Anda di halaman 1dari 28

DRAFT 1

LAPORAN PRAKTIKUM

SATUAN OPERASI PANGAN 1


TRANSFER MASSA UAP AIR SELAMA PENGERINGAN

KELOMPOK 11
NUR AINI FAUZIYAH H0915058
RAMAH SUGIHATI

H0915064

RAUDA ALFADILA

H0915065

RONALDI SETIAWAN

H0915071

SALWA AL ARIBAH

H0915075

SUCI INDAH PRATIWI

H0915079

PROGRAM SARJANA ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016

ACARA III
TRANSFER MASSA UAP AIR SELAMA PENGERINGAN

89

A. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara III Transfer Massa Uap Air Selama
Pengeringan ini adalah untuk mengetahui laju transfer massa uap air selama
pengeringan dan mengetahui faktor pengeringan.
B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Bahan
Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan
salah satu sumber karbohidrat lokal Indonesia yang menduduki urutan
ketiga setelah padi dan jagung. Tanaman ini merupakan bahan baku paling
potensial untuk pembuatan tepung (Askurrahman, 2010). Bentuk dan
ukuran ubi sangat beragam, ada yng ramping memanjang ada pula yang
memanjang taoi bundar. Ubi kayu berfungsi untuk menyimpan karbohidrat
dan pati. Bagian luar ubi berupa kulit yang cukup tebal (10-20 % dari tebal
total singkong), kemudian kulit gabus (0,5-2 % dari total berat ubi), dan
bagian dalam merupakan daging ubi (80 % dari total berat ubi). Singkong
segar (daging ubi) mempunyai komponen kimiawi terdiri dari kadar air
sekitar 60-65 %, pati 30-35 %, serat kasar 1-2 %, kadar protein 1-2 %,
kadar lemak 0,2-0,4 %, dan mineral 1-1,5 % (Islami, 2015). Singkong
segar mengandung senyawa glokosida sianogenik dan bila terjadi proses
oksidasi oleh enzim linamarase maka akan dihasilkan glukosa dan asam
sianida (HCN) lebih dari 50 ppm. Ubi kayu segar juga mengandung
senyawa polifenol dan bila terjadi oksidasi akan menyebabkan warna
coklat oleh enzim fenolase ( Kurniawati, 2012).

Ubi kayu singkong

memiliki kadar air sekitar 60-70 %, namun setelah dikeringkan kadar air
ubi kayu menjadi 10-12 % (Nugroho, 2012).
2. Tinjauan Teori

Pengeringan adalah suatu metode untuk menghilangkan sebagian


air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan
menggunakan energi panas (Rohanah, 2005). Pengeringan merupakan
proses perpindahan massa air dari bahan yang dikeringkan ke media
pengering. Transfer massa ini ditandai dengan pengurangan massa bahan
dan perubahan bentuk fisiknya. Proses perpindahan panas ini dipengaruhi
oleh transfer panas dan transfer momentum. Transfer panas dipengaruhi
oleh

perubahan

suhu

pengering

sedangkan

transfer

momentum

dipengaruhi oleh perubahan laju alir udara pengering (Dwika, 2012).


Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan
yang memerlukan panas untuk menguapkan air dari permukaan bahan
tanpa mengubah sifat kimia dari bahan (Purba, 2013). Tujuan utama dari
pengeringan produk pertanian adalah untuk pengurangan kadar air
sehingga memiliki daya simpan yang panjang (Bolaji, 2011).
Mekanisme pengeringan yaitu semakin tinggi suhu pengeringan
semakin berkurang kadar air dalam bahan. Hal ini disebabkan karena
energi panas dalam dalam udara pengering mampu menguapkan molekulmolekul air yang ada pada permukaan sehingga meningkatkan tekanan uap
air dalam bahan karena kelembaban udara disekeliling bahan menurun.
Peningkatan tekanan uap air ini menyebabkan terjadinya aliran uap air dari
dalam bahan ke udara sehingga meningkatkan kecepatan penguapan
bahan. Tekanan uap air bahan yang lebih besar daripada tekanan uap air
udara menyebabkan proses perpindahan massa air dalam bahan ke udara.
Semakin tinggi suhu udara pengering, semakin besar perbedaan suhu
pemanas dengan bahan maka makin cepat terjadinya transfer panas
sehingga semakin banyak air yang teruapkan dan kecepatan pengering
semakin cepat. Semakin tinggi suhu udara pengering maka semakin besar
energi panas yang dibawa ke udara sehingga makin cepat transfer massa
yang terjadi (Dwika, 2012). Dasar dari proses pengeringan adalah
terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air
antara udara dan bahan yang dikeringkan. Laju pemindahan kandungan air

dari bahan akan mengakibatkan berkurangnya kadar air dalam bahan


(Purba, 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan yaitu ukuran bahan,
suhu, kecepatan udara, dan kelembaban udara. Ukuran bahan yang diiris
atau dipotong dapat mempercepat pengeringan. Hal tersebut karena
pemotongan atau pengirisan bahan akan memperluas permukaan bahan,
dan permukaan yang luas dapat memberikan lebih banyak permukaan
yang dapat berhubungan dengan medium pemanasan serta lebih banyak air
yang keluar. Potongan kecil atau lapisan yang tipis mengurangi jarak
dimana panas harus bergerak sampai bahan pangan dan mengurangi jarak
melalui massa air dari pusat bahan harus keluar ke permukaan bahan,
kemudian keluar dari bahan (Muchtadi, 2008).
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan
bahan pangan, semakin cepat pemindahan panas kedalam bahan dan
semakin cepat pula penghilangan air dari bahan. Kecepatan udara juga
mempengaruhi pengeringan karena tidak hanya udara yang dipanskan
yang dapat mengambil lebih banyak uap air daripada udara dingin, tetapi
udara yang bergerak akan lebih efektif. Udara yang bergerak yaitu udara
yang mempunyai kecepatan gerak yang tinggi selain dapat mengambil uap
air, juga akan menghilangkan air dari permukaan bahan, sehingga akan
mencegah

