Chapter I
Chapter I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Surat
dakwaan
merupakan
dasar
pemeriksaan
suatu
perkara
pidana
Hukum Acara Pidana yang baru ini mengandung beberapa asas penting, yang
memahami hak asas manusia, diantaranya adalah:1
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan.
2. Penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undangundang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan Undangundang.
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan dari pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
4. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekuen dalam
seluruh tingkat peradilan.
5. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan, selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya juga wajib diberitahu haknya itu, termasuk hak untuk
menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum.
6. Pengadilan memeriksa dengan hadirnya terdakwa.
Surat dakwaan merupakan dasar dari pemeriksaan perkara selanjutnya. Kalau
yang disebutkan dalam surat dakwaan tidak terbukti dan/atau tidak merupakan suatu
kejahatan atau pelanggaran, maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan.
Walaupun demikian, pentingnya kedudukan dari suatu surat dakwaan itu tidaklah
dapat disangkalkan penyusunannya, sehingga akan mengakibatkan lepasnya si
terdakwa dari segala tuduhan ataupun berakibat pembatalan dari surat dakwaan itu
sendiri.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Penerbit Karya Anda, 2003)_
Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Medan: Penerbit PT.Citra Aditya
Bakti, Cetakan Pertama, 2002), hal. 96_
3
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,
Cetakan Kedua, 2008), hal. 170
Pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal Undangundang pidana yang menjadi dasarnya tidak mengikat penuntut umum untuk
mengikutinya. Penuntut umum dapat membuat perubahan pasal Undang-undang
yang disebut oleh polisi untuk menyesuaikan dakwaan dengan fakta-fakta dan data
serta menyusun dakwaan berdasarkan perumusan delik tersebut.
Cara-cara tradisional untuk membuat surat dakwaan sesuai dengan Pasal 250
HIR dahulu pada kenyataannya tidak perlu dipenuhi. Keterangan singkat tentang
perbuatan yang didakwakan kadang lebih jelas dan hakikatnya lebih membantu
untuk menjamin kepentingan pembelaan. Seluruh unsur delik pada suatu perumusan
harus dimuat dalam dakwaan yang masih dapat dilakukan penyederhanaan metode
dakwaan tersebut. Keterangan singkat tentang perbuatan yang didakwakan
bermanfaat secara praktis jika dilakukan penyederhanaan secara formal terhadap
semua unsur delik yang diisyaratkan dalam dakwaan. Surat dakwaan jelas atau tidak
jelas adalah relatif dan hendaknya ukurannya didasarkan kepada keadaan konkret,
yaitu apakah keadaan itu menunjukan terdakwa dirugikan atau tidak. Jika tedakwa
telah mengetahui apa sebab ia didakwa, maka halnya sudah memadai. Meskipun
terdakwa telah mengerti apa sebab ia didakwa, bentuk-bentuk surat dakwaan harus
memenuhi syarat dan tidak dikaitkan dengan kepentingan terdakwa, oleh karena itu,
menurut KUHAP, surat dakwaan sudah memadai jika waktu dan tempat terjadinya
delik dan uraian secara cermat, jelas dan lengkap delik(tindak pidana) yang
didakwakan telah disebut. Kebiasaan penuntut umum menguraikan panjang lebar
tentang latar belakang delik itu tidak perlu sama sekali. Bahkan dengan berbuat
demikian, ia membuka arena lebih luas lagi, yaitu ia harus membuktikan pula halhal yang ditambahkan itu.
Ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak menyebutkan
pengertian surat dakwaan. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana hanya
menyebutkan cara dan isi dari surat dakwaan seperti dirumuskan dalam Pasal 143
ayat(2), yakni: Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditanda tangani serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
Jika memperhatikan Pasal 143 ayat(2) huruf a, b KUHAP tersebut diatas dapat
diketahui bahwa isi surat dakwaan itu dapat digolongkan menjadi 2(dua) bagian.
Pertama: berkaitan dengan identitas terdakwa. Kedua: berkaitan dengan uraian
mengenai tindak pidana. Berkaitan itu pula surat dakwaan harus memenuhi 2(dua)
syarat yakni: syarat formil dan syarat materil, yang dimaksud dengan syarat formil
adalah hal-hal yang berkaitan dengan identitas terdakwa, meliputi nama lengkap,
tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan. Tidak terpenuhinya syarat ini berakibatkan surat dakwaan itu
cacat hukum(abscur libelle)(Pasal 143 ayat(2) huruf a KUHAP).
