing to do with the content
but functions as rhyme to the sentence of the content. Unlike modern poems,
2011

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

70

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 69-84

sisindiran is practically limited to rhyme and rhythm, excluding diction and


imagination. The language used in sisindiran is everyday and easy-tounderstand one. Indonesian literature call it pantun. As a pantun, sisindiran is
very popular amongst Sundanese people as it reflects feelings, village
environment (the peasants and the village itself). Sisindiran is usually used
either in formal and informal settings because it is very flexible, in terms of it is
easily fitted to other genres such as carita pantun, wawacan, novels, short
stories, even modern poems. Etymologically, sisindiran derives from the word
sindir that has been duplicated and suffixed. This research has conducted a
descriptive-analytical method. Data were collected then analysed by studying
and classifying the structure, content and function they contain. The purpose
of the research are: 1) to preserve literature arts by providing their written
documents, 2) to make it easier to arrange literature history and developing
theory of literature, especially for Sundanese oral literature, and 3) to enrich
the treasures of regional languages, literatures, and cultures. Hopefully, the
expressions used in sisindiran can be a guidance for young generations in
order to make them take the good path in their future lives, either directly or
indirectly (through allusions).
Keywords: values, poems, sisindiran, Sundanese language.
A. PENDAHULUAN

Sisindiran adalah salah satu bentuk


puisi Sunda lama yang terdiri atas
sampiran dan isi. Namun demikian
kepuisiannya terbatas pada rima dan
irama, bukan pada diksi dan imajininasi
seperti halnya puisi modern (sajak).
Bahasanya mudah dipahami seperti
bahasa sehari-hari. Dalam Sastra
Indonesia biasa disebut pantun. Sisindiran
pantun merupakan puisi rakyat yang
sangat digemari masyarakat di kalangan
anak-anak, remaja maupun orang tua.
Sisindiran dapat mengungkapkan atau
mencerminkan perasaan, keadaan
lingkungan, dan situasi masyarakat desa,
petani, pendidikan, dan sebagainya.
Biasanya dituturkan dalam situasi santai,
berkelakar, berbincang-bincang, dan
suasana formal, misalnya dalam upacara
adat perkawinan, melamar, dan
sebagainya. Itulah kemungkinan yang
menyebabkan genre sisindiran ini sangat
memasyarakat.

Dalam
perkembangannya
sisindiran sangat luwes mudah memasuki
berbagai gendre sastra lainnya, seperti
cerita pantun, wawacan, novel, cerpen,
novelet, bahkan kadang-kadang muncul
juga pada puisi modern. Kini sisindiran
tampaknya tidak mau ketinggalan, ia
dapat ditayangkan di televisi dan
materinya sangat menarik perhatian serta
diminati oleh masyarakat. Oleh karena itu
kiranya perlu dilakukan penelitian
terhadap fungsi sisindiran yang tersebar
di masyarakat, dan perlu dikumpulkan
untuk didokumentasikan.
Permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini berkaitan dengan struktur
fungsi dan isi sisindiran. Dari segi
strukturnya, sisindiran dibagi menjadi tiga
golongan yaitu: Paparikan, Rarakitan,
dan Wawangsalan. Sampiran dan isi
dalam paparikan mempunyai persamaan
bunyi yang berdekatan, misalnya:

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Nilai-Nilai Yang Terkandung ... (Aam Masduki)


Ari reundeu-reundeu hideung
Reundeu kayas kolentangan
Beuki heubeul beuki nineung
Lawas-lawas kaedanan
Maksudnya, makin lama makin rindu,
lama-lama bisa tergila-gila.
Adapun rarakitan bukan saja
persamaan bunyi namun ada kata-kata
yang disebut dalam sampiran diulang lagi
dalam isi misalnya :
Sapanjang jalan Soreang
Moal weleh diaspalan
Sapanjang tacan kasorang
Moal weleh diakalan
Maksudnya, selama belum tercapai tak
akan bosan diakali. Kata sapanjang dalam
sampiran diulang lagi pada isinya,
demikian pula kata moal weleh diulang
lagi pada larik isi, lain halnya dengan
wawangsalan, merupakan bentuk yang
agak berbeda yaitu pada baris pertama
mengandung teka-teki yang harus diterka,
pada baris kedua mengandung isi terkaan
yang dinyatakan dengan sebuah kata
yang mirip, misalnya:
Beulit cinggir simpay tangan
Ulah lali ka sim abdi (Ali)
Cingcin
Sisindiran merupakan salah satu
unsur kebudayaan daerah yang cukup
bernilai dan dapat memperkaya khasanah
budaya Indonesia umumnya dan budaya
daerah khususnya. Adapun tujuan yang
ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Adanya sisindiran dalam bentuk
tertulis merupakan dokumentasi
pengawetan karya sastra agar tidak
mengalami kepunahan.

2011

71

2. Menunjang kemudahan untuk


menyusun sejarah sastra, serta
pengembangan teori sastra,
khususnya sastra lisan Sunda.
3. Hasil pendokumentasian ini akan
sangat
bermanfaat
untuk
perbendaharaan bahasa, sastra, dan
budaya daerah.
4. Dapat dijadikan acuan dan bahan
penelitian yang lebih lanjut.
Dalam rangka melaksanakan
tujuan penelitian, maka ruang lingkup ini
akan dibatasi hanya mengenai hal-hal
yang menyangkut pada: nilai-nilai yang
terkandung dalam puisi sisindiran.
Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif analisis yaitu seluruh
data yang diperoleh dari lapangan
dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan
cara dikaji dan diklasifikasikan menurut
struktur, isi, dan fungsi yang
dikandungnya. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara pencatatan yaitu
setiap data yang didapat, ditulis dan
dikumpulkan kemudian diklasifikasikan
menurut golongan sisindiran.
B. HASIL DAN BAHASAN
1. Pengertian Sisindiran

Dalam naskah Sunda Kuno


Sanghyang Siksa Kandang Karesian
(Atja dan Saleh Danasasmita, 1981) yang
di tulis pada tahun 1518 Masehi,
Sisindiran merupakan bidang kawih,
yaitu salah satu jenis suara (vokal) dalam
kesenian Sunda.
Pengertian sisindiran sekarang
cenderung lebih banyak digunakan dalam
pembicaraan bidang sastra. Sisindiran
adalah sejenis puisi tradisional yang
terikat oleh beberapa persyaratan bentuk.
Dalam masa sekarang pun bisa dikatakan
bahwa sisindiran erat hubungannya

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

72
dengan seni kawih, serta dapat dibawakan
dalam bermacam-macam jenis kesenian
misalnya reog, calung, wayang golek.
Selain itu sisindiran sering digunakan untuk
bergurau.
Dilihat dari pembentukannya, kata
sisindiran berasal dari bentuk dasar sindir.
Dengan demikian sisindiran merupakan
bentuk kata jadian yang diperoleh dengan
cara dwipurwa (pengulangan awal)
disertai akhiran an. Berdasarkan arti kata
asalnya dapat diketahui pula bahwa yang
menjadi patokan sisindiran bukan hanya
bentuknya, melainkan isinya, yaitu berupa
sisindiran atau bersifat menyindir.
2. Klasifikasi Sisindiran

R.Satjadibrata(1945)
mengelompokkan sisindiran menjadi dua
macam bentuk yaitu : (1) Paparikan dan
(2) Wawangsalan. Adapun contoh dari
paparikan tersebut adalah sebagai
berikut:
Samping hideung dina bilik
Kain hitam pada dinding
kumaha dituhurkeunana
bagaimana dikeringkannya
kuring nineung ka nu balik
aku rindu pada dia yang pulang
kumaha dituturkeunana
bagaimana harus dibarenginya
Contoh Wawangsalan:
Teu beunang dihurang sawah
Tak bisa diudang sawah
teu beunang dipikameumeut
tak bisa disayangi
Perbedaan antara paparikan dan
wawangsalan terlihat pada kedua contoh
di atas. Satu bait (pada) paparikan terdiri
atas empat lirik yang terbagi atas dua
bagian, yaitu bagian sampiran dan bagian
isi, yang berturut-turut terdiri atas larik

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 69-84


ke-1 dan larik ke-2, dan larik ke-3 dan
larik ke-4, setiap larik terdiri atas empat
suku kata. Persajakan (purwakanti)
terdapat pada ujung larik secara bersilang.
Larik ke-1 bersajak dengan larik ke-3,
larik ke-2 bersajak dengan larik ke-4.
Satu bait wawangsalan hanya
terdiri atas dua larik, tetapi tetap terbagi
atas dua bagian, yaitu bagian sampiran
dan bagian isi. Persajakannya terdapat
pada ujung larik, namun tidak bisa
langsung terlihat maupun terdengar.
Persajakan baru terjadi bila wangsal
teka-teki pada larik ke-1 sudah
ditemukan. Usaha menemukan wangsal
itu harus memperhatikan larik isi atau larik
ke-2. Contoh : Teu beunang dihurang
sawah. Wangsal yang harus dicari ialah
hurang sawah udang sawah, udang
yang hidup di sawah yaitu simeut
belalang.
Ditemukannya wangsal itu karena
petunjuk dari larik ke-2 yang berbunyi teu
beunang dipikameumeut. Kata
dipikameumeut yang bersajak dengan
kata simeut merupakan kata kunci untuk
ditemukannya wawangsalan. Rincian
perbandingan antara paparikan dan
wawangsalan akhirnya menyimpulkan
bahwa unsur yang menjadi ciri utama
puisi sisindiran ialah adanya bagian
sampiran dan isi.
Menurut R.E. Bratakusumah dan
Mas Adinata (1979) memberikan
keterangan yang hampir sama.
Pengelompokan yang dibuatnya mengenai
puisi sisindiran pada dasarnya sama
dengan pengelompokan yang dibuat oleh
R. Satjadibrata, yaitu bahwa sisindiran
terbagi atas dua golongan besar yaitu :
(1) Wawangsalan dan (2) Paparikan.
Dengan demikian memperbandingkan
kedua pendapat mengenai pengelompokan
sisindiran itu, diketahui bahwa klasifikasi
R. Satjadibrata lebih terperinci.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

73

Nilai-Nilai Yang Terkandung ... (Aam Masduki)


3. Struktur Sisindiran

Puisi sisindiran terikat oleh


beberapa aturan bentuk, yaitu banyaknya
larik dalam setiap bait, banyaknya suku
kata dalam setiap larik, serta oleh
persajakan (purwakanti).
Paparikan
dan
rarakitan
menunjukkan bentuk yang hampir persis
sama. Setiap bait terdiri atas empat larik,
terbagi atas dua larik pertama sebagai
sampiran dan dua larik terakhir sebagai
isi. Setiap larik terdiri atas delapan suku
kata. Keempat larik tersebut bersajak
murwakanti sekurang-kurangnya pada
suku kata terakhir, serta bersilang, larik
ke-1 dengan larik ke-3, larik ke-2 dengan
larik ke-4. Misalnya pada paparikan
berikut :
Boga lima botol limun
Mempunyai lima botol limun
cangkirna dina rampadan
cangkirna dalam rampadan
jelema getol ngalamun
orang yang banyak menghayal
ahirna kurang saeundan
akhirnya pikirannya terganggu
Dalam paparikan tersebut terlihat
bahwa persajakan tidak hanya pada ujung
larik, melainkan juga terdapat di awal dan
di tengah larik. Satu bait wawangsalan
terdiri atas dua larik, larik kesatu
sampiran, larik kedua isi. Tiap larik terdiri
atas delapan suku kata. Seperti
wawangsalan berikut :
Cisusu kentel dimasak
Air susu kental dimasak
ulah tega-tega teuing
jangan sampai hati
Wangsal yang tersembunyi pada larik
sampiran adalah mentega. Bunyi kata
mentega itu berdekatan dengan kata
2011

tega-tega. Tega-tega merupakan kata


kunci serta menjadi isi wawangsalan.
a. Sisindiran

Perbedaan antara wawangsalan


dengan kedua jenis sisindiran; paparikan
dan rarakitan, tidak hanya berbeda
bentuknya, melainkan berbeda pula dalam
hal isinya. Wawangsalan lebih banyak
digunakan untuk mengungkapkan
curahan perasaan kasih sayang
(kerinduan), gelisah, kesetiaan, rasa
perasaan, harapan, bersedih, dan
sebagainya. Misalnya wawangsalan
berikut ini :
Belut sisit saba darat
Belut bersisik yang hidup di
darat : oray Ular
kapiraray siang wengi
terbayang-bayang siang dan
malam
Kecil kemungkinannya untuk digunakan
sebagai ekspresi kerinduan dua orang
sahabat apalagi berbeda jenis. Senandung
kerinduan seperti itu lebih sesuai untuk
sepasang remaja yang sedang memadu
kasih. Isi paparikan dan rarakitan lebih
beraneka ragam, pada garis besarnya
dapat digolongkan kedalam tiga kelompok
yaitu : (1) silih asih (berkasih-kasihan),
(2) piwuruk (nasihat), dan (3) sesebred
(lelucon).
b. Nilai-nilai dalam Puisi Sisindiran

Menurut kamus Besar Bahasa


Indonesia, nilai adalah konsep mengenai
masalah dasar yang sangat penting. Nilai
adalah sesuatu yang abstrak yang tidak
dapat dilihat secara nyata.
Nilai-nilai yang terkandung dalam
puisi sisindiran bahasa Sunda sangat
banyak, namun pada kesempatan ini
hanya sebagian yang dapat diuraikan. Hal

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 69-84

74
ini karena adanya pertimbangan dan
keterbatasan jumlah halaman yang
membatasinya. Adapun nilai-nilai tersebut
di antaranya adalah sebagai berikut :

Ngala lauk meunang selar


bungkusna daun angsana
sakur mahluk nu gumelar
dirahmat ku nu Kawasa

1) Nilai Pendidikan

Hurang leuwi cicing deui


dina sumur kasaatan
beurang deui peuting deui
tetela umur ngorotan

Samping kageutahan dukuh


dikelab di kacaikeun
nu matak maneh sing kukuh
papatah geura imankeun
Pulas batis encit muntah
meulina ti anu kumed
reungeukeun kami papatah
ulah resep ceceremed
Memeh ngagolerkeun kasur
samak heula ambeh rineh
memeh nyaritakeun batur
tilik heula awak maneh
Pikasureun dijarumat
jarumna harga sasen
saluhureun kudu hormat
sasama kudu ajenan
Mawa peti dina sundung
dibawa ka nusa Jawa
pangarti teu beurat nanggung
kabisa teu beurat mawa
Mawa peti dina sundung
ditumpangan ku karanjang
pangarti teu beurat nanggung
tapi manfaatna manjang
Jiga naon lauk enun
matak jadi kaheranan
mun maneh cucud jeung junun
insya Allah tinekanan

Angeun hurang sapariuk


bawangna ngan dua sihung
ulah mungpang kapiwuruk
bisi ahirna kaduhung
Hayang iwung los ka Bandung
rek ngasah los ka Sumedang
hayang bingung geura nyandung
rek susah sing boga hutang
Mun haur cukang tiguling
tangtu hese nungtun munding
mun campur jeung tukang maling
tangtu maneh milu maling
Mawa kisa jeung bakatul
hanggasa ngarora keneh
moal bisa ngurus batur
mun teu bisa ngurus maneh
Kiripik dihakan jangkrik
dina samak buatan Jogya
lamun teu apik teu rikrik
alamat taya kaboga
Limun dicampur ciatah
bangkarak bungkus papais
geura mun nurut papatah
awak maneh tangtu luis

Lauk emas ngakan ganggeng


disamberan ku japati
boga emas moal langgeng
teu cara boga pangarti
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

75

Nilai-Nilai Yang Terkandung ... (Aam Masduki)


2)

Nilai Agama
Nu ngaliwet dina dulang
disuluhan ku palapah
saha nu resep tutulung
meunang ganjaran ti Allah
Meuli wajit jeung jawadah
dipake hajat kiparat
masing rajin nya ibadah
ngalap ganjaran aherat
Sorabi make cipati
didahar seep sawadah
nya rabi titipan gusti
dikadar kuat ibadah
Ninyuh ubar ku cipati
diwadahan piring gelas
anu sobar tea pasti
ku Allah dipikawelas
Sing getol nginum jajamu
ambeh jadi kuat urat
sing getol neangan elmu
guna dunya jeung aherat
Bubur waluh dina panci
diawuran ku candana
Gusti anu Maha Suci
Henteu samar ka umatna
Jajambaran bubur lemu
kelewih picung diruang
untung jalma loba elmu
leuwih ti beunghar ku uang
Camcauh kahalodoan
jadina handapeun nangka
ari mungguh kabodoan
nungtunna kana doraka
Meuli limun meuli soldah
meuli baligo jeung huni
mun ayeuna teu ibadah
ngadagoan naon deui

2011

Batok golerkeun di dapur


eusikeun parab merina
nu sok ngagorengkeun batur
nembongkeun cacad dirina
Mawa ragi ka Cilutung
tikukur ngudag saeran
boh rugi atawa untung
kudu sukur ka Pangeran
Kored parang lain timah
ulah dikanabatukeun
naon nu kurang teu ngeunah
ulah sok dikabaturkeun
Sarangka dina talupuh
pesona mah dina pager
ulah sok nyangka teu puguh
mun maneh teu nyaho bener
Kacapiring kembang jambe
ekek paeh dinu lenang
tandaning jalma nu hade
daek eleh sungkan meunang
Kembang pala kembang kadu
ditiiran ku panitih
kapala nu resep ngadu
nyarek maen moal matih
Kembang beukah dina nyiru
baruyeng ku haranghangsu
mangpaatna ku berkah guru
mayeng upama cinyusu
Kembang cangkudu bareukah
diteundeun di tengah imah
hirup kudu amal sidkoh
masing tulung kanu pupus
Daun solasih ngareluk
diseumat ku awi beulah
nu asih ka pada mahluk
dirahmat ku Gusti Allah

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 69-84

76
Morontod pelak solasih
daunna dipake ubar
ulah sok kaburu asih
teu aya batan nu sabar

Kembang puring dipipitan


kembang saga na panglari
ayeuna kuring pamitan
sugan jaga tepang deui

Tangkal hanggasa di sawah


buahna kabeh galede
sagala keresa Allah
eta kabeh oge hade

Melak solasih di pasir


ngarambat kana kadaka
kajeun teu kawin di lahir
supaya dikawin jaga

3) Nilai Berkasih-kasihan
Pileuleuyan daun pulus
kararas cau manggala
pileuleuyan tungtung imut
lamun welas kuring bawa
Kasur jangkung bantal panjang
nya bogo di kacaikeun
anu jangkung kuring melang
nya bogoh urang jadikeun
Sukur-sukur disundungan
kuring mah nyair ka leuwi
sukur-sukur dipundungan
kuring mah rek nyiar deui
Kuring mah alim ka Bandung
hayang ka Sumedang bae
kuring mah alim dicandung
hayang ku sorangan bae
Baju tablo dibulao
kembangna katuncar mawur
ari bogoh ti bareto
terang-terang tos ku batur
Ngaput baju kurang benang
gantian ku kanteh bae
mun panuju geura teang
kuring mah rek daek bae
Ngimpi ngajul kembang tanjung
ngimpi ngala naga sari
ngimpi tepung jeung si jangkung
tara-tara ti sasari

Ngala suluh ka Cililin


acan kakejo parena
ulah rusuh ngajak kawin
acan ketenjo hadena
Ngala pangpung meunang ruyung
ngala regang ka lebak
gering nangtung ngalanglayung
lantaran kaleleban
Ngala suluh ka Cicurug
ngala regang ka Ciheulang
najan jauh kuring jugjug
najan anggang kuring teang
Cileuncang cai cileuncang
cileuncang dipake ngarih
isukan kuring rek leumpang
pageto moal papanggih
Cai ngumplang dina dulang
keuyeup nyarangkaan maneh
hayu akang urang mulang
di dieu nyangsara maneh
Ngala bogo ka sagara
ngala penyu ka basisir
nya bogoh ulah katara
neundeun semu dina pikir
Beunteur beureum bodas beuteung
paray naek katampian
anu heubeul geura piceun
kuring daek ngagantian

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

77

Nilai-Nilai Yang Terkandung ... (Aam Masduki)


Lauk cucut lauk emas
disair ku lambit jaring
matak lucu matak waas
matak nyuat ati kuring

Manuk ciung dikempisan


rambutan aratah keneh
dicium kunu kumisan
sabulan karasa keneh

Mubuy bulan nyangray bentang


panon poe disasate
unggal bulan kuring teang
unggal poe bisi cape
Panonpoe dengdek ngaler
kahalangan daun cau
hate teu daek paler
inget bae ka nu lucu
Panas poe panyacaran
lain panas kahuruan
panas soteh panasaran
lain panas timburuan

Isuk katung sore katung


kantungna siga popongkol
isuk nangtung sore nangtung
sarungna hiji ge dobol
Baju katung kancing katung
hoream ngajaranana
nyiar untung nyiar hutang
hoream mayaranana
Turub cupu buli-buli
dipake wadah hanggasa
daek sukur teu paduli
kami ge da moal maksa

Santiong astana Cina


opor meri dina piring
ngabohong kabina-bina
nganyenyeri diri kuring
Sakoteng dagangan Cina
diwadahan pisin cangkir
nu hideung santen lucu kacida
matak ngait kana pikir
Baju tablo dibulao
cing atuh pangistrikakeun
ari bogoh tibareto
cing atuh pangnyaritakeun
Batur mah baju kimono
puring mah dikaparakeun
batur mah dipikasono
kuring mah disapirakeun
Leumeung teundeut cocongoan
jalanna ka Rajagaluh
meungpeung deukeut sosonoan
jaga mah urang pajauh

2011

4 ) Nilai Lelucon Menyindir (Sesebred)

Pipiti dikurah-karih
tetenong dibobokoan
lalaki jaman kiwari
hade omong pangoloan
Nu ngaliwat bau bawang
sampingna bau tarasi
kanu ngaliwat kuring hayang
mun seug teu boga salaki
Tarik angin ngadalingding
ninggang kana pare beukah
ditarik kawin ngaligincing
teu bogaeun keur ipekah
Hapeuk-hapeuk gula tiwu
leeh soteh kahujanan
aceuk-aceuk kuring milu
leweh soteh kaedanan
Montong sok hayang surundeng
kalapa di Bandung keneh
montong sok hayang ka ronggeng
balanjar ti indung keneh

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 69-84

78
Piring katuruban sendok
ngawadahan rujak huni
kuring ge baheula denok
ayeuna mah nini-nini

Majar teh cau lampeneng


cau kepok dina nyiru
majar teh lampanyat koneng
geuning nya dekok nya gembru

Boboko ragrag ti para


ninggang kana pileuiteun
tong bogoh kanu ngumbara
ari balik sok leungiteun

Cau raja seuseuhangna


neangan kujang kadekeun
aya randa leuleumpangan
neangan bujang daekeun

Nganyam teu bisa ngalepe


bisa ngabayongbong bae
daek ngajang embung mere
bisa ngadu omong bae

Ecet-ecet dina kadu


dikeprakan ku barangbang
kasep ge da tukang ngadu
ari balik ditaranjang

Melak danas dina gombong


sahiji di kacaikeun
ari panas geura ngomong
pasini geura jadikeun

Peupeuyeuman-peupeuyeuman
diragian ge teu amis
peupeureuman-peupeureuman
diponian ge teu geulis

Melak kacang dilanjaran


melak jagong diterongan
eukeur hayang didatangan
eukeur bogoh ditembongan

Peuyeum nangka-peuyeun nangka


peuyeum sampeu dipotongan
meureun suka-meureun suka
da deukeut jeung popotongan

Melak kacang dina batu


ditanggeuhan kele kosong
anu nganjang geus ngabaku
diteang dompetna kosong

Panyana enya muncang


singhoreng tangkal bintinu
panyana enya bujang
horeng geus incuan tilu

Cau kepok cau raja


cau lampeneng karoneng
alus repok gede bagja
ngiringkeun nu pendek koneng

Kaduhung kadongdong cina


nyiuk cai ku elekan
kaduhung kabina-bina
nyebut nyai didelekan

Cau kulutuk ditanggung


cau manggala dirujak
kulutus hayang nyandung
dicarek ku indung budak

Kasedep ngarujak pakel


diwadahan piring batu
seselendep nongton ogel
panyana teh neangan incu

Rarasaan melak cau


teu nyaho mun melak jahe
rarasaan asa lucu
teu nyaho mun matak rehe

Kacapiring dina kajang


diteundeun dina kaliki
kuring baheula mah bujang
ayeuna aki-aki

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

79

Nilai-Nilai Yang Terkandung ... (Aam Masduki)


Kacapiring-kacapiring
si lutung luncat ka tungtung
bujang ginding-bujang ginding
ari udud mulung kuntung

Melak saledri teu jadi


kaburu ku bongborosan
rek jadi santri teu jadi
kaburu ku bobogohan

Hiliwir sengit malati


seungit minyak dina kompor
hiliwir seungit lalaki
seungit menak jol ti kantor

Hanjakal ku handarusa
buntiris daunna kandel
hanjakal ku hade rupa
geulis teu bisa nyambel

Aya kawung sisi lembur


ditinggur ku dadap ngora
bujang guyur salelembur
marebutkeun randa ngora

Hayam jalak hayam kondang


pais endog atah keneh
teu diajak teu diondang
ka dieu mantog ku maneh

Daun endag angin malik


dikebut ku saputangan
ngudag-ngudag lain milik
tungtungna era sorangan

Kini-kini dina galeng


rek katincak ku tikukur
nini-nini hulang huleng
rek diwedak euweuh pupur

Abong-abong daun lompong


daun cabe dikebutkeun
abong-abong kanu ompong
datang cape dibaeudan

Hujan deui-hujan deui


hujan ngarincik ngagebret
bujang deui bujang deui
bujang nya licik nya kopet

kanyere di pasir pari


tangkal kujang diamalan
awewe jaman kiwari
unggal bujang dilayanan

Asa kadu-asa kadu


susu belut reujeung jambal
asa payu-asa payu
susu rayud buuk gimbal

Ku naon kanyere semplak


mana semplak ku tiwuan
ku naon awewe nyentak
mana nyentak timburuan
Manuk ciung dikempisan
rambutan aratah keneh
dicium kunu kumisan
sabulan karasa keneh
Daringding kacang gumading
isukan di ka caikeun
ginding ge da meunang maling
isukan di kabuikeun

2011

Sejarah mencatat bahwa


masyarakat dan kebudayaan suku-suku
bangsa di Nusantara telah banyak
melahirkan para pujangga, karya-karya
tulis mereka banyak yang pengaruhnya
cukup besar dan bernilai tinggi. Hal
demikian, tentu termasuk pula di dalam
masyarakat dan kebudayaan Sunda. Para
pujangga atau sastrawan Sunda telah
muncul sejak berabad-abad yang lampau
seiring dengan perjalanan sejarah dan
perkembangan jaman. Sesuai dengan
pergantian jaman dan pergantian
generasi, maka para sastrawan Sunda
pun berganti-ganti generasi dan masing-

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

80
masing berasal dari dan dipengaruhi oleh
tiap-tiap jaman dan sosial budaya
setempat dan waktu mereka dibesarkan.
Pada umumnya karya-karya sastra
para pujangga lama hingga kini masih
tetap diagungkan, karena selain
mengandung kekayaan rohani,
perbendaharaan pikiran, dan cita-cita
nenek moyang yang luhur. Salah satu
karya-karya para pujangga tersebut yang
kini masih digemari dan dirasakan
keberadaannya yaitu puisi sisindiran
bahasa Sunda.
Sastra menampilkan gambaran
kehidupan yang mencakup hubungan
antara masyarakat, antara masyarakat
dengan seseorang, dan antarmanusia;
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
batin seseorang, yang sering menjadi
bahan sastra adalah pantulan hubungan
seseorang dengan orang lain atau dengan
masyarakat (Sapardi, 1978:1). Karya
sastra klasik dengan demikian dapat
dijadikan bahan untuk merekontruksi
tatanan masyarakat, pola-pola hubungan
sosial, aspirasi-aspirasi, sistem nilai
budaya yang didukung oleh masyarakat
dimana karya sastra itu lahir, serta situasi
yang berlangsung pada waktu itu.
Dengan kata lain, karya-karya sastra
lama dapat dijadikan sebagai sumber
informasi untuk mengetahui dan
memahami zaman yang telah lampau.
Mengkaji suatu karya sastra
dengan tujuan untuk memahami keadaan
masyarakat tidak cukup hanya dengan
menelaah karya sastra itu dari segi filologi
atau kritik teks saja, tetapi perlu juga
pendekatan litere antara lain melalui
struktur yang akan jelas menampilkan
pokok pikiran di seluruh cerita dan bagianbagiannya sampai yang paling kecil.
Dengan demikian akan muncul fungsi
cerita itu, karena tiap teks atau cerita
dilahirkan guna memenuhi suatu fungsi
(Sulastin, 1979 : 62).

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 69-84


Atas dasar hal tersebut di atas,
maka dapat dikatakan bahwa fungsi puisi
sisindiran dalam suatu masyarakat adalah
sebagai berikut :
a) Sebagai pengendali tingkah laku
anggota-anggota masyarakat agar
mereka patuh dan taat pada kaidahkaidah, norma-norma, atau aturanaturan yang telah ada dalam
masyarakat. Atau dapat pula
dikatakan sebagai fungsi untuk
mengarahkan tingkah laku anggotaanggota masyarakat agar tidak
menyimpang dari ketentuanketentuan yang ada dalam kehidupan
masyarakat.
b) Sebagai suatu sistem dan cara untuk
mempertahankan kelangsungan hidup
dan eksistensi masyarakat secara
keseluruhan dan untuk meneruskan
adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan,
kepercayaan-kepercayaan, dan
larangan-larangan atau pantanganpantangan yang sudah ada dalam
masyarakat dari generasi ke generasi
berikutnya.
c) Berfungsi sebagai pengatur,
pengendali, dan pengawasan, agar
dapat diciptakan kehidupan
masyarakat yang serasi, selaras dan
seimbang untuk mewujudkan
ketertiban, ketentraman, dan
kesejahteraan seperti yang diinginkan
bersama oleh anggota suatu
masyarakat.
d) Sebagai alat untuk memperkokoh
struktur dan integritas masyarakat
secara
keseluruhan
dalam
menciptakan persatuan dan kesatuan
antara warga suatu masyarakat.
e) Berfungsi untuk menumbuhkan
perasaan cinta akan lingkungan dan
keinginan untuk melestarikan
lingkungan hidup dimana anggota
masyarakat bertempat tinggal.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

81

Nilai-Nilai Yang Terkandung ... (Aam Masduki)


Jika dilihat dari fungsinya, puisi
sisindiran memiliki fungsi sebagai
pengaturan tingkah laku anggota-anggota
masyarakat atau sebagai pedoman yang
seharusnya digunakan oleh warga
masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan hidupnya untuk menciptakan
suasana kehidupan masyarakat yang
tertib, aman dan sejahtera.
Sikap hidup beragama orang Sunda
tercermin dalam intensitas hubungan
manusia dengan Tuhan Yang Mahaesa.
Orang Sunda percaya bahwa segala
sesuatu yang terjadi pada manusia sudah
ditentukan oleh Tuhan Yang Mahaesa,
seperti terungkap dalam bait puisi
sisindiran berikut ini:
Meuli limun meuli soldah
Beli limun beli soldah
meuli baligo jeung hui
beli baligo dan hui
mun teu ayeuna teu ibadah
kalau sekarang tidak beribadah
ngadagoan naon deui
menunggu apa lagi
Colok-colok daun ilat
Colok-colok daun ilat
dieunteupan manuk kahkeh
dihinggapi burung kahkeh
geus kolot sing getol solat
sudah tua harus rajin sholat
kudu inget bakal paeh
harus ingat akan mati
Meuli wajit jeung jawadah
Beli wajit dan jawadah
dipake hajat kiparat
dipakai hajat kiparat
masing rajin nya ibadah
harus rajin beribadah
ngalap ganjaran aherat
untuk bekal di ahirat

2011

Mawa ragi ka Cilutung


Membawa ragi ke Cilutung
tikukur ngudag saeran
tekukur mengejar saeran
boh rugi atawa untung
mendapat untung atau rugi
kudu sukur ka Pangeran
harus bersyukur pada Tuhan
Simeut disamber saeran
Belalang disambar saeran
dibawa kana pisitan
dibawa kepada pisitan
nu teu nyembah ka Pangeran
yang tidak menyembah Tuhan
pasti jadi balad setan
pasti jadi balad setan
Agama memberikan tuntunan
kepada manusia, baik mengenai
kehidupan di dunia maupun kehidupan di
akhirat. Oleh karena itu ajaran agama
memilki dua aspek, yaitu ajaran yang
mengharuskan manusia hidup baik di
dunia ini dan untuk mencapai kehidupan
yang baik di akhirat kelak. Dengan
demikian agama mengajarkan tentang
hubungan antara sesama dan tentang
hubungan manusia dengan Tuhan Yang
Mahaesa. Adapun ajaran yang utama
ialah agar manusia melaksanakan
perintah-perintahnya dan menjauhi
larangan-larangannya.
Pandangan hidup orang Sunda
tentang hubungan manusia dengan
masyarakat menampilkan nilai-nilai dalam
wujud kaidah-kaidah sosial; di dalamnya
terletak keyakinan orang Sunda atas apa
yang baik dan buruk, yang benar dan yang
salah. Dalam kehidupan sehari-hari
kaidah sosial tampil dalam bentuk suruhan
atau keharusan, larangan atau celaan,
anjuran dan pujian. Demikian pula di
dalam perilaku seseorang, kata kudu
(harus) menunjukkan suruhan atau

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 69-84

82
keharusan, kata ulah (jangan)
menunjukkan larangan. Tiap-tiap kata itu
di dalam ujaran dipakai baik secara berdiri
sendiri maupun secara berpasangan
dengan kata-kata lain yang menunjukkan
pada akibat yang akan menimpa itu
tersimpul dalam kata-kata yang
mengandung ancaman, hukuman, semua
ini ditunjukkan oleh kata-kata ngarah
(supaya), matak (nanti akan) dan bisi
(kalau-kalau), seperti tersirat dalam katakata yang terdapat dalam puisi sisindiran
berikut ini :
Urang desa gunung bohong
Orang desa gunung bohong
resepna kana tarumpah
menyukai pada terumpah
poma pisan ulah bohong
jangan suka berbohong
sagala ning laku lampah
dalam setiap perbuatan
Kamana nya pelesiran
Kemana berjalan-jalan
ka ditu ka parapatan
ke sana ke perempatan
lampah nu goreng singkiran
perbuatan yang jelek jauhi
lampah nu hade turutan
perbuatan yang baik harus ditiru

saha nu goreng ka kolot


siapa yang memusuhi orang tua
eunggeus tinangtu doraka
pasti durhaka
Ketentraman hidup tampaknya
merupakan motif utama dalam hidup
bermasyarakat menurut pandangan hidup
orang Sunda. Orang Sunda tidak suka
konflik, karena konflik akan menimbulkan
keonaran dalam bermasyarakat, sehingga
ketentraman bisa terganggu. Supaya
hidup tenteram, maka dalam pergaulan
orang harus bertindak hati-hati, harus
waspada. Sejak bayi, sekalipun secara
simbolis kehati-hatian itu sudah
ditanamkan. Dari adat-istiadat kita
dapatkan sejumlah ujaran seperti ini :
jangan sembarang berkata, jangan
sembarang mencium bebauan, jangan
sembarang melihat, jangan sembarang
masuk, dan lain sebagainya. Ada
hubungan yang erat antara keselamatan
orang seorang dengan ketentraman
masyarakat. Dalam masyarakat yang
tentram, keselamatan orang seseorang
tentu akan lebih terjamin daripada di
dalam masyarakat yang penuh
perpecahan dan kekacauan.
C. PENUTUP

Manuk ekek leuwih aneh


Burung ekek lebih aneh
nerekel naek ka luhur
memanjat ke atas
mending oge nyarek maneh
lebih baik menahan diri
batan dicarekan batur
dari pada dimarahi orang lain
Tonggeret di jalan belot
Tonggeret di jalan berbelot
eunteup dina tangkal nangka
hinggap pada pohon nangka

Berdasarkan uraian-uraian dalam


bab-bab terdahulu yang berisi latar
belakang masalah, permasalahan, tujuan
penelitian, ruang lingkup penelitian,
pengertian sisindiran dan lain sebagainya
dapat dikemukakan secara umum bahwa
sisindiran sekarang lebih banyak
digunakan dalam pembicaraan bidang
sastra. Bila dilihat dari pembentukannya,
sisindiran berasal dari bentuk dasar sindir.
Dengan demikian sisindiran merupakan
bentuk kata jadian yang diperoleh dengan
cara dwipurwa (pengulangan awal)
disertai akhiran-an.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Nilai-Nilai Yang Terkandung ... (Aam Masduki)


Berdasarkan arti kata asalnya
dapat diketahui pula bahwa yang menjadi
patokan sisindiran bukan hanya
bentuknya, melainkan juga isinya, yaitu
berupa sindiran atau bersifat menyindir.
Dari pembentukan kata tersebut bahwa
yang dimaksud dengan kata sindir yaitu
ungkapan atau kata-kata dengan cara
perkataan secara tidak langsung. Artinya
perkataan-perkataan diharapkan sampai
kepada seseorang dengan cara halus,
sehingga orang yang dimaksud atau yang
dituju tidak merasa tersinggung atau
merasa sakit hati.
Dalam kenyataan sehari-hari yang
kita alami, kita mengetahui bahwa
masyarakat itu terdiri atas kelompokkelompok individu yang menjadi anggota
masyarakat tersebut dan hidup dalam
lingkungan tertentu, menunjukkan
kesatuan, memiliki kebiasaan-kebiasaan
tertentu. Dengan demikian masyarakat
merupakan bentuk pengelompokan
individu manusia yang menunjukkan
aktivitas bersama yang tampak dalam
interaksi di antara anggota-anggota
dimana kebutuhan-kebutuhan individu
anggota masyarakat hanya dapat dipenuhi
dengan jalan berinteraksi satu sama lain.
Sisindiran tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat (Sunda), bahasanya
mudah dipahami seperti bahasa seharihari. Dalam sastra Indonesia sisindiran
disebut pantun merupakan puisi rakyat
yang sangat digemari masyarakat di
kalangan anak-anak, remaja maupun
orang
tua.
Sisindiran
dapat
mengungkapkan atau mencerminkan
perasaan, keadaan lingkungan, dan situasi
masyarakat desa, petani, pendidik, dan lain
sebagainya. Itulah yang menyebabkan
genre sisindiran ini sangat memasyarakat.

2011

83

Dalam masa sekarang pun dapat


dikatakan bahwa sisindiran erat
hubungannya dengan seni kawih, serta
dapat dibawakan dalam bermacammacam jenis kesenian misalnya wayang
golek, calung, reog, upacara pernikahan,
di samping itu sering digunakan untuk
bergurau.
Dilihat dari fungsinya, maka
sisindiran berfungsi sebagai pengendali
tingkah laku anggota-anggota masyarakat
agar mereka patuh dan taat pada kaidahkaidah, norma-norma, atau aturan-aturan
yang telah ada dalam masyarakat. Atau
dapat pula dikatakan sebagai fungsi untuk
mengarahkan tingkah laku anggotaanggota masyarakat, agar tidak
menyimpang dari ketentuan-ketentuan
yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Melalui puisi sisindiran, diharapkan
akan mengetahui dan memahami antara
yang salah dan yang benar, serta
menguntungkan dan merugikan bagi
dirinya. Ungkapan-ungkapan dalam
sisindiran diharapkan menjadi bahan
bacaan yang dapat menuntun generasi
berikut ke jalan kebaikan melalui
ungkapan yang disampaikan secara
langsung atau tidak langsung (menyindir).
Norma dan nilai yang digali dari
puisi sisindiran yang masih relevan
dengan situasi dan kondisi masyarakat
sekarang perlu disebarluaskan ke
kalangan masyarakat luas, melalui
penerbitan dan media komunikasi lainnya,
agar mereka memiliki acuan atau
pedoman hidup yang berakar dari budaya
sendiri yang pada gilirannya acuan
tersebut akan berfungsi sebagai saringan
(filter) dalam menerima pengaruh budaya
asing.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

84
DAFTAR PUSTAKA

Atja dan Saleh Danasasmita 1981.


Sanghiyang Siksa Kandang
Karesian. Bandung: Proyek
Pengembangan Permuseuman.
Ekadjati, Edi S. Dkk. 1983.
Wawacan Carios Munada.
Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional
Bagian Proyek Penelitian dan
Kebudayaan Nusantara.

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 69-84


Rosidi, Ajip. 1970.
Carita
Mundinglaya
Di
Kusumah. Bandung : Proyek
Penelitian Pantun.
Sutrisno, Sulastin 1981.
Relevansi Filologi. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990
Jakarta: Balai Pustaka.
LBSS. 1975.
Kamus Umum Basa Sunda.
Bandung: Penerbit Tarate.

RE dan Mas Adinata, Bratakusumah.1979.


Sisindiran. Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Bacaan dan
Sastra Indonesia dan Daerah.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

85

Kesultanan Cirebon Abad 15-18 (Herry Wiryono)

KESULTANAN CIREBON ABAD 15-18


Oleh Herry Wiryono
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jalan Cinambo No. 136, Ujungberung Bandung
Naskah diterima: 3 Januari 2011

Naskah disetujui :21 Februari 2011

Abstrak
Penulisan sejarah keraton Cirebon ini bertujuan memberi interpretasi
bagaimana Kesultanan Cirebon memelihara stabilitas dan kedaulatan dalam periode
abad 15-18. Di samping itu, tulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
informasi tambahan mengenai sejarah Cirebon. Metode yang digunakan dalam
pengungkapan sejarah Kesultanan Cirebon ini menggunakan metode sejarah yaitu
heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Memasuki abad ke-17 hingga abad
ke-18, masa kejayaan dan kewibawaan Kesultanan Cirebon yang dibangun oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sejak abad 15 menjadi pudar dan
mengalami degradasi hingga terpecah-pecah menjadi dalam beberapa pusat
kekuasaan. Perpecahan terjadi akibat masing-masing keturunan saling berebut
kepentingan. Keterpurukan Kesultanan Cirebon semakin nyata, setelah tiga kekuatan
besar yaitu Mataram, Banten dan VOC ingin menjadikan Cirebon berada di bawah
kekuasaannya. Sejak awal abad ke-19, Kesultanan Cirebon sudah tidak ada lagi.
Wilayah Cirebon sudah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Belanda, serta para
sultannya dijadikan pegawai pemerintah kolonial Belanda.
Kata kunci: kesultanan, Cirebon, konflik.
Abstract
This paper tries to interpret how the Sultanate of Cirebon maintained its
stability and independency during the 15th18th centuries. Hopefully, this study
can be an additional information concerning the history of Cirebon. History
methods such as heuristics, critique, interpretation and historiography were
conducted for this study. By the 17th-18th centuries the Cirebon Sultanate that
was built by Sunan Gunung Jati in 15th century, almost had lost its glory and
fell into pieces due to conflict of interest amongst the aristocrats. It was even
worse when three great powers (Mataram, Banten, and VOC) made Cirebon
their vassal. The Sultanate of Cirebon finally disappeared in the 19th century.
Cirebon had become part of the Dutch and the sultans became servants to the
Dutch colonial government.
Keywords: sultanate, Cirebon, conflict.

2011

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

86

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 85-100

A. PENDAHULUAN

Sejarah mengungkapkan bahwa di


Indonesia pernah berdiri beberapa
kerajaan yang berjaya, salah satunya
adalah di Cirebon. Bahkan hingga kini
kharisma keraton masih berkibar, terlebih
pada masyarakat di daerah Cirebon.
Berdirinya keraton di Cirebon
banyak menyimpan kisah yang panjang,
melintasi kurun waktu beberapa abad
lamanya. Sebagai sebuah pemerintahan
tradisional yang besar dengan wilayah
kekuasaan yang luas, kerajaan Cirebon
berawal dari abad ke-14. Berdasarkan
manuskrip Purwaka Caruban Nagari,
pada abad ke-14 datanglah seorang
ulama dari Campa bernama Syekh Quro
(Syekh Hasanudin) ke Pelabuhan
Amparan Jati (sekarang daerah Gunung
Jati) di Cirebon.
Pelabuhan Amparan Jati semakin
lama semakin besar dan pemukiman
penduduk semakin maju. Perkembangan
agama Islam di daerah ini semakin
berkembang apalagi dengan didirikannya
sebuah pesantren. Ketenaran pesantren
Syekh Hasanudin mendorong Sri Baduga
untuk memeriksa pesantren ini. Pada
saat melakukan inspeksi tersebut, Sri
Baduga tertarik pada salah seorang santri,
yaitu
Nyai Subanglarang dan
mempersunting menjadi permaisurinya.
Hasil perkawinan Sri Baduga dan
Subanglarang dikaruniai tiga orang putra
yaitu Pangeran Walangsungsang, Ratu
Larasantang, dan Kian Santang. Setelah
ibunya wafat, Pangeran Walangsungsang
dan Ratu Larasantang memutuskan
untuk memperdalam agama Islam.
Setelah selesai memperdalam agama
Islam, Pangeran Walansungsang
diperintah untuk mendirikan pedukuhan
di daerah Lemah Wungkuk. Pedukuhan
ini berkembang dan semakin ramai,

kemudian diberi nama Tjaruban.


Pangeran Walangsungsang pun diangkat
menjadi kuwu dengan gelar Ki Gedeng
Alang-Alang (Ekadjati, 1991:10)
Pangeran
Walangsungsang
mempersunting seorang gadis bernama
Nyai Indang Geulis menjadi istrinya,
ketika sedang menjalankan ibadah haji di
Mekah. Setelah selesai menunaikan
ibadah haji, Pangeran Walangsungsang
dan istrinya kembali ke tanah air.
Karena sudah beristri, Pangeran
Walansungsang memutuskan untuk
membangun sebuah pesanggrahan dekat
Sungai Kriyan, pesanggrahan tersebut
diberi nama Pesanggrahan Pakungwati.
Pada tahun 1452, pesanggrahan itu
diperluas dan menjadi sebuah keraton,
dengan nama Keraton Pakungwati.
Sejak berdirinya
Keraton
Pakungwati dengan Rajanya Syarif
Hidayatullah yang memperistri Ratu
Ayu Pakungwati putri Pangeran
Walangsungsang, daerah Cirebon
berkembang dengan sangat pesat.
Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu
persinggahan kapal dagang baik dari
kerajaan yang ada di walayah Nusantara
seperti Banten, Aceh, Maluku, maupun
dari luar negeri seperti Cina dan Eropa.
Melihat aneka-ragam barangbarang komoditi eskpor dan impor dari
dan ke Cirebon dengan kuantitas yang
cukup besar dan frekuensi yang cukup
tinggi, memberikan indikasi bahwa
Cirebon merupakan kota pelabuhan yang
besar dan ramai. Kondisi semacam ini
dapat terbentuk bila ditopang oleh adanya
sistem pemerintahan yang teratur, kuat,
dan stabil. Selain itu, kondisi semacam ini
didukung oleh infrastruktur yakni
penduduk yang relatif banyak dengan
tingkat keahlian yang heterogen.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kesultanan Cirebon Abad 15-18 (Herry Wiryono)


Menurut sumber tradisi, pada
waktu itu wilayah Cirebon meliputi
daerah Singapura dan Amparan Jati di
sebelah utara Cirebon, dimana terdapat
pelabuhan Muhara Jati, Japura dan Losari
di pesisir timur Cirebon. Susuhunan Jati
(1470) dengan dukungan kaum muslimin
setempat dan Sultan Demak, membangun
kekuasaan sendiri di Cirebon dan
melepaskan diri dari Kerajaan Sunda (Edi
S. Ekadjati, 1990:12). Saat itu, wilayah
kekuasaan Kerajaan Cirebon meliputi
daerah selatan menguasai Luragung,
Kuningan, Talaga, dan Galuh. Ke arah
barat daya, menguasai Sindang Kasih
(Majalengka sekarang), Sumedang
Larang, dan Tatar Ukur (Bandung dan
sekitarnya). Ke arah barat menguasai
daerah Dermayu, Krawang, Banten,
Kalapa, Sagalaherang, dan Cibalagung
(Atja, 1986:152 dan 189).
Kejayaan Keraton Pakungwati
berlangsung sampai pertengahan abad
ke-17, pada masa pemerintahan
Panembahan Pakungwati II (1649-1662)
raja kelima setelah Sultan Syarif
Hidayatullah. Setelah Panembahan
Pakungwati II meninggal dunia terjadi
perpecahan di antara ketiga anaknya.
Anak tertua dari Panembahan yaitu
Pangeran Muhammad Badarudin pada
tahun 1688 membangun keraton tersendiri
dengan nama Keraton Kanoman dengan
Pangeran Muhammad Badarudin sebagai
rajanya, sedangkan Keraton Pakungwati
berubah menjadi Keraton Kasepuhan
dengan Pangeran Samsudin sebagai
Sultan Sepuh pertama.
Penulisan sejarah keraton Cirebon
baik berupa buku, artikel-artikel yang
dimuat di koran maupun majalah telah
banyak. Oleh karena itu, penulisan ini
untuk lebih memberi interpretasi

2011

87

bagaimana Kesultanan Cirebon dalam


memelihara stabilitas dan kedaulatan
dalam periode itu. Di samping itu, tulisan
ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan informasi tambahan mengenai
sejarah Cirebon.
Diharapkan tulisan ini dapat
mengajak generasi muda dan masyarakat
pada umumnya untuk meningkatkan
kesadaran akan perlunya pemahaman dan
pengetahuan kesejarahan guna
mempertebal jati diri sebagai putera
bangsa Indonesia melalui penggalian
sejarah lokal. Dan mengaktualisasikan
nilai kesejarahan bagi persatuan dan
kesatuan melalui pemahaman fungsi,
makna, dan manfaat sejarah atas dasar
kesadaran sejarah yang tinggi.
Tulisan yang akan diangkat dalam
penulisan ini adalah Cirebon Abad
ke-17-18. Adapun metode yang
digunakan untuk mengungkap Sejarah
Cirebon ini dilakukan dengan
menggunakan metode sejarah yang
meliputi empat tahap, yaitu heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi.
Pada tahap heuristik, pencarian
dan pengumpulan sumber dilakukan
dengan mencari dan menghimpun data
mengenai sejarah Cirebon. Pada tahap
kritik, untuk mendapatkan data yang
akurat dan objektif akan dilakukan
pengujian terhadap data yang diperoleh.
Selanjutnya, pada tahap interpretasi, data
mengalami proses pemberian makna dan
penafsiran sehingga fakta-fakta tersebut
dapat menjelaskan objek studi secara
jelas dan lengkap. Proses terakhir, adalah
historiografi yang bertujuan untuk
merangkaikan fakta-fakta yang berhasil
dihimpun dalam sebuah jalinan kisah
sejarah yang objektif.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

88

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 85-100

B. HASIL DAN BAHASAN


1. Berdirinya Kerajaan Cirebon
a. Terbentuknya Kerajaan Cirebon

Wilayah Cirebon sebelum berdirinya


kekuasaan politik Islam di bawah
pimpinan Sunan Gunung Jati dapat
dibedakan atas dua daerah, yaitu:
1. Daerah pesisir yang disebut dengan
Cirebon Larang.
2. Daerah pedalaman yang disebut
Cirebon Girang.
Wilayah Cirebon sepanjang pesisir
atau pantai Cirebon disebut Cirebon
Larang, dikuasai oleh Ki Ageng Jumajan
Jati yang merupakan penguasa daerah
Singapura dan pelabuhan Muara Jati.
Sedangkan wilayah di bawah kaki
Gunung Ciremai di sebut Cirebon Girang,
dikuasai oleh Ki Ageng Kasmaya yang
merupakan penguasa daerah Wanagari.
Kedua penguasa tersebut adalah saudara
Prabu Anggalarang (Tohaan) di Galuh
(Atja, 1981 29-30) dalam Ekadjati, 1991:
126).
Kedua daerah tersebut dahulunya
masih di bawah kekuasaan Kerajaan
Sunda dengan rajanya Prabu Niskala
Wastukancana (1371-1475). Kemudian
menjelang timbulnya kekuasan politik
Islam Cirebon, kedudukan Cirebon masih
di bawah Tohaan di Galuh (1475-1482).
Pada tahun 1482, Syarif Hidayatullah
secara resmi melepaskan diri dari
Kerajaan Sunda dengan tidak lagi
mengirimkan upeti atau bulubekti dan
diangkat sebagai sultan pertama di
Kerajaan Cirebon. Pada masa
pemerintahannya, Syarif Hidayatullah
tampil sebagai kepala negara sekaligus
sebagai
ulama.
Pada
masa
pemerintahannya, agama Islam dari
Cirebon semakin berkembang ke
beberapa daerah sekitarnya, bahkan
sampai ke pedalaman Jawa Barat.

