DIABETES MELITUS
Oleh, Puput Wulandari (0906511063)
Fakultas Imu Keperawatan-UI
1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2002). Prince & Wilson
(1995) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
2. Anatomi
Pangkreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung. Didalammnya
terdapat kumpulan sel yang disebut pulau-pulau langerhans yang berisi sel-sel beta yang
mengeluarkan hormone insulin, yang sangat penting pada pengaturan kadar glukosa darah.
Pangkreas mengandung kurang lebih 100.000 pulau langerhans dan tiap pulau berisi 100 sel
beta. Bagian endokrin pangkreas memproduksi, menyimpan, dan mengeluarkan hormone dari
pulau langerhans. Pulau langerhans mengandung 4 kelompok sel khusus, yaitu alfa, betha,
delta, dan sel F. Sel alfa menghasilkan glucagon, sedangkan sel beta menghasilkan insulin.
Kedua hormone ini membantu mnegaturmetabolisme. Sel delta menghasilkan somatosin
(faktor penghambat pertumbuhan hipotalamik) yang bisa mencegah sekresi glucagon dan
insulin (Baradero, 2009).
dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa dalam darah akan lebih tinggi, melebihi glukosa
yang dibutuhkan dalam proses pembentukan energi tubuh. Untuk mencegah terjadinya
perubahan kadar glukosa secara tiba-tiba, maka insulin berfungsi mengatur kadar glukosa
dalam darah. Glukosa akan diubah menjadi glikogen dan simpan dalam hati dan sel-sel otot.
Jika kadar gula menurun maka glikogen akan kembali dipecah menjadi glukosa dalam darah,
proses ini dilakukan oleh hormone glucagon. Glikogen yang disimpan dalam hati bisa
bertahan 8-10 jam. Apabila tidak digunakan dalam waktu tersebut maka glikogen akan
berubah menjadi lemak.
3. Etiologi
Diabetes dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
a. Diabetes tipe 1 (insulin dependent diabetes mellitus/iddm): diabetes yang tergantung
insulin yang ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pangkreas disebabkan oleh:
- Faktor genetik: penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi
predisposisi/ kecenderungan genetic kea rah terjadinya DM tipe 1. Ini ditemukan pada
individu yang mempunyai tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplatasi dan proses
imun lainnya.
- Faktor Immunologi: respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah
jaringan asing.
- Faktor lingkungan: virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
b. Diabetes tipe II (Non Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM) : mekanisme yang spesifik
menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada DM tipe II belum
diketahui. Faktor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Selain itu terdapat faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan
dengan kejadian DM tipe II, antara lain:
- Usia : individu mengalami peneurunan fisiologi yang secara dramatis pada usia diatas
40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pangkreas
untuk memproduksi insulin (Sujono & Sukarmin, 2008).
- Obesistas : obesitas mengakibatkan sel-sel beta pangkreas mengalami hipertropi yang
akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi pangkreas
glukosa didalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut resistensi insulin. Selian
mekanisme tersebut, terjadinya kekurangan insulin atau ketja insulin akan meningkatkan
akumulasi glukosa dalam darah (hiperglikemia).
Glukosa yang tidak dapat masuk ke sel-sel target menyebabkan sel target kekurangan
bahan bakar untuk melakukan metabolisme. Kondisi ini akan dipersepsikan sebagai sinyal
pada sistem saraf pusat. Konsekuensi dari hal tersebut ialah terjadi peningkatan produksi
glukosa dengan proses glikogenolisis (katabolisme glikogen menjadi glukosa) ataupun
glikoneogenesis (pembentukkan asam amino menjadi glukosa). Glukosa yang telah dibentuk
akan masuk ke dalam pembuluh darah dan difasilitasi oleh insulin untuk didistribusikan ke
jaringan perifer. Akan tetapi, keadaan yang terjadi adalah kurangnya reseptor pada sel target
sehingga glukosa tidak dapat masuk kedalam sel yang pada akhirnya kadar glukosa dalam
darah akan semakin tinggi (hiperglikemia).
Kadar gula darah yang tinggi /hiperglikemia, membuat konsentrasi darah lebih pekat
(viskositas
darah
meningkat).