Adapun yang dimaksud dengan syarat materil adalah hal-hal yang berkaitan
dengan uraian-uraian yang lengkap dan cermat tentang perbuatan pidana serta
uraian mengenai tempat dan waktu dilakukannya perbuatan pidana, tidak
terpenuhinya syarat ini berarti surat dakwaan itu batal demi hukum(Pasal 143
ayat(3) KUHAP).
Moeljatno menyarankan agar pembuatan surat dakwaan itu berisikan dua hal
sebagaimana juga yang berlaku di Negara-Negara Anglo Saxon, yaitu:4
a. Particulare of offence, yaitu lukisan atau uraian tentang perbuatan terdakwa
dengan kata-kata yang mudah di mengerti.
b. Statement of offence, yaitu pernyataan tentang aturan-aturan atau pasal-pasal
yang dilanggar terdakwa
Dakwaan harus memuat semua unsur syarat-syarat materil ini, tetapi bagaimana
cara menguraikannya dalam dakwaan tidak dijelaskan, hanya ditentukan dakwaan
harus berisi waktu dan tempat terjadinya tindak pidana serta perbuatan yang
dilakukan terdakwa, apa yang di maksud dengan perbuatan tidak dijelaskan sama
sekali, dalam ketentuan baru (KUHAP) surat dakwaan selain harus berisi waktu dan
tempat terjadinya pidana, juga harus di masukkan uraian secara lengkap, cermat dan
jelas mengenai tindak pidana yang didakwakan.
Pentingnya waktu dan tempat di masukkan kedalam dakwaan untuk mengetahui
Pengadilan Negeri mana yang berwenang mengadili dan untuk menjaga jangan
sampai terdakwa akan mengelak dakwaan bahwa ia pada waktu kejadian berada
ditempat lain (alibi), alibi ini jika dapat dibuktikan terdakwa mengakibatkan surat
dakwaan tidak dapat diterima.
Moeljatno, dalam Muhammad, Rusli, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Cetakan Pertama,
(Bandung: Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, 2007 ), hlm.84
Literature hukum acara pidana pada umumnya dan literatur yang membahas
surat dakwaan khususnya, bahwa yang menjadi penekanan dalam penguraian
syarat-syarat surat dakwaan ialah pada syarat materil, karena tidak terpenuhinya
syarat materil tersebut menyebabkan dakwaan batal demi hukum. Namun demikian,
bukanlah syarat formil itu tidak lah begitu penting untuk diperhatikan dalam
merumuskan dakwaan, karena kesalahan atau kekeliruan yang menyangkut syarat
formil pun dapat menyebabkan hal yang fatal. Umpamanya saja dapat kita
bayangkan apa akibatnya bila terjadi kekeliruan mengenai orang(error in persona)
yang diajukan sebagai terdakwa. Dalam kasus demikian, tentunya kepada orang
yang secara keliru telah diajukan sebagai terdakwa tersebut tidak dapat
dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang didakwakan terhadapnya, dengan
demikian, ia akan dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.2642 K/Pid/2006, tertanggal
26 September 2007 tentang Mengerjakan dan Menggunakan Kawasan Hutan Secara
Tidak Sah Yang Dilakukan Secara Bersama-sama dan Dalam Bentuk Sebagai
Perbuatan Berlanjut, pada putusan mahkamah agung tersebut diatas, Jaksa Penuntut
Umum dalam surat dakwaannya pada dakwaan Pertama dan Dakwaan Kedua
meletakkan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, dalam hal ini terdakwa hanya
sebagai Direktur Utama PT.TORGANDA, serta terdakwa hanya memiliki status
sebagai Wiraswasta ( Direktur PT.TORGANDA dan PT.TORUS GANDA) dan
bukan sebagai Pejabat Negara, sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 1 ayat(2)
huruf a,b,c,d,e dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jadi secara hukum Darianus Lungguk
Sitorus, dalam hal dakwaan Pertama dan Kedua Jaksa Penuntut Umum yang
mendakwa terdakwa dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi sama sekali
tidak terdapat unsur-unsur yang mengarah kepada Tindak Pidana Korupsi.
a. Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan perumusan surat dakwaan terhadap
terdakwa Darianus Lungguk Sitorus seharusnya tidak terlalu cepat melakukan
suatu perumusan surat dakwaan. Jika perbuatan terdakwa mengarah kepada
perbuatan tindak pidana korupsi serta pengrusakan lingkungan hidup dalam hal
ini kawasan hutan, jadi Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan surat
dakwaannya dengan menggunakan bentuk dakwaan subsidairitas. Sebab
dampak negatif dari perbuatan yang dilakukan terdakwa berindikasi dapat di
jerat dengan lebih dari 1(satu) Undang-undang, sehingga Jaksa Penuntut Umum
tidak mengalami kebinggungan serta kegagalan dalam menyusun serta menjerat
terdakwa atas perbuatan yang telah dilakukan terdakwa, kalau Jaksa Penuntut
Umum menggunakan bentuk surat dakwaan campuran , maka dalam hal ini,
Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan satu persatu dari rumusan perbuatan
tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa, akan tetapi prakteknya Jaksa
Penuntut Umum pada saat mendakwa terdakwa dengan menggunakan dakwaan
dalam bentuk Campuran/gabungan jarang sekali menjelaskan secara lengkap
dari masing-masing pasal yang tertera didalam surat dakwaan tersebut.
Tindak pidana korupsi sebagaimana yang dituduh dalam surat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur dari delik tindak pidana
korupsi. Jaksa Penuntut Umum dalam membuat identitas terdakwa pada dakwaan
pertama adalah tidak jelas, didalam dakwaan tersebut apakah Saudara terdakwa
sebagai pelaku tindak pidana atau perusahaan tersebut yang telah melakukan suatu
tindak pidana(dalam hal ini menyangkut mengenai syarat formil dari suatu surat
dakwaan), dalam hal ini, jaksa penuntut umum dalam merumuskan syarat formil
dari suatu surat dakwaan tersebut kabur sebagaimana telah di sebutkan dalam Pasal
143 ayat 2 huruf a KUHAP, serta kalau saudara Jaksa Penuntut Umum dalam
dakwaannya tersebut mengarah kepada perusahaannya, sehingga Jaksa Penuntut
Umum dalam membuat surat dakwaan harus disusun secara cermat terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Tindak pidana korporasi tersebut
terdapat satu tindak pidana dengan lebih dari satu pelaku, pelakunya dalam hal ini
adalah personel yang menjadi Directing Mind korporasi dan korporasi itu sendiri.
Sehubungan dengan adanya lebih dari satu pelaku maka timbul permasalahan
hukum sebagai berikut: apakah penuntutan dalam personel korporasi yang
merupakan pelaku tindak pidana dan penuntutan terhadap korporasi harus dibuat
dalam satu surat dakwaan, atau kah boleh bahkan harus, dilakukan dalam dua surat
dakwaan yang berbeda? dan atau apabila surat dakwaan boleh(atau harus) dibuat
dalam dua surat dakwaan, apakah pemeriksaannya di muka pengadilan boleh(harus)
dilakukan sebagai dua perkara yang terpisah?
Masalah tersebut diatas muncul beberapa pendapat bahwa surat dakwaan cukup
dibuat satu saja, pendapat tersebut didasarkan atas dua pertimbangan. Pertimbangan
yang pertama adalah pada tindak pidana korporasi, pertanggung jawaban pidana
korporasi merupakan akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh Directing Mind
korporasi. Tanpa ada manusia yang menjadi pelaku tindak pidana, maka tidak akan
ada pertanggung jawaban pidana korporasi. Dengan demikian, pada pertanggung
Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Studi Putusan Mahkamah
Agung No.2642 K/Pid/2006), antara lain:
1. Bagaimanakah penyusunan surat dakwaan tindak pidana korupsi yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum menurut KUHAP?
2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap putusan hakim Mahkamah Agung
No.2642 K/Pid/2006 bila mana didalam putusan Mahkamah Agung tersebut
terdapat surat dakwaan tindak pidana korupsi yang diajukan Jaksa Penuntut
Umum tidak memenuhi syarat materil dari suatu surat dakwaan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan
beberapa tujuan dari peneltian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perumusan serta syarat-syarat surat dakwaan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum
2. Untuk mengetahui akibat hukum yang muncul dari putusan hakim Mahkamah
No.2642 K/Pid/2006, apabila didalam putusan hakim Mahkamah Agung
tersebut terdapat surat dakwaan tindak pidana korupsi yang diajukan Jaksa
Penuntut Umum sama sekali tidak memenuhi syarat materil dari suatu surat
dakwaan berdasarkan Pasal 143 ayat(2) huruf b KUHAP
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Secara Teoritis, penelitian ini di harapkan agar dapat memberikan suatu manfaat
dalam bentuk sumbangan pemikiran serta juga dalam bentuk saran demi
kemajuan perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang ilmu
hukum pidana pada khususnya yang berhubungan dengan Perumusan Surat
Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum.