Banyak daerah yang menyerah atau


mengabdi kepada Sunan Gunung Jati.
Seperti penguasa dari Luragung, Ki
Gedeng Kemuning beserta penganutnya
bersedia masuk agama Islam (1481),
Luragung di bawah kekuasaan Arya
Salingsingan (Sunardjo, 1983: 86-87),
Raja Galuh (sekarang masuk wilayah
Kabupaten Majalengka) di bawah
kekuasaan Prabu Cakraningrat.
b. Cirebon sebagai Kota Pelabuhan

Cirebon memang sebuah kota yang


tidak dapat dilepaskan dari citranya
sebagai Kota Pelabuhan. Sejak awal
sekali, kehidupan perairan sudah
melekat dengan kota ini. Keunikan
Cirebon dilihat dari letak geografisnya
adalah berada dalam jalur pelayaran
yang menghubungkan bagian barat dan
timur Pulau Jawa. Letak pelabuhan yang
terlindungi dengan aman berupa teluk,
menjadikan Cirebon sebagai pelabuhan
alam yang baik dengan tersedianya
berbagai keperluan kapal yang singgah.
Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal
sebagai kota perdagangan terutama untuk
komoditas beras dan hasil bumi yang
diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan
Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya
yang berjudul Da Asia bercerita tentang
hal tersebut. Sumber lainnya yang
memberitakan Cirebon periode awal,
adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten
untuk mengapalkan lada. Pada tahun
1596, rombongan pedagang Belanda di
bawah pimpinan Cornellis de Houtman
mendarat di Banten. Pada tahun yang
sama orang Belanda pertama yang datang
ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon
pada waktu itu merupakan kota dagang
yang relatif kuat yang sekelilingnya
dibenteng dengan sebuah aliran sungai
(http://id.wikipedia.org/wiki/
Kesultanan_Cirebon).

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kesultanan Cirebon Abad 15-18 (Herry Wiryono)


Cikal-bakal Kota Cirebon berawal pada
awal abad kelima sejalan dengan
dicanangkannya program pembangunan
sungai-sungai di seluruh Jawa Barat oleh
Purnawarman. Program pembangunan
itu berupa memperkokoh, memperlebar,
dan memperdalam sungai yang dilakukan
oleh seluruh masyarakat senagai karya
bakti. Pelaksanaannya dimulai dengan
memperkokoh pinggiran Sungai Gangga
di wilayah Indraprahasta (Cirebon
Girang), yang dilakukan pada 12
Kresnapaksa Posyamasa (DesemberJanuari) tahun 332 Saka (411 Masehi).
Adapun Sungai Gangga berfungsi sebagai
tempat dilaksanakannya upacara mandi
untuk mensucikan diri menurut
Sanghyang Agama yang dilaksanakan
setahun sekali (Atja, 1986 : 31).
Itulah sumber tertua yang dapat
diperoleh mengenai cikal-bakal Kota
Cirebon. Sayangnya, sumber-sumber
tertulis mengenai perkembangan
Indraprahasta
belum
banyak
diketemukan. Dengan demikian, belum
diketahui pula kurun waktu eksistensi
Indraprahasta sebagai tempat suci.
Apakah hanya berlangsung pada masa
Tarumanagara saja atau terus berlanjut
sampai ke masa Kerajaan Sunda dan
Galuh? Namun demikian, titik-titik terang
mengenai hal itu bisa didapatkan dalam
Kitab Purwaka Caruban Nagari (KPCN),
dalam KPCN disebutkan bahwa Sungai
Gangga tersebut berada di wilayah
Nagari Wanagiri di bawah pimpinan Prabu
Indraprahasta yang merupakan nagari
otonom. Nagari itu pada abad ke-14
terpecah-pecah menjadi nagari-nagari
kecil yang dipimpin oleh Ki Gedeng Ki
Gedeng dan Prabu-prabu yang kemudian
tunduk kepada Kerajaan Galuh. Adapun,
nagari-nagari itu ialah Surantaka,
Singapura, Japura, Wanagiri, Rajagaluh,
dan Talaga.

2011

89

Nagari Surantaka letaknya di


sebelah utara kurang lebih 4 kilometer dari
Giri Amparan Jati (Makam Sunan
Gunung Jati) dan Muara Jati (sekarang).
Pada masa itu penguasanya Ki Gedeng
Sedhang Kasih yang berkuasa atas
Pelabuhan Muara Jati yang bertindak
sebagai Syahbandar. Dari keterangan itu
jelas bahwa peranan Cirebon
(Indraprahasta) telah berganti dari tempat
pemandian suci menjadi pelabuhan yang
berfungsi sebagai sumber pendapatan
ekonomi dan perhubungan dengan dunia
luar. Pelabuhan itu kian berkembang
setelah Nagari Surantaka bergabung
dengan Nagari Singapura sepeninggalnya
Ki Gedeng Sedhang Kasih.
Nagari Singapura lokasinya kurang
lebih 4 kilometer di sebelah utara Giri
Amparan Jati dengan batas-batasnya di
sebelah utara berbatasan dengan Nagari
Surantaka, di sebelah barat dengan
Nagari Wanagiri, di sebelah selatan
dengan Nagari Japura dan sebelah timur
dengan dengan Laut Jawa (Teluk
Cirebon). Penguasanya bernama Ki
Gedeng Surawijaya Sakti, namun ia tidak
merangkap sebagai syahbandar. Jabatan
itu diserahkan kepada Ki Gedeng Tapa.
Pusat Pemerintahan Nagari
Singapura letaknya di Desa Sirnabaya,
Kecamatan Cirebon Utara. Sekitar 1
kilometer dari pusat pemerintahan itu,
terdapat Sungai Bondet yang lebarnya
cukup memadai sebagai tempat berlabuh
kapal-kapal layar dengan ukuran besar
sekalipun. Pada masa itulah tepatnya
pada tahun 1415, armada Cina yag
dipimpin oleh Laksamana Te Ho dan Kun
Wei Ping berlabuh di Muara Jati. Dalam
KPCN dijelaskan armada Cina itu transit
di Muara Jati untuk membeli perbekalan,
baik air bersih mapun pangan, dalam
perjalanannya ke Majapahit. Akan tetapi
kontak yang terjadi tidak sebatas itu saja,

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

90

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 85-100

Ki Gedeng Tapa dan Te Ho berhasil


menjalin kerjasama dalam pembuatan
mercusuar. Mercusuar tersebut
merupakan sarana pelabuhan yang
penting sebagai tanda bagi kapal-kapal
yang akan berlabuh pada malam hari.
Pihak Cina rupanya merasa tertarik
dengan pelabuhan Cirebon ini, hal itu
terlihat selain dari kesediaan mereka
dalam membuat mercusuar, mereka juga
membuka perwakilan dagang Cina untuk
Nagari Singapura. Pembukaan itu
memang didasarkan pada kenyataan
bahwa Cirebon merupakan pelabuhan
yang ramai. Setiap hari banyak orang
berjual beli dan banyak perahu berlabuh
di Muara Jati, mereka itu di antaranya
berasal dari Cina, Arab, Persia, India,
Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, dan
Palembang (Sunardjo, 1983 : 16).
Keramaian itu tentu saja tidak
terlepas dari perkembangan perdagangan
internasional, khususnya yang
berhubungan dengan Jalur Sutera.
Telah diketahui bahwa hasrat akan sutera
Cina yang berkilauan, yang katanya
senilai emas, membuka jalan bagi jalur
sutera melalui daratan sepanjang 6.400
kilometer melintasi Asia yang berlangsung
selama berabad-abad. Kendatipun
demikian, serangkaian perdagangan kuno
itu tidak hanya memperdagangkan sutera
semata tetapi juga rempah-rempah, buahbuahan, porselen, mesiu, dan lain-lainnya,
bahkan lebih jauh jalur sutera ini
menyebabkan terjadinya kontak budaya
dan agama.
Sayangnya, jalur sutera melalui
daratan ini merupakan rute yang sulit.
Banyak rintangan menghadang, seperti
badai pasir, cuaca panas, cuaca dingin,
bahkan para penyamun. Melihat
kenyataan yang demikian, para pedagang
berusaha mencari jalan alternatif yang
lebih mudah dan aman. Upaya itu

menemui bentuknya dalam sistem


transportasi laut, setelah sistem pelayaran
laut yang lebih baik ditemukan (Zuhdi,
2010: 2)
Dengan ditemukannya Jalur Sutera
lewat laut, maka muncul pelabuhanpelabuhan baru sebagai pusat-pusat
perdagangan yang membentang dari
Cina sampai Eropa, dimana Nusantara
termasuk ke dalam jaringan perdagangan
tersebut. Begitu juga dengan Cirebon,
letak geografisnya di daerah pesisir pantai
Pulau Jawa tentu saja termasuk ke dalam
mata rantai dalam perdagangan
internasional (Jalur Sutera) pada masa itu.
Cirebon sebagai bandar niaga yang
berperan
dalam
perdagangan
internasional tentunya tidak dapat
disangkal lagi, kedatangan kapal-kapal
asing di Cirebon memperjelas keterkaitan
Cirebon dalam jaringan internasional.
Analogi dengan bandar-bandar Banten,
Pontang, Tanggerang, Kalapa, dan Chi
Manuk yang diberitakan Tome Pires
(1512-1515) sebagai bandar Kerajaan
Sunda maka bandar Cirebon pada masa
masuk kerajaan itu mungkin juga telah
masuk dalam jaringan perdagangan
internasional atau pasar dunia sekalipun
tidak seperti bandar Banten dan Kalapa
(Tjandrasasmita, 1995:12).
Demikianlah sejak Cirebon
dibangun oleh Walangsungsang atau Ki
Samadullah atau Cakrabumi sebagai
kuwu terlebih lagi setelah Syarif
Hidayatullah memegang kekuasaan di
Cirebon, bandar Cirebon semakin ramai
dan baik untuk perhubungan laut antar
Persia-Mesir dan Arab, Cina, Campa dan
pelabuhan
lainnya.
Kepesatan
perkembangan pelabuhan Cirebon
didukung pula oleh politik ekspansi
kerajaan Islam (di bawah pimpinan
Demak) untuk menguasai pelabuhanpelabuhan Kerajaan Sunda. Setelah

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kesultanan Cirebon Abad 15-18 (Herry Wiryono)


Banten dikuasai (tahun 1526) dan Sunda
Kalapa (tahun 1527), maka seluruh pesisir
utara Jawa Barat telah berhasil dikuasai
oleh kekuasaan Islam. Akibat politik ini
sudah tentu bandar-bandar tersebut
termasuk Cirebon merupakan tempat
jaringan perdagangan internasional atau
pasar dunia yang menjadi sumber
penghasilan kerajaan-kerajaan Islam
yang sedang tumbuh dan berkembang
yang terbentang dari Demak, Cirebon
hingga Banten (Tjandrasasmita, 1995:
13).
2. Situasi Cirebon Abad 17-18
a. Cirebon Terpecah
Wilayah Kekuasaan

Menjadi

Dua

Antara abad ke-17 sampai abad


ke- 18 di Cirebon banyak terjadi peristiwa
penting, di antaranya terjadi dua peristiwa
yang menjadi inti dari masalah yang
lainnya. Kedua peristiwa tersebut adalah
perpecahan yang terjadi di Keraton
Kesepuhan. dan peristiwa tidak mulusnya
suksesi yang terjadi di Keraton Kanoman.
Friksi yang terjadi di kedua keraton
tersebut tidak steril dari pengaruh
kebijakan kompeni terhadap dinamika
politik yang terjadi di Cirebon.
Dengan terjadinya peristiwa
tersebut di atas peranan keraton sebagai
pusat kendali pemerintahan sudah mulai
surut, para bangsawan Cirebon menyikapi
adanya kolonialisasi dengan cara yang
berbeda. Mereka ada yang berjuang
menentang kompeni Belanda habishabisan tanpa kompromi dan ada juga
yang berjuang secara diplomatis. Kedua
cara tersebut memiliki dampak yang tidak
kecil dalam mengubah wajah Cirebon.
Dampak dari tidak berfungsinya
keraton Cirebon sebagai kendali politik
dan pusat penyebaran agama Islam
memunculkan sentra-sentra pendidikan

2011

91

Islam yang tersebar di luar pusat


kekuasaan. Sentra-sentra pendidikan
Islam atau pesantren berfungsi juga
sebagai pusat perlawanan terhadap
Kompeni Belanda.
Tertanamnya kekuasaan Kompeni
di Cirebon tidak lepas dari kaitannya
dengan persaingan antara Mataram dan
Banten. Kedua pusat kekuasaan itu
sama-sama ingin menguasai seluruh
wilayah Barat. Ambisi Mataram lebih
besar dari Banten. Mataram ingin
menguasai seluruh wilayah Barat
termasuk Banten dan Batavia yang sudah
diduduki Kompeni. Sedangkan Banten
tidak pernah menguasai Mataram dan
tidak pernah mengakui kekuasaan
Mataram atau wilayah kerajaannya
(Zuhdi, 2010: 3).
Mataram berhasil menguasai
wilayah Priangan dalam dua tahap. Tahap
pertama, Mataram menguasai daerah
Galuh pada akhir abad ke-16 (1595)
ketika Mataram diperintah oleh
Sutawijaya dengan gelar Panembahan
Senopati (15861601). Tahap kedua,
Mataram menguasai wilayah Priangan
lainnya yang waktu itu bernama
Sumedang Larang dengan ibukotanya
Kutamaya sejak tahun 1620, ketika
Sumedang diperintah oleh Raden Aria
Suriadiwangsa (1608 1624) dan
Mataram diperintah oleh Sultan Agung
(1613 1645).
Hingga meninggalnya, Sultan
Agung (1645) Mataram tidak bermaksud
untuk menguasai Cirebon. Karena, Sultan
sangat menghormati Raja Cirebon
Panembahan Ratu I (1570 1649)
sebagai gurunya. Pada masa
Panembahan Ratu, perhatian lebih
diarahkan pada penguatan kehidupan
keagamaan. Panembahan Ratu lebih
banyak bertindak dan berperilaku
sebagai ulama daripada seorang raja.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

92

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 85-100

Tindakan dan perilaku Panembahan Ratu


diduga sebagai bentuk pelaksanaan
amanat Sunan Gunung Jati yang dikenal
dengan petatah-petitih Sunan Gunung
Jati.
Ada enam makna yang terkandung
dalam petatah-petitih Sunan Gunung Jati,
yaitu :
- Nasihat tentang perbuatan yang
baik dan bijak;
- Pesan yang secara implisit
memberikan arah dan petunjuk bagi
banyak orang agar tetap konsisten
dalam menjalankan ajaran Islam.
Sedangkan secara eksplisit
menegaskan ketentuan-ketentuan
yang harus dilaksanakan oleh anak
dan keturunannya;
- Baik secara halus maupun terus
terang
mengemukakan
pendiriannya yang bertentangan
dengan hati nurani, rakyat, anak,
dan keturunannya.
- Agar para pengikutnya mengikuti
petatah-petitih untuk tegaknya
nilai-nilai Islam.
- Mengandung sanksi berupa
hukuman sosial dan moral bagi
siapa saja yang melanggar petatahpetitihnya;
- Mengandung
Warisan
kepemimpinan tradisional SGJ
terhadap Kesultanan Cirebon
(Wildan, 2010: 17-18)
Di bidang politik, Panembahan
Ratu menjaga hubungan baik dengan
Banten dan Mataram. Ada satu peristiwa
yang memedihkan hati, yaitu peristiwa
larinya istri Panembahan Ratu yaitu
Ratu Harisbaya yang masih berusia
muda ke Sumedang bersama Prabu

Geusan Ulun, penguasa Kerajaan


Sumedang Larang. Kejadian tersebut
sempat membuat hubungan Kerajaan
Sumedanglarang dan Keraton Cirebon
mejadi tegang. Keadaan menjadi baik
setelah diceraikannya Ratu Harisbaya
dengan tebusan diserahkannya daerah
Sindangkasih dari Sumedanglarang
kepada Cirebon.
Panembahan Ratu wafat pada
tahun 1650, pada usia 102 tahun, dan
digantikan oleh cucunya yaitu Pangeran
Karim yang dikenal dengan nama
Panembahan Girilaya atau Panembahan
Ratu II karena anaknya Pangeran Seda
Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu
(Lubis, 2010: 1).
Sementara itu di Mataram,
pengganti Sultan Agung yaitu Sultan
Amangkurat I sedang bersaing dengan
Banten dalam memperebutkan hegemoni
di Jawa. Bahkan Mataram ingin agar
Banten menjadi kerajaan taklukannya.
(Dagh Register, November-Desember
1657). Untuk maksud tersebut,
Amangkurat I meminta Panembahan
Ratu II agar mau berkoalisi dengan
Mataram. Pendekatan Mataram kepada
Cirebon, juga dilakukan dengan
menjadikan Pangeran Karim sebagai
menantu. Dari perkawinan dengan putri
Amangkurat I, Panembahan Ratu II
mempunyai tiga orang putra yaitu
Pangeran Martawijaya, Pangeran
Kertawijaya,
dan
Pangeran
Wangsakerta. Namun upaya tersebut
selalu gagal karena penguasa Banten
selalu bersikap menolak setiap masuknya
pengaruh Mataram ke dalam negaranya.
Bahkan tatkala di Jayakarta berdiri
kekuasaan Kompeni (1610) penguasa
Banten tetap menolak diajak oleh
Mataram
untuk
bersama-sama
menyerang Kompeni.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kesultanan Cirebon Abad 15-18 (Herry Wiryono)


Kegagalan Panembahan Ratu II
untuk mendekati Banten, membuat
Sunan Mataram marah. Panembahan
Ratu II bersama istri dan dua orang
anaknya yaitu Pangeran Mertawijaya
dan Pangeran Kertawijaya diundang ke
Mataram. Sejak kedatangannya ke
Mataram, Panembahan Ratu II beserta
anak istrinya tidak diperkenankan
kembali ke Cirebon. Sementara itu, untuk
menjalankan roda pemerintahan di
Cirebon, Amangkurat I mengangkat
Mangkubumi Martadipa atas nama
Sultan Mataram, karena Pangeran
Wangsakerta sangat muda (Lubis, 2010:
2). Namun demikian, para pejabat dan
kerabat kerajaan Cirebon serta kepala
daerah (Ki Gedeng) tetap setia kepada
Panembahan Ratu II. Mereka mengambil
inisiatif untuk meminta kepada Sultan
Ageng Tirtayasa di Banten untuk
menghadapi Mataram, Sultan Ageng
Tirtayasa menyanggupi permintaan
tersebut. Sebagai tindak lanjut
kesanggupan menerima permintaan
tersebut, Sultan Banten mengangkat
Pangeran Wangsakerta sebagai Sultan
Cirebon
menggantikan Adipati
Martadipa sebagai pelaksana roda
pemeritahan Cirebon atas nama Sultan
Mataram.
Sepeninggal Sultan Agung, sikap
Mataram terhadap Kompeni berbalik dari
sikap sebelumnya. Sunan Amangkurat I
(1645-1677) bersikap lebih lunak
terhadap Kompeni. Bahkan, pada tahun
1646 Mataram dan Kompeni
mengadakan perjanjian untuk saling
membantu. Realisasi dari perjanjian
tersebut tatkala Trunojoyo memberontak
terhadap Mataram. Dalam upaya
mengatasi pemberontakan tersebut, tak
ada jalan lain bagi Mataram selain
meminta bantuan Kompeni yang diwakili
oleh Admiral Speelman yang mengajukan

2011

93

syarat kepada Mataram (1677) melalui


Kyai Ngabehi Wangsa Dipa, Syahbandar
Jepara, antara lain berupa penetapan
batas wilayah Kompeni di sebelah timur
adalah Sungai Cipunagara (Pamanukan)
terus sampai ke Laut Selatan. Syarat
tersebut kemudian dibawa oleh Residen
James Cooper ke Mataram pada tanggal
4 Maret 1677 dan diterima oleh Sultan
Mataram dan putranya Pangeran Adipati
Anom (Lubis, 2010: 2).
Sementara itu, Trunojoyo pun
meminta bantuan Banten berupa senjata
beserta mesiunya. Dengan adanya
bantuan persenjataan dari Banten dan
karena pasukan Kompeni yang akan
membantu Mataram datang terlambat,
Trunojoyo berhasil menduduki ibu kota
Mataram. Mengetahui Trunojoyo
berhasil menguasai ibu kota Mataram,
Sultan Banten segera mengirim utusan ke
Mataram
untuk menjemput
Panembahan Ratu II
beserta
keluarganya untuk dibawa kembali ke
Cirebon. Namun dalam perjalanan
pulang ke Cirebon Panembahan Ratu II
meninggal, karena sakit-sakitan. Beliau
dimakamkan di Bukit Girilaya, sejak saat
itu Panembahan Ratu II lebih dikenal
dengan julukan Panembahan Girilaya.
Atas jasa baik Sultan Ageng
Tirtayasa, kedua pangeran tersebut dapat
kembali ke Cirebon. Setelah terlebih
dahulu diamankan di Banten. Selanjutnya
Sultan Banten, membagi Cirebon
menjadi tiga wilayah dan mengangkat
kedua anak Panembahan Ratu II
menjadi penguasa di Cirebon disamping
Pangeran Wangsakerta yang telah lebih
dulu diangkat jadi penguasa di Cirebon,
dengan tujuan agar tidak terjadi
perselisihan di antara ketiga anak
Panembahan Ratu II.
Pangeran Martawijaya diangkat
menjadi Sultan Raja Syamsudin atau

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

94

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 85-100

Sultan Sepuh
(1678),
dengan
membangun keraton baru di sebelah
barat Keraton Pakungwati dan disebut
Keraton Kasepuhan. Pangeran
Kartawijaya diangkat menjadi Sultan
Anom (1679) dengan gelar Sultan
Badrudin, dengan mendirikan Keraton
yang letaknya kurang lebih satu kilometer
sebelah utara Keraton Pakungwati yang
dikenal dengan Keraton Kanoman.
Sedangkan Pangeran Wangsakerta tidak
diangkat menjadi sultan dan tidak punya
wilayah kekuasaan dan Keraton sendiri.
Tempat tinggalnya hanya berupa rumah
besar biasa yang terletak di sebelah timur
Keraton Pakungwati dan berfungsi
sebagai kaprabon (paguron) (Lubis,
2010: 2).
Ketiga penguasa ini berusaha
untuk menjadikan diri sebagai penguasa
tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa ia
yang berhak atas kekuasaan tunggal
karena anak pertama. Sementara Sultan
Anom, juga berkeinginan yang sama
sehingga ia mencari dukungan kepada
Sultan Banten. Demikian pula dengan
Pangeran Wangsakerta, yang pernah
mejadi pengurus kerajaan saat kedua
kakaknya berada di Mataram, merasa
berhak menjadi penguasa tunggal.

bahwa daerah Priangan telah diserahkan


oleh Mataram kepada VOC. Peringatan
tersebut disertai ancaman, bahwa VOC
tidak akan mengakui gelar kesultanan
pada Cirebon.
Sultan Cirebon terpaksa mengikuti
keinginan Kompeni, karena memandang
Kompeni lebih kuat. Melihat sikap
Cirebon yang demikian itu, Banten marah
dan menyerang Cirebon, baik di darat
maupun di laut. Pekalongan dibakar dan
diduduki, ketiga penguasa Cirebon pun
ditahan oleh Pangeran Kidul (Lubis,
2003: 259).
Kompeni yang berkeinginan
menguasai Cirebon dan Priangan segera
bertindak dan berhasil mengusir Banten
dari daerah Cirebon. Sesuai dengan
politik kolonialnya, bantuan Kompeni ke
suatu kerajaan selalu diikuti oleh
perjanjian. Demikian pula halnya dengan
Cirebon, pada akhir tahun 1680 Kompeni
mengadakan pendekatan dengan para
penguasa Cirebon agar mau mengakui
Kompeni sebagai sekutu Cirebon. Pada
tanggal 7 Januari 1681 disepakatilah
perjanjian antara Kompeni dengan sultansultan di Cirebon telah disepakati.
Adapun perjanjian itu antara lain
berbunyi:

b. Cirebon Berada di Bawah Pengaruh


VOC

- Bahwa penguasa Cirebon dianggap


sebagai
sahabat
Susuhunan
Mataram, bukan vazal Mataram.

Persekutuan kerajaan Banten


dengan Cirebon tidak berlangsung lama.
Diawali dari rencana Banten dan
Cirebon
yang akan menyerang
Sumedang. Rangga Gempol III sebagai
penguasa
Sumedang
meminta
perlindungan kepada VOC. Permintaan
perlindungan dikabulkan oleh VOC,
dengan memberi peringatan kepada
Cirebon untuk tidak membantu
menyerang Sumedang dan diingatkan

- Penguasa Cirebon akan membantu


VOC menyediakan tentara dan
menyatakan daerah mereka tertutup
bagi musuh VOC.
- Para penguasa Cirebon tidak
dibenarkan menyatakan damai atau
perang serta tidak diperbolehkan
mendirikan benteng pertahanan.
- VOC berhak menyerang musuhmusuh Cirebon, baik di darat maupun
di laut.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kesultanan Cirebon Abad 15-18 (Herry Wiryono)


- Perdagangan orang-orang pribumi
berada di bawah pengawasan VOC.
- VOC memegang hak monopoli impor
candu dan pakaian serta monopoli
ekspor lada, beras, kayu, gula dan
produk lainnya yang dihasilkan oleh
Cirebon.
- VOC dibebaskan dari kewajiban
membayar pajak.
- VOC berhak mendirikan benteng
pertahanan (Lubis dkk., 2003:270).
Dengan perjanjian tersebut, maka
pengaruh dan kekuasaan VOC di
Cirebon mulai tertanam, baik di bidang
politik maupun perekonomian. Bahkan
keputusan terkait Cirebon termasuk
pergantian sultan, penentuan jumlah
prajurit harus dengan persetujuan VOC
di Batavia. Demikian pula ketika para
sultan Cirebon akan bepergian harus
seijin VOC dan naik kapal mereka, dalam
berbagai upacara pejabat VOC harus
duduk sejajar dengan para sultan.
Pembagian Cirebon menjadi tiga
wilayah kekuasaan, serta masuknya
pengaruh VOC ke Cirebon berdampak
negatif terhadap kehidupan di dalam
keraton Cirebon. Terjadilah persaingan di
antara para pejabat tinggi Cirebon,
bahkan menjurus ke persaingan keras
dan konflik. Hal ini memang disengaja
oleh VOC, karena pada akhirnya para
penguasa Cirebon akan meminta bantuan
kepada VOC untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Dengan
demikian, VOC dapat lebih menanamkan
kekuasaannya di Cirebon.
Atas inisiatif VOC, pada tanggal
4 Desember 1685 diadakan perjanjian
kesepakatan bersama di antara penguasa
Cirebon yang disaksikan oleh para
pejabat VOC. Perjanjian tersebut terdiri
dari 13 pasal yaitu:

2011

95

- Kewenangan pelaksanaan pemerintahan.


- Upacara rutin di alun-alun.
- Pengeluaran perintah.
- Pembagian hasil dari pelabuhan.
- Penerimaan dan jawaban surat seperti
penerimaan dan penyampaian pesan
pada utusan dari negara lain.
- Penanganan masalah yang berkaitan
dengan rakyat seperti pembuatan dan
perbaikan pengairan, jalan, dan
kampung.
- Pengadilan (kekuasaan yudikatif),
seperti pengadilan swapraja.
- Perselisihan para pedagang.
- Pembuatan stempel.
- Pengelolaan bandar pelabuhan.
- Pembagian pendapatan dari hasil
tanah.
- Pengangkatan dan pemberhentian
pejabat kerajaan.
- Penetapan putra mahkota, yaitu
Pangeran Dipati Anom dan Pangeran
Ratu (Tim Peneliti Jurusan Sejarah
Fak. Sastra Unpad, 1991: 82).
Namun demikian, perjanjian yang
dibuat di atas ternyata tidak berjalan
efektif. Ternyata persaingan di antara
penguasa Cirebon tidak dapat diatasi.
Pada tanggal 8 Desember 1688, VOC
mempertemukan kembali ketiga
penguasa Cirebon. Dalam pertemuan
tersebut dibuat berjanjian kembali yang
isinya: Pangeran Adipati Anom dan
Pangeran Aria Adiwijaya diakui sebagai
ahli waris kekuasaan Sultan Sepuh.
Tetapi kedudukannya tidak sama dengan
Sultan Anom dan Panembahan Cirebon.
Jika Sultan Sepuh meninggal dunia, maka
kedudukannya dalam struktur kekuasaan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

96

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 85-100

di Cirebon digantikan oleh Sultan Anom,


sedangkan kedudukan Sultan Anom
digantikan oleh Panembahan Cirebon.
Dengan demikian, dalam struktur
kekuasaan di Cirebon anak Sultan
Sepuh
menempati
kedudukan
selanjutnya, diteruskan oleh anak dari
Sultan Anom dan dari pihak Panembahan
Cirebon.
Pada tahun 1696 Sultan Anom
wafat dan meninggalkan dua anak yaitu
Pangeran Raja Adipati Kaprabon dan
Pangeran Raja Mandurareja Qodirudin.
Atas kehendak VOC yang menjadi raja
adalah adiknya yaitu Pangeran Raja
Mandurareja Qodirun dengan gelar
Sultan Anom II. Dengan diangkatnya
sang adik menjadi raja Kesultanan
Kanoman, maka Pangeran Raja Adipati
Kaprabon ke luar dari keraton dan
mendirikan Keraton Kaprabon (sekarang
di daerah Lemah Wungkuk). Ia bergelar
Sultan Pandita Agama Islam Tareqat
dan bertekad melaksanakan amanat
Sunan Gunung Jati Ingsun Titip Tajug
Lan Fakir Miskin (Lubis, 2010:3)
Sultan Sepuh Kartawijaya
meninggal pada tahun 1699. Ia
meninggalkan dua orang putera yaitu
Pangeran Dipati Anom dan Pangera Aria
Cirebon. Pangeran Anom sebagai anak
tertua diangkat menjadi Sultan Sepuh II,
sedangkan adiknya yaitu Pangeran Aria
Cirebon
mendirikan Keraton
Kacirebonan. Sehingga sampai tahun
1700, di Cirebon ada 4 kekuasaan yaitu
Keraton Kasepuhan di bawah Sultan
Sepuh II, Keraton Kanoman di bawah
Sultan Anom II, Keraton Kacirebonan di
bawah Pangeran Aria Cerbon, dan
Panembahan di bawah Pangeran
Wangsakerta.
Seiring dengan terbaginya
Cirebon menjadi 4 wilayah kekuasaan,
pengaruh dan kekuasaan VOC semakin

mantap di Cirebon dengan adanya


penyerahan wilayah ini oleh Pangeran
Puger. Pangeran Puger merasa
berhutang budi kepada VOC, dalam
usaha membantu kedudukannya di
Mataram. Penyerahan wilayah Cirebon
tertuang dalam sebuah perjanjian antara
Pangeran Puger atau Paku Buwono I
dengan VOC, yang ditandatangani pada
tanggal 5 Oktober 1705. Dalam
perjanjian itu dinyatakan bahwa Cirebon
menjadi daerah perwalian VOC.
Dengan demikian, sejak saat itu Cirebon
sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
Cirebon.
Pada tahun 1706-1733 di Kanoman
memerintah Sultan Alimudin. Sebagai
Panembahan Cirebon, Pangeran
Wangsakerta digantikan oleh putranya
Panembahan Cirebon II (1713-1731) di
bawah
perwalian Nitipraja dan
Wiratmaka. Antara tahun 1724-1753 di
Kesepuhan berkuasa Sultan Sepuh III
Tajul Arifin. Seperti yang sudah diketahui
bahwa selain adanya pembagian
kewilayahan yang diberikan kepada
ketiga Sultan Cirebon tersebut, Kompeni
juga menentukan masalah kedudukan
derajat antara ketiga Sultan Cirebon
tersebut.
Penentuan kedudukan derajat tentu
saja selalu menimbulkan bibit konflik di
antara ketiga Sultan tersebut. Perselisihan
tersebut selalu muncul di setiap
pergantian Sultan. Aturan lainnya yang
menimbulkan bibit konflik adalah
dipaksakannya sistem baru yang
menyatakan bahwa pergantian
berdasarkan persetujuan Kompeni.
Perselisihan yang sangat mengganggu
adalah pada waktu meninggalnya Sultan
Sepuh III Tajul Arifin pada tahun 1753
dan meninggalnya Sultan Kanoman
Alimudin 1798. Sebab, Kompeni
mengangkat Sultan yang tidak dicintai

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kesultanan Cirebon Abad 15-18 (Herry Wiryono)


oleh rakyat. Pangeran yang dicintai oleh
rakyat yaitu Pangeran Suryanegara justru
diusir dari Keraton Kesepuhan.
Kepergian Pangeran Suryanegara diikuti
oleh dua orang adiknya yaitu Pangeran
Kabupaten dan Pangeran Lautan.
Tindakan Kompeni ini tentu saja menyulut
api dalam sekam. Rakyat di belakang
mereka.
Mereka
seolah-olah
mendapatkan dorongan kekuatan dan
menemukan pimpinan yang didambakan.
Campur tangan Kompeni dalam
menentukan utusan-utusan di Cirebon
telah mengubah hampir seluruh tatanan
kehidupan masyarakat di Cirebon. Secara
politis, Cirebon tidak memiliki lagi
kekuasaan. Dalam bahasa lokal
kekhalifahan atau panatagara telah
dikendalikan sepenuhnya oleh Kompeni
Belanda. Namun ada hal yang tidak bisa
dikuasai oleh Belanda yang oleh para
keturunan Sunan Gunung Jati
dipertahankan dengan tetesan darah
sampai mati. Kehidupan beragama
adalah satu-satunya kehormatan yang
tersisa yang tidak bisa dikuasai oleh
Kompeni.
Melalui besluit tertanggal 9
Februari 1706, Pangeran Aria Cirebon
diangkat sebagai opzichter (pengawas)
dan bupati kompeni, yang bertugas
menertibkan administrasi pemerintahan,
mengawasi produksi pertanian, dan
bertindak sebagai jaksa bersama-sama
dengan Residen Cirebon (Lubis, 2010:
4).
Ada beberapa alasan mengapa
kompeni mengangkat Pangeran Aria
Cirebon antara lain: setelah Bupati
Sumedang tidak diangkat menjadi Bupati
Wedana, diperlukan seorang tokoh yang
bisa mengkoordinasikan para bupati di
Priangan.Untuk menjaga persaingan
tidak sehat, Pangeran Aria Cirebon
dianggap pantas untuk jabatan tersebut.

2011

97

Hubungan Pangeran Aria Cirebon


dengan Kompeni semakin nyata, pada
akhir tahun 1704 Pangeran Aria Cirebon
pernah diangkat sebagai penasihat
Residen Cirebon. Pangeran Aria Cirebon
pernah menjadi pengawas penebangan
kayu di daerah Indramayu. Bahkan
ketika wilayah Priangan diserahkan
oleh Mataram kepada VOC berdasarkan
perjanjian tanggal 5 Oktober 1705 antara
Mataram dengan VOC, Pangeran Aria
Cirebon diikutsertakan menjadi anggota
komisi yang bertugas menyusuri daerahdaerah yang akan dijadikan batas wilayah
VOC dengan Mataram (Lubis, 2010: 4).
Usaha Pangeran Aria Cirebon
bekerja sungguh-sungguh sebagai
pengawas Bupati Priangan, bisa dianggap
sebagai usaha untuk menunjukkan bahwa
Cirebon meskipun di dalam sudah
terkotak-kotak, namun ke luar masih
bisa menunjukkan diri sebagai wedana
Bupati Cirebon yang memiliki wibawa,
dan berkedudukan lebih tinggi dari para
bupati Priangan (Lubis, 2010:5).
Upaya untuk menjunjung tinggi
kebesaran Kesultanan Cirebon terus
dilakukan oleh Pangeran Aria Cirebon
antara lain dengan pembuatan naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari
yang disusun pada tahun 1720. Di dalam
naskah tersebut diceritakan tentang asal
usul Sunan Gunung Jati yang ditarik terus
hingga Nabi Muhammad Saw, dan
Prabu Siliwangi. Dengan demikian ada
upaya untuk menunjukkan adanya
keterkaitan Kerajaan Cirebon dengan
kerajaan yang ada sebelumnya.
Memasuki awal abad ke-19,
dengan dikeluarkannya Reglement op
Het Beheer van Chirebonsche Landen
tanggal 2 Februari 1809 (Tim Peneliti
Jurusan Sejarah Fak. Sastra Unpad,
1991: 355) yaitu peraturan tentang
pemerintahan di wilayah Cirebon.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

98

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 85-100

Dinyatakan bahwa para sultan di Cirebon


menjadi pegawai pemerintah kolonial,
sehingga mereka tidak memiliki
kekuasaan
lagi.
Selain
itu,
dimasukkannya wilayah Cirebon ke
dalam Chirebonsche Preanger-Landen
(Tanah Priangan- Cirebon). Wilayah
Kesultanan Cirebon yang meliputi
Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan
Gebang yang terdiri atas 12 distrik
dikepalai oleh para sultan Cirebon.
C. PENUTUP

Sejak berdiri menjadi sebuah


kerajaan sampai abad ke-16, Cirebon
yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Jati menjadi sebuah
kerajaan besar berwibawa tinggi dan
membawa kemakmuran bagi rakyatnya.
Saat itu, Sunan Gunung Jati menjalankan
roda pemerintahan berperan sebagai
sultan dan wali. Sehingga Cirebon
merupakan salah satu mata rantai
penyebaran Islam di Jawa, sehingga para
raja lain di Jawa tidak berani gegabah
berbuat tindakan terhadap Cirebon,
bahkan Cirebon dijadikan panutan bagi
mereka baik dalam pemerintahan atau
penataan wilayah.
Keunikan Cirebon lainnya dapat
dilihat dari letak geografisnya, karena
berada di dalam jalur pelayaran yang
menghubungkan bagian barat dan timur
Pulau Jawa. Letak pelabuhan yang
terlindungi dengan aman berupa teluk
menjadikan pelabuhan alam yang baik dan
tersedianya berbagai kebutuhan
keperluan kapal yang singgah.
Namun keadaan tersebut berubah
drastis setelah pendiri Kesultanan
Cirebon Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati meninggal pada tahun 1570.
Pengganti Syarif Hidayatullah yaitu
Panembahan Ratu lebih banyak

bertindak dan berperilaku sebagai ulama


daripada seorang Sultan. Pada masa
pemerintahannya, lahirlah Kerajaan
Mataram menggantikan Kerajaan
Pajang pada tahun 1586 dan kedatangan
bangsa Belanda ke Pelabuhan Sunda
Kelapa pada tahun 1596.
Memasuki abad ke-17, kebesaran
dan kewibawaan Kesultanan Cirebon
mulai goyah. Keadaan ini diakibatkan
terjadinya konflik internal di kalangan
keluarga keturunan Kesultanan Cirebon.
Ketiga anak dari Panembahan ratu II
(pengganti Panembahan Ratu I), yaitu
Pangeran Martawijaya, Pangeran
Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta
berkeinginan menjadi pengganti ayahnya
sebagai Sultan Cirebon. Melihat situasi
yang tidak menguntungkan ini, Sultan
Banten yang mempunyai hubungan
emosional dengan Cirebon mencoba
mengamankan situasi dengan membagi
wilayah Kesultanan Cirebon menjadi tiga
bagian. Kesultanan Kasepuhan di bawah
Pangeran Martawijaya yang diberi gelar
Sultan Sepuh; Kesultanan Kanoman di
bawah Pangeran Kartawijaya atau
Sultan Anom; Kacirebonan di bawah
Pangeran Wangsakerta dengan gelar
Panembahan Cirebon.
Selain kondisi tersebut di atas,
keterpurukan Kesultanan Cirebon
diakibatkan adanya tiga kekuatan besar
yaitu Kerajaan Banten, Kerajaan
Matam, dan VOC memperebutkan
kekuasaan di Jawa. Posisi Kesultanan
yang berada di antara ketiga kekuatan
tersebut tidak bisa tidak masuk dalam
kondisi tarikan ke masing-masing
kekuatan besar itu. Di tengah situasi
keadaan seperti ini mendorong para
Sultan Cirebon mencoba menempatkan
diri berada di tengah-tengah, tidak
memihak kepada salah satu kekuatan
besar.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Kesultanan Cirebon Abad 15-18 (Herry Wiryono)


Namun kondisi tersebut tidak dapat
terus dipertahankan, Kesultanan Cirebon
harus menentukan sikap untuk memilih
salah satu dari tiga kekuatan tersebut.
Akhirnya para penguasa Cirebon
berpihak kepada VOC, karena mereka
melihat bahwa VOC yang akan menjadi
penguasa tunggal di wilayah Jawa.
Sejak saat itu, kewibawaan dan
kebesaran Kesultanan Cirebon semakin
surut karena sebagian kewenangannya
sudah diambil alih oleh VOC. Bahkan
mulai awal abad ke-19 dengan
dikeluarkannya Reglement op Het
Beheer van Chirebonsche Landen
tanggal 2 Februari 1809, yaitu peraturan
tentang pemerintahan di wilayah
Cirebon. Dinyatakan bahwa para sultan
di Cirebon menjadi pegawai pemerintah
kolonial, sehingga mereka tidak memiliki
kekuasaan
lagi.
Selain
itu,
dimasukkannya wilayah Cirebon ke
dalam Chirebonsche Preanger-Landen
(Tanah Priangan- Cirebon).
DAFTAR PUSTAKA

Adeng, et al. 1998.


Kota Dagang Cirebon sebagai
Bandar Jalur Sutra. Jakarta
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Republik Indonesia.
Atja. 1972.
Tjarita Purwaka Tjaruban
Nagari, Ikatan Karyawan
Museum.
______. 1986.
Carita Purwaka Caruban
Nagari: Karya Sastra sebagai
Sumber Pengetahuan Sejarah.
Bandung: Proyek Pengembangan
Permuseuman Jawa Barat.

2011

99

_______. 1988.
Menjelang Penetapan Hari Jadi
Pemerintahan
Kabupaten
Cirebon. Pemerintah Kabupaten
Daerah Tingkat II Cirebon,.
Atja, dan Ekadjati, Edi. 1989.
Pustaka Rajya-rajya I Bhumi
Nusantara I. I. Suntingan Naskah
dan Terjemahan. Bandung: Bagian
Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda.
Ekadjati, Edi S. et. Al. 1991.
Sejarah
Perkembangan
Pemerintahan Provinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat. Bandung:
Pemerintah Provinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat.
______. 1978.
Babad Cirebon Edisi Brandes
Tinjauan Sastra dan Sejarah,
Bandung: Fakultas Sastra,
Universitas Padjadjaran.
Johan, Irma M. 1995/1996.
Penelitian Sejarah Kebudayaan
Cirebon dan Sekitarnya Antara
Abad XV-XIX: Tinjauan Bibliografi.
Makalah Diskusi Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutera, Cirebon:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, Proyek
IDSN.
Hasyim, Raffan. Peristiwa Penting di
Sekitar Abad 17-18, Berdasarkan
catatan Lisan dan Tulisan.
Makalah dalam Seminar Sejarah
Cirebon tanggal Cirebon 2010.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

100

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 85-100

Lasmiyati. 1995.
Sejarah Keraton Kasepuhan di
Kotamadya Cirebon. Bandung: Balai
Kajian Jarahnitra.

Suyitno, Aang, dkk, 1991.


Bunga Rampai Jawa Barat.
Bandung:Yayasan Wahana Citra,
Nusantara.

Lubis, Nina Herlina. 2003.


Sejarah Tatar Sunda. Bandung:
Satya Historika.

Tedjasubrata. 1966.
Sedjarah Tjirebon Kawedar Bahasa
Daerah Tjirebon, Djilid II, Bagian III
IV, Tjirebon.

______. 2010.
Situasi Politik Kesultanan Cirebon
Abad ke 17-18. Makalah dalam
Seminar Sejarah Cirebon, BPSNT dan
Disporabudpar 28-29 September
Cirebon.
Rais, H. Mahmud, 1957.
Sedjarah Tjirebon (Stensilan).
Tjirebon.
Salana. 1978.
Sejarah Cirebon I (Stensilan).
Sudjana, T.D. 1995/1996.
Pelabuhan Cirebon Dahulu dan
Sekarang. Makalah Diskusi Cirebon
Sebagai Bandar Jalur Sutera. Cirebon:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, Proyek IDSN.
Sulendraningrat, P.S. 1968.
Nukilan Sedjarah Tjirebon Asli,
Tjetakan ke-2. Tjirebon: Pustaka.
______. 1975.
Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan
Gunung Jati Maulana Syarif
Hidayatullah. Cirebon: Lembaga
Kebudayaan Wilayah III Cirebon.
Sunardjo, Unang.R.H. 1983.
Meninjau Sepintas panggung
Sejarah Pemerintahan Kerajaan
Cirebon Tahun 1479-1809. Bandung:
Tarsito.

Tjandrasasmita, Uka. 1976.


Masuknya Islam ke Indonesia dan
Tumbuhnya Kota-kota Pesisir
Bercorak Islam, Bulletin Yaperna, Np.
II tahun III, Pebruari 1976. Jakarta.
_______. 1995.
Bandar Cirebon dalam Jaringan
Pasar Dunia. Makalah Diskusi
Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera.
Jakarta:Depdikbud, Direktorat Sejarah,
IDSN.
Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD. 1991.
Sejarah Cirebon Abad ke 17.
Bandung: Kerjasama Pemda Tk.I Prop.
Jawa Barat dan Fakultas sastra
UNPAD Bandung.
Zuhdi, Susanto. 2010.
Kesultanan Pesisi Cirebon dalam
Abad XVII: Strategi Mempertahankan
Stabilitas (Makalah dalam Seminar
Sejarah Cirebon), BPSNT dan
Disporabudpar 28-29 September,
Cirebon.
Wildan, Dadan. 2010.
Warisan Kepemimpinan Tradisional
Sunan Gunung Jati terhadap
Kesultanan Cirebon Abad 17-18
(Makalah dalam Seminar Sejarah
Cirebon), BPSNT dan Disporabudpar
28-29 September, Cirebon.

http://id.wikipedia.org/wiki/
Kesultanan_Cirebon

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo (Suwardi Alamsyah P.)

