Anda di halaman 1dari 24

SATUAN ACARA PENGAJARAN

A. IDENTITAS
1. Topik

: KMB I (Sistem Persyarafan)

2. Sub topik

: Pemeriksaan Fisik Pada Sistem Syaraf

3. Tempat

: Ruang Kelas Kampus Stikes Yarsi Mataram

4. Waktu

: 100 menit

5. Sasaran

: Mahasiswa Stikes Yarsi Prodi keperawatan jenjang S.1

B. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Umum
Setelah dilakukan pengajaran tentang pemeriksaan fisik pada sistem syaraf di harapkan
mahasiswa dapat memahami pemeriksaan fisik pada sistem syaraf.
2. Khusus
Setelah dilakukan pengajaran tentang tentang pemeriksaan fisik pada sistem syaraf di
harapkan mahasiswa memahami tentang :
a. Status mental (GCS, memori, kognitif)
b. Pemeriksaan Nervus Cranial
c. Pemeriksaan Fungsi Sensorik
d. Pemeriksaan Fungsi Motorik
e. Pemeriksaan Refleks
C. MATERI
Terlampir
D. STRATEGI PELAKSANAAN
No
1

Waktu
Kegiatan
Respon
5 menit Pre interaksi
a. Memberi salam
Menjawab salam
Mengerti maksud dan tujuan
b. Menjelaskan maksud dan tujuan
pembelajaran pemeriksaan fisik pada
sistem syaraf
c. Mengingatkan kontrak waktu (100 Mengingat kontrak yang sudah
disepakati (100 menit)
menit)
65 menit Interaksi
a. Menjelaskan pemeriksaan fisik padaMahasiswa mengerti pemeriksaan fisik
sistem syaraf, meliputi:
pada sistem syaraf, meliputi:
- Status mental (GCS, memori, - Status mental (GCS, memori,
kognitif)
kognitif)
- Pemeriksaan Nervus Cranial
- Pemeriksaan Nervus Cranial
- Pemeriksaan Fungsi Sensorik
- Pemeriksaan Fungsi Sensorik
- Pemeriksaan Fungsi Motorik
- Pemeriksaan Fungsi Motorik
- Pemeriksaan Refleks
- Pemeriksaan Refleks

TTD

30 menit Terminasi dan Evaluasi :


a. Menanyakan pemeriksaan fisik pada Mahasiswa mampu menjelaskan
pemeriksaan fisik pada sistem syaraf
sistem syaraf
Menjawab salam
b. Salam penutup

E. EVALUASI
1. Prosedur

: Test akhir pertemuan

2. Jenis soal

: Lisan

PEMERIKSAAN FISIK PADA SISTEM SYARAF

Pengkajian merupakan salah satu urutan/bagian dari proses keperawatan yang sangat
menentukan keberhasilan asuhan keperawatan yang diberikan. Tanpa pengkajian yang baik, maka
rentetan proses selanjutnya tidak akan akurat, demikian pula pada pasien dengan gangguan
persarafan. Gangguan persarafan dapat berentang dari sederhana sampai yang kompleks.
Beberapa gangguan persarafan menyebabkan gangguan/hambatan pada aktifitas hidup sehari-hari
bahkan berbahaya. Komponen utama pengkajian persarafan adalah :
1. Riwayat kesehatan klien secara komprehensif
2. Pemeriksaan fisik yang berhubungan dengan status persarafan
3. Diagnostik test yang berhubungan dengan persarafan baik bersifat spesifik maupun bersifat
umum.

A. RIWAYAT KESEHATAN
Tujuan diperolehnya riwayat kesehatan klien adalah menentukan status kesehatan saat
ini dan masa lalu dan memperoleh gambaran kapan mulainya penyakit yang diderita saat ini.
Riwayat kesehatan ini meliputi : data biografi, keluhan utama dan riwayat penyakit saat ini,
riwayat kesehatan masa lalu, riwayat keluarga, riwayat psikososial dan pemeriksaan sistem
tubuh.
1. Data Biografi : Termasuk diantaranya adalah identitas klien, sumber informasi (klien sendiri
atau orang terdekat/significant other).
2. Keluhan utama : Perawat memperoleh gambaran secara detail pada kondisi yang utama
dialami klien. Memperoleh informasi tentang perkembangan, tanda-tanda dan gejala-gejala :
onset (mulainya), faktor pencetus dan lamanya. Perlu menentukan kapan mulainya gejala
tersebut serta perkembangannya.
3. Riwayat kesehatan masa lalu : Mencakup penyakit yang pernah dialami sebelumnya,
penyakit infeksi yang dialami pada masa kanak-kanak, pengobatan, periode perinatal,
tumbuh kembang, riwayat keluarga, riwayat psikososial dan pola hidup. Penyakit saraf sering
mempengaruhi kemampuan fungsi-fungsi tubuh. Perawat perlu menanyakan perubahan
tingkat kesadaran, nyeri kepala, kejang-kejang, pusing, vertigo, gerakan dan postur tubuh.
4. Masalah kesehatan utama dan hospitalisasi : Berbagai penyakit yang berhubungan dengan
perubahan akibat gangguan persarafan misalnya diabetes mellitus, anemia pernisiosa,
kanker, berbagai penyakit infeksi dan hipertensi. Penyakit hati dan ginjal yang menahun