2. Secara Praktek, sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik itu
para praktisi, serta akademisi dan juga para aparat penegak hukum khususnya
para aparat kejaksaan yang secara langsung memegang jabatan sebagai Jaksa
Penuntut Umum serta yang mempunyai tugas dalam melakukan perumusan
surat dakwaan dengan benar serta mekanisme penyusunannya tersebut sesuai
dengan hukum acara pidana yang berlaku dalam hal perumusan/ pembuatan
surat dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara
tindak pidana tertentu.
E. KEASLIAN PENELITIAN
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di
kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pasca Sarjana,
maka penelitian dengan judul Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana
Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Studi Putusan Mahkamah Agung No.2642
K/Pid/2006), belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya, dengan
demikian, penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung
jawabkan keaslian dari segi isinya.
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: Penerbit CV.Mandar Maju,
1999), hlm.8
R.Achmad, mengatakan: Surat tuduhan adalah suatu surat atau akte yang
memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan yang sementara dapat
disimpulkan dari surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar dari hakim
untuk melakukan pemeriksaan yang bila ternyata cukup bukti dapat dijatuhkan
hukuman.6
R.Wirjono Prodjodikoro, mengatakan sebagai berikut:Surat tuduhan adalah
dasar dari pemeriksaan perkara selanjutnya, kalau yang disebutkan dalam surat
tuduhan itu tidak terbukti atau tidak merupakan kejahatan atau pelanggaran maka
terdakwa harus dibebaskan dari tuduhan.7
Didalam hukum acara pidana juga mengatur tentang mekanisme penyusunan
dan atau pembuatan surat dakwaan, sebelum melangkah kepada mekanisme
penyusunan surat dakwaan, maka terlebih dahulu harus mengetahui defenisi tentang
surat dakwaan tersebut, ada pun defenisi tentang surat dakwaan dari para ahli ilmu
hukum, antara lain:8
1. A.Karim Nasution, menyatakan sebagai berikut tuduhan adalah suatu surat atau
akte yang memuat suatu perumusan dari suatu tindak pidana yang dituduhkan
yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang
merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila ternyata
cukup terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman.
Soemadi Pradja, R.Achmad.S, Surat Dakwaan, (Bandung: Penerbit Sinar Bandung, 1985),
hlm.33
7
Prodjodikoro, R.Wirjono, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur, 2000),
hlm.71
8
M.Husein, Harun, Surat Dakwaan Tehnik Penyusunan, Fungsi, Dan Permasalahannya,
(Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1994), hlm 44-45.
2. Yahya Harahap, menyatakan bahwa pada umumnya surat dakwaan diartikan oleh
para ahli ilmu hukum berupa pengertian: surat/akte yang memuat perumusan
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, perumusan mana ditarik dan
disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan rumusan
pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan pada terdakwa, dan surat
dakwaan tersebutlah yang menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang
pengadilan.
3. A.Soetomo, merumuskan surat dakwaan sebagai berikut, surat dakwaan adalah
surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada
waktu melimpahkan berkas perkara kepengadilan yang memuat nama dan
identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana perbuatan dilakukan serta
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang
didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasalpasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan
dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan
apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul
terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggung jawabkan untuk perbuatan
tersebut.
Djoko Prakoso, mengatakan: Bahwa salah satu asas yang paling fundamental
dalam proses pidana adalah keharusan pembuatan surat dakwaan, ia menentukan
batas-batas pemeriksaan dan penilaian hakim, ia memuat fakta-fakta yang
didakwakan terhadap seorang terdakwa, dan hakim hanya boleh memutuskan atas
dasar fakta-fakta tersebut, tidak boleh kurang atau lebih sehingga oleh sebab itulah
surat dakwaan di pandang sebagai suatu yang penting.9
Adanya beberapa pengertian dari surat dakwaan yang diberikan para sarjana
diatas sudah barang tentu sedikit akan memberikan gambaran yang jelas bagi kita
tentang surat dakwaan itu, karena seperti diketahui Undang-Undang No.08 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak ada memberikan defenisi yang jelas dari
surat dakwaan itu, melainkan hanya mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi
dan hal-hal lain yang berhubungan dengan surat dakwaan itu sendiri.