101

ARSITEKTUR TRADISIONAL RUMAH


KAMPUNG PULO
Oleh Suwardi Alamsyah P.
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jl. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung
Naskah diterima : 5 Januari 2011

Naskah disetujui :21 Februari 2011

Abstrak
Rumah tradisional Kampung Pulo dibangun oleh Embah Dalem Syarif
Muhammad, sekitar abad ke-17. Pembangunan keenam rumah dan sebuah masigit
yang kini berada di Desa Cangkuang Kecamatan Leles, Kabupaten Garut,
diperuntukkan keenam putrinya dan seorang putranya. Arsitektur tradisional rumah
Kampung Pulo, mencirikan unsur budaya Sunda, baik bentuk, struktur, dan ragam
hiasnya walau tidak secara langsung, tetapi tetap mempertahankan tata nilai yang
ada sepanjang perjalanan sejarahnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan
memahami peranan masyarakat di dalam mempertahankan arsitektur rumah serta
fungsi simbol-simbol dalam kehidupan masyarakat serta hubungannya dengan
arsitektur rumah Kampung Pulo. Adapun metode yang digunakan adalah metode
penelitian deskriptif analitis.
Kata kunci: arsitektur, tradisional, Kampung Pulo.

Abstract
Traditional houses of Kampung Pulo were built around 17th century by
Embah Dalem Syarif Muhammad. These houses comprise six houses for his
daughters and a mosque for his son. As a whole, the architecture of the houses
reflect Sundanese traditional architecture that preserved its values over history.
The goal of the research is to dig and to comprehend the role of the society in
preserving the architecture and the function of symbols in the society in relation
to the architecture itself. The methodology of research is based on Winarno
Surakhmad (1985:139): a method that is used to investigate and to solve
problems that covers collecting, analysing and interpreting data, as well as
making conclusion based on the research. The author has conducted a
descriptive-analytical method.
Keywords: architecture, traditional, Kampung Pulo.

2011

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

102

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 101-118

A. PENDAHULUAN

Pembangunan dewasa ini, pada


hakikatnya
merupakan proses
pembaharuan di segala bidang dan
pendorong utama terjadinya pergeseranpergeseran dalam bidang kebudayaan,
yang salah satunya arsitektur tradisional.
Pergeseran itu, cepat atau lambat akan
mengubah bentuk, struktur, dan fungsi
arsitektur tradisional dalam suatu
masyarakat.
Masyarakat Indonesia yang
majemuk dengan aneka ragam
kebudayaannya, memiliki rumah
berarsitektur tradisional. Rumah-rumah
dimaksud dalam tulisan ini, barangkali
dapat mencerminkan analogi perjalanan
sejarahnya dan dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang, seperti perjalanan budaya
dan komunitas etnis, sehingga dalam
kenyataannya, dapat mengangkat nilai
sebuah rumah menjadi objek penelusuran
aspek disiplin ilmu pengetahuan.
Mengingat hal itu, dapat dikatakan bahwa
arsitektur tradisional secara spesifik tak
terpisahkan dari nilai-nilai budaya
setempat, maka dalam perkembangan
nya, arsitektur tradisional sebagai sebuah
karya pun tak lepas dari pengaruh budaya.
Pengaruh tersebut mungkin disebabkan
oleh pertambahan penduduk, pengaruh
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta pergantian generasi.
Namun demikian bagi penduduk
Kampung Pulo, masih memperlihatkan
kuatnya adat istiadat yang hidup di antara
warga masyarakatnya, termasuk di
dalamnya arsitektur dan jumlah bangunan
yang tak pernah berkurang dan
bertambah.
Arsitektur tradisional adalah suatu
bentuk bangunan yang bentuk, struktur,
fungsi, ragam hias, dan cara
pembuatannya diwariskan secara turuntemurun serta dapat dipakai untuk

melakukan aktivitas kehidupan dengan


sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
arsitektur tradisional merupakan salah
satu identitas suatu bangsa. Karakter dan
klasifikasi suatu bangsa mencirikan cipta,
karsa, dan karya sesuai dengan
peradabannya. Dengan demikan
kecenderungan untuk berubah selalu ada.
Hal tersebut berakibat pada memudarnya
nilai-nilai tradisional yang ada pada
masyarakat di pedesaan, dan perubahan
tersebut seringkali diakibatkan oleh
pembangunan fisik yang menyeluruh dan
berpengaruh terhadap nilai-nilai
kehidupan suatu masyarakat.
Pada masyarakat Kampung Pulo,
tidak ditemukan keragaman bentuk
bangunan terutama rumah tempat tinggal.
Dengan kata lain bahwa mereka
menjunjung tinggi prinsip kebersamaan,
sederajat dan kesahajaan, sehingga tetap
memiliki ciri-ciri tradisional. Semisal
bangunan rumah harus selalu panggung,
lantai dari bambu, atap rumah dari ijuk,
talahab, arah hadap rumah menghadap
utara - selatan, di samping ada
pantangan-pantangan tabu yang harus
selalu dipatuhi oleh segenap warga
masyarakat, sehingga struktur bangunan
di Kampung Pulo relatif sama, baik
ditinjau dari bentuk, bahan bangunan,
maupun posisinya. Begitu pula jumlahnya
tetap tak bertambah dan berkurang, yaitu
hanya enam rumah.
Akibat pengaruh kebudayaan luar
yang tidak sama intensitasnya dan
kebudayaan etnik terdapat berbagai
macam bentuk maupun arsitektur
bangunan. Di antara beragam bentuk
rumah atau bangunan, secara garis besar
dapat dibagi menjadi 3, yakni; rumah adat,
rumah desa, dan rumah kota. Rumah kota
dapat dianggap sebagai bentuk atau
organisasi rumah yang telah banyak

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo (Suwardi Alamsyah P.)


menerima pengaruh kebudayaan luar;
rumah desa juga banyak menerima
pengaruh kebudayaan kota yang sudah
terpengaruh kebudayaan luar itu.
Sedangkan rumah adat memiliki ciri-ciri
khusus, baik perhitungan kapan dan
dimana serta waktu yang tepat untuk
memulai pembangunan. Hal tersebut
didasarkan atas keseimbangan dan
kecocokan bagi penghuninya sebagai
warga masyarakat pendukungnya, di
samping tersedianya fasilitas tempat suci,
ikatan pada bentuk atap dan tiang,
ornamen, arah hadap, bahan bangunan
yang digunakan, dan fungsi rumah atau
bangunan itu dibangun serta
pertimbangan pada pola adat serta
kepercayaan masyarakat pendukungnya.
Lingkup penulisan mengenai
arsitektur tradisional Kampung Pulo ini
didasarkan atas pola berpikir yang
dihubungkan dengan pamali tabu dan
kebiasaan yang kemudian menghasilkan
bentuk rumah yang ada, di samping tradisi
atau pola berpikir yang berlaku serta
kaitannya antara penghuni dengan rumah
menurut lingkup budaya.
Penulisan arsitektur tradisional
Kampung Pulo ini dilakukan sebagai
usaha untuk mengenal kebudayaan
masyarakat pendukungnya untuk
beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini
dilakukan karena didasarkan atas
anggapan bahwa kebudayaan pada suatu
masyarakat tidak akan dapat dikenali
hanya melalui salah satu unsur budaya,
karena setiap unsur budaya saling terkait
membentuk kesatuan yang utuh dan
terintegrasi dalam kehidupan masyarakat.
B. HASIL DAN BAHASAN
1. Latar Dibangunnya Rumah K
ampung
Kampung
Pulo

Menurut keyakinan masyarakat


setempat, mereka adalah keturunan dari

2011

103

Embah Dalem Arif Muhammad, salah


seorang pemimpin pasukan Mataram
yang diutus oleh Sultan Agung untuk
menyerang Batavia pada abad ke-17.
Ternyata penyerangannya mengalami
kegagalan sehingga Embah Dalem Arif
Muhammad tidak berani kembali ke
Mataram. Untuk selanjutnya ia menetap
dan menyebarkan agama Islam di daerah
yang kini disebut Kampung Pulo.
Menurut penuturan kuncen setempat,
Bapak Atang, Embah Dalem Arif
Muhammad memiliki 6 orang anak
perempuan dan 1 orang anak laki-laki.
Posisi tempat tinggal keenam
putrinya dibuat berjejer tiga saling
berhadapan, 3 rumah menghadap utara
dan 3 rumah menghadap selatan. Pada
bagian ujungnya, yaitu di bagian barat,
terletak sebuah masjid/masigit kecil.
Bangunan masjid/masigit melambangkan
anak lelaki satu-satunya yang meninggal
saat akan dikhitan. Penempatan masjid
di bagian ujung barat komplek juga
melambangkan lelaki sebagai kepala
keluarga.
Jumlah bangunan tersebut hingga
kini terus dipertahankan. Setiap anak
yang sudah berkeluarga tidak
diperkenankan lagi tinggal bersama
orangtuanya dan wajib keluar kampung
dengan diberi tenggang waktu selama
lebih kurang dua minggu untuk
mempersiapkan kepindahannya ke luar
Kampung Pulo. Namun, si anak bisa
kembali ke rumah orangtua mereka jika
orangtuanya meninggal dunia. Proses
pergantian tersebut disebut ngaplus
menggantikan. Dengan cara ngaplus
maka jumlah anggota keluarga dan
bangunan tetap tidak berubah.
Saat ini, keenam kepala keluarga
yang mendiami keenam rumah tersebut,
berjumlah penghuni seluruhnya mencapai
30-an orang. Penempatan penghuni pun

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

104

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 101-118

diatur sedemikian rupa. Misalnya Pak


Atang, kuncen Kampung Pulo menempati
rumah nomor tiga, dengan posisi di
barisan utara paling barat. Persis di
sebelah depan masjid. Dua rumah lain
yang sederet dengan rumah Pak Tatang
Kuncen adalah rumah keluarga Pak Iri
(bukan kuncen) dan Pak Umar. Rumah
mereka berhadapan dengan rumah
keluarga Nyonya Ijah, Pak Uju, dan Pak
Cucu S.
Keenam rumah itu memiliki ukuran
dan pembagian ruangan yang sama, yakni
serambi muka (tepas), dengan ukuran
5,67 meter X 2,50 meter, satu ruang tamu
berukuran 3,47 X 5 meter, satu kamar
tidur, satu kamar tamu dengan ukuran
sama yakni 2,83 X 2,50 meter, dan gudang
(goah) berukuran 1,20 X 1,60 meter yang
berada di wilayah dapur serta tungku
perapian (hawu). Dari enam rumah itu,
hanya satu rumah yang masih beratap ijuk
(injuk) dan belahan bambu (talahab},
sedangkan lima lainnya menggunakan
atap genting meski tanpa kaca.
Sebagai salah satu kawasan wisata,
tentu saja, warga Kampung Pulo yang
menempati enam rumah adat dalam
sebuah komunitas terbatas itu sangat
terbuka terhadap masuknya orang-orang
dari luar kawasan itu. Sebagai tuan
rumah, keenam penghuni rumah itu tentu
saja harus rela menerima siapa pun yang
berkunjung ke sana.
Dari situlah proses dialog sosial
secara terbuka, yang disadari atau tidak,
menciptakan hubungan saling memberi.
Di satu sisi, melalui dialog sosial tadi,
pengunjung mendapatkan banyak
informasi seputar kehidupan warga di
Kampung Pulo. Di sisi lain, sebagai tuan
rumah, warga Kampung Pulo menyerap
berbagai nilai yang masuk ke lingkungan
mereka. Pada gilirannya, seiring dengan
waktu, akan mempengaruhi keyakinan

mereka dalam memaknai pesan-pesan


moral dan ajaran bijak yang diwariskan
oleh para leluhur mereka.
Kemudian, bertalian dengan sistem
pewarisan yang berlaku di Kampung Pulo
berbeda dengan masyarakat Sunda pada
umumnya. Di kalangan masyarakat
Kampung Pulo yang mempunyai hak
waris rumah adat adalah pihak anak
perempuan
tertua,
sedangkan
tanggungjawab keluarga dipegang oleh
suaminya. Seperti halnya Bapak Atang
yang diberikan wewenang sebagai
kuncen karena merupakan suami dari
anak perempuan tertua di Kampung Pulo
yang memegang hak waris.
Bagi orang Sunda umumnya dan
khususnya masyarakat Kampung Pulo,
rumah berfungsi tidak hanya sekadar
tempat tinggal tetapi juga memiliki fungsi
lebih luas, yakni sosial, ekonomis dan
menjadi pusat pendidikan budaya
termasuk pendidikan moral, serta
dianggap suci (sakral). Rumah juga
menjadi sarana untuk mengembangkan
hubungan sosial (sosialisasi) antara
anggota keluarga. Rumah merupakan
tempat untuk mengerjakan hal-hal yang
sifatnya ekonomis, yang bertalian dengan
hal-hal yang bertalian dengan pendidikan
budaya dari orang tua kepada anakanaknya. Dan rumah dianggap suci,
karena rumah bisa disamakan dengan
alam mikro, yang dianggap miniaturnya
alam makro.
Yang menjadi ciri rumah khas
orang Sunda, khususnya rumah di
Kampung Pulo ialah tinggi kolong
berkisar antara 40-60 sentimeter.
Kemudian atap rumah (suhunan) orang
Sunda ada yang disebut Julang Ngapak,
Jogo Anjing, Heuay Badak, Jure
Limasan, Leang-leang, dan Nonggong
Munding (bentuk suhunan di Kasepuhan
Cicarucub). Dari bentuk suhunan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo (Suwardi Alamsyah P.)


tersebut, yang menjadi khas suhunan
masyarakat orang Sunda ialah suhunan
Julang Ngapak (Sulah Nyanda, Julang
Wirangga atau Jolopong), sedangkan
yang lainnya dipengaruhi oleh
kebudayaan lain, misalnya limasan
dipengaruhi oleh kebudayaan atau
arsitektur Jawa dan Leang-leang
dipengaruhi oleh arsitektur Cina.
Sedangkan suhunan atap rumah
masyarakat Kampung Pulo terdiri atas
suhunan jolopong dan suhunan julang
ngapak.
Ciri lainnya ialah adanya capit
hurang (cagak gunting), yaitu bagian
ujung atap (suhunan) yang berbentuk
cagak atau berupa tanduk munding
bahkan ada yang dibentuk lingkaran, baik
terbuat dari kayu atau pun bambu yang
dililit dengan ijuk. Cagak gunting ini
berfungsi untuk menghindari kebocoran
saat turun hujan, juga dianggap
mengandung tenaga gaib untuk menolak
pengaruh negatif.
Bentuk rumah, biasanya empat
persegi panjang dan lantai menggunakan
palupuh dari bambu. Rangkay rumah
terbuat dari kayu, dan menggunakan
tatapakan dari batu. Ruangan dibentuk
atau dibagi sesuai kebutuhan yang khusus,
yaitu bagian depan tepas beranda depan
untuk menerima tamu atau berkumpulnya
keluarga berjenis kelamin laki-laki.
Kamar tidur (enggon/kamar sare/
pangkeng) dan bagian dapur (hawu) dan
padaringan serta goah gudang tempat
menyimpan beras atau pabeasan. Bagian
dapur ini biasanya diperuntukkan untuk
kaum ibu, terutama padaringan (goah,
pabeasan) terlarang kaum lelaki masuk
ke dalamnya.
2. Arsitektur Tradisional di Kampung Pulo

Konsep arsitektur tradisional


menempatkan unsur alam sebagai
2011

105

konsep dasar rancangannya. Berbeda


dengan arsitektur modern yang
menempatkan aspek manusia berdiri
sebagai pusat segalanya atau sebagai titik
sentral. Oleh karena itu, Mangunwijaya
(1995) menyebutkan, bahwa pikiran
mitologis atau mistis manusia masih
menghayati diri tenggelam bersama
seluruh alam dan dunia gaib. Sehingga,
sebagian besar konsep dasar bangunan
arsitektur tradisional bersumber dari alam
(kosmos) yang digambarkan melalui
mitos-mitos, kepercayaan atau agama.
Refleksi kekuatan di luar manusia
tersebut acapkali diwujudkan dalam
berbagai hal, misalnya dalam wujud
bangunan, penataan kawasan maupun
penggunaan elemen dekorasi.
Berdasarkan pengamatan selama
ini bentuk atau gaya arsitektur bangunan
di beberapa suku lebih disebabkan oleh
refleksi terhadap fenomena alam
ketimbang aspek fungsional.
Secara umum konsep dasar
rancangan arsitektur tradisional
masyarakat Sunda adalah menyatu
dengan alam. Alam memiliki potensi atau
kekuatan yang mesti dihormati serta
dimanfaatkan secara tepat di dalam
kehidupan sehari-hari. Ungkapan rasa
hormat tersebut tercermin pada sebutan
bumi bagi alam yang menunjukan pula
bahwa alam adalah tempat tinggal bagi
masyarakat Sunda karena istilah bumi
juga digunakan untuk menyebut secara
halus rumah atau tempat tinggal orang
Sunda.
Komplek bangunan Kampung Pulo
(pulau) di Desa Cangkuang, Kecamatan
Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat,
merupakan salah satu contoh komplek
arsitektur tradisional Sunda yang berpijak
pada sebuah konsep menyatu dengan
alam. Konsep tersebut disiratkan pada
kepercayaan masyarakat setempat

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

106

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 101-118

terhadap agama karuhun urang


(nenek moyang) yaitu sebuah bentuk
sinkretisme antara agama Hindu dan
ajaran Islam. Kepercayaan masyarakat
terhadap lima pamali (lima larangan atau
tabu) yang dua di antaranya melarang
menambah jumlah bangunan serta
memelihara binatang berkaki empat
kecuali kucing ternyata sangat efektif
dalam menjaga kelestarian komplek
dengan lingkungannya.
Komplek bangunan di Kampung
Pulo terdiri atas enam rumah tinggal dan
sebuah masjid/masigit. Bentuk dan gaya
arsitektur bangunan di Kampung Pulo
merefleksikan konsep di atas yang
tercermin dari cara penataan komplek
yang berpijak pada keselarasan dengan
alamnya. Cara penataan bangunan
komplek yang melingkar membentuk
huruf U atau disebut ngariung
(berkumpul, menyatu) juga menunjukan
sistem tatanan sosial atau kekerabatan
yang erat antara para penghuninya.
Apalagi bangunan rumah di Kampung
Pulo pada mulanya dibangun oleh Embah
Dalem Syekh Arif Muhammad sebagai
refleksi bentuk kasih sayang terhadap
putri-putrinya. Oleh karena itu rumah
juga dapat dikatakan sebagai kehidupan
watak
dan
kecenderungankecenderungan, nafsu dan cita-cita
manusia. Rumah adalah citra sang
manusia pembangunnya. Citra yang
nampak di Kampung Pulo adalah pola
hidup sederhana, praktis serta berusaha
menjunjung tinggi nilai persaudaraan.
Hal ini diperlihatkan dengan bentuk
bangunan yang sederhana. Sedangkan
wujud interaksi dengan alam
diperlihatkan pada konsep menempatkan
bangunan-bangunan tersebut yang
membujur dari timur ke barat dengan cara
mengikuti pola peredaran matahari. Tidak
berusaha menentang sifat-sifat alam

semesta. Dampaknya sinar tidak langsung


menerpa ruangan di dalamnya sehingga
sirkulasi suhu dan cahaya di dalam
ruangan berubah secara alamiah
suhunan jolopong dan julang ngapak.
Bentuk atap atau suhunan
bangunan di Kampung Pulo terdiri atas
lima buah bangunan menggunakan
suhunan panjang atau disebut juga
suhunan jolopong (membujur, tergolek
lurus) dengan atap dari genting.
Sedangkan satu lagi menggunakan bentuk
suhunan julang ngapak (burung Julang
sedang mengepakan sayap) dengan
bahan atap dari injuk (ijuk) dan talahab
(terbuat dari bambu). Bangunan yang
disebutkan terakhir ini merupakan
prototipe dari bangunan tradisional Sunda
asli hasil renovasi pihak pemerintah
beberapa tahun yang lalu dan selanjutnya
ditetapkan sebagai cagar budaya.
Bentuk suhunan jolopong
dianggap sebagai bentuk atap paling tua.
Hal ini dikaitkan dengan bentuk atap
bangunan saung (dangau) yang sudah
dikenal sejak lama oleh masyarakat
tradisional. Selain itu, bentuk suhunan
jolopong juga menyiratkan status sosial
masyarakatnya yang berasal dari
golongan bawah, sederhana, berpikiran
praktis serta menggambarkan nilai-nilai
yang dijunjungnya, antara lain
membangun hubungan secara horizontal
sesama manusia.
Dalam ajaran Islam hubungan
sesama manusia termasuk salah satu
ajaran utamanya. Coba bandingkan
dengan bentuk atap bangunan arsitektur
modern yang bervariatif, kompleks, rumit
dan sekaligus sebagai tanda atau teks
yang dapat dibaca mengenai status sosial
dan citra pemilik atau penghuninya
Bentuk suhunan Julang Ngapak
memiliki empat bidang, dua di antaranya
disusun seperti halnya suhunan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo (Suwardi Alamsyah P.)


Jolopong. Hanya pada suhunan
Julang Ngapak terdapat atap tambahan
di kedua sisinya -di depan dan di belakangdengan kemiringan yang lebih landai yang
disebut leang-leang. Pada suhunan
Julang Ngapak atapnya menggunakan
jajalon-jajalon injuk (rangkaian atau
susunan ijuk).
Di kedua ujung atasnya diikat
dengan teknik capit hurang (jepitan
udang). Menurut arsitek Belanda,
Maclaine Pont, suhunan Julang
Ngapak termasuk gaya arsitektur Sunda
Besar yang bercirikan bentuk atap yang
mencuat di kedua ujungnya dan adanya
tameng-tameng yang menggantung di
depannya (Arsitektur Tradisional Daerah
Jawa Barat,1982)
3. Bagian-bagian Rumah dan Fungsinya

Seluruh bangunan di Kampung


Pulo berdiri di atas batu penyangga atau
disebut tatapakan (tempat bertumpu
atau penyangga) yang diletakkan pada
setiap pojok serta bagian konstruksi yang
menahan beban cukup besar. Dengan
cara demikian posisi lantai tidak langsung
bersentuhan dengan permukaan tanah
sehingga udara lembab dari tanah maupun
debu dapat dihindarkan. Bagian lantainya
dibuat dari palupuh yakni lembaran
bambu hasil cercahan atau tumbukan
yang menyatu saling mengikat. Hasil
cercahan tersebut membentuk celahcelah memanjang tidak beraturan yang
berfungsi sebagai ventilasi udara dari
bawah serta dapat digunakan untuk
membuang debu di atas lantai. Sedangkan
bagian dindingnya terbuat dari anyaman
bambu yang disebut bilik berfungsi
sebagai penutup bangunan maupun
penyekat ruangan. Bilik tersebut memiliki
lubang-lubang kecil seperti pori-pori
yang juga berfungsi sebagai ventilasi
untuk menyalurkan udara maupun cahaya

2011

107

dari luar ruangan atau sebaliknya.


Dengan demikian suhu di dalam ruangan
selalu terjaga secara alami sesuai dengan
kondisi cuaca alam di luar. Selain itu juga
tidak perlu mengandalkan cahaya yang
masuk sepenuhnya melalui jendela.
Sebenarnya pola bangunan dan
penggunaan bahan-bahan alami
merupakan hal yang lazim di kalangan
masyarakat Sunda atau masyarakat
tradisional lainnya. Hanya saja
penggunaan pada bangunan-bangunan di
Kampung Pulo lebih optimal dan tetap
dilestarikan. Pada bangunan prototipe
suhunan julang ngapak daun pintunya
juga menggunakan anyaman bambu yang
disebut sarigsig (anyaman) sedangkan
bangunan lainnya sudah menggunakan
daun pintu dari kayu. Keistimewaan dari
teknik sarigsig tersebut bisa melihat dari
dalam ke luar tetapi yang dari luar tidak
dapat menembus ke dalam. Udara segar
dari luar pun masih bisa mengalir melalui
celah-celah sarigsig tersebut.
Fungsi utama bangunan di
Kampung Pulo adalah sebagai tempat
tinggal dan aktivitas rumah tangga seharihari. Aktivitas lainnya seperti bekerja,
bertani, memelihara binatang ternak atau
berdagang dilakukan di luar Kampung
Pulo. Dengan demikian kapasitas ruang
tetap terjaga utuh dan tidak terjadi
pengembangan atau penambahan ruang
yang dapat mengubah bentuk bangunan
utamanya. Kebutuhan ruang ekstra
acapkali mengubah struktur bangunan
utama, baik dalam tatanan interior
maupun eksterior misalnya dengan cara
menambah bangunan tambahan lainnya.
Penambahan atau perubahan fungsi
bangunan tersebut tidak diperkenankan
di Kampung Pulo. Kalaupun terjadi
sebuah perubahan, terbatas untuk
mengganti beberapa material bangunan
yang sifatnya tidak dominan dan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

108

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 101-118

signifikan, misalnya penggunaan cat, kaca


atau genting. Tapi untuk prototipe
bangunan adat material di atas samasekali
tidak diperkenankan. Secara keseluruhan
bangunan tempat tinggal di Kampung Pulo
memiliki sirkulasi udara yang memadai
baik siang maupun malam hari karena
memanfaatkan bahan dan teknik yang
berorientasi pada sifat-sifat alami.
Sebuah konsep arsitektur bangunan
tradisional yang tertutup sekaligus
terbuka
Organisasi rumah di Kampung
Pulo yaitu bagian-bagian ruangan rumah
terbagi dalam 3 bagian, yaitu tepas,
tengah imah, pangkeng, dan dapur. Di
samping itu, di dapur ini terdapat goah
tempat menyimpan pabeasan, beras,
hawu tempat menanak nasi dan
memasak lainnya, serta terdapat pintu
keluar ke sebelah belakang (utara)
menghadap golodog dan pintu keluar ke
sebelah depan (selatan) menghadap ke
tepas (untuk rumah yang arah hadapnya
ke selatan dan begitu sebaliknya). Ruang
tepas berfungsi sebagai tempat menerima

tamu, Di bagian kanan terdapat pintu ke


kamar dan di sebelah belakang terdapat
dua pintu, yakni pintu masuk ke tengah
imah dan pintu masuk ke dapur. Selain
sebagai tempat menerima tamu, tengah
imah, di ruangan ini terdapat dua pintu
ke kamar (pangkeng), dan di ruangan
ini juga digunakan sebagai tempat
menyimpan lomari (almari), tekas
(semacam bupet), dan pintu masuk
ruangan dapur di samping pintu keluar
menghadap tepas.
Pintu keluar yang menghadap
tepas (ruangan terbuka), berfungsi
sebagai tempat menerima tamu. Di
ruangan tepas ini, terdapat pintu masuk
ke pangkeng (kamar), khusus kamar
tamu. Dari tepas ini terdapat golodog
(tangga), terbuat dari beberapa bambu,
antara 5-6 bambu utuh. Terdapat 5 buah
jandela (jendela), berfungsi sebagai
tempat sirkulasi udara, juga tempat supaya
ruangan tidak gelap. Selanjutnya dari
bagian-bagian rumah dimaksud memiliki
fungsinya sendiri-sendiri, seperti :

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo (Suwardi Alamsyah P.)


Cemped

Tihang

Bilik

Panto

Bangbarung

Erang-erang

Jandela

Para/ Lalangit

2011

109

Bilah papan, seperti halnya lincar yang dipasang pada


bagian luar dinding rumah, berfungsi sebagai penjepit bilik
pada tihang dan pamikul.
Batang kayu berbentuk persegi empat (12 X 12 sentimeter),
panjang antara 3-3,5 meter, berfungsi sebagai penyangga
bangunan dengan beban yang besar. Jumlah tiang pada tiaptiap rumah di Kampung Pulo rata-rata 16 batang. Jumlah
tersebut tidak merupakan keharusan karena pada dasarnya
jumlah tiang ditentukan oleh besar kecilnya rumah.
Dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Motif
anyamannya bisa bermacam-macam, seperti anyaman
kepang tajeur, kepang, dan sasag. Bilik bermotif kepang
banyak digunakan untuk dinding dan penyekat ruangan,
sedangkan anyaman sasag digunakan untuk daun pintu dan
jendela.
Berbentuk empat persegi panjang terbuat dari anyaman
sasag dan terbuat dari papan kayu, berfungsi sebagai
penutup lawang panto, tempat keluar masuk penghuni
rumah. Di kiri kanan lawang dipasang adeg-adeg tempat
menempelnya engsel dengan daun pintu, di bagian muka
adeg-adeg ditutup dengan bilah papan yang disebut pipi
lawang atau cemped, dan batang kayu yang menghubungkan
tiang adeg-adeg dipasang erang-erang (loster). Di bagian
bawah ambang pintu terdapat bangbarung.
Bagian pintu paling bawah yang menyambungkan tiang
pintu. Bangbarung ini hanya terdapat pada rumah panggung,
karena pada rumah tembok tidak ada.
Bagian atas panto atau jandela, berfungsi sebagai tempat
sirkulasinya udara dari dalam atau dari luar, ketika pintu atau
jendela ditutup.
Berbentuk empat persegi panjang, terbuat dari anyaman
sasag dengan bingkai papan dari kayu, berfungsi sebagai
tempat sirkulasi udara dan penerang ruangan dalam rumah.
Sama seperti halnya panto, di kiri dan kanan dipasang adegadeg tempat menempelnya engsel daun jendela. Kemudian
di muka pipi adeg-adeg dipasang cemped. Namun demikian
tidak semua rumah yang ada di Kampung Pulo
menggunakan daun jendela dengan anyaman sasag,
melainkan hanya satu rumah yang ada di utara dan barat.
Yang lainnya sudah menggunakan daun jendela dari papan.
Ruangan antara hateup atap dengan langit-langit rumah,
berfungsi untuk menyimpan keperluan yang digunakan
hanya setahun sekali, terbuat dari bambu berupa bilik atau
palupuh. Pemasangannya bisa dipasangkan seperti halnya
palupuh di atas dolos dan sarang, juga bisa ditempelkan dari
bagian bawah dolos, dengan cara mengikatnya pada dolos
(tanpa sarang).

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

110

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 101-118

4. Organisasi Rumah

Seperti telah dipaparkan di atas,


organisasi rumah di Kampung Pulo terdiri
atas tepas, tengah imah, pangkeng, dan
dapur. Tepas terletak di bagian luar
tengah imah, pangkeng, dan dapur.
Tengah imah (ruang dalam) tempat
keperluan penghuni rumah, sedangkan
hawu (perapian) dan parako (dudukan
hawu), tempat memasak, makan terletak
di dapur, begitu pula halnya dengan
tempat menyimpan beras (goah) terletak

di bagian dapur. Pangkeng (tempat tidur)


dari tengah imah dibatasi dengan
penyekat dan untuk memasuki pangkeng
ini terdapat pintu. Sedangkan pangkeng
di sebelah luar pintu menghadap tepas
(beranda depan).
Kemudian, tempat menyimpan padi
dan beras (goah) menggunakan penyekat
dari bilik. Ada yang menggunakan pintu
dan ada pula yang tidak. Artinya hanya
menggunakan penutup berupa gorden.
Selain goah, terdapat pintu keluar ke

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo (Suwardi Alamsyah P.)


sebelah belakang, dan di sebelah hawu
terdapat pintu ke depan, yaitu ke tepas
(beranda depan).
Bagian tengah imah ini memiliki 4
pintu, yaitu 2 pintu ke pangkeng/enggon
(tempat tidur), satu pintu ke dapur, dan
satu ke tepas. Pintu ke depan berhadapan
dengan tepas semacam beranda tempat
menerima tamu sebelum dipersilakan
masuk ke ruang tengah imah. Kemudian
di bagian muka tepas terdapat golodog
atau tangga yang terbuat dari rangkaian
bambu utuh 5-6 batang, memanjang
selebar permukaan tepas.
Rumah di Kampung Pulo, memiliki
beberapa jendela (jandela) terbuat dari
anyaman sasag dan jalosi (semacam
tralis) terbuat dari kayu. Terdapat lima
buah jendela, berukuran 80 X 60
sentimeter, yang pertama terdapat di
belakang hawu, kedua di tengah imah
menghadap ke belakang, dan yang ketiga
serta keempat terletak di kamar bagian
dalam, sedangkan jendela yang kelima
menghadap ke depan.
5. Beberapa Perubahan

Bertalian dengan adanya


perubahan pada arsitektur rumah tempat
tinggal dimungkinkan oleh adanya
perputaran dunia dengan segala macam
isinya yang akan memunculkan
konsekuensi pada suatu perubahan. Hal
tersebut berlaku pula pada masyarakat
dan kebudayaan Kampung Pulo,
khususnya yang bertalian dengan
arsitektur rumah tempat tinggal. Faktorfaktor yang mengakibatkan adanya
perubahan tersebut di antaranya adalah
berubahnya persendian sumber daya
alam, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, berubahnya situasi dan kondisi
masyarakat, serta populasi yang harus
bertambah.

2011

111

Beberapa perubahan yang bisa


dilihat secara nyata mengenai arsitektur
rumah masyarakat adalah tihang.
Menurut kebiasaan yang selalu dilakukan
nenek moyang dan aturan adat,
pembuatan tiang kayu hanyalah dipapas
(diratakan dengan menggunakan beliung,
begitu pula cara memotongnya. Sekarang,
tiang-tiang rumah yang digunakan pada
rumah masyarakat Kampung Pulo, sudah
dihaluskan dengan menggunakan sugu
dan memotong atau membelahnya sudah
menggunakan gergaji besar, baik untuk
tiang maupun papan. Dahulu,
penggunaan tiang hanyalah pohon-pohon
berukuran kecil dan sedang, sehingga
penebangan kayunya pun disesuaikan
dengan kebutuhan. Proses pembuatan
tiang, papan, dan menghaluskan
permukaan dengan menggunakan beliung
memakan waktu lama dan hasilnya
kurang memuaskan. Di samping, batang
atau pohon kayu yang ukurannya sesuai
dengan kebutuhan sulit didapat. Oleh
karena itu, digunakan pohon berbatang
besar dan untuk membelah atau
memotongnya diperlukan gergaji besar.
Hampir seluruh rumah di Kampung
Pulo ini sudah menggunakan paku untuk
memperkokoh sambungan dan bagianbagian rumah lainnya. Pada awalnya
memang tidak dipergunakan alat paku
untuk memperkokoh sambungan, namun
menggunakan tali, baik tali terbuat dari
bambu atau injuk (ijuk), dan paseuk
(pasak) dari kayu atau bambu.
Kemudian, perubahan terjadi pada
atap rumah yang semula mempergunakan
bahan atap dari alang-alang (kiray) dan
injuk ijuk, dan atau talahab susunah
belahan bambu, kini sudah terlihat
mempergunakan bahan genteng. Hanya
satu rumah saja yang masih tetap
mempergunakan bahan atap dari ijuk dan
talahab yang kini ditempati Pak Atang.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

112

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 101-118

Di samping itu, perubahan terjadi dalam


penggunaan daun panto pintu dan daun
jandela jendela, yang semula
mempergunakan daun pintu dari anyaman
bambu (anyaman sasag), sekarang
sudah berubah dengan mempergunakan
daun pintu yang terbuat dari papan.
Selain itu, keseluruhan bangunan
rumah di Kampung Pulo sudah
menggunakan paku untuk memperkokoh
sambungan dan bagian-bagian rumah
lainnya. Walaupun satu dari keenam
rumah dimaksud atap rumahnya masih
dipertahankan menggunakan injuk dan
talahab, namun penggunaan paku sudah
dilakukan, padahal pada awalnya memang
ditabukan karena sebelumnya hanya
digunakan tali ijuk, tali bambu, di samping
menggunakan paseuk pasak dari kayu
atau bambu, begitu juga selag yang
terbuat dari bambu semacam pasak untuk
memperkuat bilik. Paku dibawa dari
pengaruh budaya luar, yaitu saat
penjajahan. Sekarang paku digunakan
karena sudah dibuat dan dihasilkan oleh
bangsa sendiri. Selain penggunaan paku
juga penggunaan engsel pada pintu.
Perubahan tidak hanya terjadi pada
bangunan atau arsitek rumah, tetapi juga
terdapat pada beberapa perlengkapan dan
kebutuhan sehari-hari, semisal
perlengkapan memasak, makan dan
minum, maupun penggunaan bantal.
Berubahnya perlengkapan tersebut
diakibatkan oleh masuknya beberapa hasil
kemajuan teknologi seperti piring, gelas,
sendok, garpu. Perubahan paling
signifikan pada barang kebutuhan rumah
tangga bahwa mereka sudah memiliki
pesawat televisi dan alat komunikasi
seperti HP (Handphone), di samping
penerangan berupa listrik.
Perubahan-perubahan itu,
berlangsung secara perlahan seiring

perjalanan waktu dalam perjalanan


sejarahnya. Oleh karena itu, sulit untuk
menentukan batas waktu dan kadar
perubahan secara pasti karena fenomena
itu berlangsung melalui pergeseran dan
kurun waktu tertentu. Meskipun
demikian mereka tetap mengutamakan
kesederhanaan dan kesahajaan warga
Kampung Pulo masih terlihat dalam
kesamaan bentuk rumah, arah hadap,
bahan bangunan yang digunakan, serta
keramahan dan keterbukaan penduduknya
saat kedatangan orang-orang dari luar.
C. PENUTUP

Arsitekur tradisional masyarakat


Kampung Pulo, memberikan gambaran
umum tentang nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam arsitektur tradisional
daerah ini. Beberapa hal dapat
disimpulkan tentang hubungan antara
arsitektur tradisional di satu pihak dengan
nilai-nilai kultural yang dimilikinya di lain
pihak.
Bentuk arsitektur tradisional rumah
tempat tinggal (imah) dan masigit/masjid,
masih tampak dan dapat disaksikan pada
perkampungan adat di Kampung Pulo,
yang jumlahnya hanya 6 buah rumah dan
satu masjid. Bentuk rumah tinggal
berkolong menunjukkan bahwa
kehidupan masyarakat peladang
melatarbelakangi kehidupan masyarakat
Kampung Pulo. Di samping sebagai salah
satu bukti ketaatan terhadap ketentuan
(pamali) warisan leuluhur (karuhun),
yaitu dengan tidak berubahnya bangunan
tempat tinggal, baik bentuk maupun
jumlah sepanjang perjalanan sejarahnya.
Bentuk bangunan yang berkolong atau
rumah panggung membujur dari timur ke
barat serta arah hadap yang berhadapan
ke arah utara dan ke selatan. Sepintas,
memang tidak ada perbedaan sama sekali

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo (Suwardi Alamsyah P.)


antara rumah yang satu dengan rumah
yang lainnya. Tidak adanya batas-batas
antara rumah dengan rumah
menunjukkan bahwa pada masyarakat
Kampung Pulo mempunyai anggapan
bahwa dengan memagari lahan yang
sama, berarti mengaku tanah sebagai
tanah milik. Antara rumah dengan rumah
mereka batasi dengan hanya dibuatkan
kamalir berupa saluran kecil yang dibuat
dengan batu belah atau batu utuh untuk
mengalirkan curahan air hujan dari
cucuran atap (panyaweran).
Pembangunan rumah di Kampung
Pulo, tidak diketahui secara pasti karena
keenam rumah dan satu masjid/masigit
yang ada di sini, dibangun ketika Embah
Dalem Arif Muhammad membuatkan
rumah untuk keenam putrinya. Menurut
pendapat mereka yang menghuni keenam
rumah tersebut, rumah bukan hanya
tempat berlindung dari terik matahari,
binatang buas, dan hujan, melainkan
sebagai tempat bersosialisasi antara ayah,
ibu, anak dan keluarga lainnya. Selain itu,
rumah berfungsi tidak hanya sekadar
tempat tinggal, tetapi juga memiliki arti
lebih luas, yakni sosial, ekonomis dan
menjadi pusat pendidikan budaya,
termasuk pendidikan moral, serta
dianggap suci (sakral). Hal itu
disebabkan di dalam rumah hidup dan
berkembangnya hubungan sosial
(sosialisasi) anggota keluarga. Dan
rumah, merupakan tempat mengerjakan
hal-hal yang sifatnya ekonomis, yang
bertalian dengan hal-hal yang bertalian
dengan pendidikan budaya dari orang tua
kepada anak-anaknya. Dan rumah
dianggap suci, karena rumah bisa
disamakan dengan alam mikro, yang
dianggap miniaturnya alam makro.
Bentuk atap yang ada di Kampung
Pulo adalah suhunan jolopong
(jolopong = tidur telungkup, dan atau

2011

113

jelepeng = tidur terlentang) dan suhunan


julang ngapak (burung julang mengepak
sayap). Bentuk atap ini menunjukkan
kesederhanaannya, baik dalam bentuk,
gaya maupun teknik pembuatannya.
Karena kesederhanaannya itulah orang
Kampung Pulo mempertahankan
bangunan tersebut, selain berfungsi
sebagai tempat beristirahat setelah
bekerja juga tempat bersosialisasi dengan
seluruh anggota keluarganya.
Rumah yang pada awalnya
dibangun dan diperuntukkan keenam putri
Embah Dalem Arif Muhammad, didasari
oleh kesederhanaan. Kesederhanaan
itulah yang digariskan Embah Dalem Arif
Muhammad yang secara tidak langsung
sebagai ketentuan yang diwariskan dan
menjadi tradisi masyarakat Kampung
Pulo pada khususnya dan umumnya
masyarakat Cangkuang, tampak dalam
pamali atau pantangan tabu dalam
membangun rumah.
Arsitektur tradisional memiliki
logika struktur yang kuat. Andy Siswanto
dalam Toto Sucipto (1990:237)
menegaskan: arsitektur tradisional
memang selalu bereaksi secara nalar,
cerdas terhadap ekologi setempat. Hal
tersebut tercermin dalam beberapa
pantangan atau pamali, yang berbunyi
arah rumah harus membujur dari timur
ke barat, suhunan berbentuk suhunan
jolopong (suhunan panjang) dan atau
suhunan julang ngapak, rumah harus
berkolong (panggung), dan tidak boleh
membuat rumah suhunan jure.
Makna dari aturan: suhunan harus
berbentuk
suhunan
jolopong,
menyiratkan soal kepraktisan yang
memungkinkan pembuatan rumah tidak
sulit dan berbelit. Demikian pula dengan
keharusan membujur dari timur ke barat.
Selain berpijak pada unsur kepraktisan
agar tidak terlalu sukar, juga terdapat

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

114

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 101-118

unsur kepercayaan, yaitu adanya tempat


suci di bagian barat dengan dibangunnya
masigit/masjid, di samping menyiratkan
keselarasan dengan gerak kehidupan
yang dilambangkan dengan perjalanan
matahari yaitu terbit dari timur dan
terbenam di barat.
Pembangunan rumah berkolong
mempunyai makna yang luas karena
selain berkaitan erat dengan sistem
pengetahuan praktis, juga ada kaitannya
dengan sistem kepercayaan bahwa dunia
ini terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu dunia
bawah, dunia tengah, dan dunia atas.
Dunia bawah adalah bumi dan dunia atas
adalah langit. Sedangkan dunia tengah
adalah pusat alam semesta, tempat segala
makhluk
berkembang
dan
mempertahankan kehidupan. Oleh
karena itu, rumah tempat melangsungkan
kehidupannya harus terletak di tengahtengah, tidak di dunia bawah atau di dunia
atas. Dengan demikian rumah harus
berkolong, selain dimaksudkan dalam
paparan di atas, berfungsi sebagai
pemisah antara rumah secara
keseluruhan dengan dunia bawah dan
dunia atas.
Organisasi rumah secara tipikal
terbagi atas tepas beranda/serambi,
berfungsi sebagai tempat menerima tamu.
Selain itu, digunakan sebagai tempat
keluarga beristirahat saat setelah seharian
melakukan aktivitas pekerjaan di kebon
kebun dan atau di sawah. Kemudian
tengah imah tengah rumah digunakan
untuk berkumpulnya keluarga, tempat
ngobrol sebelum tidur, serta tempat
kegiatan selamatan sepanjang lingkaran
hidup. Pangkeng kamar tidur ,
digunakan untuk orang tua dan anakanaknya. Pada bagian dapur terdapat
goah (tempat menyimpan padi, pabeasan
dan berasnya). Daerah ini khusus wanita,
kalau tidak terpaksa laki-laki dilarang

masuk. Di sisi sebelah yang berhadapan


dengan goah terdapat hawu tungku
perapian tempat memasak.
Dipandang dari segi kepercayaan
menurut Kusnaka Adimihardja (1981:56)
dalam Toto Sucipto (1990:240-241) adalah
didasarkan kepada sifat-sifat wanita, lakilaki, dan daerah netral. Daerah netral
terletak antara khusus daerah laki-laki dan
wanita, antara lain tengah imah dan
pangkeng. Daerah netral dapat
digunakan bersama-sama baik oleh lakilaki maupun perempuan. Tepas serambi
merupakan manifestasi dari daerah lakilaki dan bagian belakang merupakan
manifestasi dari daerah wanita. Setiap
bagian rumah dipisahkan dengan dinding
dan pintu, kecuali tepas yang menghadap
keluar, menghadap jolodog tidak
menggunakan penyekat.
Paparan di atas, merupakan
pembagian yang bisa ditemui berdasarkan
strukturnya, yaitu bagian bawah
(kolong), bagian tengah (badan rumah),
dan bagian atas (atap). Bagian bawah
terdiri atas tatapakan (pondasi) dan
tiang. Bagian tengah (badan rumah)
terdiri atas dinding, panto pintu,
jandela jendela, dan lantai (palupuh).
Selanjutnya di bagian atas, adalah atap
(hateup). Maksud pemisahan bagianbagian rumah dimaksud adalah masingmasing bagian dapat diselesaikan
tersendiri, tetapi satu sama lain dapat
membentuk suatu struktur yang kompak
dan kaku dimana keseluruhan elemennya
saling berhubungan dan berdiri di atas
tiang-tiang yang bertumpu pada
tatapakan (pondasi batu alam).
Penggunaan pondasi batu alam
menunjukkan bahwa mereka telah
berusaha melindungi tiang-tiang kayu dari
air tanah dan atau kelembaban tanah serta
serangan rinyuh rayap yang
mempercepat pelapukan kayu, dan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo (Suwardi Alamsyah P.)


mencegah turunnya bangunan karena
berubahnya kondisi tanah.
Pengudaraan (ventilasi), berfungsi
untuk mencegah dan mengatasi
kelembaban ruangan. Udara yang
mengalir bergantian menyebabkan
pertukaran udara di dalam ruangan
berlangsung dengan baik. Begitu pula
dengan pembuatan dan pemasangan
jandela jendela pada tiap-tiap ruangan
dan pembuatan erang-erang loster di
atas pintu dan jendela, dimaksudkan
untuk pengudaraan silang (cross
ventilation), mengganti udara dari dalam
ruangan dengan udara segar dari luar.
Begitu juga dengan pemasangan lantai
dari palupuh, berfungsi juga sebagai
tempat pertukaran udara. Sehingga, unsur
kenyamanan thermal tidak terabaikan
dalam pembentukan rumah.
Konsepsi yang tersirat dalam
rumah masyarakat Kampung Pulo
merupakan konsepsi yang bijaksana
karena berpijak pada keserasian dan
penghargaan terhadap lingkungan.
Bahan-bahan yang digunakan, didapat
dari alam sekeliling dengan penggunaan
sumber daya alam yang bijaksana,
dengan kata lain bahwa eksploitasi yang
dilakukan terbatas pada penggunaan
seperlunya karena dibatasi pamali atau
pantangan yang secara tidak langsung
mengatur masyarakat bersikap arif
terhadap lingkungan alamnya. Sehingga
keserasian dengan alam tampak dari
bahan-bahan bangunan yang alamiah;
dinding dari bambu (bilik), atap dari
injuk (hateup) ijuk dan bambu
(talahab) untuk rumah yang beratap
suhunan julang ngapak, dan kenteng
genteng rumah yang beratap suhunan
jolopong. Sedangkan, tiang dan bagian
lainnya terbuat dari kayu dan bambu,
serta penyesuaian letak dan bentuk
rumah dengan kondisi geografis alam

2011

115

setempat; menyebabkan seolah-olah


bangunan rumah menyatu dengan alam.
Penghargaan terhadap alam yang
menyebabkan penggunaan sumber daya
alam dengan bijaksana, membuat kondisi
kampung berhawa sejuk, apalagi
Kampung Pulo dikelilingi oleh situ atau
danau. Kenyataan tersebut telah
mempertebal keyakinan mereka bahwa
di samping kegunaan yang bersifat sakral
dengan menaati pamali/pantangan atau
aturan-aturan warisan nenek moyang
yang berlaku secara turun-menurun,
lingkungan alam juga mempunyai
kegunaan yang bersifat profan atau nyata.
Kondisi permukiman yang nyaman dan
sejuk, membuat masyarakat betah dan
mencintai kampungnya, walaupun
permukiman mereka merupakan
kelompok rumah dengan jarak rumah
yang hanya dibatasi kamalir untuk
mengalirnya
cileungcang
dari
panyaweran cucuran atap. Kondisi
demikian ditunjang oleh rasa tentram yang
timbul karena pergaulan mereka yang
harmonis dan akrab di antara para
warganya.
Selain itu, penghargaan terhadap
lingkungan alam dinyatakan oleh leluhur
mereka dengan pamali, yakni larangan
untuk tidak memelihara binatang besar
berkaki empat, seperti embe kambing,
domba biri-biri, munding kerbau dan
sapi. Ternyata larangan tersebut
berdampak positif bagi kelestarian
lingkungan di Kampung Pulo yang luasnya
hanya sekira 0,5 hektar. Karena itu, jika
diperkenankan memelihara binatang besar
dimaksud dapat mengurangi kapasitas
lahan yang tersedia termasuk untuk
persediaan pakannya.
Interaksi sosial yang harmonis bisa
tercipta karena prinsip kebersamaan tetap
menjadi wawasan yang mempunyai
peran penting dalam setiap gerak

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

116

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 101-118

kehidupan, hal tersebut bisa dilihat dari


kesamaan dalam arti tidak terdapatnya
perbedaan yang mencolok dalam bentuk
bangunan rumah, apalagi rumah-rumah
yang hanya enam rumah dimaksud dibuat
oleh orang tua atau leluhur mereka, yakni
Embah Dalem Arif Muhammad pada
awalnya. Sehingga kesamaan dalam
bentuk maupun bahan bangunan, tidak
menimbulkan gejolak sosial di antara
mereka, seperti iri karena rumah
saudaranya lebih bagus dari rumahnya
sendiri, hal tersebut bisa direndam, karena
disadari bahwa mereka itu adalah
saudaranya sendiri.
Dari paparan di atas, dapat
diketahui bahwa aturan-aturan yang
diajarkan orang tua dalam bentuk
bangunan rumah, dan bangunan masigit/
masjid, sebenarnya mempunyai makna
dan fungsi yang lebih luas. Hemat penulis,
Embah Dalem Arif Muhammad membuat
keenam rumah yang sama bentuk,
struktur dan bahan bangunan rumah untuk
putri-putrinya, dimaksudkan untuk
menghindarkan putri-putrinya dari
perpecahan, konflik, dan pertentangan,
dari krisis moral. Lebih jauh dibangunnya
masigit/masjid berfungsi juga sebagai
mekanisme kontrol dari ajaran agama, di
samping kontrol dalam kebudayaan yang
menahan dilakukannya eksploitasi alam
secara semena-mena. Mekanisme ini
diselimuti dengan sanksi-sanksi moral dan
keagamaan yang mereka anut, sehingga
keadaan lingkungan alam dan fisik relatif
stabil dalam jangka waktu yang cukup
lama. Otomatis, jika mekanisme itu tetap
dipertahankan maka arsitektur tradisional
rumah-rumah di Kampung Pulo relatif
tetap dan stabil.
Sistem kepercayaan yang salah
satunya direalisasikan dalam beberapa
aturan-aturan (pamali), merupakan
mekanisme kontrol terselubung dalam

kebudayaan masyarakat Kampung Pulo


yang membuat para warganya tetap
sederhana, tidak hidup berlebihan, tetap
memegang prinsip kebersamaan dan tidak
mengeksploitasi sumber daya alam
secara semena-mena, sehingga
keseimbangan lingkungan baik fisik-alam
maupun sosial dapat dipertahankan.
Sekalipun demikian, tidak bisa dipungkiri
bahwa sekecil apa pun yang terjadi,
kebudayaan Kampung Pulo akan berubah
dengan berlakunya waktu karena
kebudayaan tidak bersifat statis. Ia selalu
berkembang sesuai dengan sifatnya yang
adaptif, selalu menyesuaikan diri dengan
kondisi lingkungan. Oleh karena itu,
kebudayan manusia bukanlah suatu hal
yang timbul sekali atau bersifat
sederhana.
Setiap
masyarakat
mempunyai kebudayaan yang berbeda
dari kebudayaan masyarakat lain.
Kebudayaan merupakan kumpulan yang
terintegrasi dari cara-cara berlakunya
yang dimiliki bersama dan secara unik
menyesuaikan diri dengan lingkungan
tertentu. Setiap perubahan akan dikuti
kecenderungan mencari keseimbangan,
sehingga lahir wujud baru. Bila terjadi
perubahan pada pola berpikir, maka pola
berpikir lama akan tetap mendasari
perubahan tersebut. Demikian pula yang
terjadi pada kebudayaan masyarakat
Kampung Pulo, khususnya dalam
arsitektur bangunan rumah. Perubahan
tersebut pada umumnya terjadi karena
berubahnya sumber daya alam, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
berubahnya situasi dan kondisi
masyarakat karena populasi yang terus
bertambah dan silih berganti sepanjang
perjalanan sejarahnya.
Perubahan yang terjadi diakibatkan
oleh pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terhadap adat
istiadat Kampung Pulo tampak dalam

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo (Suwardi Alamsyah P.)


pengerjaan membuat tiang dan bagianbagian rumah yang lain. Semisal
pengerjaan pembuatan tiang yang
biasanya hanya dibuat dengan hanya
memapas batang kayu sedemikian rupa
sehingga berbentuk balok persegi empat
dengan menggunakan alat baliung,
sekarang sudah menggunakan gergaji
besar dan selanjutnya dihaluskan dengan
menggunakan sugu serutan. Walaupun
demikian, pengerjaan pembuatan tiang
dan penghalusan dilakukan di luar
Kampung Pulo, sehingga tiang yang
masuk akan digunakan untuk bangunan
di Kampung Pulo sudah berupa tiang
halus dan rata.
Kemajuan teknologi juga
menggeser penggunaan atap ijuk
(hateup) dan talahab dari belahan
bambu dengan menggunakan kenteng
genteng. Penggunaan paseuk pasak
kayu atau bambu untuk memperkuat
sambungan menggunakan paku dari besi.
Begitu pula penggunaan selag untuk
menguatkan bilik (dinding), sudah
digantikan dengan paku. Selain itu,
penggunaan tulak panto penahan pintu
sudah digantikan dengan slot dari logam
besi.
Perubahan, tidak hanya terjadi
pada arsitektur bangunan tetapi juga
terdapat pada beberapa perlengkapan
hidup sehari-hari, semisal pesawat televisi,
radio, dan perlengkapan dapur. Walaupun
demikian, tidak seluruh penduduk
melakukan perubahan dengan kadar yang
sama.
Perubahan-perubahan yang
dilakukan masyarakat Kampung Pulo
seperti dalam paparan di atas, ternyata
tidak bersifat total karena inti atau dasar
kebudayaannya tidak mengalami
perubahan, atau perubahan yang terjadi

2011

117

tidak berubah sifat pokok dari kebudayaan


mereka. Ditinjau dari sikap dan tingkah
laku masyarakat sehari-hari, mereka
masih terlihat tetap sederhana,
menghindari hidup berlebihan dan tetap
memegang prinsip kebersamaan. Hal ini
tercermin dalam arsitektur bangunan
mereka yang masih bercirikan tradisional
dengan masih tampaknya sifat-sifat asli
yang berasal dari ketentuan yang telah
digariskan leluhur mereka, yaitu
kesamaan dalam bentuk, struktur, arah
hadap yang tetap utara selatan, dan arah
membujur timur barat.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Suwardi, Sindu Galba, dan
Toto Sucipto. 2007.
Arsitektur Bangunan Tradisional
pada Masyarakat Baduy
Panamping dalam Jurnal
Penelitian, Edisi 38. Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Bandung: Upakarti.
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda.
1986.
Kehidupan Masyarakat Kanekes.
Bandung: Depdikbud Dirjen
Kebudayaan, Proyek Sundanologi.
Depdikbud. 1981/1982.
Arsitektur Tradisional Daerah
Jawa Barat. Bandung: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah.
Ekajati, Edi S. (ed). 1984.
Masyarakat Sunda dan
Kebudayaannya. Bandung: Giri
Mukti Pusaka.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

118

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 101-118

Fajria R., Heni dan Toto Sucipto. 2000.


