Anda di halaman 1dari 10

Terapi ATG (Antithymocyte Globulin) Kuda sebagai

penyelamat setelah ATG Kelinci untuk pengobatan Anemia


Aplastik parah
Phillip Scheinberg
Abstrak
Efektivitas bagi terapi penyembuhan dari pasien dengan anemia aplastik yang tidak
menunjukkan respon terhadap terapi awal, ATG kelinci Antithymocyte Globulin (rATG) atau cyclophosphamide belum diketahui hingga saat ini. Kami meneliti
efektivitas pemberian ATG kuda standar (h-ATG) disertai dengan cyclosporine (CsA)
pada pasien anemia aplastik yang tidak menunjukkan respon terapi awal berupa rATG/CsA (n=19) atau cyclophosphamide/SsA (n=6) (tercatat pada clinicaltrials.gov
sebagai NCT00944749). Yang menjadi perhatian utama ialah hasil dari respon
hematologis dalam 3 bulan penatalaksanaan, dan dikatakan menunjukkan respon
terapi yang baik apabila kondisi klinis dan laboratories pasien tidak lagi jatuh dalam
kategori anemia aplastik parah. Dari 19 pasien yang menerima r-ATG sebagai terapi
awal, 4 (21%) mengalami perbaikan pada hasil status hematologis dalam waktu 3
bulan, hanya 1 orang (17%) dari 6 pasien yang menerima cyclophosphamide yang
mulai menunjukkan respon terapi setelah 6 bulan menjalani terapi. Diantara para
responder tidak ada kasus relaps ditemukan dan pada 2 orang non-responder (orang
yang tidak menunjukkan adanya respon terhadap terapi) berevolusi menjadi
monosomi kromosom 7. Angka bertahan hidup dari keseluruhan partisipan studi
kohort yang dilakukan selama 3 tahun ialah 68% (95% CI, 50-91%). Hasil ini
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari reponden yang dapat benar-benar
sembuh setelah menerima terapi awal berupa r-ATG ataupun cyclophosphamide.
Sementara h-ATG, yang walaupun dapat digunakan sebagai penyelamat pada pasien
anemia aplastik yang gagal menunjukkan respon terhadap terapi awal, Namun, secara

keseluruhan, tingkat respon terapinya akan lebih rendah dibandingkan dengan apabila
h-ATG digunakan sebagai terapi awal.
Pendahuluan
Terapi inisial dengan antithymocyte globulin kuda (h-ATG) ditambah dengan
cyclosporine (CsA) merupakan terapi imunosupresif standar yang merupakan salah
satu regimen terapi standar yang digunakan dalam mengobati pasien dengan severe
aplastic anemia (SAA) dan pasien yang bukan merupakan kandidat penerima
trasnplantasi hematopoietic stem cell (HSCT) dari saudara sekandung yang cocok.
Respon hematologis terhadap terapi regimen ini dapat dicapai pada sekitar 60-80%
pasien, begitupula pada prognosis jangka panjangnya, kelompok uji ini menunjukkan
hasil yang sangat memuaskan1-5. Berbagai usaha untuk mendapatkan hasil terapi yang
lebih baik menggunakan regimen selain ATG kuda/CsA menunjukkan hasil yang
mengecewakan. Penambahan mycophenolate mofetil atau sirolimus, walaupun
memang rasional secara mekanis, tidak menunjukkan adanya perubahan yang lebih
memuaskan dan tidak pula mengurangi angka kejadian relaps dan angka kejadian
evolusi cloning. Dalam sebuah studi acak ditemukan pula bahwa penggunaan agen
limfosittoksik seperti ATG kelinci (r-ATG), alemtuzumab, atau cyclophosphamide
malah dapat memperburuk keadaan hematologis pasien dibandingkan dengan
pemberian terapi dengan h-ATG/CsA, hal ini mungkin dikarenakan respon yang lebih
rendah atau sifat toksik yang lebih besar

