Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH TOKSIKOLOGI

TOKSIKOLOGI ANTIDIABETES

Dosen : Dra. Melova Amir, M.Si., Apt.

Di Susun Oleh :

Dina Rachmawati
Priskilla Gressi
Yunita Beladina
Yeni Vinawati
Nahdathul Fauziah
Dini Oktaviani
Dian Firdasari

(12330060)
(12330061)
(12330063)
(12330064)
(12330065)
(12330066)
(12330067)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA SELATAN
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas kehendakNyalah makalah interaksi obat dengan judul Toksikologi Antidiabetes ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tidak terlalu banyak mengalami
kesulitan, karena referensi yang didapatkan oleh penyusun merupakan rekomendasi langsung
dari dosen matakuliah yang bersangkutan, hal ini tidak meminimkan pengetahuan para
penyusun dalam penyelesaian makalah. Selain itu, penyusun pun mendapatkan berbagai
bimbingan dari beberapa pihak yang pada akhirnya makalah ini dapat diselesaikan.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan para pembaca
tentang definisi diabetes, klasifikasi diabetes, faktor resiko, gejala klinik diabetes,
penatalaksanaan diabetes, beserta toksisitasnya.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen matakuliah interaksiObat
yaitu bapal Tahoma Siregar, M.si, Apt. yang telah memberikan kesempatan kepada kami
untuk menyusun makalah ini dengan baik. Dan pada akhirnya kepada Allah jualah penyusun
mohon taufik dan hidayah, semoga usaha kami dalam menyusun makalah ini mendapat
manfaat yang baik, serta mendapat ridho Allah SWT. amin ya rabbal alamin.

Jakarta, November 2015

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
C.Tujuan ............................................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.Definisi ...........................................................................................................................
B.Klasifikasi Diabetes.........................................................................................................
C.Faktor Risiko....................................................................................................................
D.Gejala Klinik.....................................................................................................................
E.Komplikasi.......................................................................................................................
F.Penatalaksanaan Diabetes.................................................................................................

5
5
6
7
8
10

BAB III PEMBAHASAN


A.Toksisitas Insulin.............................................................................................................14
B.Toksisitas Golongan Sulfonilurea........................................................................... ........ 14
C.Toksisitas Metformin....................................................................................................... 17
D.Toksisitas Akarbose ........................................................................................................ 18
E.Toksisitas Tiozilidindion dan Pioglitazon....................................................................... 19
F.Toksisitas Nateglinid dan Repaglinid............................................................................... 19
G.Maifestasi Klinis Akibat Toksisitas/Keracunan Obat Antidiabetes................................. 20
H.Penanganan Bila Terjadi Efek Toksisitas.......................................................................... 20
BAB IV PENUTUP
A.Kesimpulan......................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan terjadinya


hiperglikemi di dalam tubuh. Sebagian besar orang-orang menyebutnya dengan
penyakit kencing manis. Biasanya para penderita DM akan disertai dengan berbagai
gejala seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Apabila tidak
dilakukan perawatan dan pengontrolan pengobatan yang baik pada penderita DM,
maka akan menyebabkan berbagai penyakit menahun seperti serebrovaskular,
penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai dan lain sebagainya.
Penyebab diabetes dapat disebabkan berbagai hal seperti keturunan, pola hidup yang
tidak sehat, dan lain-lain. Penderita diabetes pun setiap tahunnya semakin bertambah.
Sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat
Indonesia diperkirakan penderita diabetes melitus ini semakin meningkat, terutama
pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi. Saat ini
upaya penanggulangan penyakit diabetes melitus belum menempati skala prioritas
utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif yang
ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung
kronis, hipertensi, otak, system saraf, hati, mata dan ginjal.
Penatalaksanaan diabetes mellitus dengan terapi obat dapat menimbulkan
masalah-masalah terkait obat yang dialami oleh penderita. Masalah terkait obat
merupakan keadaan terjadinya ketidaksesuaian dalam pencapaian tujuan terapi
sebagai akibat pemberian obat. Aktivitas untuk meminimalkannya merupakan bagian
dari proses pelayanan kefarmasian.
Pada penyakit ini tidak digunakan istilah sembuh, tetapi dikatakan gula darah
terkontrol, yaitu dapat dikendalikan dalam batas-batas normal.Pada dasarnya sasaran
pengobatan penyakit diabetes yang utama adalah senantiasa menjaga gula darah
normal, dengan gula darah normal terus, kemungkinan timbulnya penyakit lain
(komplikasi) menjadi berkurang. Untuk menjaga gula darah normal, salah satu upaya
yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan obat diabetes atau sering disebut
Obat Hipoglikemik Oral (OHO) atau terapi insulin, oleh karena itu perlu dilakukan
evaluasi penggunaan obat diabetes yang digunakan untuk memastikan kesesuaian
antara obat diabetes dengan kondisi penderita diabetes mellitus.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan diabetes
2. Apa saja gejala klinik dari diabetes
3. Apa faktor resiko dari diabetes
4. Bagaimana penatalaksanaan terapi pada diabetes
5. Bagaimana toksisitas pada obat-obat diabetes