terjadinya

atmosfir

jenuh

yang

akan

memperlambat

penghilangan air. Kelembaban udara menunjukkan seberapa banyak kadar


air yang dikeringkan. Tiap bahan pangan mempunyai keseimbangan
kelembaban nisbi masing-masing yaitu kelembaban pada suhu tertentu
dimana bahan pangan tidak akan kehilangan kadar air (pindah) ke atmosfir
atau tidak akan mengambil uap air dari atmosfer (Muchtadi, 2008).
Selain itu waktu juga mempengaruhi pengeringan yaitu semakin
lama waktu pengeringan maka kadar air dalam bahan semakin berkurang,
namun dengan kecepatan penurunan kadar air makin melambat. Jika suhu
pengeringan semakin tinggi maka waktu yang diperlukan bahan untuk
mengering semakin cepat (Fadilah, dkk, 2010). Pengeringan dipengaruhi
oleh panas dan perpindahan massa antara pengeringan aliran udara dan

produk, serta proses transportasi kelembaban kompleks yang berlangsung


di produk (Haghi, 2008). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk
memperoleh kecepatan pengeringan yang maksium yaitu Luas permukaan
bahan, suhu, kecepatan udara, kelebaban udara (RH), Tekanan atmosfir
dan vakum dan waktu (Purba, 2013).
Proses pengeringan dibagi menjadi pengeringan primer dan
pengeringan sekunder. Selama pengeringan primer atau sublimasi
pengeringan, bahan dipanaskan pada suhu relatif rendah untuk
menyublimasi air bebas menjadi uap. Pengeringan sekunder atau desorpsi
pengeringan, bertujuan menghilangkan sebagian air (Li Hua dkk., 2013).
Pengeringan pangan digunakan sebagai metode pengawetan. Pangan
kering dapat disimpan dalam waktu yang lama dan tidak mengalami
pembusukkan. Hal tersebut karena jasad renik yang dapat membusukkan
dan memecahkan pangan tidak dapat dan sulit tumbuh karena ketiadaan
air, selain itu enzim yang dapat menyebabkan perubahan kimia tidak dapat
berfungsi karena tidak adanya air. Ada tiga jenis pengeringan yaitu
pengeringan udara dan pengeringan dibawa tekanan atmosfir, pengeringan
hampa udara dan pengeringan beku (Earle, 1969).
Kerugian dati pengeringan yaitu sifat asal dari bahan yang
dikeringkan dapat berubah, selain itu beberapa bahan kering perlu
pekerjaan tambahan sebelum digunakan misalnya harus dibasahkan
kembali. Keuntungan dari pengeringan yaitu bahan menjadi lebih awet
denga volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan
menghemat ruang pengepakan, serta mempermudah dalam pengangkutan
(Winarno, 1984). Proses pengeringan dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme, untuk mempertahankan mutu produk terhadap perubahan
fisik dan kimiawi yang ditentukan oleh perubahan kadar air serta
memperpanjang umur simpan dan memperbaiki kegagalan produk
(Napitupulu, dkk, 2012).
Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan suatu alat
pengeringan (artificial drier) atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu
pengeringan dengan menggunakan energi matahari. Pengeringan buatan

memiliki keuntungan yaitu suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga
waktu pengeringan dapat ditentukan dengan tepat (Winarno, 1984). Salah
satu metode yang dapat digunakan untuk pengeringan yaitu Pengeringan
Cabinet (cabinet drying). Metode ini menggunakan alat pengering untuk
sistem batch dengan proses pengeringan dilakukan pada suhu yang
konstan. Pada alat ini kelembaban udara dapat mengalami peurunan. Alat
ini terdiri dari ruang tertutup dengan alat pemanas, kipas untuk sirkulasi
udara, dan alat pengatur kecepatan udara, serta inlet dan outlet udara. Alat
pengeringan ini biasanya digunakan untuk pengembangan produk baru
sebelum diproduksi skala besar (Estiasih, 2009).
Alat pengering lemari (cabinet dryer) bentuknya seperti sebuah
ruangan yang dibatasi oleh sekat-sekat. Dimana diletakkan baki atau
nampan tempat pengeringan. Pada pengering ukuran besar baki-baki dapat
diganti dengan lori yang dipakai untuk menempatkan baki-baki tersebut.
Hal ini terutama untuk memudahkan penanganan. Apabila pengering
berukuran kecil , baki-baki ditempatkan permanen. Dengan kipas udara
dihembuskan melalui pemanas (biasanya berupa kumparan). Udara yang
telah dipanasi ini, akan melalui baki-baki yang berisi bahan yang
dikeringkan diatasnya. Alat ini biasanya digunakan untuk penelitian di
laboratorium (Departemen Pendidikan, 1981).
Cabinet dryer adalah terdiri dari satu ruang atau cabinet yang di
dalamnya tersusun atas rak - rak yang digunakan untuk tempat meletakkan
bahan yang akan dikeringkan. Alat ini dilengkapi dengan fan atau pemanas
uap (steamheater). Bahan yang akan dikeringkan, diletakkan diatas rak-rak
yang dapat diambil dan dipasang kembali. Udara pengering disirkulasikan
dan mengalir paralel atau sejajar dengan permukaan rak. Pada cabinet
dryer, pemanasan dilakukan secara konveksi dan konduksi. Secara
konveksi, digunakan aliran udara kering secara alami. Secara konduksi,
digunakan sejumlah tray secara bertingkat (Napitupulu dkk, 2012).
Kelemahan cabinet dryer adalah kurangnya pengontrolan aliran
udara yang bergerak sehingga bila aliran udara terlalu kencang,
menyebabkan aliran turbulen dalam chamber, yang menghambat