akan mengakibatkan gangguan metabolisme misalnya gangguan keseimbangan cairan


elektrolit dan asam basa akan mempengaruhi fungsi mental. Perawat juga akan memperoleh
informasi mengapa klien dirawat di rumah sakit, kecelakaan atau pembedahan sehubungan
dengan sistem persarafan seperti trauma kepala, kejang, stroke atau luka akibat kecelakaan.
5. Pengobatan : Perawat akan memperoleh informasi sehubungan dengan obat-obatan yang
diperoleh klien. Banyak obat-obat anti alergi dan pilek yang bisa dikomsumsi dapat
mengakibatkan klien mengantuk. Perawat harus mengkaji obat yang digunakan, jenis obat,
efek terapinya, efek samping yang ditimbulkan dan lamanya digunakan.
6. Riwayat keluarga : Perawat akan menanyakan pada keluarga sehubungan dengan
gangguan persarafan guna menentukan faktor-faktor resiko / genetik yang ada. Misalnya
epilepsi, hipertensi, stroke, retardasi mental dan gangguan psikiatri.
7. Riwayat psikososial dan pola hidup : Perawat mengajukan pertanyaan sehubungan faktor
psikososial klien seperti yang berhubungan dengan latar belakang pendidikan, tingkat
penampilan dan perubahan kepribadian. Perawat memperoleh informasi tentang aktifitas
klien sehari-hari. Juga menanyakan adanya perubahan pola tidur, aktifitas olahraga, hobi
dan rekreasi, pekerjaan, stressor yang dialami dan perhatian terhadap kebutuhan seksual.

B. PENGKAJIAN NEUROLOGIK BERDASARKAN 11 POLA FUNGSI :


1. HEALTH PERCEPTION HEALTH MANAGEMENT
a. Apakah klien pernah mengalami ganguan neurologik, terjatuh/trauma, atau
pembedahan; termasuk kejang, stroke, trauma kepala, trauma spinal; infeksi, tumor,
meningitis atau enchepalitis.
b. Apakah klien pernah mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan
kemampuan pergerakan bagian-bagian tubuhnya. Uraikan.
c. Apakah klien dapat berpikir dengan jelas. Uraikan.
d. Apakah klien memiliki masalah yang berhubungan dengan penglihatan, pendengaran,
pengecapan, atau pembauan. Jika klien menjawab ya dari pertanyaan ini, bagaimana
klien melakukan/mengatasi permasalahan tersebut.
e. Apakah klien pernah melakukan tes diagnostik terkait dengan masalah neurologik,
kapan dan untuk apa?
f. Apakah klien menjalani pengobatan kejang, sakit kepala, atau gangguan neurologik
lainnya, jenis apa dan dosisnya.
g. Apakah klien menggunakan tembakau atau minum alkohol, jenisnya apa, seberapa
banyak, sudah berapa lama?
2. NUTRITIONAL METABOLIC
a. Tanyakan tentang kebiasaan makan klien selama 24 jam.

b. Apakah klien makan makanan dari semua golongan makanan atau tidak
c. Adakah makanan pantang bagi klien
d. Apakah klien memiliki kesukaran mengunyah atau menelan.
3. ELIMINATION
a. Apakah klien mengalami perubahan pada kebiasaan B A K atau B A B
b. Apakah klien menggunakan laksatif, suppositoria, bantuan enema, jenis apa dan
seberapa sering.
c. Apakah klien mampu berjalan ke kamar mandi dengan bantuan atau tanpa dibantu.
Uraikan kebiasaan rutin klien

4. ACTIVITY EXERCISE.
a. Jelaskan jenis aktifitas kliens selama 24 jam
b. Apakah klien memiliki kesulitan terhadap keseimbangan, koordinasi atau berjalan.
c. Apakah klien menggunakan alat bantu jalan.
d. Apakah klien menaglami kelemahan pada lengan atau kaki
e. Apakah klien mampu menggerakkan seluruh bagian tubuhnya Jika klien kejang, apakah
klien mampu mengidentifikasi faktor pencetusnya. Bagaimana perasaannya setelah
kejang
f. Apakah klien memiliki pengalaman tremor/gemetar. Dimana bagian mana?

5. SLEEP-REST
a. Apakah masalah kesehatan ini memiliki pengaruh terhadap kemampuan tidur dan
isitrahat. Jika demikian, bagaimana?
b. Apakah klien pernah memilki nyeri yang timbul pada malam hari, Jelaskan.
c. Uraikan tentang tingkat energi. Apakah tidur dan istirahat menyimpan kekuatan dan
energi.
6. COGNITIVE-PERCEPTUAL
a. Uraikan tentang pengalaman sakit kepala klien termasuk frekuensi, jenis, lokasi dan
faktor pencetusnya.
b. Pernahkah klien merasakan pingsan atau pusing.
c. Pernahkah klien merasakan berada di ruangan pemintalan.
d. Apakah klien pernah mengalami perasaan kebas, terbakar atau perasaan geli. Dimana
areanya dan kapan.

e. Apakah klien pernah mengalami masalah visual seperti penglihatan ganda, penglihatan
seperti dibatasi embun.
f. Apakah klien pernah mengalami masalah pendegaran
g. Apakah klien mengalami perubahan pada pengecapan dan pembauan
h. Apakah klien mneglami kesulitan mengingat.
7. SELF PERCEPTION-SELF CONCEPT
a. Bagaimana masalah neurologik mempengaruhi perasaanmu tentang dirimu
b. Bagaimana masalah neurologik mempengaruhi perasaanmu tentang hidupmu
c. Bagaimana perasaannmu tentang kelemahan yang mungkin disebabkan dari masalah
neurologik.
8. ROLE-RELATIONSHIP
a. Adakah riwayat masalah neurologik keluarga seperti alzheimer disease, tumor otak,
epilepsi
b. Apakah klien sulit mengekspresikan dirinya.
c. Apakah masalah neurologik berpengaruh terhadap perannya dalam keluarganya.
Bagaimana.
d. Apakah masalah neurologik berpengaruh terhadap interaksi dengan anggota keluarga
yang lain, dengan teman-temannya, pekerjaannya, dan aktifitas sosialnya.
e. Apakah maslah neurologik berpengaruh terhadap kemampuan kerjanya.