Penuntut umum telah menentukan bahwa dari hasil pemeriksaan penyidikan
dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
Adapun setiap penuntut umum melimpahkan perkara kepengadilan selalu disertai
dengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim di
pengadilan.
Gambaran betapa pentingnya untuk memperhatikan kecermatan dalam
merumuskan syarat formil maupun syarat materil dalam surat dakwaan, di bawah
ini beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menyangkut hal
tersebut, antara lain:
Prakoso, Djoko, Tugas dan Peran Jaksa Dalam Pembangunan, (Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 1981), hlm.4
pembatalan
dakwaan
adalah
karena
dakwaan
Obscuur
sangat sulit untuk memahami dalam tindak pidana mana para terdakwa
dikumulasikan dan dalam tindak pidana pula mereka berdiri sendiri.
Putusan Mahkamah Agung RI No.808/K/Pid/ 1984 tertanggal 6 Juni 1985 yang
menyatakan: Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus
dinyatakan batal demi hukum
Proses penyusunan surat dakwaan tindak pidana korupsi tersebut diarahkan
kepada beberapa teori tujuan hukum yaitu Teori Utilitas dari Bentham, yaitu hukum
bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang, maka menurut
pendapat ini tujuan hukum dirumuskan sebagai berikut: hukum bertujuan menjamin
adanya bahagia sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya10
Aristoteles, dalam teorinya Tujuan Hukum menghendaki keadilan semata-mata
dan isi dari pada hokum ditentukan oleh kesadaran etis apa yang dikatakan adil dan
apa yang tidak adil11
Teori-teori tersebut diatas ditujukan kepada Jaksa Penuntut Umum, agar jaksa
dalam menerapkan hukum atau peraturan kepada seseorang sesuai dengan apa yang
telah dilakukan oleh terdakwa dan adil sehingga dengan penerapan hukum yang
dilakukan oleh Jaksa tersebut dapat membawa faedah dan/atau bermanfaat serta adil
kepada terdakwa.
Undang-Undang No.08 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bentuk surat dakwaan
selain ketentuan tersebut hanya mengatur syarat-syarat pembuatan surat dakwaan.
10
E.Utrecht, Saleh Djindang, Moh, Pengantar Dalanm Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas,
(Jakarta: Penerbit PT.Ichtiar Baru, 1983), hal. 12
11
Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, edisi pertama, Cetakan ke-empat, (Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika, 2001), hal. 58
Bentuk surat dakwaan adalah penting bagi penuntut umum dalam rangka
menyusun strategi penuntutan untuk menghadapi banyak ragamnya kejahatan yang
terjadi, dalam praktek peradilan bentuk surat dakwaan sebagai berikut:12
1. Surat dakwaan berbentuk tunggal
2. Surat dakwaan berbentuk berlapis
3. Surat dakwaan berbentuk alternatif
4. Surat dakwaan berbentuk kumulatif
5. Surat dakwaan berbentuk gabungan(Kombinasi)
6. Surat dakwaan atas tindak pidana yang terdapat perbedaan wewenang yang
menyidik
7. Surat dakwaan atas suatu perkara yang terdapat dua tindak pidana yang berbeda
kekuasaan mengadili.
Selain itu, didalam literatur yang berbeda terdapat pembagian bentuk surat
dakwaan yang berbeda dari literatur yang lainnya, melakukan perumusan surat
dakwaan.
12
RM, Suharto, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1994),
hal. 67
Tujuan yang hendak dicapai bentuk surat dakwaan alternatif, pada dasarnya
bertitik tolak dari pemikiran atau perkiraan:13
a. Untuk menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari pertanggung jawaban
hukum pidana.
b. Memberikan pilihan kepada hakim menerapkan hukum yang lebih tepat
Ad.3 Surat Dakwaan Subsidair.
Surat dakwaan ini disusun untuk menuntut perkara pidana lebih dari satu
dakwaan yang disusun dengan mempertimbangkan bobot pidana, pidana yang berat
ditempatkan pada deretan pertama, yang disebut dakwaan primer, kemudian yang
disusul dengan dakwaan dengan bobot pidana yang lebih ringan sebagai dakwaan
subsider. Mungkin masih ada lagi bobot pidana yang lebih ringan, diurutkan lagi
dengan urutan ketiga dengan dakwaan lebih subsider.
Ciri utama dari dakwaan ini adalah disusun secara berlapis-lapis yaitu di mulai
dari dakwaan terberat sampai yang ringan, berupa susunan secara primer, subsider,
lebih subsider, lebih-lebih subsider dan seterusnya atau dapat pula disusun dengan
istilah terutama, penggantinya, penggantinya lagi dan seterusnya.