pengeringan produk bahan pangan. Produk yang sesuai dikeringkan


dengan alat ini adalah produk yang memiliki keseragaman yang tinggi,
misalnya biji cokelat dan apel. Kelebihannya adalah harga murah, terlalu
tinggi. Komponen cabinet dryer adalah tray, heater dan fan. Tray
disesuaikan dengan kapasitas jumlah, berat dan ukuran produk pangan.
Tray berfungsi sebagai wadah biji dalam proses pengeringan, yang disusun
bertingkat. Sedangkan heater berfungsi sebagai pemanas udara yang
nantinya udara panas dari heater tersebut yang akan digunakan dalam
pengeringan (Napitupulu dkk, 2012).
Aplikasi dari praktikum Satuan Operasi Industri Pangan Acara III
Transfer Massa Uap Air Selama Pengeringan dalam industri pangan
seperti inovasi untuk menciptakan alat pengering kerupuk sebagai pengganti
pengeringan secara konvensional (Syafriyudin, 2009), proses pengeringan
banyak digunakan pada pengeringan bahan pertanian seperti buah buahan
dan sayuran untuk pengawetan makanan, mengurangi berat dan volume,
menekan biaya pengangkutan dan penyimpanan produk, serta menghasilkan
produk siap saji (Departemen Pendidikan, 1981). Pada pembuatan Mocaf
(Modified Cassava Flour) (Kurniawati, 2012). Selain itu pada pengeringan
kakao (Napitupulu, dkk, 2012).
Ubi Kayu

C. Metodologi Percobaan
a. Alat
1. Pisau
Pengupasan ubi kayu
2. Pemarut
3. Pemotong
4. Timbangan
5. Pengering
(Cabinet
Dryer) 5 bagian. Bagian 1,2 diparut, bagian 3,4,5 dipo
Penimbangan masing-masing
500 gram
sebanyak
b. Bahan
1. Ubi kayu (rajang dan parut)
c. Cara Kerja
Penghamparan diatas rak pengering

Pengeringan dalam cabinet dryer pada suhu 700C selama 2 jam

Penimbangan bahan setiap 30 menit

Penentuan laju massa transfer uap air selama pengeringan

D. Hasil dan Pembahasan


Tabel 3.1 Massa Ubi Kayu Rajang dan Parut Selama Pengeringan Per 30
Menit
Shift
1

Waktu
Pengeringan
(jam)
0,5
1
1.5
2

Massa Ubi Kayu Rajang


(gram)
12
470
440
390
320
5,6

13
470
410
360
260
7,8

14
470
400
290
230
9

Massa Ubi Kayu


Parut
(gram)
10
11
390
320
350
290
290
280
265
260
1,2
3,4

0,5
1
1,5
2

280
245
180
150

280
200
150
110

290
210
150
110

220
220
180
170

240
230
160
130

Sumber : Laporan Sementara


Pada praktikum acara III Pengeringan ini dilakukan dua perlakuan
pada ubi kayu yaitu dirajang tipis untuk perlakuan pertama dan diparut
untuk perlakuan kedua dengan massa masing-masing sampel sebanyak 500
gram untuk kelompok 10-14 dan 300 gram untuk kelompok 1-9, setelah itu
dilakukan pengeringan pada suhu 700C. Pada ubi kayu rajang kelompok 12,
13, dan 14 dengan lama pengeringan 0,5 jam diperoleh massa sebesar 470
gram, kelompok 5,6,7,8 sebesar 280 gram, kelompok 9 sebesar 290 gram.
Pada lama pengeringan 1 jam diperoleh massa masing-masing kelompok
yaitu kelompok 12 sebesar 440 gram, kelompok 13 sebesar 410 gram,
kelompok 14 sebesar 400 gram, kelompok 5,6 sebesar 245 gram, kelompok
7,8 sebesar 200 gram, kelompok 9 sebesar 210 gram. Pada lama
pengeringan 1,5 jam diperoleh massa masing-masing kelompok yaitu
kelompok 12 sebesar 390 gram, kelompok 13 sebesar 360 gram, kelompok
14 sebesar 290 gram, kelompok 5,6 sebesar 180 gram, kelompok 7,8,9
sebesar 150 gram. Pada lama pengeringan 2 jam diperoleh massa masingmasing kelompok yaitu kelompok 12 sebesar 320 gram, kelompok 13
sebesar 260 gram, kelompok 14 sebesar 230 gram, kelompok 5,6 sebesar
150 gram, kelompok 7,8,9 sebesar 110 gram.
Pada ubi kayu parut dengan lama pengeringan 0,5 jam diperoleh
massa masing-masing kelompok yaitu kelompok 10 sebesar 390 gram,
kelompok 11 sebesar 320 gram, kelompok 1,2 sebesar 220 gram, kelompok
3,4 sebesar 240 gram. Pada lama pengeringan 1 jam diperoleh massa
masing-masing kelompok yaitu kelompok 10 sebesar 350 gram, kelompok
11 sebesar 290 gram, kelompok 1,2 sebesar 220 gram, kelompok 3,4 sebesar
230 gram. Pada lama pengeringan 1,5 jam diperoleh massa masing-masing
kelompok yaitu kelompok 10 sebesar 290 gram, kelompok 11 sebesar 280
gram, kelompok 1,2 sebesar 180 gram, kelompok 3,4 sebesar 160 gram.
Pada lama pengeringan 2 jam diperoleh massa masing-masing kelompok

yaitu kelompok 10 sebesar 265 gram, kelompok 11 sebesar 260 gram,


kelompok 1,2 sebesar 170 gram, kelompok 3,4 sebesar 130 gram.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa massa ubi
kayu semakin kecil setelah pengeringan. Semakin lama waktu pengeringan
maka massa dari ubi kayu akan semakin berkurang. Hal tersebut sudah
sesuai teori. Berkurangnya massa dari ubi kayu disebabkan karena
hilangnya kadar air yang ada di dalam ubi. Pengeringan merupakan proses
perpindahan massa air dari bahan yang dikeringkan ke media pengering.
Transfer massa ini ditandai dengan pengurangan massa bahan dan
perubahan bentuk fisiknya (tekstur, warna, fasa) (Dwika, 2012).