Peningkatan
konsentrasi
zat
akan
menyebabkan
hiperosmolaritas/ kelebihan tekanan osmotic pada plasma sel. Tekanan osmotic merupakan
tekanan yang dihasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi zat cair. Peningkatan glukosa
dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk memfiltrasi dan
reabsorbsi glukosa. Reabrbsorsi glukosa di ginjal dapat meningkat hingga 225 mg/menit.
Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin (glukosuria).
Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar
air (dieresis osmotic) dan berakibat pada pengingkatan volume air (poliuria).
Akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi
ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena cairan intrasel akan
berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradient konsentrasi ke plasma yang hipertonik.
Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan merangsang pusat haus sehingga pasien
akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi
(Corwin, 2008).
Glukosuria dapat mencapai 5-10% dan osmolaritas serum lebih dari 370-380 mpsmols/dL
keadaan tidak terdapatnya keton darah (keton asidosis/KAD). Kondisi ini dapat berakibat
koma hiperglikemik hiperosmolaritas nonketonik (KHHN). (Sujono, 2008).
Kondisi yang dialami individu dengan DM sering kali diibaratkan sebagai kelaparan di
lumbung padi. Istilah ini muncul karena sel-sel tubuh pada penderita DM mengalami
kelaparan karena glukosa sulit masuk kedalam sel. Padahal disekeliling sel kaya akan
glukosa. Kondisi ini disebut starvasi seluler. Starvasi seluler berdampak pada beberapa hal,
antara lain:
a. Sel-sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang ada untuk dibongkar menjadi
glukosa dan energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas/keton.
Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot, dan rasa mudah
lelah.
b. Starvasi seluler juga menyebabkan penggunaan protein dan asam amino untuk
menghasilkan glukosa /glukoneogenesis dalam hati. Perubahan ini berdampak juga
pada penurunan sintesis protein. Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam
amino menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsure nitrogen sebagai
pemecah protein tidak dapat digunakan kembali dan diubah menjadi urea yang akan
dieksresikan melaui urin. Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus,
penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak
saat terjadi luka.
c. starvasi seluler juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolisme lemak
(lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida, dan gliserol yang akan meningkat dan
menyediakan subtract bagi tubuh untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk
melakukan aktivitas sel. Ketogenesis menyebabkan kadar asam organik (keton),
sementara keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer ph menurun.
Pernafasan
kusmall
dirangsang
untuk
mengkompensasi
keadaan
asidosis
Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan.
b.
Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl
c.
Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl
Keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah: Poliuria, Polidipsia,
Polifagia, Berat badan menurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun, Bisul/luka,
Keputihan.
7. Komplikasi
Kelainan metabolisme yang dialami oleh penderita DM dapat menyebabkan banyak
komplikasi, pada dasarnya komplikasi yang dirasakan terbagi menjadi dua yaitu komplikasi
akut dan kronik.
a) Akut
1)
b. Kronik
Diabetes mellitus jangka panjang member dampak yang parah ke sistem
kardiobaskular, terjadi kerusakan di mikro dan makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular
terjadi akibat penebalan membrane basal pembuluh-pembuluh darah kecil. Penyebab
penebalan tersebut berkaitan langsung dengan kadar glukosa darah. Penebalan mikrovaskular
tersebut menyebabkan iskemia dan penurunan penyaluran oksigen dan zat gizi ke jaringan.
Selain itu, Hb terglikosilasi memiliki afinitas terhadap oksigen yang lebih tinggi sehingga
oksigen terikat lebih erat pada molekul Hb. Hal ini menyebabkan ketersediaan oksigen untuk
jaringan berkurang.
Hipoksia kronis juga dapat menyebabkan hipertensi karena jantung dipaksa
meningkatkan curah jantung sebagai usaha untuk menyalurkan lebih banyak oksigen ke
jaringan. Ginjal, retinam dan sistem saraf perifer, termasuk neuron sensorik dan motorik
somatik sangat dipengaruhi oleh gangguan mikrovaskular diabetik. Sirkulasi mikrovaskular
yang buruk juga akan mengganggu reaksi imun dan inflamasi karena kedua hal ini
bergantung pada perfusi jaringan yang baik untuk menyalurkan sel-sel imun dan mediator
inflamasi (Chang, 2006).
