Anda di halaman 1dari 3

Penatalaksanaan

Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan jadi tidak dapat disembuhkan.


Terapi yang digunakan pada penderita thalassemia bersifat simptomatik (mengobati simptom
yang muncul). Penanganan secara suportif yang dapat dilakukan antara lain :
1. Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk mempertahankan hemoglobin
diatas 10g/dl setiap saat. Hal ini biasanya membutuhkan 2-3 unit tiap 4-6 minggu.
Darah segar yang telah disaring untuk memisahkan leukosit, menghasilkan eritrosit
dengan ketahanan yang terbaik dan reaksi paling sedikit. Heosiderosis adalah akibat
terapi transfuse jangka panjang yang tidak dapat dihindari karena setiap 500 ml darah
membawa kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang tidak dapat diekskresikan secara
fisiologis.
2. Pemberian parenteral obat pengkhelasi besi (iron chelating agent) dapat mencegah
penimbunan besi akibat transfuse darah jangka panjang. Deferoksamin membentuk
kompleks besi yang dapat diekskresikan terutama melalui urin, tetapi hingga
sepertiganya juga diekskresikan dalam tinja. Sayangnya deferoksamin tidak aktif
bila diberikan secara oral. Jika pasien patuh dengan regimen khelasi besi yang
intensif ini, harapan hidup penderita talasemia mayor yang mendapat transfuse darah
yang teratur membaik secara nyata. Deferoksamin memiliki efek samping,
khususnya pada anak yang kadar feritin serumnya relative rendah, berupa tuli
nada tinggi, kerusakan retina, kelainan tulang, dan retardasi pertumbuhan.
3. Vitamin C meningkatkan ekskresi besi yang disebabkan oleh deferoksamin.
4. Asam folat diberikan 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat jika
asupan diet buruk.
5. Splenektomi, dengan indikasi limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak
penderita, menimbulkanpeningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya
ruptur 2 serta hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah
atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun. Splenektomi dilakukan pada anak dengan usia lebih dari 2 tahun. Pasca
splenektomi, frekuensi transfuse biasanya berkurang.
6. Dua cara yang dapat ditempuh untuk mengobati talasemia adalah transplantasi
sumsum tulang dan teknologi sel punca (stem cell). Transplantasi susum tulang
alogenik memberi prospek kesembuhan yang permanen.5,10 Tingkat kesuksesannya
adalah lebih dari 80% pada pasien muda yang mendapat khelasi secara baik tanpa
disertai adanya fibrosis hati atau hepatomegali.5 Sedangkan pada tahun 2009, seorang

penderita talasemia dari India berhasil sembuh setelah memperoleh ekstrak sel punca
dari adiknya yang baru lahir.
7. Koenzim Q10 dan Talasemia
Adanya kerusakan sel darah merah dan zat besi yang menumpuk di dalam tubuh
akibat talasemia, menyebabkan timbulnya aktifasi oksigen atau yang lebih dikenal
dengan radikal bebas. Radikal bebas ini dapat merusak lapisan lemak dan protein
pada membram sel, dan organel sel, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan dan kematian sel. Biasanya kerusakan ini terjadi di organ-organ vital dalam
tubuh seperti hati, pankreas, jantung dan kelenjar pituitari. Oleh sebab itu penggunaan
antioksidan, untuk mengatasi radikal bebas, sangat diperlukan pada keadaan
talasemia.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Siriraj Hospital, Universitas Mahidol , Bangkok,
Thailand, ditemukan bahwa kadar koenzim Q 10 pada penderita talasemia sangat
rendah. Pemberian suplemen koenzim Q 10 pada penderita talasemia terbukti secara
signifikan mampu menurunkan radikal bebas pada penderita talasemia. Oleh sebab itu
pemberian koenzim Q 10 dapat berguna sebagai terapi ajuvan pada penderita
talasemia untuk meningkatkan kualitas hidup.
1. Hoffbrand AV, Pettit J.E. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC,
2005. h. 28-82.
2. Behrman, Kliegman, Arvin, Nelson. Kelainan hemoglobin. Nelson textbook
of pediatrics. Vol II. Edisi 15. Jakarta: EGC, 2000. h. 1708-12.

Tatalaksana
Transfusi teratur sangat penting untuk ketahanan hidup kebanyakan talasemia
mayor (homozigot). Biasanya tujuan terapi transfusi sederhana yakni mempertahankan kadar
Hb sekitar 50-60 g/dL untuk mempertahankan kehidupan dan memungkinkan penderita
melakukan beberapa aktivitas. Program transfusi yang lebih umum, yang mempertahankan
kadar hemoglobin minimum 100 g/dL (hipertransfusi) atau bahkan 120 g/dL
(supertransfusi), dengan transfusi teratur 3-4 minggu, memberikan manfaat yang berarti
melebihi regimen transfusi yang terbatas dan harus digunakan bila mungkin. Toleransi latihan
dan rasa bugar diperbesar, dan tanda serta gejala gagal jantung kronis hilang. Deformitas
tulang dan kecenderungan fraktur patologis berkurang, dan hepatosplenomegali massif
biasanya juga hilang atau membaik. Pertumbuhan diperbesar. Kerugian utama adalah

peningkatan akumulasi kelebihan besi. Hipertransfusi tidak tampak menambah menambah


umur panjang talasemia mayor, tetapi perbaikan kualitas hidup yang besar biasanya dicapai.
Penggunaan kelator besi untuk meminimalkan masalah toksisitas besi pada talasemia
merupakan komponen terapi yang sangat penting. Infus desferioksamin intravena atau
subkutan lama lebih efektif daripada injeksi intramuskular. Desferioksamin subkutan setiap
hari, yang diberikan di rumah selama masa 8-12 jam dengan alat pompa infus portable
ringan, merupakan metode yang paling cocok yang sekarang tersedia untuk memperoleh
kelasi yang lebih efisien yang disertai dengan infuse yang lama. Data terbaru menunjukkan
bahwa desferioksamin subkutan dapat mencegah kenaikan penyimpanan besi sampai kadar
toksik jika kelasi dimulai pada awal masa kanak-kanak. Bahkan pada anak yang diobati
pertama ketika umur lebih dari 10 tahun, penyakit jantung akibat besi yang serius dapat
ditunda atau dicegah. Kerugian regimen kelasi kronis ialah memerlukan biaya besar, tidak
menyenangkan, kurang taat, terutama saat remaja, dan kemungkinan reaksi yang tidak
menyenangkan. Kelator besi oral, yaitu L1 (1,2-dimetil-3-hidrosipirid-4-on), telah
menunjukkan efektivitas pada percobaan klinis dan dapat memberikan pilihan terapeutik bagi
pasien yang kelebihan beban besi jika ingin mendapatkan keamanan.7

1. Hoffbrand, Pettit, moss. Hematologi. Edisi ke-4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
ECG; 2005.hal.69-74.

Anda mungkin juga menyukai