6-9

. Yang paling penting ialah, tanpa diduga,

ternyata penggunaan r-ATG sebagai terapi awal pada SAA dapat menyebabkan
perburukan kondisi klinis pasien. 10.
Sejak 2005 hingga 2010, kami menguji efektivitas r-ATG sebagai terapi utama dalam
menangani SAA dengan pengamatan terhadap respon menunjukkan bahwa terapi ini
hanya menunjukkan respon terahdap 30-40% kasus10. Pasien yang tidak menunjukkan
respon terapi namun memiliki donor yang histokompatibel kemudian menjalani
HSCT, sementara pasien yang lain menerima terapi imunosupresan alternative. Dari
2010-2012 kami kembali meneliti cyclophosphamid dosis sedang (120 mg/kg)

sebagai terapi awal untuk mengonfirmasi sebuah laporan yang menyatakan bahwa
terapi dalam dosis ini memiliki angka toleransi, dan respon yang lebih baik, Serta
kejadian evolusi klonal yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian regimen
cyclophosphamid dengan dosis yang lebih tinggi (200 mg/kg) 11. Pengulangan seri
imunosupresan pada regimen r-ATG atau cyclophosphamide sebagai terapi awal yang
telah dikatakan gagal belum diketahui efektivitasnya; Respon terapi alemtuzumab
pada keadaan seperti ini kelihatannya akan menghasilkan angka yang rendah 8. Oleh
karena ini, kami membentuk suatu protokol berisikan terapi standar dengan ATG
kuda/CsA sebagai terapi yang dapat menyelamatkan pasien yang dinyatakan tidak
menunjukkan respon walaupun telah menerima terapi awal berupa r-ATG/CsA atau
cyclophosphamide. Tujuan utama dari penelitian ini ialah untuk mengevaluasi
efektivitas dari pemberian terapi imunosuopresan seri ke dua dengan h-ATG/CsA
pada subjek yang tidak menunjukkan respon terapi yang memuaskan terhadap terapi
imunosupresan awal berupa r-ATG/CsA atau cyclophosphamide.
Metode
Pasien
Pasien diikutsertakan kedalam rencana penatalaksanaan dengan menggunakan acuan
2 protokol yang terdaftar pada clinicaltrials.gov sebagai protokol dengan nomor
NCT00944749 dan NCT00260689. Dua pasien menerima h-ATG menjadi terapi
imunosupresan seri ke duanya sebagai bagian dari cross-over, di mana pasien secara
acak telah menerima terapi h-ATG atau r-ATG sebagai terapi awalnya
(NCT00260689) sementara pasien yang lain (n=23) menerima terapi h-ATG secara
terang-terangan, single arm phase II study (NCT00944749). 19 pasien menereima rATG sebagai terapi lini pertama dan 6 pasien menerima cyclophosphamide sebagai
terapi pertamanya (pasien yang diterapi dengan cyclophosphamide dimasukkan ke
dalam kriteria eligibilitas setelah dimulainya protokol). Semua pasien (atau walinya)
menandatangani sebuah informed consent tertulis sesuai dengan protokol yang
disetujui oleh Institutional Review Board of the National, Heart, Lung, and Blood

Institute. Semua pasien kemudian diterapi di Clinical Center of the National Institutes
of Health (NIH) di Bethesda, MD. Administrasi ATG dan visit evaluasi dengan visit
secara langsung dilakukan di NIH (pada bulan ke 3, 6, dan 12 dan kemudian setahun
sekali).
Kelayakan dan Fokus Penelitian
Semua pasien berusia 2 tahun atau lebih, menderita SAA dan telah gagal diterapi
dengan terapi immunosupresi awal dengan r-ATG/CsA atau cyclophosphamide dan
bukan merupakan kandidat untuk dilakukannya HSCT histokompatibel diikutsertakan
dalam studi. Patients yang respon terapi dengan r-ATGnya dikatakan kurang
memuaskan (pasien yang pada hasil pemneriksaan hematologisnya menunjukkan
jumlah hitung trombosit dan retikulositnya < 5010 9/L setelah 3 bulan diterapi) juga
diikutsertakan dalam penelitian ini, karena diperkirakan pasien ini memiliki prognosis
jangka panjang yang buruk [8]. Yang menjadi titik fokus utama dalam penelitian ini
ialah bagaimana hasil pemeriksaan hematologis para pasien pada 3 bulan setelah
terapi nanti, yang akan dikatakan memiliki respon yang baik terhadap terapi apabila
hasilnya nanti tidak lagi masuk ke dalam kriteria SAA. Titik focus yang kedua ialah
seberapa besar perbaikan status hematologis pasien, kejadian relapse, dan seberapa
baik respon terapi dalam 6 bulan, adanya kejadian evolusi klonal dan juga angka
bertahan hidup keseluruhan dari semua kandidat yang ikut serta.
Sesuai dengan kriteria protokol, SAA didefinisikan sebagai selularitas sumsum tulang
yang kurang dari 30% dan juga pancytopenia berat dengan setidaknya dua dari
kriteria hitung darah perifer ini (i) netrofil absolut kurang dari 0.510 9/L; (ii) jumlah
hitung retikulosit absolute kurang dari 60109/L; dan jumlah hitung trombosit kurang
dari 20109/L. Kriteria eksklusi berupa adanya diagnsosi anemia Fanconi Fanconi
anemia, bukti adanya kelainan klonal pada pemeriksaan sitogenetik, adanya infeksi
yang tidak respon terhadap terapi dengan baik, serpositif HIV, kanker yang masih
menerima kemoterapi secara aktif, serum creatinine >2.5 mg/dL, kehamilan, tidak
dapat memberikan persetujuan informed consent, status moribund, atau adanya