Komplikasi yang lebih serius dari mekanisme tersebut antara lain:
1. Kerusakan Ginjal (nefropati): neuropati diabetic kerusakan ginjal terjadi akibat kerusakan
pada kapiler glomerolus akibat hipertensi dan glukosa plasma yang tinggi. Hal tersebut
menyebabkan penebalan membrane basal dan pelebaran glomerolus. Lesi-lesi sklerotik
nodular, yang disebut nodul Kimmelstiel-Wilson, terbentuk di glomerolus sehingga semakin
menghambat aliran darah dan akibatnya merusak nefron. Kerusakan ini bila tidak ditangani
dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Kerusakan sistem saraf (neuropati): kerusakan sel-sel saraf disebabkan karena hipoksia
kronis sel-sel saraf serta efek dari hiperglikemia. Pada jaringan saraf terjadi penimbunan
sorbitoldan fruktosa serta penurunan mioinositol yang menimbulkan neuropati selanjutnya
timbul nyeri, paratesia, berkurangnya sensasi getar dan propoioseptik, dan gangguan motorik
yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot-otot dan atrofi.
Terserangnya sistem saraf otonom disertai diare nocturnal, keterlambatan pengosongan
lambung, hipotensi dan impotensi (Corwin, 2008).
3. Gangguan penglihatan (retinopati): kondisi ini disebabkan kondisi mikrosirkuler sehingga
terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini bahkan bisa menjadi salah satu
penyebab kebutaan. Retinopati sebenarnya merupakan kerusakan yang unik pada diabetes
karena selain gangguan mikrovaskuler, penyakit ini juga disebabkan adanya biokomia darah
sehingga terjadi penumpukan zat-zat tertentu pada jaringan retina. Gangguan awal masalah
ini terkadang tidak menimbulkan keluhan sehingga penderita tidak menyadari bahwa telah
terkena retinopati. Hal ini dapat dideteksi dengan ophtalmoskop.
Komplikasi makrovaskular terjad akibat aterosklerosis. Komplikasi makrovaskular
ikut berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, pada diabetes kerusakan pada lapisan
endotel arteri dan dapat disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa darah,
metabolitglukosa, atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada
pasien diabetes. Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga
molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri. Selain itu kerusakan endotel akan
menimbulkan reaksi imun dan inflamasi sehingga akibatnya terjadi pengendapat trombosit,
makrofag, dan jaringan fibrosis. Efek vascular dari diabetes kronis adalah penyakit arteri
koroner, stroke, dan penyakit vascular perifer.
8. Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinik khas yang mengarahkan pada DM antara lain, adanya keluhan-keluhan
seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak diketahui
penyebabnya. Keluhan lain dapat berupa lemah, kesemutan, gatal, penglihatan kabur,
disfungsi ereksi pada laki-laki dan pruritus vulvae pada wanita.
Penunjang (Laboratorium/Diagnostik)
Pemeriksaan glukosa darah untuk menyatakan seseorang dengan DM atau normal
adalah sebagai berikut:
a. Glukosa Plasma Vena Sewaktu: Penderita DM sering datang dengan gejala klasik
DM. Sewaktu diartikan sebagai kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan.
Dengan sudah adanya gejala klasik DM, pemeriksaan glukosa darah sewaktu sudah
dapat menegakkan diagnosis DM. Apabila kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
(plasma vena) maka penderita tersebut sudah dapat disebut diabetes melitus. Dengan
kata lain kadar glukosa plasma 200 mg/dl sudah memenuhi kriteria diabetes melitus.
Pada mereka ini tidak diperlukan lagi pemeriksaan tes toleransi glukosa.
b. Glukosa Plasma Vena Puasa: Glukosa plasma dalam keadaan puasa dibagi atas tiga
nilai, yaitu: 1) < 110 mg/dl; 2) antara 110 mg/dl - < 126 mg/dl; dan 3) >126 mg/dl.
Kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, 126 mg/dl adalah
diabetes melitus, sedangkan antara 110-126 mg/dl disebut glukosa darah puasa
terganggu (GDPT). Dengan demikian pada mereka dengan kadar glukosa plasma vena
setelah berpuasa sedikitnya 8 jam 126 mg/dl sudah cukup untuk membuat diagnosis
diabetes melitus. Bahkan untuk penelitian epidemiologis di lapangan dianjurkan untuk
menggunakan pemeriksaan kadar glukosa plasma puasa bukan tes toleransi glukosa
oral.
c. Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP): Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM.