Kampung Adat dan Rumah
Adat di Jawa Barat. Bandung:
Disbudpar Propinsi Jawa Barat.
Garna, Judistira. 1984.
Pola Kampung dan Desa;
Bentuk serta Organisasi Rumah
Masyarakat Sunda dalam
Ekajati, Edi S. (ed). Masyarakat
Sunda dan Kebudayaannya.
Bandung: Girimukti Pusaka.
Harsoyo. 1982
Masyarakat Sunda dalam
Koentjaraningrat (ed). Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Djambatan.

Suhamihardja, A. Suhandi et al. 1986.


Tata Kehidupan Masyarakat
Baduy Daerah Jawa Barat.
Bandung: Depdikbud. Proyek
IDKD.
Suhamihardja, A. Suhandi dan Yugo
Sariyun. 1991.
Kesenian Arsitektur Rumah dan
Upacara Adat Kampung Naga
Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.
Ditjen Kebudayaan Proyek
Pembinaan Media Kebudayaan.
Surakhmad, Winarno. 1980.
Penelitian Dasar Metode
Teknis. Bandung: Tarsito.

Raksanagara, H. Aman et al. 2003.


Saung Ranggon; Sebuah Potret
Arsitektur Tradisional Sunda.
Bandung: Depbupar, Balai
Pengelolaan Kepurbakalaan,
Sejarah dan Nilai Tradisional.

Tim

Koordinasi Siaran, Ditjen


Kebudayaan. 1992.
Aneka Ragam Khasanah
Budaya Nusantara, Jil. IV.
Jakarta: Depdikbud. Ditjen
Kebudayaan Proyek Pengembangan Media Kebudayaan.

Sucipto, Toto. 1990.


Kampung Dukuh, Tinjauan
Etnografi dan Arsitektur
Rumah. Bandung: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran.

Wibowo, H.J. 1998.


Daerah Arsitektur Tradisional
Istimewa Yogyakarta, Edisi II.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Jakarta: CV.
Pialamas Permai.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Nilai Budaya Pada Dolanan Dermayon (Ria Intani T.)

119

NILAI BUDAYA PADA DOLANAN DERMAYON


Oleh Ria Intani T.
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung
Email: ria_intani@yahoo.com
Naskah diterima: 31 Desember 2010

Naskah disetujui: 17 Februari 2011

Abstrak
Zaman yang serba tek (baca: teknologi) membuat ruang gerak hal-hal yang
berbau tradisional menjadi tidak leluasa. Bisa dikatakan nyaris semua sektor budaya
terkena imbasnya. Termasuk juga permainan anak-anak. Fenomena itu menggerakkan
dilakukannya penelitian terhadap permainan tradisional anak-anak. Tujuannya tidak
lain untuk menggali permainan tradisional yang ada di suatu daerah, dalam hal ini
Indramayu. Indramayu adalah kota kabupaten yang juga sudah tersentuh teknologi
dengan Balongan sebagai ikonnya. Kenyataan menunjukkan bahwa dari sejumlah
permainan yang pernah ada, tidak semuanya masih dilakukan. Ada permainan yang
sudah tidak dilakukan tetapi masih dikenal namanya, ada pula yang sudah tidak
dikenal sama sekali. Hal yang cukup menarik adalah dalam lingkup satu kabupaten
terdapat permainan yang jenisnya sama namun namanya berbeda. Hal ini bisa dipahami
terutama oleh karena adanya dua kultur di sana, pantai dan pertanian. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Kata kunci: permainan, tradisional, anak-anak.

Abstract
During this era of modern technology, traditional things became fade
away. The impacts are reflected on almost every cultural sectors, including
childrens games. This phenomenon has made the author conduct a research
on it, and the object was traditional childrens game in Indramayu. Indramayu
has witnessed many modern technologies, and Balongan is the icon. The author
finds that there are many traditional games that are not played any more, some
are still played, and the rest are only names that left. The author also finds an
interesting fact: in the same regency there are different kinds of games that
have same name. It probably because Indramayu has two subcultures: maritime
and agriculture. Descriptive method and qualitative approach were applied to
the research.
Keywords: games, traditional, children.

2011

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

120

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 119-135

A. PENDAHULUAN
Filsuf Belanda, Johan Huizinga,
mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk ludik, bermain (homo ludens),
seperti dikutip oleh Bambang Q-Anees
(2005:1). Huizinga berpendapat bahwa
kebudayaan atau apapun, tak lepas dari
unsur-unsur permainan. Aktivitas
pergantian peran, aturan main dan lain
sebagainya, terdapat dalam suatu
permainan. Unsur utama kebahagiaan
adalah mendapatkan kegembiraan yang
akan didapat dalam suatu permainan.
Orang yang bermain akan terlepas dari
waktu keseharian.
Ada permainan masa kini yang
disebut dengan permainan modern,
sebaliknya ada permainan masa lalu yang
disebut dengan permainan tradisional.
Istilah tradisional berasal dari kata tradisi
yang oleh Heddy Shri Ahimsa Putra
diartikan sebagai sejumlah kepercayaan,
pandangan atau praktek yang diwariskan
dari generasi ke generasi. Pewarisannya
tidak melalui tulisan melainkan secara
lisan atau lewat contoh tindakan. Adapun
istilah tradisional diartikan sebagai yang
telah diwariskan dari generasi ke generasi
dan diterima oleh umum.
Permainan tradisional merupakan
cerminan karakter dan falsafah hidup
masyarakatnya karena terlahir dari rahim
budayanya sendiri. Hal yang menonjol
dalam permainan tradisional adalah
bahwa permainan tradisional tercipta dari
suatu proses yang panjang. Proses yang
harus dilalui oleh anak-anak untuk sampai
pada tahap bermain. Prosesnya dimulai
dari mencari bahan untuk alat yang akan
digunakan, membuat alat, menentukan
aturan
main,
sampai
pada
memainkannya.
Alat permainan tradisional dibuat
melalui keterampilan tangan anak.

Meskipun kadang dibuat dengan


mengacu pada bentuk baku, namun
buatan tangan memberi peluang
munculnya beragam variasi. Variasivariasi itulah yang merupakan cerminan
kreativitas pembuatnya sekaligus
membentuk mentalitas produktif.
Hal lain yang menonjol dari
permainan tradisional adalah bentuk kerja
sama. Permainan tradisional hampir
selalu memberi peluang untuk kehadiran
orang lain, baik sebagai teman atau lawan
main. Permainan tradisional tidak
memberi ruang gerak bagi sikap-sikap
individualistis. Sebaliknya, permainan
modern sifatnya instan. Alatnya terdapat
di hampir setiap penjaja mainan dengan
kualitas yang berbeda-beda. Uang yang
akan menentukan kualitas mana yang
akan didapat. Permainan modern
umumnya dapat dilakukan oleh
perorangan.
Setiap daerah memiliki beragam
jenis permainan tradisional. Jenis
permainan di setiap daerah hampir serupa
meskipun namanya berbeda. Di era yang
serba tek (baca: teknologi), sulit untuk
mendapati permainan yang sifatnya
tradisional di kota-kota setingkat provinsi.
Beragam fasilitas, prasarana dan sarana
yang tersedia di perkotaan mempersempit
ruang untuk permainan tradisional.
Bagaimana dengan di kota-kota setingkat
kabupaten seperti halnya Indramayu
(Dermayon)? Teknologi sudah
merambah ke sana dengan Balongan
sebagai ikonnya. Bagaimana kondisi
dolanan-nya sekarang? Pertanyaan
itulah yang mendasari dilakukannya
penelitian terhadap dolanan Dermayon.
Syarat permainan anak menurut Ki
Hajar Dewantara dalam Ernawati
Purwaningsih (2006:4) adalah:
- Permainan harus memberikan
kegembiraan pada anak karena

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Nilai Budaya Pada Dolanan Dermayon (Ria Intani T.)


kegembiraan adalah pupuk bagi
tumbuhnya jiwa;
- Permainan harus memberikan
kesempatan pada anak untuk
berfantasi. Permainan harus
mengandung semacam tantangan
sehingga merangsang daya kreativitas;
- Permainan hendaknya mengandung
unsur keindahan atau nilai seni; dan
- Permainan anak harus mengandung
isi yang dapat mendidik anak ke arah
ketertiban, kedisiplinan, sportivitas,
kebersamaan.
Selanjutnya
Purwaningsih
menjelaskan bahwa jumlah permainan
anak dari seluruh tanah Jawa sebanyak
697. Dari sejumlah permainan tradisional
anak, dapat dibagi dalam sepuluh jenis
permainan yaitu:
- Permainan yang pelakunya anak
perempuan atau anak laki-laki saja,
atau dapat dilakukan oleh anak lakilaki dan perempuan secara bersamasama;
- Permainan
yang
pelakunya
berpasangan satu lawan satu;
- Permainan yang menggunakan
peralatan;
- Permainan yang disertai dengan
nyanyian;
- Permainan yang diakhiri dengan
pemberian hukuman pada yang kalah;
- Permainan yang menggunakan udhu
sehingga berakhir dengan untung dan
rugi;
- Permainan yang dapat berakibat rusak
atau hilangnya alat bermain;
- Permainan yang menggunakan cara
sut, hompimpah, atau cara lainnya
untuk menentukan urutan pemain;
- Tempat bermain beragam bergantung
pada jenis permainannya.
Menurut Ki Hadisukatno dalam
Purwaningsih (2006:43), permainan
tradisional anak dapat dikelompokkan
dalam lima jenis yaitu:
2011

121

- Permainan yang bersifat menirukan


perilaku orang dewasa;
- Permainan untuk melatih kekuatan
dan kecakapan;
- Permainan untuk melatih panca
indera;
- Permainan untuk melatih kecakapan
dalam berbahasa;
- Permainan dengan lagu dan irama.
Dharmamulya dalam tulisan
Purwaningsih (2006:43), menyoroti
tentang unsur-unsur nilai budaya yang
terkandung dalam permainan tradisional
yaitu:
- Nilai kesenangan atau kegembiraan.
Rasa senang yang ada pada si anak
mendorong mewujudkan suatu fase
munuju pada kemajuan.
- Nilai kebebasan, seseorang yang
mempunyai kesempatan untuk
bermain akan merasa terbebas dari
tekanan hingga merasa senang dan
gembira. Dalam keadaan hati yang
senang, akan lebih mudah untuk
memasukkan hal-hal baru yang
sifatnya positif untuk mendidik.
- Rasa berteman, dengan mempunyai
teman anak akan belajar untuk
mengerti orang lain, menghargai orang
lain, dan belajar bersosialisasi.
- Nilai demokrasi, dalam suatu
permainan setiap pemain mempunyai
kedudukan yang sama. Tidak
memandang apakah peserta
permainan anak orang kaya atau
miskin, tidak memandang anak pandai
atau bodoh, yang penting mereka mau
menaati aturan yang berlaku dalam
permainan.
- Nilai kepemimpinan, nilai ini terdapat
pada permainan yang sifatnya
berkelompok. Dalam permainan yang
berkelompok akan ada satu orang
yang dipilih oleh teman-temannya
untuk menjadi pemimpinnya. Di

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

122

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 119-135

sanalah seseorang berlatih bagaimana


menjadi seorang pemimpin yang harus
dipatuhi oleh anggota.
- Rasa tanggung jawab, dalam
permainan yang bertujuan untuk
memperoleh kemenangan, biasanya
pelaku memiliki rasa tanggung jawab
penuh, sebab mereka akan berusaha
untuk memperoleh kemenangan.
Apabila menang berarti suatu prestasi
yang dapat menimbulkan rasa bangga
dan berpengaruh pada pertumbuhan
dan perkembangan jiwa anak.
- Nilai kebersamaan, dalam permainan
yang bersifat kelompok, terdapat nilai
kebersamaan. Kelompok akan
bekerjasama
demi
meraih
kemenangan.
- Nilai kepatuhan. Dalam setiap
permainan ada peraturannya.
Peraturan itu ada yang umum dan ada
yang merupakan kesepakatan
bersama. Setiap pemain harus
mematuhi peraturan itu. Dengan
bermain secara tidak langsung anak
dilatih untuk mematuhi suatu peraturan
yang berlaku.
- Melatih kecakapan dalam berhitung.
- Melatih kecakapan berpikir baik
dalam skala luas maupun sempit.
Setiap pemain dilatih untuk mengatur
strategi demi mencapai kemenangan.
- Nilai kejujuran dan sportivitas. Dalam
bermain dituntut kejujuran dan
sportivitas. Pemain yang tidak jujur
akan mendapatkan sanksi, dikucilkan
teman-temannya atau mendapatkan
hukuman kekalahan.
Ki Hajar Dewantara dalam
tulisannya di majalah Pusara yang dikutip
oleh Purwaningsih (2006:44) menjelaskan
bahwa:
Mudahlah bagi kita untuk
menetapkan guna dan faedah
permainan kanak-kanak itu bagi

kemajuan jasmani dan rohani kanakkanak. Tubuh badannya menjadi sehat


dan kuat, serta hilanglah kekakuan
bagian-bagian tubuh, hingga gampang
dan lancar anak-anak melakukan
segala sepak terjang atau langkah laku
dengan segala tubuh badannya.
Seluruh pancainderanya dapat
dipergunakannya dengan sebaikbaiknya, lancar, lembut dan cekatan.
Selain itu permainan anak juga
berpengaruh pada timbulnya
ketajaman berpikir, kehalusan rasa
serta kekuatan kemauan.
Permainan anak melatih anak-anak
untuk bisa menguasai diri sendiri,
menghargai atau mengakui kekuatan
orang lain, berlatih untuk bersiasat
atau bersikap yang tepat dan bijaksana.
Dengan demikian, permainan anak
sungguh bermanfaat untuk mendidik
perasaan diri dan sosial, berdisiplin,
tertib, bersikap awas dan waspada,
serta siap menghadapi semua
keadaan. Permainan anak secara
langsung akan diterima dengan senang
hati bagi anak itu sendiri. Mereka
dapat bermain, berekspresi dan bebas
merdeka. Jadi anak-anak bermain
dengan rasa kemerdekaan tanpa ada
paksaan dan ini akan menjadikan
anak-anak mempunyai rasa percaya
diri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menggali tentang dolanan Dermayon.
Hasilnya, diharapkan dapat dijadikan
sebagai masukan dalam pengambilan
kebijakan bagi kelestarian masyarakat itu
sendiri. Adapun unsur-unsur dalam
dolanan Dermayon yang dilihat adalah:
nama, jenis permainan (beregu/
perorangan), waktu, tempat, pemain, alat,
cara bermain, nilai-nilai yang terkandung,
masih/tidak dilakukan, dan perubahan
yang terjadi.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

123

Nilai Budaya Pada Dolanan Dermayon (Ria Intani T.)


Metode penelitiannya adalah
deskriptif, yaitu mendeskripsikan secara
rinci untuk fenomena sosial tertentu.
Pendekatan yang digunakan adalah
kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk
memahami persoalan manusia dan
kebudayaan, berdasarkan gambaran yang
kompleks dan menyeluruh.

Gbr. 1: Hompimpah

B. HASIL DAN BAHASAN

Indramayu berluas 204.001 ha.


Topografinya terbagi dua yaitu daerah
perbukitan rendah bergelombang dan
dataran rendah (luas terbanyak).
Wilayah Indramayu di sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Subang,
sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah
timur dengan Kabupaten Cirebon dan
Laut Jawa, serta sebelah selatan dengan
Kabupaten Majalengka, Sumedang, dan
Kabupaten Cirebon. Indramayu
mengalami angin barat dan timur yang
bertiup secara bergantian setiap 5-6 bulan
sekali. Iklimnya tropis dengan suhu udara
25o- 32 oC.
Ada sejumlah permainan
tradisional yang ditemukan di Indramayu.
Setiap jenis permainan yang
menyertakan orang lain sebagai lawan
main, selalu diawali dengan undian untuk
menentukan urutan pemain. Undian
dilakukan dengan cara sut apabila
pemainnya 2 orang dan dengan
hompimpah apabila pemainnya lebih dari
2 orang. Cara hompimpah diakhiri pula
dengan sut apabila pemain yang
melakukan undian tinggal 2 orang.
Hompimpah ada dua versi. Versi pertama
adalah dengan membolak-balikkan
telapak tangan. Versi kedua adalah jari
tangan menjadi kertas, gunting, dan
batu. Posisi yang dominan adalah yang
menang.

2011

Dok: BPSNT Bdg 2010

Berikut sejumlah permainan yang


dimaksud:
1. Bayi-bayian
Bayi-bayian dimainkan oleh 2
kelompok. Setiap kelompok terdiri atas
minimal 3 orang. Anggotanya bisa hanya
terdiri atas anak perempuan, anak lakilaki, atau gabungan keduanya. Masingmasing kelompok dipimpin oleh seorang
induk yang diistilahkan dengan sebutan
babon.
Bayi-bayian biasanya dimainkan
sore hari. Manakala masih banyak tanah
yang lapang, permainan ini dimainkan di
lapangan. Dewasa ini tempat bermainnya
bisa di mana saja yang penting leluasa
untuk melakukan gendongan. Alatnya
berupa kerikil atau benda sejenisnya.
Caranya bermain sebagai berikut:
- Setiap kelompok menempati ujung
lapangan permainan dan saling
berhadapan.
- Babon melakukan undian dengan
cara suten.
- Kelompok
yang
menang
menempatkan batu atau benda lain
yang dijadikan ajimat pada tangan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

124

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 119-135

anggota kelompoknya yang diletakkan


di belakang.
- Babon lawan menebak di mana batu
itu ditaruh. Bila tebakannya salah
maka si pemegang batu meloncat ke
depan sejauh-jauhnya menuju garis
batas lapangan tempat lawan. Apabila
tebakannya tepat, maka kelompok
tadi dinyatakan kalah dan kelompok
penebak berganti menyembunyikan
batu.
- Regu yang menang digendong oleh
yang kalah dari ujung ke ujung
lapangan.
2. Blag Lawang
Pemain Blag Lawang 2 pasang
yang masing-masing beranggotakan 2
anak. Tempat bermain tidak perlu luas.
Saat ini Blag Lawang masih digemari.
Blag Lawang dimainkan dengan
cara berikut:
- Peserta duduk berselonjor dengan
posisi berhadapan dan menyusun
telapak kaki.
- Kelompok lawan meloncati susunan
kaki tersebut. Apabila loncatan
menyentuh susunan kaki lawan maka
dinyatakan gugur. Terjadilah kemudian
pergantian pemegang peran
permainan. Apabila loncatan selamat
dari rintangan maka permainan
berlanjut dan dikendalikan oleh
kelompok tadi.
- Urutan loncatan:
1. Tumpukan ujung kaki.
2. Daerah renggang kaki berhadapan
secara silang.
3. Melalui renggangan kaki lawan,
pemain meloncat dengan
berengklek.
4. Pemain induk merapatkan kedua
tumitnya hingga membentuk
persegi empat
kecil sebagai

objek loncatan. Kelompok lain


berengklek melaluinya.
Bagi pengendali permainan yang
dapat melakukan loncatan hingga selesai
tanpa gagal, mendapat kemenangan
dengan skor 1.
3. Bon-bonan
Bon-bonan identik dengan strategi
perang. Pada permainan ini terjadi
adanya kelompok yang terduduki
daerahnya yang kemudian dianggap
kalah. Manakala pihak yang kalah sudah
menyerah, pihak yang menang
mengucapkan bon yang artinya menang.
Bon-bonan dimainkan di tempat yang
lapang dengan alatnya batu bata.
Permainan ini masih berlangsung hingga
sekarang.
Teknik permainan Bon-bonan
sebagai berikut:
- Calon pemain membentuk 2 kelompok
dengan cara sutijah/sut.
- Setiap kelompok menunggui daerah
jaga yang ditandai dengan batu yang
diletakkan di derah lingkaran.
- Pemain dari 2 kelompok melakukan
lajo menyerang secara bergilir.
Penyerang
pertama
disebut
penyerang tua dan dapat dikalahkan
oleh penyerang berikutnya yang
disebut penyerang enom muda.
Pernyataan muda ditentukan oleh
kapan pemain itu menginjak bon batu.
- Pemain yang terkena sentuhan
menjadi sanderaan yang kemudian
ditahan di sampingnya secara berjajar
dan saling bergandeng tangan.
Sanderaan dapat bebas apabila teman
bermain dari kelompoknya menyentuh
salah satu dari tangan tersandera, lalu
tersandera bebas itu kembali ke
kelompoknya.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Nilai Budaya Pada Dolanan Dermayon (Ria Intani T.)


- Raihan kemenangan bisa diperoleh
dengan cara:
a. Mencuri pandang dalam menginjak
bon batu sambil mengucapkan
bon.
b. Menyandera semua pemain yang
kemudian menduduki daerah jaga.
Di Lelea, saat ini Bon-bonan biasa
dimainkan di pelataran halaman
bangunan tempat memelihara burung
walet. Dahulu, Bon-bonan biasa
dimainkan di halaman rumah dan biasa
pula dimainkan oleh anak SLTA.
Sekarang, pemainnya anak-anak seusia
antara 10-14 tahun. Bon-bonan bisa
diikuti oleh anak laki-laki saja atau anak
laki-laki dan anak perempuan, dan
dimainkan sore hari.
4. Boy-boyan
Permainan ini pada intinya
mengadu ketangkasan menyusun
tumpukan serpihan genteng yang
berserakan akibat pukulan bola dari
pemain. Tumpukan genteng disusun
bergotong-royong. Pemain berupaya
menyusun serpihan genteng dengan cepat
sambil berupaya untuk lepas dari intaian
musuh yang akan mematikannya dengan
cara melontar bola pada tubuhnya.
Istilah boy-boyan berasal dari kata
boy/bye bebas. Istilah ini diinterpretasikan pada sebuah bangsa yang
berupaya lepas dari tekanan penjajah.
Boy-boyan adalah permainan kelompok.
Satu kelompok maksimal 5 orang. Alatnya
adalah serpihan genteng sebanyak 7
serpih dan 1 buah bola tenis lantai.
Boy-boyan dimainkan dengan cara
berikut:
- Calon pemain melakukan sut dengan
masing-masing pasangannya lalu
berkelompok menjadi kelompok
pemenang sut dan kelompok yang
kalah sut.

2011

125

- Pemain yang menang dalam sut


mendapat giliran pertama dalam
permainan itu.
- Salah satu pemain dari kelompok
melempar bola ke arah tumpukan
serpihan genteng hingga berserakan.
Selanjutnya kelompok tersebut
menyusun tumpukan serpihan genteng
sambil tetap waspada agar tidak
terkena lemparan bola dari lawan.
Apabila lolos dari lemparan dan
berhasil menyusun tumpukan serpihan
genteng, maka mereka berteriak boy
dan menanglah mereka. Sebaliknya
apabila terkena lemparan bola maka
gugurlah pemain tersebut dan
permainan diganti oleh kelompok
lawan.

5. Engklekan
Engklekan pada dasarnya mengadu
ketangkasan dalam melangkah,
melompat, dan melempar gundu/wingka
pecahan genteng berbentuk uang logam.
Engklekan adalah permainan perorangan
dan minimal dilakukan oleh 2 orang.
Lapangannya dibuat dengan menggarisi
tanah dengan kayu atau kapur.
Langkah-langkah permainan
Engklekan sebagai berikut:
- Permainan dimulai berdasarkan
urutan hasil undian.
- Melemparkan gundu pada kotak
dalam lapangan, tanpa menyentuh
garis.
- Pemain dinyatakan menang apabila
selama giliran bermain berjalan mulus.
Engklekan dimainkan sore hari oleh
anak perempuan usia 8-13 tahun.
6. Gamparan
Istilah gamparan berasal dari kata
gampar yang artinya dibabuk dengan
kaki. Permainan ini sifatnya kelompok, 1

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

126

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 119-135

kelompok sebagai pemasang dan 1 lagi


sebagai pemain. Alatnya berupa batu
pipih sebagai induk dan batu lontar.
Langkah-langkah dalam permainan
Gamparan sebagai berikut:
- Pemain mengarahkan bidikannya pada
batu induk dan diupayakan kena batu
lontar dan bila perlu hingga pecah.
- Apabila batu induk terkena lontaran,
maka berlanjut ke tahap berikutnya
yaitu melakukan lontaran dengan
posisi tangan berada di antara
selangkangan pemain yang berposisi
kangkang setengah jongkok. Bila
lontaran meleset maka terjadi
pergantian trik permainan. Selanjutnya
permainan dilakukan oleh teman
kelompoknya hingga berhasil. Apabila
gagal diganti dengan kelompok lawan.
- Melangkahkan
kaki
sambil
melontarkan batu ke arah batu induk
hingga kena.
- Lontaran berikutnya dengan posisi
batu lontar di atas punggung kaki yang
kemudian digoyangkan sambil
berengklek hingga batas garis yang
ditentukan. Dilanjutkan dengan bidikan
lontaran hingga tepat sasaran.
Kemenangan dilihat dari skor yang
diperoleh masing-masing kelompok.
7. Glatikan/Janakan
Istilah glatikan diambil dari
penggalan kata gla yang artinya jengkal
dan tik yang diambil dari bunyi yang
ditimbulkan akibat sentuhan antara kayu
yang dilempar dengan kayu pemukul.
Awalnya permainan ini dilakukan
oleh anak gembala ketika menunggui
ternaknya merumput. Alat yang
digunakan adalah 2 batang kayu sebagai
berikut:
a. Panggang yaitu kayu yang berukuran
2 jengkal dengan diameter minimal
sebesar ibu jari tangan yang berfungsi
sebagai alat pengungkit dan pemukul.

b. Lele yaitu sebuah kayu yang berukuran


1 jengkal dengan diameter sama,
berfungsi sebagai bola yang
dimainkan dan diperebutkan.
Glatikan membutuhkan tempat
yang luas. Permainan ini biasanya
dimainkan oleh minimal 2 orang. Teknik
permainan Glatikan sebagai berikut:
- Membuat lubang dengan 2 batu bata
sebagai pusat atau titik permainan.
- Menentukan banyaknya nilai/skor
yang harus dicapai.
- Gerakan I: Mengungkitkan lele
dengan menggunakan panggang,
dilakukan oleh kelompok pemain
yang kebagian giliran pertama. Apabila
lemparan lele dapat ditangkap oleh
pemain lawan maka pemain pertama
dinyatakan gugur dan dilanjutkan oleh
pemain berikutnya.
- Gerakan II: Melakukan lemparan
kemudian dipukul sejauh-jauhnya.
Bagi
pemain lawan yang dapat
menangkap mendapatkan nilai 5.
Kemudian lele dilemparkan ke arah
cugak lubang sementara pihak
pemain berupaya memukul lele sejauh
mungkin dengan harapan dapat nilai
sebanyak jumlah hitungan panggang.
Apabila lemparan tersebut mengenai
cugak maka pemain tersebut gugur.
- Gerakan III: Pemukulan lele yang
diletakkan pada siku.
- Gerakan IV: Pemukulan lele yang
diletakkan pada hidung.
- Gerakan V: Pemukulan getok lele
yaitu lele diletakkan di atas panggang
kemudian diunda dipukul-pukul
dengan gerakan ke atas sebanyak
mungkin, lalu dipukul sejauh mungkin.
Hitungannya dikalikan sebanyak
undahan. Apabila jumlah skor telah
memenuhi target (antara 3050), maka
yang bermain mendapat hadiah
gendongan sejauh jarak jatuhnya lele
yang dipukul.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Nilai Budaya Pada Dolanan Dermayon (Ria Intani T.)

127

- Selama kelompok pertama belum


gugur, maka permainan dilanjutkan.
Kalau kelompok pertama sudah gugur
semua, maka permainan diganti oleh
pemain pihak lawan dan seterusnya.

Mangklung-mangklung
Ke edanan jaran belo
- Sebaliknya andaikata gagal
menangkap bola, maka terjadilah
pergantian peran.

8. Jaranan
Unsur dominan dalam permainan
ini adalah ketangkasan menangkap bola
di atas punggung lawan. Permainan ini
diiringi lantunan lagu yang bertujuan
meninabobokan musuh. Istilah jaranan
berasal dari kata jaran yang artinya
kuda.
Teknik permainan Jaranan sebagai
berikut:
- Pemain dibagi menjadi 2 kelompok
berdasarkan sut.
- Kelompok penghadang berdiri
melingkar sambil bergandengan
tangan untuk menjerat kelompok
lawan.
- Apabila kelompok penghadang
berhasil menjerat salah satu anggota
kelompok lawan, maka kelompok itu
mendapat giliran naik jaran,
sebaliknya demikian.
- Setelah berada di punggung jaran,
pemain mengoperkan bola pada teman
lainnya hingga satu putaran.
- Anggota yang diberi bola, berupaya
menyelamatkan tangkapan bolanya
jangan sampai jatuh ke tanah. Apabila
berhasil satu putaran dengan selamat
tanpa jatuh, maka kelompok
penunggang kuda mendapat hadiah
menunggang satu putaran sambil
memegang telinga jaran dan
bernyanyi.
Syair nyanyian dalam permainan
Jaranan
Jaranan-jaranan
Selentring ombake banyu
Mangklung-mangklung
Ke edanan jaran belo

9. Mul-mulan
Mul-mulan merupakan permainan
anak remaja untuk melatih berstrategi
dalam mempertahankan serangan lawan.
Permainan ini ada sejak jaman Darul
Islam (DI) yang bertekad mendirikan
Negara Islam yang lepas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Permainan
ini menggambarkan kondisi zaman itu.
Mul-mulan dimainkan 2 kelompok
pemain
yang
masing-masing
beranggotakan 9 orang. Langkah-langkah
permainan Mul-mulan sebagai berikut:
- Pemain memasuki daerah main
secara bergantian dan berupaya
membentuk barisan dengan bentuk
horizontal, vertikal, maupun diagonal,
dengan setiap barisnya terdiri atas 3
orang (bentuk pagar betis).
- Apabila dalam penyusunan pagar betis
berhasil dengan mulus diakhiri dengan
ucapan mul merdeka, maka
menanglah kelompok itu lalu
dilanjutkan dengan trik permainan
berikutnya.
- Apabila dalam penyusunan strategi
pagar betis itu tertutup pemain lawan
maka kalahlah kelompok itu dengan
nilai kekalahan 1.
- Pemain yang terkalahkan wajib
dikeluarkan dari kelompoknya.

2011

10. Pata Gendong


Permainan Pata Gendong
membutuhkan stamina yang prima,
keahlian dalam berstrategi, dan ketajaman
membidik. Permainan ini dimainkan oleh
anak-anak dan orang dewasa.
Pemainnya 6-10 orang, dibagi menjadi 3
atau 5 pasangan.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

128

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 119-135

Apabila dimainkan 6 orang (3


pasangan), jalannya permainan yaitu:
- Membuat arena permainan dengan
membuat garis awal dan garis atas
lemparan.
- Garis awal dan garis atas lemparan
berjarak kira-kira 10 m.
- Masing-masing pasangan saling
melemparkan pata (gaco, gundu,
kojo)-nya.
- Lemparan pata yang paling mendekati
atau menyentuh garis atas lemparan
dinyatakan menang dan berhak untuk
digendong.
- Pasangan yang bergendongan saling
mengambil jarak supaya tidak
bertabrakan.
- Dalam posisi digendong, pemain yang
di atas (digendong) melempar pata.
- Selanjutnya pemain yang di atas
melakukan penawaran kepada pemain
lawan (yang menggendong), minta
atau tidak melakukan lemparan.
- Apabila penawaran tersebut diterima,
maka pemain lawan akan
melemparkan pata. Apabila lemparan
itu mengenai sasaran, maka pemain
yang digendong harus turun sambil
menunggu pasangan lainnya selesai.
Namun apabila lemparan tersebut
tidak mengenai sasaran, maka pemain
lawan harus menggendong sejauh
jarak dimana pata itu jatuh.
- Apabila 3 atau minimal 2 pasangan
pada poin di atas selamat mencapai
garis awal, maka pemain lawan harus
menggendong sebanyak 3 kali
putaran.
- Seandainya pada babak tersebut
hanya 1 pasangan yang selamat,
permainan berakhir dan kembali pada
permainan awal yaitu melakukan
lemparan awal lagi.

11. Pucuk Menyan


Pucuk Menyan menyerupai
Pacublak-cublek Suweng. Perbedaannya
terdapat pada lagu yang dinyanyikan. Cara
bermainnya sebagai berikut:
- Para pemain melakukan undian
dengan cara suten. Bagi yang kalah
menjadi orang yang harus jaga dengan
cara membungkuk di depan temantemannya.
- Teman-temannya yang lain meletakkan
kedua tangannya secara terbuka di
atas punggung yang jaga.
- Pemimpin bertugas meletakkan batu
kecil pada tangan salah seorang
pemain. Caranya dengan mengelilingkan batu melalui telapak tangan
teman-temannya sambil bernyanyi.
Syair lagu permainan Pucuk
Menyan
Cuk kepucuk menyan
Menyane ketumbar jinten
Jintene menclok ning laut
Bapa sinom bogem owem-owem
Sampai pada kalimat bogem
owem-owem, kalimat tersebut diulangulang sambil memutar-mutar kepalan
tangan di depan wajah para pemain. Si
penjaga kemudian bangun dari
bungkuknya lalu menebak dimanakah batu
itu berada. Bila tidak tertebak, maka dia
yang kembali menjadi penjaga. Begitulah
seterusnya.
12. Peci-peci Turi/Cip-cip Turi
Peci-peci Turi dimainkan di kala
senja tiba. Permainan ini sampai sekarang
masih digandrungi dan sering ditemui saat
menjelang panen tiba atau kaum nelayan
along mendapat ikan banyak.
Manakala anak-anak bermain, para
orang tua turut mendukungnya sambil
santai-santai mengambil kutu kepala atau
mencabuti uban.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Nilai Budaya Pada Dolanan Dermayon (Ria Intani T.)


Langkah-langkah Permainan Pecipeci Turi sebagai berikut:
- Peserta terdiri atas 2 kelompok yang
masing-masing anggotanya maksimal
terdiri atas 5 orang.
- Peserta
berselonjor
sambil
menyilangkan pada kaki teman yang
di depannya.
- Permainan diawali oleh peserta paling
kiri dan yang dianggap paling cakap
sambil bernyanyi seperti berikut:
(I) Peci-peci turi
Peci-peci turi
Gemawang-gemiwing
Gemawang-gemiwing
Kebo besar buaya bunting
(II) Kembang apa kuen
Tunjung iket-iket
Kembang apa kuen
Kembang duren
Nembange pada liren
Tangan menyentuh lutut peserta
secara berurutan hingga nyanyian itu
selesai. Apabila sentuhan tangan pada
akhir nyanyian berada pada peserta,
maka peserta tersebut terkena hukuman
dengan istilah bunting (peserta tersebut
melipatkan kakinya ke belakang).
Demikian seterusnya hingga permainan
selesai.
- Permainan berikutnya dilanjutkan
dengan mengusap bahu peserta
lainnya secara bergantian dengan
menyanyikan lagu yang kedua hingga
selesai. Bila akhir suatu lagu posisi
tangan menyentuh pada bahu peserta
lainnya, maka peserta itulah yang
diangkat menjadi pemimpin permainan
berikutnya.
- Penentuan kemenangan permainan
dapat dilihat dari keutuhan kaki. Bagi
yang terbanyak lipatan kakinya
dinyatakan kalah.

2011

129

Permainan ini dimainkan anak lakilaki dan perempuan usia 5-10 tahun.
13. Ret-retan
Permainan diawali dengan undian
untuk menentukan penjaga benteng.
Berikut cara bermainnya:
- Penjaga benteng memejamkan
matanya untuk memberikan
kesempatan
teman-temannya
bersembunyi sambil menghitung dari
1 sampai 10.
- Penjaga benteng mencari temantemannya hingga ditemukan sambil
terus menjaga bentengnya agar tidak
terdahului yang lain memegang
benteng.
- Apabila salah satu teman yang
bersembunyi dapat ditemukan maka
penjaga benteng akan berteriak: Ong
si ..(nama yang ditemukan) sambil
berlari menuju benteng, kemudian
benteng dipegang sambil berteriak
retttt!!. Selanjutnya anak tersebut
dinyatakan mati dan siap
menggantikan posisi penjaga benteng
apabila semua temannya sudah
ditemukan.
- Apabila pada saat berlari menuju
benteng ternyata teman yang
ditemukan lebih dahulu menyentuh
benteng, maka anak tersebut dapat
melanjutkan permainannya dan bebas
dari hukuman sebagai calon penjaga.
- Jika semua anak yang bersembunyi
berhasil ditemukan, maka diadakan
undian untuk memilih calon penjaga
dengan cara si penjaga benteng tadi
menutup matanya dan menghadap ke
benteng. Kemudian semua pemain
berbaris satu-per satu di belakang si
penjaga. Penjaga lalu menebak nomor
urut temannya. Apabila tebakannya
tepat, maka anak yang tertebak
menggantikannya sebagai penjaga

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 119-135

130

benteng. Namun apabila tidak tertebak


maka si penjaga tadi kembali menjadi
penjaga benteng.
Begitulah
seterusnya.
Di Lelea, Ret-retan biasa
dimainkan di sore hari. Tempatnya bisa
di mana saja, yang penting banyak tempat
untuk bersembunyi. Ret-retan dimainkan
oleh anak laki-laki dan perempuan dengan
usia sekitar 9-12 tahun.

Gbr. 2: Ret-retan

Dok: BPSNT Bdg 2010

14. Panggalan
Panggalan merupakan permainan
perorangan. Permainan ini menggunakan
alat yang terbuat dari kayu atau bambu.
Alatnya berbentuk kerucut dengan
bagian bawah memakai kaki dan bagian
tengahnya ada lekukan. Bagian lekukan
merupakan tempat benang untuk
memutar alat tadi. Cara memainkannya,
benang dililitkan kemudian ditarik
sekuatnya agar alat tadi dapat berputar.
Panggal yang lebih dulu pecah, berhenti
berputar dan jatuh, dianggap kalah.
Selain dari kayu, panggal juga
dapat terbuat dari bambu. Buluh bambu
ditutup bagian atas dan bawahnya, dan
tengahnya dipasang sebuah kaki yang
tegak berdiri. Kaki tersebut dimaksudkan
agar panggal dapat berdiri sambil
berputar dan mengeluarkan suara yang
khas.
Sama halnya dengan di daerah
lainnya di Indramayu, di Lelea, Panggalan
merupakan permainan musiman dan lebih

sering disebut dengan Gasing. Gasingnya


diperoleh dengan membeli dari penjaja
keliling. Pemain Gasing hanyalah anak
laki-laki dengan usia berkisar 9-12 tahun.
Permainan Gasing biasa dimainkan di
sore hari, di tempat yang lapang. Pada
saat ada yang bermain, tidak
diperbolehkan ada yang mendekat supaya
tidak ada yang terkena gasing.
15. Layangan
Layangan menggunakan alat yang
bisa diterbangkan dengan bantuan angin
dan benang. Layangan terbuat dari
bambu yang diraut dan diikat benang,
kemudian ditutup dengan kertas tipis.
Bentuk layangan disesuaikan kebutuhan.
Layangan untuk diadu, bentuknya
sederhana.
Layangan
untuk
dipertontonkan dibuat berukuran lebih
besar, dihias, dan dibentuk semenarik
mungkin.
Permainan Layangan dengan
diadu, biasanya dilakukan di lapangan.
Kedua pemain berlomba saling
mengalahkan. Permainan ini selain
bertumpu pada teknik memainkan
layangannya, juga dalam memilih benang
gelasan. Benang gelasan adalah benang
yang dibubuhi pecahan kaca yang
ditumbuk halus. Benang gelasan
permukaannya lebih tajam dari benang
biasa.
Adapun permainan layangan
untuk dipertontonkan, biasanya hanya
untuk diperlihatkan keindahannya,
terutama variasi warna dan bentuk.
Layangan diberi ekor, bentuknya dibuat
kupu-kupu misalnya. Oleh karena
ukurannya yang besar, benda ini harus
menggunakan benang yang besar juga.
Seringkali permainan Layangan dilakukan
sore hari. Selain anginnya kencang, cuaca
juga tidak panas.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Nilai Budaya Pada Dolanan Dermayon (Ria Intani T.)


Layangan hanya dimainkan oleh
kaum laki-laki dari mulai anak-anak
hingga orang tua. Pada saat mengadu
layangan, apabila terjadi serengan senar
saling menyangkut, akan ada salah satu
layangan yang putus. Apabila ini terjadi,
maka anak-anak akan mengejar ke mana
layangan itu jatuh, lalu berebut untuk
mendapatkannya. Seringkali kejadian
seperti itu menyebabkan perkelahian dan
akhirnya supaya adil, layang-layang yang
diperebutkan itu akan disobek-sobek.
16. Rok Umpet/Petak Umpet
Rok Umpet adalah jenis permainan
perorangan dan dimainkan oleh anakanak usia sekolah dasar. Jumlah pemain
minimal 2 orang.
Langkah-langkah permainan
sebagai berikut:
Setelah mendapatkan kucingnya
penjaga, si kucing menghitung angka
1 sampai 25 dengan suara dikeraskan,
posisi membelakangi pemain, dan mata
ditutup dengan tangannya sendiri. Pemain
lainnya segera berhamburan untuk
bersembunyi. Selesai menghitung, si
kucing mencari satu per satu pemain
yang bersembunyi sampai semuanya
dapat ditemukan. Pada permainan
selanjutnya, yang menjadi kucing adalah
yang pertama ditangkap.
Saat sedang bermain bisa saja si
kucing harus kembali menghitung dan
pemain yang tadinya sudah kena
kemudian berlari untuk sembunyi. Hal ini
terjadi jika saat si kucing sedang
mencari yang bersembunyi, kemudian
ada pemain yang segera berlari ke tempat
si kucing menghitung. Atau, ketika
seseorang ditemukan kemudian berlomba
berlari menuju tempat tadi dan si kucing
dapat didahului mencapai tempat
tersebut.