C. Tujuan
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan diabetes
Untuk memahami gejala klinik dari diabetes
Untuk mengetahui faktor resiko dari diabetes
Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi pada diabetes
Untuk mengetahui toksisitas pada obat-obat diabetes

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Diabetes mellitus merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai oleh poliuri,
polidipsi dan polifagi, disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemia (glukosa puasa 126mg/dL atau postprandial 200mg/dL atau glukosa
4

sewaktu 200mg/dL). Hiperglikemia timbul akibat berkurangnya insulin,sehingga


glukosa darah tidak dapat masuk ke sel-sel otot, jaringan adiposa atau hepar dan
metabolismenya terganggu. Pada DM, glukosa tidak dapat masuk ke sel sehingga
energi utama diperoleh dari metabolisme lemak dan protein (Suherman, 2007).
Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator (peniru yang
handal), karena penyakit ini dapat menyerang semua organ tubuh danmenimbulkan
berbagai macam keluhan (Waspadji, 1996).
B. Klasifikasi Diabetes
American Diabetes Assosiation (ADA), memperkenalkan klasifikasi diabetes
berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan
gangguan toleransi glukosa. Terdapat empat klasifikasi klinis gangguan toleransi
glukosa, yaitu DM tipe 1, tipe 2, diabetes gestasional (kehamilan) dan tipe lain (akibat
kelainan genetik, penyakit, obat dan infeksi) (Schteingart, 2006).
Diabetes tipe 1, merupakan akibat dari perusakan autoimun sel betapankreas
dibuktikan dengan diagnosis pada 90% orang terdapat sejumlah kecil selantibodi,
antibodi untuk asam glutamat dekarboksilase dan antibodi untuk insulin.Pada
umumnya diderita anak-anak dan remaja, namun dapat terjadi pada umurberapapun.
Pada usia muda terjadi laju kecepatan perusakan sel beta ditandaidengan ketoasidosis,
ketika dewasa sering dipelihara dengan sekresi insulin yangcukup untuk mencegah
ketoasidosis untuk beberapa tahun (Triplitt et al., 2005).
Diabetes tipe 2, karakteristik dari tipe ini adalah resisten insulin
sehinggarelatif kurangnya sekresi insulin. Kebanyakan penderita tipe ini disertai
obesitas,hal ini yang menyebabkan resisten insulin. Hipertensi, dislipidemia
danpeningkatan level plasminogen aktivator inhibitor-1 (PAI-1) juga ditunjukkanpada
penderita tipe ini. Ketidaknormalan ini sering disebut insulin resistancesyndrome
(Triplitt et al., 2005).

Perbedaan DM tipe 1 dengan DM tipe 2


Diabetes gestasional, akibat peningkatan sekresi berbagai hormonsehingga
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, pasien yangmempunyai
predisposisi diabetes secara genetik mungkin akan memperlihatkanintoleransi glukosa
atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan (Schteingart,2006). Deteksi klinik
diabetes ini sangat penting, hal ini untuk mengurangi angkamortalitas dan morbiditas
perinatal (Triplitt et al., 2005).
Diabetes tipe lain, merupakan

diabetes

yang

disebabkan

kelainan

genetikfungsi sel beta (MODY 1, MODY 2, MODY 3 dan DNA mitokondria).


Penyebablain

yaitu

penyakit

pada

eksokrin

pankreas

(pankreatitis,

trauma/pankreatektomi,neoplasma, cistic fibrosis, hemokromatosis, pankreatopati


fibro kalkulus). Dapatjuga disebabkan adanya penyakit endokrin, pemakaian obat/zat
kimia(glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, tiazid, dilantin
daninterferon) dan akibat infeksi (Anonim, 2005).
C. Faktor Risiko
Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes selayaknya
waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas kesehatan,
dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya memberi perhatian
kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk melakukan beberapa
pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar tidak terlambat
memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi diabetes melitus
diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan kadar glukosa darah dan
mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.
Faktor Risiko Diabetes tipe 2

D. Gejala Klinik
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala
yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang
sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil),
polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering
pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu,
kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat
mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe
2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa
tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah
terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar
sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita
hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah
dan syaraf.

E. Komplikasi

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi


akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi
dan harus diwaspadai.
a. Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing,
lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap),
keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilangkesadaran. Apabila
tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl,
walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia
pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak
dapat berfungsi bahkan dapat rusak.
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat
dialami 1 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggeris
diperkirakan 2 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh
serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia
lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin.Serangan
hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:
Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau

ahli gizi
Berolah raga terlalu berat
Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada

seharusnya
Minum alkohol
Stress
Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia.

Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila


penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:

Dosis insulin yang berlebihan


Saat pemberian yang tidak tepat
Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik
berlebihan

Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu

terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis


b. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tibatiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi
obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia,
kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui dengan
cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia dapat
memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi
ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama
dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain
ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang keduanya
dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat dicegah
dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.
c. Komplikasi Makrovaskular
3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita
diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease = CAD),
penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral
vascular disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi
pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular
ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia
dan

atau

kegemukan.

Kombinasi

dari

penyakit-penyakit

komplikasi

makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac


Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin Resistance
Syndrome.
Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita
diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat
penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan
lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjagatekanan darahnya tidak
lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya
hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang,
berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.
d. Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh
9

dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang
mendorong

timbulnya

komplikasi-komplikasi

mikrovaskuler,

antara

lain

retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia,


ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat
terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko
komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk
perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat
keparahan diabetes.
Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan
perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula
darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan insulin
multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring kadar
gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular
sampai 60%.
F. Penatalaksanaan Diabetes
a. Terapi Tanpa Obat
1. Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang terkait
dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan
pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan fisik yang pada
dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.
Penuruan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan
memperbaiki respon sel sel beta terhadap stimulus glukosa.
2. Olahraga, berolahraga secara teratur akan menurunkan dan menjaga kadar
gula darah tetap normal.
b. Terapi Obat
1. Insulin
Insulin merupakan protein yang berukuran kecil dengan berat molekul
5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam
2 rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfida. Insulin diproduksi
langsung di dalam sel pankreas (Nolte dan Karam, 2002).
Terdapat empat tipe utama insulin yang tersedia, yaitu insulin kerja cepat
(rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja
menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja panjang (long acting
insulin) (Anonim, 2006a).
10

Rapid acting insulin, yaitu insulin lispro. Diabsorbsi sangat cepat ketika
disuntikkan secara subkutan dan mencapai puncak dalam serum dalam jangka
waktu 1 jam. Masa kerja insulin lispro tidak lebih dari 3-4 jam (Nolte dan
Karam, 2002).
Short acting insulin, insulin reguler dengan masa kerja pendek yang
efeknya terjadi dalam waktu 30 menit setelah penyuntikan subkutan dan
berlangsung selama 5-7 jam (Nolte dan Karam, 2002).
Intermediate acting insulin dan long acting insulin, insulin lente dengan
mula kerja yang lebih lambat dan dengan masa kerja yang panjang. Atau
insulin ultralente, yang mula kerjanya lama namun dapat memberikan efek
dalam jangka waktu yang panjang (Nolte dan Karam, 2002).
2. Antidiabetik oral
a. Golongan Sulfonilurea
Kerja dari obat ini adalah dengan merangsang sekresi insulin dari
granulsel-sel langerhans pankreas. Rangsangannya melalui interaksi
dengan

ATPsensitiveK

channel

pada

membran

sel-sel

yang

menimbulkan depolarisasimembran dan keadaan ini akan membuka kanal


Ca++, sehingga ion Ca++ akanmasuk sel , merangsang granula yang
berisi insulin dan akan terjadi sekresiinsulin dengan jumlah yang ekuivalen
dengan peptida-C. Selain itu, sulfonilureajuga dapat mengurangi klirens
insulin di hepar (Suherman, 2007).
Sulfonilurea diklasifikasikan menjadi 2, yaitu generasi pertama
dangenerasi kedua. Penggolongan ini didasarkan perbedaan pada potensi
efek terapi,potensi efek samping selektif dan penempelan pada protein
serum. Yang termasukdalam generasi pertama meliputi asetoheksamid,
klorpropamid, tolazamid dantolbutamid. Sedangkan sulfonilurea golongan
kedua adalah glimepirid, glipiziddan gliburid, yang mempunyai potensi
hipoglikemi lebih besar dari generasipertama (Triplitt et al., 2005).
Sulfonilurea jika digunakan bersama obat lain (insulin, alkohol,
fenformin,sulfonamid, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezid,dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin,
anabolik steroidfenfluramin dan klofibrat) akan meningkatkan risiko
hipoglikemia (Suherman,2007).
b. Meglitinid
Mekanisme kerja obat golongan