Pasien makan makanan yang mengandung 100gr karbohidrat sebelum puasa dan
menghentikan merokok serta berolahraga. Glukosa 2 jam Post Prandial menunjukan
DM bila kadar glukosa darah 200 mg/dl, sedangkan nilai normalnya 140. Toleransi
Glukosa Terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200 mg/dl.1,9
d. Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO): Apabila pada
pemeriksaan glukosa darah sewaktu kadar glukosa plasma tidak normal, yaitu antara
140-200 mg/dl, maka pada mereka ini harus dilakukan pemeriksaan tes toleransi
glukosa oral untuk meyakinkan apakah diabetes mellitus atau bukan. Sesuai dengan
kesepakatan WHO tahun 2006 maka tes toleransi glukosa oral harus dilakukan dengan
memberikan 75 gram glukosa (rata-rata pada orang dewasa) atau 1,75 gr per kilogram
berat badan pada anak-anak. Serbuk glukosa ini dilarutkan dalam 250-300 ml air
kemudian dihabiskan dalam waktu 5 menit. TTGO dilakukan setelah pasien berpuasa
minimal 8 jam. Penilaian adalah sebagai berikut; 1) Toleransi glukosa normal apabila
140 mg/dl; 2) Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl
tetapi < 200 mg/dl; dan 3) Toleransi glukosa 200 mg/dl disebut diabetes melitus.
Terdapat tiga cara pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk memastikan DM
(PERKENI, 2006).
Tabel 1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokam Penyaringan diagnosa DM.
Plasma vena
< 100
Belum pasti
DM
100-199
Darah Kapiler
<90
90-199
200
Plasma vena
<100
100-125
126
Darah Kapiler
<90
90-99
110
Bukan DM
Kadar glukosa
darah sewaktu
(mg/dL)
Kadar glukosa
darah
puasa
(mg/dL)
Pemeriksaan lainnya:
DM
200
o Hb Glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang mencerminkan
kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir.
o Gas Darah Arteri : PH rendah dan penurunan HCO3 (Asidosis Metabolik dengan
kompensasi Alkalosis Respiratorik).
o Trombosit Darah : Ht mungkin meningkat (Dehidrasi ; leukositosis, hemokonsentrasi,
merupakan respon terhadap stress/infeksi.
o Ureum/Kreatinin : mungkin meningkat atau normal (Dehidrasi/penurunan fungsi
ginjal).
o Insulin Darah : mungkin menurun/bahkan sampai tidak ada (Pada tipe I) atau normal
sampai tinggi (Pada tipe II) yang mengindikasikan insufisiensi insulin/gangguan
dalam pengguanaannya (Endogen/Eksonogen).
o Urine : gula dan aseton positif ; berat jenis dan osmolalitas mungkin meningkat.
o Kultur dan Sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi
pernafasan dan infeksi pada luka.
8. Penatalaksanaan
1. Terapi: perencanaan diet/konsultasikan dengan ahli gizi, olahraga, pendidikan
kesehatan, pengontrolan kadar gula darah dengan pemantauan glukosa darah dan
pemberian insulin.
2. Terapi insulin
Pada DM tipe I tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin. Pada DM
tipe ini, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk
mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemik berhasil
mengntrolnya. Terdapat 3 jenis terapi insulin berdasarkan cara kerjanya, yaitu:
Jenis Insulin
1. Short-acting
Insulin (R)
3. Long-Acting
Mekanisme kerja
- Insulin reguler awitan kerja human insulin reguler adalah hingga 1 jam
- Puncaknya 2 hingga 3 jam, durasi kerjanya 4 hingga 6 jam.
- Nama lain untuk insulin reguler adalah Crystalline zinc insulin (CZI). Insulin
reguler terlihat jernih dan biasanya diberikan 20-30 menit sebelum makan.
Insulin reguler dapat diberikan secara tunggal atau dikombinasikan dengan
insulin yang kerjanya lebih lama.
- NPH insulin (neutral protamine Hagedorn) dan Lante insulin (L).
Insulin (UL)
puncak kerja karena preparat ini cenderung memiliki kerja yang panjang,
perlahan dan bertahan.
- Awitan kerja long-acting insulin adalah 6-8 jam , puncaknya 12-16jam, durasinya
20-30 jam.
Aktivitas/ istirahat
Takikardia
2)
dan
pada
keadaan
istirahat
atau
dengan
aktivitas,
3)
cekung.
Integritas ego: Stress, masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi. ansietas,
peka rangasang.