Tabel 3.2 Laju Transfer Massa Uap Air Ubi Kayu Rajang dan Ubi Kayu
Parut
Shi
ft
1

Waktu
(jam)
0,5
1
1,5
2
Ratarata

2
0,5
1

Jumlah Air yang diuapkan


(gram)
Ubi Kayu
Ubi Kayu
Rajang
Parut
12
13
14
10
11
30
30
30
110
180
30
60
70
40
30
50
50 110
60
10
70 100 60
25
20
67,
45
60
58,75 60
5
5,6 7,8
9
1,2
3,4
20
20
10
80
60
35
80
80
80
10

Laju Transfer Massa Uap Air


(gram H2O / jam)
Ubi Kayu
Ubi Kayu
Rajang
Parut
12
13
14
10
11
60
60
60
220
360
60 120 140
80
60
100 100 220 120
20
140 200 120
50
40
117,
90 120 135
120
5
5,6 7,8
9
1,2
3,4
40
40
20
160
120
70 160 160 160
20

1,5
2
Ratarata

65
30
37,
5

50
40
47,
5

60
40
47,
5

120
130
102,5

70
30
42,
5

130
60

100
80

120
80

240
260

140
60

75

95

95

205

85

Sumber : Laporan Sementara


Pada praktikum acara III yaitu Transfer Massa Uap Air Selama
Pengeringan ini dapat diketahui jumlah air dalam ubi kayu yang diuapkan
dan laju transfer massa uap air. Jumlah air yang diuapkan dapat diketahui
dengan mengurangi massa awal yaitu untuk shift 1 sebesar 500 gram, shift 2
sebesar 300 gram, dengan massa setelah pengeringan selama 0,5 jam.
Kemudian mengurangi massa setelah pengeringan selama 0,5 jam dengan
massa setelah pengeringan selama 1 jam, begitupun seterusnya. Sedangkan
laju transfer massa uap air dapat diketahui dengan membagi jumlah air yang
diuapkan dengan waktu pengeringan yaitu 0,5 jam.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan diperoleh rata-rata jumlah air
yang diuapkan dan rata-rata laju transfer massa uap air pada dua perlakuan
ubi kayu yaitu dirajang dan diparut. Pada ubi kayu rajang diperoleh hasil
jumlah air yang diuapkan dan laju transfer massa uap air berturut-turut pada
masing-masing kelompok yaitu kelompok 12 sebesar 45 gram dan 90 gram
H2O/jam, kelompok 13 sebesar 60 gram dan 120 gram H 2O/jam, kelompok
14 sebesar 67,5 gram dan 135 gram H2O/jam, kelompok 5,6 sebesar 37,5
gram dan 75 gram H2O/jam, kelompok 7,8,9 sebesar 47,5 gram dan 95 gram
H2O/jam. Pada ubi kayu parut diperoleh hasil jumlah air yang diuapkan dan
laju transfer massa uap air berturut-turut pada masing-masing kelompok
yaitu kelompok 10 sebesar 58,75 gram dan 117,5 gram H 2O/jam, kelompok
11 sebesar 60 gram dan 120 gram H2O/jam, kelompok 1,2 sebesar 102,5
gram dan 205 gram H2O/jam, kelompok 3,4 sebesar 42,5 gram dan 85 gram
H2O/jam.
Dari data diatas dapat diketahui bahwa pada shift 1 yaitu kelompok
10-14 diketahui bahwa jumlah air yang diuapkan dan laju transfer massa
uap air yang paling besar adalah kelompok 14 yaitu ubi kayu rajang sebesar
67,5 gram dan 135 gram H2O/jam. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa ukuran bahan yang diiris atau dipotong dapat

mempercepat pengeringan. Hal tersebut karena pemotongan atau pengirisan


bahan akan memperluas permukaan bahan, dan permukaan yang luas dapat
memberikan lebih banyak permukaan yang dapat berhubungan dengan
medium pemanasan serta lebih banyak air yang keluar. Potongan kecil atau
lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana panas harus bergerak sampai
bahan pangan dan mengurangi jarak melalui massa air dari pusat bahan
harus keluar ke permukaan bahan, dan keluar dari bahan (Muchtadi, 2008).
Seharusnya jumlah air yang diuapkan paling besar adalah pada
kelompok 10 dan 11 yaitu ubi kayu parut. Ketidaksesuaian tersebut
dikarenakan beberapa hal yaitu kurang bersihnya praktikan dalam
mengambil ubi kayu yang telah di keringkan, sehingga masih banyak ubi
kayu yang menempel pada Tray, selain itu banyak ubi kayu yang terjatuh
saat akan ditimbang, dan letak Trau juga mempengaruhi jumlah air yang
diuapkan. Semakin bawah letak Tray, maka semakin tinggi pula suhu Tray
tersebut, sehingga semakin banyak pula jumlah air yang diuapkan.
Sedangkan untuk shift 2 yaitu kelompok 1-9 diketahui bahwa jumlah air
yang diuapkan dan laju transfer massa uap air yang paling besar adalah pada
kelompok 1,2 yaitu ubi parut sebesar 102,5 gram dan 205 gram H 2O/jam.
Hal tersebut sesuai dengan teori.
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air
tersebut dengan menggunakan energi panas (Rohanah, 2005). Pengeringan
merupakan proses perpindahan massa air dari bahan yang dikeringkan ke
media pengering (Dwika, 2012). Pengeringan adalah proses pemindahan
panas dan uap air secara simultan yang memerlukan panas untuk
menguapkan air dari permukaan bahan tanpa mengubah sifat kimia dari
bahan tersebut (Purba, 2013).
Mekanisme pengeringan yaitu semakin tinggi suhu pengeringan
semakin berkurang kadar air dalam bahan. Hal ini disebabkan karena energi
panas dalam dalam udara pengering mampu menguapan molekul-molekul
air yang ada pada permukaan sehingga meningkatkan tekanan uap air dalam
bahan karena kelembaban udara disekeliling bahan menurun. Peningkatan