9. SEXUALITY-REPRODUCTIVE
a. Apakah aktifitas sexual klien mengalami gangguan oleh adanya masalah neurologik
b. Apakah klien pernah menerima informasi tentang cara lain dalam mengekspresikan
aktifitas sexual jika klien mengalami gangguan neurologik.
c. Uraikan bagaimana masalah neurologik membuat klien merasakan dirinya lakilaki atau
wanita.
10. COPING-STRESS
a. Uraikan apa yang klien lakukan untuk mengatasi stress.
b. Bagaimana gangguan neurologik mempengaruhi cara klien mengatasi stress.
c. Apakah dengan stres yang meningkat semakin memperburuk masalah neurologik.
d. Siapa dan apa yang dapat membantu klien dalam mengatasi stres dengan masalah
neurologik.
11. VALUE-BELIEF

a. Siapa orang terdekat, praktisian, atau aktifitas apa yang dapat membantu mengatasi
stres dengan gangguan neurologik.
b. Apa yang dapat klien lihat yang dapat menjadi sumber kekuatan terbesar saat ini.
c. Apa yang klien rasakan/percayai untuk waktu mendatang dengan gangguan neurologik
ini.

C. PHYSICAL ASSESMENT:
1. Abbreviated Neurological Assesment.
2. Asses LOC (auditory and/tactile stimulus)
3. Obtain vital sign (BP, P, R)
4. Check pupillary response to light
5. Asses strength of hand grip and movement of extremities
6. Determine ability to sense touch/pain in ekstremities.

D. PENGKAJIAN FISIK
Pemeriksan fisik sehubungan dengan sistem persarafan untuk mendeteksi gangguan fungsi
persarafan. Dengan cara inspeksi, palpasi dan perkusi menggunakan refleks hammer. Pemeriksaan
pada sistem persarafan secara menyeluruh meliputi: status mental, komunikasi dan bahasa,
pengkajian saraf kranial, respon motorik, respon sensorik dan tanda-tanda vital.

Secara umum dalam pemeriksaan fisik klien gangguan sistem persarafan, dilakukan
pemeriksaan :
1. Status mental :
Masalah persarafan sering berpengaruh pada status mental, kadang-kadang perawat mengalami
kesulitan memperoleh riwayat kesehatan yang akurat langsung dari klien. Status mental,
termasuk kemampuan berkomunikasi dan berbahasa serta tingkat kesadaran dilakukan dengan
pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS).
a. Orientasi : Tanyakan tentang tahun, musim, tanggal, hari dan bulan. Tanyakan kita ada
dimana seperti: nama rumah sakit yang ia tempati, negara, kota, asal daerah, dan alamat
rumah. Berikan point 1 untuk masing-masing jawaban yang benar.
b. Registration (memori) : Perlihatkan 3 benda yang berbeda dan sebutkan nama benda-benda
tersebut masing-masing dalam waktu 1 detik. Kemudian suruh orang coba untuk mengulang

nama-nama benda yang sudah diperlihatkan. Berikan point 1 untuk masing-masing jawaban
benar.
c. Perhatian dan perhitungan: Tanyakan angka mulai angka 100 dengan menghitung mundur.
Contoh angka 100 selalu dikurangi 7. berhenti setelah langkah ke 5. Untuk orang coba yang
tidak bisa menghitung dapat menggunakan kata yang dieja. Contoh kata JANDA, huruf ke 5,
ke 4, ke 3 dst. berikan skor 1 unuk masing-masing jawaban benar.
d. Daya ingat (recall) : Sebutkan tiga benda kemudian suruh Orang coba mengulangi nama
benda tersebut. Nilai 1 untuk masing-masing jawaban benar.
2. Komunikasi dan Bahasa :
a. Memberikan nama: Tunjukkan benda (pensil dan jam tangan) pada Orang coba, dan
tanyakan nama benda tersebut (2 point).
b. Pengulangan kata: Ucapkan sebuah kalimat kemudian Suruh Orang coba mengulang
kalimat tersebut. Contoh saya akan pergi nonton di bioskop (skor 1).
c. Tiga perintah berurutan: Berikan Orang coba selembar kertas yang berisi 3 perintah yang
berurutan dan ikuti perintah tersebut seperti contoh. Ambil pensil itu dengan tangan
kananmu, lalu pindahkan ke tangan kirimu kemudian letakkan kembali dimeja. (skor tiga).
d. Membaca: Sediakan kertas yang berisi kalimat perintah contoh. (tutup matamu). Suruh
Orang coba membaca dan melakukan perintah tersebut (skor 1).
e. Menulis: Suruh Orang coba menulis sebuah kalimat pada kertas kosong (skor 1)
f. Mengkopi (menyalin): Gambarlah suatu objek kemudian suruh orang coba meniru gambar
tersebut (nilai 1).
Skor maksimun pada test ini adalah 30, sedangkan rata-rata normal dengan nilai 27.
g. Gangguan berbahasa (afasia) :

Afasia motorik, karena lesi di area Broca, klien tidak mampu menyatakan pikiran dengan
kata-kata, namun mengerti bahasa verbal dan visual serta dapat melaksanakan sesuatu
sesuai perintah.

Afasia sensorik / perseptif, karena lesi pada area Wernicke, ditandai dengan hilangnya
kemampuan untuk mengerti bahasa verbal dan visual tapi memiliki kemampuan secara
aktif mengucapkan kata-kata dan menuliskannya. Apa yang diucapkan dan ditulis tidal
mempunyai arti apa-apa.