penyakit penyerta lain yang serius, yang menyebabkan pasien dapat terancam jiwanya
apabila tetap mengikuti protokol terapi yang diajukan, karena menurunnya tingkat
toleransi pasien terhadap terapi karena penyakit tersebut.
Pada sunjek yang setelah 3 bulan perbaikan hasil pemeriksaan hematologisnya
kurang memuaskan, parameter darah tepi (perbaikan pada satu parameter (a,b,c) atau
lebih dikategorikan sebagai pasien yang menunjukkan respon terapi-response: a)
ANC - apabila baseline ANC dibawah 0.5109/L, peningkatan nilai ANC sebesar >
0.3109/L, if baseline ANC diatas 0.5109/L, adanya peningkatan ANC sebesar >
0.5109/L darah; (b) platelets - apabila baseline hitung trombosit < 50109/L, maka
ditentukan apabila ada peningkatan jumlah trombosit sebesar > 20109/L darah; c)
hemoglobin adanya peningkatan Hb setidaknya 1.5 g/dl pada pasien yang tidak
memiliki ketergantungan terhadap transfuse darah dan jumlah hitung retikulosit
absolute > 60109/L pada pasien yang memiliki ketergantungan pada transfuse darah.
Respon terapi yang komplit didefinisikan sebagai ANC diatas 1.010 9/L, Hgb > 10
g/dL, dan jumlah trombosit > 10010 9/L dan dikatakan respon parsial apabila respon
hematologis terhadap terapi tidak mencukupi kriteria respon komplit.
Immunosuppressive therapy
Semua subjek melalui skin test h-ATG. H-ATG (ATGAM, Pfizer) diadminsitrasikan
dalam dosis 40 mg/kg/hari selama 4 hari berturut-turut for sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Pada subjek yang berusia 12 tahun, CsA dimulai pada hari pertama
pada dosis 3 mg/kg/dosis per oral, diadministrasikan setiap 12 jam (dosis harian total
12 mg/kg/hari). Dosis Cyclosporine kemudian disesuaikan dengan dosis terapeutik
dengan level diantara between 200 dan 400 ng/ml. Profilaksis pencegah terjadinya
serum sickness ialah dengan prednisone oral dengan dosis 1 mg/kg/hari dimulai
sebelum administrasi h-ATG yang pertama dan dilanjutkan selama total 10 hari dan
di taper pada 7 hari setelahnya. Untuk profilaksis Pneumocytsis jiroveci, aerosolized
pentamidine aerosol diadministrasikan pada dosis 300 mg tiap 4 minggu melalui

inhalasi dimulai pada bulan pertama terapi dan dilanjutkan paling tidak selama 6
bulan.
Metode statistik
Kami memperkirakan kemungkinan respon terapi yang dapat dicapai menggunakan
protokol terapi ini dapat mencapai angka 30% atau lebih, berdasarkan data telah yang
diterbitkan menegenai pasien yang gagal diterapi dengan h-ATG dan kemuadian
diterapi ulang dengan r-ATG atau alemtuzumab, dan didapatkan kemungkinan respon
terapinya ialah 10% atau kurang, dan hal ini kemudian dijadikan patokan untuk
akhirnya menghentikan protokol terapi pada populasi pasien ini. Sampel total pada
penelitian ini ialah 25 pasien yang dihitung dengan menggunakan desain Two-Stage
Minimax Design dengan level signifikasi 5% dan power sebesar 80%. Menurut desai
ini, 15 pasien dikumpulkan pada tahap pertama dan hipotesis nol akan diterima
apabila lebih dari tidak lebih dari 1 pasien menunjukkan respon terhadap terapi dalam
waktu 3 bulan setelah dimulainya terapi, dan tambahan sebanyak 10 pasien
diikutsertakan apabila 2 atau lebih subjek terapi menunjukkan respon terhadap terapi
dalam kurun waktu 3 bulan pada tahap pertama. Hipotesis nol dengan p10% akan
diterima apabila total pasien yang menunjukkan repon terhadap terapi dalam waktu 3
bulan berjumlah 5 atau kurang. Kemungkinan tingkat respon dihitung menggunakan
proporsi sampel dan hasil statistiknya, termasuk didalamnya nilai interval
kepercayaan (confidence interval) dan hipotesis dievaluasi menggunakan distribusi
binominal. Analisis Survival menggunakan perhitungan Kaplan-Meier dan regresi
Cox proportional hazard berdasarkan jumlah hari yang dilalui pasien yang bertahan
hidup terhitung sejak awal dimulainya terapi h-ATG. Hasil numeric dikomputerisasi
menggunakan program S-PLUS 8.0 software package (TIBCO).