ini

hampir

sama

dengan

sulfonilurea.Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal


11

K yang ATP-independentdi sel pankreas. Repaglinid dan nateglinid


merupakan golonganobat ini. Absorbsinya cepat saat diberikan secara oral
dan mencapai kadarpuncaknya dalam waktu 1jam. Waktu paruhnya 1jam,
maka harus diberikanbeberapa kali dalam sehari, pada waktu sebelum
makan. Obat ini mengalamimetabolisme di hati (utamanya), 10%
dimetabolisme di dalam ginjal. Efeksamping utama hipoglikemia dan
gangguan saluran pencernaan, juga reaksi alergi(Suherman, 2007).
c. Biguanid
Fenformin, buformin dan metformin merupakan golongan
biguanid.Namun yang sering digunakan adalah metformin, fenformin telah
ditarik

dariperedaran

karena

dapat

menyebabkan

asidosis

laktat

(Suherman, 2007).Di Amerika Serikat, metformin merupakan satu-satunya


obat biguanidyang tersedia sejak tahun 1995. Metformin meningkatkan
sensitivitas insulin padahepar juga pada jaringan otot disekitarnya. Hal ini
meningkatkan pengambilanglukosa ke dalam jaringan sensitif insulin
(Triplitt et al., 2005).
Biguanid merupakan suatu antihiperglikemik, tidak merangsang
sekresiinsulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemik. Metformin
oraldiabsorbsi di intestin dan tidak terikat dengan protein plasma di dalam
darah dan diekskresi melalui urin. Metformin diminum pada saat makan,
pada pasien DMyang tidak memberikan respon terhadap sulfonilurea,
dapat diberikan metforminatau digunakan sebagai terapi kombinasi
bersama insulin atau sulfonilurea(Suherman, 2007).
d. Tiazolidimedion
Antidiabetik
oral
ini
juga
disebut

dengan

golongan

tiazolidinedion,termasuk dalam golongan ini yang tersedia secara


komersial adalah rosiglitazondan pioglitazon. Obat golongan ini mampu
meningkatkan sensitivitas insulinterhadap jaringan sasaran, diduga
memiliki

aktivitas

untuk

mengurangi

resistensiinsulin

dengan

meningkatkan ambilan glukosa dan metabolisme dalam otot danjaringan


adipose. Agen ini juga menahan glukoneogenesis di hati dan
memberikanefek tambahan pada metabolisme lemak, steroidogenesis di
ovarium, tekanandarah sistemik dan sistem fibrinolitik (Suherman, 2007).
e. Penghambat -glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
alfaglukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan
12

hiperglikemiapostprandial, bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan


hipoglikemia dan tidakmempengaruhi kadar insulin. Efek samping yang
ditimbulkan dapat berupa gejalagastrointestinal, flatulen dan diare
(Waspadji, 1996). Yang termasuk dalamgolongan ini adalah akarbose dan
miglitol (Suherman, 2007).

BAB III
PEMBAHASAN
A. Toksisitas Insulin
Toksisitas insulin sangat berbahaya. Toksisitas dari overdosis insulin adalah
hipoglikemia. Durasi dari efek hipoglikemia tergantung pada jenis insulin yang
disuntikkan, jumlah dan usia, resistensi insulin dan faktor faktor lain yang dapat
meningkatkan atau mengurangi sensitivitas pasien terhadap insulin. Kematian akibat
overdosis insulin adalah sebesar 25%. Efek fatal bisa terjadi dengan dosis paling
minimum 20 unit, tapi dosis 400 sampai 900 unit atau lebih adalah lebih sering
terjadi.
Otak sangat bergantung padaglukosa darah sebagai sumber energi utamanya,
hipoglikemia menyebabkan gejala perubahan fungsi sistem saraf, yang mencakup
kebingungan, iritabilitas, kejang dan koma. Hipoglikemia dapat menyebabkan sakit
kepala sebagai akibat dari perubahan aliran darah serebral, dan perubahan
13