tekanan uap air ini menyebabkan terjadinya aliran uap air dari dalam bahan
ke udara sehingga meningkatkan kecepatan penguapan bahan. Tekanan uap
air bahan yang lebih besar daripada tekanan uap air udara menyebabkan
proses perpindahan massa air dalam bahan ke udara. Semakin tinggi suhu
udara pengering, semakin besar perbedaan suhu pemanas dengan bahan
maka makin cepat terjadinya transfer panas sehingga semakin banyak air
yang teruapkan dan kecepatan pengering semakin cepat. Semakin tinggi
suhu udara pengering maka semakin besar energi panas yang dibawa ke
udara sehingga makin cepat transfer massa yang terjadi (Dwika, 2012).
Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara
karena perbedaan kandungan uap air antara udara dan bahan yang
dikeringkan.

Laju

pemindahan

kandungan

air

dari

bahan

akan

mengakibatkan berkurangnya kadar air dalam bahan (Purba, 2013).


Salah satu metode yang dapat digunakan untuk pengeringan yaitu
Pengeringan Cabinet (cabinet drying). Metode ini menggunakan alat
pengering untuk sistem batch dengan proses pengeringan dilakukan pada
suhu yang konstan. Pada alat ini kelembaban udara dapat mengalami
peurunan. Alat ini terdiri dari ruang tertutup dengan alat pemanas, kipas
untuk sirkulasi udara, dan alat pengatur kecepatan udara, serta inlet dan
outlet udara. Alat pengeringan ini biasanya digunakan untuk pengembangan
produk baru sebelum diproduksi skala besar (Estiasih, 2009).
Alat pengering lemari (cabinet dryer) bentuknya seperti sebuah
ruangan yang dibatasi oleh sekat-sekat. Dimana diletakkan baki atau
nampan tempat pengeringan. Pada pengering ukuran besar baki-baki dapat
diganti dengan lori yang dipakai untuk menempatkan baki-baki tersebut.
Hal ini terutama untuk memudahkan penanganan. Apabila pengering
berukuran kecil , baki-baki ditempatkan permanen.. Alat ini biasanya
digunakan untuk penelitian di laboratorium (Departemen Pendidikan, 1981).
Cabinet dryer terdiri dari satu ruang atau cabinet yang di dalamnya tersusun
atas rak - rak untuk meletakkan bahan yang akan dikeringkan. Alat ini
dilengkapi dengan pemanas uap (steamheater) (Napitupulu dkk, 2012).

Mekanisme cabinet dryer yaitu bahan yang akan dikeringkan,


diletakkan diatas rak-rak yang dapat diambil dan dipasang kembali. Udara
pengering disirkulasikan dan mengalir paralel atau sejajar dengan
permukaan rak. Pada cabinet dryer, pemanasan dilakukan secara konveksi
dan konduksi. Secara konveksi, digunakan aliran udara kering yang
mengalir secara alami. Secara konduksi, digunakan sejumlah tray secara
bertingkat (Napitupulu dkk, 2012). Dengan kipas udara dihembuskan
melalui pemanas (biasanya berupa kumparan). Udara yang telah dipanasi
ini, akan melalui baki-baki yang berisi bahan yang dikeringkan diatasnya
(Departemen Pendidikan, 1981).
Kelemahan cabinet dryer adalah kurangnya pengontrolan aliran
udara yang bergerak sehingga bila aliran udara terlalu kencang,
menyebabkan

aliran

turbulen

dalam

chamber,

yang

menghambat

pengeringan produk bahan pangan. Produk yang sesuai dikeringkan dengan


alat ini adalah produk yang memiliki keseragaman yang tinggi, misalnya biji
cokelat dan apel. Kelebihannya adalah harga murah, terlalu tinggi.
Komponen cabinet dryer adalah tray, heater dan fan. Tray disesuaikan
dengan kapasitas jumlah, berat dan ukuran produk pangan. Tray berfungsi
sebagai wadah biji dalam proses pengeringan, yang disusun bertingkat.
Sedangkan heater berfungsi sebagai pemanas udara yang nantinya udara
panas dari heater tersebut yang akan digunakan dalam pengeringan
(Napitupulu, dkk, 2012).
Hubungan kadar air dengan daya simpan yatitu semakin sedikit
kadar air suatu bahan maka semakin lama umur simpan bahan tersebut.
Pangan kering dapat disimpan dalam waktu yang lama dan tidak
mengalami pembusukkan. Hal tersebut karena jasad renik yang dapat
membusukkan dan memecahkan bahan pangan tidak dapat dan sulit
tumbuh karena ketiadaan air, selain itu enzim yang dapat menyebabkan
perubahan kimia tidak dapat berfungsi karena tidak adanya air. Sulitnya
jasad renik untuk membusukkan makanan serta tidak berfungsinya enzim
menyebabkan daya simpan suatu bahan dapat bertahan lebih lama,
sehingga bahan tidak mudah busuk (Earle, 1969).

Berdasarkan hasil percobaan Acara III menggunakan ubi kayu


kandungan air yang ada pada singkong sebelum dikeringkan adalah
sebanyak 60% (Prabawati, 2011). Rata-rata kadar air singkong pada
penelitian ini berkisar antara 10,35 % untuk shift 1 dan 15,18 % untuk
shift 2, dan didapatkan rata-rata kadar air singkong dari kedua shift sebesar
12,76 %. Hal tersebut sesuai dengan kadar air singkong menurut teori
yaitu berkisar antara 10-12% (Nugroho, 2012). Hal tersebut menunjukkan
bahwa praktikum sudah sesuai dengan teori yang berlaku.