4) Eliminasi: Peubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri atau terbakar,
kesulitan berkemih (infeksi) diare. Urine encer, pucat, kuning, poliuri (dapat
berkembang menjadi oliguri/anuri jika terjadi hipokalemia berat), urine berkabut, bau
busuk (infeksi), bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare).
5) Makanan/cairan: Hilang nafsu makan, mual, muntah, tidak mengikitu diet
peningkatan masukan glukosa/karbohidrat. Penurunan berat badan, haus. Kulit
kering/bersisik, turgor kulit jelek, distensi abdomen, muntah, bau holitosis,/manis, bau
buah (nafas aseton).
6) Neurosensori: Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot,
parastesia, gangguan penglihatan. Disorientasi, mengantuk, letargi, strupor/koma,
7)
8)
10) Seksualitas
wanita.
B. . Analisa Data dan Masalah Keperawatan
Data
DS: Klien mengatakan haus dan lemah
Masalah Keperawatan
Kekurangan volume cairan
DO:
Nyeri akut
DO:
Rencana Intervensi
Rencana Asuhan Keperawatan
NO
Nama Klien
Ruang : .
NPM
No. M.R :
Diagnosa Keperawatan
Kekurangan volume cairan
berhubungan dengan:
diuresis osmotic (dari
hiperglikemia)
Kehilangan gastric
berlebihan
Diare, muntah
Masukan dibatasi
mual, kacau mental.
Tujuan
Setelah intervensi selama
x/24 jam klien
menunjukkan:
Hidrasi adekuat Tanda vital
stabil, nadi perifer dapat
diraba, turgor kulit dan
pengisian kapiler baik,
haluaran uring tepat secara
individu, kadar elektrolit
dalam batas normal
Intervensi
Kaji adanya muntah dan poliuri
Rasional
Membantu dalam memperkirakan
kekurangan volume total.
Ditandai dengan :
DS: Klien mengatakan
haus dan lemah
DO:
: 0906511063
Tiba-tiba
Kulit/membran
mukosa kering
Turgor kulit buruk
Hipotensi
Takikardi
Pelambatan
pengisian kapiler
catat BJ urine
2.
Defisiensi insulin
(penurunan pengambilan
dan penggunaan glukosa
oleh jaringan yang
berakibat pada
peningkatan metabolisme
protein dan lemak)
penurunan pemasukan oral
perubahan kesadaran
Status hipermetabolik
pelepasan hormon-hormon
(epineprin, kortisol,
hormon pertumbuhan)
proses infeksi.
Ditandai dengan:
DS : Klien mengatakan
Tidak nafsu makan
Klien mengatakan
Lemah dan lelah
DO: Kelemahan,
kelelahan
Penurunan BB
Tonus otot buruk
Diare
BB stabil/ bertambah
kearah BB normal
Tonus otot baik
kuman.
NO
1
Diagnosa Keperawatan
Gangguan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan:
Tujuan
Setelah intervensi selama
x/24 jam klien
menunjukkan:
Defisiensi insulin
Klien makan sesuai
dengan kebutuhan kalori
(penurunan pengambilan
dan gizinya
dan penggunaan glukosa
Klien menunjukkan
oleh jaringan yang
tingkat energi yang
berakibat pada
biasanya sebelum sakit
peningkatan metabolisme
BB stabil/ bertambah
protein dan lemak)
kearah BB normal
penurunan pemasukan oral
Intervensi
Timbang BB setiap hari atau sesuai
indikasi
Rasional
Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.
DS : Klien mengatakan
Tidak nafsu makan
Klien mengatakan
Lemah dan lelah
DO: Kelemahan,
kelelahan
Penurunan BB
Diare
Kolaborasi:
Masukkan selang rektal jika
diperlukan
4.
Defisit
pengetahuan
terkait
penyakit
Resiko tinggi
infeksi (perluasan
infeksi)
Gangguan
citra tubuh
Nyeri akut
post
pembedahan
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E. (2008). Handbook of pathophysiology, 3rd ed. Lippincot Wilkins&Williams: USA.
Doenges, M., et al. (2002). Rencana asuhan keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth.
Alih Bahasa : Agung Waluyo (et al). Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC
Sudoyo, dkk. (2009). Buku ajar: ilmu penyakit dalam, edisi 5, jilid 3. Interna Publishing:
Jakarta.