2011

131

17. Sampyong
Sampyong adalah jenis permainan
perorangan. Permainan Sampyong
menggunakan alat berupa tongkat dari
rotan berukuran sekitar 60 cm. Alat
tersebut digunakan untuk memukul lawan.
Permainan ini dilakukan di tengah
lapangan dan para penonton berdiri
mengelilingi pemain yang sedang
bertanding untuk saling mengalahkan.
Permainan diiringi dengan musik gamelan.
Pada permainan Sampyong
terdapat seorang wasit. Pemain
Sampyong bisa hanya remaja laki-laki
atau dicampur dengan perempuan dengan
syarat
yang perempuan harus
mengenakan celana panjang. Usia
pemain berkisar 20 tahun.
Setelah pemain yang akan
berhadapan sudah siap, maka keduanya
masuk arena dipandu oleh seorang wasit.
Dengan diiringi musik gamelan, kedua
pemain saling memukul. Bagian yang
dipukul harus bagian lutut ke bawah. Bagi
yang melanggar dinyatakan kalah.
Permainan diakhiri jika salah seorang
sudah dapat memukul lawan sebanyak 3
kali.
Manakala Sampyong masih
dilaksanakan, pelaksanaannya pada setiap
upacara Ngarot. Terakhir kali Sampyong
dilaksanakan sekitar tahun 1996.
18. Sayanghara/Panjat Pinang
Sayanghara bisa dimainkan
perorangan atau beregu. Istilah
sayanghara artinya sayembara.
Sayanghara menggunakan alat berupa
batang pinang atau bambu. Batang
tersebut ditanam di tanah supaya dapat
berdiri, kemudian dilaburi oli atau stempet
agar menjadi licin. Pada bagian paling atas
batang pinang yang berdiri tegak
digantungi benda seperti pakaian, rokok,
sabun, shampo, uang, dan jenis benda

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

132

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 119-135

lainnya, sebagai hadiah bagi para peserta


yang berhasil mencapai atas.
Apabila permainan ini dimainkan
perorangan, maka setiap pemain
berlomba untuk dapat naik sampai ke atas
dan meraih hadiah sebanyak-banyaknya.
Adapun jika permainannya beregu, maka
setiap anggota harus bekerja sama agar
dapat mencapai tempat paling atas
secepat mungkin dan meraih hadiah.
Permainan ini pesertanya hanya
laki-laki saja. Di beberapa tempat
permainan ini marak terutama dalam
rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI.
19. Jaran Cecekan
Permainan ini menggunakan alat
seperti kuda-kudaan yang terbuat dari
pelepah pisang yang berukuran agak
besar, kardus, dan bambu. Cara
membuatnya, pelepah pisang dibuang
bagian daunnya dan disisakan hanya daun
di bagian ujungnya yang kecil. Pelepah
tersebut dibentuk mirip kuda, ada bagian
kepala, badan, dan ekor. Bagian badan
dibuat menjorok persegi empat ke bawah,
gunanya untuk dimasukkan ke paha
pemain. Adapun bagian ekornya dari
bagian pelepah yang ada daunnya agar
saat digoyang seperti gerakan ekor kuda.
Kuda-kudaan tersebut diberi tali untuk
disilangkan ke pundak anak yang
menjalankannya.
Kuda-kudaan
ditunggangi dengan diselipkan ke paha
pemain.
Jaran Cecekan yang lain, bagian
kepala dan ekornya terbuat dari kardus.
Kedua bagian tadi dihubungkan dengan
sebilah bambu yang diraut sedemikian
rupa dan dilengkungkan ke atas. Bagian
atas bambu yang dilengkungkan
disambung dengan tali agar bisa
digantungkan di atas pundak anak yang
bermain. Jaran Cecekan dimainkan di
halaman rumah oleh anak-anak usia 6-

12 tahun. Mereka berputar-putar sambil


menari dan bernyanyi bersahut-sahutan.
20. Laince
Laince dimainkan oleh anak lakilaki atau perempuan, atau gabungan
keduanya. Permainan ini dilakukan di
halaman rumah, lapangan, atau jalan yang
sepi. Jumlah pemainnya minimal 3 orang.
Setelah ditentukan penjaganya
(yang menjadi kucing), para pemain
membentuk lingkaran. Di tengahnya
penjaga berjongkok dengan mata ditutup
sapu tangan, sedangkan para pemain
berjalan berkeliling sambil bernyanyi:
Syair nyanyian permainan Laince
Laince-laince
Aja geger-geger
Kene, geger pasar, piring
Kebanting keranjang kebuang
Pitik-pitik igel-igel
Saat syair lagu selesai dinyanyikan,
semua pemain tidak bergerak dan
bersuara sedikit pun dengan posisi
berjongkok. Si penjaga kemudian
menangkap salah satu pemain. Pemain
yang tertangkap selanjutnya akan
menjadi penjaga.

21. Maen Beklen


Maen Beklen adalah permainan
anak perempuan. Pemainnya anak-anak
usia sekolah dasar. Permainan ini
mengandalkan keterampilan kedua
tangan untuk meraup biji-biji dan
menangkap bola yang dilambungkan.
Maen Beklen bisa sendiri atau
bersama teman. Alatnya bola beklen dan
kuwuk sebanyak 6 buah. Setelah
diketahui urutan pemainnya, setiap
pemain melakukan tahap-tahap
permainan dan berhenti ketika melakukan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

133

Nilai Budaya Pada Dolanan Dermayon (Ria Intani T.)


kesalahan. Saat mendapat giliran
bermain, pemain yang baru, tinggal
melanjutkan permainan.
Permainan diawali dengan istilah
ambil 1 sampai 6. Selanjutnya, tahap
tengkurap 1 sampai 6; tahap terlentang
1 sampai 6. Tahap akhir adalah
menjejerkan biji lalu diraup.
22. Maen Karetan
Maen Karetan adalah bermain
dengan menggunakan karet gelang yang
dikepang antara rangkap 1 sampai 3.
Permainan ini bisa dimainkan oleh anak
perempuan saja atau bersama anak lakilaki berusia antara 7-12 tahun. Maen
Karetan ada 4 versi yaitu: becakan,
buka klambu, kadal cecek, dan putar
tambang.

24. Semparan
Semparan biasa dimainkan oleh
anak-anak perempuan. Jumlah pemain
tidak dibatasi namun harus genap karena
harus
berpasangan.
Semparan
menggunakan alat berupa kerikil. Mereka
yang berhasil mengumpulkan batu lebih
banyak daripada lawannya adalah yang
menjadi pemenangnya. Sebaliknya yang
jumlah batunya lebih sedikit adalah yang
kalah. Bagi yang kalah akan dijiplek
ditepuk oleh yang menang yang
banyaknya telah ditentukan di awal
permainan.

Gbr. 4: Semparan

Gbr. 3: Versi Buka Klambu

Dok: BPSNT Bdg 2010


Dok: BPSNT Bdg 2010

23. Bata Kucingan


Bata Kucingan dimainkan oleh
paling sedikit 2 orang, baik anak laki-laki
maupun perempuan. Alatnya wingka
pecahan genteng, jumlahnya sama
dengan jumlah pemain. Apabila ada
wingka yang jatuh karena lemparan
pemain, maka penjaga harus
menyusunnya kembali sedangkan yang
lain lari. Setelah penjaga selesai
menyusun, dia harus mengejar pemain
yang lari. Pemain yang kena sentuhan
penjaga berganti menjadi penjaga.

2011

Jumlah permainan di atas bukan


angka mati. Artinya, bukan tidak mungkin
masih ada beberapa jenis permainan yang
belum tergali. Keseluruhan permainan
yang tergali terbagi atas permainan yang
menggunakan alat, permainan yang tidak
menggunakan alat, dan permainan
dengan iringan nyanyian.
Apa pun kategorinya, setiap jenis
permainan adalah refleksi dari kreativitas
penciptanya. Proses menentukan jenis
alat yang digunakan dan proses
pembuatannya, merupakan proses kreatif
sekaligus membentuk mental produktif.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

134

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 119-135

Demikian juga dengan menciptakan


permainan dengan tanpa alat dan
menciptakan permainan dengan nyanyian
juga merupakan proses kreatif.
Bermain bisa mendapatkan
kegembiraan. Bahkan dari setiap
permainan (baca:tradisional) bukan saja
sekadar mampu menggembirakan, namun
juga membekali nilai-nilai pada
pemainnya. Permainan tradisional
mengandung nilai-nilai dan pembelajaran
tertentu. Lebih jauh lagi bahwa pada
permainan tertentu merupakan simbol dari
suatu keadaan atau gambaran dari suatu
peristiwa. Nilai yang pada umumnya
terdapat dalam permainan tradisional
yang ada di Indramayu adalah nilai
sportivitas dalam meraih kemenangan
dan dalam menerima kekalahan,
ketangkasan, ketertiban, keberanian,
kreativitas/fantasi, produktif, seni, dan
kebersamaan. Selain itu juga ada unsur
olah raga.
Rasa gembira muncul pada saat
bermain karena pemain terlepas dari
rutinitas. Rasa pertemanan muncul
karena hampir semua permainan
tradisional yang ada membutuhkan
kehadiran orang lain sebagai kawan atau
lawan bermain. Gambaran umum tadi
menunjukkan bahwa permainanpermainan tradisional anak-anak yang
terdapat di Indramayu merupakan
permainan anak-anak yang sehat yang
menurut Ki Hajar Dewantara sesuai
dengan syarat sebagai sebuah permainan.
Nilai-nilai lainnya tergambarkan
dalam setiap jenis permainan berikut:
Bayi-bayian, mengandung nilai
ketangkasan menebak atau sama dengan
mengasah ketajaman intuisi. Blag
Lawang, mengandung nilai ketangkasan
dalam
melompat.
Bon-bonan,
menyimbolkan perebutan kekuasaan dan
mengandung nilai ketangkasan, kerja

sama, kecerdikan, dan kepahlawanan.


Boy-boyan, menyimbolkan suatu upaya
melepaskan dari tekanan penjajah dan
mengandung nilai kecermatan.
Engklekan, mengandung nilai
ketangkasan dalam melompat dan
melempar,
sekaligus
melatih
keseimbangan tubuh. Gamparan,
mengandung nilai ketahanan olah fisik
kaki dan ketepatan membidik sasaran.
Dengan kata lain melatih panca indera.
Glatikan, mengandung nilai ketangkasan
tangan dan kaki. Jaranan, merupakan
ilustrasi ratapan anak bangsa terhadap
penjajah. Kuda merupakan simbol orang
atau bangsa yang tertindas, sedangkan
penunggangnya merupakan simbol
penjajah. Melalui permainan ini hendak
disampaikan bahwa penindasan
hendaknya ditiadakan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan. Mul-mulan,
menyimbolkan strategi perang dengan
melakukan pagar betis. Ret-retan,
mengandung nilai ketangkasan dalam
mencari sesuatu yang tersembunyi. Atau
dengan kata lain melatih keuletan dan
kesabaran. Panggalan, mengandung nilai
ketangkasan dalam memainkan gasing.
Diperlukan ketekunan dalam berlatih
hingga dapat mencapai pemain yang
terampil. Layangan, mengandung nilai
ketangkasan dalam menerbangkan dan
nilai kreativitas untuk menciptakan
layangan. Rok Umpet, mengandung nilai
ketangkasan dalam mencari. Atau
dengan kata lain melatih keuletan.
Sampyong, mengandung nilai keberanian
dan ketangkasan memukul sasaran.
Sayanghara, mengandung nilai kerja
sama, ketangkasan memanjat, dan sifat
ulet dalam meraih apa yang menjadi
keinginan. Laince, mengandung nilai
kreativitas dan ketajaman intuisi. Maen
Beklen, mengandung nilai ketangkasan
dalam menangkap bola. Maen Karetan,

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Nilai Budaya Pada Dolanan Dermayon (Ria Intani T.)


mengandung nilai kreativitas dengan
menciptakan beberapa versi. Bata
Kucingan,
mengandung
nilai
ketangkasan dalam melempar.
Secara umum di dalam dolanan
Dermayon mengandung dua dari kelima
unsur kelompok yang dipaparkan oleh Ki
Hadisukatno. Setiap dolanan ada
pembelajaran tentang kekuatan,
kecakapan/keterampilan tangan dan kaki,
dan melatih pancaindera. Selebihnya ada
yang melatih kecakapan dalam
berbahasa, menirukan perilaku orang
dewasa, dan menggunakan lagu dan
irama.
C. PENUTUP

Terdapatnya nilai-nilai yang


membangun kesehatan jasmani sekaligus
rohani dalam dolanan Dermayon
mengisyaratkan bahwa nilai-nilai dari
kebudayaan lama tersebut tetap perlu
dilestarikan. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Heddy Shri Ahimsa
Putra bahwa apa yang tidak relevan di
masa sekarang sangat mungkin akan
kembali relevan di masa yang akan
datang. Entah itu bagi generasi yang akan
datang dari pemilik tradisi tersebut atau
masyarakat yang lain.
Terkait hal tersebut, baik kiranya
memasukkan dolanan Dermayon
sebagai materi muatan lokal di sekolahsekolah tingkat dasar. Selain itu, pihakpihak yang berkompeten dalam bidang
kebudayaan sebaiknya secara rutin
menyediakan ruang melalui ajang
festival-festival permainan.
DAFTAR PUSTAKA

135

Iriana, H. Edy. 2009.


Daftar Isian Potensi Desa
(Lelea). Pemerintah Kabupaten
Indramayu Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa Kabupaten
Indramayu.
Purwaningsih, Ernawati. 2006.
Permainan Tradisional Anak:
Salah Satu Khasanah Budaya
yang Perlu Dilestarikan dalam
Jantra Vol. 1 No. 1 Juni 2006.
BPSNT Yogyakarta.
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2007.
Tr a d i s i / A d a t - I s t i a d a t :
Pemahaman dan Penerapannya,
suatu makalah dalam Kegiatan Diklat
Tenaga Peneliti Tingkat Lanjutan.
_______. 2007.
Peran dan Fungsi Nilai Budaya
dalam Kehidupan Manusia,
suatu makalah dalam Kegiatan
Diklat Tenaga Peneliti Tingkat
Lanjutan.
Q-Anees, Bambang. 2005.
Ketika Masyarakat Kehilangan
Gasing,
makalah
dalam
Kegiatan Workshop dan Festival
Gasing. Bandung 2005.
Saleh, Mohammad. 1979.
Ceritera Rakyat Indramayu I.
Departemen P dan K Kabupaten
Indramayu.
Wawan, S, Udin dkk. 2003.
Kumpulan Permainan/Dolanan
Anak
Indramayu.
Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Indramayu.

Intani, Ria dkk. 1995.


Peralatan Permainan Tradisional
Anak-Anak di Kabupaten
Bandung. BKSNT Bandung.
2011

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

136

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 136-153

FUNGSI DAN PERANAN PEMIMPIN INFORMAL


MASYARAKAT KAMPUNG URUG
DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT
Oleh Tjetjep Rosmana
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung
Naskah diterima:28 Desember 2010

Naskah disetujui:22 Februari 2011

Abstrak
Pemimpin informal dalam suatu kampung adat sangat berperan penting dalam
kehidupan sehari-hari, oleh sebab itu eksistensinya tidak dapat dihilangkan. Ia tumbuh
dan berkembang serta muncul dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk
masyarakatnya. Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian
tentang Kajian mengenai Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal pada Masyarakat
Kampung Urug di Kabupaten Bogor. Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana,
mengapa dan dalam hal apa saja pemimpin adat di kampung adat tersebut berperan.
Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk
memperoleh data seluas-luasnya di lapangan dalam rangka mempelajari kondisi
masyarakat yang sedang diteliti. Kegiatan yang dilakukan adalah mencari dan
mengumpulkan data mengenai peranan pemimpin adat dalam kehidupan masyarakat.
Data dianalisis secara kualitatif dan diharapkan dapat menggambarkan mengenai
peranan pemimpin adat.
Kata kunci: fungsi peranan, pemimpin informal.
Abstract
Informal leaders play an important role in daily life of a kampung adat.
Therefore, his existence can not be eliminated. This kind of leaders grow and
develop within, by, and for his community. The author is interested in studying
the role and function of an informal leader in Kampung Urug in Kabupaten
Bogor, in order to know to what extent is his function and role in the community.
The author has conducted a descriptive method, the one that is used to get data
as vast as possible during fieldwork to study the community in question and
collecting information concerning the role of the adat leader in the life of the
society. Data were analysed qualitatively and hopefully they can describe the
role of the adat leader.
Keywords: function role, informal leader.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal ... (Tjetjep Rosmana)

137

A. PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk sosial


tidak pernah mampu untuk hidup seorang
diri, di mana atau dalam keadaan apapun
manusia cenderung untuk hidup
berkelompok. Pengelompokan sosial itu
antara lain dilandasi oleh adanya
persamaan kepentingan antarsesama
anggota kelompoknya. Untuk mewujudkan
kepentingan bersama itu, manusia
mengorganisir dirinya ke dalam dengan
menciptakan seperangkat peraturan dan
sebagai pengendalian sosial yang
diperlukan seorang pemimpin.
Pemimpin berperan untuk
menjalankan, mengatur kehidupan
masyarakat. Dengan mengandalkan
kemampuan, seorang pemimpin dituntut
mampu menjalankan kepemimpinan
(leadership) untuk mempengaruhi orang
lain agar berbuat sesuatu tanpa paksaan.
Pemimpin informal diakui oleh
masyarakat karena dianggap sebagai
orang terbaik di kalangan masyarakat
karena memiliki kemampuan untuk
menjaga amanah serta memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat. Ia menjadi tauladan dan
tempat penyampaian keluh kesah. Selain
itu, tidak jarang pula tokoh ini dapat
memberikan motivasi dan semangat kerja
bagi masyarakatnya. Sehubungan dengan
itu, kehadiran pemimpin informal mutlak
diperlukan. Misalnya untuk memotivasi
masyarakat agar mau mendukung dan
melaksanakan program pemerintah,
seperti program kependudukan (KB),
kesehatan, pendidikan, pembangunan,
kebersihan, dan keamanan.
Pemimpin informal dianggap
berhasil mendekati masyarakat karena
kedekatannya, keluwesannya, dan atau
kharismanya. Koentjaraningrat (1992:
199) memberi gambaran tentang
kekuasaan tradisional, yaitu kekuasaan
2011

tradisional mempunyai komponenkomponen kekuasaan serta sifat-sifat


yang menjadi syarat bagi seorang
pemimpin. Komponen kekuasaan itu
adalah kewibawaan, kharismatik, dan
kekuasaan dalam arti khusus. Pemimpin
informal seperti ulama (kiai) dan ketua
adat sangat esensial dalam kehidupan
sehari-hari, karena kelompok ini dapat
menjawab tantangan dan kemajuan
zaman.
Tidak dapat dipungkiri sejarah telah
mencatat bahwa kepemimpinan di
Nusantara mengalami beberapa dekade,
yaitu kepemimpinan pada masa kerajaan,
masa kolonial, dan setelah penyebaran
agama Islam. Pada masa kerajaan yang
selanjutnya kekuasaan berada di bawah
pemerintahan penjajahan (Belanda,
Jepang, dan Portugis), timbul kefakuman
kharisma pemimpin di masyarakat,
karena waktu itu raja-raja hanya sebagai
abdi penjajah. Masyarakat beralih ke kiai
karena dapat membantu menyelesaikan
masalah dan membela masyarakat dari
tindasan penjajah. Tidak sedikit andil para
ulama dalam menjaga dan mempertahankan
tanah air yang sekaligus mengusir
kolonialisme, sehingga membawa
masyarakat ke masa kemerdekaan.
Kampung Urug merupakan salah
satu kampung adat di Jawa Barat.
Masyarakat patuh kepada ketua adat
karena ketua adat sebagai pemimpin
informal di masyarakat berperan penting
untuk mengatur kehidupan masyarakat,
serta mempertahankan nilai-nilai luhur
budaya mereka.
Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, yang menjadi pokok masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana upaya pemimpin informal
dalam mewujudkan fungsi dan
peranannya dalam kehidupan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

138

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 136-153

masyarakat berdasarkan aturan adat


yang telah disepakati bersama?
2. Dalam hal apa saja pemimpin informal
berperan
dalam
kehidupan
masyarakat?
3. Adakah kesinambungan dengan
fungsi dan peranan pemimpin formal?
B. HASIL DAN BAHASAN
1. Kampung Urug

Kampung Urug secara administratif


termasuk ke dalam wilayah Desa
Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya,
Kabupaten Bogor. Masyarakat Kampung
Urug di bawah kendali dua sistem
kepemimpinan, yakni pemimpin informal
yang dalam hal ini disebut ketua adat atau
olot, dan pemimpin formal seperti ketua
rukun tetangga, ketua rukun warga,
kepala desa/lurah, dan camat. Pemimpin
informal di Kampung Urug adalah
pemimpin yang sifatnya lokal karena
tumbuh dan berkembangnya atas dasar
kebutuhan masyarakat setempat. Sebagai
pemimpin informal di sana adalah
sesepuh Kampung Urug yang dipanggil
dengan sebutan olot atau abah.
Dalam perkembangannya Kampung
Urug dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu
Urug Tonggoh, Urug Tengah dan Urug
Lebak yang masing-masing dipimpin oleh
seorang olot. Menurut keterangan,
pembagian wilayah ini bermula setelah
olot Sajiah meninggal kemudian
digantikan oleh putranya yang bernama
Adang, dan kemungkinan karena olot
Adang masih muda, saudara-saudara olot
Sajiah melepaskan diri dan masingmasing memimpin Urug Tengah dan
Urug Tonggoh. Urug Lebak (Kampung
Urug asli) saat ini dipimpin oleh anaknya
olot Adang, yaitu olot Ukat.

Kedudukan olot atau ketua adat


berlaku secara turun temurun. Keberadaan
olot sangat dihormati dan disegani
masyarakatnya karena mereka percaya
olot sebagai orang yang telah menerima
petunjuk gaib (wangsit) karuhun Urug
untuk menjadi sesepuh.
Ada tiga orang olot di Kampung
Urug sebagai pemimpin informal yang
mengendalikan keberadaan kampung
adat ini. Pertama, olot Rajasa atau
dipanggil olot Koyod yang memimpin
Kampung Urug Tonggoh. Ia selain
menjalankan petunjuk adat dalam hal tata
cara menanam padi yang secara turun
temurun, ia pun mempertahankan adat
istiadat Urug lainnya. Olot Koyod
berperan pula dalam hal juru dongeng atau
pencerita sejarah Kampung Urug
seperti tentang silsilah, riwayat yang
berhubungan dengan nilainilai tradisional
Kampung Urug atau cerita yang
mengaitkan rajaraja Pajajaran dengan
Kampung Urug. Kedua, olot Amat atau
disebut juga olot Tengah yang mewakili
Kampung Urug Tengah, bertugas
mengatur masyarakat, pengerahan massa
dan memberikan petunjuk bagi
kesepakatan adat yang sedang dijalankan.
Ketiga, olot Ukat atau disebut juga
Kokolot Lebak, yang mewakili
Kampung Urug Lebak yang mempunyai
tugas mengendalikan dan mempertahankan
adat istiadat yang sudah turun temurun,
seperti upacara adat, serta memimpin
kegiatan-kegiatan lainnya yang dianggap
sakral.
Olot Ukat sebagai olot Kampung
Urug Lebak merupakan salah satu olot
Kampung Urug yang dianggap figur bagi
olot-olot lainnya. Ia pun merupakan olot
bagi keseluruhan masyarakat Kampung
Urug. Hal ini dapat dimengerti karena
Kampung Urug Lebak merupakan cikal
bakal Kampung Urug secara keseluruhan.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal ... (Tjetjep Rosmana)


Olot Ukat merupakan keturunan
ke-8 dari turunan terdahulunya, yakni
mulai dari olot Ijan sebagai pendiri
Kampung Urug. Adapun olot di
Kampung Urug dimulai dari olot Ijan
sampai olot Ukat urutannya adalah olot
Ijan, olot Ikem, olot Jariah, olot Surya,
olot Sapri, olot Rukman, olot Adang dan
olot Ukat.
Konon olot Ukat semasa mudanya
dihabiskan di luar Kampung Urug, namun
sewaktu ada pergantian olot Adang dan
berdasarkan wangsit, jadilah ia orang
yang dituakan (Ki Kolot) di Kampung
Urug.
Kedudukan olot atau ketua adat
berlaku secara turun temurun. Seorang
olot memimpin Kampung Urug seumur
hidup. Apabila telah meninggal, baru
kemudian dipilih penggantinya. Sudah
tentu kriteria yang pasti adalah bahwa dia
harus berasal dari keturunan olot-olot
sebelumnya.
Tanda-tanda calon seorang olot
berpeluang besar menjadi olot bila dilihat
dari banyaknya tamu yang datang
kepadanya. Bila semakin banyak tamu
yang datang kepadanya, warga
masyarakat sendiri yakin dia memiliki kematih-an atau keampuhan (kemanjuran).
Dia dipandang mampu menjembatani
keinginan para tamu agar terkabul. Konon
ke-matih-an itu datang dari karuhun atau
leluhur, dan dengan demikian orang yang
memiliki ke-matih-an dianggap mendapat
dukungan dari karuhun.
Keberadaan olot sangat dihormati
dan disegani masyarakatnya karena
mereka percaya olot sebagai orang yang
telah menerima petunjuk gaib (wangsit)
karuhun Kampung Urug untuk menjadi
sesepuh.
Peranan olot masih bersifat
informal, setiap nasihat, saran dan
pendapatnya dapat mengendalikan

2011

139

perilaku warga Kampung Urug. Hal ini


tergambar dari sikap penduduk, mereka
menanyakan nasibnya kepada olot
sebelum melakukan sesuatu pekerjaan.
Hal tersebut ditempuh untuk menghindari
terjadinya malapetaka yang datang dari
alam gaib, sebab mereka menganggap
malapetaka itu sebagai akibat keteledoran
terhadap karuhun-nya atau adanya
gangguan dari makhluk jahat, dan untuk
mencegahnya olot-lah yang lebih tahu.
Ia dianggap sebagai orang yang mampu
berhubungan dengan roh halus (alam
gaib).
Seorang olot di Kampung Urug
menjadi simbol masyarakat yang masih
cukup teguh mempertahankan tradisi
dalam berbagai aspek kehidupan, seperti
di seputar aktivitas pertanian, religi,
ekonomi, atau berkaitan dengan masalahmasalah dalam kehidupan sehari-harinya.
Dia menjadi tempat bertanya para
warganya, bahkan masyarakat dari
kampung lainnya yang menginduk pada
tradisi Kampung Urug. Dia pun menjadi
pemimpin dalam setiap acara adat, juga
menjadi
pengendali
dalam
mempertahankan kelangsungan tradisi
leluhurnya.
Pemukiman di Kampung Urug
khususnya Urug Lebak tersusun
sedemikian rupa berbentuk formasi
mengelompok dengan tiga titik sentral
yaitu Gedong Gede, Gedong Luhur,
dan Gedong Alit. Gedong Gede disebut
juga Sanghyang Tunggal merupakan
bangunan keramat yang khusus didiami
oleh olot sebagai ketua adat. Gedong
Luhur adalah bangunan kosong
berukuran 4 x 4 meter dengan tinggi
kolong bangunan 4 meter dari atas tanah.
Karena kolong bangunan tersebut tinggi,
maka bangunan ini disebut Gedong
Luhur. masyarakat meyakini bahwa
tempat itu berfungsi sebagai tempat

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 136-153

140

paniisan karuhun peristirahatan


leluhur. Gedong Alit berupa cungkup
yang di bagian bawahnya berisi makam
karuhun.

faktor lain, seperti di antaranya dorongan


atau peranan pemimpin. Peranan seorang
pemimpin sangat menentukan kehidupan
suatu masyarakat. Peran pemimpin
dalam kehidupan masyarakat tidak sama

(dari Kiri) Gedong Alit, Gedong Gede, Gedong Luhur


Sumber: data penelitian tahun 2009
Ketiga tempat tersebut sangat
disucikan dan dianggap sangat tinggi
nilainya sakralnya, serta bangunan
tersebut dianggap sebagai titik sentralnya
pola pemukiman mayarakat Kampung
Urug. Semua ini menandakan sistem
kemasyarakatan yang berorientasi
kepada karuhun sebagai penghuni alam
gaib yang mengendalikan kehidupan
mereka di dunia ini.
2. Fungsi dan Peranan Pemimpin
Informal

Manusia sebagai makhluk sosial


tidak dapat hidup sendirian. Ia
membutuhkan kehadiran orang lain. Oleh
sebab itu, ia harus selalu berinteraksi baik
di dalam lingkungan keluarga ataupun
masyarakat.
Dalam kenyataan sehari-hari,
hubungan di antara warga suatu
masyarakat tidak selalu dalam kondisi
yang optimal, artinya hubungan yang
terjalin hanyalah sebatas saling mengenal,
tidak lebih dari itu. Erat tidaknya
hubungan antar warga suatu masyarakat
ini, selain tumbuh dari masyarakatnya
dapat juga karena dorongan atau peranan

dengan kepemimpinan dalam suatu


lembaga.
Soerjono Soekanto mengemukakan:
Suatu perbedaan yang mencolok
antarkepemimpinan yang resmi (formal
leadership) dengan yang tidak resmi
(informal leadership) adalah bahwa
kepemimpinan yang resmi di dalam
pelaksanaannya selalu harus berada di
atas landasan-landasan atau peraturanperaturan resmi. Dengan demikian, daya
cakupnya lebih luas. Kepemimpinan tidak
resmi, mempunyai ruang lingkup tanpa
batas-batas resmi, karena kepemimpinan
demikian didasarkan atas pengakuan dan
kepercayaan masyarakat (1990 : 319).
Sebagai tolok ukur berhasil atau
tidaknya seorang pemimpin informal salah
satunya bergantung pada tujuan dan hasil
pelaksanaan kepemimpinannya tersebut,
apakah menguntungkan atau merugikan
masyarakat. Seorang pemimpin harus
memiliki beberapa kemampuan atau
kelebihan
yang
diakui
oleh
masyarakatnya. Unsur-unsur penting
yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin diantaranya, harus memiliki
idealisme yang kuat, berkemampuan, dan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal ... (Tjetjep Rosmana)


mampu mengayomi masyarakatnya.
Kepemimpinan informal adalah
kepemimpinan yang ditentukan oleh
ketentuan adat serta atas pengakuan
masyarakat akan kemampuannya untuk
menjalankan kepemimpinannya. Dengan
adanya suatu pengakuan tersebut
diharapkan dapat menciptakan angin
segar bagi masyarakat untuk meraih
kehidupan yang lebih baik serta sesuai
aturan yang berlaku pada masyarakat itu.
Dalam masyarakat adat umumnya
memiliki seorang pemimpin informal yang
peranannya lebih dominan bila

141

kepemimpinan secara adat. Orang yang


dianggap sebagai pemimpin adat adalah
seorang sesepuh yang biasa disebut Abah
atau olot. Olot sebagai orang yang
dituakan, tentu perkataannya sangat
dipatuhi oleh masyarakat. Dalam
menjalankan tugasnya, olot dibantu oleh
lebe dan punduh (tua kampung). Lebe
atau ustadz membantu dalam bidang
keagamaan, sedangkan punduh
membantu tugas sebagai penghubung,
penggerak antara sesepuh dengan
masyarakat yang biasanya dipilih
masyarakat secara garis keturunan.

(dari kiri) Tokoh masyarakat, Olot Ukat, dan Olot Adang (alm.)
Sumber : Data penelitian tahun 2009
dibandingkan dengan pemimpin formal,
seperti rukun tetangga dan rukun warga,
yang terkait langsung dengan sistem
pemerintahan
dalam
mengisi
pembangunan dan pengembangan
daerahnya. Peran pemimpin informal
cenderung mengatur dan mengendalikan
kehidupan masyarakat yang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Pemimpin formal dan informal tadi
cukup seirama dalam mengatur roda
kehidupan masyarakat Kampung Urug.
Keduanya memiliki tugas dan tanggung
jawab yang berbeda, namun tetap saling
mendukung satu sama lainnya. Koordinasi
merupakan kunci sukses keduanya dalam
mengatur dan mengendalikan kehidupan
masyarakat Kampung Urug. Kampung
Urug sebagai salah satu kampung adat
memiliki satu struktur kepemimpinan
secara informal dalam arti suatu
2011

Kuncen berperan memberikan


petunjuk dalam bidang pemerintahan
maupun kemasyarakatan. Peranan
kuncen lainnya yang dominan terlihat
dalam kehidupan sehari-hari dari setiap
nasihat, saran, dan pendapatnya yang
selalu mengendalikan perilaku
masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat
sangat menghormati dan mematuhi apa
yang digariskan nenek moyangnya
melalui kuncen.
Kedua bentuk kepemimpinan yang
ada di masyarakat Kampung Urug dalam
kesehariannya menunjukkan kerja sama
yang baik dalam mengatur keharmonisan,
baik antara masyarakat di wilayah
Kampung Urug maupun di luar wilayah,
seperti dengan masyarakat Kiarapandak
lainnya. Dengan adanya sikap saling
pengertian dan menghormati antarkedua
sistem kepemimpinan maka keduanya

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

142

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 136-153

dapat bekerjasama dalam melestarikan


nilai-nilai luhur yang telah lama mereka
pegang sebagai pedoman dalam
kehidupan.
Dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat Kampung Urug selalu taat
pada aturan-aturan pemerintah.
Walaupun demikian, dalam kehidupan
religi, masyarakat selalu taat kepada
petunjuk olot sebagai sesepuh di
Kampung Urug. Peran olot sebagai
pemimpin informal, di mata warganya
merupakan figur kharismatik yang begitu
dihormati dan dicintai. Nasihatnya selalu
didengar, perintahnya senantiasa
dilaksanakan, dan larangannya dipatuhi.
Pendapatnya selalu mengendalikan setiap
perilaku warganya. Selain itu, olot juga
menjadi tempat mencurahkan segala
permasalahan yang dihadapi warga, baik
dari dalam maupun dari luar Kampung
Urug. Secara umum, sikap olot menjadi
tauladan bagi warga masyarakatnya.
Dalam menjalankan tugasnya, olot
dibantu oleh amil yang khusus menangani
dan mengurus bidang keagamaan, seperti
pernikahan, atau kematian. Proses
pemilihan olot tidak ditentukan oleh
masyarakat, tetapi melalui wangsit. Oleh
karena itu, calon olot harus keturunan
langsung dari olot sebelumnya, serta
memiliki wawasan atau pengetahuan yang
berkaitan dengan tradisi karuhun.
Keberadaan olot yang menjadi ketua adat
Kampung Urug juga memberi warna
tersendiri pada sistem pemerintahan
desa. Roda pemerintahnan berjalan tidak
hanya bertumpu pada hal-hal formal,
karena nuansa lokal pun memberi
kontribusi di dalamnya. Kepemimpinan
lokal, dalam hal ini diwakili olot, tidak
dapat dipandang sebelah mata. Hal ini
terlihat dari begitu besar peranan dan
pengaruh olot di lingkungan masyarakat
Kampung Urug yang tentunya

berpengaruh pula terhadap sistem


pemerintahan desa.
Peran dan pengaruh olot terhadap
sistem pemerintahan desa cukup
signifikan. Aparat pemerintah desa atau
yang lebih tinggi lagi, tidak hanya
berkoordinasi dengan ketua rukun warga
atau ketua rukun tetangga, melainkan juga
dengan olot. Jalinan koordinasi ini tidak
hanya sekadar urusan adat istiadat
setempat saja, melainkan juga melebar ke
urusan administrasi dan program
pemerintah yang akan diimplementasikan
ke dalam lingkungan masyarakat
Kampung Urug. Dapat dikatakan bahwa
pintu masuk Kampung Urug adalah
rumah olot. Adapun kunci pintunya
adalah olot, yang mensahkan atau
tidaknya hal baru masuk dan menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat
Kampung Urug. Olot juga kerap
mendapat undangan resmi dari
pemerintah untuk berbagai kepentingan,
baik di tingkat desa, kecamatan maupun
tingkat pusat. Hal ini menandakan
peranan olot yang cukup diperhitungkan.
a. Fungsi dan Peranan Pemimpin
Informal dalam Bidang
Kemasyarakatan

Masyarakat Kampung Urug masih


memegang teguh adat istiadat yang
mengatur tingkah laku dan dipakai sebagai
pedoman untuk bertindak bagi
masyarakat. Adat istiadat dianggap
sebagai warisan nenek moyang yang
berisi aturan-aturan di semua bidang
kehidupan yang harus dipatuhi. Sebagai
seorang pemimpin adat, olot Ukat
memiliki peran yang sangat besar dalam
mengatur dan mempertahankan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakatnya.
Dalam melaksanakan kehidupan
sehari-hari, masyarakat Kampung Urug

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal ... (Tjetjep Rosmana)


berpegang pada penuturannya terutama
pada hal-hal yang dilarang atau tabu dan
perlu ditaati. Tabu dan anjuran yang perlu
ditaati masyarakat Kampung Urug salah
satunya adalah dalam bidang pertanian.
Dalam tabu atau anjuran tersebut, pantang
bagi masyarakat Kampung Urug untuk
mengurus pertanian pada hari Senin,
karena konon pada hari itu Dewi Sri
mendapat haid pertama kali. Sedangkan
pada hari Jumat, darah menstruasinya
disiram dengan air dan jatuh ke bumi.
Hari Jumat merupakan pantangan bagi
petani Urug untuk pergi ke ladang atau
sawah. Hingga saat ini sebagian besar
masyarakat Kampung Urug masih
menjaga tradisi warisan para karuhun.
Pantangan tersebut berlaku pula pada
perlakuan terhadap peralatan rumah
tangga tradisional seperti pada tungku
hawu. Tungku adalah tempat memasak
yang paling penting dalam rumah tangga.
Masyarakat Kampung Urug terutama
bagi perempuan yang sedang hamil
pantang atau tidak boleh menginjakkan
kakinya disekitar tungku hawu. Jika
dilanggar maka bayi yang dilahirkan akan
timbul bercak-bercak merah dan apabila
diinjak oleh seorang gadis maka akan
susah mendapat jodoh.
Dalam kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari, sesepuh adat atau
olot mempunyai peranan yang cukup
penting, yaitu memberi petuah dan
menjelaskan tentang riwayat berdirinya
Kampung Urug. Pemberian petuah paling
sering dilakukan pada saat berkumpul
bersama di Gedong Gede yakni petuah
atau nasihat mengenai adat atau tata cara
yang telah dilakukan para leluhur. Petuah
tersebut harus dipatuhi oleh warga
terutama kaum muda yang dianggap
masih awam dan kurang mendalami
aturan-aturan adat istiadat yang berlaku.
Musyawarah atau pertemuan, biasanya

2011

143

terjadi saat seluruh warga hadir misalnya


dalam pelaksanaan upacara adat. Selain
itu, olot sebagai sesepuh adat sering
mengaitkan hal-hal yang sedang
dimusyawarahkan dengan aturan adat di
Kampung Urug.
Pada aspek kemasyarakatan,
sesepuh adat pun memegang peranan
yang sangat penting dan menonjol. Hal
ini terlihat dari tugas-tugas yang
diembannya, di antaranya bertugas
mencarikan dan menentukan hari baik
warga yang akan melangsungkan acara
pernikahan, khitanan, atau bertanya
kapan mulai bertani, dan sebagainya. Ki
Kolot pun, dalam hal ini olot Ukat, selain
sebagai tempat bertanya bagi masyarakat
setempat ataupun warga yang datang dari
luar Kampung Urug, juga dianggap
sebagai tokoh masyarakat yang sangat
disegani dan dihormati. Hal ini tampak
dalam persiapan upacara pernikahan dan
upacara adat lainnya, Olot Ukat selalu
diharapkan hadir untuk memberi doa
restu. Kehadirannya sangat diharapkan
warga karena dianggap memberi berkah
dan doa restu. Ketua adat juga berperan
sebagai pemimpin dalam kegiatan rapat
atau musyawarah yang diadakan warga.
Di Kampung Urug sering diadakan
musyawarah yang intinya membahas
mengenai kegiatan sosial seperti kerja
bakti masalah kebersihan lingkungan,
keamanan, kegotongroyongan, dan
kegiatan warga lainnya. Dalam
pertemuan tersebut biasanya dihadiri oleh
tokoh masyarakat lainnya, seperti ketua
rukun tetangga/rukun warga, para tokoh
masyarakat maupun para pemuda dan
pemudi. Di dalam pertemuan ini tidak
kalah pentingnya dihadiri pula oleh ketua
adat yang bertindak sebagai sesepuh
yang memberi petuah atau nasihat serta
memimpin rapat agar berjalan lancar.
Walaupun keputusan akhir memang pada

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

144

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 136-153

musyawarah juga, namun arahan dan


petunjuk dari olot sebagai sesepuh
sangatlah diperlukan.
Komunikasi di lingkungan
masyarakat Kampung Urug berlangsung
dengan mempergunakan bahasa Sunda.
Dalam perihal hubungan antarwarga tidak
tampak peranan pemimpin informal.
Hubungan antarwarga terjalin secara
akrab. Di antara warga Kampung Urug
seyogyanya telah saling mengenal.
Walaupun demikian, jalinan hubungan
yang sifatnya lebih dari itu, yakni yang
sifatnya lebih akrab, pada umumnya
hanya terbina dengan mereka yang
berada di lingkungan terdekatnya seperti
tetangga sebelah atau dengan mereka
yang memiliki kepentingan yang sama,
misalnya keikutsertaan dalam suatu
kegiatan atau perkumpulan.
Kegiatan yang bersifat sosial yang
ada di Kampung Urug seperti sistem
keamanan lingkungan (Siskamling),
pendidikan kesejahteraan keluarga
(PKK), dan Organisasi Pemuda,
mendapat perhatian khusus dari sesepuh
adat selaku pemimpin informal. Ia selalu
memberi semangat dan mengawasi
jangan sampai melanggar aturan adat.
Siskamling merupakan organisasi
keamanan lingkungan yang sangat
diperlukan dan diperhatikan oleh seluruh
masyarakat Kampung Urug. Hal ini
mengingat kondisi wilayah Kampung
Urug, baik itu menyangkut rumah maupun
kondisi lingkungan alam sekitar Kampung
Urug yang relatif rawan longsor. Seluruh
masyarakat menyadari akan hal itu
karena menyangkut keselamatan jiwa
mereka. Hal lain yang sangat
mengkhawatirkan adalah masalah
kebakaran karena bentuk rumah-rumah
mereka sebagian masih banyak yang
terbuat dari kayu, bilik dan ijuk yang
sangat mudah sekali terbakar. Setiap

malam mereka berkeliling memeriksa


setiap rumah, barangkali ada penghuni
rumah yang lupa memadamkan api
tungkunya yang mengakibatkan terjadinya
kebakaran. Dengan digalakkannya
Siskamling minimal dapat menjaga
sekaligus memberitahu penduduk apabila
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Organisasi PKK bertugas
membina ibu-ibu untuk mengatasi
masalah kesejahteraan keluarga melalui
berbagai kegiatan, baik yang menyangkut
tentang kesehatan, keterampilan, maupun
kegiatan sosial lainnya. Dalam
kenyataannya, organisasi ini di Kampung
Urug tidak begitu berhasil karena selain
ibu-ibunya disibukkan sebagai ibu rumah
tangga juga ditambah dengan kegiatan
membantu pekerjaan suami dalam
mengurus lahan pertanian atau ladang.
Selain itu, letak Kampung Urug berada
di lembah yang cukup jauh dan sulit
dijangkau oleh penggerak PKK dari
unsur-unsur desa maupun kelurahan.
Hasilnya, ke-10 program PKK tidak dapat
dilaksanakan dengan sepenuhnya.
Namun, program KB di Kampung Urug
cukup berhasil. Ibu-ibu yang masih
berusia produktif telah menjadi anggota
Keluarga Berencana KB. Alat-alat
kontrasepsi yang dipakai adalah IUD, pil,
MOP dan Spiral. Sebelum pemerintah
melancarkan program KB di daerah ini,
masyarakat Kampung Urug telah memiliki
pengetahuan untuk menjarangkan
kelahiran dengan cara mempergunakan
ramuan tradisional.
Di dalam aspek kegiatan sosial
kiranya nilai kegotongroyongan
masyarakat di Kampung Urug masih
tertanam dengan baik dan utuh. Istilah
babantu atau kerja bakti adalah
kegotongroyongan yang dikenal oleh
masyarakat Kampung Urug. Babantu
adalah kegiatan tolong-menolong dalam

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal ... (Tjetjep Rosmana)


mengerjakan sesuatu pekerjaan, agar
yang dikerjakan itu tidak terasa berat.
Di Kampung Urug dikenal dengan
istilah grojogan. Artinya kerja bersamasama untuk kepentingan bersama.
Biasanya warga Kampung Urug setiap
hari Jumat dan Minggu melakukan kerja
bakti, di antaranya memperbaiki jalan,
membersihkan selokan (irigasi),
membersihkan masjid, membuat sarana
umum (MCK), dan sebagainya.
Membersihkan Gedong Leutik atau
tempat makam keramat dilakukan satu
tahun dua kali, yaitu setiap satu hari
menjelang Idul Fitri dan Idul Adha.
Nilai kegotongroyongan dapat
dikatakan masih sangat kuat. Hal ini
terbukti sewaktu akan diselenggarakan
upacara adat dimana semua masyarakat
terutama ibu-ibu, di bawah koordinasi
ketua adat, secara bergotong royong ikut
menyediakan berbagai kelengkapan
upacara.
Peranan sesepuh adat atau olot
Kampung Urug dalam aspek kemasyarakatan juga tercermin dalam
pelaksanaan upacara adat yakni sebagai
pemimpin dalam pelaksanaan upacara
adat. Satu hal yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat Kampung Urug
adalah terjaganya hubungan yang
harmonis dengan entitas supranatural.
Dalam pandangan mereka, entitas
supranatural terdiri atas Tuhan dan
leluhurnya. Bagaimana hubungan mereka
dengan entitas supranatural tadi, akan
terlihat dari gambaran sistem keyakinan
yang dimiliki oleh mereka. Sistem
keyakinan masyarakat adat tersebut
begitu mewarnai hampir semua aspek
kehidupan warga masyarakat, baik yang
berkenaan dengan aktivitas ekonomi,
sosial, adat istiadat, maupun dalam sistem
kepemimpinan.