120
100
80

Jumlah air yang diuapkan


(gram)

kel 12

60

kel 13
kel 14

40

kel 5&6

20
0
0.5

kel 7&8
1

1.5

kel 9

Waktu Pengeringan
(jam)

Grafik 3.1 Hubungan antara Jumlah Air yang Diuapkan dengan Waktu
Pengeringan pada Ubi Kayu Rajang
Dari grafik 3.1 hubungan antara jumlah air yang diuapkan dengan
waktu pengeringan pada ubi kayu rajang dari kedua shift dapat diketahui
bahwa grafik cenderung naik setelah 1 jam pengeringan, dan untuk
kelompok 12, 14, 5 dan 6 grafik semakin naik setelah 1,5 jam pengeringan,
namun pada kelompok 13, 7, 8 dan 9 grafik cenderung mengalami
penurunan. Pada saat 2 jam pengeringan ternyata grafik cenderung

menurun. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa
semakin lama waktu pengeringan maka semakin sedikit jumlah air yang
diuapkan (Muchtadi, 2008). Pada grafik 3.1 menunjukan penurunan,
namun pada kelompok 12 dan 13 terjadi ketidaksesuaian dengan teori, hal
tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu massa ubi kayu yang banyak
hilang karena terjatuh saat penimbangan setiap 0,5 jam, letak rak pada
cabinet dryer, dan konsentrasi air yang tinggi pada alat karena sirkulasi
yang kurang optimal sehingga mempengaruhi pengeringan, selain itu ubi
kayu rajang memiliki luas permukaan yang lebih kecil dari luas permukaan
ubi kayu parut, sehingga waktu pengeringannya lebih ama dari ubi kayu
parut.

Jumlah air yang diuapkan


(gram)

200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0.5

kel 10
kel 11
kel 1&2
kel 3&4
1

1.5

Waktu Pengeringan
(jam)

Grafik 3.2 Hubungan antara Jumlah Air yang Diuapkan dengan Waktu
Pengeringan pada Ubi Kayu Parut
Dari grafik 3.2 hubungan antara jumlah air yang diuapkan dengan
waktu pengeringan pada ubi kayu parut dari 2 shift dapat diketahui bahwa
pada pengeringan selama 0,5 jam grafik menunjukkan kenaikan, pada
pengeringan selama 1 jam grafik cenderung mengalami penurunan, pada
kelompok 10, 1, 2, 3, 4 setelah 1,5 jam grafik mengalami kenaikan, dan
untuk kelompok 11 grafik mengalami penurunan. Setelah 2 jam
pengeringan, ternyata pada kelompok 10, 3, dan 4 grafik mengalami
penurunan dan pada kelompok 11, 1, dan 2 grafik megalami kenaikan.

Grafik 3.2 menunjukkan bahwa grafik mengalami penurunan, hal tersebut


sudah sesuai dengan teori, namun pada kelompok 1 dan 2 menunjukkan
kenaikan grafik, hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa semakin lama waktu pengeringan jumlah air yang diuapkan
semakin sedikit (Muchtadi, 2008). Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh
beberapa hal yaitu banyaknya massa ubi kayu yang hilang karena jatuh
saat akan dilakukan penimbangan, letak rak pada cabinet dryer juga
mempengaruhi pengeringan, selain itu luas permukaan bahan juga
berpengaruh semakin luas permukaan bahan tersebut maka waktu
pengeringan semakin cepat.

240
200
160

Laju Transfer Massa Uap Air


(gram H2O/jam)

kel 12

120

kel 13
kel 14

80

kel 5&6

40
0
0.5

kel 7&8
1

1.5

kel 9

Waktu Pengeringan
(jam)

Grafik 3.3 Hubungan antara Laju Transfer Massa Uap Air dengan
Waktu Pengeringan pada Ubi Kayu Rajang
Dari grafik 3.3 hubungan antara laju transfer massa uap air dengan
waktu pengeringan pada ubi kayu rajang dapat diketahui bahwa pada
pengeringan selama 1 jam grafik cenderung mengalami kenaikan, namun
pada pengeringan selama 1,5 jam pada kelompok 12, 14, 5, dan 6
mengalami kenaikan dan pada kelompok 13, 7, 8, dan 9 grafik mengalami
penurunan. Setelah pengeringan selama 2 jam didapat hasil bahwa grafik
cenderung mengalami penurunan kecuali kelompok 12 dan 13. Hal
tersebut sesuai dengan teori bahwa semakin lama waktu pengeringan maka

kadar air dalam bahan semakin berkurang, namun dengan kecepatan


penurunan kadar air makin melambat (Fadilah, dkk, 2010).

400
360
320
280
240

Laju Transfer Massa Uap Air 200


(gram H2O/jam)
160

kel 10
kel 11

120

kel 1&2

80

kel 3&4

40
0
0.5

1.5

Waktu Pengeringan
(jam)

Grafik 3.4 Hubungan antara Laju Transfer Massa Uap Air dengan
Waktu Pengeringan pada Ubi Kayu Parut
Dari grafik 3.4 hubungan antara laju transfer massa uap air dengan
waktu pengeringan pada ubi kayu parut dapat diketahui bahwa grafik
cenderung mengalami penurunan pada saat 1 jam pengeringan, dan
mengalami kenaikan pada 1,5 jam pengeringan serta mengalami
penurunan kembali pada 2 jam pengeringan hal tersebut sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa semakin lama waktu pengeringan maka
kadar air dalam bahan semakin berkurang, namun dengan kecepatan
penurunan kadar air makin melambat. Dari grafik tersebut diketahui bahwa
semakin lama waktu pengeringan maka kecepatan penurunan kadar air
makin melambat (Fadilah, dkk, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju transfer massa uap air selama
pengeringan yaitu ukuran bahan, suhu, kecepatan udara, dan kelembaban
udara. Ukuran bahan yang diiris atau dipotong dapat mempercepat
pengeringan. Hal tersebut karena pemotongan atau pengirisan bahan akan
memperluas permukaan bahan dan menyebabkan lebih banyak air yang