Disatria, gangguan pengucapan kata-kata secara jelas dan tegas karena lesi pada upper
motor neuron (UMN) lateral bersifat ringan dan lesi UMN bilateral bersifat berat.

3. Tingkat kesadaran :
a. Alert : Composmentis / kesadaran penuh : Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus
minimal, tanpa stimuli individu terjaga dan sadar terhadap diri dan lingkungan.

b. Lethargic : Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti enggan bicara. Dengan
sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal, mungkin klien dapat berespon dengan cepat.
Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung.
c. Obtuned: Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan respon
misalnya rangsangan sakit, respon verbal dan kalimat membingungkan.
d. Stuporus: Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal. Pergerakan
tidak berarti berhubungan dengan stimulus.
e. Koma: Tidak dapat memberikan respon walaupun dengan stimulus maksimal, tanda vital
mungkin tidak stabil.
4. Glasgow Coma Scale (GCS) :
Didasarkan pada respon dari membuka mata (eye open = E), respon motorik (motorik response
= M), dan respon verbal (verbal response = V). Dimana masing-masing mempunyai scoring
tertentu mulai dari yang paling baik (normal) sampai yang paling jelek. Jumlah total scoring
paling jelek adalah 3 (tiga) sedangkan paling baik (normal) adalah 15. Score : 3 4 : vegetatif,
hanya organ otonom yang bekerja, 11 : moderate disability, 15 : compos mentis.
Adapun scoring tersebut adalah :
RESPON SCORING
a. Membuka Mata = Eye open (E)
Spontan membuka mata

:4

Terhadap suara membuka mata : 3


Terhadap nyeri membuka mata : 2
Tidak ada respon

:1

b. Motorik = Motoric response (M)


Menurut perintah

:6

Dapat melokalisir rangsangan sensorik di kulit (raba)

:5

Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak

:4

Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur dekortikasi : 3


Ekstensi abnormal/postur deserebrasi

:2

Tidak ada respon

:1

c. Verbal = Verbal response (V)


Berorientasi baik

:5

Bingung

:4

Kata-kata respon tidak tepat

:3

Respon suara tidak bermakna : 2

Tidak ada respon

:1

5. Saraf kranial :
a. Test nervus I (Olfactory)

Fungsi penciuman

Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang baunya mudah
dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.

Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.

b. Test nervus II ( Optikus)

Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang

Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di koran,
ulangi untuk satunya.

Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang
hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek
tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut,
ulangi mata kedua.

c. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)

Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).

Test N III (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai
menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan keduanya),
perhatikan kontriksi pupil kena sinar.

Test N IV, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata,
gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia,
nistagmus.

Test N VI, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok.

d. Test nervus V (Trigeminus)

Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas dan
bawah. Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral. Refleks kornea
consensual maka gerakan mengedip kontralateral. Usap pula dengan pilihan kapas
pada maxilla dan mandibula dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien
merasakan adanya sentuhan.

Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan palpasi pada
otot temporal dan masseter.

e. Test nervus VII (Facialis)

Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis, asin
pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan, klien tidak boleh
menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang sehat.

Otonom, lakrimasi dan salivasi

Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk : tersenyum,
mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha membukanya

f. Test nervus VIII (Acustikus)

Fungsi sensoris :

Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa berbisik di satu
telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.

Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus, apakah dapat


melakukan atau tidak

g. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)

N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian ini sulit di
test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N IX mempersarafi
M. Salivarius inferior.

N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum lunak, sensasi
pharynx, tonsil dan palatum lunak.

Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan ah) apakah simetris dan tertarik
keatas.

Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan tong spatel,
akan terlihat klien seperti menelan.

h. Test nervus XI (Accessorius)

Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah Sternocledomastodeus


dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi kekuatannya.

Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan - test otot trapezius.

i. Nervus XII (Hypoglosus)

Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan

Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)

Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan minta untuk
menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

6. Fungsi sensorik :
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan sistem
persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling

akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan
pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan
baik).
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli
(tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau
perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot,
twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan
sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
a. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan refleks
hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
b. Kapas untuk rasa raba.
c. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
d. Garpu tala, untuk rasa getar.
e. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :

Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.

Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk pemeriksaan
stereognosis

Pen / pensil, untuk graphesthesia.

7. Sistem Motorik :
Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri, impuls berjalan
ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan bersinaps
dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.
a. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
b. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai
persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan
berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan
pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus
otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah,
melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi
dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi
extremitas klien. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji
tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan. Normal,
terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
c. Kekuatan otot :

Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan
tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba.
Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovetts (memiliki nilai 0 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.
d. Aktifitas refleks :
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks hammer.
Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )
2 = normal ( ++ )
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ )
4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
1. Refleks patella: Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang
lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan
refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari
lutut.
2. Refleks biceps: Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan
lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan
pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan
gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada
lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
3. Refleks triceps: Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 ,tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan
dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau
mungkin ada klonus yang sementara.
4. Refleks achilles: Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks
ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.

Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar
fleksi kaki.
5. Refleks abdominal: Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah
umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah
yang digores.
6. Refleks Babinski: Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada
penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral
telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki.
Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya
tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.
Pemeriksaan khusus sistem persarafan. Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya
pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :
1. Kaku kuduk: Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada - kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I: Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain
didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan
kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi
panggul dan sendi lutut.
3. Tanda Brudzinski II: Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul
secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.
4. Tanda Kernig: Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada
sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.
Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.
5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang m.
ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
1. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal. Nampak kedua lengan
atas menutup kesamping, kedua siku, kedua pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki
ekstensi dengan memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.
2. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi, ekstensi dan menutup
kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki plantar fleksi.

E. TEST DIAGNOSTIK
Lima Prosedur diagnostik yang lazim dilakukan yaitu Lumbal Pungsi, Angiografi, Elekto
Encephalografi, Elektromiografi, Computerized Axial Tomografi Scan (CT Scan) Otak.