Hasil
Demografis
Secara total, 25 pasien menerima terapi h-ATG setelah gagal menunjukkan responn
terhadap terapi awal, r-ATG atau cyclophosphamide, dari tahun 2009-2012. Nilai
median dari pasien yang ikut serta studi kohort ini adalah 27 (range 4-74) tahun.
Delapan (32%) pasien berusia 18 tahun ke bawah. 16 pasien (64%) pasien berjenis
kelamin laki-laki. Terdapat satu kasus di mana kejadian anemia aplastik terjadi
setelah episode kejadian hepatitis seronegatif. Nilai median dari jangka waktu dari
terapi r-ATG hingga dilakukannya terapi h-ATG ialah 217 hari (range, 124-584).
Dengan rata-rata lama follow up yang dilakukan dalam studi kohort ini ialah 608 hari
(range, 57-1395).
Respon hematologis, relapse, dan kejadian evolusi klonal setelah pemberian
terapi h-ATG
Dari 19 pasien yang menerima r-ATG sebagai terapi awal, 4 (21%) menunjukkan
respon hematologis baik 3 bulan pasca administrasi h-ATG. Dari 6 pasien yang
menerima cyclophosphamide sebagai terapi awalnya, hanya 1 (17%) kasus yang
menunjukkan respon yang baik terhadap terapi penyelamatan dengan h-ATG setelah
6 bulan terapi diadministrasikan. (Table 1). Semua respon hematologis bersifat parsial
pada bulan ke 3 dan ke 6 pasca dilakukannya administrasi h-ATG. Diantara pasien
yang menunjukkan respon terapi yang baik, semuanya, berhasil keluar dari
ketergantungannya terhadap trasfusi.
Dari 5 orang partisipan, tidak satupun mengalami kejadian relaps atau kejadian
evolusi klonal hingga saat ini. 2 kejadian evolusi klonal monosomi 7 terjadi pada
kelompok non-responder (pasien yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi
dengan h-ATG) pada hari ke 179 dan 524 pasca dilakukannya administrasi h-ATG.
Diantara 20 orang non-responders, 5 orang menerima terapi HSCT: 3 berasal dari
donor orang lain (bukan keluarga) yang cocok, 1 orang mendapat donor dari saudara

dengan hasil cross match cocok, dan pada satu orang sisanya dilakukan HSCT dari
tali pusatnya sendiri. Hanya satu orang yang tidak dapat bertahan hidup setelah
menerima graft dari donor non-keluarga namun histokompatibel. 9 pasien yang tidak
menunjukkan respon terhadap terapi h-ATG kemudian menerima terapi eltrombopag
dalam sebuah protokol penelitian dimana teradapat 3 pasien yang menunjukkan
respon terhadap terapi. 4 pasien telah menerima cyclophosphamide sebagai terapi
awalnya (1 pasien menunjukkan respon terapi baik) dan 5 pasien lain menerima rATG sebagai terapi awal (2 orang menunjukkan respon terapi baik).
Angka bertahan Hidup Keseluruhan
Total sebanyak 7 pasien meninggal. 5 orang dari pasien yang meninggal sempat
menerima