keluar. Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan


bahan pangan, semakin cepat pemindahan panas kedalam bahan dan
semakin cepat pula penghilangan air dari bahan. Semakin tinggi kecepatan
udara maka akan semakin mempercepat penghilanngan air dari bahan.
Kelembaban udara menunjukkan seberapa banyak kadar air yang
dikeringkan. (Muchtadi, 2008). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk
memperoleh kecepatan pengeringan (laju transfer massa uap air) yang
maksium yaitu luas permukaan bahan, suhu, kecepatan udara, kelebaban
udara (RH), Tekanan atmosfir dan vakum dan waktu (Purba, 2013).
Selain itu waktu juga mempengaruhi pengeringan yaitu semakin
lama waktu pengeringan maka kadar air dalam bahan semakin berkurang,
namun dengan kecepatan penurunan kadar air makin melambat. Jika suhu
pengeringan semakin tinggi maka waktu untuk mengering semakin cepat
(Fadilah, dkk, 2010). Air pada bahan yang jumlahnya terbatas apabila
dikeringkan terus menerus akan mencapai titik air kritis bahan di mana jika
diteruskan proses pengeringannya maka lama kelamaan air dalam bahan
akan menjadi habis. Oleh sebab itu hubungan waktu dengan laju transfer
massa uap air dan jumlah air yang diuapkan menunjukkan bahwa semakin
lama waktu yang diperlukan oleh pengeringan, semakin kecil pula laju
transfer massa uap air dan jumlah air yang diuapkan (Muchtadi, 2008).
Pengeringan dipengaruhi oleh panas dan perpindahan massa antara
pengeringan aliran udara dan produk, serta proses transportasi kelembaban
kompleks yang berlangsung di produk (Haghi, 2008).
Aplikasi dari praktikum Satuan Operasi Industri Pangan Acara III
Transfer Massa Uap Air Selama Pengeringan dalam industri pangan
seperti inovasi untuk menciptakan alat pengering kerupuk sebagai pengganti
pengeringan secara konvensional (Syafriyudin, 2009), proses pengeringan
banyak digunakan pada pengeringan bahan pertanian seperti buah buahan
dan sayuran untuk pengawetan makanan, mengurangi berat dan volume,
menekan biaya pengangkutan dan penyimpanan produk, serta menghasilkan
produk siap saji (Departemen Pendidikan, 1981). Pada pembuatan Mocaf

(Modified Cassava Flour) (Kurniawati, 2012). Selain itu pada pengeringan


kakao (Napitupulu, dkk, 2012).
E. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan Acara III Transfer Massa Uap Air Selama
Pengeringan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara lain :
1. Rata-rata laju transfer massa uap air ubi rajang shift 1 yaitu 90 gram
H2O/jam, 120 gram H2O/jam, 135 gram H2O/jam. Shift 2 yaitu 75
gram H2O/jam, 95 gram H2O/jam, 95 gram H2O/jam
2. Rata-rata laju transfer massa uap air ubi parut shift 1 yaitu 117,5 gram
H2O/jam, 120 gram H2O/jam. Shift 2 yaitu 205 gram H2O/jam, 85
gram H2O/jam.
3. Laju transfer massa uap air ubi parut lebih besar dari laju transfer
massa uap air ubi rajang.
4. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk memperoleh kecepatan
pengeringan (laju transfer massa uap air) yang maksium yaitu luas
permukaan bahan, suhu, kecepatan udara, kelebaban udara (RH),
tekanan atmosfir dan vakum dan waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Askurrahman. 2010. Isolasi dan Karakterisasi Linamarase Hasil Isolasi dari


Umbi Singkong (Manihot Esculenta Crantz). Agrointek Vol 4, No. 2, Hal.
138-145.
Bolaji, Bukola O., Tajudeen M. A. Olayanju, Taiwo O. Falade. 2011. Performance
Evaluation of a Solar Wind-Ventilated Cabinet Dryer. The West Indian
Journal of Engineering Vol.33, Nos.1/2, Page 12-18.
Departemen Pendidikan. 1981. Dasar-Dasar Pengawetan. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Dwika, Ruben Tinosa, Trisna Ceningsih, Setia Budi Sasongko. 2012. Pengaruh
Suhu dan Laju Alir Udara Pengering pada Pengeringan Karaginan
Menggunakan Teknologi Spry Dryer. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri
Vol. 1, No. 1, Hal. 298-304.
Earle, R. L. 1969. Satuan Operasi Dalam Pengolahan Pangan. Sastra Hudaya.
Bogor.
Estiasih, Teti, Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara.
Jakarta.
Fadilah, Sperisa Distantina, Dhian Budi Pratiwi, Y. C. Danarto, Wiratni. 2010.
Pengaruh Metode Pengeringan Terhadap Kecepatan Pengeringan dan
Kualitas Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii. Seminar
Rekayasa Kimia Dan Proses, ISSN : 1411-4216.
Haghi, A. K., N. Amanifard. 2008. Analysis Of Heat and Mass Transfer During
Microwave Drying Of Food Products. Brazilian Journal of Chemical
Engineering Vol. 25, No. 03, pp. 491 501.
Islami, Titiek. 2015. Ubi Kayu Tinjauan Aspek Ekofisiologi serta Upaya
Peningkatan dan Keberlanjutan Hasil Tanaman. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Kurniawati, Lina Ika, Nur Aida, Setiyo Gunawan, Tri Widjaja. 2012. Pembuatan
Mocaf (Modified Cassava Flour) dengan Menggunakan Proses
Fermentasi
Menggunakan
Lactobacillus
Plantarum,
SaccharomycesCereviseae dan Rhizopus Oryzae. Jurnal Teknik Pomits
Vol. 1, No. 1, Hal. 1-6.
Li, Hua, dkk. 2013. Analysis Of Heat And Mass Transfer Mechanism Of Vacuum
Freeze-Drying In The Primary Drying. Journal of Advances in Chemistry,
Vol. 3, No. 2, Page 183-191.
Muchtadi, Tien R. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Napitupulu, Farel dan Putra Mora Tua. 2012. Perancangan dan Pengujian Alat
Pengering Kakao dengan Tipe Cabinet Dryer untuk Kapasitas 7,5 kg PerSiklus. Jurnal Dinamis Vol. 2, No. 10.
Nugroho, Joko W. K., Primawati Y. F., Nursigit Bintoro. 2012. Proses
Pengeringan Singkong Parut dengan Menggunakan Pneumatic Dryer.
Prosiding Seminar Nasional Perteta, Hal. 96-104.