1. Lumbal Pungsi

Pengertian
Adalah suatu cara pengambilan cairan cerebrospinal melalui pungsi pada daerah lumbal

Tujuan
Mengambil cauran cerebrospinaluntuk kepentingan pemeriksaan/diagnostik maupun
kepentingan therapy

Indikasi
a. Untuk diagnostic:
kecurigaan meningitis
Kecurigaan perdarahan sub arachnoid
Pemberian media kontras pada pemeriksaan myelografi
Evaluasi hasil pengobatan
b. Untuk Therapi
Pemberian obat anti neoplastik atau anti mikroba intra tekal
Pemberian anesthesi spinal
Mengurangi atau menurunkan tekanan CSF

Persiapan
a. Persiapan pasien
Memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang lumbal pungsi
meliputi tujuan, prosedur, posisi, lama tindakan, sensasi-sensasi yang akan
dialami dan hal-hal yang mungkin terjadi berikut upaya yang diperlukan untuk
mengurangi hal-hal tersebut
Meminta izin dari pasien/keluarga dengan menadatangani formulir kesediaan
dilakukan tindakan lumbal pungsi.
Meyakinkan klien tentang tindakan yang akan dilakukan
b. Persiapan Alat
Bak streil berisi jarum lumbal, spuit dan jarum, sarung tangan, kassa dan lidi
kapas, botol kecil (bila akan dilakukan pemeriksaan bakteriologis), dan duk
bolong.
Tabung reaksi tiga buah
Bengkok
Pengalas
Desinfektan (jodium dan alkohol) pada tempatnya

Plester dan gunting


Manometer
Lidokain/Xilocain
Masker. Gaun, tutup kepala

Prosedur pelaksanaan
Posisi pasien lateral recumbent dengan bagian punggung di pinggir tempat tidur.
Lutut pada posisi fleksi menempel pada abdomen, leher fleksi kedepan dagunya
menepel pada dada (posisi knee chest)
Pilih lokasi pungsi. Tiap celah interspinosus vertebral dibawah L2 dapat digunakan
pada orang dewasa, meskipun dianjurkan L4-L5 atau L5-S1 (Krista iliaca berada
dibidang prosessus spinosus L4). Beri tanda pada celah interspinosus yang telah
ditentukan.
Dokter mengenakan masker, tutup kepala, pakai sarung tangan dan gaun steril.
Desinfeksi kulit degan larutan desinfektans dan bentuk lapangan steril dengan duk
penutup.
Anesthesi kulit dengan Lidokain atau Xylokain, infiltrasi jaringan lebih dapam hingga
ligamen longitudinal dan periosteum
Tusukkan jarum spinal dengan stilet didalamnya kedalam jaringan subkutis. Jarum
harus memasuki rongga interspinosus tegak lurus terhadap aksis panjang vertebra.
Tusukkan jarum kedalam rongga subarachnoid dengan perlahan-lahan, sampai
terasa lepas. Ini pertanda ligamentum flavum telah ditembus. Lepaskan stilet untuk
memeriksa aliran cairan serebrospinal. Bila tidak ada aliran cairan CSF putar
jarumnya karena ujung jarum mungkin tersumbat. Bila cairan tetap tidak keluar.
Masukkan lagi stiletnya dan tusukka jarum lebih dalam. Cabut stiletnya pada interval
sekitar 2 mm dan periksa untuk aliran cairan CSF. Ulangi cara ini sampai keluar
cairan.
Bila akan mengetahui tekananCSF, hubungkan jarum lumbal dengan manometer
pemantau tekanan, normalnya 60 180 mmHg dengan posisi pasien berrbaring
lateral recumbent. Sebelum mengukur tekanan, tungkai dan kepala pasien harus
diluruskan. Bantu pasien meluruskan kakinya perlahan-lahan.
Anjurkan pasien untuk bernafas secara normal, hindarkan mengedan.
Untuk mengetahui apakah rongga subarahnoid tersumbat atau tidak, petugas dapat
melakukan test queckenstedt dengan cara mengoklusi salah satu vena jugularis
selama I\10 detik. Bila terdapat obstruksi medulla spinalis maka tekanan tersebut
tidak naik tetapi apabila tidak terdapat obstruksi pada medulla spinalis maka setelah

10 menit vena jugularis ditekan, tekanan tersebut akan naik dan turun dalam waktu
30 detik.
Tampung cairan CSF untuk pemeriksaan. Masukkan cairan tesbut dalam 3 tabung
steril dan yang sudah berisi reagen, setiap tabung diisi 1 ml cairan CSF. Cairan ini
digunakan untuk pemeriksaan hitung jenis dan hitung sel, biakan dan pewarnaan
gram, protein dan glukosa. Untuk pemeriksaan none-apelt prinsipnya adalah globulin
mengendap dalam waktu 0,5 jam pada larutan asam sulfat. Cara pemeriksaanya
adalah kedalam tabung reaksi masukkan reagen 0,7 ml dengan menggunakan pipet,
kemudian masukkan cairan CSF 0,5 . diamkan selama 2 3 menit perhatikan
apakah terbentuk endapan putih. Cara penilainnya adalah sebagai berikut:
a) ( ) Cincin putih tidak dijumpai
b) ( + ) Cincin putih sangat tipis dilihat dengan latar belakang hitam dan bila
dikocok tetap putih
c) ( ++ ) Cincin putih sangat jelas dan bila dikocok cairan menjadi opolecement
(berkabut)
d) ( +++ ) Cincin putih jelas dan bila dikocok cairan menjadi keruh
e) ( ++++ ) Cincin putih sangat jelas dan bila dikocok cairan menjadi sangat keruh
Untuk test pandi bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan globulin dan
albumin, prinsipnya adalah protein mengendap pada larutan jenuh fenol dalam air.
cAranya adalah isilah tabung gelas arloji dengan 1 cc cairan reagen pandi kemudian
teteskan 1 tetes cairan CSF, perhatikan reaksi yang terjadi apakah ada kekeruhan.
Bila lumbal pungsi digunakan untuk mengeluarkan cairan liquor pada pasien dengan
hydrocepalus berat maka maksimal cairan dikeluarkan adalah 100 cc.
m. Setelah semua tindakan selesai, manometer dilepaskan masukan kembali stilet
jarum lumbal kemudian lepaskan jarumnya. Pasang balutan pada bekas tusukan.