keseimbangan cairan. Secara sistematis, hipoglikemia menyebabkan aktivasi sistem


saraf simpatik, merangsang rasa lapar, berkeringat, dan takikardi.
Jaringan neural juga bergantung pada glukosa sebagai bahan bakar utamanya,
hipoglikemia, atau kadar glukosa darah yang rendah memiliki pengaruh yang besar
pada metabolisme otak. Perubahan fungsi otak merupakan gejala khas dari
hipoglikemia.
Penurunan kadar glukosa darah secara cepat merangsang sekresi hormon yang
memiliki fungsi yang berlawanan yang bekerja bersama sama untuk mengembalikan
ke keadaan normoglikemia.
Koma hipoglikemia berat dan kerusakan saraf permanent terjadi setelah
injeksi 800 3200 unit insulin. Insulin yang terkonsumsi secara oral atau lewat mulut
tidak bersifat racun karena tidak bisa diserap oleh tubuh.
B. Toksisitas Golongan Sulfonilurea
Kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan sekresi insulin sehingga efektif
hanya jika masih ada aktivitas sel beta pankreas; pada pemberian jangka lama
sulfonilurea juga memiliki kerja di luar pankreas. Semua golongan sulfonilurea dapat
menyebabkan hipoglikemia, tetapi hal ini tidak biasa terjadi dan biasanya
menandakan kelebihan dosis. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat menetap
berjam-jam dan pasien harus dirawat di rumah sakit.
Sulfonilurea digunakan untuk pasien yang tidak kelebihan berat badan, atau
yang tidak dapat menggunakan metformin. Pemilihan sulfonilurea diantara obat yang
ada ditentukan berdasarkan efek samping dan lama kerja, usia pasien serta fungsi
ginjal. Sulfonilurea kerja lama klorpropamid dan glibenklamid lebih sering
menimbulkan hipoglikemia; oleh karena itu untuk pasien lansia obat tersebut
sebaiknya dihindari dan sebagai alternatif digunakan sulfonilurea kerja singkat,
seperti gliklazid atau tolbutamid. Klorpropamid juga mempunyai efek samping lebih
banyak daripada sulfonilurea lain sehingga penggunaannya tidak lagi dianjurkan.
Peringatan: Sulfonilurea dapat meningkatan berat badan dan diresepkan
hanya jika control buruk dan gejala tidak hilang walaupun sudah melakukan upaya
diet yang memadai. Metformin dipertimbangkan sebagai obat pilihan untuk pasien
kelebihan berat badan. Hati-hati digunakan pada pasien lansia dan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal ringan hingga sedang karena bahaya hipoglikemia.
Tolbutamid kerja singkat dapat digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal, begitu
juga glikuidon dan gliklazid yang dimetabolisme di hati, tetapi diperlukan monitoring

14

kadar glukosa darah, diperlukan dosis terkecil yang menghasilkan kontrol glukosa
darah yang cukup.
Kontraindikasi: Sulfonilurea sedapat mungkin dihindari pada gangguan fungsi
hati; gagal ginjal dan pada porfiria. Sulfonilurea sebainya tidak digunakan pada ibu
menyusui dan selama kehamilan sebaiknya diganti dengan terapi insulin. Sulfonilurea
dikontraindikasikan jika terjadi ketoasidosis.
Efek samping: umumnya ringan dan

jarang,

diantaranya

gangguan

gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan konstipasi. Klorpropamid memiliki


efek samping lebih banyak karena durasi kerjanya yang lama dan risiko hipoglikemia
sehingga tidak lagi digunakan. Juga dapat menyebabkan muka kemerahan setelah
minum alkohol; efek ini tidak terjadi pada sulfonilurea lain. Klorpropamid juga dapat
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik dan sangat jarang menyebabkan
hiponatremia (hiponatremia juga dilaporkan pada glimepirid dan glipizid).
Sulfonilurea dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, yang mungkin
menyebabkan jaundice kolestatik, hepatitis dan kegagalan fungsi hati meski jarang.
Dapat terjadi reaksi hipersensitifitas, biasanya pada minggu ke 6-8 terapi, reaksi yang
terjadi berupa alergi kulit yang jarang berkembang menjadi eritema multiforme dan
dermatitis eksfoliatif, demam dan jaundice; jarang dilaporkan fotosensitivitas dengan
klorpropamid

dan glipizid.

Gangguan darah juga jarang yaitu

leukopenia,

trombositopenia, agranulositosis, pansitopenia, anemia hemolitik, dan anemia


aplastik.
a. Klorpropamid (Generasi Pertama)
Mempunyai waktu paruh 32 jam dan di metabolisme di hati dengan lambat untuk
menghasilkan beberapa aktivitas biologik : kira kira 20-30% diekskresikan
dalam bentuk tidak berubah di urin. Dosis pemeliharaan rata rata adalah 250 mg
per hari, diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Dosis lebih dari 500 mg
per hari dapat meningkatkan resiko ikterus, yang tidak lazim terjadi pada dosis
yang lebih rendah. Penderita dengan predisposisi genetik dan mendapat
klorpropamid bisa mengalami hiperemic flush bila minum alkohol. Hiponatrium
karena pengenceran telah diketahui sebagai komplikasi terapi klorpropamid pada
beberapa penderita. Tampaknya ini sebagai akibat perangsangan sekresi
vasopressin dan potensiasi kerjanya pada tubulus ginjal oleh klorpropamid.
Toksisitas hematologi (leukopenia selintas, trombositopenia) terjadi dalam julah
kurang dari 1% penderita.
b. Gliburide (Generasi Kedua)