2011

145

Seluruh warga masyarakat adat


Kampung Urug menganut agama Islam.
Walauun demikian, mereka masih kukuh
pada ajaran-ajaran adat yang menjadi
kekayaan spiritual mereka. Kedua
keyakinan ini dalam kenyataan hidup
sehari-hari berjalan berdampingan, dalam
arti bahwa kedua-duanya sama-sama
dilaksanakan. Bahkan dalam suatu
kegiatan ritual kedua unsur ini sama-sama
dijalankan, sehingga kegiatan ritual
mereka pun merupakan sinkretisasi dari
kedua unsur ini. Sistem keyakinan menjadi
konsep sentral yang melahirkan berbagai
bentuk aturan adat, sistem pantangan adat
atau tabu, dan berbagai bentuk ritual
dikemas dan diformulasikan dalam
bentuk upacara-upacara tradisional.
Sistem keyakinan masyarakat
Kampung Urug terdiri atas kepercayaan
yang bersumber dari agama dan
kepercayaan warisan dari leluhur
mereka. Masuknya agama Islam ke
Kampung Urug secara otomatis
mengubah pola hidup masyarakat
setempat, meskipun masih ada sisa sisa
kebiasaan karuhun yang dipertahankan.
Gabungan dari kebiasaan yang sangat baik
terlihat dalam upacara Seren Taun/
Pataunan. Ada anggapan haram
hukumnya mencampurkan padi yang
belum dikeluarkan zakatnya ke leuit
dengan padi yang lama. Zakatnya pun
cukup besar tidak kurang dari 10 % dari
hasil taninya. Hasil dari zakat ini nantinya
akan digunakan oleh masyarakat
Kampung Urug saat terkena krisis
ekonomi, seperti yang diungkapkan
kokolot Ukat bahwa dengan satu kali
panen cukup untuk hidup selama 2 tahun.
Padahal jenis padi yang ditanam adalah
pare gede yang umurnya 6 - 8 bulan
dengan hasil panenan tidak lebih dari 3
ton sekali tanamnya. Satu hal yang tidak
mungkin bila dihitung dengan matematik

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

146

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 136-153

dan kurang masuk akal bila dikalikan


dengan biaya hidup saat ini.
Masyarakat Kampung Urug hidup
di lingkungan suatu kampung adat yang
secara fisik mereka menempati rumahrumah dengan bentuk dan bahan
bangunan yang sama. Namun dalam
perkembangannya kini bentuk dan bahan
yang digunakan bervariasi. Artinya
sebagian masyarakat Kampung Urug ada
yang masih menempati rumah-rumah
berbentuk panggung, berdinding dan
berlantai dari kayu atau bambu serta
beratap ijuk banyak pula yang telah
membangun atau menempati rumah yang
dibangun semi permanen maupun
permanen. Rumah yang semi permanen
adalah berdinding setengah tembok, dan
setengah bilik atau triplek serta beratap
genteng, asbes atau seng. Lantainya, ada
yang masih tanah atau dipelur dengan
semen. Sedangkan rumah yang
permanen, berdinding tembok, beratap
genteng, bahkan ada yang berlantai
keramik. Tidak ketinggalan pula mereka
menggunakan alat penerangan listrik. Hal
demikian menandakan bahwa telah ada
pergeseran pola pikir masyarakat
Kampung Urug, tetapi mereka pun tidak
mengesampingkan adat istiadat.
Menyikapi hal demikian, ketua adat atau
olot bertutur bahwa ia memang
berkewajiban untuk mengingatkannya,
namun permasalahan itu dikembalikan
kepada pribadinya masing-masing,
karena mereka pun tahu sendiri
resikonya.
b. Fungsi dan Peranan Pemimpin
Informal dalam Bidang Pendidikan

Pendidikan dalam lingkup luas


mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia. Tidak saja berkisar dengan
murid, siswa, guru, sekolah, kepala
sekolah atau lain-lain yang berkaitan

dengan
unsur-unsur
bagi
terselenggaranya proses belajar
mengajar. Pendidikan mencakup pula halhal yang bersifat abstrak yang kadangkadang tidak diajarkan di sekolah formal.
Oleh karena itu, wahana pendidikan
seorang anak manusia dibagi ke dalam
dua bagian besar, yaitu pendidikan formal
dan informal.
Pendidikan formal jelas arahnya.
Jelas jenjang pendidikannya dan jelas pula
materinya. Seseorang yang pernah
mengenyam pendidikan formal sedikit
banyak akan memperoleh selembar tanda
kelulusan pendidikannya, baik lulusan
sekolah dasar, lulusan sekolah lanjutan
tingkat pertama, maupun lulusan
pendidikan yang lebih tinggi lagi.
Sementara pendidikan informal
cenderung tidak menunjukkan tandatanda konkret dalam proses pendidikannya.
Adakah kelebihan dan kekurangan
dari adanya pembagian jalur pendidikan
di atas? Pada hakikatnya, kedua
pendidikan yang dimaksud saling
berkaitan. Artinya, kesinambungan
pendidikan seorang anak sangat
bergantung pada kedua pendidikan
tersebut. Seorang manusia yang sukses
di jalur pendidikan formal di atas kertas
mungkin akan memperoleh gambaran
masa depan yang cerah. Itu artinya tidak
akan mendapat kesulitan dalam hal
mencari mata pencaharian. Namun
berbeda dengan mereka yang tidak
mengenyam jalur pendidikan formal,
boleh dikatakan mereka dalam bayangan
madesu masa depan suram.
Tampaknya hubungan jalur pendidikan
formal dan informal pas bila dikatakan
sebagai hubungan saling mengisi.
Gambaran sebuah kampung adat
secara umum menunjukkan ketertutupan
dan ketertinggalan bagi adanya
pendidikan dunia luar. Orang sering

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal ... (Tjetjep Rosmana)


terjebak dengan bayangannya sendiri
yang mengukur kemajuan seseorang
dengan ukuran bajunya sendiri. Kita
harus menyadari perkembangan zaman
sama dengan perubahan pola pikir
manusia termasuk pula mereka yang
berada di sebuah kampung adat. Kita
ambil sebagai contoh adalah Kampung
Urug yang terletak terpencil jauh dari
keramaian. Suatu hal yang wajar bagi
sebuah kampung atau pedesaan terintervensi oleh kekuatan yang lebih kuat
darinya. Pemimpin kampung atau kepala
dusun, atau apa pun sebutannya, tak dapat
berbuat apa-apa manakala warga yang
dipimpinnya mengambil jalan yang
berseberangan dengan kemauan dirinya,
terutama sekali dalam hal urusan duniawi.
Dalam urusan kepercayaan atau anutan
warganya boleh jadi masih mempunyai
wibawa dan kharisma. Namun dalam halhal di luar itu semua, kadang-kadang
warganya tidak berkiblat kepadanya.
Cenderung ia berdikari selama tidak
menyalahi dan dipandang baik dan
berguna, baik untuk dirinya maupun untuk
khalayak ramai.
Sehubungan dengan hal itu kedua
pendidikan yang dimaksud di atas, yaitu
pendidikan formal dan informal di
lingkungan penduduk Kampung Urug
tidak mengalami kesulitan-kesulitan apa
pun. Keduanya berjalan apa adanya.
Pendidikan formal, mereka lakukan
dengan memasuki berbagai tempat
pendidikan seperti sekolah dasar.
Sedangkan pendidikan informal mereka
peroleh dari hubungan teman atau
keluarga. Usaha lainnya yang
menyangkut keterampilan (praktek)
dilakukan oleh ibu-ibu misalnya cara
membuat olahan makanan sering
diperoleh dari upaya sendiri (individu)
dengan cara melihat atau mencoba tanpa
melalui kursus atau sekolah. Demikian

2011

147

pula keterampilan yang diperuntukan bagi


remaja dilakukan oleh para remaja.
Peranan ketua adat, atau olot dalam hal
ini sangat mendukung secara moril
maupun materil. Namun keberhasilannya
ditentukan oleh pribadinya sendiri.
Dalam hal pendidikan formal,
peranan orang tua atau keluarga dominan
sekali. Seolah-olah pendidikan formal ini
merupakan urusan keluarganya masingmasing yang tidak perlu orang lain
mencampuri, termasuk pemimpin
informal. Sosok pemimpin informal tidak
begitu dominan dalam urusan pendidikan
seseorang, kecuali dalam hal yang bersifat
khusus seperti keagamaan, atau hal-hal
yang menyangkut adat istiadat seperti
dalam pelaksanaan sebuah upacara, dan
lain sebagainya.
c. Fungsi Peranan Pemimpin Informal
dalam Bidang Agama
Manusia terdiri atas unsur jasmani
dan rohani. Kedua unsur ini tidak saling
meniadakan, artinya kedua-duanya
memiliki tingkat kepentingan yang sama.
Unsur-unsur tersebut dapat tumbuh mulus
dan seimbang apabila kebutuhannya
senantiasa terpenuhi. Salah satu
kebutuhan rohani manusia adalah dengan
pemenuhan keagamaan. Dengan
demikian, agama merupakan bentuk
kebutuhan manusia yang harus terpenuhi.
Manusia tanpa agama akan hidup
tidak menentu, tanpa arah dan tujuan.
Mengapa demikian? Agama adalah
pegangan atau pedoman yang
menggerakkan manusia melalui itikad,
ucapan dan perbuatan, agar selalu
menjadi manusia yang berguna, baik bagi
dirinya, keluarga, masyarakat maupun
pada bagian yang sangat luas yaitu bangsa
dan negara. Dengan agama pula manusia
dibekali, diajari, dan diberi pengetahuan
bahwa kehidupan itu tidak hanya di dunia,

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

148

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 136-153

ada lagi kehidupan yang abadi, yaitu


kehidupan akhirat. Dunia sebagai tempat
berjuang untuk mengumpulkan bekal bagi
kehidupan yang akan datang. Dampak
perilaku keagamaan dapat dikenal dengan
mudah, yaitu dengan memperhatikan
nilai-nilai yang tampak pada tingkah laku
keseharian. Oleh karena itu, seseorang
dapat menilai tingkat kesemarakan
beragama pada suatu masyarakat dari
perilaku pergaulan masyarakatnya,
apakah kurang baik, biasa-biasa, atau
baik. Seperti yang tampak pada
masyarakat Kampung Urug dengan
memperhatikan cara berpakaian, cara
berbicara, dan kelengkapan sarana
peribadatannya. Dari kriteria tersebut
membuktikan bahwa masyarakat
setempat termasuk masyarakat yang
agamis. Masyarakat yang agamis adalah
masyarakat yang secara keseluruhan
dalam kehidupannya memiliki kesadaran
dan ketaatan kepada agama.
Kampung Urug dapat dikatagorikan
sebagai kampung adat yang taat
menjalankan ajaran Islam. Pernyataan ini
didukung dengan pengakuan yang
dilontarkan oleh masyarakat bahwa
mereka mengaku beragama Islam,
terlepas dari cara-cara mereka beribadah
atau mendekatkan dirinya kepada Allah
Swt. serta terbukti sering dilakukan
kegiatan pengajian. Aktivitas keagamaan
sehari-hari diwujudkan dalam kegiatan
pengajian, baik anak-anak maupun ibuibu. Pengajian anak-anak berlangsung
setiap Magrib dan Subuh, mereka belajar
membaca Al-Quran. Pengajian ibu-ibu
dilaksanakan setiap hari Jumat, setelah
sembahyang Ashar. Selain itu mereka
menyelenggarakan kegiatan hari-hari
besar Islam seperti Mauludan dan
Rajaban. Aktivitas keagamaan tersebut
berada di bawah bimbingan pemimpin
agama, amil atau ustadz. Pembinaan

keagamaan sebenarnya dapat dilakukan


sejak anak masih kecil, karena ketika lahir
pun dan selama berkembang si anak
langsung menerima pelajaran dengan
cara mendengar dan melihat perilaku
orang tuanya. Pihak orang tua pun sangat
dominan dalam mengarahkan putraputrinya agar dapat menjadi anak dan
orang yang diharapkan. Orang tua selalu
meneladani, juga mengajarkan langsung
membaca lafaz-lafaz ayat suci Al-Quran
dan memberi nasihat keagamaan.
Pembinaan keagamaan anak-anak di
Kampung Urug ditempuh dengan jalur
informal. Jalur informal dilakukan dengan
pembekalan ilmu dan pengetahuan ajaran
keagamaan pada saat kegiatan mengaji
yang diberikan oleh seorang lebe atau
ustadz. Lebe atau ustadz merupakan kaki
tangan kuncen atau olot yang diberi
tugas sebatas menangani masalah
pembinaan keagamaan seperti kebajikan,
dan sebagainya. Pembinaan keagamaan
ini biasa dilakukan di masjid yang berdiri
di tengah-tengah Kampung Urug. Di
masjid ini selain digunakan untuk shalat
lima waktu (shalat Subuh, Dluhur, Ashar,
Magrib, dan Isha) juga dipergunakan
untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
d. Fungsi dan Peranan Pemimpin
Informal dalam Bidang Adat Istiadat

Kebudayaan pada hakikatnya


dimanifestasikan oleh adanya pergaulan
dalam arti yang luas. Pergaulan adalah
bagian dari rangkaian interaksi sosial.
Interaksi ini dikemudikan oleh
seperangkat keyakinan yang kita sebut
pegangan hidup. Disadari ataupun
tidak, secara individual perangkat
kepercayaan atau keyakinan itu dimiliki
oleh setiap orang.
Bagaimana kita menanggapi
sesuatu, memikirkan, memutuskan, dan
bertindak terhadapnya, ditentukan oleh

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal ... (Tjetjep Rosmana)


sifat dan corak perangkat kepercayaan
itu. Oleh karena bersifat individual, maka
corak pendekatan dalam pelaksanaan
interaksi bagi setiap orang berlainan, itu
sebabnya orang bisa berbeda-beda
pendapat dan tafsir tentang sesuatu
masalah yang sama. Kemudian karena
sifatnya yang individual dan interaksi
setiap orang berlainan, tentunya peranan
pemimpin informal dalam hal ini perlu
mengatur dan mengarahkan sesuatu yang
berlaku dalam tatanan kehidupan seharihari seperti halnya yang berlaku pada
masyarakat Kampung Urug. Perangkat
kepercayaan atau keyakinan tidak
dengan sendirinya ada, melainkan ia
harus dibentuk dan dikembangkan.
Manusia berkembang melalui proses
pertumbuhan endapan-endapan dari
pengalaman yang berlangsung semenjak
orang masih kecil, bahkan semenjak
masih bayi, bahkan sejak janin dalam
kandungan. Apalagi masyarakat
Kampung Urug berpegang pada ajaran
agama Islam. Dalam praktiknya, mereka
masih dipengaruhi oleh endapanendapan pengalaman yang mereka
yakini dan percayai.
Pengalaman-pengalaman itu
menjadi milik jiwanya dan diwujudkan
melalui proses awal yang kita kenal
dengan istilah persepsi. Persepsi inilah
yang pada tingkat selanjutnya dan dalam
keadaannya yang telah konstan
menentukan jenis serta sifat perangkat
keyakinan hidup seseorang. Dalam kaitan
dengan persepsi ini, orang harus terus
menerus diberi dan dikenalkan pada
pengalaman-pengalaman
yang
diendapkannya dalam perangkat
kepercayaan atau keyakinan sepanjang
hidupnya.
Masyarakat Kampung Urug masih
melakukan hal-hal yang bertalian dengan
kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku

2011

149

sejak dahulu, di antaranya yang bertalian


dengan adat istiadat seperti salah satunya
terdapat pada ritual upacara yang
berhubungan dengan pertanian. Adat
istiadat yang erat pertaliannya dengan
lingkaran hidup antara lain tentang
upacara tradisional. Upacara tradisional
yang dimaksud antara lain upacara
Sedekah Bumi, Seren Taun, Sedekah
Kabuli (Tutup Taun Tanggal Taun),
Sedekah Rewah, dan sebagainya..Di
sela-sela aktivitas pertanian biasanya
diselipi serangkaian tradisi yang menyertai
kegiatan, yaitu upacara dalam bertani
(menanam padi) meliputi upacara
Sedekah Bumi, Salametan Tandur,
Salametan Gede Pare, Salametan Panen.
Salametan Nganyaran, hingga puncaknya
yaitu upacara Seren Taun.
e. Fungsi dan Peranan Pemimpin
Informal dalam Bidang Kesenian

Dalam kebudayaan, kesenian tidak


hanya berurusan dengan kebutuhan akan
rasa keindahan, tetapi memiliki fungsifungsi sosial, ekonomi, dan ritual.
Masyarakat Sunda memiliki kekayaan
seni yang cukup beragam, baik jenis vokal
maupun seni yang menggunakan waditra
atau peralatan (gamelan, gendang, kecapi,
dog-dog, alat gesek, suling, goong dan
sebagainya), seni tari maupun teatrika.
Beberapa jenis kesenian yang terdapat
di Kampung Urug antara lain wayang
golek, degung, pencaksilat, rebana/tagoni,
dan jaipongan. Komunitas adat Urug
masih memelihara kesenian tradisional
Sunda tersebut. Golongan yang sudah tua
mampu membina generasi muda untuk
mencintai dan memelihara berbagai
kesenian yang ada. Ada beberapa hal
yang sangat memungkinkan bagi mereka
untuk memelihara kesenian tradisional.
Pertama karena sejumlah upacara
tradisional di Kampung Urug senantiasa

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

150

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 136-153

menyertakan kesenian sebagai bagian


syarat acara upacara. Ada acara yang
dikhususkan
untuk
menghibur
masyarakat seperti pertujukan wayang
golek pada puncak kegiatan upacara
Seren Tahun. Bahkan jika ada warga
yang cukup berada melaksanakan hajat
khitanan, mereka mementaskan wayang
golek. Mengingat dirasakan penting
kesenian bagi masyarakat, Olot sebagai
sesepuh memiliki seperangkat gamelan
wayang golek yang disimpan di
rumahnya, dan digunakan bila saat ada
upacara adat. Selain wayang golek, ada
kesenian degung. Kesenian degung
biasanya dipertunjukkan bila ada acara
resmi, seperti syukuran khitanan atau
pernikahan. Sebenarnya di Kampung
Urug belum terbentuk perkumpulan
degung. Walaupun demikian, apabila
masyarakat
Kampung
Urug
menginginkan pertunjukan kesenian
degung maka mereka akan mengundang
tim kesenian degung dari luar Kampung
Urug. Olot sebagai sesepuh Kampung
Urug, selalu berupaya untuk memberi
dorongan moril kepada generasi muda
agar mereka selalu mencintai kesenian
tradisional, karena kesenian itu
merupakan salah satu segi kehidupan
manusia yang tidak dapat dipisahkan
dengan segi-segi kehidupan lainnya.
Mereka menganggap kesenian sebagai
warisan dari nenek moyang yang masih
kuat memegang tradisi warisan
leluhurnya. Peranan Ketua adat olot
dalam bidang kesenian sangat dominan.
Walaupun demikian, permasalahan yang
dihadapi adalah ketiadaan perlengkapan
kesenian yang cukup memadai. Kalau pun
ada seperangkat gamelan di Bumi
Ageung (rumah olot Ukat) dan di rumah
olot Rajasa (abah Koyod) kondisinya
sangat mengkhawatirkan. Selain itu
mereka
mengharapkan
adanya

pembinaan untuk meningkatkan


kemampuan kreativitas dalam kesenian.
f. Fungsi dan Peranan Pemimpin
Informal dalam Bidang Pembangunan

Pembangunan
sebenarnya
merupakan program perubahan yang
direncanakan dan dikehendaki.
Setidaknya pembangunan pada
umumnya merupakan kehendak
masyarakat yang diwujudkan dalam
sebuah keputusan yang diambil oleh para
pemimpin mereka. Keputusan tersebut
disusun dalam suatu perencanaan yang
selanjutnya direalisasikan. Pembangunan
tersebut mungkin hanya menyangkut satu
bidang kehidupan, namun mungkin juga
dilakukan secara simultan terhadap
berbagai bidang kehidupan yang
berkaitan. Bidang pembangunan yang
terlihat di Kampung Urug adalah
pembangunan fisik yang diperuntukkan
bagi kepentingan umum, di antaranya
masjid, MCK, dan jalan. Selain digunakan
sebagai tempat beribadah, mesjid juga
digunakan sebagai pusat kegiatan
keagamaan lainnya, seperti Mauludan dan
Rajaban. Peran pemimpin informal di
bidang pembangunan, khususnya
pembangunan masjid pun menjadi
indikator yang sangat penting. Oleh
karena itu, antara ketua adat dan pengurus
masjid harus bekerjasama dengan baik,
dalam arti saling memberi saran demi
mewujudkan kemajuan dalam bidang
keagamaan. Sedangkan pembangunan di
bidang pembuatan atau perbaikan MCK
ataupun jalan kiranya merupakan sarana
yang cukup penting dalam kehidupan
masyarakat Kampung Urug. Oleh karena
itu, pembangunan kedua sarana tersebut
diperoleh dari desa dan sebagian dari
swadaya masyarakat. Peran masyarakat
dalam pemperbaiki jalan dan MCK

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal ... (Tjetjep Rosmana)


tidaklah kecil. Dengan dipimpin tokoh
masyarakat atau ketua kampung,
masyarakat pun berpartisipasi dalam
memelihara jalan dan sarana umum
lainnya.
C. PENUTUP

Dari uraian di atas dapat


disimpulkan bahwa masyarakat
Kampung Urug memiliki dua sistem
kepemimpinan, yakni pemimpin formal
dan informal. Pemimpin informal dalam
hal ini ketua adat olot peranannya cukup
penting dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Di mata warganya, olot
merupakan figur kharismatik yang
dihormati, disegani, dicintai dan diteladani,
serta segala nasihatnya selalu didengar,
perintahnya senantiasa dilaksanakan.
Selain itu, olot menjadi tempat
mencurahkan segala permasalahan atau
keluh kesah yang dihadapi warganya.
Keberadaan olot juga memberi warna
tersendiri pada sistem pemerintahan
desa. Roda pemerintahan berjalan tidak
hanya bertumpu pada hal-hal formal,
karena nuansa lokal pun memberi
kontribusi di dalamnya. Olot sebagai
pemimpin lokal, tidak dapat dipandang
sebelah mata.
Peranan olot sangat besar dan
berpengaruh di lingkungan masyarakat.
Hal itu berimplikasi juga terhadap sistem
pemerintahan desa. Ketua adat atau olot
berperan sebagai pembina masyarakat
demi mempertahankan keberlangsungan
adat istiadat leluhurnya. Mengingat
betapa pentingnya peran dan fungsi olot
dalam kehidupan masyarakat adat, maka
diperlukan seorang pemimpin olot yang
dapat melindungi dan mengayomi
kehidupan masyarakatnya baik secara
lahir maupun batin. Peranan dan
pengaruh olot terhadap sistem
2011

151

pemerintahan desa cukup signifikan.


Aparat pemerintah desa atau yang lebih
tinggi lagi, tidak hanya berkoordinasi
dengan ketua RW atau RT, melainkan
juga dengan olot. Jalinan koordinasi ini
tidak untuk urusan adat istiadat setempat
saja, melainkan juga melebar ke urusan
administrasi dan program pemerintah
yang diimplementasikan ke dalam
lingkungan masyarakat Kampung Urug.
Dapat dikatakan bahwa pintu masuk
Kampung Urug adalah rumah olot.
Adapun kunci pintunya adalah olot,
yang memungkinkan apakah hal baru
dapat masuk dan menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Kampung Urug.
Ketua adat atau olot dianggap sebagai
komunikator antara masyarakat dengan
para leluhur. Oleh karena itu, secara
psikologis peranan olot tersebut
mendorong warga masyarakat Kampung
Urug agar lebih menghormati dan
menyegani profil ketua adat sebagai
pemimpin.
Dalam melaksanakan tata
kehidupan sehari-hari, masyarakat
Kampung Urug berpegang teguh pada
penuturan ketua adat sebagai pemimpin
informal tertinggi. Mereka tidak berani
melanggar aturan yang telah ditetapkan
oleh ketua adat dan pantang melakukan
sesuatu tanpa sepengetahuannya. Dalam
kehidupan sosial, ketua adat berperan
dalam mempertahankan nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakatnya. Selain itu,
ketua adat berperan sebagai mediator
bagi pemerintah dalam penyampaian
program-program dan pesan-pesan
pembangunan, serta turut membantu
perangkat desa dalam menyebarkan
informasi yang perlu disampaikan kepada
masyarakat Kampung Urug. Kampung
Urug merupakan kampung adat karena
salah satu kriterianya mengacu pada
keteguhan masyarakatnya dalam

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

152

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 136-153

mempertahankan adat istiadat warisan


leluhurnya. Berbagai aspek kehidupan
masyarakat diatur oleh ketentuan adat
yang berlaku di sana. Ini artinya, ada
hukum adat yang mengatur tatanan
kehidupan masyarakat Kampung Urug.
Berbicara mengenai hukum, berarti ada
aturan dan sanksi di dalamnya. Begitu
pula dengan hukum adat yang berlaku di
sana, diekspresikan dalam aturan-aturan
dan sanksi yang menyertainya jika terjadi
pelanggaran. Sanksi tersebut biasanya
berupa sanksi sosial dari ketua adat dan
warga masyarakat lainnya. Di dalam hal
ini, olot bertindak sebagai pemimpin adat
yang bertanggung jawab menjaga amanat
leluhurnya. Dia berkewajiban memelihara
kelangsungan adat istiadat masyarakat
Kampung Urug, termasuk menegakkan
aturan-aturan adat setempat. Olot selalu
berusaha mengingatkan warganya agar
senantiasa berada dalam rel-rel adat
Kampung Urug. Meskipun demikian,
tidak ada sanksi normatif sebagai
hukuman bagi pelanggar aturan adat.
Kalaupun ada, itu hanya sebatas sanksi
sosial dari olot dan warga masyarakat
lainnya. Olot hanya bisa menegur dan
menasihatinya, dan warga lainnya juga
melakukan hal yang sama, atau secara
lebih ekstrim lagi adalah dengan
mengucilkannya dari lingkungan
masyarakat. Jika dengan cara seperti itu
pun tidak berhasil, segalanya akan
dikembalikan kepada individunya sendiri.
Pada umumnya, masyarakat masih
percaya, ada sanksi yang lebih berat dari
itu. Sanksi yang mungkin dipandang paling
berat adalah tertimpa hal-hal yang tidak
diinginkan, seperti terkena musibah atau
penyakit. Kalau saja itu hanya menimpa
pelanggarnya, tentu masih dianggap

ringan. Bagaimana jika hal itu sampai


menimpa seluruh warga masyarakat,
tentu inilah sanksi yang paling berat.
Artinya, orang-orang yang tidak berdosa
harus ikut menanggung akibat perbuatan
seseorang. Ketua adat berusaha
melaksanakan hukum formal dengan
sebaik-baiknya. Bila ada seseorang yang
melakukan pelanggaran pidana, maka
sebelumnya diselesaikan secara
musyawarah berdasarkan adat, jika tidak
mendapatkan solusi baru diselesaikan
secara formal.
DAFTAR PUSTAKA

Andayani, Ria, dan Ria Intani. 2006.


Upacara Tradisional di Kampung
Urug, Bogor: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kab. Bogor.
Koentjaraningrat.1992.
Beberapa Pokok Antropologi
Sosial, Cetakan ke-2, Jakarta:
Dian Rakyat.
_____.1997.
Pengantar Antropologi II,
Pokok-Pokok Etnografi, Jakarta:
Rineka Cipta.
______1997.
Pengantar Antropologi : PokokPokok Etnografi II, Jakarta:
Rineka Cipta.
Munandar, Soelaeman.1998.
Dinamika Masyarakat Transisi,
Cetakan ke- 1, Yoyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rosmana, Tjetjep, et. al. 1993.
Eksistensi Lembaga Adat di Jawa
Barat, Bandung: Depdikbud,
BKSNT Bandung.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal ... (Tjetjep Rosmana)


Rostiati, Ani, et. al.2000.
Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Kampung Urug,
Bandung: Depdiknas, Ditjenbud,
BKSNT, Bandung.
Soedjono Dirdjosiswono.1997.
Peranan Pemimpin Formal dan
Informal Bagi Pengembangan
Kebudayaan Nasional, Makalah
Seminar, Bandung: BKSNT
Bandung.

2011

153

______.1992.
Beberapa Pokok Antropologi
Sosial, Jakarta : PT. Penerbit Dian
Rakyat.
Soekanto, Soejono .1990.
Sosiologi Suatu Pengantar,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sukarna.1987.
Social Control/Kontrol
Masyarakat. Cetakan ke-1.
Jakarta: Rajawali Press.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168

154

SEJARAH KERAJAAN SUMEDANG LARANG


Oleh Euis Thresnawaty S.
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung
Email: euisthresnawaty@yahoo.com
Naskah diterima: 3 Januari 2011

Naskah disetujui :24 Februari 2011

Abstrak
Menelusuri sejarah keberadaan sebuah kerajaan merupakan salah satu upaya
melakukan revitalisasi dengan semangat reformasi dengan mengambil hal-hal yang
baik dan membuang yang buruk. Kerajaan dalam sejarah bangsa Indonesia
menyimpan cerita kejayaan dengan berbagai pencapaian keunggulan budaya. Hal ini
dapat menjadi pelajaran dan sumber kearifan di dalam menjalani kehidupan berbangsa
dan bernegara. Atas dasar itu maka dilakukan penelitian mengenai sejarah Kerajaan
Sumedang Larang dengan tujuan untuk mengungkap proses berdiri dan
berkembangnya. Adapun metode yang digunakan adalah metode sejarah. Ternyata
Kerajaan Sumedang Larang memiliki catatan sejarah yang cukup panjang, karena
mengalami tiga masa dalam catatan sejarahnya, yaitu saat didirikan masa klasik menjadi
kerajaan bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran, menjadi kerajaan Islami dan merdeka,
serta menjadi kabupaten di bawah Kerajaan Islam Mataram.
Kata kunci: sejarah kerajaan, Jawa Barat.
Abstract
Tracing the history of a kingdom is one of the efforts to revitalize the
spirit of good old things and abandoning bad ones. In the history of Indonesian
people kingdoms have contributed to the glorious story of the peoples cultural
achievements. We can learn our lessons from the old wisdoms for the benefit of
our lives today. Based on this point of view, the author has conducted a research
on the Kingdom of Sumedang Larang in order to know its process of esblishment
and development. History method is used in this research. Actually, Sumedang
Larang had a quite long records of history because it had witnessed three
periods of time: a) as a vassal of the Sunda Kingdom of Pajajaran in its classical
period; b) as an independent Islamic kingdom, and c) as a kabupaten (regency)
under the Islamic Kingdom of Mataram.
Keywords: history of kingdom, West Java.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang (Euis Thresnawaty S.)


A. PENDAHULUAN

Kabupaten Sumedang merupakan


salah satu kabupaten di wilayah Provinsi
Jawa Barat, terletak di daerah
pegunungan Priangan. Secara historis
daerah ini termasuk kabupaten tua di
Jawa Barat, sebab sejak lama wilayah
ini sudah mempunyai suatu pusat
pemerintahan tradisional. Pada akhir
abad ke-16 masehi di daerah ini telah
terdapat kerajaan bernama Sumedang
Larang sebagai penerus Kerajaan Sunda
Pajajaran yang telah dihancurkan oleh
Kerajaan Islam Banten.
Popularitas kerajaan ini memang
tidak sebesar popularitas Kerajaan
Mataram, Demak, Banten dan Cirebon
dalam literatur-literatur sejarah kerajaan
di Indonesia. Namun demikian
keberadaan kerajaan ini merupakan bukti
sejarah yang sangat kuat pengaruhnya
terhadap penyebaran Islam di Jawa
Barat misalnya, sebagaimana yang
dilakukan oleh Kerajaan Banten dan
Cirebon.
Keraton-keraton di masa lalu,
selain merupakan pusat pemerintahan
juga menjadi pusat pengendalian usahausaha intensifikasi tatanan dunia yang
dianut di kerajaannya masing-masing.
Sayangnya, peninggalan dari tatanan
dunia itu yang kita warisi tidak lengkap.
Misalnya, peninggalan yang kita warisi
dari Kerajaan Sumedang Larang tidak
selengkap apa yang kita peroleh dari
Kerajaan Cirebon. Namun demikian, dari
warisan yang sampai kepada kita, cukup
tersedia bukti-bukti sejarah untuk
merekonstruksi apa dan bagaimana
Kerajaan Sumedang Larang.
Tujuan penelitian tentang sejarah
Kerajaan Sumedang Larang akan
berusaha untuk mengungkapkan secara
deskriftif mengenai bagaimana proses
berdirinya Kerajaan Sumedang Larang

2011

155

sampai berakhirnya masa kerajaan


dengan ruang lingkup yang terbatas,
dengan fokus utama pada Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang.
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode sejarah melalui
empat tahapan, yaitu heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi. Untuk
lebih jelasnya keempat tahapan itu
adalah:
1. Heuristik atau proses pencarian dan
pengumpulan sumber. Pada tahap
heuristik ini digunakan teknik-teknik
sebagai berikut :
a. Studi kepustakaan, dilakukan di
berbagai perpustakaan baik di
Bandung maupun di Sumedang.
b. Kerja lapangan, langsung ke tempat
tujuan, di antaranya ke makam rajaraja Sumedang Larang.
c. Melakukan wawancara dengan
tokoh-tokoh yang mengetahui tentang
Sejarah Kerajaan Sumedanglarang.
2. Kritik sumber untuk memperoleh
kebenaran dan kejernihan data, baik
kritik intern maupun kritik ekstern
untuk menetapkan sumber itu sebagai
fakta yang falid. Dengan kata lain,
apakah sumber itu layak atau tidak
digunakan sebagai dasar penulisan.
3. Interpretasi, adalah ketika data
mengalami proses pemberian makna
dan penafsiran secara jelas.
4. Historiografi, adalah proses terakhir
dalam penulisan sejarah yang berupa
proses merangkaikan fakta-fakta
yang berhasil dihimpun dalam sebuah
kisah sejarah.
B. HASIL DAN BAHASAN
1. Profil Kabupaten Sumedang

Kabupaten Sumedang merupakan


salah satu kabupaten di wilayah Provinsi
Jawa Barat. Dari Kota Bandung,
kabupaten ini memiliki jarak 45 kilometer.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

156

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168

Secara geografis Kabupaten Sumedang


terletak di pedalaman yang ditandai
dengan bukit-bukit dan gunung-gunung
dengan Gunung Tampomas sebagai
gunung tertinggi, yang memiliki
ketinggian 1.634 meter. Wilayah ini
terletak pada ketinggian 457 meter dari
permukaan laut dengan batas wilayah
administratifnya adalah di sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten
Indramayu, di sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Majalengka, di
sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Garut, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Bandung
dan Kabupaten Subang. Luas Kabupaten
Sumedang adalah 1.522,20 km atau
3,4% dari luas Provinsi Jawa Barat. Kota
kabupaten terletak di tengah-tengah
dataran tinggi yang dikelilingi gununggunung dan dialiri Sungai Cipeles yang
bermuara di Sungai Cimanuk.
Jumlah penduduk Kabupaten
Sumedang menurut hasil sensus tahun
2000 adalah 967.049 jiwa, terdiri atas
481.568 laki-laki dan 485.481
perempuan. Kemudian pada sensus
penduduk tahun 2005, jumlah penduduk
Kabupaten Sumedang menjadi
1.027.660 jiwa, terdiri atas 513.416 lakilaki dan 514.244 perempuan. Angka ini
menunjukkan kenaikan apabila kita
bandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Meskipun jumlah
penduduknya semakin bertambah tetapi
antara tahun 1986 sampai 1995 laju
pertumbuhannya menurun menjadi 0,84
persen. Baru pada tahun 1996 sampai
tahun 2005 terjadi peningkatan hingga
menjadi 1,7 persen. Hal ini mungkin
disebabkan semakin berkembangnya
wilayah pendidikan Jatinangor dan
sekitarnya.
Selain adanya beberapa perguruan
tinggi, keberadaan industri-industri yang

berlokasi di wilayah Kecamatan


Jatinangor yang juga berbatasan dengan
Kabupaten Bandung merupakan
penyebab utama kepadatannya. Berbeda
dengan Kecamatan Jatigede, yang
kepadatan penduduknya per kmnya
hanya mencapai 207 orang. Minimnya
penduduk wilayah kecamatan ini diawali
dari rencana pemerintah untuk
membangun bendungan yang kemudian
dinamakan Proyek Jatigede. Konsekuensi
dari proyek ini, yaitu penduduk harus
dipindahkan. Sehingga selain secara
perorangan penduduk melaksanakan
perpindahan ke daerah yang tidak
terkena proyek (migrasi). Tetapi
kemudian ketika proyek Waduk Jatigede
masih terasa belum pasti sebagian
masyarakat kembali ke daerahnya.
Pada masa Pemerintahan Prabu
Geusan Ulun, menurut catatan Bayu
Suryaningrat (1983: 21) terdapat 44
Kandaga (Kepala Rakyat), terdiri atas
26 Kandaga Lante (Kepala Wilayah)
dan 18 umbul dengan cacah sekitar 9.000
jiwa umpi. Sedangkan menurut Asikin
Widjaja Kusumah menjelaskan bahwa
banyaknya pengikut Pangeran Geusan
Ulun terdiri atas 40 Kandaga dan 4
Kandaga Lante ditambah 9.000 jiwa
umpi (Adeng, 2003: 13).
Dalam bidang pendidikan
masyarakat Sumedang khususnya untuk
kemampuan baca tulis telah menunjukkan
perubahan ke arah yang lebih baik. Hal
ini dapat terlihat dari semakin sedikitnya
masyarakat Kabupaten Sumedang yang
buta huruf. Pada tahun 1990 hanya
tinggal 7,84 persen saja. Masalah
pendidikan memang sangat diperhatikan
oleh pemerintah Kabupaten Sumedang,
bahkan pada masa lalu Sumedang
merupakan daerah pemasok guru ke
kabupaten-kabupaten lainnya. Menurut
Rd. Ahmad Boelkini dalam bukunya yang

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang (Euis Thresnawaty S.)


berjudul Sejarah Leluhur Sumedang,
sangat wajar bila Sumedang menjadi
pemasok guru-guru karena ketika
Sumedang di bawah pemerintahan
Pangeran Aria Soeria Atmaja sangat
besar perhatiannya terhadap kemajuan
pendidikan. Sampai persoalan pendidikan
yang kecil pun ia menaruh perhatian,
misalnya kebersihan anak-anak sekolah,
absen murid. Murid yang terpandai
biasanya akan diberi hadiah dari uang
pribadinya. Bahasa sehari-hari yang
digunakan oleh masyarakat Sumedang
sebagai alat komunikasi adalah bahasa
Sunda, baik di lingkungan keluarga
maupun di lingkungan masyarakat.
2. Proses Pembentukan Kerajaan
Sumedang Larang

Kerajaan Sumedang Larang


berasal dari pecahan Kerajaan SundaGaluh yang didirikan oleh Wretikandayun
pada tahun 612 Masehi. Cikal bakal
Kerajaan Sumedang Larang berawal
dari Kerajaan Tembong Agung yang
didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih
yang memerintah sekitar tahun 1500,
atas perintah Prabu Suryadewata
sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke
Pajajaran, Bogor. Prabu Guru Aji Putih
adalah putra Aria Bima Raksa/ Ki
Balangantrang atau dikenal dengan
nama Resi Agung, senapati Galuh cucu
dari Wretikandayun. Menurut Carita
Parahyangan, Prabu Guru Aji Putih
bersaudara dengan Prabu Permana atau
Prabu Sri Baduga Maharaja (14981521) dari Kerajaan Sunda (Lubis, 2008:
104).
Aria Bimaraksa adalah Senapati
Galuh, cucu dari Wretikandayun pendiri
Kerajaan Galuh. Ia datang ke
Leuwihideung bersama keluarganya.
Pada saat itu Bimaraksa berhasil
meloloskan diri dari kejaran pengikut

2011

157

Prabu Sanjaya, putra Bratasenawa yang


mengambil alih Kerajaan Galuh dari
Purbasora, sepupu Bimaraksa. Dalam
peristiwa itu Purbasora terbunuh oleh
Sanjaya. Pertikaian untuk memperebutkan
tahta Kerajaan Galuh terjadi di antara
cucu dan cicit Wretikandayun, pendiri
Kerajaan Galuh.
Bimaraksa dan keluarganya
bersembunyi di sekitar Muara Sungai
Cihonje yang tidak jauh dari
Leuwihideung. Untuk menghindari
kecurigaan Prabu Sonjaya ia mendirikan
gubug untuk tempat berlindung, kemudian
membuka lahan pertanian dengan
memanfaatkan lahan di sekitar tepian
Sungai Cimanuk dan Leuwihideung.
Sejak itu muncullah dusun-dusun
pertanian di sepanjang Sungai Cihonje
dan Sungai Cimanuk. Mereka bercocok
tanam dengan memanfaatkan sungai
sebagai sarana pengairan.
Aria Bimaraksa kemudian
mendirikan Padepokan Tembong Agung
di Kampung Muhara. Kehadiran
Padepokan Tembong Agung dapat
mendorong pada perkembangan
keagamaan dan kebudayaan. Secara
perlahan padepokan tersebut menjadi
pusat penyebaran agama dan
kebudayaan Sunda. Kemudian
padepokan tersebut dikembangkan oleh
putranya yaitu Prabu Guru Aji Putih.
Selanjutnya Aria Bimaraksa pergi ke
daerah utara tepian Sungai Cimanuk, di
sana ia mendirikan padepokan Bagala
Asih Panyipuhan di daerah Cipeueut.
Bagala artinya tempat, asih artinya
menghaluskan
perasaan
dan
menciptakan cinta kasih terhadap
Sanghyang Murbawisesa pencipta
alam semesta dan cinta kasih sesama
manusia, dan panyipuhan artinya
menempa jiwa atau mental (Rosmana,
et al, 2009:128).

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

158

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168

Prabu Guru Aji Putih yang


merupakan keturunan dari Galuh mampu
membawa perubahan-perubahan dalam
tata kehidupan masyarakat setempat
yang telah ada dan dirintis oleh Aria
Bimaraksa atau Resi Agung. Secara
perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran
Sungai Cimanuk diikat oleh struktur
pemerintahan dan kemasyarakatan
hingga berdiri Kerajaan Tembong
Agung sebagai cikal bakal Kerajaan
Sumedang Larang. Kerajaan Tembong
Agung terletak di Citembong Girang
Kecamatan Ganeas Sumedang,
kemudian pindah ke Kampung Muhara
Desa Leuwi Hideung, Kecamatan
Darmaraja sekarang.
Prabu Guru Aji Putih adalah putra
Aria Bimaraksa atau Resi Agung dari
istrinya yang bernama Dewi Komalasari.
Dari pernikahannya dengan Dewi
Nawangwulan ia dikaruniai empat orang
putra, yaitu:
1. Batara Kusumah/ Batara Tuntang
Buana/Prabu Tajimalela
2. Sakawayana/ Aji Saka
3. Haris Darma
4. Jagat Buana/ Langlang Buana
Kedudukan Kerajaan Tembong
Agung berada dalam lingkaran situasi dan
kondisi pengaruh kerajaan-kerajaan
besar di Tatar Sunda. Prabu Guru Aji
Putih telah mampu menyatukan dusundusun yang tersebar di daerah kaki
Gunung Mandalasakti (Cakrabuana),
Gunung Sanghyang, Gunung Penuh
(Sindang kasih), Gunung Simpay, Gunung
Jagat, Gunung Tampomas, Gunung
Geulis, Gunung Langlangbuana, Gunung
Kumala, dan Gunung Rengganis untuk
berada dalam wilayah Kerajaan
Tembong Agung. Daerah yang tersebar
di bagian utara, yaitu Gunung
Pangreugreug dan Gunung Julang juga
masuk dalam wilayahnya. Perkembangan

Kerajaan Tembong Agung pun mulai


diperhitungkan oleh kerajaan lain karena
mendapat pengakuan dan dukungan dari
Kerajaan Galuh.
Suatu kerajaan bila merujuk pada
pengertian, adalah bentuk sebuah negara
yang berdiri sendiri (merdeka) atau di
bawah pengaruh negara lain yang lebih
besar/ kuasa. Kerajaan diperintah oleh
seorang raja yang memiliki wilayah
sendiri, sistem pemerintahan, serta rakyat
sendiri, dan keberadaannya diakui oleh
negara-negara lain. Seorang raja
mengangkat dirinya sendiri dan atau
diangkat oleh pengikutnya sebagai kepala
pemerintahan, dan selanjutnya yang
menjadi penggantinya adalah mereka
yang mempunyai hubungan darah dan
atau hubungan perkawinan dengan raja
pertama. Mereka membentuk elit
pemerintahan berdasarkan keturunan
dan perkawinan. Demikian pula halnya
yang terjadi di Kerajaan Tembong
Agung.
Setelah Prabu Guru Aji putih
wafat maka selanjutnya tahta diserahkan
kepada putra sulungnya, yaitu Batara
Tuntang Buana atau lebih dikenal
dengan nama Tajimalela. Prabu Guru
Aji Putih dimakamkan di Astana
Cipeueut, Kampung Cipeueut, Desa
Cipaku, Kecamatan Darmaraja. Tidak
jauh dari areal makam Prabu Guru Aji
putih adalah makam istrinya Dewi
Nawangwulan, dan Resi Agung,
ayahandanya.
Dalam sumber tradisi disebutkan
bahwa suatu waktu Batara Tuntang
Buana berkelana mencari tempat yang
sepi untuk mempelajari elmu
Kasumedangan yang terdiri atas tiga
puluh tiga pasal. Dalam pencariannya,
ia melewati beberapa tempat di
antaranya Gunung Merak, Gunung
Pulosari, Gunung Puyuh, Gorowong,

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang (Euis Thresnawaty S.)