Setelah Prosedur
Klien tidur terletang tanpa bantal selama 2 4 jam
Observasi tempat pungsi terhadap kemungkinan pengeluaran cairan CSF
Bila timbul sakit kepala, lakukan kompres es pada kepala, anjurkan tekhnik
relaksasi, bila perlu pemberian analgetik dan tidur sampai sakit kepala hilang.

Komplikasi
Herniasi Tonsiler
Meningitis dan empiema epidural atau sub dural
Sakit pinggang
Infeksi

Kista epidermoid intraspinal


Kerusakan diskus intervertebralis
2. Angiografi

Pengertian
Melihat secara langsung sistem pembuluh darah otak. Zat kontras dimasukkan melalui
arteri. Biasanya pada arteri carotis dan arteri vertebra, atau mungkin juga pada arteri
brchialis dan arteri femoralis

Angiografi dapat mendeteksi :


sumbatan pada pembuluh darah cerebral seperti pada stroke
Anomali congenital pembuluh darah
Pergeseran pembuluh darah yang mungkin mengindikasikan SOL (Space
Ocupaying Lession)
Malformasi vaskuler, seperti pada aneurisma atau angioma

Persiapan Pasien
Menciptakan rasa aman dan nyaman pada diri klien. Persiapan ini meliputi :
Menjelaskan prosedur pelaksanaan, sensasi yang terjadi (rasa terbakar saat
penyuntikan zat kontras yang lama kelamaan akan menghilang)
Hal yang perlu dilakukan setelah tindakan dilakukan
Surat izin tindakan telah ditandatangani klien

Komplikasi
Hematom pada daerah suntikan. Dapat dicegah dengan melakukan balut tekan
pada daerah suntikan
Keracunan zat kontras. Dapat dicegah dengan pemberian anti alergi sesuai program

Setelah prosedur
observasi tanda-tanda vital setiap jam sampai kondisi stabil
Kompres es pada daerah suntikan untuk menghilangkan rasa nyeri dan
mengurangi/mencegah hematom
Klien tidur terlentang tanpa bantal selama 24 jam.
Jika penyuntikan dilakukan pada daerah femoralis, tungkai harus tetap lurus selama
6-8 jam
Catat perubahan-perubahan neurologi setelah tindakan angiografi.

3. Elektro Encephalografi (EEG)

Pengertian

Adalah suatu cara untuk merekam aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh.

Prinsip Kerja
Dengan elektroda yang ditempelkan pada berbagai daerah tengkorak, potensial
permukaan otak direkam. Perekaman ini berlangsung terus menerus untuk beberapa
menit. Tegangan yang tercatat pada kertas yang bergerak berupa gelombanggelombang. Dengan memasang 16 elektroda pada tengkorak aktivitas seluruh otak
dapat di tekan dan diselidiki. Tegangan otak sebesar 50 mikrovolt agar dapat direkam
harus diperkuat sampai 1 juta kali. Oleh karena itu aliran listrik dari sumber lain seperti
gerakan

otot

kepala

atau

generator

listrik

juga

ikut

tercatat

(artefak)

Seluruh korteks serebri merupakan medan listrik yang diproduksi pada ujung-ujung
dendrit. Tegangan potensial neuron pada setiap waktu berbeda sehingga potensial
dendrit juga berubah-ubah. Fluktuasi ini yang tercatat pada kertas EEG.

Macam-macam EEG
Seluruh korteks serebri merupakan medan listrik yang mencerminkan adanya gaya listrik
yang diproduksikan pada ujung-ujung dendrit, sebagai fenomena potensial aksi neuronneuron yang disalurkan kedndrit-dendritnya dikorteks serebri. Potensial dendrit pada
korteks selalu berubah-ubah juga. Fluktuasi inilah yang tercatat pada kertas EEG. Dari
sekian banyak fluktuasi, maka dapat dibedakan menurut frekuensinya dan menurut pada
gelombangnya.
1) Empat gelombang menurut frekuensinya :
a) Gelombang Alfa, bersiklus 8 13 perdetik
b) Gelombang Beta, bersiklus lebih dari 13 perdetik
c) Gelombang teta, bersiklus 4 7 perdetik
d) Gelombang Delta, bersilus kurang dari 4 perdetik
2) Fluktuasi potensial otak menurut pola gelombang
a) gelombang lamda, muncul sebagai gelombang positif dekat lobus oksipitalis
terutama jika mata menatap sesuatu dengan penuh perhatian.
b) Gelombang tidur, sekelompok gelombang dengan frekuensi 10 15 siklus
perdetik yang hilang pada waktu tidur dangkal, berbentuk spindel.
c) Kompleks K, pola gabungan yang terdiri dari satu atau beberapa gelombang
lambat berbaur dengan gelombang-gelombang berfrekuensi cepat, timbul
karena ada rangsangan sewaktu tidur dangkal.
d) Gelombang verteks, pola gelombang berbentuk jam, bilateral simetrik didaerah
para sagital, antara daerah dan post sentral, sering muncul bersama kompleks K
pada waktu tidur dangkal.
3) Gelombang patologis

a) Gelombang runcing (Spike) yaitu gelombang yang runcing dan berlalu cepat
(kurang dari 60 milidetik) sering ia muncul secara folifasik, yaitu dengan defleksi
keatas kebawah secara berselingan.
b) Gelombang tajam (sharp wave) yaitu gelombang yang meruncing tetapi berlalu
lebih lama dari 60 milidetik. Juga gelombang tajam timbul secara polifasik.
c) Gelombang runcing (spike wave)ialah kompleks yang terdiri dari gelombang
runcing yang langsung disusul oleh gelombang lambat. Kompleks tersebut
muncul dengan frekuensi 3 spd secara teratur, sinkron bilateral dan hilang timbul
secara tiba-tiba.
d) Gelombang runcing multipel ialah ledakan dari sejumlah gelombang runcing
yang bangkit sekali atau berkali-kali dan biasanya disusul oleh gelombang
lambat.
e) Hypsarithmia ialah kompleks yang terdiri dari gelombang lambat yang bervoltase
tinggi dan iramanya tidak teratur dimana berbaur gelombang runcing dan tajam.

Indikasi Pemasangan
penderita dicurigai atau dengan epilepsi
Membedakan kelainan otak organik
Mengidentifikasi infark pembuluh darah atau adanya lesi (tumor, hematom, abses)
Diagnosa retardasi mental atau over dosis obat
Menentukan kematian jaringan otak

Penatalaksanaan
1) Persiapan pasien
a) Penyuluhan kesehatan
Penderita diberitahu hal-hal yang akan dilakukan. EEG akan dikerjakan
diruangan yang aman (laboratory diagnostik) oleh teknisian EEG. Didalam
ruanga penderita akan dipasang elektroda sebanyak 16-24 dengan pasta,
elektroda yang kecil tersebut akan dihubungkan dengan mesin EEG,
tunjukkan melalui gambar atau video cassate bila memungkinkan.
Menganjurkan pada pasien untuk membebaskan rasa gelisah selama 45-60
menit, pemasangan alat bukan merupakan alat yang berbahaya.
Melakukan pendekatan kepada pasien untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya stres, kecemasan atau gemetaran akibat pemasangan elektroda.
Menjelaskan kepada pasien bahwa pada waktu pemeriksaan harus dalam
keadaan relaksasi sempurna, duduk atau tiduran dengan tanpa gerakan
sedikitpun sehingga mendapatkan hasil yang baik.

Anjurkan pasien mengikuti perintah petugas selam proseur, antara lain:


- hiperventilasi selam 3-5 menit
- usahakan untuk tetap dapat menutup mata
b) Fisik
obat-obatan depresan susunan saraf pusat (alkohol atau tranqualizer) atau
stimulan tidak diberikan selama 24 jam sebelum pemeriksaan dilakukan
karena akan memberikan pengaruh terhadap aktivitas listrik otak. Dokter
akan memberikan instruksi untuk pemberian anti konvulsi bila perlu 24 48
jam sebelum tindakan.
Cairan yang mengandung caffein seperti kopi, cokelat dan the tidak
diberikan selama 24 jam sebelum tindakan dilakukan
Rambut harus bersih, bebas dari spray, minyak lotion dan hair fastener.
Pasien harus makan pagi sebelum melakukan pemeruiksaan, karen
ahipoglikemia menyebabkan ketidak normalan potensial listrik.
2) Pelaksanaan
a) posisi pasien berbaring, ciptakan suasana sedemikian rupa sehingga nyaman
bagi pasien
b) petugas EEG menempelkan 14-16 elektroda pada lokasi yang spesifik pada kulit
kepala serta menghubungkannya. Melalui kawat penghubung ke mesin/alat
EEG.
c) Pencetakan garis dasar (gambar dasar) dihasilkan mengikuti 3 urutan
pemeriksaan

yaitu

hiperventilasi,

stimulasi

photic

Hiperventilasi

dan

tidur.
:

Pasien dianjurkan untuk melakukan hiperventilasi dengan cara mengambil nafas


30-40 nafas melalui mulut setiap menitnya selama 3-5 menit. Perlu diingat
kenaikan PH serum kira-kira 7,8 akan menaikkan rangsangan neuron dan akan
menyebabkan

serangan

Photic

aktivitas

pada

pasien

stimulasi

epilepsi
:

Cahaya yang silau difokuskan kepasien dimana pasien dianjurkan untuk


menutup matanya . stimulasi ini akan menyebabkan aktivitas serangan bagi
pasien

yang

mempunyai

Tidur

kecenderungan

mendapat

serangan
:

Pasien dianjurkan untuk tidur, jika pasien tidak bisa tidur dapat diberikan hipnotik
yang bekerjanya cepat. Hasil perekaman dari aktifitas listrik tersebut
diinterpretasikan oleh neurologi

Setelah tindakan
1) bersihkan dan cuci rambut pasien

2) ciptakan lingkungan yang tenang sehingga pasien dapat beristirahat dengan tenang
3) berikan posisi tidur yang baik dan perhatikan pernafasan pasien terutama yang
menggunakan obat hipnotik
4) observasi aktivitas kejang bagi pasien yang cenderung untuk mendapat serangan
kejang.
4. Elektromyegrafi (EMG)

Pengertian
Adalah suatu cara yang dilakukan untuk mengukur dan mencatat aliran listrik yang
ditimbulkan oleh otot-otot skeletal. Dalam keadaan istirahat otot tidak melepaskan listrik,
tetapi bila oto berkontraksi secara volunter potensial aksi dapat direkam.

Tujuan
1) membantu membedakan antara gangguan otot primer seperti distrofi otot dan gangguan
sekunder
2) membantu menetukan penyakit degeneratif saraf sentral
3) membantu mendiagnosa gangguan neuromuskular seperti myestania grafis

Penatalaksanaan
1) Persiapan pasien
a) Menginformasikan kepada pasien seluruh pemeriksaan prosedur ini akan
menyebabkan gangguan rasa nyaman sementara. Khususnya bila pasien sendiri
diberi rangsangan listrik.
b) Pastikan bahwa pasien tidak menggunakan obat-obat depresan atau sedatif 24 jam
sebelum prosedur.
c) Cegah terjadinya syok listrik
d) Mengurangi rasa sakit dan rasa takut
2) Prosedur
a) prosedur dapat dilakukan disamping tempat tidur atau diruang tindakan khusus.
b) elektroda ditempatkan pada syaraf-syaraf yang akan diperiksa.
c) Dimulai dengan dosis kecil rangsangan listrik melalui elektorda kesaraf dan otot,
apabila konduksi pada saraf selesai maka otot akan segera berkontraksi.
d) Untuk mengetahui potensial otot digunakan macam-macam jarum elektroda dari
nomor 1,3 7,7 cm.
e) Pasien mungkin dianjurkan untuk melakukan aktifitas untuk menukur potensila otot
selama kontraksi minimal dan maksimal
f) Derajat aktifitas saraf dan otot direkam pada osiloskop dan akanmmemberikan
gambaran grafik yang dapat dibaca.

g) Perawat berusaha memberikan rasa nyaman dan memantau daerah penusukan


tarhadap kemungkinan terjadinya hematoama.
3) Setelah tindakan
a) Berikan kompres es pada daerah hematoma untuk mengurangi rasa nyeri.
b) Ciptakan lingkungan yang memudahkan klien untuk beristirahat
5. Computerized Axial Tomografi (CT Scan)

Pengertian
CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari
berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak.

pemeriksaan ini mendeteksi :


1) gambaran lesi dari tumor, hematoma dan abses
2) perubahan vaskuler : malformasi, naik turunnya vaskularisasi dan infark
3) brain contusion, brain atrofi, hydrocephalus
4) inflamasi

Hal-hal yang diperhatikan sebelum pemeriksaan


1) berat badan klien dibawah 145 Kg ( pertimbangan tingkat kekuatan scanner)
2) Kesanggupan klien untuk tidak mengadakan perubahan selama 20-45 meni (berkaitan
dg lamanya pemeriksaan)
3) Kaji kemungkinan klien alergi terhadap iodine, sebab akan disuntik dg zat kontras
berupa iodine based contras material sebanyak 30 ml

Prinsip kerja
Film yang menerima proyeksi sinar diganti dengan alat detektor yang dapat mencatat semua
sinar secara berdipensiasi. Pencatatan ini dilakukan dengan mengkombinasikan tiga
pesawat detektor, dua diantaranya menerima sinar yang telah menmbus tubuh dan yang
satunya berfungsi sebagai detektor aferen yang mengukur intensitas sinar rontgen yang
telah menembus tubuh dan penyinaran dilakukan menurut proteksi dari tiga titik, menurut
posisi jam 12, 10 dan jam 02 dengan memakai waktu 4,5 menit.

Penatalaksanaan
Persiapan pasien: Pasien harus diberitahu sebaiknya dengan keluarga. Pasien diberi
gambaran tentang alat yang akan digunakan. Bila perlu berikan gambaran dengan
menggunakan kaset video atau poster, hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengertian
pada pasien dengan demikian mengurangi stress sebelum waktu prosedur dilaukuan. Test
awal yang dilakukan meliputi: kekuatan untuk diam ditempat (dimeja scanner) selama 45
detik; melakukan pernafasan dengan aba-aba ( untuk keperluan bila ada permintaan untuk

melakukannya) saat dilakukan pemeriksaan.; mengikuti aturan untuk memudahkan injeksi


zat kontras.
Penjelasan kepada klien bahwa setelah penyuntikan zat kontras wajah akan nampak merah
dan terasa agak panas pada seluruh badan. Hal ini merupakan hal yang normal dari reaksi
obat tersebut. Perhatikan keadaan klinik klien apakah pasien mengalami alergi terhadap
iodine. Apabila pasien merasakan adanya rasa sakit berikan analgetik dan bila pasien
merasa cemas dapat diberikan minor transqualizer. Bersihkan rambut pasien dari jelli dan
obat-obatan. Rambut tidak boleh dikelabang dan tidak memakai wig.

Prosedur
1) Posisi terlentang dengan tangan terkendali
2) Meja elektronik masuk kedalam meja scanner
3) Dilakukan pemantauan melalui komputer dan pengambilan gambar dari beberapa sudut
yang dicurigai adanya kelainan.
4) Selama prosedur berlangsung pasien harus diam absolut selama 20-45 menit
5) Pengambilan gambar dilakukan dari berbagai posisi dengan pengaturan komputer.
6) Selama prosedur berlangsung perawat harus menemani pasien dari luar dengan
memakai protektif lead approan.
7) Sesudah pengambilan gambarpasien dirapihkan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan


1) observasi keadaan alergi terhadap zat kontras yang disuntikkan. Bila terjadi alergi dapat
diberikan benadryl 50 mg
2) mobilisasi secepatnya karena pasien mungkin akan kelelahan selama prosedur
berlangsung
3) ukur intake dan output. Hal ini merupakan tindak lanjut setelah pemberian zat kontras
yang eliminasinya selama 24 jam. Oliguri merupakan gejala gangguan fungsi ginjal.
Memerlukan koreksi yang cepat oleh seorang perawat dan dokter

Anda mungkin juga menyukai