15

Dimetabolisme di hati menjadi produk dengan aktivitas hipoglikemik yang


sangat rendah. Awal dosis pemberian yang biasa adalah 2,5 mg/hari atau kurang,
dan rata rata dosis pemeliharaan adalah 5 10 mg/hari yang diberikan sebgai
dosis tunggal pada pagi hari. Tidak dianjurkan untuk memberikan dosis
pemeliharaan lebih dari 20 mg/hari.
Gliburide memiliki efek yang tidak diinginkan, selain dari potensinya untuk
menyebabkan hipoglikemia. Efek toksiknya yaitu hipoglikemia. Konsumsi
glyburide (2,5 mg) pada anak berusia 1 4 tahun dapat menyebabkan kondisi
hipoglikemia.
c. Gliklazid (Generasi Kedua)
Gliklazid memiliki efek hipoglikemia sedang sehingga jarang terjadi
hipoglikemia. Mempunyai efek anti egregasi yang lebih poten. Efek samping
lainnya yaitu reaksi pada kulit dan jaringan subkutan, gangguan hematologi,
gangguan sistem hepato-biliari, peningkatan kadar enzim hati dan gangguan
visual.
Dosis awal 40 80 mg 1 kali sehari; ditentukan berdasarkan respon hingga
160 mg diberikan bersama sarapan. Dosis lebih tinggi diberikan terbagi, maksimal
240 mg/hari dalam 1 2 kali.
d. Glikuidon
Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang menimbulkan serangan
hipoglikemia. Obat ini hampir seluruhnya diekskresi melalui empedu dan usus.
Dosis awal 15 mg sehari; sebelum makan pagi, disesuaikan hingga 45 60 mg
sehari dalam 2 atau 3 kali dosis terbagi. Dosis maksimum pemberian tunggal 60
mg, dosis maksimum 180 mg sehari.
C. Toksisitas Metformin (Golongan Biguanida)
Metformin satu-satunya golongan biguanid yang tersedia, mempunyai
mekanisme kerja yang berbeda dengan sulfonilurea, keduanya tidak dapat
dipertukarkan.

Efek

utamanya

adalah

menurunkan

glukoneogenesis

dan

meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Karena kerjanya hanya bila ada


insulin endogen, maka hanya efektif bila masih ada fungsi sebagian sel islet pankreas.
Metformin merupakan obat pilihan pertama pasien dengan berat badan berlebih
dimana diet ketat gagal untuk mengendalikan diabetes, jika sesuai bisa juga
digunakan sebagai pilihan pada pasien dengan berat badan normal. Juga digunakan
untuk diabetes yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi sulfonilurea.
Hipoglikemia tidak terjadi dengan pemberian metformin; keuntungan lainnya
jarang terjadi peningkatan berat badan dan penurunan kadar insulin plasma.
16

Metformin tidak menyebabkan hipoglikemia pada pasien non diabetes kecuali


diberikan dosis berlebih.
Efek samping saluran cerna pada awal pemberian metformin umum terjadi,
dan dapat menetap pada beberapa pasien, terutama jika diberikan dosis sangat tinggi
3g per hari. Metformin dapat menyebabkan asidosis laktat yang banyak terjadi pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal, oleh karena itu jangan diberikan bahkan pada
gangguan fungsi ginjal ringan.
Dosis ditentukan secara individu berdasarkan manfaat dan tolerabilitas.
Dewasa & anak > 10 tahun : dosis awal 500 mg setelah sarapan untuk sekurang
kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah sarapan dan makan malam sekurang
kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah sarapan, setelah makan siang dan
setelah makan malam. Dosis maksimum 2 g sehari dalam dosis terbagi.
D. Toksisitas Akarbose (Golongan Penghambat -glukosidase)
Obat ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida
di intestin. Dengan menghambat kerja enzim -glikosidase di brush border intestin,
dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM.
Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan
efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM
usia lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat tinggi. Obat golongan ini
diberikan pada waktu mulai makan dan absorpsiburuk.
Akarbosa paling efektif bila diberikan bersama makanan yang berserat
mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa. Bila
akarbosa diberikan bersama insulin, atau dengan golongan sulfonilurea, dan
menimbulkan hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada pemberian
sukrosa,

polisakarida,

dan

maltose

(Departemen

Farmakologi

dan

Terapi

UniversitasIndonesia).
Akarbosa, merupakan penghambat alpha- glukosidase intestinal, yang
memperlambat absorbsi karbohidrat dan sukrosa. Akarbosa mempunyai efek kecil tapi
bermakna dalam menurunkan glukosa darah dan dapat digunakan tunggal atau
sebagai penunjang terapi jika metformin atau sulfonilurea tidak memadai.
Hiperglikemia postprandial pada diabetes tipe 1 (tergantung insulin) dapat dikurangi
dengan akarbosa, tetapi sekarang jarang digunakan. Terjadinya flatulensi menghalangi
penggunaan akarbosa walaupun efek samping ini cenderung menurun dengan waktu.
Efek samping dari acarbose yaitu flatulensi, tinja lunak, diare (mungkin perlu
pengurangan dosis atau penghentian), perut kembung dan nyeri, mual (jarang), reaksi
pada kulit dan fungsi hati yang tidak normal.
17