Prabawati, Sulusi., Nur Richana., Suismono. 2011. Inovasi Pengolahan Singkong


Meningkatkan Pendapatan dan Diversifikasi Pangan. Jakarta Selatan:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Edisi 4-10 Mei No.3404).
Purba, Indra Gunawan, Tekad Sitepu. 2003. Pengujian Performansi Mesin
Pengering Tenaga Surya dengan Produk Yang Dikeringkan Adalah
Cassava dengan Bentuk Produk Bujur Sangkar. Jurnal e-Dinamis, Vol. 7,
No.3, Hal. 117-125.
Rohanah, Ainun, Saipul Dahri Baulay, Goodman Manurung. 2005. Uji Alat
Pengering Tipe Cabinet Dryer Untuk Pengeringan Kunyit. Buletin
Agricultural Engineering Bearing Vol. 1 No. 1 Hal. 30-35.
Syafriyudin dan Purwanto, Dwi Prasetyo. 2009. Oven Pengering Kerupuk
Berbasis Mikrokontroler Atmega 8535 Menggunakan Pemanas pada
Industri Rumah Tangga. Jurnal Teknologi Vol. 2, No. 1, Hal. 70-72.
Winarno, F. G., Srikandi Fardiaz, Dedi Fardiaz. 1984. Pengantar Teknologi
Pangan. Gramedia. Jakarta.

LAMPIRAN
1.

PERHITUNGAN
A. Ubi Kayu Rajang
- Jumlah Air Yang Diuapkan
= massa awal massa akhir
a. Waktu (0,5 jam)
Kelompok 12
= 500 470 = 30 gram
Kelompok 13
= 500 470 = 30 gram
Kelompok 14
= 500 470 = 30 gram
b. Waktu (1 jam)
Kelompok 12
= 470 440 = 30 gram
Kelompok 13
= 470 410 = 60 gram
Kelompok 14
= 470 400 = 70 gram
c. Waktu (1,5 jam)
Kelompok 12
= 440 390 = 50 gram
Kelompok 13
= 410 360 = 50 gram
Kelompok 14
= 400 290 = 110 gram
d. Waktu (2 jam)
Kelompok 12
= 390 320 = 70 gram
Kelompok 13
= 360 260 = 100 gram
Kelompok 14
= 290 230 = 60 gram
-

Laju Transfer uap air selama pengeringan


a. Waktu ( 0,5 jam)
Kelompok 12
30 gram
V = 0,5 jam
= 60 gram H2O / jam
Kelompok 13
30 gram
V = 0,5 jam
= 60 gram H2O / jam
Kelompok 14
30 gram
V = 0,5 jam
= 60 gram H2O / jam
b. Waktu (1 jam)
Kelompok 12
30 gram
V = 0,5 jam
= 60 gram H2O / jam
Kelompok 13

V =

60 gram
0,5 jam

= 120 gram H2O / jam


Kelompok 14
70 gram
V = 0,5 jam
= 140 gram H2O / jam
c. Waktu (1,5 jam)
Kelompok 12
50 gram
V = 0,5 jam
= 100 gram H2O / jam
Kelompok 13
50 gram
V = 0,5 jam
= 100 gram H2O / jam
Kelompok 14
110 gram
V = 0,5 jam
= 220 gram H2O / jam

d. Waktu (2 jam)
Kelompok 12
70 gram
V = 0,5 jam
= 140 gram H2O / jam
Kelompok 13
100 gram
V = 0,5 jam
= 200 gram H2O / jam
Kelompok 14
60 gram
V = 0,5 jam
= 120 gram H2O / jam
B. Ubi Kayu Parut

Jumlah Air yang Diuapkan


= massa awal massa akhir
a. Waktu (0,5 jam)
Kelompok 10
= 500 390 = 110 gram
Kelompok 11
= 500 320 = 180 gram
b. Waktu (1 jam)
Kelompok 10
= 470 350 = 40 gram
Kelompok 11
= 470 290 = 30 gram
c. Waktu (1,5 jam)
Kelompok 10
= 440 290 = 60 gram
Kelompok 11
= 410 280 = 10 gram
d. Waktu (2 jam)
Kelompok 10
= 390 265 = 25 gram
Kelompok 11
= 360 260 = 20 gram

Laju Transfer Massa Uap Air


a. Waktu ( 0,5 jam)
Kelompok 10
110 gram
V = 0,5 jam
= 220 gram H2O / jam
Kelompok 11
180 gram
V = 0,5 jam
= 360 gram H2O / jam
b. Waktu (1 jam)
Kelompok 10
40 gram
V = 0,5 jam
= 80 gram H2O / jam
Kelompok 11
30 gram
V = 0,5 jam
= 60 gram H2O / jam
c. Waktu (1,5 jam)
Kelompok 10
60 gram
V = 0,5 jam
= 120 gram H2O / jam
Kelompok 11

V =

10 gram
0,5 jam

= 20 gram H2O / jam


d. Waktu (2 jam)
Kelompok 10
25 gram
V = 0,5 jam
= 50 gram H2O / jam
Kelompok 11
20 gram
V = 0,5 jam
= 40 gram H2O / jam

2. DOKUMENTASI

Gambar 3.1 Alat Perajangan


Singkong

Gambar 3.2 Alat Pemarutan


Singkong

Gambar 3.3 Singkong Rajang

Gambar 3.4 Singkong Parut

Gambar 3.5 Rak dalam Cabinet


Dryer

Gambar 3.6 Cabinet Dryer

Anda mungkin juga menyukai