r-ATG

sebagai

terapi

awal,

dan

orang

lainnya

menerima

cyclophosphamide sebagai terapi awal. Beberapa penyebab dari kematian pasien


tersebut ialah perdarahan sistem saraf pusat (1), Perubahan penyakit menjadi (1),
komplikasi dari pansitopenia (2), infeksi (1), penyebab yang berhubungan dengan
transplantasi (1) dan penyebab yang belum diketahui (1). Dari 2 pasien yang
menunjukkan evolusi klonal menjadi monosomi 7, satu orang diantaranya meninggal
dan satu yang lainnya menerima graft dari tali pusatnya, dan dapat bertahan hidup.
Angka bertahan hidup secara keseluruhan dalam studi kohort selama 3 tahun ini
adalah 68% (95% CI, 50-91%; Figure 1).
Diskusi
Hasil yang kami dapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar satu dari 5
orang yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi r- ATG/CsA sebagai terapi
awal dapat diselamatkan dengan terapi imunosupresan standar h-ATG/CsA. Data ini
tampak sama dengan angka keberhasilan terapi sebesar 30% yang didapatkan saat rATG/CsA diadministrasikan sebagai terapi kedua setelah pasien gagal menunjukkan
respon terhadap terapi h-ATG/CsA sebagai terapi awal[13]. Persentasi dari paien yang
selamat setelah menerima terapi awal berupa cyclophosphamide tampak lebih rendah,
sekitar 15-20%. Namun, efikasi dari penggunaan terapi h- ATG/CsA pada keadaan ini

lebih rendah daripada hasil efikasi yang didapatkan dari hasil observasi penggunaan
regiman ini sebagai terapi utama, dimana didapatkan angka keberhasilan respon
terapi sebesar 60-80% [12]. Oleh karena itu, tidak dapat dianggap bahwa hasil respon
terapi tersebut dapat dibandingkan dengan hasil yang didapat dari terapi h-ATG/CsA
ketika regimen ini diberikan sebagai terapi when this regimen is given as salvage
therapy

after

initial

alternative

immunosuppressants

such

as

r-ATG,

cyclophosphamide and alemtuzumab [8].


Our data suggests that for patients who remain unresponsive to initial alternative
lymphocytotoxic regimens, salvage with standard h-ATG/CsA is possible but only in
a minority of patients. With an initial hematologic response rate to initial h-ATG/CsA
of 60-80% and salvage rate in refractory patients of about 30-40% with r-ATG or
alemtuzumab [13, 14], overall hematologic recovery of 70-90% can be expected after
1 or 2 courses of immunosuppression. Unfortunately, this response rate does not
appear achievable when patients receive alternative immunosuppressants as first
therapy. With a response rate of 30-40% to initial r-ATG [10, 15-17] and about a 20%
successful salvage rate with h-ATG (current study), approximately 50% of patients
are expected to achieve hematologic recovery after 1 or 2 courses when ATGs are
given in this order [8, 10, 13]. Thus, our data further emphasize the importance of
using h-ATG as first line therapy, since only a minority are likely to be benefited
when alternative immunosuppresive regimens are used initially. The best opportunity
for hematologic recovery in SAA with immunosuppressive therapy is with standard
horse ATG/CsA upfront as first treatment. The explanation for this difference is not
clear however distinct kinetics of lymphocyte (and subsets) depletion have been
reportedly consistently between these two agents which might contribute in
hematologic recovery [10, 18, 19]. Given the low salvage rate of h-ATG after r-ATG
failure it is reasonable to consider alternative approaches such as HSCT from a
matched related donor in older patients or an unrelated donor HSCT in a younger
patient. In cases where a histocompatible donor (related or unrelated) is not available,
a repeat course of immunosuppression with h-ATG is reasonable after failure of

initial r-ATG prior to undertaking a higher risk transplant from a mismatched


unrelated, umbilical cord or haploidentical donor. Thus, search for a histocompatible
unrelated donor is warranted in younger patients along with the initial course of
immunosuppression.
The current prospective study that we report here is in a small number of patients and
of course limited by comparison to historical controls. However, our historical data
set comprises a relatively large number of patients, uniformly treated in a single
institution and with periodic and long-term evaluations. The definitions for clinical
outcomes have remained consistent at our institution since the 1980s. A larger cohort
would have increased the precision of the results, however, the enrolment to the
current study slowed as the use of r-ATG upfront declined in the US since the
reporting of its inferior outcome compared to h- ATG as first therapy [10].
In conclusion, salvage h-ATG/CsA in patients who failed initial r-ATG/CsA is
possible but in a minority of patients. The success rate with alemtuzumab
administered in a similar setting (r-ATG failures) also associated with a low response
rate [8]. Thus, our results suggest that the best chance for hematologic recovery in
SAA patients is with standard h-ATG-based immunosuppression as first line therapy
since a minority of patients are likely to be salvaged with immunosuppression when
alternative

lymphocytotoxic

immunosuppressants

cyclophosphamide are given initially.

such

as

r-ATG

or

Anda mungkin juga menyukai