Dosis perlu disesuaikan oleh dokter secara individu karena efikasi dan
tolerabilitas bervariasi. Dosis rekomendasi adalah: awal 3x1 tablet 50mg/hari,
dilanjutkan dengan 3x1/2 tablet 100 mg/hari. Dilanjutkan dengan 3x2 tablet 50 mg
atau 3x1-2 tablet 100 mg. Peningkatan dosis dapat dilakukan setelah 4-8 minggu, bila
pasien menunjukkan respon tidak adekuat. Tak perlu penyesuaian dosis pada usia
lanjut (>65 tahun).Tidak dianjurkan untuk anak dan remaja di bawah 18 tahun.
Konseling: Tablet dikunyah bersama satu suapan pertama makanan atau ditelan utuh
dengan sedikit air segera sebelum makan. Untuk mengantisipasi kemungkinan efek
hipoglikemia, pasien yang mendapat insulin atau suatu sulfonilurea atau akarbosa
harus selalu membawa glukosa (bukan sukrosa karena akarbosa mempengaruhi
absorpsi sukrosa).
E. Toksisitas Tiazolidindion dan Pioglitazon
Tiazolidindion dan pioglitazon, menurunkan resistensi insulin perifer,
menyebabkan penurunan kadar glukosa darah. Obat ini juga digunakan tunggal atau
kombinasi dengan metformin atau dengan sulfonilurea (jika metformin tidak sesuai),
kombinasi tiazolindindion dan metformin lebih baik dari kombinasi tiazolidindion dan
sulfonilurea terutama pada pasien dengan berat badan berlebih. Respon yang tidak
memadai terhadap kombinasi metformin dan sulfonilurea menunjukkan kegagalan
pelepasan insulin, pemberian pioglitazon tidak begitu penting pada keadaan ini dan
pengobatan dengan insulin tidak boleh ditunda. Kontrol glukosa darah dapat
memburuk sementara jika tiazolindindion diberikan sebagai pengganti obat
antidiabetik oral yang sebelumnya digunakan dalam bentuk kombinasi dengan
antidiabetik lain.
Kontra indikasi untuk pioglitazon yaitu gangguan hati, riwayat gagal jantung,
kombinasi dengan insulin (risiko gagal jantung), kehamilan dan menyusui.
Efek samping dari pioglitazon : gangguan saluran cerna, bertambahnya berat
badan, udema, anemia, sakit kepala, gangguan penglihatan, pusing, artralgia,
hipoestesia, hematuria, impoten, hipohlikemia (jarang terjadi), lemah, insomnia,
vertigo, berkeringat, mempengaruhi kadar lemak darah, proteinuria. Selain itu, ada
keterangan toksisitas pada hati.
Dosis awal 15 30 mg satu kali sehari ditingkatkan menjadi 45 mg sehari
disesuaikan dengan respon.
F. Toksisitas Nateglinid dan Repaglinid
Nateglinid dan repaglinid menstimulasi pelepasan insulin. Kedua obat ini
mempunyai mula kerja cepat dan kerja singkat, dan diminum dekat sebelum tiap kali
18

makan. Repaglinid diberikan sebagai monoterapi pada pasien yang tidak kelebihan
berat badan atau pada pasien yang kontraindikasi atau tidak tahan dengan metformin,
atau dapat diberikan kombinasi dengan metformin. Nateglinid hanya disetujui
digunakan bersama metformin.
Efek samping dari nateglinid : hipoglikemia, reaksi hipersensitif termasuk
pruritus, kemerahan dan urtikaria. Sedangkan efek samping dari repaglinid : nyeri
perut, diare, konstipasi, mual, muntah, hipoglikemia (jarang terjadi), reaksi
hipersensitivitas termasuk pruritus, kemerahan, vaskulitus, urtikaria dan gangguan
penglihatan.
Dosis untuk nateglinid : awal, 60 mg tiga kali sehari diberikan 30 menit
sebelum makan, dosis maksimal 180 mg tiga kali sehari, anak dan remaja dibawah 18
tahun tidak dianjurkan.
Dosis untuk repaglinid : awal, 500 mcg, diberikan 30 menit sebelum makan (1
mg jika mendapat obat hipoglikemik oral lain) disesuaikan dengan respons pada
interval 1-2 minggu, sampai 4 mg diberikan dosis tunggal, dosis maksimal 16 mg
sehari, anak, remaja dibawah 18 tahun dan lanjut usia diatas 75 tahun tidak
dianjurkan.
G. Maifestasi Klinis Akibat Toksisitas/Keracunan Obat Antidiabetes
Hipoglikemia, kejadiannya bisa saja tertunda tergantung kepada jenis obat
yang digunakan dan rute atau dengan cara apa obat digunakan ( oral, intra vena atau
subkutan ). Tanda-tanda terjadinya hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah
sampai level yang rendah adalah gemetar, bingung, koma, kejang-kejang, takikardia
( debaran jantung yang cepat ), dan diaforesis ( berkeringat secara berlebihan )
Asidosis laktat akibat keracunan metformin dan phenformin dapat dimulai
dengan tanda-tanda yang tidak spesifik seperti lemas, muntah, nyeri otot, dan tekanan
pada pernapasan. Tingkat kematian akibat asidosis laktat yang berat dilaporkan
mencapai 50%.
H. Penanganan Bila Terjadi Efek Toksisitas
1. Penambahan senyawa dari makanan.
Kelebihan dosis obat pada penyakit diabetes yang paling umum dan berbahaya
adalah hipoglikemia. Maka seseorang yang mengkonsumsu obat obat an
antidiabetes harus mengenali efek samping yang ditimbulkan dari suatu obat
sehingga penderita diabetes dapat mengenali gejala dari efek samping yang
ditimbulkan.