13
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Cetakan Ke-8, Edisi
Ke-2, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2006), hal. 400-401
Hamid, Hamrat, M.Husein, Harun, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan dan
Eksekusi, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, (Jakarta: Penerbit:Sinar Grafika, 1992), hal. 25
menentukan
adanya
perbuatan
pidana
tidak
boleh
digunakan
analogi(kias)
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Berbagai defenisi sebagaimana diuraikan diatas, kelihatannya berbeda satu sama
lain, namun demikian bila diteliti dengan seksama maka dalam perbedaan tersebut
terkandung persamaan pula pada intinya.
inti persamaan tersebut berkisar pada hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa surat dakwaan merupakan suatu akte.
b. Bahwa setiap defenisi surat dakwaan tersebut selalu mengandung elemen yang
sama yaitu adanya perumusan tentang tindak pidana yang didakwakan beserta
waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana.
c. Bahwa dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa,
haruslah dilakukan secara cermat, jelas dan lengkap, sebagaimana diisyaratkan
dalam ketentuan perUndang-undangan.
15
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2008),
hal. 27
16
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Penerbit CV.Sapta Artha Jaya,
1996), hal. 15
17
A.Z.Abidin Farid, dalam bukunya Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:
Penerbit CV.Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 15
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung: Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 102-103.
2. Kerangka Konsepsi
a. Analisis hukum adalah: kegiatan penelaahan dan interpretasi atas fakta-fakta
hukum yang telah dikemukakan19
b.
c. Jaksa adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.21
d. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.22
e. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undangundang ini.23
19
f. Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undangundang untuk mengadili.24
g. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.25
24
G. Metode Penelitian.
1.
Spesifikasi Penelitian.
Penelitian adalah terjemahan dari bahasa Inggris: Research yang berarti usaha
atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu
dan dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan,
sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.26
Metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali
pemecahan terhadap segala permasalahan. Didalam penelitian dikenal adanya
beberapa macam teori untuk menerapkan salah satu metode yang relevan terhadap
permasalahan tertentu.
Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang di hadapi.27
Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran
dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian
sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam peneltian.
26
Subagyo, P.Joko, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Cetakan ke-5, (Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta, 2006), hal. 2
27
Sahrin, Alvi, Bahan Mata Kuliah Metodologi Penelitian Hukum Pasca Sarjana Hukum USU
Dilihat dari sifatnya, didalam uraian mengenai besar ilmu hukum, titik-tolak
yang dipergunakan adalah disiplin hukum. Disiplin merupakan suatu sistem ajaran
tentang kenyataan, yang biasanya mencakup disiplin analitis dan disiplin
preskriptif. Disiplin hukum lazimnya digolongkan kedalam disiplin preskriptif.
Hal itu disebabkan, oleh karena dalam pandangan tersebut titik-tolak diambil
dari pendapat bahwa hukum hanya mencakup segi normatif belaka.28
Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan
kasus(Case Approach), yang didasarkan pada pertimbangan bahwa, dalam
menggunakan pendekatan kasus(Case Approach), yang perlu dipahami adalah Ratio
Decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai
pada putusannya.29
28
Soekanto, Soerjono, Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Penerbit PT.Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 2
29
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ke-4, (Jakarta: Penerbit
Kencana, 2008), hal. 119
Menurut
Goodheart,
Ratio
Decidendi
dapat
diketemukan
dengan
memperhatikan fakta materil, fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan
segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materil
tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan
hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut, Ratio Decidendi
inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat
Preskriptif, bukan deskriptif, sedangkan diktum yaitu putusannya merupakan
sesuatu yang bersifat deskriptif.30 Oleh karena itulah pendekatan kasus(Case
Approach) bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan
merujuk kepada Ratio Decidendi terhadap Analisis Hukum Terhadap Dakwaan
Jaksa Penuntut Umum Telaah Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006
tertanggal 26 September 2007 tentang Mengerjakan dan Menggunakan Kawasan
Hutan Secara Tidak Sah Yang Dilakukan Secara Bersama-sama Dan Dalam Bentuk
Sebagai Perbuatan Berlanjut
2. Sumber-Sunber Bahan Hukum
Penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk memecahkan isu hukum
dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan
sumber-sumber penelitian.
30
Goodheart, dalam bukunya Mahmud Marzuki, Peter, Peneltian Hukum, Edisi Pertama,
Cetakan ke-4, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2008), hal. 119