Ganeas, Gunung Lingga, dan tempat
lainnya. Suatu ketika, ia berhenti di suatu
daerah yang dianggapnya tepat untuk
dijadikan tempat memperdalam ilmu
Kasumedangan. Daerah itu bernama
Gunung Mandala Sakti, di sekitar
Situraja, disanalah Batara Tuntang
Buana
memperdalam
ilmu
Kasumedangan hingga gunung itu
terbelah. Demikian hebatnya ilmu yang
dimiliki Batara Tuntang Buana sehingga
ia mampu membalut (menyimpay)
kembali gunung tersebut sehingga
kemudian gunung tersebut dinamakan
Gunung Simpay (Lubis, et al. 2008:104).
Batara Tuntang Buana kemudian
turun gunung setelah selesai mempelajari
ilmu Kasumedangan. Selanjutnya Batara
Tuntang Buana lebih memilih
membentuk kerajaan baru dengan nama
Kerajaan Sumedang Larang daripada
meneruskan nama Kerajaan Tembong
Agung meskipun lokasinya tetap berada
di Tembong Agung dengan ibukota
Leuwihideung, Darmaraja sekarang.
Setelah mendirikan Kerajaan Sumedang
Larang, ia mengganti namanya menjadi
Prabu Tajimalela, ia yang menjadi raja
pertama Kerajaan Sumedang Larang.
Mengenai asal nama Sumedang,
menurut legenda masyarakat Sumedang,
kata Sumedang berasal dari rangkaian
kata ingsun medal, ingsun madangan.
Batara Tuntang Buana atau Prabu
Tajimalela dianggap sebagai raja yang
memunculkan nama Sumedang. Hal ini
terjadi ketika ia menobatkan putra
keduanya, Gajah Agung sebagai
penggantinya. Saat itu terjadi peristiwa
alam, langit diterangi oleh cahaya
melengkung menyerupai selendang atau
taji selama tiga hari tiga malam, hingga
ia berucap: Ingsun medal ingsun
madangan, kaula bijil, kaula
nyaangan (aku lahir, aku memberi

2011

159

penerangan) sehingga muncul kata


Sumedang. Sedangkan secara etimologis
kata Sumedang Larang merupakan
bentuk dari kata Su yang berarti bagus,
Medang yang berarti luas, dan Larang
yang berarti jarang bandingannya.
Dengan demikian, Sumedang Larang
berarti tanah luas bagus yang jarang
bandingannya.
Batara Tuntang Buana mempunyai
tiga orang putra, yaitu:
1. Jayabrata/Batara Sakti/Prabu Lembu
Agung
2. Atmabrata/Bagawan Batara Wirayuda/
Prabu Gajah Agung
3. Mariana Jaya/Batara Dikusuma/
Sunan Ulun
Oleh karena ingin menyempurnakan
ilmunya Prabu Tajimalela bermaksud
meninggalkan keraton untuk melakukan
tapabrata, tahta pun diserahkan kepada
putranya. Yang pertama menjadi raja
kedua Sumedang Larang adalah Lembu
Agung, tetapi kemudian digantikan oleh
adiknya, Gajah Agung karena Lembu
Agung lebih memilih menjadi resi.
Dalam Babad Layang Darmaraja
disebutkan, ketika Prabu Tajimalela
menunjuk Lembu Agung untuk menjadi
Raja Sumedang Larang yang kedua, ia
menolaknya. Lembu Agung lebih memilih
menjadi resi seperti adiknya Ulun
daripada menjadi seorang raja. Demikian
pula Gajah Agung, ia menolak menjadi
raja. Oleh karena itu, kemudian Prabu
Tajimalela memberi ujian kepada kedua
putra kembarnya dengan perjanjian
bahwa yang kalah harus menjadi raja.
Prabu
Tajimalela
segera
memerintahkan Lembu Agung dan Gajah
Agung untuk pergi menuju Gunung
Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).
Keduanya diperintahkan untuk menjaga
sebuah kelapa muda dan sebilah pedang.
Setelah menunggu beberapa lama,

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

160

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168

Prabu Lembu Agung meminta izin


kepada adiknya untuk pergi sementara
waktu. Tinggallah Prabu Gajah Agung
seorang diri hingga akhirnya ia tidak
kuasa lagi menahan haus. Maka ia pun
segera membelah kelapa yang sejak tadi
dijaganya kemudian meminum airnya.
Oleh karena kegagalan menjaga
buah kelapa tersebut, akhirnya Prabu
Tajimalela menunjuk Atmabrata yang
dikenal sebagai Prabu Gajah Agung
menjadi Raja Sumedang Larang
menggantikan kedudukannya, tetapi
dengan syarat wilayah ibukota harus
mencari sendiri. Sedangkan Prabu
Lembu Agung tetap di Leuwihideung,
menjadi raja sementara untuk memenuhi
wasiat Prabu Tajimalela. Selanjutnya
Prabu Lembu Agung menjadi resi dan
para keturunannya menetap di
Darmaraja, sedangkan keturunan
adiknya, Sunan Ulun tersebar di
Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Periode pemerintahan kedua keturunan
Prabu Tajimalela lebih kepada karesian
daripada keprabuan. Prabu Taji Malela
dimakamkan di Gunung Lingga, Desa
Cimarga, Kecamatan Cisitu, Sumedang.
Sesuai dengan syarat dan amanat
dari ayahnya, Prabu Gajah Agung
memindahkan pusat pemerintahan dari
Darmaraja ke Ciguling, Desa
Pasanggrahan. Prabu Gajah Agung
kemudian menyerahkan tahta kerajaan
kepada putranya yang bernama Wirajaya
atau Jagabaya. Prabu Gajah Agung
dimakamkan di Cicanting, Desa
Sukamenak, Kecamatan Darmaraja.
Sedangkan adiknya, Prabu Lembu Agung
dimakamkan di Astana Gede Cipaku,
Kecamatan Darmaraja.
Wirajaya atau Jagabaya, dikenal
sebagai Sunan Pagulingan menjadi
Raja Sumedang Larang ke-4. Setelah
Sunan Pagulingan wafat, kedudukannya

digantikan oleh putranya yang bernama


Mertalaya. Makam Sunan Pagulingan
terletak di Dusun Nangtung, Desa
Ciherang, Kecamatan Sumedang Utara.
Di areal makam tersebut selain makam
Sunan Pagulingan, juga terdapat makam
istrinya dan makam Singakerta,
pengawalnya.
Mertalaya, putra Sunan Paguling,
dikenal dengan gelar Sunan Guling,
menjadi Raja Sumedang Larang ke-5. Ia
mempunyai 3 orang putra, yaitu:
1. Tirta kusuma
2. Jayadinata
3. Kusuma Jayadiningrat
Tirtakusuma sebagai putra
pertama Sunan Guling adalah penerima
tahta kerajaan selanjutnya setelah Sunan
Guling wafat. Sunan Guling di makamkan
di Dusun Ciguling, Desa Pasangrahan,
Kecamatan Sumedang Selatan. Ciguling
merupakan bekas ibukota terlama sejak
pemerintahan Prabu Gajah Agung
sampai masa pemerintahan Nyi Mas
Patuakan.
Tirtakusuma atau Sunan Tuakan,
putra Sunan Guling, menjadi Raja
Sumedang Larang ke-6. Sunan Tuakan
dimakamkan di Dusun Heubeul Isuk,
Desa Cinanggerang, Sumedang Selatan.
Ia memiliki 3 putra, yaitu:
1. Ratu Ratnasih/Nyi Rajamantri
2. Ratu Sintawati/Nyi Mas Patuakan
3. Sari Kencana.
Oleh karena putri pertama Sunan
Tuakan yaitu Nyi Rajamantri diperistri
oleh Prabu Surawisesa Raja Pajajaran
maka selanjutnya tahta kerajaan
diserahkan kepada putri keduanya, Ratu
Sintawati yang bergelar Nyi Mas Ratu
Patuakan, menjadi Raja Sumedang
Larang ke-7. Nyi Mas Ratu Patuakan
menikah dengan Sunan Corenda, Raja
Talaga putra Ratu Simbar Kancana dari
Kusumalaya, putra Dewa Niskala

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang (Euis Thresnawaty S.)


penguasa Galuh. Sunan Corenda
mempunyai 2 orang istri, yaitu
Mayangsari, putri Langlangbuana dari
Kuningan, dan Sintawati (Nyi Mas
Patuakan) dari Sumedang. Dari Nyi Mas
Patuakan lahir seorang putri bernama
Satyasih atau Nyi Mas Ratu Inten
Dewata.
Nyi Mas Ratu Inten Dewata, putri
Nyi Mas Ratu Patuakan kemudian
mengganti kedudukan ibunya sebagai
Raja Sumedang Larang ke-8. Setelah
menjadi ratu, Nyi Mas Ratu Inten
Dewata bergelar Ratu Pucuk Umun.
Ia menikah dengan seorang pangeran
ulama Islam dari Cirebon bernama
Pangeran Santri. Pangeran Santri adalah
putra Pangeran Palakaran dari istrinya
Mertasari, putri Sunan Gunung Jati.
Sedangkan Pangeran Palakaran adalah
putra Ario Damar, Sultan Palembang
keturunan Majapahit.
Dari keterangan di atas jelas pula
bahwa Pangeran Santri adalah cucu
Sunan Gunung Jati menurut garis ibu.
Pangeran Santri diperkirakan wafat pada
tahun 1578, dimakamkan di Gunung
Ciung, Kota Sumedang. Oleh karena
Pangeran Santri menikah dengan
seorang ratu, maka ia disebut bupati. Ini
berarti bahwa yang menjadi ratu dan
kepala pemerintahan Sumedang Larang
adalah tetap Ratu Pucuk Umun.
Pangeran Santri adalah bupati pertama
yang menganut agama Islam dan
membangun Kutamaya sebagai ibukota
baru dan menjadi pusat pemerintahan.
Kutamaya terletak di sebuah dataran
yang sekarang menjadi daerah
pesawahan dan pemukiman (Suryaningrat,
1983:17).
Telah diuraikan di atas bahwa pada
masa pemerintahan Nyi Mas Patuakan,
sekitar tahun 1529 Masehi agama Islam
mulai menyebar di Sumedang. Penyebar

2011

161

agama Islam di Sumedang adalah


Maulana Muhammad alias Raden Kusen
alias Pangeran Palakaran, ayah
Pangeran Santri. Pangeran Palakaran
adalah putra Aria Damar, wali
pemerintahan Majapahit, juga Sultan
Palembang ketika Palembang di bawah
kekuasaan Majapahit.
Akan tetapi setelah Majapahit
runtuh akhirnya Pangeran Palakaran
yang semula beragama Hindu masuk
agama Islam, lalu ia pergi menuju
Cirebon untuk menetap dan berguru
kepada Sunan Gunung Jati. Di Cirebon
ia menjadi ulama dan menikah dengan
Mertasari, putri Sunan Gunung Jati dari
istrinya yang bernama Nyi Mas
Kusumasari. Dari pernikahan itu lahir
Pangeran Santri, kelak ia menikah
dengan penguasa Kerajaan Sumedang
Larang, Ratu Pucuk Umun. Dari
perkawinan itu lahir 6 orang putra, yaitu:
1. Rd. Angkawijaya/ P. Geusan Ulun
2. Kyai Rangga Haji
3. Kyai Demang Watang di Walakung
4. Santowan Wirakusumah
5. Santowan Cikeruh
6. Santowan Awi Luar
3. Perkembangan dan Keruntuhan
Kerajaan Sumedang Larang

Kerajaan Sunda runtuh pada tahun


1579, akibat serangan dari pasukan
Banten yang dipimpin oleh Maulana
Yusuf. Menurut Tome Pires proses
menuju keruntuhan Kerajaan Sunda
sebenarnya telah berlangsung lama yaitu
sejak tahun 1513. Pada masa Raja
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik
tahta sebagai penguasa Kerajaan Sunda
Pajajaran yang kelima (1551-1567),
situasi kenegaraan dalam keadaan tidak
menentu, bahkan frustasi sedang
melanda segala lapisan masyarakat.
Nilakendra lebih memilih hidup berfoya-

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

162

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168

foya dengan berpesta pora daripada


mempersiapkan pasukan kerajaan untuk
menghadapi serangan dari kerajaan
Banten yang bisa datang setiap saat.
Sebagai penganut ajaran Tantra
yang lebih mengutamakan mantramantra ia membuat sebuah bendera
keramat Ngibuda Sanghyang Panji
yang dipercaya bisa menjadi penolak
musuh. Kenyataannya laskar Banten
tetap melakukan penyerangan, tidak bisa
ditakut-takuti dengan bendera keramat
itu. Akhirnya Nilakendra kalah perang
dan segera meninggalkan keraton.
Menurut buku Sejarah Banten,
serangan ke Kerajaan Sunda Pajajaran
melibatkan Sultan Hasanuddin dengan
putranya Pangeran Maulana Yusuf.
Dapat disimpulkan bahwa yang tampil
dalam serangan ini adalah putra mahkota
yaitu Pangeran Maulana Yusuf.
Kekalahan Raja Nilakendra ini terjadi
ketika Sunan Gunung Jati masih hidup,
karena ia meninggal pada tahun 1568.
Sejak itu ibukota Pajajaran telah
ditinggalkan oleh rajanya dan dibiarkan
nasibnya berada di tangan penduduk dan
para prajurit yang ditinggalkan. Tetapi
ternyata Kerajaan Sunda Pajajaran
masih sanggup bertahan 12 tahun lagi
hingga tahun 1579 sebagai puncak
keruntuhannya.
Raja Kerajaan Sunda Pajajaran
selanjutnya adalah Raga Mulya atau
Prabu Suryakancana (1567-1579). Ia
tidak berkedudukan di Pajajaran tetapi
di Pulasari, Pandeglang. Kemungkinan
kedudukannya di daerah Kadu Hejo,
Kecamatan Menes pada lereng Gunung
Pulasari (Danasasmita, et al, 1983/ 1984
:80). Setelah raja tidak lagi berkedudukan
di ibukota, maka kehidupan Pakuan
Pajajaran sebagai pusat pemerintahan
sebenarnya sudah berakhir. Meskipun
runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran

merupakan suatu proses yang panjang,


tetapi puncak kemunduran kekuasaan
Kerajaan Sunda Pajajaran adalah ketika
direbut dan dikuasainya Kerajaan Sunda
Pajajaran oleh Banten pada tanggal 11
bagian terang bulan wesaka tahun 1501
Saka, kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei
1579. Salah satu sebab runtuhnya
Kerajaan Sunda yang penduduknya
beragama Hindu dan animisme adalah
karena masuknya agama Islam ke dalam
wilayah Kerajaan Sunda.
Keadaan Kerajaan Sunda Pajajaran
menjadi tidak menentu, kegiatan
pemerintahan berhenti total karena tidak
ada pemimpinnya. Rajanya, Nusiya
Mulya ngahiyang tanpa bekas, rakyat
bersembunyi ke gunung-gunung yang
belum pernah dijamah manusia. Banyak
penduduk pusat Kerajaan Sunda
Pajajaran
yang
menyingkir
menyelamatkan diri dari peperangan.
Runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran ini
juga mengakibatkan terjadinya
perpecahan wilayah sehingga muncul
kerajaan-kerajaan daerah yang merdeka
dan berdaulat seperti Cirebon, Banten,
dan Sumedang Larang. Runtuhnya
Kerajaan Sunda Pajajaran tersebut
dikenal dengan istilah Burak
Pajajaran.
Dapat dibayangkan, suatu daerah
bekas pusat kerajaan yang besar setelah
mengalami kekalahan, tanpa ada
pemerintahan baru, kemudian diduduki
oleh Laskar Banten, pada akhirnya
rakyat banyak yang meninggalkannya
pergi ke berbagai wilayah di Jawa Barat.
Menjelang runtuhnya Kerajaan
Sunda Pajajaran, Raja Sumedang
Larang yang berkuasa adalah Nyi Mas
Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk
Umun dan suaminya, Pangeran Santri.
Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk
Umun kekuatan dan kekuasaan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang (Euis Thresnawaty S.)


Kerajaan Sunda Pajajaran sudah tidak
terasa lagi di beberapa negara
bawahannya, apalagi di Sumedang
Larang yang letaknya jauh dari pusat
kerajaan Pajajaran. Oleh sebab itu
sekitar tahun 1575, sebelum Kerajaan
Sunda Pajajaran benar-benar runtuh
pada tahun 1579, Kerajaan Sumedang
Larang menjadi kerajaan merdeka
secara de facto. Pada masa kejayaan
Kerajaan Sunda Pajajaran, Sumedang
Larang adalah kerajaan daerah yang
terbesar kekuasaan, kekuatan dan
wilayahnya serta terbanyak penduduknya.
Setelah pemerintahan Ratu Pucuk
Umun, selanjutnya tahta kerajaan
diserahkan kepada putra sulungnya,
Raden Angkawijaya. Setelah dinobatkan
menjadi raja, Raden Angkawijaya
mendapat gelar Prabu Geusan Ulun. Ia
merupakan penerus tahta Kerajaan
Sumedang Larang yang memerintah dari
tahun1578 sampai tahun 1608. Naik
tahtanya Prabu Geusan Ulun seringkali
dikaitkan dengan runtuhnya Kerajaan
Sunda Pajajaran. Pada masa awal
pemerintahannya Kerajaan Sunda
Pajajaran sedang mengalami kehancuran
karena diserang oleh pasukan Banten
yang dipimpin oleh Maulana Yusuf, putra
Sultan Hasanuddin.
Prabu Geusan Ulun dinobatkan
menjadi Raja Sumedang Larang ke-9 di
usia 22 tahun pada tanggal 10 bagian
terang bulan Posya tahun 1502 Saka (18
Nopember 1580), 13 bulan setelah
Pangeran Santri wafat. Saat yang dipilih
untuk penobatan itu telah mencerminkan
suasana keislaman, sebab tanggal 18
Nopember 1580 jatuh pada hari Jumat
Legi bertepatan dengan tanggal 10
Sawal tahun 988 Hijriah. Suasana
lebaran dan hari Jumat. Di samping itu,
menurut tradisi hari pasaran Legi
(Manis) merupakan saat baik untuk

2011

163

memulai suatu upaya besar dan sangat


penting. Peristiwa itu sangat penting
karena pengukuhan Geusan Ulun
sebagai Cakrawarti atau nalendra
merupakan semacam proklamasi
kebebasan Sumedang Larang yang
mensejajarkan diri dengan Kerajaan
Banten dan Cirebon (Danasasmita IV,
1983/1984:59).
Setelah mengetahui Kerajaan
Sunda Pajajaran runtuh, Prabu Geusan
Ulun tampil menyatakan dirinya sebagai
nalendra (penguasa) dan segera
memproklamirkan bahwa Kerajaan
Sumedang Larang merupakan penerus
Kerajaan Sunda Pajajaran dan seluruh
wilayah Kerajaan Pajajaran adalah
daerah kekuasaan Kerajaan Sumedang
Larang. Menurut babad, wilayah
kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang
meliputi daerah: di sebelah Timur dibatasi
oleh Sungai Cipamali, sebelah Selatan
dibatasi oleh Samudra Hindia, sebelah
Barat dibatasi oleh Sungai Cipamugas
(Cisadane), dan di sebelah Utara dibatasi
oleh Laut Jawa. Namun demikian tidak
seluruh wilayah yang di klaim sebagai
wilayah Kerajaan Sumedang Larang
menjadi daerah kekuasaannya. Daerahdaerah seperti Dayeuh Pakuan Pajajaran
menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan
Banten, Cirebon menjadi kerajaan yang
merdeka, dan Galuh menjadi bagian
Mataram Islam pada tahun 1597.
Luas daerah kekuasaan Prabu
Geusan Ulun dapat dilihat dari isi surat
Rangga Gempol III yang dikirimkan
kepada Gubernur Jenderal Willem van
Outhoorn. Surat itu dibuat pada hari
Senin tanggal 2 Rabiul awal tahun Je (4
Desember 1690) yang dicatat dalam
buku harian VOC di Batavia tanggal 31
Januari 1691. Dalam surat itu Rangga
Gempol III menuntut agar kekuasaannya
dipulihkan seperti kekuasaan buyutnya

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

164

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168

yaitu Pangeran Geusan Ulun. Sumedang


Larang pada masa Prabu Geusan Ulun
membawahi 44 penguasa daerah yang
terdiri atas 26 kandaga lante dan 18
umbul, sementara itu Rangga Gempol
III hanya menguasai 11 dari 44 daerah
(Danasasmita IV, 1983/1984:57).
Dengan runtuhnya Kerajaan
Sunda Pajajaran maka secara tidak
langsung Kerajaan Sumedang Larang
menjadi pewaris Kerajaan Sunda
Pajajaran. Hal ini terbukti dengan
diserahkannya atribut kebesaran milik
Kerajaan Sunda Pajajaran yang
diserahkan kepada Kerajaan Sumedang
Larang. Sebelum meninggalkan keraton,
Prabu Nusiya Mulya pemegang
mahkota terakhir Pajajaran mengutus 4
orang Kandaga Lante (lebih tinggi satu
tingkat daripada cutak atau camat),
empat bersaudara bekas senapati dan
pembesar Kerajaan Pajajaran, untuk
menyerahkan pusaka kerajaan kepada
Prabu Geusan Ulun yang berupa
mahkota Binokasih yang terbuat dari
emas. Keempat Kandaga Lante tersebut
adalah:
1. Sang Hyang Hawu (Mbah Jaya
Prakosa)
2. Batara Dipati Wiradijaya (Mbah
Nanganan)
3. Sang Hyang Kondang Hapa
4. Batara Pancar Buana (Mbah Terong
Peot)
Mahkota raja Binokasih yang
diserahkan tersebut merupakan mahkota
turun temurun yang dikenakan raja-raja
Pajajaran sebagai lambang penguasa.
Penyerahan mahkota tersebut dapat
diartikan sebagai lambang bahwa yang
berhak melanjutkan Pajajaran adalah
Sumedang Larang. Apalagi ketika
Banten melakukan penyerangan, batu
penobatan raja-raja Sunda yaitu Sriman
Sriwacana dibawa ke Banten dan di

letakkan di Istana Surosowan sebagai


batu penobatan raja-raja Banten yang
disebut Watu Gilang. Dengan
dibawanya batu penobatan raja-raja
Sunda itu menandakan bahwa Kerajaan
Sunda Pajajaran sudah berakhir karena
tidak ada lagi tempat penobatan raja
yang baru. Bagi Banten, meskipun
merupakan sebuah kerajaan Islam, batu
itu menandakan berpindahnya legitimasi
kekuasaan ke tangannya (Lubis et al,
2000:106). Ibukota Kerajaan Sumedang
Larang ketika itu masih berada di
Kutamaya yang terletak di pinggir
sebelah barat Kota Sumedang.
Periode pemerintahan Prabu
Geusan Ulun, merupakan periode sangat
penting dalam sejarah Tatar Sunda,
khususnya bagi sejarah Sumedang,
mengingat dua hal. Pertama, pada masa
Geusan Ulun dinobatkan menjadi raja
terjadi keruntuhan Kerajaan Sunda
Pajajaran akibat serangan Kesultanan
Banten tahun 1579. Kedua, Prabu
Geusan Ulun merupakan raja terakhir
sekaligus berakhirnya Kerajaan
Sumedang Larang (Lubis et al, 2008:
112).
Masa pemerintahan Prabu Geusan
Ulun dapat dikatakan sebagai masa
kejayaan Kerajaan Sumedang Larang.
Kerajaan Sumedang Larang yang pada
masa kejayaan Kerajaan Sunda
Pajajaran merupakan kerajaan bawahan,
namun ketika Kerajaan Sunda Pajajaran
runtuh maka Sumedang Larang tidak
hanya menjadi kerajaan merdeka, tetapi
juga dianggap mewarisi kebesaran
Kerajaan Sunda Pajajaran. Bahkan
daerah-daerah yang ketika Kerajaan
Sunda Pajajaran melemah akibat
serangan dari Banten dan berusaha
melepaskan diri, kembali bisa ditaklukkan
oleh pasukan Prabu Geusan Ulun.
Daerah-daerah itu adalah Karawang,

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang (Euis Thresnawaty S.)


Ciasem, Pamanukan, dan Indramayu
(Suryaningrat, 1983: 22).
Sikap Kerajaan Sumedang Larang
tersebut tentu saja mengundang
kemarahan Kesultanan Banten.
Kesultanan Banten sebagai pemenang
dalam peperangan dengan Kerajaan
Sunda Pajajaran menganggap dirinya
menjadi penguasa dan berhak atas
seluruh wilayah yang menjadi bawahan
Kerajaan Sunda Pajajaran, termasuk
Sumedang Larang.
Prabu Geusan Ulun meninggal
pada tanggal 7 bagian gelap, bulan
Kartika tahun 1530 Saka atau 5
November 1608 Masehi. Saat itu
kedudukan Kerajaan Pajang telah
tergeser oleh Mataram, dan pada tahun
1608 diperintah oleh Mas Jolang atau
dikenal dengan nama Panembahan Seda
Krapyak (1601-1613 Masehi), yaitu
putra Panembahan Senopati yang kedua.
Sementara itu keadaan Kerajaan
Sumedang Larang sepeninggal Prabu
Geusan Ulun kemudian dibagi menjadi
dua wilayah. Yang pertama dipegang
oleh Pangeran Rangga Gede putra
sulungnya dari Nyi Mas Gedeng Waru,
istri pertamanya dengan pusat
pemerintahan di Dayeuh Luhur, ada juga
yang mengatakan di Canukur. Yang
kedua dipegang oleh Pangeran
Suriadiwangsa, putra dari Ratu
Harisbaya dengan ibukota di
Tegalkalong. Beberapa versi menyatakan,
di antaranya menurut Babad
Sumedang,
bahwa Pangeran
Suriadiwangsa atau Rangga Gempol
sebenarnya bukan anak biologis Prabu
Geusan Ulun, melainkan putra dari
Panembahan Girilaya Cirebon. Ketika
Harisbaya melarikan diri dari Cirebon
bersama Prabu Geusan Ulun, ia dalam
keadaan hamil dua bulan. Bayi yang
lahir adalah laki-laki diberi nama Raden

2011

165

Suriadiwangsa. Meskipun bukan anak


kandung Prabu Geusan Ulun tetapi
Pangeran Suriadiwangsa dianggap
sebagai putra kandungnya sendiri karena
sejak usia 2 bulan dalam kandungan
ibunya ada dalam pengasuhannya.
Dengan diserahkannya kedudukan
raja kepada dua orang putranya tersebut
maka yang terjadi adalah adanya
dualisme kepemimpinan. Mungkin
karena kedua putranya umurnya sebaya
atau mungkin karena Pangeran
Suriadiwangsa atau Dipati Kusumadinata
adalah putra angkat sejak masih dalam
kandungan Ratu Harisbaya dan
Pangeran Rangga Gede adalah putranya
sendiri (Surianingrat, 1983: 33).
Setelah Prabu Geusan Ulun wafat,
terjadi beberapa perubahan penting
dalam status pemerintahan dan
kewilayahan. Negeri-negeri bawahan
Kerajaan Sumedang Larang banyak
yang melepaskan diri, di antaranya:
Karawang, Ciasem, Pamanukan, dan
Indramayu sehingga wilayah Sumedang
Larang menjadi lebih kecil, meliputi
Bandung, Sukapura, Sumedang, dan
Parakanmuncang (Cicalengka).
Pada masa pemerintahan Pangeran
Kusumadinata atau Pangeran Rangga
Gempol (1608-1625), Mataram dengan
pusat pemerintahan di sekitar Yogyakarta
dan Surakarta sedang giat mengadakan
ekspansi wilayah ke seluruh Pulau Jawa.
Pembentukan Kabupaten Sumedang pun
berawal dari adanya upaya perluasan
wilayah yang dilakukan oleh Sultan
Agung. Dalam upayanya meluaskan
wilayah dan pengaruhnya, Sultan Agung
melakukan invasi baik ke arah barat
maupun ke arah timur. Upaya invasi
Mataram ini tentu saja mengancam
eksistensi Kerajaan Sumedang Larang.
Pangeran Kusumadinata sebagai
penguasa Sumedang Larang sudah

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

166

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168

merasa terancam oleh niat Sultan Agung


tersebut meskipun Sumedang Larang
belum diinvasi. Selain Mataram ada
kekuatan lain yaitu Banten dan Kompeni
yang juga merongrong keberadaan
Sumedang Larang. Pangeran
Kusumadinata kemudian menganalisa
kekuatan tempur yang dimiliknya dan
berkesimpulan bahwa Sumedang Larang
tidak akan sanggup melawan kekuatan
Mataram, Banten, maupun Kompeni.
Atas dasar beberapa pertimbangan
itu, pada tahun 1620 ia pergi ke Mataram
untuk menyatakan bahwa Sumedang
Larang bersedia menjadi negeri bawahan
Mataram. Alasan paling kuat dari
keputusan itu adalah karena Pangeran
Kusumadinata masih keturunan
Mataram dari pihak ibunya, Ratu
Harisbaya yang merupakan adik
Panembahan Senopati. Sejak saat itu
Sumedang Larang tidak lagi berdaulat
sebagai negeri kerajaan yang bebas
tetapi berubah menjadi daerah bawahan
Kesultanan Mataram Islam di daerah
Yogyakarta. Selanjutnya Pangeran
Kusumadinata mendapat gelar
Pangeran Rangga Gempol I dan menjadi
bupati wedana untuk seluruh Pasundan.
Sultan Agung kemudian mengubah
nama wilayah yang termasuk ke dalam
Sumedang Larang dengan nama
Priangan. Priangan berasal dari kata
Prayangan artinya penyerahan diri
dengan hati yang suci. Sebagai
penghargaan atas penyerahan diri
Sumedang Larang, Sultan Agung
menyerahkan pemerintahan di Priangan
kepada Pangeran Kusumadinata. Sejak
itu maka riwayat Kerajaan Sumedang
Larang sebagai kerajaan berakhir,
statusnya kini hanya sebagai kabupaten
dari Mataram Islam.

C. PENUTUP

Menelaah tentang keberadaan


Kerajaan Sumedang Larang memunculkan
beberapa catatan, di antaranya, karena
panjangnya masa pemerintahan Kerajaan
Sumedang Larang akhirnya muncul
berbagai versi, baik mengenai urutan rajaraja, tahun kekuasaan, tentang peristiwa
Harisbaya, dan sebagainya. Contohnya,
banyak versi mengenai tahun urutan rajarajanya, di antaranya ada versi Yayasan
Pangeran Sumedang, dan versi Saleh
Danasasmita, tentu dengan argumen
masing-masing. Hal ini tentu saja akan
memunculkan kebingungan. Sebaiknya
memang ada kesepakatan, minimal jalan
tengah antara pihak keluarga kerajaan
dengan sejarawan mengenai susunan raja
dan tahun pemerintahannya sehingga
jarak perbedaan waktu tidak terlalu
jomplang. Tentu saja agak sulit untuk
menentukan mana yang harus menjadi
pegangan mengingat sumber yang
digunakan lebih banyak menggunakan
sumber tradisi. Akan membutuhkan
waktu yang panjang untuk bisa
mengungkapkannya. Namun demikian,
apapun, bagaimanapun uraian di atas
mudah-mudahan berguna sebagai bahan
bukti bahwa Kerajaan Sumedang Larang
pernah ada di wilayah Jawa Barat, dan
pernah berjaya pada masa pemerintahan
Prabu Geusan Ulun. Beberapa bukti
peninggalannya satu per satu mulai
terungkap, baik berupa situs bekas
kerajaan maupun makam raja-rajanya.
Dan kini nama Prabu Geusan Ulun telah
diabadikan sebagai nama Museum di
Kabupaten Sumedang.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang (Euis Thresnawaty S.)


DAFTAR PUSTAKA

Adeng. 1999.
Pangeran Geusan Ulun Pendiri
Kerajaan Sumedang Larang
(1580-1608), dalam Budhiracana
Vol: 8. Bandung: BPSNT.
Adiwilaga, Anwas. 1975.
Beberapa Catatan tentang
Penulisan Sejarah Jawa Barat
Sekitar Permasalahannya.
Bandung: Proyek Penunjang
Peningkatan
Kebudayaan
Nasional Propinsi Jawa Barat.
Ayatrohaedi. 1998.
Nganjang ka Sumedang
Larang, Makalah. Bandung:
BKSNT Bandung.
Atmamihardja, R. Mamun, 1950.
Sadjarah Sunda I. Bandung:
Ganaco.
Atja. 1968.
Tjarita Parahijangan. Bandung:
Yayasan Kebudayaan Nusalarang.
________. 1970.
Tjarita Ratu Pakuan. Bandung:
Lembaga Bahasa.
________. 1986.
Negarakertabhumi 1-5. Karya
kelompok kerja di bawah
tanggung jawab Pangeran
Wangsakerta Panembahan
Cirebon, Proyek Penelitian dan
Pengkajian
Kebudayaan
(Sundanologi) Direktorat Jenderal
Kebudayaan,
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

2011

167

Badan Pusat Statistik Kabupaten


Sumedang, 2009
Sumedang dalam Angka, 2008.
Sumedang.
Boedi, Oerip Bramantyo, 2006
Tiga Komplek Makam Raja
Sumedang Larang, dalam
Agus Arismunandar (ed),
Widyasancaya. Bandung: IAAI,
hlm 82-90.
_________. 2006.
Perkotaan di Desa Dayeuh
Luhur Sumedang, dalam Edi
Sedyawati (ed) Arkeologi dari
Lapangan ke Permasalahan.
Bandung: IAAI, hlm 103-110.
_________. 2007.
Kutamaya: Peran Pada Masa
Kerajaan Sumedang Larang
dan sebagai situs Arkeologi
Danasasmita, Saleh et al, 1983/1984.
Rintisan Penelusuran Masa
Silam, Sejarah Jawa Barat, Jilid
IV. Bandung: Proyek Penerbitan
Sejarah Jawa Barat Pemda
Jabar.
de Graaf, H.J. 1985.
Awal Kebangkitan Mataram
Masa Pemerintahan Senapat.,
Jakarta: Grafiti Pers.
_________. 1986.
Puncak Kekuasaan Mataram
Politik Ekspansi Sultan Agung.
Jakarta: PT. Grafiti Pers.
Hardjasaputra, Sobana. 2005.
Sejarah Sumedang. Sumedang:
Dinas Budpar dan YPSS.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

168

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168

Lubis, Nina, et al. 2000.


Sejarah Kota-kota Lama di
Jawa Barat. Bandung: Alqa Print
_________. 2003.
Sejarah Tatar Sunda, Jilid I,
Bandung: Lembaga Penelitian
UNPAD.
_________. 2008.
Sejarah Sumedang dari Masa
ke Masa. Sumedang: Disparbud
Sumedang.
Raksa Kusumah, Haji Said. 1978.
Babad Sumedang karya
Martanegara. Bandung: Dok.
Lembaga Kebudayaan UNPAD.

Rosmana, Tjetjep et al. 2009.


Peta Budaya Kabupaten
Sumedang, Provinsi Jawa
Barat. Bandung: BPSNT
Bandung.
Soemadilaga, H. Djamhir. 1996.
Mengenal Museum Prabu
Geusan Ulun serta Riwayat
Leluhur Sumedang, Sumedang:
Museum Geusan Ulun.
Soeria Danoeningrat, R.A.A. 1975.
Buku
Sejarah
Leluhur
Sumedang. Sumedang: Museum
Prabu Geusan Ulun.
Surianingrat, Bayu. 1983
Sejarah Kabupatian I Bhumi
Sumedang 1550-1950. Tt,tp.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Masjid Agung Banten Lama (Yuzar Purnama)

169

ARSITEKTUR MASJID AGUNG BANTEN LAMA


Oleh Yuzar Purnama
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Jl. Cinambo No. 136 Ujungberung-Bandung
Naskah diterima:30 Desember 2010

Naskah disetujui:22Februari 2011

Abstrak
Masjid Agung Banten Lama (Masjid Hasanuddin) adalah bangunan sakral
peninggalan Kesultanan Banten Lama. Kini masjid ini sudah berusia lebih dari empat
abad. Bangunannya memiliki bentuk arsitektur yang bernuansa Jawa, Belanda, dan
Cina. Dari masa ke masa dilakukan renovasi baik perbaikan maupun penambahan,
namun demikian bentuk keaslian arsitektur masjid relatif masih dapat dipertahankan.
Penelitian arsitektur Masjid Agung Banten Lama sangat menarik terutama untuk
mengetahui arsitektur tradisional yang memperkaya bangunan tersebut, mengingat
struktur bangunannya sudah sangat tua, namun masih tetap kokoh dan terpelihara
dengan baik. Penelitian ini meliputi arsitektur bangunan, fungsi, dan simbol. Adapun
metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif analitik. Arsitektur
bangunan yang dikaji sebatas pondasi, lantai, menara, momolo, serambi, bedug, kolam,
tempat wudhu, sumur kuno, tiang (pilar), umpak, mimbar, mihrab, jendela, pintu, dan
lubang angin.
Kata kunci: arsitektur, Masjid Agung Banten Lama (Masjid Hasanuddin)
Abstract
The Great Mosque of Old Banten (Hasanuddin Mosque) is a sacred
building of the Sultanate of Old Banten which is more than 400 years old. The
buildig itself has a Javanese, Dutch, and Chinese style. The original form is
preserved until today, although there were many renovations during its history.
It is interesting to study the architectural aspects of this mosque, for its structure
is very old but its strength is remarkable. This study covers tie building itself, its
function, and symbols accompanying it. The author has conducted a descriptiveanalytical method by studying the foundation of the building, the floor, the
minaret, momolo, serambi (the terrace), bedug, the pond, the place for ablution
(wudhu), the ancient well, the pillars, umpak (stairs), mimbar (the podium),
mihrab, and even the doors, the windows and ventilations.
Keywords: architecture, the Great Mosque of Old Banten (Hasanuddin Mosque).

2011

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

170

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 169-186

A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang
memiliki khasanah kebudayaan daerah
bagaikan untaian mutiara yang
membentang dari barat ke timur.
Sementara itu, unsur kebudayaan
merupakan sumber yang potensial bagi
terwujudnya kebudayaan nasional. Salah
satu unsur kebudayaan yang kini masih
tetap hidup dan dijadikan sebagai tuntunan
serta pedoman dalam kehidupan seharihari oleh suku-suku bangsa di Indonesia
adalah arsitektur tradisional.
Arsitektur tradisional sebagai salah
satu unsur kebudayaan sebenarnya
tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan suatu suku bangsa. Oleh
karena itu, tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa arsitektur tradisional
merupakan suatu hal yang dapat
memberikan ciri serta identitas suku
bangsa sebagai pendukung suatu
kebudayaan tertentu. Batasan tentang
arsitektur tradisional telah banyak
diberikan oleh para ahli. Batasan-batasan
tersebut secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa arsitektur tradisional
merupakan suatu bangunan yang bentuk,
struktur, fungsi, ragam hias, dan cara
membuatnya diwariskan dari suatu
generasi ke generasi berikutnya, serta
dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk
melaksanakan aktivitas kehidupan.
Peninggalan arsitektur tradisional
di wilayah Nusantara dapat dibagi
berdasarkan fungsinya menjadi dua jenis,
yaitu bangunan profan seperti rumah
tempat tinggal dan bangunan sakral (suci)
seperti rumah adat, bangunan tempattempat ibadah, dan sebagainya.
Bangunan-bangunan profan umumnya
banyak yang sudah mengalami
perubahan karena dibuat dengan bahan/
material yang kurang kuat, sedangkan
bangunan-bangunan yang bersifat sakral

biasanya dibuat dengan bahan/material


yang lebih kuat dan tahan lama, serta
sedikit mengalami perubahan, karena
adanya keyakinan akan kesucian.
Seiring dengan semakin pesatnya
pembangunan di berbagai bidang telah
menyebabkan keberadaan arsitektur
tradisional tergerus oleh perkembangan
zaman. Permasalahan inilah yang
mendorong dilakukannya kegiatan
penelitian terhadap bangunan arsitektur
tradisional Masjid Agung Banten Lama.
Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran yang lengkap
dan jelas tentang arsitektur tradisional
Masjid Agung Banten Lama. Atau
dengan kata lain, untuk menggali
pengetahuan dan teknologi tradisional
tentang arsitektur Masjid Agung Banten
Lama, penyediaan data tentang arsitektur
tradisional, dan untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang
arsitektur tradisional.
Ruang lingkup penelitian arsitektur
tradisional masjid hanya dibatasi pada
arsitektur Masjid Agung Banten Lama
yang terdapat di Kota Serang Provinsi
Banten. Ruang lingkup materinya
meliputi: bangunan, fungsi, serta simbol
yang terkandung dalam arsitektur masjid
tersebut. Permasalahannya dijabarkan
menjadi sejumlah pertanyaan berikut:
Kapan berdirinya Masjid Agung Banten
Lama? Bagaimana arsitektur bangunan
Masjid Agung Banten Lama tersebut?
Apa fungsi dan simbol yang terkandung
dalam arsitektur masjid tersebut?
Metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode deskriptif
analisis, yaitu penelitian dilaksanakan
semata-mata berdasarkan kepada fakta
yang ada. Data yang terkumpul diberi
interpretasi sesuai kebutuhan. Adapun
penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian diawali dengan studi

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Masjid Agung Banten Lama (Yuzar Purnama)


pustaka untuk memperoleh pengetahuan
teori. Langkah berikutnya pengumpulan
data. Data yang telah dikumpulkan
kemudian diklasifikasi dan dianalisis, hasil
analisis disusun menjadi sebuah laporan.
B. HASIL DAN BAHASAN

1. Masyarakat Banten Lama


Masjid Agung Banten Lama
berada di Desa Banten Lama,
Kecamatan Kasemen, Kota Serang,
Provinsi Banten. Kecamatan Kasemen
merupakan wilayah yang terletak di
pesisir pantai. Wilayah Kecamatan
Kasemen merupakan bekas wilayah
Kesultanan Banten. Oleh karena itu, di
wilayah ini terdapat sisa-sisa kejayaannya
berupa Masjid Agung Banten Lama yang
sudah berusia ratusan tahun, Benteng
Surosowan, Istana Kaibon, dan makam
raja-raja Banten.
Luas wilayah Kecamatan Kasemen
adalah 56,36 km2 yang diperuntukkan
sebagai lahan pertanian, tambak, dan
pemukiman. Kecamatan Kasemen terdiri
atas 10 desa, 62 RW, dan 227 RT.
Kecamatan Kasemen adalah salah satu
dari 6 kecamatan di Kota Serang Provinsi
Banten. Wilayah ini berjarak 5 km dari
ibu kota Serang, 5 km dari ibu kota
provinsi, dan 70 km dari DKI Jakarta, ibu
kota Negara Indonesia. Wilayah
Kecamatan Kasemen berbatasan dengan
daerah-daerah sebagai berikut: sebelah
utara berbatasan dengan Laut Jawa,
sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Cikeusal, Kecamatan Baros,
dan Kecamatan Petir Kota Serang,
sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Kramat Watu Kota Serang,
dan sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Pontang dan Kecamatan
Ciruas Kota Serang.

2011

171

Menuju Kecamatan Kasemen


khususnya Masjid Agung Banten Lama
dapat ditempuh dengan menggunakan
berbagai kendaraan baik roda dua maupun
roda empat. Selain dengan menggunakan
kendaraan pribadi, juga dapat
menggunakan kendaraan umum angkutan
kota (angkot) maupun ojeg. Kendaraan
umum dapat ditempuh dari terminal
Pakupatan Serang dengan dua kali
menumpang angkot dengan perjalanan
kurang lebih antara setengah sampai satu
jam. Adapun menggunakan ojeg dari
terminal Pakupatan (arah pintu tol Serang)
sekitar setengah jam.
Pemukiman yang terdapat di
sekitar Masjid Agung Banten Lama
terpusat di sebelah barat masjid. Kalaupun
di sebelah timur ada namun jumlahnya
sangat sedikit. Masyarakat dikonsentrasikan tinggal di sebelah barat
masjid, sehingga namanya pun adalah
Kompleks Masjid Agung Banten Lama.
Pemukiman yang terdapat di kompleks
tersebut tampak padat dan terkesan tidak
tertata rapi.
Masyarakat Banten Lama dalam
keseharian menggunakan bahasa Jawa
Banten. Obrolan di warung-warung dan
sekitar Masjid Agung Banten Lama
menggunakan bahasa Jawa. Meskipun
demikian sebenarnya di antara mereka
ada yang paham atau mengerti jika ada
lawan bicara yang menggunakan bahasa
Sunda.
Pakaian yang dikenakan masyarakat
Kecamatan Kasemen hampir sama
dengan yang biasa dikenakan masyarakat
Sunda dan Jawa. Pakaian khas adalah
pakaian yang dikenakan oleh para
kuncen atau pengurus masjid
(almubarok), yaitu menggunakan
pakaian koko putih dan celana panjang
berwarna gelap. Kadangkala mereka

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

172

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 169-186

mengenakan pakaian berwarna putih atau


warna lain dengan model tetap baju koko
atau juga mengenakan baju batik.
Di sekitar masjid juga terdapat
warung atau kios yang menjual aneka
jajanan. Selain itu, banyak kios yang
menjual perlengkapan sholat, tasbih, kaset
rohani, VCD musik, pakaian dewasa dan
anak-anak, serta cenderamata.
2. Latar Belakang Sejarah Masjid
Agung Banten Lama
Masyarakat Banten Lama
memiliki definisi sendiri tentang istilah
Banten sebagai tempat tinggal dan
tanah tumpah darah mereka. Menurut
mereka Banten berasal dari ketiban
inten; artinya tanah yang ditempati penuh
dengan keberuntungan (barokah), tanah
yang subur makmur loh jinawi, bagaikan
orang yang mendapatkan sesuatu yang
sangat berharga. Adapula yang
menyebutkan bahwa kata Banten berasal
dari kata bantahan (orang yang
membantah) yang berubah menjadi
Banten. Hal tersebut berkaitan dengan
jiwa atau tabiat orang Banten yang
sering membantah perintah/keinginan
Pemerintah Kolonial Belanda. Salah satu
contohnya adalah ketika terjadi sistem
kerja paksa yang diterapkan Pemerintah
Kolonial Belanda untuk membangun jalan
dari Anyer (ujung Barat Banten) ke
Panarukan (ujung Timur Jawa Timur)
sepanjang 1.000 km. Setiap daerah atau
kesultanan harus mengerahkan 1.000
pemuda untuk dikerjapaksakan. Artinya,
mereka tidak diberi upah dan makan
sehingga banyak yang mati teraniaya dan
kelaparan. Melihat kejadian itu, Sultan
Banten menolak mengirim 1.000 pemuda
untuk dikerjapaksakan. Pemerintah
Kolonial Belanda sangat marah dan
mengutus pejabat Belanda ke Sultan
Banten. Sesampainya di gerbang

Kesultanan Banten, utusan tersebut


dibunuh dengan dipenggal kepalanya. Hal
ini adalah salah satu bukti keberanian
masyarakat Banten yang membantah
keras perintah kolonial Belanda yang keji
dan kejam. Jajaran Kesultanan Banten
berani tegas untuk membela dan
melindungi rakyatnya dari penindasan
pihak lain walau apa pun risiko yang harus
dihadapi.
Pendirian Masjid Agung Banten
Lama berawal dari instruksi Sunan
Gunung Jati kepada anaknya,
Hasanuddin. Sunan Gunung Jati
memerintahkan kepada Hasanuddin
untuk mencari sebidang tanah yang masih
suci sebagai tempat pembangunan
Kerajaan Banten. Setelah mendapat
perintah ayahnya, Hasanuddin kemudian
shalat dan bermunajat kepada Allah Swt.
agar diberi petunjuk. Setelah berdoa,
secara spontan air laut yang berada di
sekitarnya tersibak dan menjadi daratan.
Di lokasi itulah kemudian Hasanuddin
mendirikan Kerajaan Banten beserta
sarana pendukung lainnya, seperti masjid,
alun-alun, dan pasar.
Keunikan arsitektur Masjid Agung
Banten Lama terlihat pada rancangan
atap masjid yang beratap susun lima
menyerupai pagoda Cina. Masjid yang
dibangun pada awal masuknya Islam ke
Pulau Jawa ini desainnya dikerjakan oleh
Raden Sepat. Ia adalah seorang arsitek
dari Majapahit yang sudah berpengalaman menangani pembangunan
masjid seperti Masjid Demak dan Masjid
Kasepuhan Cirebon. Selain Raden Sepat,
arsitek lainnya yang ditengarai turut
berperan, terutama pada bagian tangga
masjid, adalah Tjek Ban Tjut. Atas
jasanya itulah Tjek Ban Tjut memperoleh
gelar Pangeran Adiguna.
Pada tahun 1620 M, semasa
kekuasaan Sultan Haji, seorang arsitek

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Masjid Agung Banten Lama (Yuzar Purnama)


dari Belanda bernama Hendrik Lucaz
Cardeel melarikan diri dari Batavia ke
Banten dan berniat masuk Islam. Kepada
Sultan, ia menyatakan kesiapannya
berperan serta menambah bangunan
Masjid Agung Banten Lama, yaitu
membangun menara dan bangunan
tiyamah. Hal ini dilakukan sebagai wujud
keseriusannya masuk Islam. Karena
jasanya tersebut, Cardeel kemudian
mendapat gelar Pangeran Wiraguna.
Pada tahun 1930 dilakukan
pemugaran masjid di antaranya dengan
mengganti tiang yang dianggap sudah
tidak layak pakai. Kayu yang lama diganti
dengan kayu jati gelondongan yang tidak
bersambung.
Pasca kemerdekaan Republik
Indonesia (RI), Masjid Agung Banten
Lama telah beberapa kali dipugar dan
direnovasi, di antaranya pada tahun 1975.
Pada tahun tersebut, pihak Pertamina
membangun bak-bak wudlu dan atap
kompleks makam di serambi selatan
masjid. Kompleks makam tersebut
dinamakan pemakaman selatan. Pada
tahun 2000, diadakan penambahan
bangunan berupa pendopo, kantor
Yayasan Sultan Hasanuddin, dan juga
pembuatan koridor di sebelah utara dan
barat Masjid Agung Banten lama. Koridor
tersebut untuk mempermudah perjalanan
para peziarah.
Pada tahun 2009/2010 dilakukan
renovasi berupa pengembangan atau
perluasan ruangan tempat ziarah di
makam Sultan Hasanuddin. Perluasan
dilakukan ke empat arah: barat, utara,
timur, dan selatan.
3. Arsitektur Masjid Agung Banten
Lama
Suatu kebanggaan tersendiri bagi
masyarakat Banten umumnya dan
Banten Lama khususnya karena Banten
2011

173

mewarisi peninggalan sejarah dan budaya


dalam bentuk bangunan kuno. Bangunan
kuno tersebut memiliki nilai-nilai tersendiri
yang belum tentu dimiliki oleh daerahdaerah lain.
Ditinjau dari segi arsitekturnya,
bangunan peninggalan sejarah dan budaya
di Banten dapat dikatakan relatif
lengkap.Warisan kuno yang dimilikinya
mempunyai corak yang begitu beragam.
Ada bangunan kuno yang memiliki corak
tradisional yang bernuansa ke-Islaman,
ada yang berarsitektur gaya Eropa yang
berakulturasi dengan arsitektur setempat
yang merupakan peninggalan Kolonial
Belanda selama 350 tahun, dan ada yang
berarsitektur Cina yang dibangun oleh
para imigran Cina yang datang dan
menetap di Banten.
Masjid Agung Banten Lama
merupakan masjid yang memiliki nilai
sejarah dan budaya yang tinggi. Masjid
ini merupakan peninggalan Kerajaan
Islam di Banten pada abad XVI-XIX dan
termasuk peninggalan kerajaan Islam di
Banten yang relatif masih utuh dan
terpelihara dari kehancuran kota pada
tahun 1808-1832.
Kompleks Masjid Agung Banten
Lama berdiri di atas areal tanah seluas
1,3 ha dengan dikelilingi pagar tembok
setinggi 1 m. Bersama alun-alun di
sebelah timur dan Keraton Surosowan di
sebelah selatan, Masjid Agung Banten
Lama menjadi sentral atau pusat kota di
masa lalu.
Bangunan atau objek yang akan
dibahas meliputi pondasi, atap, menara,
momolo, dinding, pintu, jendela, lubang
angin, tiang (pilar) dan umpaknya,
pawastren, makam, serambi, bedug,
kolam, istiwa, tiyamah, tempat wudhu,
dan sumur kuno.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

174

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 169-186

a. Pondasi dan Lantai


Salah satu yang dapat dijadikan
barometer untuk melihat sebuah
bangunan kuat dan kokoh adalah pondasi.
Pondasi adalah bagian yang paling bawah
atau landasan dari sebuah bangunan.
Makin kokoh pondasi sebuah bangunan
maka akan makin kuat dan kokoh
bangunan tersebut. Fungsi pondasi adalah
sebagai kaki sebuah bangunan yang
menopang atau menahan beban seluruh
bangunan yang terdapat di atasnya seperti
tiang, dinding, langit-langit, dan atap.
Pondasi bangunan yang digunakan
untuk rumah tinggal akan berbeda dengan
pondasi bangunan yang digunakan untuk
banyak orang seperti gedung
perkantoran, ruang serbaguna, sekolah,
aula, dan masjid. Pondasi yang digunakan
pada sebuah bangunan massal akan lebih
kuat dan kokoh dibandingkan dengan
bangunan rumah tinggal. Hal tersebut
disebabkan beban bangunan yang
digunakan secara massal akan sangat
berat menekan ke bawah. Oleh karena
itu, demi keselamatan pemakainya,
perhitungan yang akurat mutlak
diperlukan manakala akan mendirikan
sebuah bangunan.
Pondasi yang terdapat pada
bangunan Masjid Agung Banten Lama
menggunakan pondasi massif atau pejal
yang tingginya kurang lebih satu meter.
Pondasi yang tinggi dan dalam pada
sebuah bangunan akan menentukan
kekuatan bangunan tersebut. Selain
memperkokoh bangunan masjid, juga
untuk menghindari banjir yang sering
menggenangi bangunan-bangunan yang
terletak di pinggir kali dan tepi pantai. Hal
tersebut disebabkan bangunan Masjid
Agung Banten Lama terletak di pinggir
laut pantai utara Pulau Jawa. Tanah di
pinggir pantai biasanya lebih lunak karena

berasal dari endapan lumpur sungai yang


terus menerus terbentuk.
Bentuk ruangan utama Masjid
Agung Banten Lama adalah empat
persegi panjang dengan ukuran 25 m X
19 m. Ruangan ini dapat dimasuki dari
arah pawastren serambi timur dan
serambi utara. Adapun lantainya dari
keramik dengan ukuran 30 cm X 30 cm.
Lantai ini sudah beberapa kali mengalami
penggantian. Pada awalnya, lantai ruang
utama Masjid Agung Banten Lama
berupa tanah yang hanya ditutupi dengan
jerami. Selanjutnya diganti dengan tegel
warna merah hati ukuran 30 cm X 30 cm
yang disebut terakota, dan pada tahun
1975 diganti lagi dengan tegel warna hijau
muda dengan bercak-bercak putih.
b. Atap Masjid
Keunikan arsitektur Masjid Agung
Banten Lama terlihat pada rancangan
atap masjid yang beratap susun lima, yang
menyerupai pagoda Cina. Arsitektur atap
Masjid Agung Banten Lama berbeda
dengan atap masjid-masjid yang ada di
Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat.
Hal tersebut karena arsitektur Masjid
Agung Banten Lama adalah pengaruh
arsitektur masjid dari Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Atap bangunan inti berbentuk
limasan dan bertingkat lima yang
mengecil ke atas. Atap yang paling
rendah didukung tiang-tiang serambi, atap
yang terdapat di tengah ditopang tiang
utama dan tiang serambi, dan atap paling
atas disangga tiang utama dan diperkuat
kuda-kuda agar tidak renggang. Di
antara ketiga atap yang kecil dengan atap
yang besar terdapat celah yang dibuat
dari kayu. Celah-celah tersebut seperti
jerali jeruli dengan empat sisi
membentuk bujur sangkar. Celah-celah

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Masjid Agung Banten Lama (Yuzar Purnama)


ini fungsinya sebagai lubang angin atau
ruang udara agar ruangan di dalamnya
lebih sejuk.
Arsitektur atap masjid yang
merupakan pengaruh dari Jawa memiliki
bentuk atap limas atau sering dikatakan
atap limasan. Fungsi atap selain sebagai
pelindung dari hujan dan panasnya sinar
matahari juga sebagai hiasan. Jumlah
atap di Masjid Agung Banten Lama ada
lima yang terdiri atas dua atap limasan
besar dan tiga atap limasan kecil.
Jumlah lima atap itu merupakan simbol
dari Rukun Islam yang terdiri atas lima
rukun yaitu: dua kalimat sahadat:
ashadualailahaillallahwaashaduannamuhammadarrasulullah (Aku bersaksi
tidak ada Tuhan selain Allah Swt. dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan-Nya), mendirikan salat,
membayarkan zakat, melaksanakan
ibadah shaum (puasa), dan melaksanakan
ibadah haji ke Baetullah (Mekkah).
Tipologi bangunan atap Masjid
Agung Banten Lama adalah tipe
maskulin. Artinya, tipologi bangunan
limasan yang keempat sisi langsung
menuju pada satu titik, seperti pada
bangunan Langgar Alit dan Langgar
Agung yang berada di dalam Kompleks
Keraton Kasepuhan. Sedangkan tipologi
feminim adalah tipologi atap yang apabila
dilihat secara keseluruhan konstruksi
bangunannya relatif lebih pendek jika
dibandingkan dengan tipe bangunan yang
maskulin seperti pada atap Masjid Sang
Ciptarasa Cirebon. Perbedaan lainnya
pada bagian atap limasan feminim setiap
sisi empat tidak mengarah pada satu titik
langsung akan tetapi melalui sebuah garis
yang melintang horisontal.
c. Menara Masjid
Menara Masjid Agung Banten
Lama dapat terlihat jelas jika kita
2011

175

memasuki masjid dari arah alun-alun.


Setelah masuk pintu gerbang pertama
atau gapura pertama akan tampak
bangunan yang besar dan tinggi, itulah
menara. Menara Masjid Agung Banten
Lama ini dibuat dengan nuansa arsitektur
Belanda dan Cina Mongol.
Menara masjid terletak di sebelah
timur masjid. Menara ini terbuat dari batu
bata dengan ketinggian kurang lebih 24
m, dengan diameter bagian bawahnya
kurang lebih 10 m. Untuk mencapai ujung
menara, pengunjung harus melewati 83
buah anak tangga yang melingkar dan
melewati lorong yang hanya dapat
dilewati oleh satu orang. Dari atas menara
ini akan tampak pemandangan di sekitar
masjid dan perairan lepas pantai, karena
jarak antara menara dengan laut hanya
sekitar 1,5 km. Pada zaman dahulu,
selain digunakan sebagai tempat
mengumandangkan adzan, bangunan ini
difungsikan sebagai menara pandang ke
lepas pantai. Selain itu, menara ini juga
digunakan oleh masyarakat Banten untuk
menyimpan senjata pada masa
pendudukan Belanda.
Letak menara masjid terpisah dari
bangunan masjid. Jarak dari serambi
timur masjid, tepatnya dari tepi pagar
kolam, kurang lebih 10 m. Bagian kaki
menara atau lapik alas adalah yang
disebut sebagai bagian tumpuan yang
berfungsi untuk menyalurkan semua
beban bangunan di atasnya ke pondasi
yang ada di bawahnya.
Alas menara berbentuk oktagon
segi delapan terdiri atas dua lapis yang
berbeda tinggi dan lebarnya. Alas pertama
tingginya 33 cm, lebar 2,4 m, dan panjang
sisi 5,92 m. Alas pertama dilapisi tegel
merah hati. Alas kedua tingginya 27 cm,
lebar 1,22 m, dan panjang sisinya 3,83 m.
Alas kedua, yang di atasnya berdiri tubuh
menara, dilapisi plesteran semen yang

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

176

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 169-186

permukaannya halus. Bagian tubuh


menara yang berbentuk oktagon ini
dimulai dari alas kedua sampai pada lantai
kedua menara yang semakin ke atas
semakin mengecil. Bagian dasar tubuh
menara merupakan pelipit (pattika
terpenggal), yakni tiga buah pelipit
menyatu dan pelipit bagian tengah
menonjol.
Bagian utara menara ada pintu
dengan ukuran tinggi 188 cm dan lebar
66 cm. Sebelum masuk pintu, ada 4 anak
tangga. Pintu ini merupakan bidang
lengkung, di tengah-tengah bidang
lengkung terdapat panil segi empat. Pada
langit-langit bidang lengkung tergantung
sebuah ornamen teratai dengan bentuk
segi delapan yang ujungnya bundar,
makin ke bawah mengecil, dan
menghadap ke bawah. Di atas bidang
lengkung pintu masih terdapat bidang
lengkung lain yang di tengahnya terdapat
panil bundar. Bagian atas panil bundar
dihias dengan sulur-suluran. Di atas panil
ini terdapat panil bujur sangkar dengan
sisi 50 cm yang berbingkai.
Di samping pintu terdapat hiasan
empat persegi panjang yang berjejer
empat-empat secara vertikal, masingmasing berjumlah 12 buah dengan ukuran
49 cm X 12 cm. Di tengah-tengahnya
terdapat bujur sangkar berukuran 19 cm
X 19 cm yang berjejer tiga-tiga, masingmasing 2 buah dengan jumlah masingmasing (kiri-kanan) 6 buah. Paling atas
ada hiasan empat persegi panjang secara
horizontal yang hampir memenuhi lebar
sisi menara. Di atasnya ada hiasan
untaian berbentuk segitiga (tumpal) yang
mengelilingi tubuh menara dengan jumlah
40 buah. Kemudian lebih atasnya lagi
ada hiasan lubang angin berbentuk salib
Portugis. Hiasan ini melingkar dari bawah
ke atas membentuk spiral. Fungsi hiasan
ini adalah sebagai ventilasi pada tangga

yang terdapat di dalam menara. Pada


bagian atasnya terdapat lagi hiasan
untaian segitiga (tumpal). Lebih ke atas
lagi dihiasi pelipit berbingkai cermin
sederhana, cermin bervariasi, dan cermin
bergerigi.
Pada bagian atasnya terdapat
pelipit (pattika terpenggal) dan pelipit
penyangga yang semakin ke atas semakin
melebar. Bagian ini menghubungkan
bagian tubuh menara dengan kepala
menara. Kepala menara ini terdiri atas
dua teras, teras pertama berbentuk
oktagon, bagian tepinya dibatasi dengan
pagar besi setinggi 1,5 m. Pagar besi ini
berfungsi selain untuk estetika
(keindahan) juga sebagai pelindung bagi
pengunjung yang sedang berada di teras
agar tidak jatuh. Tingkat pertama, pada
teras pertama terdapat kubah yang
terpenggal. Penghubung antara teras
pertama dengan bagian kepala atau kubah
ini terdapat sebuah pintu yang mirip
dengan pintu lainnya berukuran 165 cm
X 55,5 cm. Pada kubah terdapat 3 buah
lubang angin berbentuk salib Portugis.
Kemudian pada teras kedua bentuknya
bundar mengikuti kubah di atas dan di
bawahnya dan pada tepinya terdapat
pagar besi. Untuk menghubungkan teras
kedua dengan bagian kubahnya terdapat
pintu dengan ukuran 180 cm X 44 cm. Di
atas kubah teras kedua ini terdapat bidang
bundar yang di atasnya ada hiasan bunga
sedang mekar. Bentuk hiasan ini adalah
bagian kepala atau momolo (mastaka/
mustaka). Di ujung bunga tertancap besi
cukup panjang yang dipasang secara
vertikal, besi ini fungsinya sebagai
penangkal petir.
d. Momolo
Momolo adalah istilah dalam
bahasa Jawa yang merupakan sebutan
lain dari kepala/mastaka yang terdapat di

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Masjid Agung Banten Lama (Yuzar Purnama)


atap masjid. Di Masjid Agung Banten
Lama, momolo terletak di atap masjid
paling atas dan di kubah yang terdapat
pada menara masjid.
Menurut legenda, tadinya Masjid
Agung Banten Lama tidak memiliki
momolo. Momolo yang sekarang ada di
atas atap masjid berasal dari momolo
Masjid Sang Ciptarasa yang terdapat di
kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon.
Momolo yang terdapat di atas atap
Masjid Agung Banten Lama terbuat dari
tanah liat yang dibakar dan berbentuk tiga
tingkat yang dihiasi dan ditempatkan di
bagian atas atap masjid. Tingkat dasar
berupa limas dengan tanduk yang terletak
di keempat alas sisinya. Pada bagian atas
limas terdapat empat tanduk lagi yang
sama bentuknya namun ukurannya lebih
kecil. Di atas tanduk limas tingkat
pertama ada bulatan yang memanjang ke
atas semakin membesar kemudian di
ujungnya membentuk bulatan seperti
kubah. Bulatan ini merupakan tingkat
kedua dari momolo. Di tengah-tengah
kubah pada tingkat kedua momolo ini
terdapat enam buah tanduk. Kemudian
di atas kubah momolo tingkat kedua
terdapat bentuk bulatan yang memanjang
ke atas, kemudian di atasnya terdapat
bulatan. Bulatan ini merupakan tingkat
ketiga dari momolo dan merupakan
puncak momolo. Sedangkan momolo
atau mastaka yang terdapat di menara
Masjid Agung Banten Lama berbentuk
bunga yang sedang mekar bersusun dua
dan ujungnya berupa bakal bunga yang
belum mekar. Momolo ini terbuat dari
tembikar dan di cat dengan warna merah
hati.
e. Tiang (Pilar)
Tiang atau pilar dalam bahasa
Jawa disebut soko guru. Tiang ini
fungsinya sebagai penyangga benda atau
2011

177

komponen yang berada di atasnya. Fungsi


tiang atau pilar dalam sebuah bangunan
sangat vital karena komponen ini
merupakan bagian bangunan yang
menjadikan sebuah bangunan dapat
berdiri tegak dan kokoh. Tiang atau pilar
di Masjid Agung Banten Lama terbuat
dari kayu besar dan berjumlah 24 buah.
Angka 24 mempunyai makna simbolis
sebagai penunjuk waktu sehari-semalam
adalah 24 jam. Dalam kesehariannya,
manusia yang notabene adalah hamba
Allah Swt. diutus ke dunia dengan tugas
utama adalah untuk beribadah. Baik itu
ibadah mahdoh yakni ibadah yang
tatacaranya sudah diatur dalam Alquran
dan Sunah Muhammad saw. seperti salat,
puasa, ibadah haji, dan lain-lain, maupun
ibadah ghoiro mahdoh yakni ibadah yang
tatacaranya tidak ditentukan secara
lengkap dan jelas misalnya dalam
hubungan sesama manusia dalam
kehidupan sehari-hari, hubungan dengan
alam, binatang, tumbuhan dan lain-lain.
Manusia harus dapat mengatur waktu,
dalam sehari semalam 24 jam dibagi
menjadi tiga yaitu 6 jam digunakan untuk
ibadah, 6 jam untuk mencari kurnia Allah
di muka bumi yaitu mencari nafkah untuk
menghidupi dan mencukupi kebutuhan
keluarga, dan 6 jam lagi untuk beristirahat
(tidur). Jika dapat mengatur waktu
demikian maka manusia tidak akan keluar
dari fitrahnya bahwa Allah Swt.
menciptakan manusia dan jin itu tiada lain
adalah untuk beribadah kepada-Ku (Q.S.
Adzariyat : 56).
Tiang di Masjid Agung Banten
Lama berbentuk oktagon dengan jumlah
24 buah dibagi menjadi tiga yang
dibedakan ketinggiannya. Bagian pertama
adalah 4 buah tiang setinggi 11 m adalah
tiang utama yang menopang atap ketiga.
Tiang ini disebut soko guru. Bagian kedua
8 buah tiang dengan tinggi 7,30 m yang

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

178

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 169-186

digunakan untuk menopang atap kedua.


Bagian ketiga adalah tiang berjumlah 12
buah dengan tinggi 4,40 m untuk
menopang atap pertama. Tiang-tiang
tersebut dihubungkan dengan balok-balok
kayu yang mendatar dan miring
membentuk rangka atap. Sistem
sambungan yang digunakan adalah sistem
purus, yakni sistem lubang dan pengunci.
Sistem sambungan ini dalam bangunan
yang menggunakan soko guru dinamakan
sistem cathokan (Ismunandar dalam
Anton H, 1990:110).
Keempat soko guru dihubungkan
dengan balok kayu yang mendatar; balok
kayu ini berfungsi sebagai stabilisator.
Balok-balok tersebut membentuk bujur
sangkar yang disebut pangeret (blandar).
Pangeret ini terdapat pada ketinggian 10
m dan 11 m. Pangeret berfungsi sebagai
penyangga atap kedua dan ketiga. Atap
keempat dan kelima ditopang dengan
balok yang dihubungkan secara simetris
membentuk tanda tambah yang terletak
pada balok bujur sangkar. Pada titik silang
balok menyilang itu dipasang balok secara
vertikal untuk menopang atap keempat
dan kelima. Posisi balok demikian menjadi
kuat karena dipasang kayu pengunci
yang disebut ganja (geganja). Selain itu,
tiang tersebut dijepit oleh balok menyilang
ganda pada balok pangeret paling atas.
Tiang-tiang ini tidak memiliki hiasan
(ornamen) selain pada bagian bawahnya
terdapat umpak terbuat dari batu yang
pahat menyerupai labu. Hiasan labu pada
batu yang menjadi umpak kayu batu
bentuknya tidaklah sama. Hal tersebut
kemungkinan disesuaikan dengan bentuk
batunya dan tata letaknya pun secara
acak.
Buah labu ini merupakan simbol
penghargaan masyarakat Banten Lama
terhadap buah labu karena sebelum
adanya padi yang ditanam di sana

makanan pokok mereka adalah buah


labu. Ada juga yang menyebutkan bahwa
sebenarnya umpak dengan bentuk hiasan
buah labu merupakan simbol lapadz
(huruf) Allahu Akbar dalam bahasa
Arab.
f. Mihrab
Mihrab terletak di paling barat
masjid atau paling depan ruangan masjid.
Posisi mihrab berada di tengah dinding
depan dengan sisi kiri dan kanan yang
simetris. Mihrab berada di tengah dinding
barat ruang utama masjid. Fungsi mihrab
adalah tempat imam memimpin salat
berjamaah khususnya shalat wajib lima
waktu yakni salat Isya, Subuh, Dluhur,
Ashar, dan Magrib. Selain itu, mihrab juga
digunakan oleh imam ketika memimpin
shalat Idul Fitri, Idul Adla, dan shalat
Tarawih.
Denah ruangan berbentuk kapsul
terbuka, menonjol keluar dari dinding
barat, berukuran kecil hanya cukup untuk
satu orang. Atapnya melengkung,
permukaan lantainya agak tinggi untuk
membedakan dengan lantai di
belakangnya, dinding sisi utara dan
selatan tegak lurus, dinding barat
melengkung setengah lingkaran. Pada sisi
utara dan sisi selatan yang tegak lurus
ada dua pelipit, pelipit bagian atas lebih
besar dan tampak menonjol bagian
atasnya disusul dengan bidang tegak lurus
seperti semula kemudian ada beberapa
pelipit yang kecil-kecil dan pelipit
penyangga yang semakin melebar ke
atas. Pada bagian atasnya ada bidang
empat persegi panjang yang menyangga
bidang lengkung di atasnya. Langitlangitnya tidak memiliki hiasan atau motif
apa pun.
Bentuk mihrab di Masjid Agung
Banten Lama tampak sederhana tidak ada
hiasan-hiasan, begitupun lubang cahaya

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Masjid Agung Banten Lama (Yuzar Purnama)


dan lubang angin di dalamnya. Hal ini
berkaitan dengan diciptakannya suasana
khusyu dan khidmat bagi si imam ketika
memimpin salat. Imam tidak terpengaruh
oleh suara-suara yang mengganggu dari
luar begitu pun cahaya. Dengan bentuk
ruangan tanpa cahaya dari luar, makmun
atau jemaah yang sedang mengikuti salat
akan lebih khusyu mengikuti gerak gerik
imamnya. Ditambah lagi dengan bentuk
ruangan yang buntu (culdesak) sehingga
akan memantulkan suara imam ke bagian
belakang ketika ia bertakbir. Dengan
demikian barisan yang paling belakang
pun dapat mendengar suara takbir imam.
g. Mimbar
Mimbar adalah bagian dari masjid
yang biasa digunakan oleh imam untuk
melakukan taushiah (ceramah/khutbah).
Taushiah biasanya dilakukan ketika di
sebuah masjid ada kegiatan pengajian.
Biasanya seorang ustadz atau ustadzah
memberikan materi ceramah di atas
mimbar. Mimbar pun menjadi tempat
imam memberikan khotbah ketika salat
Jumat, salat Idul Fitri, salat Idul Adla, dan
ceramah tarawih.
Bentuk mimbar di Masjid Agung
Banten Lama memiliki kekhasan yakni
selain posisi yang terpisah agak jauh dari
mihrab - kurang lebih tiga meteran - juga
memiliki bentuk yang menarik yaitu besar
dan antik, tempat duduk dan berdiri yang
kecil, sempit, dan sederhana.
Tempat duduk imam terdapat di
atas dengan ketinggian kurang lebih 91
cm. Untuk menaikinya imam harus
menggunakan anak tangga berjumlah
enam buah. Di atas kursi terdapat penutup
seperti atap yang dihias, begitu pula di
samping kiri dan kanan ditutup kecuali
bagian muka untuk bertatap muka dengan
jamaah. Tinggi mimbar dari dasar sampai
ke atapnya kurang lebih 311 cm.
2011

179

Bagian dasar mimbar terbuat dari


tembok dengan bentuk empat persegi
panjang yang memiliki ketinggian kurang
lebih 91 cm dan panjang 323 cm, bagian
depannya tinggi 91 cm dan panjang 62
cm kemudian dipenggal membentuk
segitiga untuk tangga. Di bagian dasar
yang memiliki bentuk empat persegi
panjang terdapat dua buah lubang yang
bentuknya masing-masing setengah
lingkaran, kemudian di atasnya terdapat
kursi yang terbuat dari kayu dan papan.
Di samping dan atap mimbar yang terbuat
dari kayu dan papan terdapat beberapa
hiasan atau ornamen seperti cermin,
bunga matahari, daun, mahkota, naga
yang berpasangan, dan tanduk. Bagian
mimbar dicat dengan warna coklat tua
sedangkan hiasan atau ornamennya
menggunakan warna kuning keemasan,
merah hati, dan hijau. Enam buah anak
tangga ditutupi dengan karpet warna hijau
dan bagian dinding dalam mimbar dicat
warna hijau mengikuti warna karpet di
bawahnya.
h. Pintu Masjid
Pintu masuk ke Masjid Agung
Banten Lama berjumlah tiga buah. Satu
buah di sebelah utara dengan ukuran pintu
besar, dan 2 buah di sebelah timur dengan
ukuran kecil. Pintu besar yang ada di
sebelah utara mengarah ke tempat
wudhu atau hendak keluar dari masjid,
sedangkan 2 buah pintu di sebelah timur
mengarah ke serambi timur. Pintu yang
terletak di sebelah timur masjid ini adalah
tempat masuknya jemaah yang baru
selesai berwudhu karena di tepi serambi
timur atau sebelah timur serambi timur
terdapat tempat wudhu yang airnya
berasal dari kolam. Pintu yang terletak di
sebelah utara memiliki bentuk empat
persegi panjang dengan ukuran 240 cm
X 125 cm, menggunakan dua buah daun

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

180

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 169-186

pintu dari kayu yang dilengkapi dengan


kaca buram. Pintu yang terletak di
sebelah timur masjid bentuknya kecil
empat persegi panjang dan bagian
atasnya membentuk lengkungan
setengah lingkaran. Pintu ini memiliki
ukuran 195 cm X 90 cm, berdaun pintu
satu yang dilengkapi dengan kaca buram.
Pintu yang terletak di sebelah
timur Masjid Agung Banten Lama
berukuran kecil dengan lebar dapat
dikatakan seukuran badan dan pendek
sehingga untuk masuk harus merunduk
agar tidak menabrak dinding. Bentuk pintu
yang kecil dan pendek berkaitan dengan
cara orang masuk dan niatnya. Dahulu
orang yang akan memasuki masjid harus
merunduk dan berjalan ke arah depan.
Adapun tata cara untuk keluar masjid
tetap merunduk namun harus mundur. Hal
tersebut sebagai perlambang bahwa
ketika akan memasuki tempat ibadah atau
tempat suci harus menundukkan badan
sebagai penghormatan.
i. Jendela
Jendela yang terdapat di Masjid
Agung Banten Lama memiliki bentuk
besar, empat persegi panjang dengan
kusen langsung ditanam pada tembok
dinding. Jendela ini tidak memiliki daun
jendela, dicat coklat dengan kaca bening
dan dipasang tralis. Jendela ini terletak di
sebelah utara dan barat masjid, rata-rata
memiliki ukuran 180 cm X 152 cm.
Jendela di ruang utama salat ada lima
buah, tiga pada dinding barat dan dua lagi
di dinding utara. Kelimanya memiliki
bentuk seragam, yakni segi empat,
berukuran rata-rata 180 cm X 152 cm
dengan dua buah daun jendela yang
dilengkapi kaca buram.

j. Lubang Angin
Lubang angin di Masjid Agung
Banten Lama terdapat pada dinding
sebelah barat dan timur masjid. Lubang
angin yang terdapat di dinding sebelah
barat masjid berjumlah satu dan yang
terdapat di sebelah timur dua buah.
Lubang angin ini berfungsi sebagai
ventilasi atau sirkulasi angin agar di bagian
dalam tidak kekurangan udara segar.
Lubang angin yang terdapat di sebelah
barat berukuran 126 cm X 64 cm dan
yang terdapat di sebelah timur berukuran
167 cm X 53 cm. Bentuk lubang angin
adalah segi tiga yang disusun sedemikian
rupa sehingga membentuk berbagai
bidang seperti belah ketupat dan empat
persegi panjang. Pada lubang angin ini ada
hiasan berupa plesteran tembok yang
membentuk motif kertas tempel.
Di atas langit-langit atap paling atas
terdapat lubang angin. Lubang angin
tersebut terdapat pada kusen yang terbagi
dua, tiap bidang membentuk empat
persegi panjang dengan jeruji masingmasing enam buah yang menghasilkan
lubang-lubang angin sebagai ventilasi
agar udara yang ada di bawahnya tidak
pengap melainkan adem dan sejuk.
k. Bedug
Bedug merupakan kelengkapan
masjid khususnya di masjid-masjid yang
masih tradisional. Bedug dipukul jika tiba
waktunya shalat lima waktu (Subuh,
Dhuhur, Ashar, Magrib, Isya). Fungsi
(memukul) bedug yaitu untuk
memberitahukan kepada warga bahwa
waktu shalat telah tiba. Selain itu, bedug
juga digunakan pada waktu malam
takbiran yaitu untuk menyambut
datangnya hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha. Bedug ini adalah sebuah alat pukul

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Masjid Agung Banten Lama (Yuzar Purnama)


yang terbuat dari kulit sapi, kerbau, atau
kulit kambing yang dibentangkan pada
bejana bulat, di tengah-tengahnya kosong.
Bedug yang terdapat di Masjid
Agung Banten Lama terletak di serambi
timur paling selatan atau terletak di
sebelah tenggara masjid. Bedug ini
terbuat dari kayu jati dengan ukuran
panjang 156 cm dan diameter 86 cm.
Ditempatkan pada sebuah sandaran yang
terbuat dari kayu yang berbentuk segi
delapan dengan semakin ke atas semakin
kecil. Tinggi sandaran 228 cm dan pada
bagian bawah kaki ada hiasan umpak
yang berbentuk buah labu.
Di sebelah barat sandaran bedug
terdapat empat anak tangga yang
berfungsi sebagai tempat naik si pemukul
bedug karena posisi bedug yang cukup
tinggi. Tangga bedug ini berukuran tinggi
46 cm dan panjang 144,5 cm. Tangga
terbuat dari batu andesit yang setiap
permukaan dibuat kasar agar yang
berada di atasnya tidak licin. Pada bidang
pijakan terdapat lingkaran berdiameter 60
cm dan pada bagian bawah tangga ada
hiasan motif segi tiga diselingi motif ujung
daun.
l. Tembok dan Pintu Gerbang
Masjid Agung Banten Lama
dikelilingi pagar berwarna merah yang
tampak susunan bata merahnya. Pagar
bata merah masih tampak mengelilingi
lapangan masjid sebelah timur. Sementara
itu, pagar pembatas lainnya merupakan
tembok yang diplester dan dicat putih.
Pada pagar tembok masjid tersebut
terdapat empat buah pintu yang masingmasing dua buah di sebelah timur dan dua
buah lagi di sebelah barat dan selatan
masjid. Bentuk pintu atau gerbang
dimaksud seperti gapura paduraksa. Pintu
gerbang utama di sebelah timur (utara),

2011

181

berhiaskan sayap bersusun dua di bagian


puncak, dengan hiasan lengkungan serta
di bagian tengahnya berhiaskan stilisasi
Candi Laras. Di sebelah kiri dan
kanannya terdapat hiasan stilisasi Candi
Laras (candi artinya tumpukan dan laras
artinya sesuai). Tumpukan bata yang
membentuk candi bermakna tempat yang
paling tinggi atau suci untuk bersemedi.
Jika manusia ingin mencapai sesuatu
yang paling tinggi harus suci bersemedi
dan prihatin dahulu, selain itu juga harus
taat terhadap ketentuan hukum yang
berlaku.
m. Kolam
Masjid-masjid yang masih
tradisional, khususnya di pesantrenpesantren, dilengkapi dengan kolam yang
berfungsi sebagai tempat berwudhu.
Kolam itu bisa terdapat di sekitar masjid,
lingkungan pesantren, maupun di samping
masjid. Kolam yang terletak di Masjid
Agung Banten Lama berada di sebelah
timur masjid, tepatnya dari arah lapangan
menuju ke serambi timur. Kolam ini hanya
sedalam 75 cm sampai 1 m, berisi air
yang saat ini kotor sehingga tidak
digunakan untuk berwudhu.
Bentuk kolam empat persegi
panjang dengan ukuran 28,18 m X 3,8 m
dan terbagi menjadi empat bagian. Setiap
bagian dihubungkan dengan dua buah
lubang yang berukuran 20 cm X 20 cm.
Setiap lubang sebenarnya berfungsi
sebagai saluran air karena air yang
terdapat di kolam ini sebenarnya berasal
dari kanal. Kanal tersebut berada di
sebelah selatan masjid yang jauhnya
kurang lebih 30 m dari kolam. Kanal ini
mengalirkan air ke kolam Masjid Agung
Banten Lama kemudian dari kolam
dialirkan ke kanal sebelah utara.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

182

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 169-186

n. Tempat Berwudhu
Tempat berwudhu di Masjid Agung
Banten Lama tadinya berupa kolam yang
terletak di sebelah timur masjid tepatnya
di kaki serambi timur. Karena kondisi
airnya yang sudah tidak layak untuk
dijadikan sarana berwudhu, kemudian
tempat berwudhu dialihkan ke sebelah
utara masjid, tepatnya di muka pintu
masjid sebelah utara. Bangunan baru
berdiri secara permanen dengan atap
terpisah dari masjid dengan kran-kran
airnya berhadapan dan jumlahnya
banyak. Dengan demikian para
pengunjung baik yang akan melakukan
salat maupun peziarah tidak perlu
menunggu terlalu lama untuk berwudhu.
Sementara itu, untuk keperluan mandi/
BAB/BAK disediakan kamar mandi di
sebelah barat laut dekat mushola yang
masih berada di kompleks Masjid Agung
Banten Lama.
o. Sumur Kuno
Masjid Agung Banten Lama sejak
dahulu memiliki sebuah sumur yang
dikeramatkan dengan berbagai khasiat di
dalamnya. Sumur itu dinamakan sumur
kuno. Sumur kuno sejak dahulu sampai
sekarang belum pernah kering, walaupun
banyak digunakan orang terutama dengan
banyaknya
peziarah.
Keadaan
permukaan air sumur cukup dangkal
kurang lebih empat meter dari permukaan
tanah. Selain itu airnya tetap tawar
walaupun dekat laut, hanya berjarak
kurang lebih 1,5 km. Dinamakan sumur
kuno karena sumur ini sudah ada sejak
lama, diperkirakan bersamaan dengan
berdirinya Masjid Agung Banten Lama,
sekitar abad ke-16 Masehi atau empat
abad (400 tahun) yang lalu.
Sumur kuno ini memiliki kedalaman
empat meter dengan lebar 50 cm X 50
cm dan tinggi 1 m. Sebelum dipugar,

sumur ini hanya dikelilingi bebatuan di


atas permukaan tanah. Pemugaran sumur
kuno dilakukan dengan mendirikan
tembok dan setiap dindingnya
menggunakan keramik sehingga tampak
lebih asri dan indah dipandang mata. Di
sebelah baratnya ada bak air yang
tingginya hampir sama. Bak air ini
memiliki lebar 2 m X 1,5 m dengan tinggi
1 m. Bagian samping, permukaan, dan
dasar bak dikeramik. Bak air ini sebagai
tempat penampungan air dari sumur kuno.
Air dari sumur kuno disedot dengan
pompa kemudian disalurkan ke bak air
tadi. Airnya kemudian dimasukkan ke
dalam botol kemasan air minum untuk
dijajakan kepada para pengunjung,
peziarah, dan wisatawan.
Masyarakat setempat percaya
bahwa sejak dulu air dari sumur kuno
memiliki khasiat untuk mengobati
penyakit dan dapat melancarkan serta
mengabulkan keinginan seseorang yang
punya hajat. Sumur kuno dianggap
keramat oleh masyarakat setempat
karena selain usianya sudah sangat tua,
mereka juga meyakini bahwa sumur kuno
ini dulunya pernah menjadi tempat
keluarnya Sultan Ali Haji dari Mekah
selepas melaksanakan ibadah haji untuk
melihat langsung kerusuhan yang terjadi
di Banten pada saat itu.
p. Istiwa
Istiwa atau bencet adalah alat
penunjuk waktu dengan menggunakan
sinar matahari seperti untuk menentukan
waktu shalat Dhuhur dan Ashar. Istiwa
berbentuk oktagon dengan bagian atas
berbentuk seperti kubah. Pada bagian
atas kubahnya ditancapkan kawat
berbentuk lidi. Melalui bayangan dari
kawat itulah dapat diketahui kapan waktu
shalat tiba. Benda ini terletak di lapangan
rumput sebelah timur masjid.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Masjid Agung Banten Lama (Yuzar Purnama)


Istiwa tersebut jika pada setiap
sisinya ditarik maka akan membentuk
bujur sangkar dengan ukuran sisi 249 cm.
Istiwa terbuat dari tembok diplester
semen kemudian dicat putih. Pada bagian
pangkal dari permukaan tanah makin ke
atas makin melebar kemudian pada
bagian atasnya terdapat pelipit yang
semakin ke atas melebar bertambah
besar. Bidang paling bawah berukuran 97
cm dan bidang paling atas berukuran 102
cm. Pada bagian atasnya ada bidang segi
delapan, kemudian di permukaannya ada
lubang berbentuk lingkaran dengan
kedalaman 12 cm. Di tengah-tengah
lingkaran terdapat tanda tambah (+) yang
bagian permukaannya melengkung
membentuk setengah lingkaran (kubah).
Pada puncak lingkaran (kubah) terdapat
sepotong besi yang terpancang setinggi
19,8 cm. Bayangan besi itulah
menunjukkan waktu-waktu shalat.
q. Serambi dan Pawastren
Serambi biasa menghiasi bagian
rumah yang letaknya di depan atau di
samping rumah. Pada masyarakat Sunda,
serambi disebut juga bale-bale,
sedangkan pada masyarakat Jawa
disebut pendopo. Serambi di Masjid
Agung Banten Lama berada di sebelah
timur, selatan, utara, dan barat. Serambi
sebelah timur sampai sekarang masih
merupakan salah satu pintu masuk masjid
dari arah timur. Jemaah yang akan masuk
ke masjid dari arah timur yaitu lapangan
masjid dan dari arah selatan bisa masuk
serambi setelah melewati kolam. Selain
untuk tempat salat jika ruangan di dalam
masjid penuh, serambi timur juga
berfungsi sebagai tempat istirahat baik
bagi para pengunjung yang kelelahan
maupun jemaah selepas menunaikan
hajatnya. Dulunya serambi ini dipakai
istirahat para peziarah dan pada
2011

183

malamnya digunakan untuk tidur bagi


yang kemalaman. Namun sekarang
serambi ini tidak digunakan lagi untuk
tidur di malam hari karena telah
disediakan bangunan pendopo. Bangunan
ini terletak di sebelah selatan masjid.
Serambi timur dibangun pada masa
pemerintahan Sultan Maulana Yusuf,
memiliki ukuran 27,40 m X 11,20 m,
dengan lantai yang terbuat dari keramik
putih ukuran 30 cm X 30 cm. Permukaan
lantai serambi timur lebih rendah 2,5 cm
dari ruang utama masjid. Pada sisi
sebelah timur serambi dibatasi dengan
pagar dari besi cor dengan ketinggian 90
cm, sedang sisi utara dan timur dibatasi
dengan pagar tembok. Pada pagar
tembok sebelah selatan ada pintu menuju
keluar dari arah pintu gerbang sebelah
timur bagian selatan dan menuju pendopo.
Serambi di sebelah utara dan barat
tidak begitu besar. Serambi bagian barat
terdapat di luar masjid sebelah barat.
Serambi ini posisinya sejajar dengan
mihrab sehingga tidak dapat dipakai untuk
salat berjamaah. Sedangkan serambi
sebelah utara berada di pintu utama
masuk masjid sebelah utara. Serambi ini
berada tepat di sebelah tempat berwudhu.
Dari tempat wudhu menuju serambi
disediakan anak tangga yang jumlahnya
lima buah.
Serambi selatan hampir sama
dengan serambi timur yang memiliki
ruangan cukup besar. Serambi selatan
berada di samping ruang utama masjid
sebelah selatan. Ruangan ini dibatasi
dengan tembok permanen sehingga dari
ruang utama masjid tidak tampak bahwa
di sampingnya ada ruangan khusus yang
tadinya diperuntukkan bagi kaum wanita.
Ruangan ini merupakan ruang utama
masjid yang dipenggal atau dipotong untuk
dibuat ruangan lain. Saat ini ruangan
tersebut sehari-hari dijadikan gudang

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

184

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 169-186

terutama untuk menyimpan karpet dan


perlengkapan masjid lainnya. Kecuali
pada hari Jumat ruangan ini dipakai untuk
salat Jumat karena ruangan lainnya selalu
penuh.
Serambi selatan disebut juga
sebagai pawastren. Pawastren berasal
dari kata istri (perempuan). Kata istri
tersebut diberi imbuhan awal dan akhir
yaitu pa-an menjadi paisterian yang
berarti tempat perempuan. Kata
paisterian mengalami proses sandi
menjadi pawastren sampai sekarang.
Kata pawastren adalah tempat shalat
untuk kaum perempuan. Dulunya tempat
ini merupakan tempat shalat istri sultan
dan para kerabat kerajaan pada hari-hari
tertentu.
r. Tiyamah
Tiyamah adalah bangunan yang
dibuat setelah Masjid Agung Banten
Lama berdiri. Bangunan ini tidak seatap
dengan masjid tapi masih berada di areal
kompleks Masjid Agung Banten Lama.
Tiyamah merupakan bangunan yang
bertingkat dua. Bangunan ini berada di
sebelah selatan masjid setelah pawastren
dan makam. Tiyamah tadinya dibuat
sebagai ruangan untuk musyawarah;
memusyawarahkan berbagai hal yang
berkaitan dengan urusan agama dan
masjid. Sekarang tiyamah di lantai bawah
digunakan sebagai tempat penyimpanan
(museum) sekaligus memamerkan bendabenda pusaka milik Kesultanan Banten.
Benda-benda pusaka tersebut di
antaranya keris, berbagai peralatan
perang tempo dulu, dan naskah kuno.
Tiyamah lantai satu dan dua
memiliki bentuk ruangan yang sama dan
berjumlah tiga. Ruangan di sebelah timur
dan barat memiliki ukuran yang lebih kecil
dibandingkan ruangan tengah. Bangunan
tiyamah memiliki bentuk empat persegi

panjang dengan ukuran panjang 19,5 m


dan lebar 6,5 m, serta tinggi bangunan dari
bawah sampai atap (bubungan) adalah
11,5 m. Pintu utama berada di sebelah
timur langsung menuju ke ruangan
tengah, di seberangnya (barat) ada pintu
yang menuju ke ruangan makam.
s. Makam
Dahulu masyarakat Banten
menyebut pemakaman sultan yang ada
di kompleks Masjid Agung Banten Lama
yaitu sabakingking yang artinya tempat
berduka cita. Kini makam-makam sultan
ini ramai dikunjungi orang-orang yang
hendak berziarah.
Secara garis besar makam yang
terdapat di kompleks Masjid Agung
Banten Lama terbagi dua kelompok yaitu
makam yang terdapat di sebelah serambi
utara dan makam yang terdapat di
sebelah serambi selatan. Kelompok
makam yang terletak di sebelah serambi
utara di antaranya adalah makam Sultan
Maulana Hasanuddin dengan
permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa,
dan Sultan Abu Nashr Abdul Kahhar
(Sultan Haji). Sedangkan kelompok
makam yang terdapat di sebelah serambi
selatan di antaranya adalah makam
Sultan Maulana Muhammad, Sultan
Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah,
Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan
Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin,
Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin,
Ratu Salamah, Ratu Latifah, dan Ratu
Masmudah.
C. PENUTUP

Masyarakat Banten Lama yang


berada di Provinsi Banten memiliki
perbedaan yang sangat kontras dengan
masyarakat Banten lainnya, terutama
dalam adat istiadat dan bahasa.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

Arsitektur Masjid Agung Banten Lama (Yuzar Purnama)


Masyarakatnya dominan menggunakan
bahasa Jawa dalam pergaulan seharihari. Hal ini menandakan bahwa
masyarakat Banten bukanlah etnis Sunda
melainkan etnis Jawa. Dalam perjalanan
sejarah, ada pergerakan politik dari
kerajaan-kerajaan Islam di antaranya
Kerajaan Demak dan Kerajaan Cirebon
yang beretnis Jawa. Mereka
menyebarkan agama Islam di daerah
Jawa Barat yang waktu itu dikuasai oleh
Kerajaan Pajajaran yang beragama
Hindu. Kerajaan Cirebon mengirimkan
prajurit perangnya ke daerah Banten,
sementara Kerajaan Demak mengirimkan
pasukan perang ke daerah Sunda Kelapa
(Jayakarta). Dari dua daerah itulah
Kerajaan Pajajaran diserang, dikepung,
dan mengalami kekalahan pada masa
Sultan Maulana Yusuf sebagai sultan
kedua di Kesultanan Banten. Sejak saat
itu, para prajurit bersama keluarga
besarnya menetap dan tinggal di
Kesultanan Banten sampai kini, yaitu di
wilayah Banten Lama.
Pada masa Sultan Maulana
Hasanuddin yang merupakan putra dari
Sunan Gunungjati, sultan dari Kerajaan
Cirebon mulai membangun kerajaan
dengan berbagai kelengkapannya.
Termasuk mendirikan sebuah masjid
kerajaan sebagai lambang bahwa
Kesultanan Banten adalah kerajaan
Islam. Masjid yang menjadi monumen
kerajaan Islam Banten dibangun sekitar
abad ke-16. Masjid ini diberi nama Masjid
Agung Banten Lama yang dibangun oleh
seorang arsitek ternama bernama Raden
Sepat. Arsitek tersebut berasal dari
Kerajaan Majapahit. Beliau juga yang
membangun masjid Kerajaan Cirebon,
Masjid Sang Ciptarasa. Kedua masjid ini
memiliki beberapa kemiripan dalam

2011

185

arsitekturnya. Misalnya, memiliki atap


limasan, pintu gerbang menggunakan
gerbang motif Paduraksa dengan
ornamen Candi Laras, sekeliling masjid
berpagar merah dengan struktur
tumpukan bata merah yang tampak jelas,
memiliki tiang-tiang/pilar soko guru yang
berasal dari balok kayu gelondongan
tanpa sambungan, dan memiliki ruangan
serambi.
Masjid Agung Banten Lama sudah
beberapa kali mengalami perbaikan dan
tambahan bangunan. Tambahan
bangunan dilakukan oleh arsitek dari
Belanda dan Cina. Di antaranya
bangunan menara yang memberikan ciri
khas yaitu momolo (mastaka). Pada
bagian kepala dan tubuh menara terdapat
ornamen salib Portugis yang berfungsi
sebagai ventilasi. Di dalam masjid
terdapat mimbar dengan ornamen
pengaruh Cina, misalnya ada sepasang
naga yang bercat merah, ada ragam hias
tanduk, dan sebagainya. Bangunan
tambahan lainnya yang dibangun pada
masa yang berbeda yaitu tiyamah,
pendopo, mushola, kamar mandi dan toilet,
tempat berwudhu, pos informasi, kantor
Yayasan Sultan Maulana Hasanuddin,
atap makam di sebelah serambi selatan,
dan sebagainya.
Dilihat dari arsitektur keseluruhan
Masjid Agung Banten Lama, struktur dan
bentuk dapat dipertahankan. Hanya saja
beberapa bagiannya sudah diganti atau
direnovasi yaitu seperti penggantian pilar
(soko guru), genting, lantai, pagar, dan
pintu. Bentuk asli dan posisi setiap bagian
masih tetap dipertahankan seperti mihrab,
mimbar, pintu, jendela, lubang angin,
ruangan utama salat, serambi timur,
serambi barat, serambi utara, dan serambi
selatan.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

186

Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 169-186

DAFTAR PUSTAKA
Herrystiadi, Anton. 1990.
Masjid Agung Banten; sebuah
Tinjauan Arkeologi. Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia:
Jakarta.
Moh, Alimansyur et al. 1990/1991.
Arsitektur Tradisional Daerah
Sumatera Selatan. Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi
Kebudayaan
Daerah, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Purnama, Yuzar. 2009.


Arsitektur Masjid Sang Cipta
Rasa Cirebon. Direktorat Tradisi,
Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata: Jakarta.
Solichin, H.I. 2006.
Pelestarian Bangunan Kuno
Sebagai Benda Cagar Budaya
(Makalah): Cirebon.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

2011

187
Tinjauan Buku

Naskah Kuna sebagai Sumber Penelitian


Bahasa, Budaya, dan Sejarah Sunda
Judul Buku
Penulis
Penerjemah
Penerbit
Cetakan
Tebal
ISBN

:
:
:
:
:
:
:

Tiga Pesona Sunda Kuna


J. Noorduyn-A. Teeuw
Hawe Setiawan, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa
Pustaka Jaya
I, 2009
xi + 554
978-979-419-356-3

Budayawan Taufik Rahzen dalam suatu diskusi di stasiun televisi milik


pemerintah (3/4/2011), mengatakan bahwa ketidakpedulian pada khasanah tinggalan masa
lalu (sejarah) menunjukkan bahwa kita sedang menistakan kekayaan dan pengalaman batin
sendiri. Dengan kata lain bangsa ini sedang membakar ruang-ruang kesadaran
kolektifnya. Rahzen menengarai hal ini terjadi karena masih kuatnya akar-akar budaya
kelisanan dibandingkan keberaksaraan di Indonesia. Bangsa Indonesia mudah melupakan
dan mudah pula terpukau dengan hal-hal baru yang boleh jadi tidak berakar pada identitas
sosio-kultural bangsa.
Salah satu khasanah kesadaran kolektif (bewuste collectief) tersebut adalah
naskah-naskah kuna yang bertebaran di seluruh penjuru Nusantara. Kebanyakan naskahnaskah itu tersimpan di perpustakaan-perpustakaan
yang sangat terbatas orang
mengaksesnya. Sedikit bahkan sangat sedikit masyarakat terdidik yang memanfaatkan
naskah-naskah yang sudah disunting para filolog. Ketertarikan pada alam pernaskahan
Nusantara hanya menjadi milik para filolog dan sedikit kaum terpelajar di bidang ilmu
yang lain. Inilah ironisme yang pertama.
Ironisme yang kedua menyangkut penjualan naskah kuna yang dilatarbelakangi
motif ekonomi. Beberapa tahun terakhir ini ramai diberitakan penjualan naskah-naskah
Nusantara ke tangan-tangan orang yang tidak berhak. Naskah-naskah yang mengandung
kekayaan tak ternilai itu dibeli dengan harga yang relatif murah. Para pemburu dan
kolektor naskah bukan saja menerima dengan tangan terbuka, bahkan mereka secara
proaktif mencari orang-orang yang hendak menjual naskahnya.
Dua ironisme itu menunjukkan bahwa minimnya kesadaran pernaskahan bukan
saja melanda kaum terdidik, tetapi juga melibatkan masyarakat luas. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut perlu gerakan bersama dengan partisipasi pemerintah dan
seluruh elemen masyarakat.

188
Beberapa pernyataan di atas menyiratkan kecemasan terhadap kondisi yang ada.
Sebenarnya, selalu ada hal-hal yang menggembirakan berkaitan dengan meningkatnya
publikasi para ahli naskah-naskah kuna. Salah satunya adalah penerbitan buku Tiga
Pesona Sunda Kuna yang dikerjakan sarjana Belanda J.J. Noorduyn dan A. Teeuw. Pada
awalnya Noorduyn yang menulis karya ini, namun karena kondisi kesehatan yang terus
memburuk, pekerjaan ini dilanjutkan rekannya, A.A. Teeuw. J.J. Noorduyn (1926-1994)
adalah mantan direktur KITLV, sedangkan A. Teeuw adalah Profesor Emeritus bidang
Bahasa dan Sastra Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden.
Sebagaimana dikatakan penerjemahnya, buku ini merupakan pencapaian tak
ternilai di bidang filologi, bahasa, dan sastra mengenai tatanan kehidupan masyarakat
Sunda Kuna. Selama ini penjelajahan mengenai kekayaan batin masyarakat Sunda,
khususnya sejarah dan kebudayaan, masih amat terbatas. Seakan-akan masa ratusan tahun
tersebut tidak memberikan informasi apa-apa. Upaya untuk merekonstruksi sejarah dan
kebudayaan Sunda dari sumber tertulis memiliki tantangan yang lebih besar lagi manakala
sumber-sumber berupa prasasti amat terbatas jumlahnya.
Sejak zaman kolonial, sarjana asing sudah melakukan penelitian terhadap naskahnaskah Sunda kuna, antara lain K.F. Holle dan C.M. Pleyte. Para ahli dari kalangan
masyarakat Sunda mulai melakukan penelitian filologis di penghujung tahun 1950-an atau
awal 1960-an.
Buku ini membahas tiga naskah Sunda kuna yang berasal dari abad ke-16, yaitu
Para Putera Rama dan Rawana; Pendakian Sri Ajnyana dan Kisah Bujangga Manik:
Jejak Langkah Peziarah. Ketiga naskah tersebut berupa teks puisi yang ditulis dalam
bentuk sajak delapan suku kata.
Teks Para Putera Rama dan Rawana bercerita mengenai para putera Rama yang
terlibat peperangan melawan putra Rawana. Teks ini menjadi menarik karena memiliki
sifat ganda. Di satu sisi, teks ini berkesesuaian dengan cerita-cerita Rama dalam tradisi
Asia Tenggara. Akan tetapi di sisi lain, teks ini memperlihatkan karakteristik cerita rakyat
Indonesia. Dapat dikatakan bahwa teks ini semacam epik rakyat (hal. 140).
Teks Pendakian Sri Ajnyana bercerita mengenai tokoh Sri Ajnyana yang turun
dari kahyangan menuju bumi. Dikatakan bahwa kekacauan melanda dunia disebabkan
semua hukum dan aturan tidak diindahkan manusia. Selain itu, manusia telah dirasuki
Dewa Kala (dewa kehancuran). Teks ini merupakan puisi didaktis yang khas yang secara
alegoris melukiskan bahwa setiap perbuatan tercela akan menimbulkan penderitaan,
siksaan, dan hukuman di neraka. Oleh karena itu, manusia harus bertobat kembali pada
ajaran agama, bertapa dan beribadat, dan akhirnya melakukan pembebasan rohaniah (hal.
156).
Teks Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah bercerita mengenai
Pangeran Jaya Pakuan atau Bujangga Manik atau Ameng Layaran yang melakukan
perjalanan ke daerah-daerah sepanjang Pulau Jawa. Puisi ini menyiratkan renungan berupa

189
pengembaraan yang panjang dalam usaha anak manusia membebaskan dirinya dari hawa
nafsu duniawi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sang peziarah melakukan tiga hal, yaitu
terus bertahan melawan godaan, menerapkan secara tepat ajaran agama, serta menjalani
tapabrata untuk melepaskan diri dari kungkungan dunia (hal. 179).
Secara khusus naskah Bujangga Manik merupakan sumber primer bagi penulisan
sejarah Sunda akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Naskah tersebut mencerminkan
kesadaran historisitas yang tinggi. Penulis naskah mencatat lebih dari 450 nama tempat,
termasuk di dalamnya 90 nama gunung dan 90 nama sungai. Geografi Pulau Jawa
setidaknya dapat dipetakan dengan baik.
Kedua penulis bukan saja membuat transkripsi dan translasi terhadap ketiga
naskah itu, tetapi juga memberi interpretasi yang lengkap mengenai detil-detil ketiga
naskah itu. Bagi ahli bahasa, buku ini penting sebagai dasar untuk melacak aspek
kebahasaan yang berkembang pada masa itu. Bagi budayawan, buku ini berharga untuk
melihat budaya sezaman. Bagi sejarawan, buku ini merupakan sumber primer penulisan
sejarah Sunda sekurang-kurangnya awal abad ke-16. Akhirnya, buku ini bermanfaat bagi
para peminat naskah kuna, khususnya yang berkenaan dengan khasanah kesundaan pada
masa lalu (Iim Imadudin).

Anda mungkin juga menyukai