19

Contohnya, seorang penderita diabetes harus selalu siap sedia dengan


membawa permen seperti monojel atau glutose apabila terjadi penurunan darah
secara drastis.
Namun bila seorang penderita diabetes mengalami hipoglikemia berat,
penderita dapat mengalami hilangnya kesadaran. Jika mengalami kondisi seperti
ini, penderita diabetes harus segera diberi suntikan glukagon (hormon yang dapat
meningkatkan kadar gula darah dengan cepat) langsung pada otot atau vena.
Biasanya dokter akan mengajarkan cara penyuntikannya pada keluarga atau teman
terdekat.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat meliputi pemeriksaan mata, tanda vital dan lain lain.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat meliputi gambaran radiologi, EKG, pemeriksaan
skrining (dilakukan pada penderita dengan keracunan yang berat atau yang tidak
jelas, yang menderita koma, kejang, instabilitas kardiovaskuler, asidosis metabolik
atau respiratorik dan irama jantung nonsinus)
4. Pencegahan Absorpsi Racun
Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan prosedur mana yang
akan dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun tertelan, toksisitas bahan yang
telah & akan terjadi kemudian, availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari
prosedur; serta beratnya keracunan dan resiko komplikasi.Rata-rata waktu terapi
dekontaminasi gastrointestinal yang disarankan adalah lebih dari 1 jam setelah
keracunan pada anak dan lebih dari 3 jam pada dewasa dari sejak racun tertelan
sampai timbul gejala/tanda keracunan.
5. Pemberian Antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir racun
(reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia), mengantagonis
efek fisiologis racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang berlawanan,
memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/ reseptor substrat tsb.).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah keracunan :
asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan, benzodizepin, -blocker, CCB,
CO, glikosida jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi
obat, etilen glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik,
INH, metHb-emia, narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang
tertentu.

20

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi
dan polifagi, disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa
puasa 126mg/dL atau postprandial 200mg/dL atau glukosa sewaktu 200mg/dL).
Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering
buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar).
Penatalaksanaan diabetes terapi tanpa obat dengan pengaturan diet, diet yang baik merupakan
kunci keberhasilan terapi diabetes. Terapi dengan obat dengan menggunakan insulin dan
anibiotik oral seperti golongan sulfonilurea, biguanid, menglinitid, tiazolidimedion, dan
penghambat -glukosidase.
Toksisitas insulin sangat berbahaya. Toksisitas dari overdosis insulin adalah
hipoglikemia. Toksisitas sulfonilurea dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, yang
mungkin menyebabkan jaundice kolestatik, hepatitis dan kegagalan fungsi hati meski jarang.
Toksisitas akarbose yaitu flatulensi, tinja lunak, diare (mungkin perlu pengurangan dosis atau
penghentian), perut kembung dan nyeri, mual (jarang), reaksi pada kulit dan fungsi hati yang
tidak normal.
Penganan bila terjadi toksisitas yaitu penambahan senyawa dari makanan,
pemerikasaan fisik, pemeriksaan lanboratorium, pencegahan absorpsi racun dan pemberian
antidot.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. http://hanafimisura.blogspot.co.id/2013/07/obat-obat-diabetes.html
2. http://ruangdiskusiapoteker.blogspot.co.id/2014/05/keracunan-dan-toksisitasobat.html
3. http://obatidiabetesmu.blogspot.co.id/2015/04/obat-diabetes-farmakologi.html
4. https://yosefw.wordpress.com/2007/12/27/penggunaan-antidiabetik-oral-golsulfonilurea-pada-diabetes-mellitus/
5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter%20II.pdf
6. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter%20II.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai